TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SANKSI
PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK
KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8
TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
SKRIPSI
OLEH:
RINDI MAYA ARINTIKA NIM: C03211054
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
JURUSAN HUKUM PUBLIK ISLAM PRODI SIYASAH JINAYAH
SURABAYA
TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SANKSI
PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK
KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8
TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
SKRIPSI
Diajukan kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu
Ilmu Syariah dan Hukum
OLEH :
RINDI MAYA ARINTIKA
C03211054
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
FAKULTAS SYARIAH DANHUKUM
JURUSAN HUKUM PUBLIK ISLAM
PRODI SIYASAH JINAYAH
SURABAYA
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul “TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN” Tentang Tindak Pidana Pengedaran Makanan ini adalah hasil penelitian kepustakaan yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan: (1) Bagaimana sanksi tindak pidana pelaku usaha atas pengedaran makanan tidak layak konsumsi menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen?; dan (2) Bagaimana tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap sanksi tindak pidana pelaku usaha atas pengedaran makanan tidak layak konsumsi menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen?
Data dihimpun melalui pembacaan dan kajian teks, yang selanjutnya diolah dengan beberapa tahap yaitu Editing, yaitu pemeriksaan kembali terhadap semua data yang telah diperoleh. Organizing, yaitu menyusun dan mensistematiskan data-data yang telah diperoleh, dan Analyzing, yaitu menganalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis.Data yang dihimpun pada penelitian ini menunjukkan fakta bahwa pengedaran makanan tidak layak konsumsi oleh pelaku usaha (produsen) yang tidak bertanggung jawab masih banyak terjadi di masyarakat. Pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab dan hanya ingin mendapatkan keuntungan berlebih dengan berbuat curang.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pelaku usaha dilarang meproduksi dan mengedarkan makanan tidak layak konsumsi kepada masyarakat. Sanksi apabila pelaku tetap melakukan tindak pidana tersebut adalah dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak RP. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) sebagaimana ketentuan pada Pasal 62 ayat (1) UUPK. Menurut tinjauan Hukum Pidana Islam, sanksi pidana pengedaran makanan tidak layak konsumsi kepada pelaku usaha (produsen) termasuk dalam sanksi yang ditetapkan untuk jarimah ta’zir, dimana tindak pidana yang dimaksud belum diatur di dalam nash, sehingga menjadi kewenangan ulil amri untuk menghukumnya.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
PERSEMBAHAN ... v
MOTTO... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. LatarBelakangMasalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan masalah ... 8
C. Rumusan Masalah ... 9
D. Kajian Pustaka ... 10
E. Tujuanpenelitian ... 12
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 12
G. Definisi Operasional ... 13
H. Metode Penelitian ... 14
BAB II TINDAK PIDANA DAN HUKUMAN (SANKSI) DALAM HUKUM
PIDANA ISLAM ... 18
A. Tindak pidana dalamHukumPidana Islam ... 18
1. PengertianTindak Pidana ... 18
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana ... 19
3. Klasifikasi Tindak Pidana ... 20
B. Hukuman (Sanksi) dalam Hukum Pidana Islam ... 26
1. Pengertian Hukuman (Sanksi) ... 26
2. Dasar Hukum Pemberlakuan Hukuman (Sanksi) ... 27
3. Tujuan Hukuman (Sanksi) ... 29
4. Syarat-Syarat Hukuman (Sanksi) ... 31
5. Macam-Macam Hukuman (Sanksi) ... 32
6. Pelaksanaan Hukuman (Sanksi) ... 42
7. Penundaan Hukuman (Sanksi) ... 43
8. Penghapusan Hukuman (Sanksi) ... 45
BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN .... A. Pengedaran Makanan Berbahaya yang Dilarang Oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen... 49
1. Hak dan Kewajiban Konsumen ... 49
2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ... 51
3. Pengedaran Makanan Tidak Layak Konsumsi ... 52
B. Tindak Pidana Pengedaran Makanan Tidak layak Konsumsi yang Dilakukan Oleh Pelaku Usaha... 53
C. Sanksi Pidana atas Pengedaran Makanan Tidak Layak Konsumsi Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen... 57
A. Analisis tentang Sanksi Pidana atas Pengedaran Makanan Tidak Layak
Konsumsi... 61
B. AnalisisHukumPidana Islam terhadap Sanksi Pidana atas Pengedaran Makanan Tidak Layak Konsumsi ... 63
BAB V PENUTUP ... 73
A. Kesimpulan... 73
B. Saran ... 74 DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk Tuhan yang mempunyai dua sifat individu
dan sosial. Secara individu mempunyai kebutuhan berupa sandang, pangan,
dan lain-lain. Secara sosial manusia memerlukan bantuan orang lain untuk
mencukupi segala kebutuhannya, salah satu bentuk dari hubungan sosial itu
adalah jual-beli. Dalam hal jual-beli terdapat dua subyek yaitu penjual yang
kedudukannya sebagai pelaku usaha dan pembeli sebagai konsumen.
Penjual sebagai pelaku usaha berusaha menghasilkan berbagai jenis
produk diantaranya adalah makanan agar dapat dikonsumsi oleh konsumen.
Sedangkan pembeli sebagai konsumen menurut kamus umum Bahasa
Indonesia adalah sebagai lawan produsen, yakni pemakai barang-barang hasil
industri, bahan makanan, dan sebagainya.1
Perkembangan perekonomian di bidang perindustrian dan
perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai barang dan jasa yang dapat
dikonsumsi. Ditambah dengan globalisasi dan perdagangan bebas yang
didukung oleh kemajuan teknologi komunikasi dan informatika yang dapat
merperluas ruang gerak transaksi barang dan jasa menjadi bervariasi.
Sehingga melintasi batas-batas wilayah suatu negara semakin cepat dan
meluas, baik yang berasal dari luar negeri maupun dalam negeri.
1
2
Pertumbuhan dan perkembangan industri barang dan jasa membawa
dampak yang positif. Di antaranya tersedianya kebutuhan dalam jumlah yang
mencukupi, mutunya yang lebih baik, serta adanya alternatif pilihan bagi
konsumen dalam pemenuhan kebutuhannya. Akan tetapi, selain memberikan
dampak yang positif juga terdapat dampak negatif. Yaitu dampak penggunaan
dari teknologi itu sendiri serta perilaku bisnis yang timbul karena makin
ketatnya persaingan yang mempengaruhi masyarakat konsumen.2
Persaingan global yang terjadi membuat produsen menghalalkan
segala macam cara untuk meraup keuntungan. Akibatnya, berbagai cara
dilakukan untuk mengelabui konsumen. Ini dilakukan para produsen karena
persaingan yang begitu hebat dan masyarakat menginginkan harga murah
terhadap produk pangan tersebut. Salah satu bentuk kejahatan bisnis yang
dilakukan oleh sebagian pengusaha yang tidak bertanggung jawab adalah
memproduksi, mengedarkan, menawarkan produk- produk yang berbahaya
bagi kesehatan konsumen. Ulah para pengusaha yang hanya mementingkan
keuntungan perusahaan tanpa memperhatikan akibat bagi konsumen tersebut
telah menelan banyak korban.
Dari berbagai macam kecurangan dan penipuan yang dilakukan oleh
pelaku usaha atau produsen adalah menggunakan bahan tak layak konsumsi
atau kadaluarsa sebagai bahan dasar pembuatan makanan. Dengan cara
mendaur ulang dan menjadikan produk makanan ringan. Makanan ringan
2
3
seperti ini berbahaya dikonsumsi dan yang pasti tidak sesuai dengan sanitasi
produksi untuk makanan dikonsumsi masyarakat.
Seperti halnya contoh kasus yang baru-baru ini terjadi di Sidoarjo,
polisi melakukan penggerebekan pada sebuah UD Wijaya Abadi yang ada di
Desa Balongtani Kecamatan Jabon Sidoarjo. Di dalam gudang makanan
ringan tersebut polisi menemukan berbagai macam jenis makanan ringan dari
bahan baku kadaluarsa. Pelaku usaha mengaku mendapatkan bahan baku
tersebut dari perusahaan-perusahaan besar yang sudah terkenal. Bahan baku
yang sudah tidak layak dikonsumsi namun oleh pemiliknya dikemas lagi dan
diedarkan ke luar kota.3
Ketidakberdayaan konsumen dalam menghadapi pelaku usaha ini
jelas sangat merugikan kepentingan masyarakat konsumen. Pada umumnya
para pelaku usaha berlindung dibalik standart contract atau perjanjian baku yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak (antara pelaku usaha dan konsumen), ataupun melalui berbagai informasi “semu” yang diberikan oleh
pelaku usaha kepada konsumen.4 Hal tersebut yang membuat kedudukan
antara produsen dan konsumen tidak seimbang. Dimana konsumen hanya
dijadikan obyek bisnis untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak.
Dalam hal seperti ini tentu saja konsumen menjadi pihak yang
dirugikan, dan membutuhkan perlindungan. Perlindungan konsumen adalah
perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk
memenuhi kebutuhannya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang
3
Jawa Pos Online, dalam http://www.kabarsidoarjo.com/?p=4939, diakses pada 15 Mei 2015.
4
4
merugikan konsumen itu sendiri. Undang-Undang Perlindungan Konsumen
menyatakan bahwa, perlindungan konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen.5
Pada Tahun 1999 atau tepatnya pada tanggal 20 April 1999
pemerintah menerbitkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK). Undang-Undang Perlindungan Konsumen
diberlakukan dalam rangka untuk melindungi atau menjamin konsumen akan
hak-haknya yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam aktifitas perdagangan
atau praktek-praktek jual-beli curang yang dilakukan pelaku usaha yang
menyebabkan kerugian di pihak konsumen.
Oleh karena itu, pihak pelaku usaha dalam memproduksi makanan
harus memperhatikan apa yang menjadi kewajibannya, sebagaimana diatur
dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, yaitu : 6
1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan atau jasa, serta memberikan penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan.
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur, serta
tidak diskriminatif.
5
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
6
5
4. Menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa
yang berlaku
5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan atau mencoba
barang dan atau jasa tertentu, serta memberi jaminan dan atau garansi atas
barang yang dibuat dan atau diperdagangkan.
6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan atau jasa penggantian apabila barang
dan atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
Cakupan perlindungan konsumen sangat luas, meliputi perlindungan
konsumen terhadap barang dan jasa, yang berawal dari tahap kegiatan
mendapatkan barang atau jasa hingga sampai akibat-akibat dari pemakaian
barang dan/atau jasa tersebut. Cakupan perlindungan konsumen tersebut dapat
dibedakan dalam dua aspek, yaitu : 7
1. Perlindungan terhadap kemungkinan barang yang diserahkan kepada
konsumen tidak sesuai dengan apa yang disepakati.
2. Perlindungan terhadap diberlakukannya syarat-syarat yang tidak adil
terhadap konsumen.
Dalam Islam tidak ada larangan jual beli, akan tetapi Islam melarang
setiap tindakan curang. Seperti penipuan yang dilakukan pelaku usaha
terhadap konsumen. Larangan ini disebutkan dalam al-Qur’an surat Huud (11)
ayat 85 :
7
6
ۡ
ْا ف ۡ أ
ٱ
ا ۡ ۡ
ٱ
ااي ۡ
ٱ
ۡ ۡ
ْا خۡبت َ
ٱ
ا َل
ْا ۡ ث ۡعت َ ۡمهءٓ ۡشأ
يف
ٱ
ۡ ۡ
ن ۡفم
٥
Artinya: Dan Syu’aib berkata: “Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.8
Perdagangan yang adil dan jujur dalam menurut al-Qur’an adalah
perdagangan yang tidak mendzalimi dan tidak pula di dzalimi. Sebagaimana
diterangkan dalam firman Allah:
اإف
نِم ٖ ۡرحب ْا ن ۡأف ْا لعۡفت ۡمَ
ٱ
َ
ۦ
َ ۡم ۡمأ ا ء ۡم لف ۡمتۡبت اإ
ا لۡظت َ ا لۡظت
٢
Artinya: Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS: Al-Baqarah ayat 279).9
Hukuman dalam istilah Arab disebut Uqubah, yaitu bentuk balasan
bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan syara’ yang
ditetapkan Allah dan Rasul-Nya untuk kemaslahatan manusia. Tujuan dari
hukuman dalam syariat Islam merupakan realisasi dari tujuan hukum Islam itu
sendiri, yakni sebagai pembalasan perbuatan jahat, pencegahan secara umum
dan secara khusus serta perlindungan terhadap hak-hak si korban. Pemidanaan
dimaksudkan untuk mendatangkan kemaslahatan umat dan mencegah
8
Al-‘Alim al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2010), Surat Huud ayat 85, 340.
9
7
kedzaliman atau kemadharatan. Menurut Abdul Qadir Audah, hukuman
adalah suatu penderitaan yang dibebankan kepada seseorang akibat
perbuatannya melanggar aturan.10
Penipuan yang dilakukan oleh pelaku usaha kepada konsumen termasuk tindak pidana yang dikenai hukuman ta’zir, karena belum diatur di
dalam syara’. Menurut istilah, ta’zir bermakna, al-Ta’dib (pendidikan) dan at
-Tankil (pengekangan). Sanksi ta’zir disesuaikan dengan tingkat kejahatannya.
Kejahatan yang besar mesti dikenai sanksi yang berat, sehingga tercapai
tujuan sanksi, yakni pencegahan. Begitu juga dengan kejahatan kecil, akan
dikenai sanksi yang dapat mencegah orang lain untuk melakukan kejahatan
serupa.
Mustaq Ahmad menekankan bahwa dalam perspektif Islam,
landasan yang mendorong prilaku seorang pelaku bisnis hendaknya jangan
didasarkan karena adanya rasa takut pada Allah (takwa, God fearing) dalam usaha mencari dan menggapai ridho-Nya. Jadi bisnis hendaknya melampaui
sesuatu yang bersifat legal. Seseorang bukan hanya semata mengharapkan rasa
keadilan, bahkan lebih jauh dari itu ia menginginkan yang melampaui hal
tersebut dalam rangka memenuhi kebajikan dan keluhuran budi. Sebagaimana
juga tuntutan bagi seorang muslim yang bertakwa, dia bukan hanya
menghindari semua hal yang dilarang, bahkan lebih dari itu ia hendaknya
10
8
menghindari “wilayah kelabu” (syubhat), dimana apabila dia melakukan tindakan itu ia merasa tidak mendapatkan ketenangan batin.11
Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, yaitu mengenai
tindak pidana kecurangan pelaku usaha atas pengedaran makanan tidak layak
konsumsi, penulis tertarik untuk meneliti dan menganalisis lebih lanjut.
Pemberian hukuman tindak pidana kepada pelaku usaha yang curang menurut
undang-undang yang berlaku serta menurut hukum Islam menjadi alasan
dalam penulisan ini.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari latar belakang tersebut diatas, terdapat beberapa permasalahan
dalam penelitian ini. Adapun permasalahan-permasalahan tersebut dapat
diidentifikasi sebagai berikut:
1. Hukuman menurut Hukum Pidana Islam.
2. Analisis Hukum Pidana Islam terhadap tindak pidana produsen atas
pengedaran makanan tidak layak konsumsi.
3. Sanksi tindak pidana produsen atas pengedaran makanan tidak layak
konsumsi menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen.
4. Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap sanksi tindak pidana produsen
atas pengedaran makanan tidak layak konsumsi menurut Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
11
9
Adapun yang menjadi pembatasan permasalah dalam penelitian yang
akan peneliti lakukan bahwa:
1. Sanksi tindak pidana pelaku usaha atas pengedaran makanan tidak layak
konsumsi menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen.
2. Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap sanksi tindak pidana pelaku usaha
atas pengedaran makanan tidak layak konsumsi menurut Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
C. Rumusan Masalah
Melalui latar belakang, identifikasi dan batasan masalah tersebut di
atas, maka rumusan masalah yang akan peneliti kaji dalam penelitian ini yaitu
sebagai berikut:
1. Bagaimana sanksi tindak pidana pelaku usaha atas pengedaran makanan
tidak layak konsumsi menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen?
2. Bagaimana tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap sanksi tindak pidana
pelaku usaha atas pengedaran makanan tidak layak konsumsi menurut
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi tentang kajian atau penelitian yang
sudah pernah dilakukan, sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang sedang dan
akan dilakukan ini bukan merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian
10
Penelitian yang terkait dengan pelanggaran terhadap
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen diantaranya
telah diteliti oleh:
1. Mohammad Nadzir, pada tahun 2003, Jurusan Siyasah Jinayah, dengan judul “Pelanggaran Terhadap Hukum Tentang Perlindungan Konsumen
Menurut undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dan Hukum Islam (Studi
Perbandingan)”. Dalam definisi operasionalnya, obyek dalam
penelitiannya adalah perlindungan konsumen terhadap barang dan/atau
jasa. Metodologi yang digunakan pada penelitian tersebut adalah library research dengan metode analisis deskriptif. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah fungsi utama dari UUPK dan Hukum Islam sama-sama
mengangkat harkat dan martabat kehidupan konsumen dengan cara
menetapkan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha.12
2. Risma Qumilaila, pada tahun 2008, Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, dengan judul “Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan
Kimia Berbahaya Pada Makanan (Studi Komparasi Hukum islam dan
Undang-Undang Perlindungan Konsumen)”. Dalam Penelitian ini peneliti
memfokuskan permasalahan pada makanan yang diberi bahan kimia
tambahan dan tak layak di konsumsi karena mengancam kesehatan.
Metodologi yang digunakan dalam penelitian tersebut library research
dengan metode analisis deskriptif. Kesimpulan pada penelitian ini ialah
12
11
baik dalam Hukum Islam dan hukum positif konsumen berhak
mendapatkan barang dan atau jasa yang halal dan juga bebas dari bahaya.13
3. Moch. Choirul Rizal, pada tahun 2013, Jurusan Siyasah Jinayah, dengan
judul “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Sanksi Tindak Pidana
Pencantuman Klausula Baku Pada Karcis Kendaraan Bermotor Kepada
Pengelola Jasa Parkir Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang perlindungan Konsumen”. Dalam penelitian ini membahas tentang perlindungan konsumen terhadap klausula/perjanjian antara
konsumen dan penyedia jasa parkir dari resiko kehilangan barang atau
motor tetapi tidak mendapatkan ganti rugi yang sepadan dari penyedia
layanan parkir. Metodologi yang digunakan dalam penelitian tersebut
library research dengan metode analisis deskriptif. Kesimpulan pada penelitian ini ialahpencantuman klausula baku pada karcis kendaraan
bermotor oleh pengelola jasa parkir merupakan bentuk tindak pidana dan
dalam hukum pidana juga melarang perbuatan tersebut.14
Dari beberapa judul skripsi diatas, dapat dikatakan bahwa penelitian
skripsi ini berbeda dengan penelitian-penelitian tersebut. Dalam penelitian ini
mengkaji tindak pidana dan sanksi terhadap produsen atas pengedaran
makanan tidak layak konsumsi yang sudah kaadaluarsa. Oleh karena hal tersebut menjadi alasan kuat bagi penulis bahwa “Tinjauan Hukum Pidana
13
Risma Qumilaila, “Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Kimia Berbahaya Pada Makanan (Studi Komparasi Hukum Islam dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen” (Skripsi—UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2008), 15.
14
12
Islam terhadap Sanksi Tindak Pidana Produsen Atas Pengedaran Makanan
Tidak Layak Konsumsi Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen perlu analisis lebih lanjut.
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, makan tujuan
penulisan skripsi ini yaitu:
1. Untuk mengetahui sanksi tindak pidana pelaku usaha atas pengedaran
makanan tidak layak konsumsi menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
2. Untuk mengetahui tinjauan hukum pidana Islam terhadap sanksi tindak
pidana pelaku usaha atas pengedaran makanan tidak layak konsumsi
menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Melalui hasil penelitian ini, peneliti berharap semoga penelitian ini
dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, sebagai
berikut:
1. Aspek Keilmuan (Teoritis)
Peneliti berharap dengan adanya penulisan karya ilmiah ini,
dapat memberikan manfaat secara teoritis bagi penulis khususnya dan bagi
para pembaca secara umum. Penelitian ini juga diharapkan dapat
memberikan kontribusi informasi dan khazanah keilmuan dalam bidang
13
dapat dijadikan sebagai pedoman dan bahan pertimbangan untuk
penelitian-penelitian selanjutnya.
2. Aspek Terapan (Praktis)
Secara praktis, peneliti berharap agar hasil penulisan karya
ilmiah ini dapat memberikan masukan bagi Yayasan Konsumen Indonesia
(YLKI) dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam hal
perlindungan konsumen di Indonesia dan sebagai salah satu upaya untuk
mewujudkan kesadaran masyarakat yang berdasarkan hukum, terutama
bagi produsen makanan yang mencampurkan bahan-bahan tak layak
konsumsi dalam makanan.
G. Definisi Operasional
1. Analisis Hukum Pidana Islam adalah adalah Analisis dari sudut pandang
ketentuan-ketentuan hukum pidana Islam. Hukum yang bersumber dari
al-Qur’an, hadis, dan pendapat para fuqaha’ yang menghimpun rangkaian
pendapat dari Imam Hanafi, Imam Syafi’i, Imam Maliki, dan Imam
Hambali yang berkaitan dengan masalah-masalah pidana, khususnya
tentang jarimah ta’zir.
2. Sanksi ialah hukuman pokok dan/atau tambahan yang dijatuhkan kepada
pelaku tindak pidana, karena melanggar ketentuan-ketentuan pidana yang
berlaku sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen.
3. Pengedaran adalah suatu kegiatan mengedarkan atau mendistribusikan
14
4. Makanan tidak layak konsumsi adalah makanan yang sudah
terkontaminasi dengan bakteri atau zat beracun yang berbahaya, yang
dapat menimbulkan gangguan pada kesehatan apabila dikonsumsi.
5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
adalah Undang-Undang yang melindungi hak-hak konsumen yang
didalamnya memuat antara lain Pasal-Pasal tentang perbuatan-perbuatan
yang dilarang beserta dengan sanksinya yang berkaitan dengan pengedaran
makanan tidak layak konsumsi.
H. Metode Penelitian
1. Data Yang Dikumpulkan
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), sumber data yang diperlukan adalah berupa buku, artikel dan
tulisan-tulisan lainnya yang membahas masalah judul diatas. Serta ketentuan
hukum pidana Islam terhadap sanksi pencabulan terhadap anak.
2. Sumber Data
Berdasarkan data-data diatas, penulis menggunakan dua sumber data yaitu
sebagai berikut:
a. Sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan
data kepada pengumpul data.15 Sumber-sumber data primer tersebut
meliputi:
1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen.
15
15
2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012
Tentang Pangan
b. Sumber data sekunder yaitu berkas-berkas yang terkait dengan
putusan dan buku-buku. Dalam sumber data sekunder ada dua sumber
hukum yang digunakan, yaitu:
1) Abdul Qadir Audah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam
(Al-Tasyiri’ al-Jina’i al-Islamiy Muqaranan al Qanum al-Wad’iy).
2) Imam Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniah.
3) Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam. 4) Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam.
5) Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam.
6) Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam.
7) Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam. 8) Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam. 9) Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam.
10)Mustofa Hasan, Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah).
11)A. Djazuli, Fiqh Jinayah.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dokumentasi adalah suatu teknik pengumpulan data dengan
menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen baik berupa dokumen
tertulis, gambar dan elektronik.16
16
16
4. Teknik Analisis Data
a. Metode deskriptif Analisis, yaitu dengan cara menggambarkan teori
tindak pidana produsen atas pengedaran makanan tidak layak
konsumsi menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen menurut hukum pidana Islam.
b. Metode Deduktif, yaitu diawali dengan mengemukakan teori-teori,
dalil-dalil dan pendapat yang bersifat umum mengenai tindak pidana
produsen atas pengedaran makanan tidak layak konsumsi menurut
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen untuk dijadikan bahan analisis terhadap data yang
dikumpulkan sehingga dapat ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.
I. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah dalam memahami masalah-masalah dalam
studi ini, maka pembahasannya dibentuk dalam bab-bab yang masing-masing
bab mengandung sub-bab, sehingga penulis menganggap perlu untuk
mensistematisasikan pembahasan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
BAB I : bab ini memuat pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,
identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian
pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi
operasional, metode penelitian, sumber data, teknik pengumpulan
data, teknik analisa data dan sistematika pembahasan.
BAB II : Landasan Teori. Pada bab ini menguraikan tentang hukuman
17
Unsur-unsur tindak pidana, Klasifikasi tindak pidana, Pengertian
hukuman, Dasar hukum hukuman, Tujuan hukuman,
Syarat-syarat hukuman, Macam-macam hukuman, Pelaksanaan
hukuman, Penundaan hukuman, dan Penghapusan hukuman.
BAB III : Pada bab ini, menjelaskan tentang penyajian data hasil penelitian
tentang pelaku usaha atas pengedaran makanan tidak layak
konsumsi beserta sanksinya menurut Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
BAB IV : Bab ini merupakan analisis hukum Islam terhadap tindak pidana
tentang pelaku usaha atas pengedaran makanan tidak layak
konsumsi menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen.
BAB II
TINDAK PIDANA DAN HUKUMAN (SANKSI) DALAM HUKUM
PIDANA ISLAM
A. Tindak Pidana dalam Hukum Pidana Islam
1. Pengertian Tindak Pidana
Perbuatan manusia yang dinilai sebagai pelanggaran atau kejahatan
kepada sesamanya, baik pelanggaran atau kejahatan tersebut secara fisik
atau non fisik, seperti membunuh maupun kejahatan terhadap harta benda
dibahas dalam jinayah. Dalam kitab-kitab klasik, pembahasan masalah
jinayah ini hanya dikhususkan pada perbuatan dosa yang berkaitan dengan
sasaran (objek) badan dan jiwa saja.1
Kata "jinayah" merupakan bentuk verbal noun (masdar) dari kata
"jana". Secara etimologi "jana" berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan
jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah.2 Seperti dalam kalimat jana 'ala qaumihi jinayatan artinya ia telah melakukan kesalahan terhadap kaumnya. Kata jana juga berarti "memetik", seperti dalam kalimat jana as-samarat, artinya "memetik buah dari pohonnya". Orang yang berbuat jahat disebut jani dan orang yang dikenai perbuatan disebut
mujna alaih. Kata jinayah dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak pidana. Secara terminologi kata jinayah mempunyai beberapa pengertian, seperti yang diungkapkan Imam Al-Mawardi bahwa jinayah
1
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 11.
2
19
adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama (syara') yang diancam dengan hukuman had atau takzir.3
Ahmad Hanafi menyebutkan bahwa tindak pidana atau jarimah
dalam tinjauan hukum pidana Islam adalah larangan-larangan syara' yang
diancamkan oleh Allah SWT dengan hukuman had atau ta'zir.
Larangan-larangan tersebut adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang
dilarang, atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan.4
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Suatu perbuatan bisa dikatakan sebagai jarimah bila memang
memenuhi unsur-unsur yang telah melekat pada istilah jarimah itu sendiri.
Dalam Hukum Pidana Islam, unsur-unsur jarimah terbagi menjadi dua,
yakni unsur umum dan unsur khusus. Unsur-unsur umum pada jarimah
adalah sebagai berikut :5
a. Adanya nash yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang
disertai ancaman hukuman atas perbuatan-perbuatan di atas. Unsur ini
dikenal dengan istilah unsur formal (al-rukn al-syar'i);
b. Adanya unsur perbuatan yang membentuk jarimah, baik berupa
melakukan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan
yang diharuskan. Unsur ini dikenal dengan istilah unsur material
(al-rukn al-madi); dan
3
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 9.
4
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 1.
5
20
c. Pelaku kejahatan adalah orang yang dapat menerima kitab atau dapat
memahami taklif, artinya pelaku kejahatan tadi adalah mukallaf,
sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan.
Unsur ini dikenal dengan istilah unsur moral (al-rukn al-adabi).
3. Klasifikasi Tindak Pidana
a. Ditinjau dari segi Beratnya Hukuman
Ditinjau dari segi berat ringannya hukuman, jarimah tersebut dapat dibagi menjadi:
1) Jarimah Hudud
Jarimah hudud yaitu perbuatan melanggar hukum dan jenis dan ancaman hukumannya ditentukan oleh nash, yaitu hukuman
had (hak Allah). Hukuman had yang dimaksudkan tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi dan tidak dihapuskan oleh
perorangan (si korban atau wakilnya) atau masyarakat yang
mewakili (ulil amri).6
Jarimah hudud itu ada tujuh macam, yaitu: jarimah zina,
jarimah gadzaf, jarimah syurbul khamr, jarimah pencurian,
jarimah hirabah, jarimah riddah, jarimah al bagyu
(pemberontakan).
Dalam jarimah zina, syurbul khamr, hirabah, riddah, dan pemberontakan yang dilanggar adalah hak Allah sematamata.
Sedangkan dalam jarimah pencurian dan qadzaf penuduhan zina)
6
21
yang disinggung disamping hak Allah, juga terdapat hak manusia
(individu), akan tetapi hak Allah lebih menonjol.7
2) Jarimah Qishas dan Diyat
Yang dimaksud dalam jarimah ini adalah perbuatan-perbuatan yang diancam hukuman qishas atau hukuman diyat. Baik
qishas maupun diyat adalah hukuman-hukuman yang telah ditentukan batasnya, dan tidak mempunyai batas terendah atau
batas tertinggi, tetapi menjadi hak perseorangan, dengan pengertian
bahwa si korban bisa memaafkan si pembuat, dan apabila
dimaafkan, maka hukuman tersebut menjadi hapus. Jarimah qishas diyat ada lima, yaitu: pembunuhan sengaja (al- qathlul amd), pembunuhan semi sengaja (al qathlul syibhul amd), pembunuhan karena kesalahan (al qathlul khatar), penganiayaan sengaja ' (al jurhul ama), dan penganiayaan tidak sengaja (al jurhul khata').8 3) Jarimah Ta’zir
Jarimah ta'zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta'zir. Pengertian ta'zir menurut bahasa ialah ta'dib atau memberi pelajaran. Akan tetapi menurut istilah ta'zir adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum
ditentukan hukumannya oleh syara'. Hukuman ta'zir adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara', melainkan diserahkan
kepada ulil amri, baik penentuannya maupun pelaksanaannya.
7
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan..., 18.
8
22
Dalam menentukan hukuman tersebut, penguasa hanya
menentukan hukuman secara global saja Artinya pembuat
undang-undang tidak menetapkan sekumpulan hukuman, dari yang
seringanringannya sampai yang seberat-beratnya. Tujuan
diberikannya hak penentuan jarimah jarimah ta'zir dan hukumannya kepada penguasa adalah agar mereka dapat mengatur
masyarakat dan memelihara kepentingan-kepentingannya, serta
bisa menghadapi dengan sebaik-baiknya setiap keadaan yang
bersifat mendadak.9
b. Ditinjau dari Segi Niatnya,
Jika ditinjau dari segi niatnya jarimah dapat dibagi menjadi
dua bagian, yaitu :10
1) Jarimah Sengaja
Pada jarimah sengaja (jaraim maqsudah) si pelaku dengan
sengaja melakukan perbuatannya, sedang ia tahu bahwa
perbuatannya itu dilarang. Dari definisi tersebut dapatlah diketahui
bahwa untuk jarimah sengaja harus dipenuhi tiga unsur. Yakni
unsur kesengajaan, unsur kehendak yang bebas dalam
melakukannya, dan unsur pengetahuan. Apabila salah satu dari
ketiga unsur ini tidak ada, maka perbuatan tersebut termasuk
jarimah yang tidak sengaja.
2) Jarimah Tidak Sengaja
9
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan..., 20.
10
23
Jarimah tidak sengaja dapat diartikan sebagai tindakan untuk mengerjakan perbuatan yang dilarang, akan tetapi perbuatan
tersebut terjadi sebagai akibat kekeliruannya. Dari definisi tersebut
terlihat bahwa kelalaian (kesalahan) dari pelaku merupakan faktor
penting untuk jarimah tidak sengaja ini.
c. Ditinjau dari Segi Tertangkapnya
Ditinjau dari segi waktu tertangkapnya, jarimah dapat dibagi
kepada dua bagian, yaitu:11
1) Jarimah Tertangkap Basah
Jarimah tertangkap basah, yaitu jarimah di mana pelakunya
tertangkap pada waktu melakukan perbuatan tersebut atau
sesudahnya tetapi dalam masa yang dekat.
2) Jarimah yang Tidak Tertangkap Basah
Jarimah yang tidak tertangkap basah, yaitu jarimah di mana
pelakunya tidak tertangkap pada waktu melakukan perbuatan
tersebut, melainkan sesudahnya dengan lewatnya waktu yang tidak
sedikit (lama).
d. Ditinjau dari Segi Cara Melakukannya
Aspek yang ditonjolkan dari perbuatan jarimah ini adalah
bagaimana si pelaku melaksanakan jarimah tersebut. Apakah jarimah
itu dilaksanakan dengan melakukan perbuatan yang terlarang ataukah
si pelaku tidak melaksanakan perbuatan yang diperintahkan. Ditinjau
11 Abdul Qadir Audah, ‚
at-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamiy, Juz I,‛ dalam Ahmad Wardi Muslich,
24
dari melakukannya, jarimah dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu: 12
1) Jarimah positif (ijabiyyah), yaitu si pelaku secara aktif mengerjakan perbuatan yang dilarang, atau dalam bahasa hukum
positif dinamai delict commisionis.
2) Jarimah negatif (salabiyyah), yaitu si pelaku pasif, tidak berbuat sesuatu atau dalam hukum positif dinamai delict ommisionis,
seperti tidak menolong orang lain yang sangat membutuhkan
padahal dia sanggup melaksanakannya.
e. Ditinjau dari Segi Objeknya
Jarimah ditinjau dari segi objeknya atau sasarannya dapat dibagi menjadi dua, yaitu :13
1) Jarimah Perseorangan
Jarimah perseorangan adalah suatu jarimah dimana hukuman terhadapnya dijatuhkan untuk melindungi kepentingan
perseorangan meskipun, sebenarnya apa yang menyinggung
perseorangan juga berarti menyinggung masyarakat.
2) Jarimah Masyarakat
Jarimah masyarakat adalah suatu jarimah dimana hukuman terhadapnya dijatuhkan untuk menjaga kepentingan masyarakat,
baik jarimah tersebut mengenai perseorangan maupun mengenai ketenteraman masyarakat dan keamanannya menurut para fuqaha
12
Rahmat Hakim, Hukum Pidana..., 23.
13
25
penjatuhan hukuman atas perbuatan tersebut tidak ada
pengampunan atau peringanan atau menunda-nunda pelaksanaan.
Jarimah-jarimah hudud termasuk dalam jarimah masyarakat, meskipun sebagian dari padanya ada yang mengenai perseorangan,
seperti pencurian dan qadzaf (penuduhan zina). Jarimah-jarimah ta`zir sebagian ada yang termasuk jarimah masyarakat, kalau yang disinggung itu hak masyarakat, seperti penimbunan bahan-bahan
pokok, korupsi dan sebagainya.
f. Ditinjau dari Segi Tabiatnya
Ditinjau dari segi tabiatnya atau motifnya, jarimah dapat
dibagi menjadi dua macam, yakni: 14
1) Jarimah Politik
Jarimah politik, yakni jarimah yang dilakukan dengan maksud-maksud politis dan biasanya dilakukan oleh orang-orang
yang memiliki tujuan politik untuk melawan pemerintahan yang
sah pada waktu situasi yang tidak normal, seperti pemberontakan
bersenjata.
2) Jarimah Biasa
Jarimah biasa, yakni jarimah yang tidak bermuatan politik, seperti mencuri ayam atau barang-barang lainnya atau membunuh
atau menganiaya orang-orang kebanyakan (orang biasa).
14
26
B. Hukuman (Sanksi) dalam Hukum Pidana Islam
1. Pengertian Hukuman (Sanksi)
Dari pengertian yang pertama dapat dipahami bahwa sesuatu
disebut hukuman karena ia mengiringi perbuatan dan dilaksanakan
sesudah perbuatan itu dilakukan. Sedangkan dari pengertian kedua dapat
dipahami sesuatu disebut hukuman karena ia merupakan balasan terhadap
perbuatan yang menyimpang yang telah dilakukannya. Menurut kamus
bahasa Indonesia karangan S.Wojowaswito, hukuman berarti siksaan atau
pembalasan kejahatan (kesalahan dosa).
Dalam hukum positif di Indonesia, istilah hukuman hampir sama
dengan pidana. Walaupun sebenarnya seperti apa yang dikatakan oleh
Wirjono Projodikoro, kata hukuman sebagai istilah tidak dapat
menggantikan kata pidana, oleh karena ada istilah hukuman pidana dan
hukuman perdata. Sedangkan menurut Mulyatno, sebagaimana dikutip
oleh Mustafa Abdullah, istilah pidana lebih tepat daripada hukuman
sebagai terjemahan dari kata starf. Karena kata starf diterjemahkan dengan hukuman maka starfrecht harus diterjemahkan hukum hukuman.15
Abdul Qadir Audah memberikan definisi hukuman sebagai berikut:
ا
ع ع ع لا
ل لا ء ا ل ا عل ا
َللا
.
Artinya: Hukuman adalah pembalasan atas pelanggaran perintah syara’ yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat.
15
27
Dari sini dapat kita simpulkan bahwa hukuman merupakan balasan
yang setimpal atas perbuatan pelaku kejahatan yang mengakibatkan orang
lain menjadi korban akibat perbuatannya. Dalam ungkapan lain, hukuman
merupakan penimpaan derita dan kesengsaraan dari pelaku kejahatan
sebagai balasan yang diterima si pelaku akibat pelanggaran perintah syara’.16
2. Dasar Hukum Pemberlakuan Hukuman (Sanksi)
Hukuman harus mempunyai dasar baik dari al-Qur’an, maupun
Hadis. Berbagai kebijakan yang ditempuh oleh Islam dalam upaya
menyelamatkan manusia baik perseorangan maupun masyarakat dari
kerusakan dan menyingkirkan hal-hal yang menimbulkan kejahatan. Islam
berusaha mengamankan dengan berbgai ketentuan baik berdasarkan al- Qur’an, Hadis, maupun berbagai ketentuan ulil amri. Semua itu pada hakikatnya dalam menyelamatkan umat manusia dari ancaman kejahatan.
Adapun dasar-dasar penjatuhan hukuman tersebut di antaranya:
Surat Shad ayat 26 :
كَ ض ف
ل ع َتت َ لٱ َ ل ك ٱف
ۡ ف ٗ خ ك عج َ دۥ ا
ا ش ا ع ل َّ ل ع ض َل َ ۚ َّ ل ع
ل
Artinya: hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia
16
28
akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.17
Surat An-Nisa ayat 135 :
أٓ ۞
َل
َ ا ا اء
ل
أ ك أ ٓ ع ل َّ ءٓا ش
ل ل
ۚ
ۡ
ا ٗ ف أ ك
َّ
ا ع َتت َف ۖ ل أ
ٓ ل
عت أ
ۚا
ت
ٓۥ ا
َ ف ا ض عت أ
َّ
ا ٗ خ
عت
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar sebagai penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah baik terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dari kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih mengetahui kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Janganlah kamu memutarbalikkan kata-kata atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.18
Surat An-Nisa ayat 58
َ ۞
َّ
ا د ت أ أ
ۡ
ت ك ا أ ٓ ل
َ ل
أ
ا ك ت
ۚ عل
َ
َّ
ك ع َ ع
ٓ
َ
َّ
ا ٗ
ع
Artinya: Sesungguhya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan
amanat kepada mereka yang berhak menerimanya dan apabila menetapkan
hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepada
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.19
17
Al-‘Alim Al-Qur’an dan Terjemahannya, surat Shad ayat 26, 455.
18
Al-‘Alim Al-Qur’an dan Terjemahannya, surat An-Nisa’ ayat 135, 144.
19
29
َ لا د
ل ء َ علا عفۡ ك َ
Artinya: Tidak ada hukuman bagi perbuatan orang berakal sebelum
adanya ketentuan nas.20
َ ل ََأ
ع َ
ج َ
Artinya: Tidak ada tindak pidana dan tidak ada hukuman kecuali adanya nas.21
3) Tujuan Hukuman (Sanksi)
Esensi dari pemberian hukuman bagi pelaku suatu jarimah menurut Islam adalah pencegahan (ar-radu waz zahru), perbaikan dan pengajaran (al-ishlah wat-tahdzib). Dengan tujuan tersebut pelaku jarimah diharapkan tidak mengulangi perbuatannya lagi. Adapun tujuan dari pemberian
hukuman yaitu:22
a. Pencegahan
Pencegahan adalah menahan orang yang berbuat jarimah agar
ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya atau ia tidak akan
terus-menerus melakukan jarimah tersebut. Pencegahan juga mengandung
arti mencegah orang lain selain pelaku agar ia tidak ikut melakukan
jarimah. Sebab dengan begitu ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan terhadap orang
lain yang juga melakukan perbuatan yang sama.
b. Perbaikan dan Pengajaran
20
Abdul Qadir al-Audah, at-Tasyri’ ..., 118.
21
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum..., 20.
22
30
Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah mendidik
pelaku jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya.
Sedangkan tujuan hukuman pada hukum positif telah
mengalami beberapa fase, fase-fase tersebut adalah:
1) Fase balasan perseorangan (Vengeance-Privee: al-intiqamul-fardi) Pada fase ini, hukuman berada ditangan perseorangan yang
bertindak atas dasar perasaan hendak menjaga diri mereka dari
penyerangan dan atas dasar naluri hendak membalas orang yang
menyerangnya.
2) Fase balasan Tuhan atau balasan umum (Vengeance divine: al-intiqamul Illahi)
Yang dimaksud balasan Tuhan adalah bahwa orang yang
berbuat harus menebus kesalahannya. Sedangkan balasan umum
adalah agar orang yang berbuat merasa jera dan orang lain pun
tidak berani meniru perbuatannya.
3) Fase Kemanusiaan (Humanitaire: al-ashrul insani)
Pada fase kemanusiaan, prinsip-prinsip keadilan dan kasih
sayang dalam mendidik dan memperbaiki diri orang yang berbuat
mulai dipakai.
4) Fase Keilmuan (Scientifique: al-ashrul-‘ilmi)23
23
31
Pada fase ini muncullah aliran Italia yang didasarkan pada
tiga pikiran, yaitu: hukuman mempunyai tujuan dan tugas ilmiah,
macam masa dan bentuk hukuman aturan-aturan abstrak yang
mengharuskan diberlakukannya pembuat-pembuat jarimah dalam tingkatan dan keadaan yang sama.
4. Syarat-Syarat Hukuman (Sanksi)
a. Hukuman harus ada dasarnya dari Syara’
Hukum dianggap mempunyai dasar (syari’iyah) apabila ia
didasarkan pada sumber-sumber syara’, seperti al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ atau undang-undang yang ditetapkan di lembaga yang
berwenang. Dalam hal hukuman ditetapkan oleh ulil amri maka disyaratkan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan
syara’, apabila bertentangan maka ketentuan hukuman tersebut
menjadi batal. Dengan adanya persyaratan tersebut maka seorang
hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman atas dasar pemikirannya
sendiri walaupun ia berkeyakinan bahwa hukuman tersebut lebih baik
dan lebih utama daripada hukuman yang telah ditetapkan.
b. Hukuman harus bersifat pribadi (perseorangan)
Hukuman disyaratkan harus bersifat pribadi atau
perseorangan, artinya bahwa hukuman harus dijatuhkan pada orang
yang melakukan tindak pidana dan tidak mengenai orang lain yang
32
ditegakkan oleh syariat Islam dan ini telah dibicarakan berkaitan
dengan masalah pertanggungjawaban.24
c. Hukuman harus berlaku umum
Hukuman harus bersifat umum, karena seluruh pelaku pidana
dihadapan hakim sama derajatnya, tanpa membedakan apa dia kaya
atau miskin dan rakyat biasa atau penguasa. Apabila rakyat biasa
dalam tindak pidana pembunuhan dikenakan hukuman qishas maka penguasa yang melakukan pembunuhan juga harus dikenakan qishas. Namun demikian, prinsip persamaan hukuman secara sempurna hanya
dapat diberlakukan dalam tindak pidana hudud, pembunuhan dan
perlukaan.25
5. Macam-Macam Hukuman (Sanksi)
Hukuman dibagi menjadi beberapa macam sesuai dengan tindak
pidananya, antara lain: 26
a. Hukuman ditinjau dari segi terdapat atau tidak terdapat nashnya dalam
al-Qur’an dan al-Hadist. Maka hukuman dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu:
1) Hukuman yang ada nashnya, yaitu Hudud, Qishas, Diyat, dan
Kafarat. Misalanya hukuman bagi pezina, pencuri, perampok, pemberontak, pembunuh dan orang yang mendzihar istrinya.
24
Ibid, 141-142.
25
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2006), 1872.
26
33
2) Hukuman yang tidak ada nashnya, hukuman ini disebut dengan
hukuman Ta’zir, seperti percobaan melakukan tindak pidana, tidak
melaksanakan amanah, saksi palsu dan melanggar aturan lalu
lintas.
b. Hukuman ditinjau dari segi hubungan antara satu hukuman dengan
hukuman lain, hukuman dapat dibedakan menjadi empat, yaitu:
1) Hukuman pokok (al-‘uqubat al-ashliyah), yaitu hukuman yang menempati tempat hukuman yang asal bagi satu kejahatan, seperti
hukuman mati bagi pembunuh dan hukuman jilid seratus kali bagi
pezina ghairumuhshan.
2) Hukuman pengganti (al-‘uqubah al-badaliyah), yaitu hukuman yang menempati tempat hukuman pokok apabila hukuman pokok
itu tidak dapat dilaksanakan karena suatu alasan hukum, seperti
hukuman diyat atau denda bagi pembunuh sengaja yang dimaafkan
qishasnyaoleh keluarga korban atau hukuman ta’zir apabila karena
suatu alasan hukum pokok yang berupa had tidak dapat dilaksanakan.
3) Hukuman tambahan (al-‘uqubat al-taba’iyah), yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku atas dasar mengikuti hukuman pokok,
seperti terhalangnya seorang pembunuh untuk mendapat waris dari
harta terbunuh.
34
dijatuhkan, seperti mengalungkan tengan pencuri yang telah
dipotong di lehernya. Hukuman ini harus berdasarkan keputusan
hakim tersendiri.
c. Hukuman ditinjau dari segi kekuasaan hakim yang menjatuhkan
hukuman, maka hukuman dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Hukuman yang memiliki satu batas tertentu, dimana hakim tidak
dapat menambah atau mengurangi batas itu, seperti hukuman had
2) Hukuman yang memiliki dua batas yaitu batas tertinggi dan batas
terendah, dimana hakim dapat memilih hukuman yang paling adil
dijatuhkan kepada terdakwa, seperti dalam kasus-kasus maksiat
yang diancam dengan ta’zir.
d. Hukuman ditinjau sasaran hukum, hukuman dapat dibagi menjadi
empat, yaitu:
1) Hukuman badan, yaitu hukuman yang dikenakan kepada badan
manusia, seperti hukuman jilid.
2) Hukuman yang dikenakan dengan hukuman jiwa, yaitu hukuman
mati.
3) Hukuman yang dikenakan kepada kemerdekaan manusia, seperti
hukuman penjara atau pengasingan.
4) Hukuman harta, yaitu hukuman yang dikenakan kepada harta,
seperti diyat, denda dan perampasan.
Hukuman pada KUHP RAP dapat berbeda menurut perbedaan
35
mukhalafah. Untuk masing-masingnya dikenakan tersendiri. Untuk
jarimah jinayat dikenakan hukuman mati, atau kerja berat seumur hidup atau sementara atau kawalan. Untuk jarimah janhah dikenakan hukuman kawalan, atau diletakkan dibawah pengawasan atau denda. Untuk jarimah mukhalafah dikenakan hukuman kawalan atau denda. Perbedaan antara hukuman kawalan pada janhah dan mukhalafah tidak lebih dari tujuh hari, sedangkan pada janhah mencapi tiga tahun.
Di kalangan fuqaha, jarimah-jarimah yang belum ditetapkan hukumannya oleh syara’ dinamakan dengan jarimahta’zir. Jarimah ta’zir
juga dapat dipahami bahwa perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak
dikenakan hukuman had dan tidak pula kaffarat. Menurut istilah, ta’zir bermakna, al-Ta’dib (pendidikan) dan at-Tankil (pengekangan). Sanksi
ta’zir disesuaikan dengan tingkat kejahatannya. Kejahatan yang besar
mesti dikenai sanksi yang berat, sehingga tercapai tujuan sanksi, yakni
pencegahan. Begitu juga dengan kejahatan kecil, akan dikenai sanksi yang
dapat mencegah orang lain untuk melakukan kejahatan serupa.
Dalam bukunya Imam Mawardi menjelaskan pengertian ta’zir ialah
menjatuhkan ta’zir (sanksi disiplin) terhadap dosa-dosa yang didalamnya
tidak terdapat hudud. Ta’zir ini berbeda menurut kondisi ta’zir itu sendiri dan kondisi pelakunya. Disatu sisi ta’zir sesuai dengan hudud yaitu
sama-sama memperbaiki dan melarang. Disisi lain ta’zir berbeda dengan hudud
yaitu pada dosa yang dilakukan pelakunya.27
27
36
Dasar hukum disyariatkannya ta’zir terdapat pada salah satu hadis
Nabi yang diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim:
ع ، ع ع ، اَ َ لا ع خأ ، اَ لا ا أ ثَ
ج ع ،ٍ ك
:
ٍ ت ف َج
َ ع ّ َ ص َ لا َ أ
(
ا
لا
ص
لا ئ لا
تلا د اد ا
)
28
Artinya: “Telah menceritakan Ibrahim bin Musa ar-Razi, Abdur Razaq memberi kabar kepada kami, dari Ma’mar, dari Bahz ibn Hakim, dari ayahnya, dari kakenya bahwa Nabi Saw menahan seseorang karena disangka melakukan kejahatan” (hadis diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi, Nasa’I dan Baihaqi serta dishahihkan oleh Hakim)
Dan hadis Nabi diriwayatkan oleh Abi Burdah yang artinya: “Dari
Abi Burdah Al-Ansari ra bahwa ia mendengar Rasulullah Saw bersabda:
tidak boleh dijilid diatas sepuluh cambuk kecuali didalam hukuman yang telah ditentukan oleh Allah Ta’ala (Muttafaq Alaih)” 29
1. Perbedaan antara Hudud dan Ta’zir
Sayyid Sabiq mengemukakan perbedaan antara hudud dan ta’zir sebagai berikut :30
a. Hukuman hudud dibedakan secara sama untuk semua orang (pelaku) sedangkan hukuman ta’zir pelaksanaannya dapat berbeda
antara satu pelaku dengan pelaku lainnya, tergantung kepada
perbedaan kondisi masing-masing pelaku
28
Abi Daud Sulaiman, Sunan Abi Daud Bab Fi Jassi Fiddaini Waghoirihhi, (Beirut: Maktabah Asriyah, t.t), 314.
29
Ahmad Wardi Muslich, Hukum pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 252-253.
30
37
b. Dalam jarimah hudud tidak berlaku pembelaan (syafa’at) dan
pengampunan apabila perkaranya sudah dibawa ke pengadilan.
Sedangkan untuk jarimah ta’zir kemungkinan untuk memberikan
pengampunan apabila perkaranya untuk memberikan pengampunan
terbuka lebar baik oleh individu maupun ulilamri.
c. Orang yang mati karena dikenakan hukuman ta’zir berhak
memperoleh ganti rugi, sedangkan untuk jarimah hudud hal ini tidak berlaku. Akan tetapi menurut Imam Malik dan Imam Abu
Hanifah kematian akibat hukuman ta’zir tidak mengakibatkan ganti
rugi apapun, karena dalam had dan ta’zir itu sama. 2. Macam-Macam Jarimah Ta’zir
Jarimah ta’zir dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu :
a. Jarimah ta’zir yang menyinggung hak Allah
b. Jarimah ta’zir yang menyinggung hak individu
Dari segi sifatnya Jarimah ta’zir dapat dibagi kepada tiga
bagian yaitu: Ta’zir karena melakukan perbuatan maksiat, Ta’zir
karena melakukan perbuatan yang membahayakan kepentingan
umum, Ta’zir karena melakukan pelanggaran.
Disamping itu, dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya)
ta’zir juga dapat dibagi kepada tiga bagian yaitu sebagai berikut :
a. Jarimah ta’zir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud atau
38
seperti pencurian yang tidak mencapai nisab atau oleh
keluarganya sendiri.
b. Jarimah ta’zir yang jenisnya disebutkan dalam nash syara’ tetapi
hukumannya belum ditetapkan, seperti riba, suap, dan
mengurangi takaran atau timbangan.
c. Jarimah ta’zir yang baik jenis maupun sanksinya belum
ditentukan oleh syara’.
Abdul Azis Amir membagi jarimah ta’zir menjadi 6, yaitu:
a. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pembunuhan
b. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan perlukaan
c. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kejahatan terhadap
kehormatan dan kerusakan akhlak
d. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan harta
e. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kemaslahatan individu
f. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan keamanan umum.31
3. Macam-Macam Hukuman Ta’zir
a. Hukuman ta’zir yang mengenai badan
1) Hukuman mati
Untuk jarimah ta’zir pada hukuman mati ini ditetapkan
para fuqaha secara beragam. Hanafiyah membolehkan kepada ulil amri untuk menerapkan hukuman mati sebagai ta’zir dalam
jarimah-jarimah yang jenisnya diancam dengan hukuman mati
31
39
apabila jarimah tersebut secara berulang-ulang. Malikiyah juga
membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir untuk
jarimah-jarimah ta’zir tertentu. Sedangkan fuqaha Syafi’iyah
membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir dalam kasus
penyebaran aliran-aliran sesat yang menyimpang dari ajaran
al-Qur’an dan as-Sunnah.
2) Hukuman Jilid (Dera)
Adapun alat yang digunakan untuk hukuman jilid ini
adalah cambuk yang pertengahan (sedang, tidak terlalu besar
dan tidak terlalu kecil) atau tongkat. Pukulan atau cambukan
tidak boleh diarahkan ke muka, farji dan kepala. Hukuman jilid
tidak boleh sampai menimbulkan cacat dan membahayakan
organ-organ tubuh yang terhukum, apalagi sampai membahayak
jiwanya, karena tujuannya adalah memberi pelajaran dan
pendidikan kepadanya.32
3) Hukuman yang berkaitan dengan kemerdekaan
a) Hukuman penjara33
Dalam bahasa arab ada dua istilah untuk hukuman
penjara al-Habsu dan as-Sijau. Al-habsu yang artinya menahan atau mencegah, al-habsu juga diartikan as-sijnu. Dengan demikian kedua kata tersebut mempunyai arti yang
sama. Hukuman penjara menurut para ulama dibagi menjadi
32
Ibid, 258-260.
33
40
dua, yaitu: penjara yang dibatasi waktunya dan penjara yang
tidak dibatasi waktunya.
Hukuman penjara yang dibatasi waktunya adalah
hukuman penjara yang dibatasi lamanya hukuman yang
secara tegas harus dilaksanakan oleh si terhukum.
Contohnya hukuman penjara bagi pelaku penghinaan,
pemakan riba, penjual khamr, sanksi palsu, orang yang
mengairi ladangnya dengan air tetangganya tanpa izin, dan
sebagainya.
Sementara itu untuk hukuman penjara yang tidak
dibatasi waktunya tersebut tidak mencapai kesepakatan
diantara’ulama. Penjara yang tidak dibatasi waktunya bisa
berupa penjara seumur hidup, bisa juga dibatasi sampai ia
bertobat. Hukuman penjara seumur hidup adalah hukuman
penjara untuk kejahatan-kejahatan yang sangat berbahaya,
misalnya pembunuhan yang terlepas dari sanksi qishas.
b) Hukuman pengasingan
Dasar hukuman pengasingan adalah firman Allah:
ا أ
ۚ
ۡ
Artinya: “... atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya)”. (Q.S al-Ma’idah : 33)
Meskipun ketentuan hukuman pengasingan dalam
41
hudud, tetapi para ‘ulama menerapkan hukuman
pengasingan ini dalam jarimah ta’zir juga. Hukuman pengasingan ini dijatuhkan pada pelaku jarimah yang
dikhawatirkan berpengaruh kepada orang lain sehingga
pelakunya harus dibuang atau diasingkan untuk
menghindarkan pengaruh-pengaruh tersebut.
4) Hukuman Ta’zir yang berkaitan dengan harta
Hukuman terhadap harta dapat berupa denda atau
penyitaan harta si mujrim. Hukuman berupa denda, umpamanya pencurian buah yang masih tergantung di
pohonnya dengan keharusan pengembalian dua kali lipat
harga asalnya. Hukuman denda juga dapat dijatuhkan bagi
orang yang menyembunyikan, menghilangkan, atau
merusakkan barang milik orang lain dengan sengaja.
Adapun bentuk lain adalah perampasan terhadap harta
yang diduga merupakan hasil perbuatan jahat atau
mengabaikan hak orang lain yang ada di dalam hartanya.
Dalam hal ini, boleh menyita harta tersebut bila terbukti
harta tersebut tidak dimiliki dengan jalan yang sah. Selain
itu, dapat menahan harta tersebut selama dalam
persengketaan, kemudian mengembalikannya kepada
pemiliknya setelah selesai persidangan.34
34
42
6. Pelaksanaan Hukuman (Sanksi)
Yang melaksanakan hukuman adalah petugas yang ditunjuk oleh imam untuk melaksanakan hukuman. Sebagian ulama’ berpendapat bahwa
untuk hukuman qishas dapat dilakukan sendiri (keluarga korban) dengan pengawasan imam. Akan tetapi disisi lain, menurut sebagian ulama’ yang
lain pelaksanaan qishas juga diserahkan kepada petugas yang berpengalaman, sehingga tidak melalui batas yang ditentukan. Adapun
untuk melaksanakan hukuman mati menurut Imam Abu Hanafiah dan
Imam Ahmad harus menggunakan pedang, berdasarkan hadis:
َ ل ََا د َ
.
Artinya: Tidak ada qishas (hukuman mati) kecuali dengan pedang. (HR Al-Bazar dan ibn Adi dari Abu Bukrah).
Sedangkan menurut Imam Malik, imam Syafi’i dan sebagian
ulama’ Hanabilah alat untuk melaksanakan Qishas harus dengan alat yang sama dengan alat yang digunakan untuk membunuh korban. Para ulama’
Hukum Islam terkemuka dewasa ini membolehkan penggunaan alat selain
pedang. Asal lebih cepat mematikan dan lebih meringankan penderitaan
terhukum, misalnya dengan menggunakan kursi listrik. Hal ini berdasarkan
hadist Nabi:
،ءاَ لا ٍ ل خ ع ، َ ع ا ل ع ثَ ، ش أ ك أ ثَ
،ٍ أ داَ ش ع ، عشۡا أ ع ، َ أ ع
:
ع ت ت ث
، َ ع ّ َ ص َّ
:
43
ف ، ت ش أ َ ل ، َ لا ا
أف ت ا ، ت لا ا
أف ت ت
ت
.
35Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah, telah menceritakan Ismail bin Ulaiyah, dari Khalid al-Jada’, dari Abi Qilabah, dari Abi as-Ash, dari Syahad bin Aus, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan kepada segala sesuatu. Oleh karena itu apabila kamu membunuh (memberi hukuman mati), maka
bunuhlah dengan cara yang baik. Dan apabila kamu menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah salah seorang diantara kamu mempertajam mata pedangnya dan meringankan penderitaan binatang yang disembelihnya (HR Muslim dari Saddad bin Ask).
َلل
ا ل
َلل
ا ل
ل
ف ۚص
تع
ك ع
ا تع
ع
لث
تع
ۚ ك ع
ا َت
َّ
آ ع
َ أ
َّ
ع
َت ل
Artinya: Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qishas. Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.36
7. Penundaan Hukuman (Sanksi)
Sebagian ulama berpendapat bahwa jika kondisi fisik orang yang
akan dihukum lemah maka pelaksanaan hukuman dapat ditunda sampai
kondisi fisiknya kuat. Namun sebagian ulama juga tidak memperbolehkan
penundaan hukuman dengan syarat tidak membahayakan kesehatan orang
yang akan dihukum. Untuk hukuman cambuk, jika keadaan terpidana
lemah boleh dicambuk dua atau tiga kali dengan jumlah cabang anak
35
Muslim Ibnu al-Hajjaj, Shohih Muslim Bab al-Amru Bi Ihsan adz-Dzabhi Wal Qital, Jilid III, (Beirut : Dar Ihya at-Turost, t.t), 1548.
36
44
cambuk yang sesuai dengan jumlah hukuman cambuk yang harus
diterimanya.37
Penundaan h