• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. dari negara maka menjadi kewajiban bagi pemerintah melaksanakan pendaftaran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. dari negara maka menjadi kewajiban bagi pemerintah melaksanakan pendaftaran"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, atas dasar hak menguasai dari negara maka menjadi kewajiban bagi pemerintah melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut Undang-undang Pokok Agraria yang individualistik komunalistik religius, selain bertujuan melindungi tanah juga mengatur hubungan hukum hak atas tanah melalui penyerahan sertipikat sebagai tanda bukti hak atas tanah bagi pemegangnya, demikian juga dalam peralihan hak dengan jual beli atas tanah tersebut.

Orang perseorangan selaku subyek hak atas tanah, yaitu setiap orang yang identitasnya terdaftar selaku Warga Negara Indonesia atau Warga Negara Asing, berdomisili di dalam atau di luar wilayah Republik Indonesia dan tidak kehilangan hak memperoleh sesuatu hak atas tanah. Namun, untuk melakukan tindakan hukum dalam lalu-lintas hukum pertanahan tidak semua orang dapat melakukannya1 Misalnya anak di bawah umur sebagai ahli waris yang juga sebagai subjek hak atas tanah tersebut.

Di dalam ketentuan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, menyebutkan setiap peralihan hak atas tanah melalui jual-beli hanya dapat didaftarkan jika dapat dibuktikan dengan akta yang

1

S. Chandra, Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah, Persyaratan Permohonan Di Kantor Pertanahan, Gresindo, Jakarta, 2005, hal. 7.

(2)

dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Di mana, pendaftaran hak atas tanah ini menurut ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUPA yang merupakan pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan atas tanah tersebut.

Selanjutnya, dalam Pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, adanya larangan bagi PPAT untuk membuat akta jual beli atas tanah yang sudah terdaftar, jika kepadanya tidak disampaikan sertifikat asli hak yang bersangkutan atau sertifikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan.

Pemahaman dari ketentuan itu bahwa dalam peralihan hak dengan jual beli atas tanah harus dilihat kedudukan hak atas tanah itu, jika hak atas tanah tersebut sebagai milik bersama, maka semua yang berhak atas tanah itu harus setuju baru dilakukan jual beli.

Kecakapan seseorang dalam melakukan perbuatan hukum dikaitkan dengan dewasa secara fisik dalam hukum pertanahan bersandar kepada ketentuan Pasal 330 KUH Perdata yaitu “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan sebelumnya belum kawin”, hal ini dapat dimaklumi karena tidak tegas mengenai ketentuan umur dewasa dalam hukum, terutama hukum adat yang dapat dijadikan dasar pengaturannya.2

Sungguhpun demikian undang-undang juga memberikan pemecahan masalah ketika anak di bawah umur harus melakukan perbuatan hukum sendiri tanpa harus menggunakan lembaga perwakilan atau perwalian, yaitu dengan cara meniadakan keadaan belum dewasa bagi si anak, dengan syarat anak sudah mencapai umur 20

2

(3)

tahun dan telah ditetapkan pendewasaannya (handlichting) oleh Presiden berdasarkan rekomendasi Mahkamah Agung.3 Oleh karena itu dalam melakukan jual beli tanah bersertifikat milik bersama anak di bawah umur harus dilengkapi dengan Surat Penetapan dari Pengadilan. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 309 dan Pasal 393 KUH Perdata, pengalihan hak milik dari anak yang masih di bawah umur harus berdasarkan pada Penetapan dari Pengadilan.

Penetapan pengadilan adalah sebagai akta otentik. Setiap produk yang diterbitkan hakim atau pengadilan dalam menyelesaikan permasalahan yang diajukan kepadanya, dengan sendirinya merupakan akta otentik,4 yaitu merupakan akta resmi yang dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk itu. Bertolak dari doktrin yang dikemukakan di atas, setiap penetapan atau putusan yang dijatuhkan pengadilan bernilai sebagai akta otentik.5 Doktrin ini pun sesuai dengan ketentuan digariskan Pasal 1868 KUH Perdata.

Penetapan pengadilan berbentuk akta otentik, namun demikian, nilai kekuatan pembuktian yang melekat padanya, berbeda dengan yang terdapat pada putusan yang bersifat contentiosa. Dalam putusan yang bersifat partai (contentiosa), nilai kekuatan pembuktiannya, adalah:6

3

Lihat, Pasal 419 dan Pasal 420 KUH Perdata. 4

Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1992, hal. 199.

5

Subekti, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Jakarta, 1977, hal. 126. 6

(4)

1. Benar-benar sempurna dan mengikat; 2. Kekuatan mengikatnya meliputi:

a. Para pihak yang terlibat dalam perkara dan ahli waris mereka; b. Kepada orang atau pihak ketiga yang mendapat hak dari mereka.

Tidak demikian halnya dengan penetapan, karena sesuai dengan sifat proses pemeriksaannya yang bercorak ex-parte atau sepihak, nilai kekuatan pembuktian yang melekat dalam penetapan sama dengan sifat ex-parte itu sendiri, dalam arti:7 1. Nilai kekuatan pembuktiannya hanya mengikat pada diri pemohon saja.

2. Tidak mempunyai kekuatan mengikat kepada orang lain atau kepada pihak ketiga. Pada Penetapan tidak melekat asas ne bis in idem, karena sesuai sesuai dengan ketentuan Pasal 1917 KUH Perdata, apabila putusan yang dijatuhkan pengadilan bersifat positif (menolak untuk mengabulkan), kemudian putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, maka dalam putusan melekat ne bis in idem. Oleh karena itu, terhadap kasus dan pihak yang sama, tidak boleh diajukan untuk kedua kalinya.8 Tidak demikian halnya dengan penetapan pengadilan. Pada dirinya hanya melekat kekuatan mengikat secara sepihak, yaitu pada diri pemohon, jadi tidak mengikat dan tidak mempunyai kekuatan pembuktian pada pihak mana pun. Oleh karena itu, pada penetapan tidak melekat ne bis in idem. Setiap orang yang merasa

7

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, cetakan keempat, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal. 39-40.

8

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1998, hal. 173.

(5)

dirugikan oleh penetapan itu, dapat mengajukan gugatan atau perlawanan terhadapnya.9

Kewajiban penetapan pengadilan dalam pendaftaran peralihan hak atas tanah dengan jual beli milik bersama anak di bawah umur pada Kantor Pertanahan adalah didasari pada KUH Perdata untuk melindungi kepentingan dari anak di bawah umur yang bersangkutan.

Namun demikian, hingga saat ini belum ada aturan yang tegas bersifat universal tentang batasan usia cakap bertindak dalam hukum di Indonesia, hal ini terlihat bervariasinya batasan usia dinyatakan sebagai anak di bawah umur dalam berbagai peraturan perundangan di antaranya yang terkait dengan jual beli atas tanah berikut ini:

a. Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, orang dinyatakan cakap bertindak dalam hukum perkawinan setelah mencapai umur 21 tahun, namun dalam Pasal 7 dinyatakan bahwa pria berumur 19 tahun atau wanita berumur 16 tahun dapat melakukan perbuatan hukum perikatan/perjanjian perkawinan atas persetujuan orangtua atau walinya.

b. Menurut Pasal 39 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris disebutkan: penghadap harus memenuhi syarat paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah.

Perbedaan ketentuan cakap bertindak karena umur dewasa dalam uraian tersebut di atas, menunjukkan adanya perbedaan anggapan pada kemampuan fisik

9

(6)

dan atau mental manusia untuk melakukan perbuatan hukum tertentu yang terukur secara biologis atau psikologis, sehingga dinilai sanggup menyandang hak dan kewajiban khusus terhadap perbuatan hukum tertentu.10

Secara faktual, pertentangan pengaturan umur dewasa justeru terjadi pada perbuatan hukum, subyek hukum dan obyek hukum tertentu, contohnya Notaris/PPAT dengan kewenangannya membuat akta pertanahan untuk penghadap yang berumur 18 tahun, tentu tidak akan diterima ketika akta tersebut didaftarkan di kantor pertanahan, karena subyek hukum belum mencapai umur 21 tahun.11

Konflik hukum seperti di atas dapat diselesaikan dengan cara berfikir hukum sehingga konstelasi hukum menjadi satu sistem yang sinkronisasi dan konsistensi, dalam hal ini menurut S Chandra dengan mengutip pendapat Alvi Syahrin, bahwa “Perbuatan hukum anak yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat persetujuan dari orangtua atau walinya”.12

Sebagaimana uraian terdahulu bahwa anak di bawah umur, yaitu anak yang belum berumur 21 tahun maka kepengurusan terhadap harta kekayaan anak bawah umur tersebut dapat dilakukan melalui perwakilan orangtua atau perwalian anak di bawah umur, baik menurut undang-undang ataupun berdasarkan penetapan pengadilan.

Kewajiban melakukan penetapan pengadilan ini sering dipermasalahkan, ketika orang tua (dalam hal ini si ibu) atau saudara kandung sebagai pemilik hak atas tanah bersama anak di bawah umur yang memperoleh ahli waris dari peninggalan orang tuanya suami atau orang tua anak-anak tersebut yang akan menjual tanah milik

10

S. Chandra, Op. Cit., hal. 31. 11

Ibid., hal. 31. lihat juga Pasal 15 ayat (2) huruf f dan Pasal 39 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

12

(7)

bersama itu. Walaupun orang tua (si ibu) sudah layak sebagai subjek hukum untuk melakukan jual beli atas tanah milik bersama anak di bawah umur itu, tetapi si anak yang masih di bawah umur tidak layak sebagai subjek hukum untuk bertindak atas jual beli tanah tersebut. Seorang ibu melakukan penjualan atas tanah milik bersama anak dibawah umur adalah demi kepentingan si anak, karena anak yang masih dibawah umur dan belum cakap melakukan perbuatan hukum itu membutuhkan biaya hidup dan/atau pendidikan.

Kepemilikan tanah anak di umur dapat terjadi karena berbagai hal seperti kewarisan atau karena memang dilakukan peralihan hak atas tanah misalnya jual beli yang dibeli oleh si anak. Oleh karena perlu ditegaskan di sini bahwa tulisan ini difokuskan pada kepemilikan tanah bersama dengan anak di bawah umur yang dalam kedudukan anak sebagai ahli waris dari orang tuanya (si bapak yang telah meninggal dunia).

Jual beli atas tanah milik bersama ahli waris anak di bawah umur di beberapa daerah tertentu, penetapan Pengadilan ini tidak terlalu menjadi suatu keharusan mengingat para pihak tersebut dapat dianggap tidak menundukan diri kepada Hukum Perdata Barat tetapi tunduk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ataupun tunduk pada hukum adat yang tidak mengharuskan pengalihan hak milik dari seorang anak yang masih di bawah umur harus melalui penetapan Pengadilan.

Berdasarkan Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974), orang tua dengan sendirinya menurut hukum

(8)

berkedudukan dan berkapasitas sebagai wali anak-anak sampai mereka dewasa. Oleh karena itu, orang tua adalah kuasa yang mewakili kepentingan anak-anak yang belum dewasa kepada pihak ketiga maupun di depan pengadilan tanpa memerlukan surat kuasa khusus dari anak tersebut. Hal ini juga secara tegas disebutkan dalam Pasal 48 UU No.1 Tahun 1974, orangtua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap, misalnya tanah yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya. Demikian juga terhadap wali sesuai dengan Pasal 52 UU No.1 Tahun 1974 berlaku ketentuan di atas. Jadi, dari ketentuan Pasal 48 dan Pasal 52 UU No.1 Tahun 1974 tersebut tidak ada ditentukan harus dengan penetapan pengadilan.

Oleh karena itu dalam prakteknya atas dasar pertimbangan kemanusiaan karena orang tua si anak yang masih dibawah umur tersebut memang beritikad baik dalam menjual tanah milik bersama anak di bawah umur untuk kebutuhan hidup si anak, maka Kantor Pertanahan tetap melakukan pendaftaran peralihan atas tanah milik bersama anak di bawah umur itu walaupun tanpa dilakukan Penetapan Pengadilan, tetapi cukup hanya dengan Surat Pernyataan. Pasal 35 dan Pasal 37 KUH Perdata mengatur perihal pemberian izin, yaitu anak di bawah umur masih juga harus mendapat izin dari orang tuanya, atau dari hakim dalam hal izin orang tua itu dapat diganti dengan perizinan hakim.

(9)

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul ”Problematika Jual Beli Dan Pendaftaran Tanah Hak Milik Yang Dimiliki Bersama Anak Di Bawah Umur (Studi di Pematang Siantar)”.

B. Permasalahan

Bertitik tolak dari uraian di atas maka yang menjadi permasalahan di dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana sikap Kantor Pertanahan Kota Pematang Siantar dalam mendaftarkan jual beli tanah hak milik yang dimiliki bersama dengan anak di bawah umur? 2. Apakah problematika jual beli dan pendaftaran tanah hak milik yang

dimiliki bersama dengan anak di bawah umur yang dilaksanakan di hadapan PPAT?

3. Bagaimana upaya yang dilakukan oleh PPAT dan penghadap untuk mengatasi kendala dalam melangsungkan jual beli dan pendaftaran tanah hak milik yang dimiliki bersama dengan anak di bawah umur?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada permasalahan di atas maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk menjelaskan sikap Kantor Pertanahan Kota Pematang Siantar dalam

mendaftarkan jual beli tanah hak milik yang dimiliki bersama dengan anak di bawah umur?

(10)

2. Untuk menjelaskan problematika jual beli dan pendaftaran tanah hak milik yang dimiliki bersama dengan anak di bawah umur yang dilaksanakan di hadapan PPAT

3. Untuk menjelaskan upaya yang dilakukan oleh PPAT dan penghadap untuk mengatasi kendala dalam melangsungkan jual beli dan pendaftaran tanah hak milik yang dimiliki bersama dengan anak di bawah umur.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian dapat dilihat secara teoretis dan secara praktis, yaitu:

1. Secara teoretis, penelitian dapat bermanfaat untuk mengembangkan ilmu hukum terutama hukum pertanahan.

2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini adalah sebagai masukan bahan pertimbangan dalam menyelenggarakan kebijakan pertanahan bagi aparat pemerintahan yang terkait, khususnya dalam hal jual beli tanah milik bersama anak di bawah umur dan pendaftarannya.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara penelitian dengan judul “Problematika Jual Beli Dan Pendaftaran Tanah Hak Milik Yang Dimiliki Bersama Anak Di Bawah Umur (Studi Di PematangSiantar” belum pernah

(11)

dilakukan. Oleh karena itu penelitian ini dapat dinyatakan asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,13 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.14 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.15

Kerangka teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam tesis ini adalah teori keadilan pemikiran dari Roscou Pound yang menganut teori sociological

jurisprudence yang menitikberatkan pendekatan hukum ke masyarakat. Menurut

Sociological Jurisprudence, hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan

hukum yang hidup (the living law) di masyarakat.16

Teori Roscoe Pond tersebut di atas dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya yang berjudul Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan dimana hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat (a tool of

social engineering). Di samping itu, juga dikemukakan bahwa hukumpun dapat

13

M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203, 14

Ibid., hal. 203. 15

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80. 16

Roscou Pound dalam Dayat Limbong, Penataan Lahan Usaha PK-5 Ketertiban vs Kelangsungan Hidup, Pustaka Bangsa Press, 2006, hal. 15-16.

(12)

dipakai sebagai sarana dalam proses pembangunan. Demikian pula halnya, bahwa hukum secara potensial dapat digunakan sebagai sarana pembangunan dalam berbagai sektor/bidang kehidupan,17 termasuk di dalamnya hak-hak atas tanah milik bersama anak di bawah dan pengalihannya (jual beli).

Jual beli atas tanah hak milik yang dimiliki bersama anak di bawah yang dilakukan orang tuanya (ibu) di hadapan PPAT dan pendaftarannya pada Kantor Pertanahan maka sesuai KUH Perdata harus dilakukan dengan penetapan Pengadilan. Ketentuan penetapan pengadilan ini di beberapa daerah yang tidak menundukkan diri kepada hukum barat tetapi tunduk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ataupun tunduk pada hukum adat yang tidak mengharuskan pengalihan tanah hak milik bersama anak di bawah umur harus melalui penetapan pengadilan. Oleh karena itu dalam jual beli hak milik yang dimiliki bersama anak di bawah umur yang dilakukan orangtua guna kepentingan si anak harus dapat dilaksanakan sesuai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Dengan diberikannya hak atas tanah pada seseorang, maka telah terjalin suatu hubungan hukum antara tanah dengan seseorang tersebut. Dengan adanya hubungan hukum itu, dapatlah dilakukan perbuatan hukum oleh yang mempunyai hak itu terhadap tanah kepada pihak lain. Untuk hal-hal tersebut umpamanya dapat melakukan perbuatan hukum berupa jual beli atas tanah tersebut.18

Dalam UUPA istilah jual beli hanya disebutkan dalam Pasal 26 yaitu yang menyangkut jual beli hak milik atas tanah. Dalam pasal-pasal lainnya, tidak ada kata yang menyebutkan jual beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan

17

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, PT. Alumni, Bandung, 2002, hal 20-21 dan hal. 24.

18

(13)

menunjukkan suatu perbuatan hukum yang disengaja untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain melalui jual beli, hibah, tukar-menukar, dan hibah wasiat. Jadi, meskipun dalam pasal hanya disebutkan dialihkan, termasuk salah satunya adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah karena jual beli.

Apa yang dimaksud jual beli itu sendiri oleh UUPA tidak diterangkan secara jelas, akan tetapi mengingat dalam Pasal 5 UUPA disebutkan bahwa Hukum Tanah Nasional adalah Hukum Adat, berarti menggunakan konsepsi, asas-asas, lembaga hukum, dan sistem Hukum Adat.

Hukum agraria di Indonesia didasarkan pada Hukum Adat, hal itu diartikan bahwa Hukum Agraria harus sesuai dengan kesadaran hukum dari rakyat banyak yang hidup dan berkembang dinamis sesuai dengan tuntutan zaman. Hukum adat yang dimaksudkan dalam hal ini sesuai dengan Penjelasan Umum angka III ayat (1) UUPA adalah hukum asli dari rakyat Indonesia yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam Negara yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia internasional, atau sebagaimana diartikan oleh A.P. Parlindungan adalah hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang telah dihilangkan sifat-sifatnya yang khusus daerah dan diberi sifat nasional serta yang disana sini mengandung unsur agama, atau seperti dikatakan oleh Boedi Harsono adalah Hukum Adat yang disaneer, dan oleh Sudargo Gautama disebut sebagai Hukum Adat yang diretool.19

Dijadikannya Hukum Adat sebagai dasar dari Hukum Agraria Indonesia dapat juga merupakan pengakuan dan penghormatan terhadap hukum asli dari rakyat

19

Lihat, Muhammad Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung, 2008, hal. 212-213.

(14)

Indonesia yang di dalamnya terdapat hak-hak tradisional rakyat atas tanah yang tunduk pada Hukum Adat.20

Pengertian jual beli tanah menurut Hukum Adat merupakan perbuatan pemindahan hak, yang sifatnya tunai, riil dan terang. Sifat tunai berarti bahwa penyerahan hak dan pembayaran harganya dilakukan pada saat yang sama. Sifat riil berarti bahwa dengan mengucapkan kata-kata dengan mulut saja belumlah terjadi jual beli, hal ini dikuatkan dalam Putusan MA No. 271/KlSip/1956 dan No. 840/K/Sip/1971. Jual beli dianggap telah terjadi dengan penulisan kontrak jual beli di muka Kepala Kampung serta penerimaan harga oleh penjual, meskipun tanah yang bersangkutan masih berada dalam penguasaan penjual.21 Sifat terang dipenuhi pada umumnya pada saat dilakukannya jual beli itu disaksikan oleh Kepala Desa, karena Kepala Desa dianggap orang yang mengetahui hukum dan kehadiran Kepala Desa mewakili warga masyarakat desa tersebut. Sekarang sifat terang berarti jual beli itu dilakukan menurut peraturan tertulis yang berlaku.22

Sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, jual beli dilakukan oleh para pihak di hadapan PPAT yang bertugas membuat aktanya. Dengan dilakukannya jual beli di

20

Ibid., hal. 213. 21

Boedi Harsono, “Perkembangan Hukum Tanah Adat Melalui Yurisprudensi”, Ceramah disampaikan pada Simposium Undang-Undang Pokok Agraria dan Kedudukan Tanah-Tanah Adat Dewasa ini, Banjarmasin, 7 Oktober 1977, hal. 50.

22

Lihat, ketentuan Pasal 1886 KUH Perdata yang menyatakan: Pada setiap tingkat perkara, masing-masing pihak dapat meminta kepada hakim, supaya pihak lawannya diperintahkan menyerahkan surat-surat kepunyaan kedua belah pihak, yang menyangkut hal yang sedang dipersengketakan dan berada di tangan pihak lawan.

(15)

hadapan PPAT, dipenuhi syarat terang dan mengikuti prosedur dengan melakukan cek bersih di Kantor Pertanahan, membayar PPh dan BPHTB, dibuat akta dan ditandatangani. Akta jual beli yang ditandatangani para pihak membuktikan telah terjadi pemindahan hak dari penjual kepada pembelinya dengan disertai pembayaran harganya, telah memenuhi syarat tunai dan menunjukkan bahwa secara nyata atau riil perbuatan hukum jual beli yang bersangkutan telah dilaksanakan. Akta tersebut membuktikan bahwa benar telah dilakukan perbuatan perbuatan hukum pemindahan hak untuk selama-lamanya dan pembayaran harganya. Karena perbuatan hukum yang dilakukan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak, maka akta tersebut membuktikan bahwa penerima hak (pembeli) sudah menjadi pemegang haknya yang baru. Akan tetapi, hal itu baru diketahui oleh para pihak dan ahli warisnya, karenanya juga baru mengikat para pihak dan ahli warisnya karena administrasi PPAT sifatnya tertutup bagi umum.23

Syarat jual beli tanah ada dua, yaitu syarat materiil dan syarat formil. a. Syarat materiil

Syarat materiil sangat menentukan akan sahnya jual beli tanah tersebut, antara lain sebagai berikut:

1) Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan.

Maksudnya adalah pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi syarat untuk memiliki tanah yang akan dibelinya. Untuk menentukan berhak atau tidaknya si pembeli memperoleh hak atas tanah yang dibelinya tergantung pada hak apa yang

23

Boedi Harsono, Hukum Agraria: Sejarah Pembentukan Isi dan Pelaksanaannya,

(16)

ada pada tanah tersebut, apakah hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai. Menurut UUPA, yang dapat mempunyai hak milik atas tanah hanya warga negara Indonesia tunggal dan badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah (Pasal 21 UUPA). Jika pembeli mempunyai kewarganegaraan asing di samping kewarganegaraan Indonesianya atau kepada suatu badan hukum yang tidak dikecualikan oleh pemerintah, maka jual beli tersebut batal karena hukum dan tanah jatuh pada negara (Pasal 26 ayat (2) UUPA).

2) Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan

Yang berhak menjual suatu bidang tanah tentu saja si pemegang yang sah dan hak atas tanah tersebut yang disebut pemilik. Kalau pemilik sebidang tanah hanya satu orang, maka ia berhak untuk menjual sendiri tanah itu. Akan tetapi, bila pemilik tanah adalah dua orang maka yang berhak menjual tanah itu ialah kedua orang itu bersama-sama. Tidak boleh seorang saja yang bertindak sebagai penjual.24

3) Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjualbelikan dan tidak sedang dalam sengketa.

Mengenai tanah-tanah hak apa yang boleh diperjualbelikan telah ditentukan dalam UUPA yaitu hak milik (Pasal 20), hak guna usaha (Pasal 28), hak guna bangunan (Pasal 35), hak pakai (Pasal 41). Jika salah satu syarat materiil ini tidak dipenuhi, dalam arti penjual bukan merupakan orang yang berhak atas tanah yang dijualnya atau pembeli tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemilik hak atas

24

Effendi Perangin, Praktik Jual Beli Tanah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hal. 2.

(17)

tanah atau tanah, yang diperjualbelikan sedang dalam sengketa atau merupakan tanah yang tidak boleh diperjualbelikan, maka jual beli tanah tersebut adalah tidak sah. Jual beli tanah yang dilakukan oleh yang tidak berhak adalah batal demi hukum. Artinya, sejak semula hukum menganggap tidak pernah terjadi jual beli.25

b. Syarat formal

Setelah semua persyaratan materiil dipenuhi maka PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) akan membuat akta jual belinya. Akta jual beli menurut Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 harus dibuat oleh PPAT. Jual beli yang dilakukan tanpa di hadapan PPAT tetap sah karena UUPA berlandaskan pada Hukum Adat (Pasal 5 UUPA), sedangkan dalam Hukum Adat sistem yang dipakai adalah sistem yang konkret/kontan/nyata/riil. Kendatipun demikian, untuk mewujudkan adanya suatu kepastian hukum dalam setiap peralihan jual beli tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 sebagai peraturan pelaksana dari UUPA telah menentukan bahwa setiap penjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan PPAT.26 Setelah akta jual beli dibuat, selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak akta jual beli tersebut ditandatangani, PPAT menyerahkan akta jual beli tersebut kepada kantor pendaftaran tanah untuk pendaftaran pemindahan haknya.27

25

Ibid., hal. 2. 26

Bachtiar Effendi, Kumpulan Tulisan tentang Hukum Tanah, Alumni, Bandung, 1998, hal. 23.

27

(18)

Dengan demikian dari penjelasan di atas diketahui bahwa hak atas tanah tersebut dapat dialihkan, misalnya dengan jual beli. Di mana dalam peralihan dengan jual beli tersebut maka harus dilakukan atau dibuat dalam Akta Jual Beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), dan juga Akta Jual Beli tersebut harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan.

Dengan demikian, peralihan hak atas dengan jual beli itu harus dapat dilakukan terlebih harus dipenuhi syarat materiil yang sangat menentukan akan sahnya jual beli tanah tersebut, di antaranya penjual tanah harus berhak menjual tanah yang bersangkutan. Yang berhak menjual suatu bidang tanah tentu saja si pemegang yang sah dan hak atas tanah tersebut yang disebut pemilik. Kalau pemilik sebidang tanah hanya satu orang, maka ia berhak untuk menjual sendiri tanah itu. Akan tetapi, bila pemilik tanah adalah dua orang maka yang berhak menjual tanah itu ialah kedua orang itu bersama-sama, misalnya tanah warisan yang harus memperoleh persetujuan dari semua ahli waris untuk dapat dilakukan jual beli. Jadi, tidak boleh seorang saja yang bertindak sebagai penjual, tetapi harus semua ahli waris atau para ahli waris yang tidak hadir memberi kuasa kepada ahli waris lainnya..

Subyek hak atas tanah merupakan orang perseorangan atau badan hukum yang dapat memperoleh sesuatu hak atas tanah, sehingga namanya dapat dicantumkan di dalam buku tanah selaku pemegang sertipikat hak atas tanah.

Menurut Dirdjosisworo, bahwa subyek hukum (subject van een recht) adalah orang perseorangan (nutuurlijke persoon) atau badan hukum rechts persoon

(19)

yang mempunyai hak, mempunyai kehendak, dan dapat melakukan perbuatan hukum.28

Pendapat tersebut dikaitkan dengan isi Undang-undang Pokok Agraria maka subyek hukum hak atas tanah merupakan orang atau badan hukum yang dapat mempunyai sesuatu hak atas tanah dan dapat melakukan perbuatan hukum untuk mengambil manfaat dari tanah tersebut.

Orang perseorangan selaku subyek hak atas tanah, yaitu setiap orang yang identitasnya terdaftar selaku Warga Negara Indonesia atau Warga Negara Asing, berdomisili di dalam atau di luar wilayah Republik Indonesia dan tidak kehilangan hak memperoleh sesuatu hak atas tanah.

Menurut Satjipto Rahardjo:29

Sekalipun manusia diakui sebagai penyandang hak dan kewajiban, namun hukum dapat mengecualikan manusia sebagai makluk hukum atau hukum bisa tidak mengakuinya sebagai orang dalam arti hukum. Apabila hukum sudah menentukan demikian maka tertutup kemungkinan bagi manusia tersebut menjadi pembawa hak dan kewajiban selaku subyek hukum.

Menurut S. Chandra dari pendapat di atas, bahwa menurut hukum manusia tidak sama dengan orang, sebagaimana dijelaskan berikut ini:30

Menurut hukum (juris), manusia tidak sama dengan orang, karena manusia merupakan gejala alam dalam pengertian biologis, misalnya tidur atau menghirup udara merupakan hak manusia yang tidak diiringi kewajiban, dengan kata lain bahwa tidak semua manusia dapat menjadi subyek hukum, hanya manusia yang memenuhi syarat tertentu dapat diterima menjadi subyek hukum, yaitu manusia penyandang hak sekaligus juga penyandang kewajiban, misalnya penjaga lintas kereta api atau pemegang sertipikat kepemilikan hak

28

Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, cetakan ketiga, Rajawali Pers, Jakarta, 1991, hal. 126.

29

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 67. 30

(20)

atas tanah. Maka yang menjadi pusat perhatian hukum bukan manusianya melainkan orangnya yang patut diterima menjadi subyek hukum.

Menurut KUH Perdata, kecakapan bertindak dalam hukum (rechtsbekwaam heid) merupakan kemampuan seseorang untuk membuat suatu perjanjian, sehingga perikatan yang diperbuatnya menjadi sah menurut hukum.31 Oleh karena itu setiap perbuatan hukum kepemilikan hak atas tanah yang diperbuat oleh pihak yang tidak cakap bertindak dalam hukum seperti anak yang belum dewasa atau belum pernah kawin atau orang yang diletakkan di bawah pengampuan dapat dibatalkan demi hukum.32

Kecakapan seseorang dalam melakukan perbuatan hukum dikaitkan dengan dewasa secara fisik dalam hukum pertanahan, bersandar kepada ketentuan Pasal 330 KUH Perdata, yaitu “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan sebelumnya belum kawin”., hal ini dapat dimaklumi karena tidak tegas mengenai ketentuan umur dewasa dalam hukum, terutama hukum adat yang dapat dijadikan dasar pengaturannya.

Tidak satu pun ketentuan hukum khusus secara umum dan tegas menetapkan cakap melakukan perbuatan hukum yang dikaitkan dengan unsur dewasa secara yuridis dan unsur umur secara biologis sehingga dianggap secara normal mempunyai kematangan berpikir dan kemampuan menyadari sepenuhnya tindakan dan akibatnya.

31

Pasal 1320, Pasal 1330, dan 1451 KUH Perdata. 32

(21)

Namun, sebaliknya kita hanya dapat melihat tujuannya, yaitu untuk melindungi anak di bawah umur yang tidak patut menerima akibat hukum.33

Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tidak ada disebutkan batasan umur anak di bawah umur dalam pasalnya. Sehingga dalam pelaksanaannya PPAT akan mengaju pada ketentuan peraturan-perundangan yang terkait dengan pelaksanaan jual beli atas tanah. Akan tetapi ketentuan umur itu terjadi perbedaan dari beberapa ketentuan peraturan ada yang menentukan 18 tahun dan ada yang menentukan 21, dikecualikan untuk yang sudah menikah.

Menurut Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menentukan, Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Demikian juga Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menentukan dewasa setelah mencapai umur 18 tahun.

Pasal 39 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris ditentukan, penghadap harus memenuhi syarat paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah.

Selanjutnya, dijelaskan oleh Mariam Darus Badrulzaman bahwa dengan adanya Ordonansi tanggal 3l Januari 1931 Lembaran Negara Nomor 1931-54 maka

33

J. Satrio, Hukum Pribadi Bagian I Person alamian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 48- 60.

(22)

kriteria belum dewasa itu diperlakukan juga terhadap golongan bumi putra. Hal ini dijelaskan oleh beliau sekedar untuk mengetahui sejarahnya, karena ketentuan hukum adat juga tidak tegas.34

Menurut hukum Islam dewasa itu ditentukan tanda baligh dan berakal, sebagaimana dikemukakan S. Chandra berikut ini:

Menurut hukum Islam bahwa dewasa bukan ditentukan karena batasan umur, melainkan oleh perkembangan fisik dan mental, baik secara biologis maupun psikologis, yaitu pada saat seorang pria atau wanita telah melihat dan merasakan dalam dirinya sesuatu tanda baligh dan berakal, dengan ketentuan bahwa mulai saat itu ia wajib bertanggungjawab atas segala perbuatannya.35

Sebagaimana uraian terdahulu bahwa anak di bawah umur, yaitu anak yang belum berumur 21 tahun maka kepengurusan terhadap harta kekayaan anak bawah umur tersebut dapat dilakukan melalui perwakilan orangtua atau perwalian anak di bawah umur, baik menurut undang-undang ataupun berdasarkan penetapan pengadilan.

Dalam hal diperlukannya tindakan hukum atas harta kekayaan anak di bawah umur, dapat dilangsungkan melalui lembaga perwakilan menurut undang-undang berdasarkan kekuasaan orang tua (onderljke macht) atau perwalian yang ditetapkan pengadilan kepada salah seorang dari kedua orang tuanya (voogd) atau perwalian menurut undang-undang oleh pihak lain (wettelijke voogdij).36 Akan tetapi, kekuasaan perwakilan atau perwalian tidak boleh digunakan untuk

34

Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1996, hal. 103.

35

S. Chandra, Op. Cit., hal. 30. 36

(23)

memindahtangankan, mengalihkan, atau membebankan harta kekayaan anak di bawah umur, kecuali dalam hal kepentingan si anak menghendaki.37

Kecakapan seseorang yang dikaitkan dengan kemampuan bertindak dalam hukum pertanahan bersandar kepada ketentuan Pasal 452 KUH Perdata, yaitu orang yang ditempatkan di bawah pengampuan berkedudukan sama dengan anak yang belum dewasa. Hal ini disebabkan karena ketidakmampuan mental atau sifat pemborosan atau karena pailitnya subyek hukum.

Oleh karena itu, sebagaimana ditentukan Pasal 446 KUH Perdata, bahwa setiap perbuatan hukum hak atas tanah yang diperbuat oleh orang yang mempunyai kedudukan di bawah pengampuan dapat dibatalkan demi hukum.

2. Konsepsi

Konsepadalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition.38 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.39 Oleh karena itu dalam penelitian ini didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:

37

Lihat, Pasal 48 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 38

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 10.

39

Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, PPs-USU, Medan, 2002, hal 35

(24)

a. Pendaftaran tanah adalah pendaftaran mengenai bidang-bidang tanah baik untuk pertama kali maupun pengalihan haknya (jual beli) dengan pemberian surat tanda bukti haknya dari Kantor Pertanahan.

b. Jual beli atas tanah hak milik adalah pengalihan hak atas tanah yang dilakukan para pihak dengan Akta Jual Beli di hadapan PPAT dan pendaftaran balik nama di Kantor Pertanahan.

c. Kantor Pertanahan adalah unit kerja badan pertanahan nasional di wilayah kabupaten atau kotamadya, yang melakukan pendaftaran hak atas tanah pemeliharaan daftar umum pendaftaran tanah.40

d. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.41

e. Anak di bawah umur adalah anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.42

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, maksudnya suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk

40

Pasal 1 angka 23 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah 41

Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 42

(25)

teori maupun praktek pelaksanaan dari hasil penelitian di lapangan,43 dalam hal ini jual beli tanah bersertifikat yang dimiliki anak di bawah umur serta pendaftarannya di Pematang Siantar. Penelitian ini menggunakan pendekatan juridis normatif, yaitu penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.44

2. Sumber Data

Pengumpulan data diperoleh dari penelitian kepustakaan yang didukung penelitian lapangan, sebagai berikut:

a. Penelitian Kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.45

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni: a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

b) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)

c) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. e) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan

Pejabat Pembuat Akta Tanah.

43

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 63. 44

Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal.13 45

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 1995, hal.39.

(26)

2) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah dari kalangan hukum, yang berkaitan jual beli atas tanah milik bersama anak di bawah umur dan pendaftarannya.

3) Bahan tertier adalah bahan pendukung di luar bidang hukum seperti kamus ensiklopedia atau majalah yang terkait dengan jual beli atas tanah milik bersama anak di bawah umur dan pendaftarannya.

b. Penelitian Lapangan (field research) untuk mendapatkan data yang terkait dengan jual beli atas tanah milik bersama anak di bawah umur dan pendaftarannya di Pematang Siantar dengan melakukan wawancara kepada:

a. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) di Pematang Siantar, sebanyak 5 orang. b. Pejabat/Kepala Kantor Pertanahan Pematang Siantar, sebanyak 1 orang c. Hakim Pengadilan Negeri Pematang Siantar, sebanyak 1 orang.

d. Hakim Pengadilan Agama Pematang Siantar, sebanyak 1 orang.

e. Orangtua atau wali anak di bawah umur yang melakukan jual beli atas tanah hak milik bersama anak di bawah umur, sebanyak 1 orang.

3. Alat Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan 2 (dua) alat pengumpulan data yaitu:

1. Studi Dokumen untuk mengumpulkan data sekunder yang terkait dengan permasalahan yang diajukan, dengan cara mempelajari buku-buku, hasil penelitian dan dokumen-dokumen perundang-undangan yang terkait selanjutnya digunakan untuk kerangka teoritis pada penelitian lapangan.

(27)

39

am penelitian ini.

2. Wawancara, yang dilakukan dengan pedoman wawancara yang terstruktur kepada responden yang telah ditetapkan yang terkait objek penelitian.

4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah analisis data kualitatif, yaitu analisis data yang tidak mempergunakan angka-angka tetapi berdasarkan atas peraturan perundang-undangan, pandangan-pandangan responden hingga dapat menjawab permasalahan dari penelitian ini.

Semua data yang diperoleh disusun secara sistematis, diolah dan diteliti serta dievaluasi. Kemudian data dikelompokkan atas data yang sejenis, untuk kepentingan analisis, sedangkan evaluasi dan penafsiran dilakukan secara kualitatif yang dicatat satu persatu untuk dinilai kemungkinan persamaan jawaban. Oleh karena itu data yang telah dikumpulkan kemudian diolah, dianalisis secara kualitatif dan diterjemahkan secara logis sistematis untuk selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode pendekatan deduktif.46 Kesimpulan adalah merupakan jawaban khusus atas permasalahan yang diteliti, sehingga diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dal

46

Sutandyo Wigjosoebroto, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja, Universitas Airlangga, Surabaya, tt, hal. 2. Prosedur Deduktif yaitu bertolak dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui dan diyakini dan berakhir pada suatu kesimpulan yang bersifat lebih khusus. pada prosedur ini kebenaran pangkal merupakan kebenaran ideal yang bersifat aksiomatik (self efident) yang esensi kebenarannya sudah tidak perlu dipermasalahkan lagi.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pengolahan data dan analisis data yang telah dilakukan didapatkan hasil dari pembobotan pada alternatif teknologi dengan menggunakan metode AHP yaitu

Untuk mengetahui kebutuhan belajar peserta didik maka dilakukan pemetaan materi, yang dimaksud adalah memberikan gambaran awal tentang kompetensi yang harus dicapai

Dalam desain Uji coba ini menggunakan Metode Forward chaining , Metode Forward chaining adalah metode pencarian atau teknik pelacakan kedepan yang dimulai dengan

Penelitian yang dilakukan di SMAN 10 Bandarlampung ini bertujuan untuk men- deskripsikan pengaruh strategi scaffolding dalam model pembelajaran SiMaYang untuk meningkatkan

Dalam penelitian ini flo\ silomeri dua \!ama secara jelas menunjukkan perbedaaD anlara subpopulasi penderila !oP dan subyek dengan jaringan periodonsium sehat. Data-

Pada kerangka berpikir di atas diketahui bahwa keadilan distributif merupakan perilaku tentang keadilan yang dilakukan oleh perusahaan dalam pemberian kompensasi yang adil dan merata

Latar Belakang: Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral adalah berisiko mengalami penurunan sirkulasi jaringan otak yang dapat mengganggu kesehatan. Tujuan:

Pengujian Black Box digunakan untuk mengenali apakah input dan output dari sistem sudah cocok dengan kebutuhan atau belum cocok. Pengujian dilaksanakan pada form untuk