• Tidak ada hasil yang ditemukan

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN BILIS, Thryssa hamiltonii (FAMILI ENGRAULIDAE) YANG TERTANGKAP DI TELUK PALABUHANRATU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BIOLOGI REPRODUKSI IKAN BILIS, Thryssa hamiltonii (FAMILI ENGRAULIDAE) YANG TERTANGKAP DI TELUK PALABUHANRATU"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

 

Alsade Santoso Sihotang

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

i

Dengan ini saya menyatakan skripsi yang berjudul :

Biologi Reproduksi Ikan Bilis Thryssa hamiltonii (Famili Engraulidae) yang Tertangkap di Teluk Palabuharatu

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2011

Alsade Santoso Sihotang

(3)

ii

Alsade Santoso Sihotang. C24050963. Biologi Reproduksi Ikan Bilis, Thryssa

hamiltonii (Famili Engraulidae) yang Tertangkap di Teluk Palabuhanratu.

Dibimbing oleh Yunizar Ernawati dan M. Mukhlis Kamal

Sumberdaya ikan pelagis kecil di Indonesia merupakan sumberdaya yang sangat melimpah dan banyak ditangkap untuk dikonsumsi masyarakat bila dibandingkan dengan tuna yang sebagian besar diekspor. Ikan bilis termasuk pelagis kecil yang dapat punah jika mengalami eksploitasi yang berlebihan. Salah satu indikasi dari tingginya eksploitasi terhadap populasi ikan bilis adalah berubahnya keragaan reproduksi ikan. Penelitian ini diharapkan dapat melihat biologi reproduksi ikan bilis dengan mengetahui pola pemijahan dan puncak musim pemijahan.

Pengambilan ikan contoh dilakukan di tempat pelelangan ikan (TPI) satu kali dalam sebulan selama waktu penelitian, yaitu Mei, Juni dan Juli. Panjang dan berat diukur langsung di tempat; kemudian sebagian ikan contoh dianalisis di laboratorium. Analisis laboratorium dilakukan di Laboratorium Bio-Makro, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Analisis data meliputi panjang dan berat ikan, faktor kondisi, tingkat kematangan gonad (TKG), indeks kematangan gonad (IKG), fekunditas, dan ukuran diameter telur. Kemudian data yang diperoleh dianalisis untuk melihat sebaran variasi pertumbuhan dan keragaan reproduksi ikan tersebut.

Ikan bilis (Thryssa hamiltonii) yang diukur 287 ekor, kisaran panjang 82-157 mm. Pola pertumbuhan ikan bilis adalah allometrik positif, sedangkan nilai faktor kondisi ikan bilis setiap bulannya adalah berturut-turut 1.19, 1.06, dan 1.03 untuk Mei, Juni dan Juli. Berdasarkan hasil pengamatan ikan bilis dengan TKG IV dapat diindikasikan bahwa ikan tersebut melakukan pemijahan setiap bulan dan ukuran ikan pertama kali matang gonad adalah 127.9888 mm. Indeks kematangan gonad Mei, Juni dan Juli berturut-turut adalah 2.3077%, 2.1053% dan 2.9286%. Fekunditas total ikan berada pada kisaran 288-1152 butir. Sebaran kelas diameter telur TKG IV berada pada kisaran 0.2-0.67 mm. Hasil pengamatan menunjukan tipe pemijahan ikan bilis adalah partial spawning karena memiliki lebih dari satu modus puncak penyebaran. Untuk pengelolaan perikanan disarankan mengurangi intensitas penangkapan pada puncak pemijahan yang diduga terjadi pada bulan Mei dan ukuran ikan yang boleh ditangkap setelah ikan berukuran lebih besar dari 127.9888 mm dengan tujuan memberikan kesempatan ikan bilis untuk memijah terlebih dahulu.

(4)

iii

ALSADE SANTOSO SIHOTANG C24050963

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(5)

iv

Judul : Biologi Reproduksi Ikan Bilis Thryssa hamiltonii (Famili Engraulidae) yang Tertangkap di Teluk Palabuhanratu Nama Mahasiswa : Alsade Santoso Sihotang

Nomor Pokok : C24050963

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc NIP 19490617 197911 2 001 NIP 19680914 1994031 1 00

Mengetahui,

Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP 19660728 199103 1 002

(6)

v

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan YME yang telah memberikan berkatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan usulan penelitian yang berjudul “Pengaruh Tingkat Eksploitasi terhadap Keragaan Reproduksi Ikan bilis, Thryssa hamiltonii (Famili Engraulidae).

Proposal ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk dapat melaksanakan penelitian dan tugas akhir di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada proposal ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka, dan metode penelitian.

Atas tersusunnya proposal ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Yunizar Ernawati, M.S dan Bapak Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc sebagai pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta motivasi kepada penulis dalam penyelesaian proposal ini. Akhir kata penulis menyadari masih banyak kekurangan pada penyusunan proposal ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan bantuan dari berbagai pihak, sehingga proposal ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Bogor, Februari 2011

(7)

vi

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS. dan Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc. masing-masing selaku ketua dan anggota pembimbing skripsi dan akademik yang telah banyak memberikan bantuan berupa bimbingan, masukan dan dana dalam penyelesaian skripsi ini.

2. Dr. Ir. H. Ridwan Affandi, DEA selaku dosen penguji dan Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil selaku wakil komisi pendidikan program S1 atas saran dan arahan dalam perbaikan skripsi ini.

3. Majariana Krisanti S.Pi, M.Si. selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingannya selama kuliah di MSP.

4. Papa dan Mama serta seluruh keluargaku tersayang atas segala doa dan perhatian yang begitu kuat.

5. Para staff Tata usaha MSP, trutama mba widar atas kesabarannya dalam membantu saya, staf Lab. Biologi Makro I (BIMA-I), Egg Team (Ega Rikky, dan Anhar) dan teman-teman MSP42 terutama teman sekontrakan baut berkarat. 6. Tita Antari yang selalu setia menemani dan teman-teman Dragon yang selalu

memberikan hiburan dan kelucuan.

7. Pihak-pihak lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung.

(8)

vii  

     

Penulis dilahirkan di Bogor, pada tanggal 11 Agustus 1987. Penulis adalah anak keempat dari empat bersaudara dari keluarga Bapak S. Sihotang dan Ibu Dasima Br Sinaga. Penulis memulai masa pendidikannya di TK Harapan Putra Utama Depok, kemudian bersekolah di SD Negeri Baktijaya 01 Cimanggis-Depok pada tahun 1993-1999, dilanjutkan ke jenjang sekolah lanjutan di SLTPN 8 Depok, kemudian SMUN 88 Jakarta Timur pada tahun 2002-2005. Penulis diterima di Insitut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SPMB pada tahun 2005 dan masuk di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (FPIK-IPB).

Penulis pernah menjadi pemain terbaik pada kejuaraan futsal tingkat TPB, kemudian penulis juga terdaftar sebagai anggota Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB tahun 2006, klub basket IPB, dan anggota Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) tahun 2007-2008.

Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan mendapatkan gelar Sarjana Perikanan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Biologi Reproduksi Ikan Bilis, Thryssa hamiltonii (Famili Engraulidae) yang Tertangkap di Teluk Palabuhanratu”.

(9)

viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan dan Manfaat ... 3

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Klasifikasi, Tata Nama dan Ciri-ciri Morfologi ... 4

2.2 Aspek Pertumbuhan………... . 6

2.2.1 Hubungan panjang-berat ………... 6

2.2.2 Faktor kondisi ………. . 7

2.3 Aspek Reproduksi ... ... 8

2.3.1 Fekunditas ... ... 8

2.3.2 Indeks kematangan gonad dan tingkat kematangan gonad ... ... 10

2.3.3 Nisbah kelamin………... ... 12

2.3.4 Diameter telur ... ... 12

2.3.5 Kualitas telur ... ... 12

3. METODE PENELITIAN ... ... 14

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 14

3.2 Alat dan Bahan ... 15

3.3 Metode Kerja ... 15

3.3.1 Pengambilan ikan contoh... 15

3.3.2 Pengamatan ikan contoh di laboratorium ... 15

3.3.2.1 Panjang dan berat total ...…… 15

3.3.2.2 Jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad (TKG)...…… 15 3.3.2.3 Indeks kematangan gonad (IKG) ...……… 16 3.3.2.4 Fekunditas ...…… 16 3.3.2.5 Diameter telur ... 17 3.4 Analisis Data ... . 17 3.4.1 Aspek pertumbuhan ……… 17

3.4.1.1 Sebaran frekuensi panjang ...…... 17

3.4.1.2 Hubungan panjang-berat ...……….. 18

3.4.1.3 Faktor kondisi ………... 19

3.4.2 Aspek reproduksi ………. 20

(10)

ix

3.4.2.4 Kadar protein (cara Kjeldahl in AOAC 2005)… 22

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

4.1 Kondisi Lingkungan Teluk Palabuhanratu …………... 23

4.2 Aspek Pertumbuhan ... 23

4.2.1 Sebaran frekuensi panjang ikan bilis (Thryssa hamiltonii) hasil tangkapan ... 23

4.2.2Hubungan panjang berat... 25

4.2.3Faktor kondisi ……….. 26

4.3Aspek Reproduksi ... 30

4.3.1Nisbah kelamin ... 30

4.3.2 Tingkat kematangan gonad ... 30

4.3.3 Indeks kematangan gonad ... 34

4.3.4 Fekunditas ... 35

4.3.5 Diameter telur ... 40

4.3.6 Kandungan protein ... 41

4.4 Alternatif Pengelolaan ……… 42

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 44

DAFTAR PUSTAKA... 45

(11)

x

1. Klasifikasi tingkat kematangan gonad ikan tembang

(Clupea platygaster) menurut Ismail (2006) ... 16

2. Faktor kondisi ikan Bilis (T. hamiltonii) jantan dan betina yang tertangkap di Teluk Palabuhanratu ………….. 27

3. Hubungan faktor kondisi dengan tingkat kematangan gonad ikan bilis (T. hamiltonii) betina……….. 29

4. Rasio kelamin ... 30

5. Fekunditas T. hamiltonii pada bulan Mei ... 36

6. Fekunditas T. hamiltonii pada bulan Juni ... 37

7. Fekunditas T. hamiltonii pada bulan Juli ... 38

8. Kadar protein telur ikan bilis (T. hamiltonii) di setiap bulan penelitian ... 42

(12)

xi

1. Skema pendekatan masalah ... 2

2. Ikan bilis (T. hamiltonii, Gray 1835)... 5

3. Hubungan panjang dan berat pada ikan (Effendie, 2002)... 7

4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh... 14

5. Sebaran jumlah ikan bilis selama bulan pengamatan (Mei-Juli) ……… 24

6. Sebaran frekuensi panjang ... 24

7. Hubungan panjang dan berat ... 26

8. Sebaran Faktor kondisi ikan Bilis (T. hamiltonii) betina... 27

9. Sebaran Faktor kondisi ikan Bilis (T. hamiltonii) jantan... 28

10. Nilai faktor kondisi berdasarkan selang kelas panjang betina.. 29

11. Histologis Gonad TKG I, II, III, dan IV ikan Bilis (T. hamiltonii) ... 32

12. TKG ikan bilis betina berdasarkan selang kelas panjang……. 33

13. Persentase TKG berdasarkan bulan pengamatan……….. 33

14. Indeks kematangan gonad ……….. 35

15. Grafik hubungan fekunditas dengan panjang dan berat (Mei 2009) …...… 36

16. Grafik hubungan fekunditas dengan panjang dan berat (Juni 2009) ………. 37

17. Grafik hubungan fekunditas dengan panjang dan berat (Juli 2009) ……….. 39

18. Grafik sebaran diameter telur ikan Bilis (T. hamiltonii) pada TKG IV ……….. 40

19. Nilai rata-rata diameter telur ikan bilis (T. hamiltonii) pada setiap bulan pengamatan ………. 41

(13)

xii

1. Gambar alat dan bahan yang digunakan selama

melakukan penelitian ………. 50

2. Proses pembuatan preparat histologis gonad ikan kresek (Thryssa mystax) menurut

Banks (1986) in Fatimah (2006) ... 51 3. Metode penentuan kadar protein

berdasarkan AOAC (2005) ... 53

4. Tabel data frekuensi ikan bilis (T. hamiltonii)

setiap bulannya berdasarkan sebaran ukuran kelas panjang……… 54

5. Uji t hubungan panjang berat ikan bilis (T. hamiltonii)

pada bulan pengamatan (Mei-Juli)………... 55

6. Nilai-nilai faktor kondisi ikan bilis (T. hamiltonii)

pada setiap bulannya di Perairan teluk Palabuhanratu………. 56

7. Frekuensi Tingkat Kematangan Gonad berdasarkan selang kelas ukuran panjang ikan bilis (T. hamiltonii)

di Perairan teluk Palabuhanratu pada bulan pengamatan (Mei-Juli)... 57

8. Ukuran pertama kali matang gonad ikan bilis (T. hamiltonii) ……… 58 9. Nilai rata-rata indeks kematangan gonad (IKG) ikan bilis

(T. hamiltonii) pada setiap bulannya di Perairan teluk Palabuhanratu.. 59 10.Sebaran frekuensi diameter telur ikan bilis (T. hamiltonii)

selama bulan pengamatan (Mei-Juli) ……… 59 11.Perhitungan tinggi tubuh ikan bilis (T. hamiltonii)

pada ukuran pertama kali matang gonad ……… 60

12.Sebaran rata-rata diameter telur ikan bilis (T. hamiltonii)

(14)

I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Sumberdaya ikan pelagis kecil di Indonesia merupakan salah satu sumberdaya

yang paling melimpah dan paling banyak ditangkap untuk konsumsi masyarakat bila dibandingkan dengan tuna yang sebagian besar merupakan produk unggulan ekspor sehingga hanya sebagian kelompok yang dapat menikmatinya. Ikan pelagis umumnya hidup di daerah neritik dan membentuk schooling juga berfungsi sebagai konsumen

dalam food chain (antara produsen dengan ikan-ikan besar) sehingga perlu upaya pelestarian (Merta, et al., 1988 in Widodo, 1998).

Ikan bilis yang juga termasuk ke dalam ikan pelagis kecil mampu memperbaharui dirinya namun kemampuan ini bukan tidak terbatas, bahkan dapat luruh bila dilakukan eksploitasi yang berlebihan. Sebagian sumberdaya yang pemanfaatannya bersifat terbuka dan pemiliknya umum, diperlukan adanya usaha pengelolaan yang mengatur pemanfaatan, pelestarian dan bila diperlukan juga rehabilitasi. Sebab kelangkaan pengelolaan akan mengarah terjadinya "biological overfishing", yaitu bila hasil penangkapan terhadap satu jenis ikan laut lebih besar dari MSY (Maximum Sustainable Yield) untuk populasi ikan tersebut. Ikan – ikan yang

besar (dewasa) selalu ditangkap oleh nelayan. Penangkapan yang dilakukan juga terlalu cepat sehingga ikan – ikan yang lain tidak diberi kesempatan untuk tumbuh hingga usia yang optimal untuk melakukan reproduksi. Kejadian tersebut akan memaksa ikan yang sudah dapat memijah untuk menghasilkan telur-telur dengan kualitas kurang baik pada musim pemijahan dikarenakan ikan – ikan tersebut belum mencapai usia optimum untuk melakukan pemijahan (Widodo, 1998).

Biologi reproduksi dapat dilihat pada ikan betina karena pengaruh dari betina lebih tinggi terhadap keberhasilan reproduksi ikan. Penelitian ini diharapkan dapat melihat biologi reproduksi ikan bilis dengan mengetahui pola pemijahan dan puncak musim pemijahan sehingga diharapkan dapat menjadi dasar informasi dalam pengelolaan dan pengembangan sumberdaya ikan agar tetap lestari dan berkelanjutan.

(15)

1.2.Perumusan Masalah

Ikan bilis bukan merupakan target utama tangkapan pada daerah teluk Palabuhanratu dan digolongkan ke dalam sumberdaya ikan ekonomis. Akan tetapi apabila setiap upaya penangkapan selalu dijumpai ikan bilis dan tidak jarang pula pada ikan yang matang gonad serta siap memijah juga ikut tertangkap, dikhawatirkan dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan populasi.

Hal ini dapat mempengaruhi pada masa yang akan datang kehidupan ikan bilis akan terancam, baik berupa kepunahan maupun degradasi genetis. Oleh sebab itu jenis ikan ini perlu dilestarikan melalui pengelolaan habitat dan populasi yang rasional. Untuk hal tersebut diperlukan informasi dan data tentang keadaan reproduksinya, karena dalam pengelolaan untuk menjamin kelestarian sumberdaya maka reproduksi berperan untuk mengetahui ukuran pertama kali ikan matang gonad. Informasi hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar dan menjadi acuan dalam upaya pengelolaan sumberdaya ikan bilis yang lestari dan berkelanjutan.

Gambar 1. Skema perumusan masalah 1.3.Tujuan dan Manfaat

STOK ikan bilis Struktur populasi Dominansi populasi ikan Keragaan Reproduksi

Ukuran pertama kali matang gonad, Fekunditas,

Diameter dan Kandungan protein telur.

Upaya pengelolaan yang berkelanjutan

(16)

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai biologi reproduksi ikan bilis (T. hamiltonii) yang tertangkap di Teluk Palabuhanratu, seperti

nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad, indeks kematangan gonad, fekunditas, diameter telur dan kandungan protein.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi mengenai biologi reproduksi ikan bilis (T. hamiltonii) yang tertangkap di Teluk Palabuhanratu,

sehingga hasil penelitian ini juga dapat menjadi salah satu pertimbangan untuk menetapkan strategi pengelolaan yang efektif.

(17)

2.1 Klasifikasi, Tata Nama dan Ciri-ciri Morfologi

Klasifikasi ikan bilis (Thryssa hamiltonii) berdasarkan tingkat sistematikanya

menurut Gray (1835): Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Actinopterygii Subkelas : Neopterygii Ordo : Clupeiformes Subordo : Clupeoidei Famili : Engraulidae Subfamili : Coilinae Genus : Thryssa

Spesies : Thryssa hamiltonii

Sinonim : Engraulis grayi, Thryssa hamiltoni, Stolephorus hamiltoni, Engraulis nasuta

Nama umum : Hamilton's thryssa, Hamilton's anchovy Nama lokal : Bilis

Ikan-ikan jenis famili Engraulidae tersebar di perairan Atlantik, Hindia dan

Pasifik dan termasuk jenis ikan yang suka bergerombol (schooling). Beberapa spesies

dapat hidup di air tawar. Memiliki mulut inferior dengan tubuh yang tembus cahaya/jernih. Sebagian besar ikan famili ini adalah filter feeding zooplankton. Famili Engraulidae selanjutnya terdapat kelas Actinopterygii dan ordo Clupeiformes yang

(18)

Gambar 2. Ikan bilis (T. hamiltonii, Gray 1835)

Ciri-ciri Ikan bilis (T. hamiltonii) yaitu, memiliki bentuk badan memanjang dan

pipih. Badan bersifat fusiform, pipih, ukuran maksimum yang dapat dicapai hingga 27 cm SL dengan ukuran rata-rata yang sering tertangkap adalah sebesar 15,2-22,2 cm SL. Ikan bilis tidak memiliki dorsal spine maupun anal spine namun terdapat 32-39 anal soft rays. Pada bagian perut meruncing dengan 23-26 scute yang terbalik hingga

anus (Gray, 1835).

Ikan merupakan organisme yang bersifat poikiloterm yaitu suhu tubuh ikan sesuai dengan suhu perairan. Huet (1971) menyatakan fluktuasi harian suhu perairan sangat mempengaruhi kehidupan organisme di dalamnya, fluktuasi suhu air yang terlalu besar dapat mematikan organisme perairan. Bishop (1973) menyatakan suhu air dapat merangsang dan mempengaruhi pertumbuhan organisme perairan serta mempengaruhi oksigen terlarut untuk respirasi. Setiap organisme mempunyai suhu maksimum, optimum dan minimum untuk kehidupannya, Menurut Boyd dan Kopler (1979) suhu optimum untuk pertumbuhan ikan di daerah tropis adalah 25 oC- 30 oC.

Ikan Bilis biasa hidup pada perairan pelagis-neritik dengan kedalaman rata-rata 10-13 m. Iklim yang cocok adalah tropis. Ikan ini biasanya ditangkap dengan trawl

dan termasuk ikan ekonomis penting. Pemanfaatannya untuk ikan segar konsumsi, kering, ikan asin. Makanan utamanya adalah zooplankton dan beberapa jenis

crustaceans. Ikan ini memiliki ciri-ciri telur yang berbentuk bola, transparan, unpigmented dan segmented (Gray, 1835).

(19)

Distribusi ikan bilis secara ekologis terdapat di daerah tropis dan sub tropis, hidup di laut pada kedalaman 40 m, estuaria dan sebagian masuk ke arah sungai. Secara geografis penyebaran ikan tetet meliputi Sumatera (Sungai Rokan, Deli, Pulo Weh, Simalur, Nias), Jawa (Jakarta, Jawa Barat), Kalimantan, Sulawesi, Papua Nugini, Pantai India, Andamans, Malaysia, Laut Cina Selatan, Filipina, dan Australia (www.fishbase.org).

2.2 Aspek Pertumbuhan 2.2.1 Hubungan panjang-berat

Panjang tubuh sangat berhubungan dengan berat tubuh. Hubungan panjang dan berat seperti hukum kubik, berat merupakan pangkat tiga dari panjang (Effendie, 2002). Namun, hubungan yang terdapat pada ikan tidak demikian karena bentuknya yang berbeda-beda. Menurut Moyle dan Cech (1988) pertumbuhan terjadi karena adanya energi yang berlebih dari hasil metabolisme dalam tubuh. Proses metabolisme ini dikontrol secara internal oleh hormon pertumbuhan dan hormon steroid. Selain itu, pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti temperatur, tingkat oksigen terlarut, ammonia, salinitas, dan periode sinar juga derajat kompetisi, jumlah dan kualitas makanan yang dicerna.

Panjang dan berat ikan bila diplotkan dalam suatu gambar maka akan kita dapatkan seperti Gambar 3. Terdapat dua jenis hubungan, yaitu pertambahan panjang ikan atau udang yang seimbang dengan pertambahan beratnya, yang disebut pertumbuhan isometrik. Apabila harga konstanta n lebih besar atau lebih kecil dari 3,0

dinamakan pertumbuhan allometrik. Harga konstanta n yang kurang dari 3,0

menunjukkan keadaan ikan yang kurus yaitu pertambahan panjangnya lebih depat dari pertambahan beratnya, sedangkan harga konstanta n lebih besar dari 3,0 menunjukkan ikan itu montok, pertambahan berat lebih cepat dari pertambahan panjangnya.

(20)

2.2.2 Faktor kondisi

Faktor kondisi adalah keadaan yang menyatakan kemontokan ikan yang dinyatakan dengan angka-angka berdasarkan data panjang dan berat (Lagler, 1961 in

Effendie, 2002). Faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan baik dilihat dari segi kapasitas fisik untuk bertahan hidup dan bereproduksi. Tingkat kematangan gonad dan jenis kelamin mempengaruhi nilai faktor kondisi. Nilai faktor kondisi ikan betina lebih besar dari ikan jantan, hal ini memperlihatkan bahwa ikan betina memiliki kondisi yang baik dengan mengisi sel kelamin (cell sex) untuk proses reproduksinya

dibandingkan dengan ikan jantan. Nilai faktor kondisi antara 1-3 menunjukkan bahwa tubuh ikan berbentuk kurang pipih (Effendie, 2002).

Faktor kondisi dapat dijadikan indikator kondisi pertumbuhan ikan dan dapat menentukan kecocokan lingkungan serta membandingkan berbagai tempat hidup. Variasi faktor kondisi tergantung pada kepadatan populasi, tingkat kematangan gonad, makanan, jenis kelamin, dan umur (Le Cren, 1951 in Effendie, 2002). Sementara itu,

Lagler (1972) menyatakan bahwa dengan meningkatnya ukuran ikan maka nilai faktor kondisinya akan bertambah dengan asumsi faktor lain tidak ada yang mempengaruhi.

Berat (gram)

Gambar 3. Hubungan panjang dan berat pada ikan (Effendie, 2002) Panjang (cm)

(21)

Ketersediaan makanan akan mempengaruhi faktor kondisi. Pada saat makanan berkurang jumlahnya, ikan akan menggunakan cadangan lemaknya sebagai sumber energi selama proses pematangan gonad dan pemijahan sehingga faktor kondisi ikan menurun (Rininta, 1988 in Saadah, 2000). Berdasarkan hasil penelitian Saadah (2000)

di perairan Teluk Labuan bahwa faktor kondisi ikan L. splendens betina lebih besar

dari ikan jantan. Sementara di perairan Pantai Mayangan, faktor kondisi ikan L. equulus jantan lebih besar daripada ikan betina dan berfluktuatif berdasarkan bulan,

ukuran panjang, dan tingkat kematangan gonad (Novitriana, 2004).

2.3 Aspek Reproduksi

Pengelolaan sumberdaya perikanan untuk menjaga kelestariannya tidak hanya terpusat pada aspek produksi ikannya, melainkan juga pada aspek biologi ikan dan faktor lingkungan hidupnya (Samuel & Ondara 1987). Nikolsky (1963) mengemukakan bahwa beberapa aspek biologi reproduksi diperlukan untuk penelaahan frekwensi pemijahan, keberhasilan pemijahan, lama pemijahan dan ukuran ikan pada saat pertama kali mencapai kematangan gonad.

2.3.1 Fekunditas

Fekunditas ikan merupakan aspek yang berhubungan dengan dinamika populasi, sifat-sifat rasial, produksi dan stok rekruitmen (Bagenal 1978 in Effendie

2002). Fekunditas merupakan kemampuan reproduksi ikan yang ditunjukkan dengan jumlah telur yang ada dalam ovarium ikan betina. Secara tidak langsung melalui fekunditas ini kita dapat menaksir jumlah anak ikan yang akan dihasilkan dan akan menentukan pula jumlah ikan dalam kelas umur yang bersangkutan. Menurut Nikolsky (1963) jumlah telur yang terdapat dalam ovarium ikan dinamakan fekunditas individu. Dalam hal ini ia memperhitungkan telur yang ukurannya berlain-lainan. Oleh karena itu dalam memperhitungkannya harus diikutsertakan semua ukuran telur dan masing-masing harus mendapatkan kesempatan yang sama. Bila ada telur yang jelas kelihatan ukurannya berlainan dalam daerah yang berlainan dengan perlakuan yang sama harus dihitung terpisah. Nikolsky (1963) selanjutnya menyatakan bahwa fekunditas individu

(22)

adalah jumlah telur dari generasi tahun itu yang akan dikeluarkan tahun itu pula. Dalam ovari biasanya ada dua macam ukuran telur, yang besar dan yang kecil. Telur yang besar akan dikeluarkan pada tahun itu dan yang kecil akan dikeluarkan pada tahun berikutnya. Namun apabila kondisi baik, telur yang kecilpun akan dikeluarkan menyusul telur yang besar. Sehubungan dengan hal ini maka perlu menentukan fekunditas ikan apabila ovari ikan itu sedang dalam tahap kematangan yang ke-IV dan yang paling baik sesaat sebelum terjadi pemijahan (Nikolsky, 1963).

Semakin banyak makanan tersedia, pertumbuhan ikan semakin cepat dan fekunditas semakin besar. Fekunditas ikan berhubungan erat dengan lingkungan dimana fekunditas spesies akan berubah bila keadaan lingkungan berubah (Nikolsky, 1963). Fekunditas cenderung meningkat dengan ukuran tubuh yang besar, sehingga populasi dengan proporsi ikan berukuran besar memiliki potensi reproduksi yang lebih besar dibandingkan dengan populasi dengan proporsi ikan yang berukuran kecil (Walker et al.,1998 in Stevens et al., 2000). Fekunditas individu akan sukar diterapkan

untuk ikan-ikan yang mengadakan pemijahan beberapa kali dalam satu tahun, karena mengandung telur dari berbagai tingkat dan akan lebih sulit lagi menentukan telur yang benar-benar akan dikeluarkan pada tahun yang akan datang. Jadi fekunditas individu ini baik diterapkan pada ikan-ikan yang mengadakan pemijahan tahunan atau satu tahun sekali. Selanjutnya Royce (1984) menyatakan bahwa fekunditas total ialah jumlah telur yang dihasilkan ikan selama hidupnya. Fekunditas relatif adalah jumlah telur per satuan berat atau panjang. Fekunditas inipun sebenarnya mewakili fekunditas individu kalau tidak diperhatikan berat atau panjang ikan. Status ikan betina dan kualitas dari telur lebih terlihat kalau berat yang dipakai tanpa berat alat-alat pencernaan makanannya. Ikan-ikan yang tua dan besar ukurannya mempunyai fekunditas relatif lebih kecil. Umumnya fekunditas relatif lebih tinggi dibanding dengan fekunditas individu. Fekunditas relatif akan menjadi maksimum pada golongan ikan yang masih muda (Nikolsky, 1969 in Effendie, 2002).

Seperti contoh pada ikan L. equulus di perairan Mayangan. Ikan tersebut memiliki

fekunditas berkisar 1.496-157.845 butir dan dijumpai hubungan yang erat terhadap panjang total dan berat tubuh serta hubungan yang sangat erat terhadap berat gonadnya

(23)

(Novitriana, 2004). Sementara di perairan Barat Daya Taiwan rata-rata fekunditas ikan

L. equulus adalah 129.955 ± 79.343 (Fang Lee et al., 2005).

2.3.2 Indeks kematangan gonad dan tingkat kematangan gonad

Dalam proses reproduksi, sebelum terjadi pemijahan gonad semakin bertambah besar dan berat. Berat gonad akan mencapai maksimum sesaat ikan memijah, kemudian menurun dengan cepat selama pemijahan sampai selesai (Effendie, 2002). Untuk mengetahui perubahan gonad tersebut secara kualitatif dapat dinyatakan dengan index kematangan gonad (IKG). IKG adalah suatu nilai dalam persen sebagai hasil perbandingan berat gonad dengan berat tubuh ikan termasuk gonad dikalikan 100 % (Effendie, 2002). IKG ini akan bertambah besar sampai mencapai maksimum ketika akan terjadi pemijahan (Effendie, 2002). Royce (1984), mencatat bahwa ikan dapat memijah, jika nilai IKG betina berkisar antara 10%-25%. Nilai IKG jantan berkisar antara 5 % - 10 %.

Salah satu aspek biologi reproduksi ialah tingkat kematangan gonad (TKG) yaitu tahap-tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah. Keterangan tentang TKG ikan diperlukan untuk mengetahui perbandingan antara ikan yang berada diperairan, ukuran atau unsur ikan pertama kali matang gonadnya, dan apakah ikan sudah memijah atau belum (Nikolsky, 1963 dan Effendie, 2002).

Marza (1938), Wallace dan Selman (1981) in Murua (2003) membagi tiga tipe

perkembangan oosit, yaitu :

1. Synchronous, yaitu semua oosit yang ada di dalam ovarium mengalami tingkat

kematangan yang sama.

2. Group-synchronos, yaitu ovarium memiliki dua kelompok oosit dengan

tingkat kematangan yang berbeda.

3. Asynchronous, yaitu ovarium yang menganduung oosit yang memiliki tingkat

kematangan yang berbeda dan proses oogenesis berlangsung setiap saat. Semakin meningkat TKG ikan, umumnya garis tengah telur yang ada dalam gonad semakin besar. Dengan kata lain ukuran dan berat gonad serta garis tengah telur bervariasi dari TKG individu ikan betina (Lagler et al., 1977). Selanjutnya dinyatakan

(24)

pula bahwa saat ikan pertama kali mencapai matang gonad dipengaruhi oleh beberapa faktor luar seperti suhu, arus, adanya individu yang berjenis kelamin yang berbeda dan faktor dalam seperti umur, ukuran dan perbedaan spesies. Seperti di perairan Barat Daya Taiwan pada ikan L. equulus betina matang gonad pada saat panjang cagaknya

162 mm dan ikan jantan pada panjang cagak 158 mm (Fang Lee et al., 2005).

Menurut Weng et al. (2005), dari analisis makroskopik perkembangan ovarian

ikan Spratelloides gracilis dapat dibagi kedalam 4 fase :

• Fase sebelum matang gonad (immature) : indung telur kecil dan langsing, dan oocyte tidak terlihat dengan mata biasa. Diameter oocyte < 0,2 mm, dan model tunggal ditemukan dalam distribusi frekuensi diameter telur. Distribusi oocyte belum berkembang secara acak, dan oogonia jarang ditemukan.

• Fase menuju matang gonad (maturing) : indung telur menjadi lebih besar dan kekuning-kuningan. Rata-rata diameter oocyte < 0,4 mm. Model tunggal juga ditemukan dalam distribusi frekuensi diameter telur.

• Fase matang gonad (mature) : indung telur sangat gembung dan kekuning-kuningan, dan telur tembus cahaya. Diameter oocyte meningkat secara pesat. Umumnya diameter oocyte yang ditemukan 0,6 – 0,9 mm. Ada dua model dalam distribusi frekuensi diameter telur, yang lebih kecil pada 0,2 mm dan satunya lagi pada 0,7 mm.

• Fase setelah matang gonad (spent) : indung telur kecil dan lembut. Beberapa oocyte yang besar tidak dikeluarkan, ditemukan dekat kloaka. Diameter oocyte > 0,6 mm. Oocyte ini secara normal akan diserap kembali, indeks kematangan gonad berkisar antara 0,022 – 0,0395.

2.3.3 Nisbah kelamin

Nisbah kelamin merupakan perbandingan ikan jantan dan ikan betina dalam suatu populasi, dengan kondisi nisbah kelamin yang ideal yaitu rasio 1:1 (Bal dan Rao, 1984). Perbedaan nisbah kelamin juga dapat dilihat dari tingkah laku pemijahan, yang

(25)

dapat berubah menjelang dan selama pemijahan. Pada ikan yang melakukan ruaya untuk memijah terjadi perubahan nisbah jantan dan betina secara teratur, yaitu pada awalnya ikan jantan lebih banyak kemudian nisbah kelamin berubah menjadi 1:1 lalu diikuti ikan betina lebih banyak (Nikolsky, 1963).

2.3.4 Diameter telur

Diameter telur adalah garis tengah atau ukuran panjang sebuah telur yang diukur dengan mikrometer berskala yang sudah ditera dan dilihat dibawah mikroskop. Diameter telur semakin besar pada tingkat kematangan gonad yang lebih tinggi terutama saat mendekati waktu pemijahan (Johnson in Effendie, 2002). Selain itu,

adanya ukuran diameter telur yang beragam setiap spesies ikan dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan, ketersediaan makanan dan umur (Chamber dan Leggett, 1996)

Menurut Effendie (2002) ukuran telur biasanya dipakai untuk menentukan kualitas kandungan kuning telur, telur yang berukuran besar akan menghasilkan larva yang berukuran yang lebih besar daripada telur yang berukuran kecil. Lama penijahan dapat diduga dari frekuensi ukuran diameter telur. Diameter telur digunakan untuk melihat frekuensi pemijahan dari ikan-ikan dengan TKG III dan IV.

2.3.5 Kualitas telur

Ada empat komponen dominan pada telur yaitu chorion, ruang perivetelin (perivetelliene space/PVS), kuning telur (yolk) dan OML (ovoplasm minus lipid)

(Vestergaard, 2002). Perbandingan komposisi kualitas telur dapat dibandingkan dengan kandungan lemak di jaringan tubuh. Definisi kualitas telur yang umum digunakan adalah kemampuan telur untuk menghasilkan benih yang baik. Potensi telur untuk menghasilkan benih yang baik ditentukan oleh beberapa faktor, yakni faktor fisik, genetik dan kimia selama terjadi proses perkembangan telur. Jika satu dari faktor esensial ini tidak ada maka telur tidak berkembang dalam beberapa stadia. Beberapa indikator kualitas telur adalah pembuahan, morfologi, ukuran dan kandungan kimia (Utiah, 2006).

(26)

Kondisi telur sangat menentukan bagaimana keberhasilan suatu proses rekrutmen. Watanabe (2009) menyatakan bahwa kegagalan rekrutmen disebabkan tingginya laju kematian (mortalitas) setelah tahap awal memakan. Selain itu, tingkat mortalitas larva disebabkan oleh adanya predator dan kondisi lingkungan yang buruk. Chambers dan Leggett (1996) menyatakan ukuran telur ikan capelin (Malotus villosus)

dan kemampuan larva untuk tetap bertahan dari kelaparan berhubungan langsung dengan kondisi dan kandungan lemak induk ikan betina.

Material yang diperlukan selama perkembangan secara umum dapat dibagi menjadi 1) diperlukan secara langsung untuk sintesis jaringan embrionik, dan 2) digunakan untuk energi metabolisme. Kadar protein, lipid dan karbohidrat berkorelasi positif terhadap kelangsungan hidup larva. Protein merupakan komponen dominan kuning telur, sedangkan jumlah dan komposisinya menentukan besar kecilnya ukuran telur (Kamler, 1992 in Utiah, 2006).

III. METODE PENELITIAN

(27)

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2009. Lokasi pengambilan ikan contoh adalah tempat pendaratan ikan (TPI) Palabuhanratu. Analisis contoh dilakukan di Laboratorium Ekobiologi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Berikut ini disajikan peta lokasi pengambilan ikan contoh pada Gambar 4.

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan, yaitu alat bedah, botol sampel, penggaris dengan ketelitian 1 mm, timbangan digital untuk menimbang berat ikan (ketelitian 0,01 g), timbangan digital untuk menimbang berat gonad (ketelitian 0,0001 g), mikroskop,

(28)

cawan petri dan pipet tetes, mikrometer okuler, mikrometer objektif, gelas objek, gelas ukur kapasitas 10 ml. Preparat histologi menggunakan mikrotom, oven, gelas objek dan gelas penutup.

Bahan yang digunakan adalah ikan Bilis (T. hamiltonii), larutan Bouin larutan

formalin dengan konsentrasi 10% untuk mengawetkan ikan contoh, sedangkan untuk mengawetkan gonad menggunakan larutan formalin formalin 4%.

3.3 Metode Kerja

3.3.1 Pengambilan ikan contoh

Pengambilan ikan contoh dilakukan di tempat pelelangan ikan (TPI) satu kali dalam sebulan selama waktu penelitian. Pengukuran panjang dan berat diukur langsung di tempat. Kemudian ikan contoh dianalisis di laboratorium terutama pada ikan betina, yang sebelumnya diawetkan terlebih dahulu dengan formalin 10% dan diawet segar untuk analisis proximat.

3.3.2 Pengamatan ikan contoh di laboratorium 3.3.2.1 Panjang dan berat total

Panjang total ikan diukur dari ujung kepala terdepan sampai ujung sirip ekor paling belakang menggunakan penggaris dengan ketelitian 0,1 mm. Berat total ikan didapat dengan menimbang berat seluruh tubuh ikan pada timbangan digital (ketelitian 0,01 g).

3.3.2.2 Jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad (TKG)

Jenis kelamin diduga berdasarkan pengamatan gonad ikan contoh (Tabel 1). Tingkat kematangan gonad ditentukan menggunakan klasifikasi tingkat kematangan gonad menurut penelitian yang dilakukan oleh Ismail (2006) (Tabel 1).

Tabel 1. Klasifikasi tingkat kematangan gonad ikan tembang (Clupea platygaster)

menurut Ismail (2006).

TKG Jantan Betina

I Testis seperti benang dengan warna putih susu.

Bentuk ovari seperti benang, butiran telur belum dapat dibedakan. Panjang gonad

(29)

bervariasi antara – panjang rongga tubuh.

II Ukuran testis lebih besar, bentuk lebih jelas dari TKG I.

Terdapat jaringan bewarma putih susu, telur masih menyatu dan belum dapat dipisahkan. Panjang gonad bervariasi antara – dari panjang rongga tubuh.

III Ukuran testis semakin besar, bewarna putih kekuningan dan lebih jelas dibanding TKG III. Permukaan gonad tidak rata (berlekuk-lekuk), ujung posterior bergerigi.

Ukuran lebih besar, pada bagian anterior melebar dan bagian posterior meruncing, telur sudah dapat dipisahkan, bewarna lebih gelap. Panjang gonad bervariasi antara – dari panjang rongga tubuh.

IV Ukuran testis besar, warna testes putih, pejal dan gerigi semakin besar.

Diameter telur semakin besar dan jelas terlihat dibawah mikroskop, semua telur bewarna kuning. Panjang gonad bervariasi antara – dari panjang rongga tubuh. V Permukaan testes berkerut, warna putih susu

dan berbentuk kurang pejal dibanding dengan TKG IV.

Ovarium berkerut, butiran telur sisa terkumpul di posterior, ovarium bewarna kemerah-merahan.

3.3.2.3 Indeks kematangan gonad (IKG)

Untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada gonad, tingkat perkembangan ovarium, secara kuantitatif dapat dinyatakan dengan suatu Indeks Kematangan Gonad (IKG) yaitu suatu nilai dalam persen sebagai hasil perbandingan berat gonad dengan berat tubuh ikan dikalikan 100 persen (Effendie, 1979 in Hadiaty, 2000).

IKG = Wg / W x 100%

Wg = berat gonad ; W = berat tubuh

3.3.2.4 Fekunditas

Fekunditas dihitung hanya pada ovarium TKG III dan IV. Terlebih dahulu ovarium dikeluarkan dari tubuh ikan, kemudian diawetkan dengan formalin (konsentrasi 4%) dan dimasukan dalam larutan fisiologis. Dalam penghitungan, telur diambil dari 3 bagian ovarium yaitu bagian anterior, median, dan posterior yang sebelumnya telah di keringkan dan ditimbang (berat telur contoh). Telur diencerkan

(30)

dalam aquades 10 ml lalu telur diambil dengan pipet sebanyak 1 ml, tempatkan telur dalam cawan petri kemudian hitung jumlah telur sebagai jumlah telur contoh.

3.3.2.5 Diameter telur

Diameter telur dilihat hanya dari ovarium TKG IV. Diambil 100 butir/ekor ikan contoh dari fekunditasnya. Kemudian diamati menggunakan mikroskop dengan perbesaran 10X10 yang dilengkapi dengan mikrometer okuler yang telah ditera dengan mikrometer objektif, lalu dicatat diameter telurnya.

3.4 Analisis data

3.4.1 Aspek Pertumbuhan

3.4.1.1 Sebaran frekuensi panjang

Untuk mengetahui sebaran frekuensi panjang ikan (Walpole, 1995) diikuti tahapan-tahapan :

a. Menentukan wilayah kelas, r = pb-pk (r = wilayah kelas, pb = panjang terbesar, pk = panjang terkecil).

b. Menentukan jumlah kelas 1 + 3,32 log N (N = jumlah data).

c. Menghitung lebar kelas, L = r / jumlah kelas (L = lebar kelas, r = wilayah kelas).

d. Memilih ujung bawah kelas interval

e. Menentukan frekuensi jumlah masing-masing selang kelas yaitu jumlah frekuensi dibagi jumlah total dikalikan 100%.

Parameter pendugaan untuk mendapatkan nilai panjang maksimum (Linf) dan koefisien pertumbuhan menggunakan perhitungan yang dilakukan dengan bantuan program FISAT (FAO-ICLARM Stock Assesment Tools) II versi 1.2.2. Penentuan laju

eksploitasi (E) berdasarkan data ukuran panjang ikan yang dicatat di lapangan setiap pengambilan contoh ikan. parameter-parameter laju mortalitas yang meliputi laju mortalitas total (Z) digunakan model Beverton dan Holt berbasis data panjang dengan model sebagai berikut :

(31)

) (L"-L' ) L" -(L∞ = K Z Keterangan :

K : koefisien pertumbuhan (per tahun) L∞ : panjang asimtotik (mm)

L’’ : panjang rata-rata ikan yang tertangkap (mm)

L’ : batas bawah dari interval kelas panjang tangkapan terbanyak (mm) Z : laju mortalitas total (pertahun)

3.4.1.2 Hubungan panjang-berat

Pola pertumbuhan ikan dapat diduga dengan melihat hubungan panjang dan berat (Effendie, 1979). Analisis panjang dan berat bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan di alam. Hubungan panjang berat digunakan persamaan eksponensial sebagai berikut (Lagler, 1972) :

W = aL

b

Keterangan :

W : berat total ikan (gram) L : panjang total ikan (mm) a dan b : konstanta hasil regresi

Untuk mempermudah perhitungan maka persamaan di atas dilogaritmakan sehingga menjadi persamaan linear sebagai berikut :

log W = log a + b log L

Hubungan panjang berat dapat dilihat dari nilai konstanta b, bila b = 3 maka hubungannya bersifat isometrik (pertambahan panjang sebanding dengan pertambahan berat). Bila n ≠ 3 maka hubungan yang terbentuk adalah allometrik, jika b > 3 maka hubungannya bersifat allometrik positif (pertambahan berat lebih dominan dari pertambahan panjangnya), sedangkan bila b < 3 maka hubungan yang terbentuk

(32)

bersifat allometrik negatif (pertambahan panjang lebih dominan dari pertambahan beratnya).

Untuk menentukan bahwa nilai b = 3 atau tidak sama dengan 3, maka digunakan uji-t, dengan rumus (Walpole, 1995) :

Thit = Sb 3 − β hipotesa :

Ho : β = 3 pola pertumbuhan isometrik

H1 : β≠ 3 pola pertumbuhan allometrik

Keterangan :

β = Nilai X variabel dari tabel anova Sb = Simpangan baku

Selanjutnya Thit yang didapat akan dibandingkan dengan Ttabel pada selang

kepercayaan 95%. Jika Thit > Ttabel, maka tolak Ho, dan sebaliknya jika Thit < Ttabel,

maka terima Ho.

3.4.1.3 Faktor kondisi

Menurut Effendie (2002) faktor kondisi dapat ditentukan berdasarkan panjang dan berat ikan contoh. Rumus yang digunakan untuk mengetahui faktor kondisi dibedakan berdasarkan pola pertumbuhan.

Apabila ikan memiliki pola pertumbuhan allometrik (b≠3), maka rumus yang digunakan adalah :

b

aL W

K =

Ikan yang memiliki pola pertumbuhan isometrik (b=3), maka rumus yang digunakan adalah : W L K 3 5 10 = Keterangan : K : faktor kondisi

(33)

L : panjang ikan (mm) W : berat ikan (gram) a dan b : konstanta hasil regresi 3.4.2 Aspek reproduksi

3.4.2.1 Fekunditas

Fekunditas ikan ditentukan dengan menggunakan metode gabungan antara metode grafimetrik dan metode volumetrik dengan menggunakan rumus (Effendie, 1979) :

Keterangan :

F = fekunditas (butir) G = berat gonad total (g) V = volum pengenceran (ml)

X = jumlah butir telur yang ada dalam 1 ml Q = berat telur contoh (g)

Kemudian dilihat hubungan fekunditas dengan panjang total tubuh ikan dengan rumus :

Keterangan :

F = fekunditas L = panjang total ikan (mm) a dan b = konstanta

Persamaan tersebut ditransformasikan kedalam persamaan logaritma sehingga diperoleh bentuk linear atau persamaan garis lurus :

Log F = Log a + b Log L Keterangan :

F = fekunditas Log a = y

Log b = x

Hubungan fekunditas dengan berat total tubuh ikan dilihat dengan rumus : Keterangan :

(34)

F = fekunditas

W = berat total ikan (g) a dan b = konstanta

Persamaan tersebut ditransformasikan ke dalam persamaan logaritma sehingga diperoleh bentuk linear atau persamaan garis lurus :

Log F = Log a + b Log W Keterangan :

F = fekunditas Log a = y

Log b = x

Keeratan hubungan antara panjang total ikan dan berat total ikan dengan fekunditas diketahui dengan mencari koefisien korelasi (r).

3.4.2.2. Indeks kematangan gonad dan tingkat kematangan gonad

Nilai indeks kematangan gonad (IKG) dapat diketahui dengan menggunakan rumus menurut Effendie (1979) :

Keterangan :

IKG = indeks kematangan gonad Bg = berat gonad (g)

Bt = berat tubuh total (g)

Penentuan tingkat kematangan gonad (TKG) dilakukan terhadap semua ikan contoh yang diambil. Sementara untuk menduga ukuran pertama kali ikan matang gonad berdasarkan selang kelas dimana terdapat ikan yang memiliki tingkat kematangan gonad yang matang yakni gonad TKG IV dengan menggunakan rumus, Rumus Spareman Karber :

(35)

Keterangan:

Xi = log nilai tengah pada saat ikan matang gonad X = selisih log nilai tengah kelas

Pi = Nb / Ni

Nb = jumlah ikan matang gonad pada kelas ke-i Ni = jumlah ikan pada kelas ke-i

Qi = 1 – Pi

3.4.2.3 Nisbah kelamin

Keterangan : M = jumlah ikan jantan (ekor) F = jumlah ikan betina (ekor)

Keseragaman sebaran nisbah kelamin dilakukan dengan uji “Chi-Square

(Steel dan Torrie, 1980).

Keterangan : Oi = frekuensi ikan jantan dan betina yang diamati ke-i

ei = frekuensi harapan yaitu frekuensi ikan jantan + frekuensi ikan betina dibagi dua

X2 = nilai peubah acak X2 yang sebaran penarikan contohnya menghampiri sebaran Chi-square

3.4.2.4 Kadar protein (cara Kjeldahl in AOAC 2005) Rumus menghitung kadar protein :

% N = vol.blanko- vol.titrasi NaOH sampel x N NaOH x 100% x 14.00 gram sampel x 1000

(36)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Lingkungan Teluk Palabuhanratu

Perairan Palabuhanratu merupakan perairan berbentuk teluk yang terletak di sebelah Selatan Jawa Barat. Secara geografis berada pada 6057 – 7025 LS dan 106049’ – 107000’ BT. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan setempat, terdapat empat periode musim penangkapan, yaitu musim barat (Desember-Februari), musim timur (Juni-Agustus), dan dua periode musim peralihan (pancaroba). Musim peralihan terdiri atas musim utara (Maret-Mei) merupakan peralihan dari musim barat ke musim timur dan musim selatan (September-Nopember) yang merupakan musim peralihan dari musim timur ke musim barat. Periode musim barat merupakan musim hujan dimana kondisi perairan relatif buruk sehingga sebagian besar nelayan tidak melaut. Periode musim timur merupakan musim kemarau dimana kondisi perairan relatif lebih tenang sehingga nelayan banyak turun ke laut untuk melakukan penangkapan ikan.

Secara umum suhu permukaan air laut di Teluk Palabuhanratu berkisar antara 27 – 300C dan ini merupakan kisaran suhu yang optimum bagi pertumbuhan ikan tropis. Arus di Teluk Palabuhanratu dipengaruhi oleh arus musim di pantai selatan Jawa (Hartami, 2008). Berdasarkan hasil penelitian Atmadipoera et al. (1994) in Wiyono

(2001) bahwa kecepatan arus permukaan maksimum di Teluk Palabuhanratu adalah sekitar 1,28 m/detik dengan arah timur-tenggara. Gelombang besar terjadi selama musim Barat, sedangkan selama musim Timur kondisi perairan Palabuhanratu relatif tenang. Menurut BLH Kabupaten Sukabumi dan PKSPL-IPB (2003) in Wahyudin

(2005) bahwa kondisi kualitas air di Teluk Palabuhanratu tergolong bagus tercermin dari penampakan air yang bening dan kecerahan cahaya matahari dapat menembus perairan mencapai 6-7 meter.

4.2 Aspek Pertumbuhan

4.2.1 Sebaran frekuensi panjang ikan bilis (T. hamiltonii) hasil tangkapan

Berdasarkan 3 kali pengambilan ikan contoh yang dilakukan per bulan selama tiga bulan, dari bulan Mei - Juli. Pada Gambar 5 terlihat jumlah ikan contoh pada bulan Mei yang didapat sejumlah 200 ekor untuk diukur panjang dan beratnya, kemudian

(37)

diambil sebanyak 45 ekor untuk dianalisis di laboratorium. Pada bulan Juni dan Juli didapatkan sejumlah 44 ekor dan 43 ekor untuk diukur panjang dan beratnya, kemudian masing-masing setiap bulannya diambil sebanyak 30 ekor untuk dianalisis di laboratorium. Penurunan jumlah ikan bilis yang tertangkap disebabkan karena sedikitnya jumlah nelayan yang melakukan aktivitas penangkapan pada bulan Juni-Juli. Hal ini dikarenakan kondisi laut yang tidak memungkinkan nelayan untuk menangkap ikan pada bulan tersebut. Keseluruhan ikan contoh yang didapatkan adalah sebesar 287 ekor untuk diukur panjang dan beratnya, dan 105 ekor untuk dianalisis di laboratorium.

Gambar 5. Sebaran jumlah ikan bilis selama bulan pengamatan (Mei-Juli)

(38)

Berdasarkan grafik sebaran frekuensi panjang (Gambar 6) ikan bilis (T. hamiltonii) yang tertangkap memiliki kisaran panjang 82-157 mm. Pada bulan Mei

ukuran panjang minimum yang didapat adalah 82 mm dan ukuran panjang maksimum 130 mm. Pada bulan Juni dan Juli secara berturut-turut ukuran panjang terkecil yang diperoleh adalah sebesar 108 mm dan 98 mm dan ukuran panjang terbesarnya adalah 157 mm dan 135 mm. Dengan bantuan program FISAT (FAO-ICLARM Stock Assesment Tools) II versi 1.2.2. dengan berbasis data panjang didapat nilai panjang

maksimum yang mampu dicapai ikan bilis (T. hamiltonii) adalah sebesar (L∞) 161.7

mm dengan koefisien pertumbuhan (K) sebesar 0.55. Sedangkan menurut Gray (1835) ikan Bilis dapat mencapai panjang maksimum hingga 222 mm. Hal ini dapat mengidentifikasi bahwa ikan ini sudah mengalami perubahan struktur populasi.

Gambar 6 juga memperlihatkan adanya pergeseran modus kelas panjang dari bulan Mei hingga Juli. Pada bulan Mei modus kelas panjang berada pada selang kelas 102-105 mm, kemudian pada bulan Juni modus bergeser ke kanan pada selang kelas 118-121 mm dan pada bulan Juli modus kelas panjang kembali bergeser ke kanan pada selang kelas 122-125 mm. Pergeseran modus kelas panjang ini mengindikasikan adanya pertumbuhan ikan bilis. Pertumbuhan tersebut diduga karena perbedaan musim yang terjadi. Hal ini didukung oleh pernyataan Bishop (1973) bahwa suhu air dapat merangsang dan mempengaruhi pertumbuhan organisme perairan serta mempengaruhi oksigen terlarut untuk respirasi. Setiap organisme mempunyai suhu maksimum, optimum dan minimum untuk kehidupannya. Sehingga dari pengamatan dapat diindikasikan bahwa ikan Bilis memiliki waktu pertumbuhan optimum pada bulan Juli. 4.2.2. Hubungan panjang berat

Hubungan panjang-berat ikan bilis adalah W = 7x10-7 L3,449 dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,827. Hal tersebut berarti bahwa model dugaan mampu menjelaskan data sebesar 82,7% (Walpole, 1995). Dari nilai b yang diperoleh dan setelah dilakukan uji t (α = 0,05) diketahui bahwa ikan bilis memiliki pola pertumbuhan allometrik positif yang berarti bahwa pertambahan berat lebih cepat daripada pertambahan panjangnya seperti yang terlihat pada Gambar 7. Pola

(39)

pertumbuhan tersebut terkait erat dengan faktor lingkungan seperti suhu, jumlah dan kualitas makanan yang dicerna, umur (Moyle dan Cech, 1988). Selain itu diperoleh hubungan yang erat antara panjang-berat melalui nilai koefisien korelasi (r). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pertambahan panjang ikan diikuti dengan pertambahan bobotnya. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor musim (suhu) dan stok makanan yang ada di daerah penangkapan ikan Bilis. Pernyataan tersebut didukung oleh Effendie (2002) yang menyatakan pertumbuhan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor dalam seperti keturunan, umur, jenis kelamin, hormon dan penyakit; serta faktor luar seperti suhu perairan dan makanan.

Gambar 7. Hubungan panjang dan berat

4.2.3 Faktor kondisi

Penentuan nilai faktor kondisi didasarkan pada pola pertumbuhan. Pola pertumbuhan ikan Bilis yang ditemukan selama waktu penelitian bersifat allometrik positif. Kisaran nilai faktor kondisi ikan jantan dan betina ikan Bilis di tiap bulan penelitian disajikan pada Tabel 2.

(40)

Tabel 2. Faktor kondisi ikan Bilis (T. hamiltonii) jantan dan betina yang tertangkap di

Teluk Palabuhanratu Bulan

Betina Jantan N Kisaran rata-rata Sb N Kisaran Rata-rata Sb

Mei 19 0.97-1.47 1.19 0.11 26 0.88-1.37 1.15 0.11

Juni 18 0.81-1.25 1.06 0.12 12 0.96-1.18 1.07 0.06

Juli 13 0.87-1.22 1.03 0.11 17 0.77-1.18 0.93 0.10

Ket : Sb = Simpangan baku

Nilai rata-rata faktor kondisi tertinggi ikan jantan dan betina terjadi pada bulan Mei. Berdasarkan jenis kelamin ditemukan bahwa nilai faktor kondisi rata-rata ikan betina pada bulan Mei dan Juli lebih besar dari ikan jantan. Hal ini menunjukkan bahwa ikan bilis betina pada waktu tersebut lebih montok dari pada ikan jantan. Sementara pada bulan Juni ditemukan hal yang sebaliknya. Nilai faktor kondisi rata-rata ikan betina lebih besar dari ikan jantan. Hal ini dapat dipahami karena bobot gonad ikan betina cenderung lebih berat dari pada gonad ikan jantan akibatnya bobot ikan betina lebih besar dari bobot ikan jantan dan selanjutnya berpengaruh terhadap nilai faktor kondisi. Nilai faktor kondisi ikan betina dan jantan yang tertangkap di Teluk Palabuhanratu menurun setiap bulannya (Gambar 8 dan Gambar 9).

(41)

Gambar 9. Sebaran Faktor kondisi ikan Bilis (T. hamiltonii) jantan

Nilai faktor kondisi terbesar terdapat pada bulan Mei yaitu sebesar 1.19 (betina) dan 1.15 (jantan). Perbedaan nilai faktor kondisi tiap bulannya dapat menggambarkan faktor lingkungan mempengaruhi pertumbuhan ikan. Variasi faktor kondisi ini dipengaruhi adanya kepadatan populasi, tingkat kematangan gonad, ketersediaan makanan, jenis kelamin, dan umur (Effendi 1979). Faktor kondisi digunakan untuk menentukan kecocokan lingkungan dan membandingkan berbagai tempat hidup ikan. Kondisi dimana faktor kondisi ikan betina lebih besar dari ikan jantan ini dijumpai pada ikan L. splendens di perairan Teluk Labuan (Saadah, 2000), ikan tunisi Pristipomoides filamentosus, Valenciennes 1830 di Teluk Palabuhanratu (Susanto,

2006).

Berdasarkan Gambar 10 kita dapat melihat nilai faktor kondisi berdasarkan selang kelas panjang total. Dari gambar tersebut didapat faktor kondisi terkecil sebesar 0.8924, yaitu pada selang kelas panjang 138-141 mm sedangkan nilai terbesar ada pada selang kelas panjang 102-105 mm sebesar 1.2649. Menurut Lagler (1972) dengan meningkatnya ukuran ikan maka nilai faktor kondisinya akan bertambah. Namun pada penelitian ini hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan pernyataan tersebut. Hal ini diduga karena adanya faktor lingkungan, sehingga mempengaruhi faktor kondisi ikan.

(42)

Gambar 10. Nilai faktor kondisi berdasarkan selang kelas panjang betina.

Tabel 3 menunjukkan hubungan faktor kondisi dengan tingkat kematangan gonad pada ikan bilis (T. hamiltonii) betina. Terlihat bahwa nilai faktor kondisi rata-rata

meningkat seiring dengan perkembangan gonad (TKG). Dengan berkembangnya gonad maka ukuran gonad juga akan semakin bertambah, sehingga akan mempengaruhi bobot dari ikan. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya bobot ikan maka nilai faktor kondisinya akan bertambah dengan asumsi faktor lain tidak ada yang mempengaruhi (Lagler,1972).

Tabel 3. Hubungan faktor kondisi dengan tingkat kematangan gonad ikan bilis (T. hamiltonii) betina.

TKG Jumlah Kisaran FK FK rata-rata Simpangan baku

I 1 - 0.9746 -

II 23 0.8133-1.2647 1.0712 0.123227

III 13 0.8956-1.4685 1.1405 0.139902

(43)

4.3 Aspek Reproduksi 4.3.1 Nisbah kelamin

Perbandingan ikan jantan dan ikan betina dalam suatu populasi, dengan kondisi nisbah kelamin yang ideal yaitu rasio 1:1 (Bal dan Rao, 1984). Data perbedaan nisbah kelamin ini selanjutnya digunakan untuk menduga tingkah laku pemijahan. Data nisbah kelamin ikan bilis yang diamati dapat terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Rasio kelamin Bulan Jumlah  contoh  Jumlah  Jantan Jumlah  Betina Rasio  kelamin  Mei  45 26 19 1,3684  Juni  30 12 18 0,6667  Juli  30 17 13 1,3077  Jumlah  105 55 50 1,1 

Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa rasio kelamin ikan contoh yang di dapat selama penelitian terjadi perubahan rasio, pada bulan Mei rasio kelamin yang diperoleh sebesar 1,3684 (jantan lebih banyak dibandingkan betina), sedangkan pada bulan Juni diperoleh rasio kelamin sebesar 0,6667 yang berarti betina lebih banyak dibandingkan jantan, dan pada bulan Juli jumlah jantan kembali lebih banyak dibandingkan jumlah betina dengan rasio kelamin sebesar 1,3077. Terjadi penyimpangan rasio kelamin dari batas ideal (1:1), Selain itu penyimpangan rasio kelamin ditemukan juga pada ikan kresek Thryssa mystax (Fatimah, 2006). Penyimpangan yang terjadi dari pola 1:1

disebabkan oleh pola tingkah laku bergerombol antara jantan dan betina, perbedaan laju mortalitas dan pertumbuhan, pola distribusi yang disebabkan oleh ketersediaan makanan, kepadatan populasi, tingkat kematangan gonad, dan keseimbangan rantai makanan (Bal dan Rao, 1984; Effendie, 2002).

4.3.2 Tingkat Kematangan Gonad

Pengamatan tingkat kematangan gonad ikan betina dilakukan dengan dua cara yaitu cara morfologi dan cara histologis. Sedangkan pada ikan jantan pengamatan hanya dilakukan dengan cara morfologi saja yaitu dengan melihat perkembangan gonad dari

(44)

penampakan luarnya seperti warna, bentuk dan ukuran. Hal ini dikarenakan penelitian ini lebih difokuskan terhadap ikan betina.

Tahap perkembangan kematangan gonad ikan betina baik secara morfologis maupun secara histologis dapat terlihat pada Gambar 11, yaitu sebagai berikut :

Tahap I : Awal pertumbuhan (Tidak Masak)

Secara morfologi ovarium berbentuk memanjang. Ukuran sel telur relatif kecil dan belum terlihat jelas oleh mata telanjang. Secara histologis, ovarium didominasi oleh oogonium dan dijumpai telah adanya oosit primer hasil dari perkembangan oogonium. Belum dilapisi selaput folikel. Inti sel (nukleus) terletak di tengah dan bentuknya bulat serta dikelilingi oleh sitoplasma.

Tahap II : Berkembang (Tidak Masak)

Secara morfologi, ovarium berwarna merah jambu, pembuluh darah masih belum terlihat jelas. Ovarium berwarna lebih kuning dari pada TKG I. Sel telur masih belum terlihat jelas oleh mata telanjang. Secara histologis, Ovarium didominasi oleh oosit primer, masih ditemukan oogonium, terlihat adanya lapisan folikel. Tahap awal terjadinya proses vitellogenesis.

Tahap III : Dewasa (Hampir Masak)

Secara morfologi, ovarium berwarna merah jambu sampai kekuningan, butir telur sudah dapat dilihat oleh mata telanjang namun diameternya lebih kecil dan pembuluh darah mulai terlihat. Secara histologis, oogonium dan oosit sekunder masih ditemukan dan oosit sekunder berkembang menjadi oosit. Butir kuning telur (yolk egg)

dan vakuola minyak terlihat jelas yang menyebar dari sekitar nukleus yang mengarah ke tepi.

Tahap IV : Matang (Masak)

Secara morfologi, ovarium makin membesar berwarna kuning kemerah-merahan, pembuluh darah jelas, telur terlihat jelas, keadaan telur masak berukuran besar berwarna terang. Secara histologis, Ovarium didominasi oleh ovum, inti sel terlihat jelas, butir minyak tersebar di sekitar inti sel.

(45)

Gambar 11. Histologis Gonad TKG I, II, III, dan IV ikan Bilis (T. hamiltonii) Keterangan : N = Nukleus; Si = Sitoplasma; Os = oosit; Ot = Ootid; Ov = Ovum; Bm = Butir

minyak; Bk = butir kuning telur

Berdasarkan perkembangan gonad betina secara histologis terlihat bahwa ikan T. hamiltonii memiliki tipe perkembangan oosit group-synchronous yaitu ovarium

memiliki dua kelompok oosit dengan tingkat kematangan yang berbeda (Murua, 2003). Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa ikan bilis sedang dalam musim pemijahan pada waktu penelitian dan mengalami puncak pemijahan pada bulan Mei. Hal ini terlihat dari ikan hasil tangkapan pada bulan Mei yang didominasi oleh ikan yang matang gonad (TKG IV).

Berdasarkan Gambar 12, yaitu frekuensi TKG ikan bilis betina yang tertangkap di teluk Palabuhanratu bulan Mei - Juli dengan menggunakan kelompok ukuran panjang, terlihat ikan Bilis betina TKG IV ditemukan pertama kali pada kelas ukuran 110-113 mm. Terlihat tingkat kematangan gonad yang lebih besar didapat pada ikan dengan

(46)

ukuran panjang yang juga makin besar. Dengan mengetahui TKG ikan, kita selanjutnya dapat mengetahui perbandingan antara ikan yang berada diperairan, ukuran atau unsur ikan pertama kali matang gonadnya, dan apakah ikan sudah memijah atau belum (Nikolsky, 1963).

Gambar 12. TKG ikan bilis betina berdasarkan selang kelas panjang

(47)

Persentase TKG ikan pada tiap bulan ditunjukan pada Gambar 13. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa selama penelitian, ikan bilis betina dengan TKG IV ditemukan disetiap bulannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa musim pemijahan ikan bilis adalah sepanjang tahun. Jumlah ikan betina yang teridentifikasi tingkat kematangan gonadnya sebanyak 50 ekor, yaitu TKG I ditemukan sebanyak 1 ekor , TKG II sebanyak 23 ekor, TKG III sebanyak 13 ekor, dan TKG IV sebanyak 13 ekor. Persentase terbesar ditemukannya gonad betina TKG IV terdapat pada bulan Mei yaitu sebesar 36.8421%, sebanyak 7 ekor dari 19 ekor ikan yang dibedah. Ada dua faktor yang mempengaruhi perkembangan gonad, yaitu faktor lingkungan dan hormon (Affandi dan Tang 2000).

Untuk mengetahui ukuran pertama kali matang gonad, data TKG diolah dengan menggunakan rumus Spareman Karber (Lampiran 8). Sehingga didapatkan ukuran pertama kali matang gonad pada selang kelas 126-129 mm yaitu pada ukuran 127.9875±0.0131. Hasil penelitian Juraida (2004) menunjukan ukuran pertama kali matang gonad ikan tetet betina sebesar 86-100 mm. Perbedaan ukuran ikan pertama kali matang gonad ini dipengaruhi beberapa faktor, yaitu faktor luar dan faktor dalam. Beberapa faktor yang diduga dapat menjadi penyebab perbedaan pencapaian ukuran pertama kali matang gonad, seperti sifat genetik populasi, perbedaan letak wilayah (latitude), kualitas perairan, dan besarnya tekanan penangkapan. Selain itu kematangan

gonad berhubungan dengan pertumbuhan dan faktor lingkungan terutama ketersediaan makanan baik secara kualitas maupun kuantitas (Toelihere 1985 in Affandi dan Tang

2000). Effendie (1997) menyatakan faktor yang mempengaruhi pertama kali ikan matang gonad ada dua yaitu faktor luar seperti suhu dan arus serta faktor dari dalam seperti umur, jenis kelamin, sifat-sifat fisologis ikan seperti kemampuan beradaptasi dengan lingkungan serta ukuran.

4.3.3 Indeks kematangan gonad

Indeks kematangan gonad (IKG) merupakan nilai yang memberikan informasi mengenai perubahan yang terjadi dalam gonad. Nilai IKG ikan bilis betina TKG III di TPI Palabuhanratu pada bulan Mei berkisar antara 1,111% - 2,0%, sedangkan kisaran

(48)

pada bulan Juni adalah 1,2767% - 2,6667% dan pada bulan Juli berkisar antara 1,5% - 1,7%. Nilai IKG ikan bilis betina TKG IV di TPI Palabuhanratu pada bulan Mei berkisar antara 1,75% - 2,3077%, sedangkan kisaran pada bulan Juni adalah 1,9231% - 2,1053% dan pada bulan Juli 2,9286% . Gambar 14 menunjukkan bahwa secara keseluruhan rata-rata nilai IKG betina TKG IV lebih besar dari TKG III. Hal ini diduga karena perubahan IKG berkaitan erat dengan tahap perkembangan telur. Effendie (2002) mengatakan bahwa berat gonad akan mencapai maksimum saat ikan akan memijah dan nilai tersebut akan menurun dengan cepat selama pemijahan berlangsung sampai pemijahan selesai. Selain itu, meningkatnya tingkat kematangan gonad akan menyebabkan ukuran diameter telur berat gonad meningkat sehingga nilai IKG juga meningkat.

Gambar 14. Indeks kematangan gonad

4.3.4 Fekunditas

Fekunditas ikan bilis yang diamati didapat dari pengamatan ikan dengan TKG 3 dan TKG 4. Pada Tabel 5 terlihat bahwa fekunditas ikan bilis pada bulan Mei berkisar antara 288 – 1152 telur. Fekunditas minimum terjadi pada ikan dengan panjang 10,5 cm

(49)

dan berat 8 gram, sedangkan fekunditas maksimum terjadi pada ikan dengan panjang 12,5 dan berat 13. Hubungan fekunditas pada bulan Mei dengan panjang dan beratnya disajikan pada Gambar 13.

Tabel 5. Fekunditas T. hamiltonii pada bulan Mei

Panjang  10,5  10,3 10,8 12 12,5  11,9

Berat  8  9 8 12 13  13

fekunditas  288  486 507 567 1152  846

Berdasarkan hasil regresi pada bulan Mei fekunditas dengan panjang total tubuhnya (Gambar 15) diperoleh koefisien determinasi sebesar 0,694 di TPI Palabuhanratu, menunjukkan bahwa model tersebut dapat menjelaskan data sebesar 69,4%. Dari nilai koefisien determinasi tersebut didapat nilai koefisien korelasi sebesar 0,83 sehingga dapat disimpulkan bahwa hubungan antara fekunditas dengan panjang

tubuh di TPI Palabuhanratu sangat erat.

(50)

Dengan meregresikan fekunditas dengan berat tubuh ikan didapatkan koefisien determinasi sebesar 0,716, hal ini menunjukkan bahwa model tersebut dapat menjelaskan data sebesar 71,6%. Dari nilai koefisien determinasi tersebut didapat nilai koefisien korelasi sebesar 0,84 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara fekunditas dengan berat tubuhnya.

Berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa fekunditas ikan bilis pada bulan Juni berkisar antara 899-2280 telur. Fekunditas minimum terjadi pada ikan dengan panjang 12,6 cm dan berat 11 gram, sedangkan fekunditas maksimum terjadi pada ikan dengan panjang 15,7 dan berat 26. Hubungan fekunditas pada bulan Juni dengan panjang dan beratnya akan disajikan pada Gambar 16.

Tabel 6. Fekunditas T. hamiltonii pada bulan Juni

Panjang  12,6 12,5 15,7 14,3  13,5

Berat  11 12 26 19  19

fekunditas  898,8 1140 2280 1176,6  1536

Gambar 16. Grafik hubungan fekunditas dengan panjang dan berat (Juni 2009) Berdasarkan hasil regresi fekunditas dengan panjang total tubuh ikan (Gambar 16) diperoleh koefisien determinasi sebesar 0,735 yang menunjukkan bahwa model tersebut dapat menjelaskan data sebesar 73,5%. Dari nilai koefisien determinasi tersebut

(51)

didapat nilai koefisien korelasi sebesar 0,85  sehingga dapat disimpulkan bahwa

hubungan antara fekunditas dengan panjang tubuh di TPI Palabuhanratu sangat erat. Dengan meregresikan fekunditas dengan berat tubuh ikan didapatkan nilai koefisien determinasi yang sebesar 0,771 yang menunjukkan bahwa model tersebut dapat menjelaskan data hingga sebesar 77,1%. Dari nilai koefisien determinasi tersebut didapat nilai koefisien korelasi sebesar 0,88 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara fekunditas dengan berat tubuhnya. Apabila dibandingkan hasil – hasil regresi tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa pada bulan Juni fekunditas ikan bilis yang tertangkap di teluk Palabuhanratu lebih dipengaruhi oleh berat tubuh daripada panjang total tubuhnya.

Berdasarkan Tabel 7 terlihat bahwa fekunditas ikan bilis pada bulan Juli berkisar antara 1040-7339 telur. Fekunditas minimum terjadi pada ikan dengan panjang 11,6 cm dan berat 10 gram, sedangkan fekunditas maksimum terjadi pada ikan dengan panjang 12,1 dan berat 14. Hubungan fekunditas pada bulan Juli dengan panjang dan beratnya akan disajikan pada Gambar 17.

Tabel 7. Fekunditas T. hamiltonii pada bulan Juli

Panjang  11,6 12,1 12 

Berat  10 14 10 

fekunditas 1040,4 7339,2 1071 

Berdasarkan hasil regresi fekunditas dengan panjang total tubuh ikan (Gambar 17) diperoleh koefisien determinasi sebesar 0,444 yang menunjukkan bahwa model tersebut dapat menjelaskan data sebesar 44,4%. Dari nilai koefisien determinasi tersebut didapat nilai koefisien korelasi sebesar 0,67  sehingga dapat disimpulkan bahwa

hubungan antara fekunditas dengan panjang tubuh di TPI Palabuhanratu cukup erat. Dengan meregresikan fekunditas dengan berat tubuh ikan didapatkan nilai koefisien determinasi yang sebesar 0,999 yang menunjukkan bahwa model tersebut dapat menjelaskan data hingga sebesar 99,9%. Dari nilai koefisien determinasi tersebut

(52)

didapat nilai koefisien korelasi sebesar 0,99 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara fekunditas dengan berat tubuhnya.

Gambar 17. Grafik hubungan fekunditas dengan panjang dan berat (Juli 2009)

Apabila kita melihat hasil – hasil regresi tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara fekunditas ikan bilis yang tertangkap di teluk Palabuhanratu dengan panjang total tubuhnya dan hubungan yang sangat erat dengan berat tubuhnya. Sehingga kita dapat mengatakan bahwa fekunditas ikan Bilis (T. Hamiltonii) yang tertangkap di teluk Palabuhanratu dipengaruhi oleh berat dan panjang

tubuhnya. Hal ini didukung oleh Walker et al. (1998) in Stevens et al. (2000) yang

menyatakan fekunditas cenderung meningkat dengan ukuran tubuh yang besar, sehingga potensi reproduksi ikan berukuran besar lebih besar dibandingkan dengan ikan yang berukuran kecil. Selanjutnya Bagenal (1978) in Syandri (1996) yang menyatakan

bahwa pertambahan berat tubuh dan panjang ikan meningkatkan fekunditas secara linear.

(53)

4.3.5 Diameter telur

Diameter telur pada ikan Bilis hasil tangkapan Mei-Juli di Teluk Palabuhanratu memiliki nilai terkecil sebesar 0,2 mm dan nilai terbesarnya 0,67 mm. Berdasarkan Gambar 18, terlihat beberapa puncak pada grafik sebaran diameter sehingga dapat diduga bahwa ikan bilis mengeluarkan telur secara sebagian sewaktu memijah (partial spawner) dengan waktu pemijahan yang panjang dan terus menerus. Hal ini didasarkan

oleh ukuran telur yang berbeda-beda di dalam ovarium (Prabu, 1956 in Liana, 2003).

Gambar 18. Grafik sebaran diameter telur ikan Bilis (T. hamiltonii) pada TKG IV

Berdasarkan Gambar 19 terlihat bahwa diameter rata-rata telur ikan bilis rata-rata pada bulan Mei didapat sebesar 0.4153, sedangkan pada bulan Juni diameter rata-rata telur sebesar 0.3509 dan pada bulan Juli diameter rata-rata telur didapat sebesar 0.4743. Perkembangan diameter telur umumnya dikarenakan terjadinya akumulasi kuning telur selama proses vitelogenesis yang menyebabkan telur dari ukuran kecil menjadi besar (Utiah, 2006). Selain itu, adanya ukuran diameter telur yang beragam setiap spesies ikan dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan, ketersediaan makanan dan umur (Chambers dan Leggett, 1996; Scott 1979 in Syandri, 1996).

Gambar

Gambar 1. Skema perumusan masalah
Gambar 2. Ikan bilis (T. hamiltonii, Gray 1835)
Gambar 3. Hubungan panjang dan berat pada ikan (Effendie, 2002) Panjang (cm)
Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kamtibmas adalah Keamanan dan Ketertiban Masyarakat.. Daerah Kabupaten Grobogan Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Izin Gangguan dan kurangnya kesadaran pelaku usaha untuk

Uji korelasi Pearson yang dilakukan menunjukkan bahwa indeks kerentanan suatu genotipe atau varietas jagung berkorelasi positif nyata dengan jumlah keturunan baru dan

Model yang digambarkan dengan Algoritma Alpha++ untuk kasus requisition hingga payment, bottleneck terjadi pada place antara order ke invoice dan requisition ke

Analisis kondisi kesehatan warga di Rumah usiawan, UPT Dinas Sosial, Kab Mojokerto, Panti Werdha “Mojopahit”, Jl Raya Brangkal No 862, Sooko, Mojokerto,

Memasuki usianya yang ke-20, STAI Hubbulwathan Duri berkeinginan untuk menambah lagi program studi baru yakni Pendidikan Guru Raudhatul Athfal (PGRA). Program studi ini dipilih

Pihak Sekolah dan Komite Masih rendahnya &#34;&#34;4  yang ber+P(BS 1. Sosialisasi program Keluarga Sehat Sasaran Mengetahui *ndikator Keluarga sehat Pemda Setempat 2.

Penelitian kualitatif dalam hal ini adalah untuk mengidentifikasi lingkungan internal dan eksternal Perusahaan Daerah Kabupaten Natuna sehingga dapat mengetahui mengapa

Ada pun beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalkan atau memperbaiki penyalahkaprahan makna kata tersebut, antara lain (a) mewajibkan redaktur dan