TINJAUAN MAS{LAH{AH MURSALAH TERHADAP
PRAKTIK JUAL BELI JANGKRIK DENGAN SISTEM PERKIRAAN
DI DESA KACANGAN KECAMATAN ANDONG
KABUPATEN BOYOLALI
SKRIPSI
Oleh:
NIZAR ARIFIN
NIM: C52212108
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah Dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam
Progam Studi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah)
Surabaya
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan yang dilakukan di Desa
Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali, dengan judul ‚Tinjauan
Ma}slah}ah Mursalah terhadap Praktik Jual Beli Jangkrik dengan Sistem Perkiraan di Desa Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali‛. Skripsi ini bertujuan untuk menjawab permasalahan yang dituangkan dalan dua rumusan masalah yaitu: bagaimana praktik jual beli jangkrik dengan sistem perkiraan di Desa Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali? dan bagaimana
tinjauan ma}slah}ah mursalah terhadap praktik jual beli jangkrik dengan sistem
perkiraan di Desa Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali?
Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif yang pengumpulan datanya menggunakan cara observasi, wawancara, dokumentasi, dan terakhir dengan telaah pustaka kemudian diolah dengan cara editing, dan organizing, dan serta menganalisis dengan menggunakan kaidah-kaidah dan dalil-dalil yang berkaitan dengan teknik deskriptif analisis.
Hasil penelitian menemukan bahwa jual beli jangkrik di Desa Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali, penjual jangkrik melayani pembeli dengan sistem perkiraan yaitu jumlah jangkrik dikiira-kira sesuai dengan harga permintaan dari pembeli lalu jangkrik dimasukkan kedalam kantong plastik. Dalam permintaan dengan harga yang sama selanjutnya, tidak bisa dipastikan jumlah jangkrik akan sama seperti perkiraan sebelumnya. Praktik seperti ini dilatarbelakangi karena pada awalnya penjual jangkrik melayani pembeli dengan hitungan ekor perekor jangkrik yang membuat penjual kesulitan dalam perhitungannya, sedangkan penanganan jangkrik memerlukan waktu yang cepat demi kemaslahatan nyawa jangkrik, di sisi lain pembeli sudah banyak yang mengantri. Untuk lebih efektif maka diubahlah cara penjualannya dengan sistem perkiraan dimana pihak penjual dan pembeli sepakat dengan cara itu. Ditinjau
berlandaskan analisis mas}lah}ah mursalah, praktik penjualan jangkrik seperti ini
sejalan dengan kehendak syariat yaitu untuk menjaga nyawa (Hifz an-Nafs) bagi jangkrik, kemaslahatan seperti ini bersifat rasional dapat diterima oleh akal berdampak pada kemudahan penjual dalam pelayanan dan keefektifan waktu bagi penjual dan pembeli. Dari hasil penelitian di lapangan dengan tinjauan ma}slah}ah mursalah, penulis menyimpulkan bahwa praktik jual beli jangkrik dengan sistem perkiraan di Desa Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali perlu dilakukan demi kemaslahatan bersama.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI... vii
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR TRANSLITERASI ... xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 9
C. Batasan Masalah ... 9
D. Rumusan Masalah ... 10
E. Kajian Pustaka ... 10
F. Tujuan Penelitian ... 12
G. Kegunaan Hasil Penelitian ... 13
H. Definisi Operasional ... 13
I. Metode Penelitian ... 14
J. Sistematika Pembahasan ... 19
BAB II KONSEP JUAL BELI DAN TEORI MAS}LAH}AH MURSALAH A. Pengertian Jual Beli ... 21
1. Definisi Jual Beli ... 21
2. Rukun dan Syarat Sahnya Jual Beli ... 22
3. Jual Beli yang dilarang ... 25
B. Pengertian Mas{lah{ah Mursalah ... 28
1. Pengertian Ma}slah}ah ... 28
2. Pengertian Ma}slah}ah Mursalah ... 31
3. Syarat-Syarat Ma}slah}ah Mursalah ... 32
4. Landasan Hukum Ma}slah}ah Mursalah ... 35
5. Macam-Macam Ma}slah}ah... 38
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG DESA DAN PRAKTIK JUAL BELI JANGKRIK DI DESA KACANGAN KECAMATAN ANDONG KABUPATEN BOYOLALI A. Gambaran Umum Desa Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali ... 44
1. Sejarah Singkat Desa Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali ... 44
2. Kondisi Geografis ... 45
3. Keadaan Desa Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali ... 46
a. Keadaan Sosial ... 46
b. Keadaan Ekonomi ... 47
c. Keadaan Pendidikan ... 48
d. Keadaan Keagamaan ... 49
B. Praktik Jual Beli Beli Jangkrik Dengan Sistem Perkiraan ... 50
1. Pengertian dan Manfaat Jangkrik Secara Ilmiah ... 50
2. Sejarah Awal Mula Adanya Pedagang Jangkrik di Desa Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali ... 51
3. Proses Pemesanan Jangkrik dari Peternak Jangkrik ... 54
4. Akad yang dilakukan dalam Transaksi Jual Beli Jangkrik ... 57
5. Proses Jual Beli Jangkrik dari Pedagang kepada Pembeli ... 58
BAB IV ANALISIS MAS}LAH}AH MURSALAH TERHADAP PRAKTIK
JUAL BELI JANGKRIK DENGAN SISTEM PERKIRAAN DI DESA KACANGAN KECAMATAN ANDONG KABUPATEN BOYOLALI
A. Analisis Hukum Islam terhadap Jual Beli Jangkrik di Desa
Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali ... 64
1. Ijab dan Qabul secara Jelas ... 65
2. Zat Barang yang diperjualbelikan ... 66
3. Cara Transaksi yang dilakukan ... 68
B. Analisis Mas{lah{ah Mursalah terhadap Sistem Perkiraan dalam Jual Beli Jangkrik di Desa Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali ... 70
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN ... 76
B. SARAN ... 77
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak akan terlepas dari suatu
hubungan, baik itu hubungan kepada Allah Swt maupun hubungan kepada
manusia. Hubungan manusia sesama manusia biasa disebut dengan
muamalah. Muamalah adalah segala aturan agama yang mengatur hubungan
antara sesama manusia, baik yang seagama maupun lain agama, antara
manusia dengan kehidupannya, dan antara manusia dengan alam sekitarnya.1
Dalam bermuamalah manusia harus mentaati aturan-aturan hukum yang telah
ditetapkan Allah Swt kepada manusia, dalam artian manusia tidak bisa
semena-mena melakukan aktifitas di dunia semaunya sendiri tanpa ada
batasan-batasan yang mengaturnya. Semua sudah diatur dalam hukum Allah
Swt agar dalam aktivitas kehidupan manusia bisa berjalan dengan baik dan
benar. Hal ini dimaksudkan agar manusia selalu ingat kepada Penciptanya
dan senantiasa mengabdikan diri untuk Allah Swt semata.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, manusia melakukan banyak
interaksi sosial kepada yang lainnya, salah satunya yaitu dengan jual beli.
Jual beli artinya menukarkan barang dengan barang atau barang dengan uang,
dengan jalan melepaskan hak milik dari seseorang terhadap orang lainnya
2
atas dasar kerelaan kedua belah pihak.2 Manusia tidak akan bisa hidup
sendirian, maka dari itu manusia memerlukan bantuan orang lain dalam
kelancaran hidup. Dalam perekonomian harus ada kegiatan produksi,
distribusi dan konsumsi yang kesemua itu tidak bisa dilakukan dengan
sendiri. Maka peran manusia untuk saling tolong menolong sangat
dibutuhkan dalam kehidupan karena setiap manusia mempunyai kelebihan
dan kekurangan tersendiri.
Jual beli merupakan upaya manusia untuk mencari nafkah bagi dirinya
sendiri dan keluarganya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dalam hal ini
hukum Islam menghalalkan jual beli sebagaimana Allah Swt berfirman dalam
surat al-Baqarah ayat 275:
‚Orang-orang yang makan (mengambil) riba> tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila, keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat) sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba) maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka
kekal di dalamnya.‛3
2Ibnu Mas’ud dkk, Fiqih Madzhab Syafi’i, buku 2: Muamalat, Munakahat, Jinayat, (Bandung:
CV Pustaka Setia, 2007), 22.
3
Jika membahas tentang jual beli, maka seseorang harus mengetahui
hukum-hukum jual beli, apakah jual beli yang dilakukan telah sesuai dengan
syariah atau belum. Jika belum maka harus membenahinya agar sesuai
dengan syariah. Dalam jual beli dibutuhkan berbagai pertimbangan agar
dalam kegiatan jual beli tidak ada pihak yang dirugikan baik itu dari penjual
maupun pembeli. Keduanya harus mendapatkan manfaat dari apa yang telah
dilakukan dalam jual beli.
Dalam muamalah hak dan kewajiban harus dilaksanakan, keduanya
sudah menjadi ketentuan umum dan tidak bisa dipisahkan. Ketika manusia
melakukan jual beli dengan yang lainnya maka akan berlaku hak dan
kewajiban yang akan mengikat keduanya, yaitu hak pembeli adalah menerima
barang dan kewajiban penjual adalah menyerahkan barang yang dimiliki atau
bisa juga kewajiban pembeli adalah menyerahkan barang yang berupa uang
dan hak penjual adalah menerima uang tersebut.
Hukum Islam telah mengatur ketentuan-ketentuan yang berlaku
dalam jual beli yang sesuai dengan syariat. Perkembangan pada zaman
modern seperti saat ini selalu ada hal-hal baru dalam permasalahan muamalat,
jual beli juga semakin berkembang mengikuti zaman. Jika ada suatu masalah
dalam muamalat pada zaman sekarang ini dan tidak ditemukan pada zaman
dahulu maka seseorang harus merujuk pada istinbat hukum Islam yaitu
al-Qur’a>n, as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Pada dasarnya hukum islam itu hanya
bersumber dari al-Qur’a>n dan al-Hadits. Setelah Islam semakin berkembang,
4
yang dimunculkan oleh para mujtahid, sehingga dikenal istilah sebagai
hukum primer dan hukum sekunder.
Hukum primer yaitu hukum-hukum yang telah disepakati oleh para
jumhur ulama (al-Qur’a>n, as-Sunnah, al-Ijma, dan al-Qiyas) dan hukum
sekunder yaitu sumber-sumber hukum yang masih diperselisihkan
pemakaiannya dalam menetapkan hukum Islam oleh para ulama (al-Istih{sa>n,
al-Mas{lah{ah al-Mursalah, al-Istish{a>b). Salah satu dari sumber hukum
sekunder dalam Islam akan dibahas secara detail, yaitu Mas{lah{ah Mursalah.
Secara umum Mas{lah{ah Mursalah adalah suatu kemaslahatan yang
tidak ada nash juz’i (dalil rinci) yang mendukungnya, dan tidak ada pula yang
menolaknya dan tidak ada pula ijma’ yang mendukungnya, tetapi
kemaslahatan ini didukung oleh sejumlah nash melalui cara istiqr>a’ (induksi
dari sejumlah nash).4
Hukum-hukum yang berkaitan dengan muamalat hanya dijelaskan di
dalam Alquran dalam prinsip-prinsip dasar dan umum, kalaupun ada Sunnah
yang memperincinya tetapi jumlahnya tidak banyak. Ini dilatarbelakangi
pada realita bahwa hukum-hukum yang demikian banyak terkait dengan
perubahan lingkungan dan kondisi serta kemaslahatan yang berkembang
dalam masyarakat.
Perkembangan zaman selalu berubah-ubah setiap tahun ke tahun
mengikuti situasi dan kondisi. Manusia merasa kesulitan untuk memecahkan
suatu masalah yang terjadi pada zaman ini jika tidak terdapat masalah yang
5
serupa pada zaman dahulu. Maka manusia diberi kebebasan untuk mengatur
kehidupannya sesuai situasi dan kondisi yang dialami dengan syarat tidak
bertentangan dengan nash maupun maksud syara’.
Para ulama merumuskan bahwa asal sesuatu yang bermanfaat boleh
dilakukan selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Kaidah
usul fikih dalam hal ini berbunyi:
اَهِِْْ ََْ ىَ َع ُلْ ِاَدا َلُدَي َََح ُ َحاَب ِا ِءاَ ْشَأ ِِ ُلْصَأ
‚
Hukum asal segala sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yangmengharamkannya‛.5
Dalil ini sejalan dengan firma Allah Swt dalam surat Al-Baqarah ayat 29:
‚Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan
Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.‛ 6
Ayat ini menjelaskan bahwa semua yang diciptakan Allah SWT di
bumi adalah untuk manusia. Manusia boleh memanfaatkannya untuk
kepentingan hidupnya, seperti untuk dimakan dan diminum. Selama tidak ada
larangan yang menjelaskan kepada manusia untuk mengkonsumsi suatu
makanan dan minuman atau melakukan suatu tindakan, berarti hal tersebut
halal dan dibolehkan. Namun jika ada nash yang melarangnya, berarti pada
makanan dan minuman serta tindakan itu mengandung mad{harat dan bahaya
5
Firdaus, Usul Fiqih, (Jakarta: Zikrul, 2004), 108
6
6
bagi kehidupan manusia sehingga harus di tinggalkan.7 Begitu juga dalam hal
jual beli, apabila ada suatu praktik jual beli yang belum diketahui hukumnya,
maka boleh dilakukan asalkan hal itu menghasilkan manfaat dan tidak
bertentangan dengan nash dan maksud syara’.
Prinsip yang harus ada dalam jual beli adalah kejujuran, kepercayaan,
dan saling rela. Prinsip ini dibuat agar dalam jual beli tidak ada pihak yang
dirugikan, kedua belah pihak mendapatkan kemanfaatan dari apa yang telah
dilakukannya. Jika kedua belah pihak mempunyai i’tikad yang baik maka
tidak akan terjadi kecurangan yang bisa merugikan salah satu pihak seperti
adanya jual beli yang mengandung unsur maisir, riba>, dan gharar.
Sebagai contoh yang terjadi, di desa Kacangan Kecamatan Andong
kabupaten Boyolali terdapat beberapa penjual makanan burung seperti sentrat
burung/vour, jangkrik, kroto dll. Lokasi toko tidak jauh dari pasar Kacangan,
jadi toko makanan burung itu termasuk ramai pembeli. Di Kecamatan
Andong terdapat beberapa desa yang mana masyarakatnya suka mencari
burung di perkebunan untuk dijual maupun dipelihara sendiri, ada juga yang
langsung membeli burung lalu memeliharanya. Mayoritas makanan pokok
burung yang dipelihara masyarakat adalah jangkrik, melihat situasi yang
seperti ini maka ada beberapa masyarakat yang berwirausaha menjual
makanan burung seperti jangkrik.
Biasanya masyarakat memberi makan burung peliharaan dengan
mencari jangkrik sendiri di perkebunan dan sawah. Namun setelah ada
7
penjual jangkrik mereka lebih memilih untuk membeli jangkrik dari pada
mencari sendiri dengan susah payah. Setiap harinya penjual jangkrik
mendapatkan jangkrik dari peternak jangkrik untuk dijual kembali kepada
pecinta burung. Jual beli jangkrik yang terjadi di desa Kacangan kecamatan
Andong kabupaten Boyolali mengalami perkembangan yang bisa dibilang
cepat.
Pada tahun 2000 pedagang pakan burung mulai menambah
dagangannya berupa jangkrik, pada saat itu praktiknya jual beli jangkrik yang
terjadi di desa Kacangan kecamatan Andong Kabupaten Boyolali, penjual
melayani pembeli jangkrik dengan hitungan harga perekor jangkrik, penjual
menghitung jangkrik yang akan dibeli satu persatu dan ini membutuhkan
penanganan yang lama, terkadang juga saat proses menghitung jangkrik
penjual lupa jumlah jangkrik yang sudah dimasukkan ke kantong plastik
sehingga penjual harus memulai menghitung dari awal lagi.8
Dua tahun kemudian setelah bisnis jualan jangkrik ini berkembang,
sudah mempunyai banyak pelanggan, dan tokonya menjadi ramai, laris, dan
mulai berkembang cara penjualan jangkrik diubah menjadi sistem timbangan
dimana jangkrik di timbang per-ons dengan harga sedemikian. Akan tetapi
jika seorang pembeli hendak membeli jangkrik dengan jumlah sedikit,
misalkan hanya membeli sebesar Rp 1.000,00 – Rp 5.000,00, maka penjual
melayani pembeliannya dengan sistem perkiraan. Penjual jangkrik
memperkirakan jumlah jangkrik yang diwadahi ke dalam kantong plastik
8
bening tanpa menghitungnya ekor perekor. Cara memperkirakannya yaitu
dengan melihat jangkrik yang sudah dimasukkan kedalam kantong plastik
bening, jika dikira sudah cukup maka jangkrik diberikan kepada pembeli. Hal
ini disebabkan karena jika pembeli membeli jangkrik dengan jumlah sedikit
maka ketika ditimbang kedalam timbangan yang terjadi adalah berat jangkrik
kurang dari 1 ons, dan jika dihitung dengan harga perekor jangkrik akan
menyulitkan penjual dalam penghitungannya karena pengambilan jangkrik
memerlukan penanganan yang lama.9
Adanya penjualan jangkrik dengan sistem perkiraan ini menyebabkan
ketidakpastian jumlah jangkrik yang dibeli, bahkan terkadang pembeli satu
dengan pembeli lainnya membanding-bandingkan banyaknya jangkrik yang
dibeli dengan harga yang sama namun jumlahnya berbeda. Sistem jual beli
jangkrik dengan perkiraan seperti ini sudah lama diterapkan oleh para penjual
jangkrik di Desa Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali, dan
sampai saat ini masih menggunakan cara seperti yang dipaparkan diatas.
Berangkat dari latar belakang ini penulis tertarik untuk meneliti
tentang masalah tersebut di atas, penulis ingin membahasnya melalui skripsi
dengan judul: ‚Tinjauan Mas{la{hah Mursalah terhadap Praktik Jual Beli
Jangkrik dengan Sistem Perkiraan di Desa Kacangan Kecamatan Andong
Kabupaten Boyolali.‛
9
B. Identifikasi Masalah
Dari uraian tentang latar belakang di atas mengenai praktik jual beli
jangkrik dengan sistem perkiraan di desa Kacangan kecamatan Andong
kabupaten Boyolali, maka teridentifikasi beberapa masalah, diantaranya
adalah:
1. Adanya perbedaan cara dalam melayani pembeli jangkrik yaitu dengan
timbangan dan perkiraan.
2. Pembeli jangkrik saling membandingkan jumlah jangkrik yang diperoleh
dari harga yang sama tetapi jumlahnya berbeda.
3. Ketidakpastian jumlah jangkrik yang diterima pembeli.
4. Tinjuan mas{lah{ah mursalah terhadap jual beli jangkrik dengan sistem
perkiraan.
5. Terdapat perbedaan perkiraan antara penjual jangkrik yang satu dengan
lainnya.
C. Batasan Masalah
Pokok masalah pelaksanaan di atas meliputi berbagai aspek bahasan
yang masih bersifat umum sehingga terdapat berbagai macam masalah dan
pemikiran yang berkaitan dengan itu, agar lebih praktis dan khusus
diperlukan batasan masalah yang meliputi:
1. Praktik jual beli jangkrik dengan sistem perkiraan di Desa Kacangan
10
2. Tinjauan mas{lah{ah mursalah terhadap jual beli jangkrik dengan sistem
perkiraan di Desa Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali.
D. Rumusan Masalah
Bermula dari latar belakang dan dari identifikasi masalah yang telah
ditemukan, maka penulis dapat memberikan rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana praktik jual beli jangkrik dengan sistem perkiraan di Desa
Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali?
2. Bagaimana tinjauan mas{lah{ah mursalah terhadap jual beli jangkrik
dengan sistem perkiraan di Desa Kacangan Kecamatan Andong
Kabupaten Boyolali?
E. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian/penelitian
yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang akan diteliti sehingga
terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan
pengulangan atau duplikasi dari kajian/penelitian yang telah ada. Berdasarkan
deskripsi tersebut, posisi penelitian yang akan dilakukan harus jelas.10 Kajian
pustaka ini intinya adalah untuk mendapatkan gambaran umum, hubungan
10 Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi Dekan Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Sunan
11
topik yang akan diteliti dengan penelitian yang sejenis yang pernah dilakukan
oleh peneliti sebelumnya sehingga tidak ada lagi pengulangan.
Dari beberapa penelitian dan pembahasan terdahulu yang telah penulis
telusuri, penulis menemukan beberapa penelitian tentang jual beli dengan
sistem perkiraan atau takaran dalam objek yang berbeda-beda, di antaranya
adalah:
Pertama, Muhammad Kurniawan jurusan Muamalah Fakultas Syariah
Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya tahun 2013, dengan
judul skripsi ‚Tinjauan Hukum Islam terhadap Jual Beli Bibit Lele dengan
Sistem Hitungan dan Takaran di Desa Tulungrejo Kec. Sumberrejo Kab.
Bojonegoro.11 Skripsi ini menjelaskan bahwa dalam praktik jual beli bibit
lele, pihak penjual dan pembeli sepakat dengan menggunakan sistem
hitungan dan takaran yang mana takaran pertama dijadikan sebagai acuan
untuk takaran-takaran selanjutnya walaupun takaran selanjutnya tidak bisa
dipastikan jumlahnya. Kesimpulannya yaitu membolehkan jual beli bibit lele
dengan sistem hitungan dan takaran karena praktiknya sudah memenuhi
syarat dan rukun jual beli, tidak ada tipu menipu dan saling rela.
Kedua, Anna Dwi Cahyani jurusan Mu’amalat Fakultas Syari’ah UIN
Sunan Kalijaga 2010, dengan judul skripsi ‚Jual Beli Bawang Merah dengan
Sistem Tebasan di Desa Sidapurna Kec. Dukuh Turi Tegal (Sebuah Tinjauan
11 Muhammad Kurniawan, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Jual Beli Bibit Lele Dengan Sistem
12
Sosiologi Hukum Islam).‛12 Skripsi ini membahas tentang jual beli bawang
dengan cara tebasan. Dalam judul ini penulis menyatakan bahwa jual beli
yang seperti ini seharusnya tidak dilakukan, karena jual beli macam ini
memungkinkan terjadinya spekulasi dari pedagang dan pembeli karena
kualitas dan kuantitas bawang merah belum tentu jelas keadaan dan
kebenaran sempurna.
Adapun penelitian yang berjudul ‚Tinjauan Mas{lah{ah Mursalah
Terhadap Jual Beli Jangkrik dengan Sistem Perkiraan di Desa Kacangan
Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali‛, ini difokuskan pada tinjauan
mas{lah{ah mursalah terhadap prektek jual beli jangkrik dengan sistem
perkiraan. Apabila dilihat dari obyek penelitian yang telah penulis telusuri di
atas, adanya perbedaan obyek penelitian dan perbedaan analisis yang
digunakan maka permasalahan yang muncul juga akan berbeda.
F. Tujuan Penelitian
Agar suatu langkah penulisan pembahasan masalah ini dapat diketahui
tujuannya, maka penulis membuat tujuan yang ingin dicapai dalam
penelilitian ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui praktik jual beli jangkrik dengan sistem perkiraan di
Desa Kacangan Kecamatan Andong Kabupten Boyolali.
12
Anna Dwi Cahyani, Jual Beli Bawang Merah Dengan Sistem Tebasan Di Desa Sidapurna Kec.
Dukuh Turi Tegal (Sebuah Tinjauan Sosiologi Hukum Islam), (Skripsi pada progam Strata satu
13
2. Untuk memahami bagaimana tinjauan mas{lah{ah mursalah terhadap
praktik jual beli jangkrik dengan sistem perkiraan di Desa Kacangan
Kecamatan Andong Kabupten Boyolali.
G. Kegunaan Hasil Penelitian
Sebuah penelitian dilakukan agar bisa mendatangkan kemanfaatan
dan berguna bagi siapa saja yang membaca. Dengan judul yang penulis pilih
yaitu tentang tinjauan mas{lah{ah mursalah terhadap praktik jual beli jangkrik
di desa Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali, semoga dapat
dipergunakan untuk:
1. Secara teoritis : menambah hazanah keilmuan serta dapat dijadikan
acuan lagi bagi peneliti-peneliti atau kalangan yang ingin mengkaji
masalah ini pada suatu saat nanti.
2. Secara praktis:
a. Untuk mengetahui secara langsung praktik terjadinya jual beli
jangkrik dengan sistem perkiraan di Desa Kacangan Kecamatan
Andong Kabupten Boyolali.
b. Dapat dijadikan acuan bagi masyarakat umum apabila menjumpai
permasalahan seperti praktik terjadinya jual beli jangkrik dengan
sistem perkiraan.
H. Definisi Operasional
Untuk memahami judul sebuah skripsi perlu adanya pendefinisian
14
penulis bahas dalam skripsi ini ‚Tinjauan Mas{lah{ah Mursalah terhadap Jual
Beli Jangkrik dengan Sistem Takaran di Desa Kacangan Kecamatan Andong
Kabupaten Boyolali‛, dan untuk menghindari kesalahpahaman dalam
pengertian maksud dari judul di atas, maka penulis memberikan definisi yang
menunjukkan ke arah pembahasan sesuai dengan maksud yang dikehendaki
dengan judul tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mas{lah{ah Mursalah : Kemaslahatan yang sejalan dengan maqa>sid
al-syari’ah, tetapi tidak ada nash secara khusus yang
memerintahkannya atau melarangnya.13
2. Jual Beli Jangkrik : Serangga kecil yang didapatkan dari peternak untuk
diperjualbelikan, jangkrik ini dimanfaatkan sebagai
pakan untuk burung peliharaan setiap harinya.
3. Sistem Perkiraan : Menentukan jumlah jangkrik dengan cara
mengira-ngira sesuai yang dikehendaki dengan merujuk pada
harga jangkrik yang diminta oleh pembeli.
I. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field reseach) yang
memfokuskan pada kasus yang terjadi di lapangan (Desa Kacangan
Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali) dengan tetap merujuk pada
konsep-konsep yang ada. Penulis memilih penelitian ini karena penulis
13
15
mendapatkan permasalahan dalam jual beli jangkrik di desa Kacangan
Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali yang dikira kurang sesuai dengan
aturan jual beli dalam ajaran Islam namun di dalamnya mengandung
kemaslahatan. Keseluruhan obyek penelitian yang berupa orang,
perusahaan, kasus, tingkah laku, alat-alat penyelenggaraan dan lain
sebagainya akan penulis kaji dalam pembahasan selanjutnya.
2. Pengumpulan Data
Sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan, maka dalam
penelitian ini data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Praktek jual beli jangkrik dengan melihat langsung di lokasi tentang
bagaimana proses jual beli jangkrik itu berlangsung.
b. Proses terjadinya pelayanan penjual jangkrik kepada pembeli dengan
sistem perkiraan yang membuat pembeli saling membandingkan hasil
beliannya.
c. Data tentang ketentuan yang berlaku terkait dengan proses terjadinya
jual beli jangkrik di Desa Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten
Boyolali.
3. Sumber Data
Adapun sumber-sumber dalam penelitian ini diperoleh dari
16
a. Sumber Data Primer
Sumber primer yaitu sumber yang langsung berkaitan dengan
obyek penelitian.14 Sumber data primer yang berasal dari responden
antara lain: Pembeli dan penjual jangkrik yang merupakan masyarakat
wilayah Desa Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali yang
diambil secara acak dalam proses jual beli jangkrik dengan sistem
perkiraan.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber sekunder yaitu sumber yang mendukung atau
melengkapi dari sumber primer.15 Sumber data sekunder merupakan
sumber pelengkap yang penulis ambil untuk mendukung data primer
antara lain:
1. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalat.
2. Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalah.
3. Suqiyah Musafa’aah dkk, Hukum Ekonomi dan Bisnis Islam I.
4. Nasrun Haroen, Fiqih Mua'malah dan Us}u>l Fiqh 1.
5. Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam.
6. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2.
7. Asmawi, Perbandingan Us}u>l Fiqh.
8. A. Syafi’I Karim, Us}u>l Fiqih.
9. Abdul Wahab Khallaf, Qa>’idah-qa>’idah Hukum Islam
14 Andi Prastowo, Memahami Metode-Metode Penelitian, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011),
31.
17
10.Moh Abu Zahrah, Us{ul Fiqih.
11. Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam.
12. Muhammad Mushthafa al-Syalabi, Ta’li>l al-Ahka>m.
4. Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini diperoleh dengan beberapa teknik antara
lain:
a. Observasi
Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data dengan cara
mengadakan pengamatan langsung pada objek yang diteliti dengan
jalan pengamatan dan pencatatan.16 Melihat bagaimana pelaksanaan
penjualan jangkrik dengan sistem perkiraan bagi pembeli yang
membeli dengan harga yang rendah sehingga tidak memungkinkan
untuk di timbang karena beratnya kurang dari 1ons dan hal-hal lain
yang terkait dengannya.
b. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan
untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang
dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti.17 Penulis akan
mewawancarai antara penjual dan pembeli jangkrik untuk
mendapatkan pengetahuan tentang pelaksanaan proses pelayanan
pembeli jangkrik dengan sistem perkiraan tanpa ditimbang.
Wawancara akan dilakukan dengan cara sistematis yaitu
16 Masruhan, Metodologi Penelitian Hukum, (Surabaya: Hilal Pustaka, 2013), 213.
18
mempergunakan daftar wawancara yang telah dipersiapkan secara
cermat untuk memperoleh informasi yang relevan dengan masalah
penelitian.
c. Dokumentasi
Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau
variabel yang berupa catatan, buku, surat kabar, dan lain sebagainya.18
Dengan adanya dokumentasi ini maka dapat meningkatkan keabsahan
dan penelitian akan terjamin, karena peneliti betul-betul melakukan
penelitian kelapangan secara langsung.
5. Teknik Pengolahan Data
Setelah pengumpulan data yang diperoleh secara kualitatif, maka
tahap berikutnya adalah teknik pengelolaan data sebagai berikut:
a. Editing, yaitu memeriksa kembali data yang diperoleh dari proses jual
beli jangkrik dengan sistem perkiraan di Kecamatan Andong
Kabupaten Boyolali dari segi kelengkapan dan kesesuaian antara data
yang satu dengan yang lainnya.
b. Organizing, yaitu menyusun secara sistematis data yang diperoleh
dalam kerangka yang sudah direncanakan sebelumnya dan kerangka
tersebut dibuat berdasarkan data yang relevan dengan sistematika
pertanyaan dalam rumusan masalah.
18 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Revisi, (Jakarta: PT
19
6. Analisis Data
Data yang diperoleh dari lapangan akan dianalisis dengan
menggunakan deskriptif analisis, yaitu memaparkan data yang terkait
dengan masalah yang dibahas yang ditemukan dalam berbagai literatur dan
kesimpulannya diambil logika deduktif yaitu memaparkan masalah–
masalah yang bersifat umum kemudian ditarik suatu kesimpulan yang
bersifat khusus.
J. Sistematika Pembahasan
Penelitian ini dibagi dalam lima bab yang masing-masing mengandung
sub-sub antara yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Adapun
sistematikanya sistematika sebagai berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang memuat tentang tentang
latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan
masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, definisi
operasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua akan membahas tentang kajian pustaka yang menguraikan
teori-teori yang berkaitan dengan praktik jual beli, dalam hal ini mencakup
bahasan tentang konsep jual beli dalam islam yang di antaranya mengenai
pengertian, landasan hukum, rukun dan syarat, macam-macam, dan hikmah
jual beli. Selanjutnya adalah teori mas}lah}ah mursalah yang memuat tentang
20
Bab ketiga merupakan penyajian data hasil penelitian yang telah
dikumpulkan kemudian dideskripsikan secara objektif mengenai gambaran
umum tentang lokasi penelitian dan praktik jual beli jangkrik dengan sistem
perkiraan.
Bab keempat memuat tentang analisis, menggunakan analisis jual beli
dan mas{lah{ah mursalah terhadap praktik jual beli jangkrik dengan sistem
perkiraan di Desa Kacangan Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali.
Bab kelima merupakan penutup, yang di dalamnya memuat tentang
BAB II
KONSEP JUAL BELI DAN TEORI MAS{LAH{AH MURSALAH
A. Pengertian Jual Beli
1. Definisi jual beli
Jual beli atau perdagangan dalam istilah fiqh disebut al-bai’ yang
menurut etimologi berarti menjual atau mengganti. Wahbah al-Zuhaily
mengartikannya secara bahasa dengan ‚menukar sesuatu dengan sesuatu
yang lain‛. Kata al-bai’ dalam bahasa arab terkadang digunakan untuk
pengertian lawannya, yaitu kata al-syira’ (beli).1
Perkataan jual beli terdiri dari dua suku kata yaitu ‚jual dan beli‛.
Kata ‚jual‛ dan ‚beli‛ mempunyai arti yang satu sama lainnya bertolak
belakang. Kata jual menunjukkan bahwa adanya perbuatan menjual,
sedangkan beli adalah adanya perbuatan membeli.2
Secara terminologi terdapat beberapa definisi jual beli yang
dikemukakan ulama fiqh:
a. Menurut ulama Hanafiyah:
ىٍ ْ ُ َْ ىٍ ْ َ ى َ َ ى ٍا َِ ى ٍا َ ىُ َ َا َ ُ
‚Saling menukar harta dengan harta melalui cara tertentu‛; atau
ىٍ ْ ُ َْ ىٍ َ ُ ىٍ ْ َ ى َ َ ىِ ْ ِِ ىِ ْ ِ ى ٍ ْ ُ ْ َ ىٍ ْ َ ىُ َ َا َ ُ
‚Tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.‛3
1 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), 67.
2 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika, 1994). 33
22
b. Menurut Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah:
ىُ َ َا َ ُ
ىْا
ىِا َ
ىْا ِ ى
ىً ََ َ ىً ْ ِ َْ ى ِا َ
‚Saling tukar menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan‛.4
c. Menurut Menurut Sayyid Sabiq:
ىُ َ َا َ ُ
ىٍا َ
ىِا َِ
َ َ
ىِ ْ ِ َ
ِض َ ت
,
ىْ َ
ىُ ْ َ
ىٍ ْ ِ
ىٍ َ ِ ِ
َ َ
ىِ ْ َ
ىْ
َ
ا
ىِ ْ ِ ىِ ْ ُ
.
‛Pertukaran harta dengan harta atas dasar saling merelakan‛. Atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan‛.5
Dengan demikian perkataan jual beli menunjukkan adanya dua
perbuatan dalam satu peristiwa, yaitu satu pihak menjual dan dipihak
yang lain memberi, maka dalam hal ini terjadilah peristiwa hukum jual
beli.6
2. Rukun dan Syarat Sahnya Jual Beli
Jual beli merupakan suatu akad, yaitu suatu persetujuan atau
perikatan. Jual beli dipandang sah apabila telah memenuhi rukun dan
syaratnya. Menurut jumhur Ulama’ rukun jual beli ada empat:
a. Orang yang berakad
b. S}igat (Lafal Ija>b dan qabu>l).
c. Ada barang yang dibeli
d. Ada nilai tukar pengganti barang.7
Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang
dikemukakan jumhur ulama adalah sebagai berikut:
4 Ibid., 112.
5 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalah..., 67.
6 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam..., 33.
7 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
23
a. Syarat-syarat orang yang berakad.
1) Berakal. Oleh sebab itu, jual beli yang dilakukan anak kecil yang
belum berakal dan orang gila, hukumnya tidak sah. Adapun anak
kecil yang telah mumayiz, menurut ulama Hanafiyah, apabila akad
yang dilakukannya membawa keuntungan bagi dirinya, seperti
menerima hibah, wasiat dan sedekah, maka akadnya sah.
Sebaliknya, apabila akad itu membawa kerugian bagi dirinya,
seperti meminjamkan hartanya kepada orang lain, mewaqafkan atau
menghibahkannya, maka tindakan hukumnya tidak boleh
dilaksanakan.8
2) Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda. Artinya,
seseorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan
sebagai penjual sekaligus pembeli. Misalnya, Ahmad menjual
sekaligus membeli barangnya sendiri, maka jual belinya tidak sah.
b. Syarat-syarat yang terkait dengan ijab qabul.
1) Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal.
2) Qabul sesuai dengan ijab. Misalnya, penjual mengatakan: ‚Saya jual
buku ini seharga Rp. 20.000, lalu pembeli menjawab: ‛Saya beli
buku ini dengan harga Rp.20.000. Apabila antara ijab dan qabul
tidak sesuai maka jual beli tidak sah.9
3) Ijab dan qabul itu dilakukan dalam satu majelis.
8 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalah …, 72.
24
Di zaman modern, perwujudan ijab dan qabul tidak lagi
diucapkan, tetapi dilakukan dengan sikap mengambil barang dan
membayar uang oleh pembeli, serta menerima uang dan menyerahkan
barang oleh penjual tanpa mengucapkan apapun. Dalam Islam jual beli
seperti ini disebut dengan ba’i al-mu’at{hah.
Dalam kasus perwujudan ijab dan qabul melalui sikap ini (ba’i al
-mu’at{hah) terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama fiqh. Jumhur
ulama berpendapat bahwa jual beli seperti ini hukumnya boleh, apabila
hal ini merupakan kebiasaan masyarakat di suatu daerah, karena hal ini
telah menunjukkan unsur saling rela dari kedua belah pihak.10
Akan tetapi, ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa transaksi jual
beli harus dilakukan dengan ucapan yang jelas atau sindiran melalui
ijab dan qabul. Oleh sebab itu, menurut mereka jual beli seperti kasus
di atas (ba’i al-mu’at{hah) hukumnya tidak sah, baik jual beli itu dalam
partai besar maupun kecil. Unsur kerelaan adalah masalah tersembunyi
dalam hati, karenanya perlu diungkapkan dengan kata-kata ijab dan
qabul.11
c. Syarat-syarat barang yang dijualbelikan (Ma’qud alaihi).
1) Barang itu ada, atau tidak ada di tempat, tetapi pihak penjual
menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu.
2) Dapat dimanfaatkan dan dapat bermanfaat bagi manusia. Oleh
sebab itu, bangkai, khamar, dan darah tidak sah menjadi objek jual
10 Ibid, 117.
25
beli, karena dalam pandangan syara’ benda-benda seperti itu tidak
bermanfaat bagi muslim.
3) Milik seseorang. Barang yang sifatnya belum dimiliki seseorang
tidak boleh dijualbelikan, seperti memperjualbelikan ikan di laut
atau emas dalam tanah, karena ikan dan emas ini belum dimiliki
penjual.
4) Boleh diserahkan saat akad berlangsung atau pada waktu yang
disepakati bersama ketika transaksi berlansung. 12
3. Jual Beli yang dilarang.
Berkaitan denga jual beli yang dilarang oleh Islam, para ulama
menjabarkannya sebagai berikut:
a. Terlarang sebab Ahliyah (Orang yang berakad).13
1) Jual beli oleh orang gila.
2) Jual beli oleh anak kecil, ulama fiqih sepakat bahwa jual beli
anak kecil dipandang tidak sah, kecuali dalam perkara-perkara
yang ringan.
3) Jual beli oleh orang buta, jumhur ulama mengkategorikan s}a>h{ih
jika barang-barang yang dibelinya diterangkan sifat-sifatnya.
4) Jual beli terpaksa.
5) Jual beli fud}ul, yaitu jual beli milik orang lain tanpa seizin
pemiliknya.
12 Ibid., 118.
13Suqiyah Musafa’aah dkk, Hukum Ekonomi dan Bisnis Islam I, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel
26
6) Jual beli orang yang terhalang, maksudnya adalah terhalang
karena kebodohan, bangkrut (taflis), ataupun sakit.
7) Jual beli malja>’, yaitu jual beli orang yang sedang dalam bahaya,
yakni untuk menghindari perbuatan zalim.
b. Jual beli terlarang karena tidak memenuhi syarat dan rukun.
1) Jual beli barang yang zatnya haram, najis, atau tidak boleh
diperjualbelikan. Barang yang najis atau haram dimakan haram
juga untuk diperjualbelikan, seperti babi, berhala, bangkai, dan
khamar (minuman yang memabukkan).14
2) Jual beli yang bersifat spekulasi atau samar-samar, karena dapat
merugikan salah satu pihak. Yang dimaksud samar-samar adalah
tidak jelas, baik barangnya, harganya, kadarnya, masa
pembayarannya, maupun ketidakjelasan yang lainnya.
3) Jual beli bersyarat, yaitu jual beli yang ijab kabulnya dikaitkan
dengan syarat-syarat tertentu yang tidak ada kaitannya dengan jual
beli atau ada unsur yang merugikan dilarang oleh agama.
4) Jual beli yang menimbulkan kemudaratan, yaitu segala sesuatu
yang dapat menimbulkan kemudaratan, kemaksiatan, bahkan
kemusyrikan dilarang untuk diperjualbelikan, seperti jual beli
patung, salib, dan buku-buku bacaan porno.
5) Jual beli yang dilarang karena dianiaya, yaitu segala bentuk jual
beli yang mengakibatkan penganiayaan hukumnya haram, seperti
14
27
menjual anak binatang yang masih membutuhkan (bergantung)
kepada induknya.
6) Jual beli muh{alaqah, yaitu menjual tanam-tanaman yang masih di
ladang atau di sawah.15
7) Jual beli mukhdara>t, yaitu menjual buah-buahan yang masih hijau
(belum pantas dipanen).
8) Jual beli mula>masah, yaitu jual beli secara sentuh-menyentuh.
9) Jual beli muna>badhah, yaitu jual beli secara lempar-melempar.
Seperti orang berkata: ‚Lemparkan kepadaku apa yang ada
padamu, nanti kulemparkan pula kepadamu apa yang ada padaku‛.
Setelah terjadi lempar-melempar terjadilah jual beli.
10)Jual beli muza>banah, yaitu menjual buah yang basah dengan buah
yang kering. Seperti menjual padi kering dengan bayaran padi
basah sedang ukurannya dengan ditimbang sehingga merugikan
pemilik padi kering.16
c. Jual beli terlarang karena ada faktor lain yang merugikan pihak-pihak
terkait. Jual beli ini antara lain:
1) Jual beli dari orang yang masih dalam tawar menawar.
2) Jual beli dengan menghadang dagangan di luar kota/pasar.
3) Membeli barang dengan memborong untuk ditimbun.
4) Jual beli barang rampasan atau curian.17
15
Hendi Suhendi, Fiqih Mua’malah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 79.
16
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalah …, 85.
17
28
4. Hikmah Jual Beli
Allah SWT mensyariatkan jual beli sebagai keluangan dan
keleluasaan kepada hamba-hamba-Nya, karena semua manusia secara
pribadi mempunyai kebutuhan berupa sandang, pangan, dan papan. Dalam
hubungan ini, tak ada satu hal pun yang lebih sempurna daripada saling
tukar, dimana seseorang memberikan apa yang ia miliki untuk kemudian ia
memperoleh sesuatu yang berguna dari orang lain sesuai dengan
kebutuhannya masing-masing.18
Berikut ini terdapat pendapat ulama tentang hikmah jual beli:19
a. Menurut Al Jazairi, hikmah disyariatkannya jual beli ialah seorang
muslim bisa mendapatkan apa yang dibutuhkan dengan sesuatu yang
ada ditangan saudaranya tanpa kesulitan yang berarti.
b. Menurut As Shan’ani adalah bahwa kebutuhan manusia tergantung
dengan apa yang ada pada orang lain (temannya); sedangkan
temannya itu terkadang tidak mau memberikannya kepada orang lain.
Maka dalam syariat jual beli itu terdapat sarana untuk sampai kepada
maksud itu, tanpa dosa.
B. Pengertian Mas}lah}ah Mursalah
1. Pengertian Mas}lah{ah
Kata mas}lah}ah merupakan bentuk masdar dari kata kerja s}alah{a
dan s{aluh{a. Secara etimologis, kata ‚ةحلصملا‛, jamaknya ‚حل صملا‛ berarti
18 Ibid.
29
sesuatu yang mendatangkan kebaikan, faedah dan guna. Sesuatu yang
bermanfaat dan ia merupakan lawan dari keburukan atau kerusakan
‚ اوصلاو ريخلا‚.20 Maslahat secara etimologi didefinisikan sebagai upaya
mengambil manfaat dan menghilangkan mafsadat/madharat.21
Mas}lah}ah dalam bahasa Arab berarti perbuatan-perbuatan yang
mendorong kepada kebaikan manusia. Mas}lah}ah dalam arti yang umum
yaitu setiap segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam
arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan keuntungan atau
kesenangan dalam arti menolak atau menghindarkan dari mad}arat.
Segala sesuatu yang mengandung kebaikan dan manfaat di dalamnya
disebut dengan mas}lah}ah. 22
Ada beberapa pendapat dari para ulama’ tentang pengertian
mas}lah}ah secara terminologi, antara lain:
a. Imam Ghazali (madzab syafi’i), mengemukakan bahwa: al-mas}lah}ah
pada dasarnya adalah mengambil manfaat dan menolak kemudaratan
dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syariat. Yang dimaksud Imam
Al-Ghazali manfaat dalam tujuan syariat yang harus dipelihara
terdapat lima bentuk yakni: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan
dan harta. Dengan demikian yang dimaksud mafsadah adalah sesuatu
yang merusak dari salah satu diantara lima hal tujuan syariat yang
20 Asmawi, Perbandingan Us}u>l Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), 128.
21 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2 Cetakan ke-1 (Jakarta: Logowacana, 1999),323
22
30
disebut dengan istilah al-Maqās}id al-Shari‘ah menurut al-Syatibi.
Imam Ghazali mendefinisikan mas{lah{ah sebagai berikut :
ىة ض ىع ا ى فن ىب ىن ى صأ ىيىةر ىيه ى ح ا
ُ
ت ير ض ىح ا
َ
‚Maslahat pada dasarnya ialah berusaha meraih dan mewujudkan
manfaat atau menolak kemudaratan.23
b. Jalaluddin Abdurrahman secara tegas menyebutkan bahwa mas}lah}ah
dengan pengertian yang lebih umum dan yang dibutuhkan itu ialah
semua apa yang bermanfaat bagi manusia baik yang bermafaat untuk
meraih kebaikan dan kesenangan maupun bermanfaat untuk
menghilangkan kesulitan dan kesusahan. Serta memelihara maksud
hukum syariat terhadap berbagai kebaikan yang telah digariskan dan
ditetapkan batas-batasnya, bukan berdasarkan keinginan dan hawa
nafsu manusia belaka.24
c. Al-Kawarizmi, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-
mas}lah}ah adalah memelihara tujuan syariat dengan cara
menghindarkan kemafsadahan dari manusia. Dari pengertian tersebut,
beliau memandang mas}lah}ah hanya dari satu sisi, yaitu
menghindarkan mafsadat semata, padahal kemaslahatan mempunyai
sisi lain yang justru lebih penting, yaitu meraih manfaat.25
23 Nasrun Haroen, Us}u>l Fiqh 1, (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), 114.
24 Romli, Muqaranah Mazahib fil Us}u>l ,(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), 158.
31
d. Menurut Al-Thufi mas}lah}ah merupakan dalil paling kuat yang secara
mendiri dapat dijadikan alasan dalam menentukan hukum syariat.26
Dari beberapa pengertian di atas dapat diketahui bahwa mas}lah}ah
merupakan tujuan dari adanya syariat Islam, yakni dengan memelihara
agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara kehormatan, serta
memelihara harta.
2. Pengertian Maṣlaḥah Mursalah
Mas}lah}ah mursalah merupakan salah satu metode yang
dikembangkan ulama Us}ul Fiqh dalam mengistinbatkan hukum dari nas{.
Menurut Abdul Wahhab Khallaf mas}lah}ah mursalah yaitu suatu yang
dianggap maslahat namun tidak ada ketegasan hukum untuk
merealisasikannya dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang mendukung
maupun menolaknya, sehingga disebut mas}lah}ah mursalah (mas}lah}ah
yang lepas dari dalil secara khusus).27 Untuk menghukumi sesuatu yang
tidak dijelaskan oleh syariat perlu dipertimbangkan faktor manfaat dan
mudaratnya. Bila mudaratnya lebih banyak maka dilarang oleh agama,
atau sebaliknya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah:
‚berubahnya suatu hukum menjadi haram atau bergantung mafsadah atau
mas}lah}ah-nya‛.28
Dengan demikian mas}lah}ah mursalah ini merupakan maslahat
yang sejalan dengan tujuan syariat yang dapat dijadikan dasar pijakan
26 Nasrun Harun, Us}u>l Fiqh 1…, 125.
27 Satria Effendi, Us}u>l Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 149.
32
dalam mewujudkan kebaikan yang dibutuhkan oleh manusia serta
terhindar dari kemudaratan. Dalam kehidupan nyata kemaslahatan
menjadi tolak ukur dalam menetapkan hukum seiring tumbuh dan
berkembangnya kehidupan masyarakat Islam yang dipengaruhi oleh
perbedaan kondisi dan tempat.
ىُ َ َ ْ ُ ْ ىْ َ ىُ َ َ ْ ُ ْ ىُ َحَ ْ َ ْ َ
,
ىَْ ِ ْ ُصُ ْ ىِ َ ِ ْص ى ِ ى
:
ىَْ ى ِ ىُ َحَ ْ َ ْ ى
ىُ ِ ْ َي
ى
ىُ ِر
ى
ً ْ ُح
ى
َهِ ْ ِ ْحَتِ
ى
ىَْ َ ى
ىاُ َي
ى
ىٌ ْ ِ َا
ى
ىٌيِ ْ َ
ى
َ َ
ى
َِر َ ِتْ
ى
َهِئ َغْ ِإْ َ
ىْ َ َ
ى
ىً َ َ ْ ُ
ى
هَِأ
ى
ىَْ ى
ىْ َ ُ
ى
ىِ ْ ِ َ ِ
ى
ىٍر َ ِتْ
ى
ىِ ْ ِ َاْ َ
ى
ىٍا َغْ ِ
‚Al-Mas}lah}ah mursalah ialah yang mutlak. Menurut istilah ahli
usu>l, kemaslahatan yang tidak disyri’atkan oleh syar’a dalam wujud
hukum didalam rangka menciptakan kemaslahatan, disamping tidak
terdapat dalil yang membenarkan atau menyalahkan. Karenanya,
Maslahah Mursalah itu disebut mutlak, lantaran tidak terdapat dalil yang
menyatakan benar dan salah‛.29
Berdasarkan pada pengertian tersebut pembentukan hukum itu
tidak dimaksudkan untuk kecuali merealisir kemaslahatan umat manusia
bagi mereka dan menolak mad}aratan serta menghilangkan kesulitan dari
padanya.
3. Syarat-Syarat Maṣlaḥah Mursalah
Dalam menggunakan mas}lah}ah mursalah sebagai hujjah, para
ulama bersikap sangat hati-hati, sehingga tidak menimbulkan
pembentukan syariat berdasarkan nafsu dan keinginan tertentu. Maka dari
29 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Masdar Helmy, cet ke-2 (Bandung: Gema risalah
33
itu, para ulama menyusun syarat-syarat mas}lah}ah mursalah yang dipakai
sebagai dasar pembentukan hukum.
Imam Maliki memberikan sedikitnya tiga syarat utama agar
mas}lah}ah mursalah dapat dijadikan H{ujjah.
a. Adanya persesuaian antara mas}lah}ah yang dipandang sebagai sumber
dalil yang berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan syara’(Maqa>sid
asy-Syari’ah).
b. Mas}lah}ah itu harus masuk akal, mempunyai sifat-sifat yang sesuai
dengan pemikiran rasional.
c. Penggunaan dalil mas}lah}ah ini dalam rangka menghilangkan
kesulitan yang terjadi (raf’u h}ara>d lazim). Artinya manusia akan
mengalami kesulitan jika mas}lah}ah yang diambil tidak diterima oleh
akal.
Imam Gazali memberikan beberapa persyaratan agar istilah
(Mas}lah}ah) dapat dijadikan h}ujjah dalam istimbat hukum. 30
a. Mas}lah}ah itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan syara>’.
b. Mas}lah}ah itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash
syara’.
c. Mas}lah}ah itu termasuk dalam kategori mas}lah}ah yang d}aru>ri, baik
menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan universal
artinya berlaku untuk semua orang tanpa terkecuali.
34
Untuk terakhir ini al-Gazali juga mengatakan bahwa yang
H{ajjiyah, apabila menyangkut kepentingan orang banyak bisa jadi
d}aru>riyah.
Sedangkan Abdul Wahhab Khalla>f menyebutkan bahwa
syarat-syrat mas}lah}ah mursalah untuk bisa dijadikan sebagai h}ujjah, yaitu:31
a. Mas}lah}ah Harus benar-benar membuahkan mas}lah}ah atau tidak
didasarkan dengan mengada-ngada, Maksudnya ialah agar bisa
diwujudkan pembentukan didasarkan atas peristiwa yang memberikan
kemanfaatan bukan didasari atas peristiwa yang banyak menimbulkan
kemadaratan. Jika mas}lah}ah itu berdasarkan dugaan, atau hukum itu
mendatangkan kemanfaatan tanpa pertimbangan apakah masalah itu
bisa lahir dengan cara pembentukan tersebut. Misalnya, mas}lah}ah
dalam hal pengambilan hak seorang suami dalam menceraikan
istrinya.
b. Mas}lah}ah itu sifatnya umum, bukan bersifat perorangan. Maksudnya
ialah bahwa dengan kaitannya dengan pembentukan hukum terhadap
suatu kejadian atau masalah dapat melahirkan kemanfaatan bagi
kebanyakan umat manusia, yang benar-benar dapat terwujud.
c. Pembentukan hukum dengan mengambil kemaslahatan ini tidak
berlawanan dengan tata hukum atau dasar ketetapan nash dan ijma’.
Seperti hal tuntutan kemaslahatan untuk mempersmakan hak waris
antara anak laki-laki dengan perempuan, merupakan kemaslahatan
31 Abdul Wahha>b Khalla>f, Ilmu Us}ul Fiqh, Cetakan ke-1 (Jakarta: Pustaka Amani, 2003),
35
yang tidak dibenarkan, sebab bertentangan dengan nash yang telah
ada.
d. Pembentukan mas}lah}ah itu harus sesuai dengan prinsip-prinsip yang
ditetapkan oleh hukum-hukum Islam, karena jika bertentangan maka
mas}lahah tersebut tidah dapat dikatakan sebagai mas}lah}ah.
e. Mas}lah}ah itu bukan bukan mas}lah}ah yang tidak benar, dimana nash
yang ada tidak menganggap salah dan tidak pula membenarkannya.
4. Landasan Hukum Maṣlaḥah Mursalah
a. Al-Qur’a>n
Berdasarkan istiqra’ (penelitian empiris) dan nas}-nas{
al-Qur’a>n maupun hadis diketahui bahwa hukum-hukum syari’at Islam
mencakup diantaranya pertimbangan kemaslahatan manusia.32
Sebagaimana firman Allah dalam surat Yu@nus (10) ayat 57.
ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ىى
‚Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman‛.33
Hasil induksi terhadap ayat dan hadis menunjukan bahwa
setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia, dalam
hubungan ini, Allah berfirman dalam surat al-Anbiya>’ (21) ayat 107:
32 Muhammad Abu Zahrah, Us}u>l Fiqih, (Mesir: Darul Araby, 1985), 423.
36 ى ى ى ى ىى
‚Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam‛.34
Redaksi ayat di atas sangat singkat, namun ayat tersebut
mengandung makna yang sangat luas. Di antara empat hal pokok,
yang terkandung dalam ayat ini adalah: Allah mengutus Nabi
Muhammad (al-‘A>lamīn), serta risalah, yang kesemuanya
mengisyaratkan sifat-sifatnya, yakni rahmat yang sifatnya sangat
besar. Firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) ayat 185:
ى ى ى ى ى ى ى ى . . . ى
‚Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…‚35
Ayat tersebut terdapat kaidah yang besar, di dalam
tugas-tugas yang dibebankan akidah Islam secara keseluruhan, yaitu
‚memberikan kemudahan dan tidak mempersulit‛. Hal ini
memberikan kesan kepada kita yang merasakan kemudahan di dalam
menjalankan kehidupan ini secara keseluruhan dan mencetak jiwa
orang muslim berupa kelapangan jiwa, tidak memberatkan, dan tidak
mempersukar.36
34 Ibid., 331.
35 Ibid., 28.
36Miftachul Choiroh, ‚Analisis Mas}lah}ah Mursalah terhadap Pengharum Ruangan yang Terbuat
dari Kotoran Sapi (Studi Kasus di SMA Muhammadiyah 1 Babat Kabupaten Lamongan)‛
37
b. Hadis
Najmuddi>n Sulaiman bin Abd Qawiy bin Abd Karim
al-T{ufi al-Hanbaly (al-T}ufi) menggunakan hadits riwayat Ibn Ma>jah dan
Da>r al-Qut}ni, Ima>m Mali>k al-Hakim dan al-Baihaqi, yang
dikategorikan dalam hadis hasan sebagai dasar hukum mas}lah}ah,
landasan utama pendapatnya adalah mendahulukan nas{ dan ijma>’.
ىْنَ
ىِ َ
ىٍ ِ َ
ىْ َ َ
ىْنِ
ىِ ِ َ
ى ِرْ ْا
ىَيِضَر
ىُا
ىُ ْنَ
ى َ
ىَاْ ُ َر
ىِا
َص
ىِا
ىِ َ َ
ىَ
ىَم َ
ىَا َ
:
ىَ
ىَ َض
ىَر
ىَ َ
ىَر َ ِض
.
ىُ ْيِ َح
ىٌنَ َح
ىُا َ َر
ىُنْ ِ
َ
ىْ َ
.
ىُر َ
ىِ ْ ُ
ىَ َ َ
َُُ
ً َنْ ُ
.
ىُا َ َرَ
ىِ ِ َ
ىِ
ىِاَ ّا َ ُ ْ
.
ىْنَ
ىِنْ ُ َ
ىَيَْ
ىْنَ
ىِ ِ َ
ىْنَ
ىِ َن
َص
ىُا
ىِ َ َ
ىَم َ َ َ
ىَ َ ْ ُ
ىُ َ ْ َ
َ َ
ىٍ ِ َ
‚Diriwayatkan dari Aby Sa’id Sa>ad bin Mali>k al-khudzi>y, r.a sesungguhnya Rasulullah saw bersabda ‚tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain‚ hadits hasan diriwayatkan oleh Ibnu Ma>jah dan dari Quthni dan selain keduanya adalah masnad, dan
meriwayatkan Ima>m Mali>k dalam al-Muwa>t}o’, dari Amr bin Yahya
dari ayahnya dari Nabi saw dinilai sebagai hadis mursal terputus pada Aba> Sa’id‛.37
Al-Thufi berpendapat bahwa hadis tersebut mengandung
makna bahwa hukum Islam melarang segala bentuk kemudaratan dari
manusia. Pendapatnya ini didasarkan pada pemahamnnya terhadap
ayat al-Qur’a>n maupun hadis yang menggambarkan bahwa Allah
memelihara dan memprioritaskan kemaslahatan hambanya.38
37 Abi Husain Muslim bin Al Hajjaj Al Qusyairi an-Naisaburi>, S{ahi>h Muslim, Jilid VII (Beirut:
Da>r al-Kutub, 2010), 1334.
38
5. Macam-macam Mas}lah{ah
Para Ahli ushul fiqh mengemukakan beberapa pembagian mas}lah}ah.
a. Mas}lah}ah berdasarkan segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan.39
1) Mas}lahah D{aru>riyyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan
dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat.
Kemaslahatan seperti ini ada lima macam, yaitu:
a) Melindungi Agama (al-Di>n). Untuk persoalan al-Di>n
berhubungan dengan ibadah-ibadah yang dilakukan seseorang
muslim dan muslimah, membela Islam dari ajaran-ajaran yang
sesat, membela Islam dari serangan-serangan orang-orang
yang beriman kepada agama lain.
b) Melindungi nyawa (al-Nafs), dalam Agama Islam nyawa
manusia adalah sesuatu yang sangat berharga bagi orang lain
atau dirinya sendiri.
c) Melindungi akal (al-‘Aql), yang membedakan manusia dengan
hewan adalah akal, oleh karena itu kita wajib menjaga dan
melindunginya. Islam menyarankan kita untuk menuntut ilmu
sampai keujung dunia manapun dan melarang kita untuk
merusak akal sehat kita, seperti meminim alkohol.
d) Melindungi keluarga/garis keturunan (al-Nasl). Menjaga
keturunan dengan menikah secara Agama dan Negara. Punya
anak diluar nikah, misalnya akan berdampak pada warisan dan
39
kekacauan dalam keluarga dengan tidak jelasnya status anak
tersebut.
e) Melindungi harta (al-Ma>l). Harta adalah hal yang sangat
penting dan berharga, namun Islam melarang untuk
mendapatkan harta dengan cara ilegal seperti mencuri korupsi
dan lain sebagainya.
Kelima hal yang penting di atas didapat dari syari’ah
eksensi dari pada exstensi manusia. Oleh karenanya itu semua
golongan sosial sudah selayaknya melindungi, karena jika tidak,
maka manusia di dunia akan menjadi rusak, kacau, miskin dan
menderita baik dunia maupun akhirat.
2) Mas}lah}ah H{a>jiyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam
menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya
yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan
memelihara kebutuhan mendasar manusia.40 Suatu pelengkap dari
lima dasar kebutuhan hidup yang bertujuan untuk menfasilitasi
praktek dan penerapannya.
3) Mas}lah}ah Tahs}iniyyah (kepentingan pelengkap) untuk
memperindah kepentingan dari kebutuhan hidup (d}aru>riyyah) dan
pelengkapnya (H{a>jiyyat) yang bila diabaikan tidak mengganggu
kehidupan kita, hanya mungkin kurang menyenangkan sedikit.
40
40
b. Mas}lah}ah berdasarkan cakupannya (jangkauannya).
Bila ditinjau dari segi cakupan, Jumhur Ulama membagi
mas}lah}ah kepada tiga tingkatan, yaitu:41
1) Al-Mas}lah}ah al-‘Āmmah (mas}laḥah umum), yang berkaitan dengan
semua orang seperti mencetak mata uang untuk kemaslahatan
suatu negara.
2) Al-Mas}lah}ah al-Gha>libah (mas}lah}ah mayoritas), yang berkaitan
dengan mayoritas (kebanyakan) orang, tetapi tidak bagi semua
orang. Contohnya orang yang mengerjakan bahan baku pesanan
orang lain untuk dijadikan barang jadi, maka apabila orang tersebut
membuat kesalahan (kerusakan) wajib menggantinya.
3) Al-Mas}lah}ah al-Kha>s{s{ah (mas}laḥah khusus/pribadi), yang
berkenaan dengan orang-orang tertentu. Seperti adanya
kemaslahatan bagi seorang istri agar hakim menetapkan keputusan
fasah }karena suaminya dinyatakan hilang.
c. Mas}lah}ah dilihat dari segi keberadaan maṣlaḥah menurut syariat
Sedangkan mas}lah}ah dilihat dari segi keberadaan mas}laḥah
menurut syariat, menurut Muhammad Mushthafa al-Syalabi dibagi
menjadi tiga, yaitu:42
1) Al-Mas}lah}ah al-Mu’tabarah, yaitu mas}lah}ah yang secara tegas
diakui syariat dan telah ditetapkan ketentuan-ketentuan hukum
41 Ibid.
42 Muhammad Mushthafa al-Syalabi, Ta’li>l al-Ahka>m, (Mesir: Da>r al Nahd>oh al-‘Arabiyyah, tt),
41
untuk merealisasikannya guna untuk melindungi agama, jiwa,
akal, harta, dan keturunan.
2) Al- Mas}lah}ah al-Mulghā, yaitu sesuatu yang dianggap maṣlaḥah
oleh akal pikiran, tetapi dianggap palsu karena kenyataannya
bertentangan dengan ketentuan syariat. Misalnya, penambahan
harta melalui riba dianggap mas}lah}ah. Kesimpulan seperti itu
bertentangan dengan naṣ al-Qur’a>n surat al-Baqarah (2) ayat 275:
ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى
‚Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdiri