BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena
tanpa interaksi sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama (Young:1959,
dalam Soerjono Soekanto, 2001:67). Bertemunya orang perorangan secara
badaniah belaka tidak akan menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu kelompok
sosial. Pergaulan semacam itu baru akan terjadi apabila orang-orang perorangan
atau kelompok-kelompok manusia bekerja sama, saling berbicara, dan seterusnya
untuk mencapai suatu tujuan bersama, mengadakan persaingan, pertikaian dan
lain sebagainya. Maka dapat dikatakan bahwa interaksi sosial adalah dasar proses
sosial, pengertian mana menunjuk pada hubungan-hubungan sosial yang dinamis.
Dilihat pada aspek interaksi sosial tersebut dapat diartikan bahwa suatu
individu tidak bisa hidup sendirian, sebab jika hanya sendirian ia tidak menjadi
manusia. Dalam pergaulan hidup, manusia menduduki fungsi yang
bermacam-macam. Di satu sisi ia menjadi anak buah, tetapi di sisi lain ia adalah pemimpin.
Di satu sisi ia adalah ayah atau ibu, tetapi di sisi lain ia adalah anak. Di satu sisi ia
adalah kakak, tetapi di sisi lain ia adalah adik. Demikian juga dalam posisi guru
dan murid, kawan dan lawan, buruh dan majikan, besar dan kecil, mantu dan
mertua dan seterusnya. Begitu juga masyarakat perkebunan yang berdampingan
langsung dengan masyarakat desa di sekitarnya. Mereka perlu saling berinteraksi
dan menjalin hubungan sosial yang baik agar tidak terjadi konflik karena
Dalam proses interaksi sosial, suatu individu memiliki pengaruh terhadap
perubahan yang terjadi di setiap lapisan masyarakat, baik itu perubahan ke arah
yang lebih maju maupun berubah ke arah yang biasa-biasa saja. Pengaruh
kedekatan sosial maupun kedekatan geografis terhadap keterlibatan suatu individu
dalam sebuah kelompok tidak bisa diukur dengan kasat mata. Karena masyarakat
membentuk kelompok bermain dengan orang-orang di sekitarnya dan mereka
bergabung dengan kelompok kegiatan sosial lokal lainnya. Kelompok tersusun
atas individu-individu yang saling berinteraksi. Semakin dekat jarak geografis
antara dua orang, semakin mungkin mereka saling melihat, berbicara, dan
bersosialisasi. Singkatnya, kedekatan fisik meningkatkan peluang interaksi dan
bentuk kegiatan bersama yang memungkinkan terbentuknya kelompok sosial.
Jadi, kedekatan menumbuhkan interaksi yang memainkan peranan penting
terhadap terbentuknya kelompok pertemanan. Pembentukan kelompok sosial tidak
hanya tergantung pada kedekatan fisik tetapi juga kesamaan di antara
anggota-anggotanya. Sudah menjadi kebiasaan orang lebih suka berhubungan dengan
orang yang memiliki kesamaan dengan dirinya. Kesamaan yang dimaksud adalah
kesamaan minat, kepercayaan, nilai, usia, tingkat intelejensi, atau
karakter-karakter personal lain. Kesamaan juga merupakan faktor utama dalam memilih
calon pasangan untuk membentuk kelompok sosial yang disebut keluarga.
Kedekatan suatu individu dengan individu, individu dengan kelompok,
maupun kelompok dengan kelompok dapat menumbuhkan sebuah interaksi sosial
yang matang dan positif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sosial,
pendidikan, dan budaya. Menurut Ferdinand Tonnies (dalam Soerjono Soekanto,
Gemeinschaft (paguyuban) atau Gesellschaft (patembayan). Gemeinschaft adalah
bentuk kehidupan bersama di mana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan
batin yang murni dan bersifat alamiah serta bersifat kekal. Sedangkan Gesellschaft
merupakan ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka waktu yang pendek,
bersifat sebagai suatu bentuk dalam pikiran belaka serta strukturnya bersifat
mekanis sebagaimana dapat diumpamakan dengan sebuah mesin. Seperti halnya
pada masyarakat pedesaan, perkotaan, maupun pada masyarakat perkebunan yang
memiliki pola interaksi yang berbeda-beda. Kalau masyarakat pedesaan biasanya
diidentikan pada solidaritas masyarakat yang kuat dan kedekatan hubungan
emosional yang bersifat kekeluargaan. Sedangkan masyarakat perkotaan
diidentikkan dengan kedekatan hubungan dan kedekatan hubungannya dengan
sesama memiliki interaksi sosial yang hanya bersifat sementara.
Interaksi sosial terjadi di berbagai lapisan masyarakat. Seperti halnya
masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan, masyarakat perkebunan juga
berinteraksi antara satu dengan yang lainnya baik itu dengan sesama masyarakat
perkebunan ataupun dengan masyarakat bukan perkebunan. Dan kalau masyarakat
perkebunan hampir sama dengan masyarakat pedesaan, hanya saja masyarakat
perkebunan memiliki keterikatan dengan suatu perusahaan sehingga masyarakat
perkebunan tidak dapat bergerak bebas dan memiliki sifat yang sedikit tetutup
dikarenakan kesibukan mereka dalam bekerja demi mencukupi kebutuhan
ekonomi.
Hal di atas sesuai dengan tulisan M. Situmorang (2011) dalam sebuah
artikel online yang mengatakan bahwa masyarakat perkebunan merupakan
dalam berinteraksi antar sesama masyarakat perkebunan bahkan pada masyarakat
luar. Buruh perkebunan misalnya, yang merupakan bagian organik dari kelompok
masyarakat sipil (Civil Society). Meskipun secara struktural mereka adalah bagian
tak terpisahkan dari perusahaan, tetapi kesatuan fundamental historis, secara
kongkrit tidak tergabung dan tidak dapat bersatu. Karena mereka adalah
sekelompok golongan masyarakat sipil yang menjadi subordinat atau golongan
subyek dominan bagi kelompok-kelompok dominan. Kelompok-kelompok
dominan itu adalah suatu kekuatan yang senantiasa eksis dalam sejarah
masyarakat post kolonial meskipun bukan dalam bentuk aslinya. Struktur
dikotomi masyarakat post kolonial adalah elite dan subaltern. Yang dimaksud elit
adalah kelompok-kelompok dominan, baik pribumi maupun asing. Yang asing
bisa pemilik industri, pemilik perkebunan yang pribumi dibagi menjadi dua yang
beroperasi di tingkat nasional (pegawai pribumi di birokrasi tinggi) dan mereka
yang beroperasi di tingkat lokal (pegawai pribumi di birokrasi lokal, birokrasi
perkebunan). Pola interaksi dan interrelasi ketiga pilar tersebut tidak selalu
berjalan secara harmonis. Bagaimanapun pola interaksi dan interelasi mereka
berjalan secara dinamik, di mana merupakan arena pertarungan kekuasaan
sepanjang masa. Konflik kepentingan dan kontelasi masing-masing aktor tersebut
terjadi antara kekuatan yang dominan dan yang didominasi. Dialektika dominasi
dan resistensi seperti ini berlangsung terus menerus dalam konteks sejarah, sosial
dan politik yang berubah-ubah.
Dari pernyataan di atas terlihat bahwa interaksi yang terjadi berbeda satu
sama lain tergantung di wilayah mana suatu masyarakat berada, atau dengan kata
lain terdapat pengelompokan-pengelompokan di dalam struktur organisasi
masyarakat perkebunan yang juga mempengaruhi proses interaksi sosialnya.
Misalnya karyawan hanya bisa bergaul dengan sesama karyawan, atau buruh
bergaul dengan sesama buruh saja. Hal ini menumbuhkan sebuah interaksi yang
kaku serta menimbulkan ketidakharmonisan dalam kehidupan masyarakat
perkebunan. Masyarakat perkebunan yang sangat bergantung dengan mata
pencahariannya pada perusahaan kemudian jadi sulit berkembang apalagi bergaul.
Keterbatasan waktu yang dimiliki oleh para karyawan perkebunan membuat
mereka kurang berinteraksi dengan masyarakat lainnya dikarenakan sebagian
besar waktu mereka gunakan untuk bekerja. Tentu saja ini kemudian membuat
masyarakat perkebunan menjadi tertutup. Keterikatan akan kontrak kerja dengan
perusahaan membuat para buruh perkebunan menjadi kurang ruang gerak dan
pemikirannya sehingga berdampak pada kurangnya kesempatan untuk
mengembangkan diri atau mensejahterakan diri dan keluarganya ke arah yang
lebih baik melalui jalan lain. Bahkan mereka lebih memilih anak dan seluruh
keluarganya bekerja di perkebunan juga. Selain itu, kehidupan masyarakat
perkebunan yang terikat ini juga mempengaruhi pola interaksinya, baik itu
terhadap sesama masyarakat perkebunan maupun dengan masyarakat sekitar yang
notabenenya bukan masyarakat perkebunan. Karena jarang sekali bertemu dan
bersosialisasi, hal ini tentu saja kemudian menciptakan hubungan yang tidak
Dalam perjalanannya, masyarakat di wilayah perkebunan sudah mulai
kritis dan mulai berkembang pola pikirnya terhadap keberlangsungan hidupnya
tidak hanya dalam hal ekonomi akan tetapi juga pergaulan dengan masyarakat
lainnya. Oleh karena itu kemudian muncullah lembaga-lembaga yang mendukung
dan mengatur pola-pola interaksi tidak hanya pada masyarakat perkebunan tetapi
juga masyarakat bukan perkebunan yang ada di sekitarnya agar berlangsung
harmonis sehingga dapat menguntungkan satu sama lain. Lembaga sosial dalam
wilayah perkebunan diharapkan mampu menjadi sebuah wadah yang dapat
mengelola dengan baik hubungan-hubungan sosial masyarakatnya. Salah satu
lembaga kemasyarakatan di suatu wilayah perkebunan adalah lembaga Ikatan
Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) yang ada di badan perkebunan PT.
Socfindo.
Pemukiman masyarakat perkebunan pada umumnya terpisah dari
masyarakat desa lainnya. Hal ini dilakukan pihak perkebunan agar para karyawan
bisa fokus bekerja dan mudah ditemui. Akan tetapi hal berbeda terjadi di
perkebunan PT. Socfindo kebun Aek Loba, pemukiman masyarakat perkebunan
terlihat saling berdampingan dengan masyarakat desa di sekitarnya bahkan berada
dalam satu wilayah. Selain itu, pihak pemerintah desa dan kecamatan tidak
membedakan perlakuan terhadap masyarakat perkebunan yang ada di wilayahnya.
Mereka dianggap sama dengan masyarakat desa yang bukan merupakan karyawan
perekebunan, sehingga kemudian mengaburkan perbedaan status sosial di antara
kedua lapisan masyarakat ini. Hal ini juga mempermudah lembaga Ikatan
mengikutsertakan seluruh masyarakat baik itu yang merupakan bagian dari
perkebunan maupun bukan.
Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) adalah lembaga independen
yang ada dalam perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Socfindo yang berdiri
pada tahun 1997 dan berpusat di Medan. Lembaga ini ada di tiap-tiap cabang
perkebunan PT. Socfindo yaitu di provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Di provinsi
Nangroe Aceh Darussalam yaitu lembaga Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo
(IPMS) perkebunan Sei Liput, perkebunan Seu Nagan, perkebunan Seu Mayam,
dan perkebunan Lae Butar. Sedangkan di provinsi Sumatera Utara yaitu lembaga
Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) perkebunan Matapao, perkebunan
Lima Puluh, perkebunan Aek Loba, perkebunan Aek Ledong, perkebunan Negeri
Lama, perkebunan Tanah Betsi, perkebunan Aek Pamingke, perkebunan Tanah
Gambus, perkebunan Halimbe, perkebunan Bangun Bandar, dan perkebunan
Tanjung Maria. Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) merupakan sebuah
lembaga sosial keagamaan yang dibentuk oleh seluruh jajaran pekerja di
perkebunan PT. Socfindo. Lembaga ini bertujuan untuk menjalin hubungan sosial
antar sesama karyawan perkebunan, buruh, staf pegawai perkebunan, asisten
manager, maupun manager yang beragama Islam. Adapun bentuk kegiatan
sosialnya tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat Muslim di perkebunan PT.
Socfindo tetapi juga pada masyarakat bukan perkebunan yang tinggal di
sekitarnya. Hal ini bertujuan agar tidak ada lagi perbedaan yang tampak di antara
lapisan-lapisan jabatan warga perkebunan sehingga mereka bisa saling membantu
tanpa terganggu dengan struktur organisasi tenaga kerja yang bersifat kolonial
bukan perkebunan tersebut diharapkan mampu menciptakan hubungan yang
harmonis di antara keduanya.
Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) kebun Aek loba adalah
salah satu lembaga sosial keagamaan yang rutin melaksanakan kegiatan-kegiatan
sosial. Adapun beberapa kegiatan yang dilakukan adalah memberikan bantuan
hidup bagi anak yatim piatu, bantuan pendidikan berupa beasiswa bagi anak
warga perkebunan yang tidak mampu, wirid akbar sekecamatan, sunat massal,
safari ramadhan, perayaan hari besar Islam, serta pengajian rutin.
Program-program kegiatan yang dilakukan oleh Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo
(IPMS) kebun Aek Loba juga tidak terbatas pada masyarakat perkebunan saja,
tetapi juga mengikutsertakan masyarakat desa yang ada di sekitarnya. Tentu saja
hal ini membuat interaksi antara masyarakat perkebunan maupun masyarakat
sekitar yang merupakan bukan karyawan perkebunan semakin banyak. Dan pada
akhirnya akan mengaburkan perbedaan dan kesenjangan sosial yang ada dalam
kehidupan bermasyarakat.
Misalnya pada bulan Januari 2013 lalu lembaga Ikatan Persaudaraan
Muslim Socfindo (IPMS) kebun Lae Butar di Aceh Singkil membuat kegiatan
sunatan massal gratis. Para peserta yang mengikuti sunatan massal berasal dari
anak karyawan perkebunan dan anak-anak dari desa sekitar. Panitia pelaksana
kegiatan sunatan massal sebenarnya menyediakan tempat untuk seratus orang
peserta, akan tetapi peserta yang mendaftar hanya sebanyak 80 (delapan puluh)
orang. Padahal panitia sudah menyiapkan bingkisan bagi para peserta yang
diadakannya kegiatan sosial ini
Maret 2013 pukul 21:49 WIB).
Kegiatan yang tersebut di atas menggambarkan bagaimana proses interaksi
terjadi. Misalnya ketika para orang tua melihat anaknya sedang disunat, ada
suasana yang membuat orang tua merasa lucu dan was-was dengan tingkah laku
peserta yang ketakutan. Perasaan itu kemudian diceritakan kepada orang tua yang
lain sehingga proses interaksi terjadi. Dari contoh kasus tersebut maka peneliti
kemudian tertarik untuk melakukan penelitian mengenai fungsi lembaga Ikatan
Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) di tempat lain yaitu di kebun Aek Loba
kecamatan Aek Kuasan, kabupaten Asahan dalam membangun hubungan sosial
dengan masyarakat sekitarnya.
1.2. Rumusan Masalah
Sebuah penelitian harus memiliki batasan-batasan permasalahan yang
harus diteliti. Selain agar permasalahan yang berkaitan dapat terjawab juga agar
penelitian tidak lari dari jalur yang sudah ditetapkan. Oleh karena itu berdasarkan
uraian permasalahan yang telah dijelaskan dalam latar belakang di atas, maka
yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana fungsi
lembaga Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) kebun Aek Loba dalam
membangun hubungan sosial dengan masyarakat sekitar di kecamatan Aek
Kuasan kabupaten Asahan?”
1.3. Tujuan Penelitian
Setelah merumuskan masalah yang akan diteliti pada sebuah penelitian,
rumusan masalah penelitian. Adapun yang menjadi tujuan penelitian berdasarkan
perumusan masalah di atas adalah untuk mengetahui bagaimana fungsi lembaga
Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) dalam membangun hubungan
sosial serta interaksi dengan masyarakat desa sekitarnya.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian merupakan sesuatu yang diharapkan ketika sebuah
penelitian sudah selesai. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini
adalah:
a. Manfaat teoritis
Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dan
sumbangan pemikiran bagi peneliti lain sebagai bahan rujukan untuk
perbandingan atas masalah yang sama terutama dalam bidang ilmu
sosiologi khususnya tentang studi masyarakat perkebunan yang sangat
sedikit referensinya.
b. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penulis dalam
membuat karya tulis ilmiah melalui penelitian ini. Selain itu hasil
penelitian juga nantinya diharapkan dapat memberi manfaat bagi peneliti
selanjutnya dalam menjadikan sebuah referensi tentang fungsi organisasi
dalam meningkatkan hubungan sosial antara masyarakat perkebunan