• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN."

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SANKSI

PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK

KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8

TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

SKRIPSI

OLEH:

RINDI MAYA ARINTIKA NIM: C03211054

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

JURUSAN HUKUM PUBLIK ISLAM PRODI SIYASAH JINAYAH

SURABAYA

(2)

TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SANKSI

PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK

KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8

TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

SKRIPSI

Diajukan kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu

Ilmu Syariah dan Hukum

OLEH :

RINDI MAYA ARINTIKA

C03211054

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

FAKULTAS SYARIAH DANHUKUM

JURUSAN HUKUM PUBLIK ISLAM

PRODI SIYASAH JINAYAH

SURABAYA

(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul “TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN” Tentang Tindak Pidana Pengedaran Makanan ini adalah hasil penelitian kepustakaan yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan: (1) Bagaimana sanksi tindak pidana pelaku usaha atas pengedaran makanan tidak layak konsumsi menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen?; dan (2) Bagaimana tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap sanksi tindak pidana pelaku usaha atas pengedaran makanan tidak layak konsumsi menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen?

Data dihimpun melalui pembacaan dan kajian teks, yang selanjutnya diolah dengan beberapa tahap yaitu Editing, yaitu pemeriksaan kembali terhadap semua data yang telah diperoleh. Organizing, yaitu menyusun dan mensistematiskan data-data yang telah diperoleh, dan Analyzing, yaitu menganalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis.Data yang dihimpun pada penelitian ini menunjukkan fakta bahwa pengedaran makanan tidak layak konsumsi oleh pelaku usaha (produsen) yang tidak bertanggung jawab masih banyak terjadi di masyarakat. Pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab dan hanya ingin mendapatkan keuntungan berlebih dengan berbuat curang.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pelaku usaha dilarang meproduksi dan mengedarkan makanan tidak layak konsumsi kepada masyarakat. Sanksi apabila pelaku tetap melakukan tindak pidana tersebut adalah dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak RP. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) sebagaimana ketentuan pada Pasal 62 ayat (1) UUPK. Menurut tinjauan Hukum Pidana Islam, sanksi pidana pengedaran makanan tidak layak konsumsi kepada pelaku usaha (produsen) termasuk dalam sanksi yang ditetapkan untuk jarimah ta’zir, dimana tindak pidana yang dimaksud belum diatur di dalam nash, sehingga menjadi kewenangan ulil amri untuk menghukumnya.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

PERSEMBAHAN ... v

MOTTO... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. LatarBelakangMasalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan masalah ... 8

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Kajian Pustaka ... 10

E. Tujuanpenelitian ... 12

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 12

G. Definisi Operasional ... 13

H. Metode Penelitian ... 14

(8)

BAB II TINDAK PIDANA DAN HUKUMAN (SANKSI) DALAM HUKUM

PIDANA ISLAM ... 18

A. Tindak pidana dalamHukumPidana Islam ... 18

1. PengertianTindak Pidana ... 18

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana ... 19

3. Klasifikasi Tindak Pidana ... 20

B. Hukuman (Sanksi) dalam Hukum Pidana Islam ... 26

1. Pengertian Hukuman (Sanksi) ... 26

2. Dasar Hukum Pemberlakuan Hukuman (Sanksi) ... 27

3. Tujuan Hukuman (Sanksi) ... 29

4. Syarat-Syarat Hukuman (Sanksi) ... 31

5. Macam-Macam Hukuman (Sanksi) ... 32

6. Pelaksanaan Hukuman (Sanksi) ... 42

7. Penundaan Hukuman (Sanksi) ... 43

8. Penghapusan Hukuman (Sanksi) ... 45

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN .... A. Pengedaran Makanan Berbahaya yang Dilarang Oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen... 49

1. Hak dan Kewajiban Konsumen ... 49

2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ... 51

3. Pengedaran Makanan Tidak Layak Konsumsi ... 52

B. Tindak Pidana Pengedaran Makanan Tidak layak Konsumsi yang Dilakukan Oleh Pelaku Usaha... 53

C. Sanksi Pidana atas Pengedaran Makanan Tidak Layak Konsumsi Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen... 57

(9)

A. Analisis tentang Sanksi Pidana atas Pengedaran Makanan Tidak Layak

Konsumsi... 61

B. AnalisisHukumPidana Islam terhadap Sanksi Pidana atas Pengedaran Makanan Tidak Layak Konsumsi ... 63

BAB V PENUTUP ... 73

A. Kesimpulan... 73

B. Saran ... 74 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk Tuhan yang mempunyai dua sifat individu

dan sosial. Secara individu mempunyai kebutuhan berupa sandang, pangan,

dan lain-lain. Secara sosial manusia memerlukan bantuan orang lain untuk

mencukupi segala kebutuhannya, salah satu bentuk dari hubungan sosial itu

adalah jual-beli. Dalam hal jual-beli terdapat dua subyek yaitu penjual yang

kedudukannya sebagai pelaku usaha dan pembeli sebagai konsumen.

Penjual sebagai pelaku usaha berusaha menghasilkan berbagai jenis

produk diantaranya adalah makanan agar dapat dikonsumsi oleh konsumen.

Sedangkan pembeli sebagai konsumen menurut kamus umum Bahasa

Indonesia adalah sebagai lawan produsen, yakni pemakai barang-barang hasil

industri, bahan makanan, dan sebagainya.1

Perkembangan perekonomian di bidang perindustrian dan

perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai barang dan jasa yang dapat

dikonsumsi. Ditambah dengan globalisasi dan perdagangan bebas yang

didukung oleh kemajuan teknologi komunikasi dan informatika yang dapat

merperluas ruang gerak transaksi barang dan jasa menjadi bervariasi.

Sehingga melintasi batas-batas wilayah suatu negara semakin cepat dan

meluas, baik yang berasal dari luar negeri maupun dalam negeri.

1

(11)

2

Pertumbuhan dan perkembangan industri barang dan jasa membawa

dampak yang positif. Di antaranya tersedianya kebutuhan dalam jumlah yang

mencukupi, mutunya yang lebih baik, serta adanya alternatif pilihan bagi

konsumen dalam pemenuhan kebutuhannya. Akan tetapi, selain memberikan

dampak yang positif juga terdapat dampak negatif. Yaitu dampak penggunaan

dari teknologi itu sendiri serta perilaku bisnis yang timbul karena makin

ketatnya persaingan yang mempengaruhi masyarakat konsumen.2

Persaingan global yang terjadi membuat produsen menghalalkan

segala macam cara untuk meraup keuntungan. Akibatnya, berbagai cara

dilakukan untuk mengelabui konsumen. Ini dilakukan para produsen karena

persaingan yang begitu hebat dan masyarakat menginginkan harga murah

terhadap produk pangan tersebut. Salah satu bentuk kejahatan bisnis yang

dilakukan oleh sebagian pengusaha yang tidak bertanggung jawab adalah

memproduksi, mengedarkan, menawarkan produk- produk yang berbahaya

bagi kesehatan konsumen. Ulah para pengusaha yang hanya mementingkan

keuntungan perusahaan tanpa memperhatikan akibat bagi konsumen tersebut

telah menelan banyak korban.

Dari berbagai macam kecurangan dan penipuan yang dilakukan oleh

pelaku usaha atau produsen adalah menggunakan bahan tak layak konsumsi

atau kadaluarsa sebagai bahan dasar pembuatan makanan. Dengan cara

mendaur ulang dan menjadikan produk makanan ringan. Makanan ringan

2

(12)

3

seperti ini berbahaya dikonsumsi dan yang pasti tidak sesuai dengan sanitasi

produksi untuk makanan dikonsumsi masyarakat.

Seperti halnya contoh kasus yang baru-baru ini terjadi di Sidoarjo,

polisi melakukan penggerebekan pada sebuah UD Wijaya Abadi yang ada di

Desa Balongtani Kecamatan Jabon Sidoarjo. Di dalam gudang makanan

ringan tersebut polisi menemukan berbagai macam jenis makanan ringan dari

bahan baku kadaluarsa. Pelaku usaha mengaku mendapatkan bahan baku

tersebut dari perusahaan-perusahaan besar yang sudah terkenal. Bahan baku

yang sudah tidak layak dikonsumsi namun oleh pemiliknya dikemas lagi dan

diedarkan ke luar kota.3

Ketidakberdayaan konsumen dalam menghadapi pelaku usaha ini

jelas sangat merugikan kepentingan masyarakat konsumen. Pada umumnya

para pelaku usaha berlindung dibalik standart contract atau perjanjian baku yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak (antara pelaku usaha dan konsumen), ataupun melalui berbagai informasi “semu” yang diberikan oleh

pelaku usaha kepada konsumen.4 Hal tersebut yang membuat kedudukan

antara produsen dan konsumen tidak seimbang. Dimana konsumen hanya

dijadikan obyek bisnis untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak.

Dalam hal seperti ini tentu saja konsumen menjadi pihak yang

dirugikan, dan membutuhkan perlindungan. Perlindungan konsumen adalah

perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk

memenuhi kebutuhannya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang

3

Jawa Pos Online, dalam http://www.kabarsidoarjo.com/?p=4939, diakses pada 15 Mei 2015.

4

(13)

4

merugikan konsumen itu sendiri. Undang-Undang Perlindungan Konsumen

menyatakan bahwa, perlindungan konsumen adalah segala upaya yang

menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada

konsumen.5

Pada Tahun 1999 atau tepatnya pada tanggal 20 April 1999

pemerintah menerbitkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen (UUPK). Undang-Undang Perlindungan Konsumen

diberlakukan dalam rangka untuk melindungi atau menjamin konsumen akan

hak-haknya yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam aktifitas perdagangan

atau praktek-praktek jual-beli curang yang dilakukan pelaku usaha yang

menyebabkan kerugian di pihak konsumen.

Oleh karena itu, pihak pelaku usaha dalam memproduksi makanan

harus memperhatikan apa yang menjadi kewajibannya, sebagaimana diatur

dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, yaitu : 6

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan atau jasa, serta memberikan penjelasan penggunaan,

perbaikan dan pemeliharaan.

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur, serta

tidak diskriminatif.

5

Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

6

(14)

5

4. Menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa

yang berlaku

5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan atau mencoba

barang dan atau jasa tertentu, serta memberi jaminan dan atau garansi atas

barang yang dibuat dan atau diperdagangkan.

6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan atau jasa penggantian apabila barang

dan atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan

perjanjian.

Cakupan perlindungan konsumen sangat luas, meliputi perlindungan

konsumen terhadap barang dan jasa, yang berawal dari tahap kegiatan

mendapatkan barang atau jasa hingga sampai akibat-akibat dari pemakaian

barang dan/atau jasa tersebut. Cakupan perlindungan konsumen tersebut dapat

dibedakan dalam dua aspek, yaitu : 7

1. Perlindungan terhadap kemungkinan barang yang diserahkan kepada

konsumen tidak sesuai dengan apa yang disepakati.

2. Perlindungan terhadap diberlakukannya syarat-syarat yang tidak adil

terhadap konsumen.

Dalam Islam tidak ada larangan jual beli, akan tetapi Islam melarang

setiap tindakan curang. Seperti penipuan yang dilakukan pelaku usaha

terhadap konsumen. Larangan ini disebutkan dalam al-Qur’an surat Huud (11)

ayat 85 :

7

(15)

6

ۡ

ْا ف ۡ أ

ٱ

ا ۡ ۡ

ٱ

ااي ۡ

ٱ

ۡ ۡ

ْا خۡبت َ

ٱ

ا َل

ْا ۡ ث ۡعت َ ۡمهءٓ ۡشأ

يف

ٱ

ۡ ۡ

ن ۡفم

٥

Artinya: Dan Syu’aib berkata: “Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.8

Perdagangan yang adil dan jujur dalam menurut al-Qur’an adalah

perdagangan yang tidak mendzalimi dan tidak pula di dzalimi. Sebagaimana

diterangkan dalam firman Allah:

اإف

نِم ٖ ۡرحب ْا ن ۡأف ْا لعۡفت ۡمَ

ٱ

َ

ۦ

َ ۡم ۡمأ ا ء ۡم لف ۡمتۡبت اإ

ا لۡظت َ ا لۡظت

٢

Artinya: Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS: Al-Baqarah ayat 279).9

Hukuman dalam istilah Arab disebut Uqubah, yaitu bentuk balasan

bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan syara’ yang

ditetapkan Allah dan Rasul-Nya untuk kemaslahatan manusia. Tujuan dari

hukuman dalam syariat Islam merupakan realisasi dari tujuan hukum Islam itu

sendiri, yakni sebagai pembalasan perbuatan jahat, pencegahan secara umum

dan secara khusus serta perlindungan terhadap hak-hak si korban. Pemidanaan

dimaksudkan untuk mendatangkan kemaslahatan umat dan mencegah

8

Al-‘Alim al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2010), Surat Huud ayat 85, 340.

9

(16)

7

kedzaliman atau kemadharatan. Menurut Abdul Qadir Audah, hukuman

adalah suatu penderitaan yang dibebankan kepada seseorang akibat

perbuatannya melanggar aturan.10

Penipuan yang dilakukan oleh pelaku usaha kepada konsumen termasuk tindak pidana yang dikenai hukuman ta’zir, karena belum diatur di

dalam syara’. Menurut istilah, ta’zir bermakna, al-Ta’dib (pendidikan) dan at

-Tankil (pengekangan). Sanksi ta’zir disesuaikan dengan tingkat kejahatannya.

Kejahatan yang besar mesti dikenai sanksi yang berat, sehingga tercapai

tujuan sanksi, yakni pencegahan. Begitu juga dengan kejahatan kecil, akan

dikenai sanksi yang dapat mencegah orang lain untuk melakukan kejahatan

serupa.

Mustaq Ahmad menekankan bahwa dalam perspektif Islam,

landasan yang mendorong prilaku seorang pelaku bisnis hendaknya jangan

didasarkan karena adanya rasa takut pada Allah (takwa, God fearing) dalam usaha mencari dan menggapai ridho-Nya. Jadi bisnis hendaknya melampaui

sesuatu yang bersifat legal. Seseorang bukan hanya semata mengharapkan rasa

keadilan, bahkan lebih jauh dari itu ia menginginkan yang melampaui hal

tersebut dalam rangka memenuhi kebajikan dan keluhuran budi. Sebagaimana

juga tuntutan bagi seorang muslim yang bertakwa, dia bukan hanya

menghindari semua hal yang dilarang, bahkan lebih dari itu ia hendaknya

10

(17)

8

menghindari “wilayah kelabu” (syubhat), dimana apabila dia melakukan tindakan itu ia merasa tidak mendapatkan ketenangan batin.11

Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, yaitu mengenai

tindak pidana kecurangan pelaku usaha atas pengedaran makanan tidak layak

konsumsi, penulis tertarik untuk meneliti dan menganalisis lebih lanjut.

Pemberian hukuman tindak pidana kepada pelaku usaha yang curang menurut

undang-undang yang berlaku serta menurut hukum Islam menjadi alasan

dalam penulisan ini.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Dari latar belakang tersebut diatas, terdapat beberapa permasalahan

dalam penelitian ini. Adapun permasalahan-permasalahan tersebut dapat

diidentifikasi sebagai berikut:

1. Hukuman menurut Hukum Pidana Islam.

2. Analisis Hukum Pidana Islam terhadap tindak pidana produsen atas

pengedaran makanan tidak layak konsumsi.

3. Sanksi tindak pidana produsen atas pengedaran makanan tidak layak

konsumsi menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen.

4. Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap sanksi tindak pidana produsen

atas pengedaran makanan tidak layak konsumsi menurut Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

11

(18)

9

Adapun yang menjadi pembatasan permasalah dalam penelitian yang

akan peneliti lakukan bahwa:

1. Sanksi tindak pidana pelaku usaha atas pengedaran makanan tidak layak

konsumsi menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen.

2. Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap sanksi tindak pidana pelaku usaha

atas pengedaran makanan tidak layak konsumsi menurut Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

C. Rumusan Masalah

Melalui latar belakang, identifikasi dan batasan masalah tersebut di

atas, maka rumusan masalah yang akan peneliti kaji dalam penelitian ini yaitu

sebagai berikut:

1. Bagaimana sanksi tindak pidana pelaku usaha atas pengedaran makanan

tidak layak konsumsi menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen?

2. Bagaimana tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap sanksi tindak pidana

pelaku usaha atas pengedaran makanan tidak layak konsumsi menurut

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi tentang kajian atau penelitian yang

sudah pernah dilakukan, sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang sedang dan

akan dilakukan ini bukan merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian

(19)

10

Penelitian yang terkait dengan pelanggaran terhadap

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen diantaranya

telah diteliti oleh:

1. Mohammad Nadzir, pada tahun 2003, Jurusan Siyasah Jinayah, dengan judul “Pelanggaran Terhadap Hukum Tentang Perlindungan Konsumen

Menurut undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dan Hukum Islam (Studi

Perbandingan)”. Dalam definisi operasionalnya, obyek dalam

penelitiannya adalah perlindungan konsumen terhadap barang dan/atau

jasa. Metodologi yang digunakan pada penelitian tersebut adalah library research dengan metode analisis deskriptif. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah fungsi utama dari UUPK dan Hukum Islam sama-sama

mengangkat harkat dan martabat kehidupan konsumen dengan cara

menetapkan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha.12

2. Risma Qumilaila, pada tahun 2008, Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, dengan judul “Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan

Kimia Berbahaya Pada Makanan (Studi Komparasi Hukum islam dan

Undang-Undang Perlindungan Konsumen)”. Dalam Penelitian ini peneliti

memfokuskan permasalahan pada makanan yang diberi bahan kimia

tambahan dan tak layak di konsumsi karena mengancam kesehatan.

Metodologi yang digunakan dalam penelitian tersebut library research

dengan metode analisis deskriptif. Kesimpulan pada penelitian ini ialah

12

(20)

11

baik dalam Hukum Islam dan hukum positif konsumen berhak

mendapatkan barang dan atau jasa yang halal dan juga bebas dari bahaya.13

3. Moch. Choirul Rizal, pada tahun 2013, Jurusan Siyasah Jinayah, dengan

judul Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Sanksi Tindak Pidana

Pencantuman Klausula Baku Pada Karcis Kendaraan Bermotor Kepada

Pengelola Jasa Parkir Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Tentang perlindungan Konsumen”. Dalam penelitian ini membahas tentang perlindungan konsumen terhadap klausula/perjanjian antara

konsumen dan penyedia jasa parkir dari resiko kehilangan barang atau

motor tetapi tidak mendapatkan ganti rugi yang sepadan dari penyedia

layanan parkir. Metodologi yang digunakan dalam penelitian tersebut

library research dengan metode analisis deskriptif. Kesimpulan pada penelitian ini ialahpencantuman klausula baku pada karcis kendaraan

bermotor oleh pengelola jasa parkir merupakan bentuk tindak pidana dan

dalam hukum pidana juga melarang perbuatan tersebut.14

Dari beberapa judul skripsi diatas, dapat dikatakan bahwa penelitian

skripsi ini berbeda dengan penelitian-penelitian tersebut. Dalam penelitian ini

mengkaji tindak pidana dan sanksi terhadap produsen atas pengedaran

makanan tidak layak konsumsi yang sudah kaadaluarsa. Oleh karena hal tersebut menjadi alasan kuat bagi penulis bahwa “Tinjauan Hukum Pidana

13

Risma Qumilaila, “Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Kimia Berbahaya Pada Makanan (Studi Komparasi Hukum Islam dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen” (Skripsi—UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2008), 15.

14

(21)

12

Islam terhadap Sanksi Tindak Pidana Produsen Atas Pengedaran Makanan

Tidak Layak Konsumsi Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen perlu analisis lebih lanjut.

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, makan tujuan

penulisan skripsi ini yaitu:

1. Untuk mengetahui sanksi tindak pidana pelaku usaha atas pengedaran

makanan tidak layak konsumsi menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

2. Untuk mengetahui tinjauan hukum pidana Islam terhadap sanksi tindak

pidana pelaku usaha atas pengedaran makanan tidak layak konsumsi

menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Melalui hasil penelitian ini, peneliti berharap semoga penelitian ini

dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, sebagai

berikut:

1. Aspek Keilmuan (Teoritis)

Peneliti berharap dengan adanya penulisan karya ilmiah ini,

dapat memberikan manfaat secara teoritis bagi penulis khususnya dan bagi

para pembaca secara umum. Penelitian ini juga diharapkan dapat

memberikan kontribusi informasi dan khazanah keilmuan dalam bidang

(22)

13

dapat dijadikan sebagai pedoman dan bahan pertimbangan untuk

penelitian-penelitian selanjutnya.

2. Aspek Terapan (Praktis)

Secara praktis, peneliti berharap agar hasil penulisan karya

ilmiah ini dapat memberikan masukan bagi Yayasan Konsumen Indonesia

(YLKI) dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam hal

perlindungan konsumen di Indonesia dan sebagai salah satu upaya untuk

mewujudkan kesadaran masyarakat yang berdasarkan hukum, terutama

bagi produsen makanan yang mencampurkan bahan-bahan tak layak

konsumsi dalam makanan.

G. Definisi Operasional

1. Analisis Hukum Pidana Islam adalah adalah Analisis dari sudut pandang

ketentuan-ketentuan hukum pidana Islam. Hukum yang bersumber dari

al-Qur’an, hadis, dan pendapat para fuqaha’ yang menghimpun rangkaian

pendapat dari Imam Hanafi, Imam Syafi’i, Imam Maliki, dan Imam

Hambali yang berkaitan dengan masalah-masalah pidana, khususnya

tentang jarimah ta’zir.

2. Sanksi ialah hukuman pokok dan/atau tambahan yang dijatuhkan kepada

pelaku tindak pidana, karena melanggar ketentuan-ketentuan pidana yang

berlaku sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan

Konsumen.

3. Pengedaran adalah suatu kegiatan mengedarkan atau mendistribusikan

(23)

14

4. Makanan tidak layak konsumsi adalah makanan yang sudah

terkontaminasi dengan bakteri atau zat beracun yang berbahaya, yang

dapat menimbulkan gangguan pada kesehatan apabila dikonsumsi.

5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

adalah Undang-Undang yang melindungi hak-hak konsumen yang

didalamnya memuat antara lain Pasal-Pasal tentang perbuatan-perbuatan

yang dilarang beserta dengan sanksinya yang berkaitan dengan pengedaran

makanan tidak layak konsumsi.

H. Metode Penelitian

1. Data Yang Dikumpulkan

Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), sumber data yang diperlukan adalah berupa buku, artikel dan

tulisan-tulisan lainnya yang membahas masalah judul diatas. Serta ketentuan

hukum pidana Islam terhadap sanksi pencabulan terhadap anak.

2. Sumber Data

Berdasarkan data-data diatas, penulis menggunakan dua sumber data yaitu

sebagai berikut:

a. Sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan

data kepada pengumpul data.15 Sumber-sumber data primer tersebut

meliputi:

1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen.

15

(24)

15

2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012

Tentang Pangan

b. Sumber data sekunder yaitu berkas-berkas yang terkait dengan

putusan dan buku-buku. Dalam sumber data sekunder ada dua sumber

hukum yang digunakan, yaitu:

1) Abdul Qadir Audah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam

(Al-Tasyiri’ al-Jina’i al-Islamiy Muqaranan al Qanum al-Wad’iy).

2) Imam Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniah.

3) Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam. 4) Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam.

5) Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam.

6) Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam.

7) Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam. 8) Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam. 9) Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam.

10)Mustofa Hasan, Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah).

11)A. Djazuli, Fiqh Jinayah.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dokumentasi adalah suatu teknik pengumpulan data dengan

menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen baik berupa dokumen

tertulis, gambar dan elektronik.16

16

(25)

16

4. Teknik Analisis Data

a. Metode deskriptif Analisis, yaitu dengan cara menggambarkan teori

tindak pidana produsen atas pengedaran makanan tidak layak

konsumsi menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen menurut hukum pidana Islam.

b. Metode Deduktif, yaitu diawali dengan mengemukakan teori-teori,

dalil-dalil dan pendapat yang bersifat umum mengenai tindak pidana

produsen atas pengedaran makanan tidak layak konsumsi menurut

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen untuk dijadikan bahan analisis terhadap data yang

dikumpulkan sehingga dapat ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.

I. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah dalam memahami masalah-masalah dalam

studi ini, maka pembahasannya dibentuk dalam bab-bab yang masing-masing

bab mengandung sub-bab, sehingga penulis menganggap perlu untuk

mensistematisasikan pembahasan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

BAB I : bab ini memuat pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,

identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian

pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi

operasional, metode penelitian, sumber data, teknik pengumpulan

data, teknik analisa data dan sistematika pembahasan.

BAB II : Landasan Teori. Pada bab ini menguraikan tentang hukuman

(26)

17

Unsur-unsur tindak pidana, Klasifikasi tindak pidana, Pengertian

hukuman, Dasar hukum hukuman, Tujuan hukuman,

Syarat-syarat hukuman, Macam-macam hukuman, Pelaksanaan

hukuman, Penundaan hukuman, dan Penghapusan hukuman.

BAB III : Pada bab ini, menjelaskan tentang penyajian data hasil penelitian

tentang pelaku usaha atas pengedaran makanan tidak layak

konsumsi beserta sanksinya menurut Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

BAB IV : Bab ini merupakan analisis hukum Islam terhadap tindak pidana

tentang pelaku usaha atas pengedaran makanan tidak layak

konsumsi menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen.

(27)

BAB II

TINDAK PIDANA DAN HUKUMAN (SANKSI) DALAM HUKUM

PIDANA ISLAM

A. Tindak Pidana dalam Hukum Pidana Islam

1. Pengertian Tindak Pidana

Perbuatan manusia yang dinilai sebagai pelanggaran atau kejahatan

kepada sesamanya, baik pelanggaran atau kejahatan tersebut secara fisik

atau non fisik, seperti membunuh maupun kejahatan terhadap harta benda

dibahas dalam jinayah. Dalam kitab-kitab klasik, pembahasan masalah

jinayah ini hanya dikhususkan pada perbuatan dosa yang berkaitan dengan

sasaran (objek) badan dan jiwa saja.1

Kata "jinayah" merupakan bentuk verbal noun (masdar) dari kata

"jana". Secara etimologi "jana" berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan

jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah.2 Seperti dalam kalimat jana 'ala qaumihi jinayatan artinya ia telah melakukan kesalahan terhadap kaumnya. Kata jana juga berarti "memetik", seperti dalam kalimat jana as-samarat, artinya "memetik buah dari pohonnya". Orang yang berbuat jahat disebut jani dan orang yang dikenai perbuatan disebut

mujna alaih. Kata jinayah dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak pidana. Secara terminologi kata jinayah mempunyai beberapa pengertian, seperti yang diungkapkan Imam Al-Mawardi bahwa jinayah

1

Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 11.

2

(28)

19

adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama (syara') yang diancam dengan hukuman had atau takzir.3

Ahmad Hanafi menyebutkan bahwa tindak pidana atau jarimah

dalam tinjauan hukum pidana Islam adalah larangan-larangan syara' yang

diancamkan oleh Allah SWT dengan hukuman had atau ta'zir.

Larangan-larangan tersebut adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang

dilarang, atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan.4

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Suatu perbuatan bisa dikatakan sebagai jarimah bila memang

memenuhi unsur-unsur yang telah melekat pada istilah jarimah itu sendiri.

Dalam Hukum Pidana Islam, unsur-unsur jarimah terbagi menjadi dua,

yakni unsur umum dan unsur khusus. Unsur-unsur umum pada jarimah

adalah sebagai berikut :5

a. Adanya nash yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang

disertai ancaman hukuman atas perbuatan-perbuatan di atas. Unsur ini

dikenal dengan istilah unsur formal (al-rukn al-syar'i);

b. Adanya unsur perbuatan yang membentuk jarimah, baik berupa

melakukan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan

yang diharuskan. Unsur ini dikenal dengan istilah unsur material

(al-rukn al-madi); dan

3

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 9.

4

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 1.

5

(29)

20

c. Pelaku kejahatan adalah orang yang dapat menerima kitab atau dapat

memahami taklif, artinya pelaku kejahatan tadi adalah mukallaf,

sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan.

Unsur ini dikenal dengan istilah unsur moral (al-rukn al-adabi).

3. Klasifikasi Tindak Pidana

a. Ditinjau dari segi Beratnya Hukuman

Ditinjau dari segi berat ringannya hukuman, jarimah tersebut dapat dibagi menjadi:

1) Jarimah Hudud

Jarimah hudud yaitu perbuatan melanggar hukum dan jenis dan ancaman hukumannya ditentukan oleh nash, yaitu hukuman

had (hak Allah). Hukuman had yang dimaksudkan tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi dan tidak dihapuskan oleh

perorangan (si korban atau wakilnya) atau masyarakat yang

mewakili (ulil amri).6

Jarimah hudud itu ada tujuh macam, yaitu: jarimah zina,

jarimah gadzaf, jarimah syurbul khamr, jarimah pencurian,

jarimah hirabah, jarimah riddah, jarimah al bagyu

(pemberontakan).

Dalam jarimah zina, syurbul khamr, hirabah, riddah, dan pemberontakan yang dilanggar adalah hak Allah sematamata.

Sedangkan dalam jarimah pencurian dan qadzaf penuduhan zina)

6

(30)

21

yang disinggung disamping hak Allah, juga terdapat hak manusia

(individu), akan tetapi hak Allah lebih menonjol.7

2) Jarimah Qishas dan Diyat

Yang dimaksud dalam jarimah ini adalah perbuatan-perbuatan yang diancam hukuman qishas atau hukuman diyat. Baik

qishas maupun diyat adalah hukuman-hukuman yang telah ditentukan batasnya, dan tidak mempunyai batas terendah atau

batas tertinggi, tetapi menjadi hak perseorangan, dengan pengertian

bahwa si korban bisa memaafkan si pembuat, dan apabila

dimaafkan, maka hukuman tersebut menjadi hapus. Jarimah qishas diyat ada lima, yaitu: pembunuhan sengaja (al- qathlul amd), pembunuhan semi sengaja (al qathlul syibhul amd), pembunuhan karena kesalahan (al qathlul khatar), penganiayaan sengaja ' (al jurhul ama), dan penganiayaan tidak sengaja (al jurhul khata').8 3) Jarimah Ta’zir

Jarimah ta'zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta'zir. Pengertian ta'zir menurut bahasa ialah ta'dib atau memberi pelajaran. Akan tetapi menurut istilah ta'zir adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum

ditentukan hukumannya oleh syara'. Hukuman ta'zir adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara', melainkan diserahkan

kepada ulil amri, baik penentuannya maupun pelaksanaannya.

7

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan..., 18.

8

(31)

22

Dalam menentukan hukuman tersebut, penguasa hanya

menentukan hukuman secara global saja Artinya pembuat

undang-undang tidak menetapkan sekumpulan hukuman, dari yang

seringanringannya sampai yang seberat-beratnya. Tujuan

diberikannya hak penentuan jarimah jarimah ta'zir dan hukumannya kepada penguasa adalah agar mereka dapat mengatur

masyarakat dan memelihara kepentingan-kepentingannya, serta

bisa menghadapi dengan sebaik-baiknya setiap keadaan yang

bersifat mendadak.9

b. Ditinjau dari Segi Niatnya,

Jika ditinjau dari segi niatnya jarimah dapat dibagi menjadi

dua bagian, yaitu :10

1) Jarimah Sengaja

Pada jarimah sengaja (jaraim maqsudah) si pelaku dengan

sengaja melakukan perbuatannya, sedang ia tahu bahwa

perbuatannya itu dilarang. Dari definisi tersebut dapatlah diketahui

bahwa untuk jarimah sengaja harus dipenuhi tiga unsur. Yakni

unsur kesengajaan, unsur kehendak yang bebas dalam

melakukannya, dan unsur pengetahuan. Apabila salah satu dari

ketiga unsur ini tidak ada, maka perbuatan tersebut termasuk

jarimah yang tidak sengaja.

2) Jarimah Tidak Sengaja

9

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan..., 20.

10

(32)

23

Jarimah tidak sengaja dapat diartikan sebagai tindakan untuk mengerjakan perbuatan yang dilarang, akan tetapi perbuatan

tersebut terjadi sebagai akibat kekeliruannya. Dari definisi tersebut

terlihat bahwa kelalaian (kesalahan) dari pelaku merupakan faktor

penting untuk jarimah tidak sengaja ini.

c. Ditinjau dari Segi Tertangkapnya

Ditinjau dari segi waktu tertangkapnya, jarimah dapat dibagi

kepada dua bagian, yaitu:11

1) Jarimah Tertangkap Basah

Jarimah tertangkap basah, yaitu jarimah di mana pelakunya

tertangkap pada waktu melakukan perbuatan tersebut atau

sesudahnya tetapi dalam masa yang dekat.

2) Jarimah yang Tidak Tertangkap Basah

Jarimah yang tidak tertangkap basah, yaitu jarimah di mana

pelakunya tidak tertangkap pada waktu melakukan perbuatan

tersebut, melainkan sesudahnya dengan lewatnya waktu yang tidak

sedikit (lama).

d. Ditinjau dari Segi Cara Melakukannya

Aspek yang ditonjolkan dari perbuatan jarimah ini adalah

bagaimana si pelaku melaksanakan jarimah tersebut. Apakah jarimah

itu dilaksanakan dengan melakukan perbuatan yang terlarang ataukah

si pelaku tidak melaksanakan perbuatan yang diperintahkan. Ditinjau

11 Abdul Qadir Audah, ‚

at-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamiy, Juz I,‛ dalam Ahmad Wardi Muslich,

(33)

24

dari melakukannya, jarimah dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu: 12

1) Jarimah positif (ijabiyyah), yaitu si pelaku secara aktif mengerjakan perbuatan yang dilarang, atau dalam bahasa hukum

positif dinamai delict commisionis.

2) Jarimah negatif (salabiyyah), yaitu si pelaku pasif, tidak berbuat sesuatu atau dalam hukum positif dinamai delict ommisionis,

seperti tidak menolong orang lain yang sangat membutuhkan

padahal dia sanggup melaksanakannya.

e. Ditinjau dari Segi Objeknya

Jarimah ditinjau dari segi objeknya atau sasarannya dapat dibagi menjadi dua, yaitu :13

1) Jarimah Perseorangan

Jarimah perseorangan adalah suatu jarimah dimana hukuman terhadapnya dijatuhkan untuk melindungi kepentingan

perseorangan meskipun, sebenarnya apa yang menyinggung

perseorangan juga berarti menyinggung masyarakat.

2) Jarimah Masyarakat

Jarimah masyarakat adalah suatu jarimah dimana hukuman terhadapnya dijatuhkan untuk menjaga kepentingan masyarakat,

baik jarimah tersebut mengenai perseorangan maupun mengenai ketenteraman masyarakat dan keamanannya menurut para fuqaha

12

Rahmat Hakim, Hukum Pidana..., 23.

13

(34)

25

penjatuhan hukuman atas perbuatan tersebut tidak ada

pengampunan atau peringanan atau menunda-nunda pelaksanaan.

Jarimah-jarimah hudud termasuk dalam jarimah masyarakat, meskipun sebagian dari padanya ada yang mengenai perseorangan,

seperti pencurian dan qadzaf (penuduhan zina). Jarimah-jarimah ta`zir sebagian ada yang termasuk jarimah masyarakat, kalau yang disinggung itu hak masyarakat, seperti penimbunan bahan-bahan

pokok, korupsi dan sebagainya.

f. Ditinjau dari Segi Tabiatnya

Ditinjau dari segi tabiatnya atau motifnya, jarimah dapat

dibagi menjadi dua macam, yakni: 14

1) Jarimah Politik

Jarimah politik, yakni jarimah yang dilakukan dengan maksud-maksud politis dan biasanya dilakukan oleh orang-orang

yang memiliki tujuan politik untuk melawan pemerintahan yang

sah pada waktu situasi yang tidak normal, seperti pemberontakan

bersenjata.

2) Jarimah Biasa

Jarimah biasa, yakni jarimah yang tidak bermuatan politik, seperti mencuri ayam atau barang-barang lainnya atau membunuh

atau menganiaya orang-orang kebanyakan (orang biasa).

14

(35)

26

B. Hukuman (Sanksi) dalam Hukum Pidana Islam

1. Pengertian Hukuman (Sanksi)

Dari pengertian yang pertama dapat dipahami bahwa sesuatu

disebut hukuman karena ia mengiringi perbuatan dan dilaksanakan

sesudah perbuatan itu dilakukan. Sedangkan dari pengertian kedua dapat

dipahami sesuatu disebut hukuman karena ia merupakan balasan terhadap

perbuatan yang menyimpang yang telah dilakukannya. Menurut kamus

bahasa Indonesia karangan S.Wojowaswito, hukuman berarti siksaan atau

pembalasan kejahatan (kesalahan dosa).

Dalam hukum positif di Indonesia, istilah hukuman hampir sama

dengan pidana. Walaupun sebenarnya seperti apa yang dikatakan oleh

Wirjono Projodikoro, kata hukuman sebagai istilah tidak dapat

menggantikan kata pidana, oleh karena ada istilah hukuman pidana dan

hukuman perdata. Sedangkan menurut Mulyatno, sebagaimana dikutip

oleh Mustafa Abdullah, istilah pidana lebih tepat daripada hukuman

sebagai terjemahan dari kata starf. Karena kata starf diterjemahkan dengan hukuman maka starfrecht harus diterjemahkan hukum hukuman.15

Abdul Qadir Audah memberikan definisi hukuman sebagai berikut:

ا

ع ع ع لا

ل لا ء ا ل ا عل ا

َللا

.

Artinya: Hukuman adalah pembalasan atas pelanggaran perintah syara’ yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat.

15

(36)

27

Dari sini dapat kita simpulkan bahwa hukuman merupakan balasan

yang setimpal atas perbuatan pelaku kejahatan yang mengakibatkan orang

lain menjadi korban akibat perbuatannya. Dalam ungkapan lain, hukuman

merupakan penimpaan derita dan kesengsaraan dari pelaku kejahatan

sebagai balasan yang diterima si pelaku akibat pelanggaran perintah syara’.16

2. Dasar Hukum Pemberlakuan Hukuman (Sanksi)

Hukuman harus mempunyai dasar baik dari al-Qur’an, maupun

Hadis. Berbagai kebijakan yang ditempuh oleh Islam dalam upaya

menyelamatkan manusia baik perseorangan maupun masyarakat dari

kerusakan dan menyingkirkan hal-hal yang menimbulkan kejahatan. Islam

berusaha mengamankan dengan berbgai ketentuan baik berdasarkan al- Qur’an, Hadis, maupun berbagai ketentuan ulil amri. Semua itu pada hakikatnya dalam menyelamatkan umat manusia dari ancaman kejahatan.

Adapun dasar-dasar penjatuhan hukuman tersebut di antaranya:

Surat Shad ayat 26 :

كَ ض ف

ل ع َتت َ لٱ َ ل ك ٱف

ۡ ف ٗ خ ك عج َ دۥ ا

ا ش ا ع ل َّ ل ع ض َل َ ۚ َّ ل ع

ل

Artinya: hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia

16

(37)

28

akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.17

Surat An-Nisa ayat 135 :

أٓ ۞

َل

َ ا ا اء

ل

أ ك أ ٓ ع ل َّ ءٓا ش

ل ل

ۚ

ۡ

ا ٗ ف أ ك

َّ

ا ع َتت َف ۖ ل أ

ٓ ل

عت أ

ۚا

ت

ٓۥ ا

َ ف ا ض عت أ

َّ

ا ٗ خ

عت

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar sebagai penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah baik terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dari kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih mengetahui kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Janganlah kamu memutarbalikkan kata-kata atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.18

Surat An-Nisa ayat 58

َ ۞

َّ

ا د ت أ أ

ۡ

ت ك ا أ ٓ ل

َ ل

أ

ا ك ت

ۚ عل

َ

َّ

ك ع َ ع

ٓ

َ

َّ

ا ٗ

ع

Artinya: Sesungguhya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan

amanat kepada mereka yang berhak menerimanya dan apabila menetapkan

hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.

Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepada

kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.19

17

Al-‘Alim Al-Qur’an dan Terjemahannya, surat Shad ayat 26, 455.

18

Al-‘Alim Al-Qur’an dan Terjemahannya, surat An-Nisa’ ayat 135, 144.

19

(38)

29

َ لا د

ل ء َ علا عفۡ ك َ

Artinya: Tidak ada hukuman bagi perbuatan orang berakal sebelum

adanya ketentuan nas.20

َ ل ََأ

ع َ

ج َ

Artinya: Tidak ada tindak pidana dan tidak ada hukuman kecuali adanya nas.21

3) Tujuan Hukuman (Sanksi)

Esensi dari pemberian hukuman bagi pelaku suatu jarimah menurut Islam adalah pencegahan (ar-radu waz zahru), perbaikan dan pengajaran (al-ishlah wat-tahdzib). Dengan tujuan tersebut pelaku jarimah diharapkan tidak mengulangi perbuatannya lagi. Adapun tujuan dari pemberian

hukuman yaitu:22

a. Pencegahan

Pencegahan adalah menahan orang yang berbuat jarimah agar

ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya atau ia tidak akan

terus-menerus melakukan jarimah tersebut. Pencegahan juga mengandung

arti mencegah orang lain selain pelaku agar ia tidak ikut melakukan

jarimah. Sebab dengan begitu ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan terhadap orang

lain yang juga melakukan perbuatan yang sama.

b. Perbaikan dan Pengajaran

20

Abdul Qadir al-Audah, at-Tasyri’ ..., 118.

21

Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum..., 20.

22

(39)

30

Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah mendidik

pelaku jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya.

Sedangkan tujuan hukuman pada hukum positif telah

mengalami beberapa fase, fase-fase tersebut adalah:

1) Fase balasan perseorangan (Vengeance-Privee: al-intiqamul-fardi) Pada fase ini, hukuman berada ditangan perseorangan yang

bertindak atas dasar perasaan hendak menjaga diri mereka dari

penyerangan dan atas dasar naluri hendak membalas orang yang

menyerangnya.

2) Fase balasan Tuhan atau balasan umum (Vengeance divine: al-intiqamul Illahi)

Yang dimaksud balasan Tuhan adalah bahwa orang yang

berbuat harus menebus kesalahannya. Sedangkan balasan umum

adalah agar orang yang berbuat merasa jera dan orang lain pun

tidak berani meniru perbuatannya.

3) Fase Kemanusiaan (Humanitaire: al-ashrul insani)

Pada fase kemanusiaan, prinsip-prinsip keadilan dan kasih

sayang dalam mendidik dan memperbaiki diri orang yang berbuat

mulai dipakai.

4) Fase Keilmuan (Scientifique: al-ashrul-‘ilmi)23

23

(40)

31

Pada fase ini muncullah aliran Italia yang didasarkan pada

tiga pikiran, yaitu: hukuman mempunyai tujuan dan tugas ilmiah,

macam masa dan bentuk hukuman aturan-aturan abstrak yang

mengharuskan diberlakukannya pembuat-pembuat jarimah dalam tingkatan dan keadaan yang sama.

4. Syarat-Syarat Hukuman (Sanksi)

a. Hukuman harus ada dasarnya dari Syara’

Hukum dianggap mempunyai dasar (syari’iyah) apabila ia

didasarkan pada sumber-sumber syara’, seperti al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ atau undang-undang yang ditetapkan di lembaga yang

berwenang. Dalam hal hukuman ditetapkan oleh ulil amri maka disyaratkan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan

syara’, apabila bertentangan maka ketentuan hukuman tersebut

menjadi batal. Dengan adanya persyaratan tersebut maka seorang

hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman atas dasar pemikirannya

sendiri walaupun ia berkeyakinan bahwa hukuman tersebut lebih baik

dan lebih utama daripada hukuman yang telah ditetapkan.

b. Hukuman harus bersifat pribadi (perseorangan)

Hukuman disyaratkan harus bersifat pribadi atau

perseorangan, artinya bahwa hukuman harus dijatuhkan pada orang

yang melakukan tindak pidana dan tidak mengenai orang lain yang

(41)

32

ditegakkan oleh syariat Islam dan ini telah dibicarakan berkaitan

dengan masalah pertanggungjawaban.24

c. Hukuman harus berlaku umum

Hukuman harus bersifat umum, karena seluruh pelaku pidana

dihadapan hakim sama derajatnya, tanpa membedakan apa dia kaya

atau miskin dan rakyat biasa atau penguasa. Apabila rakyat biasa

dalam tindak pidana pembunuhan dikenakan hukuman qishas maka penguasa yang melakukan pembunuhan juga harus dikenakan qishas. Namun demikian, prinsip persamaan hukuman secara sempurna hanya

dapat diberlakukan dalam tindak pidana hudud, pembunuhan dan

perlukaan.25

5. Macam-Macam Hukuman (Sanksi)

Hukuman dibagi menjadi beberapa macam sesuai dengan tindak

pidananya, antara lain: 26

a. Hukuman ditinjau dari segi terdapat atau tidak terdapat nashnya dalam

al-Qur’an dan al-Hadist. Maka hukuman dapat dibedakan menjadi

dua, yaitu:

1) Hukuman yang ada nashnya, yaitu Hudud, Qishas, Diyat, dan

Kafarat. Misalanya hukuman bagi pezina, pencuri, perampok, pemberontak, pembunuh dan orang yang mendzihar istrinya.

24

Ibid, 141-142.

25

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2006), 1872.

26

(42)

33

2) Hukuman yang tidak ada nashnya, hukuman ini disebut dengan

hukuman Ta’zir, seperti percobaan melakukan tindak pidana, tidak

melaksanakan amanah, saksi palsu dan melanggar aturan lalu

lintas.

b. Hukuman ditinjau dari segi hubungan antara satu hukuman dengan

hukuman lain, hukuman dapat dibedakan menjadi empat, yaitu:

1) Hukuman pokok (al-‘uqubat al-ashliyah), yaitu hukuman yang menempati tempat hukuman yang asal bagi satu kejahatan, seperti

hukuman mati bagi pembunuh dan hukuman jilid seratus kali bagi

pezina ghairumuhshan.

2) Hukuman pengganti (al-‘uqubah al-badaliyah), yaitu hukuman yang menempati tempat hukuman pokok apabila hukuman pokok

itu tidak dapat dilaksanakan karena suatu alasan hukum, seperti

hukuman diyat atau denda bagi pembunuh sengaja yang dimaafkan

qishasnyaoleh keluarga korban atau hukuman ta’zir apabila karena

suatu alasan hukum pokok yang berupa had tidak dapat dilaksanakan.

3) Hukuman tambahan (al-‘uqubat al-taba’iyah), yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku atas dasar mengikuti hukuman pokok,

seperti terhalangnya seorang pembunuh untuk mendapat waris dari

harta terbunuh.

(43)

34

dijatuhkan, seperti mengalungkan tengan pencuri yang telah

dipotong di lehernya. Hukuman ini harus berdasarkan keputusan

hakim tersendiri.

c. Hukuman ditinjau dari segi kekuasaan hakim yang menjatuhkan

hukuman, maka hukuman dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

1) Hukuman yang memiliki satu batas tertentu, dimana hakim tidak

dapat menambah atau mengurangi batas itu, seperti hukuman had

2) Hukuman yang memiliki dua batas yaitu batas tertinggi dan batas

terendah, dimana hakim dapat memilih hukuman yang paling adil

dijatuhkan kepada terdakwa, seperti dalam kasus-kasus maksiat

yang diancam dengan ta’zir.

d. Hukuman ditinjau sasaran hukum, hukuman dapat dibagi menjadi

empat, yaitu:

1) Hukuman badan, yaitu hukuman yang dikenakan kepada badan

manusia, seperti hukuman jilid.

2) Hukuman yang dikenakan dengan hukuman jiwa, yaitu hukuman

mati.

3) Hukuman yang dikenakan kepada kemerdekaan manusia, seperti

hukuman penjara atau pengasingan.

4) Hukuman harta, yaitu hukuman yang dikenakan kepada harta,

seperti diyat, denda dan perampasan.

Hukuman pada KUHP RAP dapat berbeda menurut perbedaan

(44)

35

mukhalafah. Untuk masing-masingnya dikenakan tersendiri. Untuk

jarimah jinayat dikenakan hukuman mati, atau kerja berat seumur hidup atau sementara atau kawalan. Untuk jarimah janhah dikenakan hukuman kawalan, atau diletakkan dibawah pengawasan atau denda. Untuk jarimah mukhalafah dikenakan hukuman kawalan atau denda. Perbedaan antara hukuman kawalan pada janhah dan mukhalafah tidak lebih dari tujuh hari, sedangkan pada janhah mencapi tiga tahun.

Di kalangan fuqaha, jarimah-jarimah yang belum ditetapkan hukumannya oleh syara’ dinamakan dengan jarimahta’zir. Jarimah ta’zir

juga dapat dipahami bahwa perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak

dikenakan hukuman had dan tidak pula kaffarat. Menurut istilah, ta’zir bermakna, al-Ta’dib (pendidikan) dan at-Tankil (pengekangan). Sanksi

ta’zir disesuaikan dengan tingkat kejahatannya. Kejahatan yang besar

mesti dikenai sanksi yang berat, sehingga tercapai tujuan sanksi, yakni

pencegahan. Begitu juga dengan kejahatan kecil, akan dikenai sanksi yang

dapat mencegah orang lain untuk melakukan kejahatan serupa.

Dalam bukunya Imam Mawardi menjelaskan pengertian ta’zir ialah

menjatuhkan ta’zir (sanksi disiplin) terhadap dosa-dosa yang didalamnya

tidak terdapat hudud. Ta’zir ini berbeda menurut kondisi ta’zir itu sendiri dan kondisi pelakunya. Disatu sisi ta’zir sesuai dengan hudud yaitu

sama-sama memperbaiki dan melarang. Disisi lain ta’zir berbeda dengan hudud

yaitu pada dosa yang dilakukan pelakunya.27

27

(45)

36

Dasar hukum disyariatkannya ta’zir terdapat pada salah satu hadis

Nabi yang diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim:

ع ، ع ع ، اَ َ لا ع خأ ، اَ لا ا أ ثَ

ج ع ،ٍ ك

:

ٍ ت ف َج

َ ع ّ َ ص َ لا َ أ

(

ا

لا

ص

لا ئ لا

تلا د اد ا

)

28

Artinya: “Telah menceritakan Ibrahim bin Musa ar-Razi, Abdur Razaq memberi kabar kepada kami, dari Ma’mar, dari Bahz ibn Hakim, dari ayahnya, dari kakenya bahwa Nabi Saw menahan seseorang karena disangka melakukan kejahatan” (hadis diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi, Nasa’I dan Baihaqi serta dishahihkan oleh Hakim)

Dan hadis Nabi diriwayatkan oleh Abi Burdah yang artinya: “Dari

Abi Burdah Al-Ansari ra bahwa ia mendengar Rasulullah Saw bersabda:

tidak boleh dijilid diatas sepuluh cambuk kecuali didalam hukuman yang telah ditentukan oleh Allah Ta’ala (Muttafaq Alaih)” 29

1. Perbedaan antara Hudud dan Ta’zir

Sayyid Sabiq mengemukakan perbedaan antara hudud dan ta’zir sebagai berikut :30

a. Hukuman hudud dibedakan secara sama untuk semua orang (pelaku) sedangkan hukuman ta’zir pelaksanaannya dapat berbeda

antara satu pelaku dengan pelaku lainnya, tergantung kepada

perbedaan kondisi masing-masing pelaku

28

Abi Daud Sulaiman, Sunan Abi Daud Bab Fi Jassi Fiddaini Waghoirihhi, (Beirut: Maktabah Asriyah, t.t), 314.

29

Ahmad Wardi Muslich, Hukum pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 252-253.

30

(46)

37

b. Dalam jarimah hudud tidak berlaku pembelaan (syafa’at) dan

pengampunan apabila perkaranya sudah dibawa ke pengadilan.

Sedangkan untuk jarimah ta’zir kemungkinan untuk memberikan

pengampunan apabila perkaranya untuk memberikan pengampunan

terbuka lebar baik oleh individu maupun ulilamri.

c. Orang yang mati karena dikenakan hukuman ta’zir berhak

memperoleh ganti rugi, sedangkan untuk jarimah hudud hal ini tidak berlaku. Akan tetapi menurut Imam Malik dan Imam Abu

Hanifah kematian akibat hukuman ta’zir tidak mengakibatkan ganti

rugi apapun, karena dalam had dan ta’zir itu sama. 2. Macam-Macam Jarimah Ta’zir

Jarimah ta’zir dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu :

a. Jarimah ta’zir yang menyinggung hak Allah

b. Jarimah ta’zir yang menyinggung hak individu

Dari segi sifatnya Jarimah ta’zir dapat dibagi kepada tiga

bagian yaitu: Ta’zir karena melakukan perbuatan maksiat, Ta’zir

karena melakukan perbuatan yang membahayakan kepentingan

umum, Ta’zir karena melakukan pelanggaran.

Disamping itu, dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya)

ta’zir juga dapat dibagi kepada tiga bagian yaitu sebagai berikut :

a. Jarimah ta’zir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud atau

(47)

38

seperti pencurian yang tidak mencapai nisab atau oleh

keluarganya sendiri.

b. Jarimah ta’zir yang jenisnya disebutkan dalam nash syara’ tetapi

hukumannya belum ditetapkan, seperti riba, suap, dan

mengurangi takaran atau timbangan.

c. Jarimah ta’zir yang baik jenis maupun sanksinya belum

ditentukan oleh syara’.

Abdul Azis Amir membagi jarimah ta’zir menjadi 6, yaitu:

a. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pembunuhan

b. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan perlukaan

c. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kejahatan terhadap

kehormatan dan kerusakan akhlak

d. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan harta

e. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kemaslahatan individu

f. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan keamanan umum.31

3. Macam-Macam Hukuman Ta’zir

a. Hukuman ta’zir yang mengenai badan

1) Hukuman mati

Untuk jarimah ta’zir pada hukuman mati ini ditetapkan

para fuqaha secara beragam. Hanafiyah membolehkan kepada ulil amri untuk menerapkan hukuman mati sebagai ta’zir dalam

jarimah-jarimah yang jenisnya diancam dengan hukuman mati

31

(48)

39

apabila jarimah tersebut secara berulang-ulang. Malikiyah juga

membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir untuk

jarimah-jarimah ta’zir tertentu. Sedangkan fuqaha Syafi’iyah

membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir dalam kasus

penyebaran aliran-aliran sesat yang menyimpang dari ajaran

al-Qur’an dan as-Sunnah.

2) Hukuman Jilid (Dera)

Adapun alat yang digunakan untuk hukuman jilid ini

adalah cambuk yang pertengahan (sedang, tidak terlalu besar

dan tidak terlalu kecil) atau tongkat. Pukulan atau cambukan

tidak boleh diarahkan ke muka, farji dan kepala. Hukuman jilid

tidak boleh sampai menimbulkan cacat dan membahayakan

organ-organ tubuh yang terhukum, apalagi sampai membahayak

jiwanya, karena tujuannya adalah memberi pelajaran dan

pendidikan kepadanya.32

3) Hukuman yang berkaitan dengan kemerdekaan

a) Hukuman penjara33

Dalam bahasa arab ada dua istilah untuk hukuman

penjara al-Habsu dan as-Sijau. Al-habsu yang artinya menahan atau mencegah, al-habsu juga diartikan as-sijnu. Dengan demikian kedua kata tersebut mempunyai arti yang

sama. Hukuman penjara menurut para ulama dibagi menjadi

32

Ibid, 258-260.

33

(49)

40

dua, yaitu: penjara yang dibatasi waktunya dan penjara yang

tidak dibatasi waktunya.

Hukuman penjara yang dibatasi waktunya adalah

hukuman penjara yang dibatasi lamanya hukuman yang

secara tegas harus dilaksanakan oleh si terhukum.

Contohnya hukuman penjara bagi pelaku penghinaan,

pemakan riba, penjual khamr, sanksi palsu, orang yang

mengairi ladangnya dengan air tetangganya tanpa izin, dan

sebagainya.

Sementara itu untuk hukuman penjara yang tidak

dibatasi waktunya tersebut tidak mencapai kesepakatan

diantara’ulama. Penjara yang tidak dibatasi waktunya bisa

berupa penjara seumur hidup, bisa juga dibatasi sampai ia

bertobat. Hukuman penjara seumur hidup adalah hukuman

penjara untuk kejahatan-kejahatan yang sangat berbahaya,

misalnya pembunuhan yang terlepas dari sanksi qishas.

b) Hukuman pengasingan

Dasar hukuman pengasingan adalah firman Allah:

ا أ

ۚ

ۡ

Artinya: “... atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya)”. (Q.S al-Ma’idah : 33)

Meskipun ketentuan hukuman pengasingan dalam

(50)

41

hudud, tetapi para ‘ulama menerapkan hukuman

pengasingan ini dalam jarimah ta’zir juga. Hukuman pengasingan ini dijatuhkan pada pelaku jarimah yang

dikhawatirkan berpengaruh kepada orang lain sehingga

pelakunya harus dibuang atau diasingkan untuk

menghindarkan pengaruh-pengaruh tersebut.

4) Hukuman Ta’zir yang berkaitan dengan harta

Hukuman terhadap harta dapat berupa denda atau

penyitaan harta si mujrim. Hukuman berupa denda, umpamanya pencurian buah yang masih tergantung di

pohonnya dengan keharusan pengembalian dua kali lipat

harga asalnya. Hukuman denda juga dapat dijatuhkan bagi

orang yang menyembunyikan, menghilangkan, atau

merusakkan barang milik orang lain dengan sengaja.

Adapun bentuk lain adalah perampasan terhadap harta

yang diduga merupakan hasil perbuatan jahat atau

mengabaikan hak orang lain yang ada di dalam hartanya.

Dalam hal ini, boleh menyita harta tersebut bila terbukti

harta tersebut tidak dimiliki dengan jalan yang sah. Selain

itu, dapat menahan harta tersebut selama dalam

persengketaan, kemudian mengembalikannya kepada

pemiliknya setelah selesai persidangan.34

34

(51)

42

6. Pelaksanaan Hukuman (Sanksi)

Yang melaksanakan hukuman adalah petugas yang ditunjuk oleh imam untuk melaksanakan hukuman. Sebagian ulama’ berpendapat bahwa

untuk hukuman qishas dapat dilakukan sendiri (keluarga korban) dengan pengawasan imam. Akan tetapi disisi lain, menurut sebagian ulama’ yang

lain pelaksanaan qishas juga diserahkan kepada petugas yang berpengalaman, sehingga tidak melalui batas yang ditentukan. Adapun

untuk melaksanakan hukuman mati menurut Imam Abu Hanafiah dan

Imam Ahmad harus menggunakan pedang, berdasarkan hadis:

َ ل ََا د َ

.

Artinya: Tidak ada qishas (hukuman mati) kecuali dengan pedang. (HR Al-Bazar dan ibn Adi dari Abu Bukrah).

Sedangkan menurut Imam Malik, imam Syafi’i dan sebagian

ulama’ Hanabilah alat untuk melaksanakan Qishas harus dengan alat yang sama dengan alat yang digunakan untuk membunuh korban. Para ulama’

Hukum Islam terkemuka dewasa ini membolehkan penggunaan alat selain

pedang. Asal lebih cepat mematikan dan lebih meringankan penderitaan

terhukum, misalnya dengan menggunakan kursi listrik. Hal ini berdasarkan

hadist Nabi:

،ءاَ لا ٍ ل خ ع ، َ ع ا ل ع ثَ ، ش أ ك أ ثَ

،ٍ أ داَ ش ع ، عشۡا أ ع ، َ أ ع

:

ع ت ت ث

، َ ع ّ َ ص َّ

:

(52)

43

ف ، ت ش أ َ ل ، َ لا ا

أف ت ا ، ت لا ا

أف ت ت

ت

.

35

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah, telah menceritakan Ismail bin Ulaiyah, dari Khalid al-Jada’, dari Abi Qilabah, dari Abi as-Ash, dari Syahad bin Aus, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan kepada segala sesuatu. Oleh karena itu apabila kamu membunuh (memberi hukuman mati), maka

bunuhlah dengan cara yang baik. Dan apabila kamu menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah salah seorang diantara kamu mempertajam mata pedangnya dan meringankan penderitaan binatang yang disembelihnya (HR Muslim dari Saddad bin Ask).

َلل

ا ل

َلل

ا ل

ل

ف ۚص

تع

ك ع

ا تع

ع

لث

تع

ۚ ك ع

ا َت

َّ

آ ع

َ أ

َّ

ع

َت ل

Artinya: Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qishas. Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.36

7. Penundaan Hukuman (Sanksi)

Sebagian ulama berpendapat bahwa jika kondisi fisik orang yang

akan dihukum lemah maka pelaksanaan hukuman dapat ditunda sampai

kondisi fisiknya kuat. Namun sebagian ulama juga tidak memperbolehkan

penundaan hukuman dengan syarat tidak membahayakan kesehatan orang

yang akan dihukum. Untuk hukuman cambuk, jika keadaan terpidana

lemah boleh dicambuk dua atau tiga kali dengan jumlah cabang anak

35

Muslim Ibnu al-Hajjaj, Shohih Muslim Bab al-Amru Bi Ihsan adz-Dzabhi Wal Qital, Jilid III, (Beirut : Dar Ihya at-Turost, t.t), 1548.

36

(53)

44

cambuk yang sesuai dengan jumlah hukuman cambuk yang harus

diterimanya.37

Penundaan h

Referensi

Dokumen terkait

Sebagian ahli ilmu berkata nasihat adalah perhatian hati terhadap yang dinasihati siapa pun dia. Nasihat adalah salah satu cara dari al-mau’izhah al-hasanah yang

Pada saat pemerintahan Kolonial Belanda, Kawasan Pulo Brayan Bengkel Medan merupakan pusat balai yasa serta stasiun bagi kereta api penumpang, akan tetapi seiring

[r]

Oleh karena itu perusahaan dengan total aset yang besar akan lebih mampu untuk menghasilkan tingkat keuntungan yang tinggi, sehingga laba tersedia bagi pemegang

[r]

Lembar Penilaian Tes Kemampuan Menghafal Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 11- 20 Siswa Kelas VIII SMP Takhassus Plus Al-Mardliyah Kaliwungu Selatan Kendal.. No Nama Siswa

Hal ini disebabkan karena pengeringan menggunakan oven blower memiliki prinsip konveksi dimana perpindahan panas yang disertai dengan zat perantaranya, sedangkan

Misalnya saja, dikarenakan keterbatasan space pada media cetak, maka setiap berita yang disajikan harus menggunakan bahasa yang singkat, padat sederhana, lugas