TINJAUAN PUSTAKA
Ikan Patin (Pangasius sp.)
Ikan patin merupakan jenis ikan konsumsi air tawar, berbadan panjang berwarna
putih perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Ikan patin dikenal sebagai
komoditi yang berprospek cerah, karena memiliki harga jual yang tinggi. Hal inilah
yang menyebabkan ikan patin mendapat perhatian dan diminati oleh para pengusaha
untuk membudidayakannya. Ikan ini cukup responsif terhadap pemberian makanan
tambahan. Pada pembudidayaan, dalam usia enam bulan ikan patin bisa mencapai
panjang 35-40 cm. Sebagai keluarga Pangasidae, ikan ini tidak membutuhkan perairan
yang mengalir untuk “membongsorkan“ tubuhnya Pada perairan yang tidak mengalir
dengan kandungan oksigen rendah sudah memenuhi syarat untuk membesarkan ikan ini
(Prihatman, 2000).
Klasifikasi ikan patin menurut Saanin (1984) diacu oleh Najamuddin 2008
adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Pisces
Famili : Pangasidae
Genus : Pangasius
Ikan patin berbadan panjang untuk ukuran ikan tawar lokal, warna putih seperti
perak, dan punggung berwarna kebiru-biruan. Kepala ikan patin relatif kecil, mulut
Ikan patin pada sudut mulutnya terdapat dua pasang kumis pendek yang berfungsi
sebagai peraba (Romdon, 2010).
Ikan Patin termasuk ikan yang beraktifitas pada malam hari atau nocturnal.
Selain itu, patin suka bersembunyi di dalam liang-liang di tepi sungai habitat hidupnya.
Ikan ini termasuk ikan demersal atau ikan dasar. Secara fisik memang dari bentuk mulut
yang lebar persis seperti ikan domersal lain seperti ikan lele dan ikan gabus. Habitatnya
di sungai-sungai besar dan muara-muara sungai yang tersebar di Indonesia, India, dan
Myanmar. Tidak hanya itu ikan patin juga sulit memijah di kolam atau wadah
pemeliharaan dan termasuk pula ikan yang kawin musiman sehingga pemijahannya
dilakukan secara buatan serta hanya memijah sekali setahun pada musim hujan yaitu
pada bulan november hingga maret (Amri (2007) diacu oleh Yuliartati, 2011).
Ikan patin (Pangasius sp.) mempunyai sifat yang termasuk omnivora atau
golongan ikan pemakan segala. Malam hari ia akan keluar dari lubangnya dan mencari
makanan renik yang terdiri atas cacing, udang sungai, jenis–jenis siput dan biji–bijian.
Dari sifat makannya ikan ini juga tergolong ikan yang sangat rakus karena jumlah
makannya yang besar. Sedangkan untuk larva ikan patin yang dipelihara pada
kolam-kolam maupun akuarium dapat diberikan makanan alami seperti artemia untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya (Maswira, 2009 diacu oleh Yuliartati, 2011).
Kualitas Air Ikan Patin (Pangasius sp.)
Kualitas suatu perairan memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap
survival dan pertumbuhan makhluk hidup di perairan itu sendiri. Lingkungan yang baik
(hiegienis) bagi hewan diperlukan untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya.
perairan, tetapi perubahan kualitas air tanah sering terjadi karena kegiatan manusia
(Minggawati dan Saptono, 2012).
Menurut Minggawati dan Saptono (2012), dalam kegiatan budidaya ikan patin,
air yang digunakan kualitasnya harus baik, yaitu :
1. Suhu air berkisar antara 25 – 33 ºC.
2. pH air 6,5 – 9,0 optimal 7 – 8,5.
3. Oksigen terlarut (DO) antara 3 - 7 ppm, optimal 5 – 6 ppm.
4. Kadar amonia (NH3) dan asam belerang (H2S) tidak lebih dari 0,1 ppm.
5. Karbondioksida (CO2) tidak lebih dari 10 ppm.
Limbah Cair Tahu
Limbah tahu adalah limbah yang dihasilkan dalam proses pembuatan tahu
maupun pada saat pencucian kedelai. Limbah yang dihasilkan berupa limbah padat dan
cair. Limbah padat industri tahu belum dirasakan dampaknya karena limbah padat
industri tahu bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Air banyak digunakan sebagai
bahan pencucian dan merebus kedelai untuk proses produksinya. Akibat dari banyak
nya pemakaian air dalam proses pembuatan tahu maka limbah cair yang dihasilkan juga
cukup besar. Limbah cair industri tahu memiliki beban pencemar yang tinggi.
Pencemaran limbah cair industri tahu berasal dari bekas pencucian kedelai, perendaman
kedelai, air bekas pembuatan tahu dan air bekas perendaman tahu (Agung dan Hanry,
2009).
Sebagian besar sumber limbah cair yang dihasilkan oleh industri pembuatan
tahu adalah cairan kental yang terpisah dari gumpalan tahu yang disebut dengan air
Limbah cair ini sering dibuang secara langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu
sehingga menghasilkan bau busuk dan mencemari sungai. Sumber limbah cair lainnya
berasal dari pencucian kedelai, pencucian peralatan proses, pemasakan dan larutan
bekas rendaman kedele (Sani, 2006).
Untuk limbah industri tahu tempe ada dua hal yang perlu diperhatikan yakni
karakteristik fisik dan kimia. Karakteristik fisik meliputi padatan total, suhu, warna dan
bau. Karakteristik kimia meliputi bahan organik, bahan anorganik dan gas. Suhu
buangan industri tahu berasal dari proses pemasakan kedelai. Suhu limbah cair tahu
pada umumnya lebih tinggi dari air bakunya, yaitu 40ºC sampai 46ºC. Tingginya suhu
buangan tersebut akan mempengaruhi lingkungan perairan yang selanjutnya akan
berpengaruh terhadap kehidupan biologis, kelarutan oksigen dan gas lain, kerapatan air,
viskositas, dan tegangan permukaan (Rossiana, 2006).
Karakteristik Limbah Cair Tahu
Menurut Husni dan Esmiralda (2010), karakteristik limbah cair industri tahu
antara lain:
1. Suhu
Suhu buangan industri tahu berasal dari proses pemasakan kedelai. Suhu yang
meningkat di lingkungan perairan akan mempengaruhi kehidupan biologis,
kelarutan oksigen dan gas lain, kerapatan air, viskositas, serta tegangan
permukaan. Suhu limbah cair yang dihasilkan dari proses pencetakan tahu
2. pH
Nilai pH air digunakan untuk mengekpresikan kondisi keasaman (konsentrasi
ion hidrogen) air limbah. Skala pH berkisar antara 1-14; kisaran nilai pH 1-7
termasuk kondisi asam, pH 7-14 termasuk kondisi basa, dan pH 7 adalah kondisi
netral.
3. TSS (Total Suspended Solid)
Padatan-padatan tersuspensi/TSS (Total Suspended Solid) digunakan untuk
menentukan kepekatan air limbah, efisiensi proses dan beban unit proses.
Pengukuran yang bervariasi terhadap konsentrasi residu diperlukan untuk
menjaminkemantapan proses kontrol.
4. BOD dan COD
Kebutuhan oksigen dalam air limbah ditunjukkan melalui BOD dan COD. COD
(Chemical Oxygen Demand) adalah kebutuhan oksigen dalam proses oksidasi
secara kimia. Nilai COD akan selalu lebih besar daripada BOD karena
kebanyakan senyawa lebih mudah teroksidasi secara kimia daripada secara
biologi. Menurut Anonim (2004) dalam Sani 2006, air limbah tahu sebagian
besar terdiri dari limbah organik dengan nilai COD (Chemical Oxygen Demand)
cukup tinggi, yaitu 5771 mg/l.
5. Senyawa-senyawa organik di dalam air buangan tersebut dapat berupa protein,
karbohidrat, lemak dan minyak. Senyawa-senyawa berupa protein dan
karbohidrat memiliki jumlah yang paling besar yaitu 40%-60% dan 25%-50%
sedangkan lemak 10%. Komponen terbesar dari limbah cair tahu yaitu protein
(N-total) sebesar 226,06-434,78 mg/l, sehingga masuknya limbah cair tahu ke
6. Gas-gas yang biasa ditemukan dalam limbah tahu adalah gas nitrogen (N2),
amonia (NH3), Oksigen (O2), hidrogen sulfida (H2S), karbondioksida (CO2) dan
metana (CH4). Gas-gas tersebut berasal dari dekomposisi bahan-bahan organik
yang terdapat di dalam air buangan.
Limbah Cair Tahu sebagai Bahan Pencemar bagi Ikan
Air limbah tahu mengandung bahan organik, bila langsung dibuang kebadan
air penerima tanpa ada nya proses pengolahan maka akan menimbulkan pencemaran,
seperti menimbulkan rasa dan bau yang tidak sedap dan berkurangnya oksigen yang
terlarut dalam air sehingga mengakibatkat organisme yang hidup didalam air terganggu
karena kehidupannya tergantung pada lingkungan sekitarnya. Pencemaran yang
dilakukan terus menerus akan mengakibatkan mati nya organisme yang ada dalam air,
mengingat air berubah kondisinya menjadi anaerob (Astuty (2007) diacu oleh Agung
dan Hanry, 2009).
Suhu buangan industri tahu berasal dari proses pemasakan kedelai. Suhu limbah
cair tahu pada umumnya lebih tinggi dari air bakunya, yaitu 40oC − 46oC. Suhu yang
meningkat di lingkungan perairan akan mempengaruhi kehidupan biologis, kelarutan
oksigen dan gas lain, kerapatan air, viskositas, dan tegangan permukaan (Herlambang
(2002) diacu oleh Kaswinarni, 2007).
Suhu air mempengaruhi kelarutan oksigen. Kenaikan temperatur dapat
menyebabkan menurunnya kelarutan oksigen di perairan. Apabila ikan mengalami
kekurangan oksigen maka sistem fisiologis dalam tubuhnya tidak akan berfungsi
dengan baik sehingga dapat menyebabkan stres ((Francis dan Floyd (2009) diacu oleh
Pengaruh Limbah Cair Industri Tahu terhadap Biota Perairan
Dampak yang ditimbulkan oleh pencemaran bahan organik limbah industri tahu
adalah gangguan terhadap kehidupan biotik. Turunnya kualitas air perairan akibat
meningkatnya kandungan bahan organik. Aktivitas organisme dapat memecah molekul
organik yang kompleks menjadi molekul organik yang sederhana. Bahan anorganik
seperti ion fosfat dan nitrat dapat dipakai sebagai makanan oleh tumbuhan yang
melakukan fotosintesis. Selama proses metabolisme oksigen banyak dikonsumsi,
sehingga apabila bahan organik dalam air sedikit, oksigen yang hilang dari air akan
segera diganti oleh oksigen hasil proses fotosintesis dan oleh reaerasi dari udara.
Sebaliknya jika konsentrasi beban organik terlalu tinggi, maka akan tercipta kondisi
anaerobik yang menghasilkan produk dekomposisi berupa amonia, karbondioksida,
asam asetat, hirogen sulfida, dan metana. Senyawa-senyawa tersebut sangat toksik bagi
sebagian besar hewan air, dan akan menimbulkan gangguan terhadap keindahan
(gangguan estetika) yang berupa rasa tidak nyaman dan menimbulkan bau (Herlambang
(2002) diacu oleh Kaswinarni, 2007).
Mortalitas
Mortalitas atau kematian adalah merupakan keadaan hilangnya semua
tanda-tanda kehidupan secara permanen yang dapat terjadi setiap saat setelah kelahiran hidup
(World Health Organization). Kematian dapat menimpa kapan saja dan dimana saja.
Mortalitas merupakan ukuran jumlah kematian (umumnya, atau karena akibat yang
spesifik) pada suatu populasi, skala besar suatu populasi, per dikali satuan. Mortalitas
khusus mengekspresikan pada jumlah satuan kematian per 1000 individu per tahun,
kematian per tahun. Mortalitas berbeda dengan
individual yang memiliki penyakit selama periode waktu tertentu (Daelami, 2001).
Uji Pendahuluan (Nilai Kisaran)
Uji pendahuluan dilakukan untuk menentukan batas kisaran kritis (critical range
test) yang menjadi dasar dari penentuan konsentrasi yang digunakan dalam uji lanjutan
atau uji toksisitas dasar, yaitu konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian terbesar
mendekati 50% dan kematian terkecil mendekati 50%. Perlakuan pada percobaan
dilakukan dengan 5 variasi pengenceran limbah dan satu sebagai kontrol, percobaan ini
dilakukan dengan dua kali pengulangan atau duplo (Husni dan Esmiralda, 2010).
Percobaan pada tahap pendahuluan ini bertujuan untuk mencari kisaran
konsentrasi krisis bahan uji yang akan digunakan untuk penentuan LC-50. Pengujian
dihentikan setelah mencapai jam ke-48. Hewan uji yang mati pada waktu pengamatan
segera dikeluarkan dari media uji untuk menghindari kemungkinan perubahan kualitas
air yang bukan disebabkan oleh bahan uji. Hewan uji diamati pada tiap konsentrasi dan
dihitung secara kumulatif dalam tiap jam. Disamping itu diamati pula tingkah laku
hewan uji dalam wadah yang diberi perlakuan. Nilai LC ditentukan untuk tujuan
penelitian nilai ambang batas yang layak di suatu lingkungan penelitian (Rumampuk,
dkk., 2010).
Uji Toksisitas
Uji toksisitas merupakan uji hayati yang berguna untuk menentukan tingkat
toksisitas dari suatu zat atau bahan pencemar dan digunakan juga untuk pemantauan
rutin suatu limbah. Uji toksisitas akut dengan menggunakan hewan uji merupakan salah
effluent atau badan perairan penerima mengandung senyawa toksik dalam konsentrasi
yang menyebabkan toksisitas akut. Parameter yang diukur biasanya berupa kematian
hewan uji, yang hasilnya dinyatakan sebagai konsentrasi yang menyebabkan 50%
Kematian hewan uji (LC50) dalam waktu yang relatif pendek satu sampai empat hari
(Husni dan Esmiralda, 2010).
Sebelum percobaan toksisitas dilakukan, sebaiknya telah ada data mengenai
identifikasi, sifat obat, dan rencana penggunaannya. Data ini dapat dipakai untuk
mengarahkan percobaan toksisitas yang akan dilakukan untuk meneliti berbagai efek
yang berhubungan dengan cara dan waktu pemberian suatu sediaan obat.
Pengujian toksisitas biasanya dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Uji toksisitas akut
Uji ini dilakukan dengan memberikan zat kimia yang sedang diuji sebanyak
satu kali atau beberapa kali dalam jangka waktu 24 jam.
2. Uji toksisitas jangka pendek (subkronis)
Uji ini dilakukan dengan memberikan zat kimia tersebut berulang-ulang,
biasanya setiap hari, atau lima kali seminggu, selama jangka waktu kurang
lebih 10% masa hidup hewan, yaitu 3 bulan untuk tikus dan 1 atau 2 tahun
untuk anjing. Namun, beberapa peneliti menggunakan jangka waktu yang lebih
pendek, misalnya pemberian zat kimia selama 14 dan 28 hari.
3. Uji toksisitas jangka panjang (kronis)
Percobaan jenis ini mencakup pemberian zat kimia secara berulang selama 3-6
bulan atau seumur hidup hewan, misalnya 18 bulan untuk mencit, 24 bulan
percobaan kronis lebih dari 6 bulan tidak akan bermanfaat, kecuali untuk
percobaan karsinogenik (Harmita, 2009).
Pengujian toksisitas suatu senyawa dibagi menjadi dua golongan yaitu uji
toksisitas umum, dan uji toksisitas khusus. Pengujian toksisitas umum meliputi
pengujian toksisitas akut, subkronik, dan kronik. Pengujian toksisitas khusus meliputi
uji potensiasi, karsinogenik, mutagenik, teratogenik, reproduksi, kulit, mata, dan
tingkah laku (Loomis (1978) diacu oleh Manggung, 2008).
Toksisitas merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari farmakologi yang
merupakan efek biologis negatif akibat dari pemberian suatu zat. Toksisitas suatu bahan
dapat didefinisikan sebagai kapasitas bahan untuk mencederai suatu organisme hidup.
Pengetahuan mengenai bahan kimia dikumpulkan dengan mempelajari efek-efek dari
pemaparan bahan kimia terhadap hewan percobaan, pemaparan bahan kimia terhadap
organisme tingkat rendah seperti bakteri dan kultur sel-sel dari mamalia di
laboratorium, dan pemaparan bahan kimia terhadap manusia (Retnomurti, 2008).
Uji toksisitas digunakan untuk mengevaluasi besarnya konsentrasi toksikan dan
durasi pemaparan yang dapat menimbulkan efek toksik pada jaringan biologis. Salah
satu biota yang dapat digunakan untuk uji toksisitas adalah ikan, dengan syarat harus
mempunyai kepekaan tinggi, memenuhi syarat umur, berat, dan panjang, serta sesuai
dengan ikan yang hidup diperairan yang telah dalam keadaan tercemar (Pararaja, 2008
diacu oleh Pratiwi, dkk., 2012).
Toksisitas akut adalah efek total yang didapat pada dosis tunggal/multiple dalam
24 jam pemaparan. Toksisitas akut sifatnya mendadak, waktu singkat,biasanya
percobaan, dinyatakan dengan LC50. Nilai LC50 sangat berguna untuk menentukan
klasifikasi zat kimia sesuai dengan toksisitas relatifnya.
Kriteria derajat toksisitas (Lu, 1995 dalam Retnomurti, 2008) dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Kategori Lethal Concentration/ Dosis Lethal (LC/LD50)
Kategori LD50 (mg/kgBB)
Supertoksik ≤ 5
Amat sangat toksik 5 – 50
Sangat toksik 50 – 500
Toksik sedang 500 – 5000
Toksik ringan 5000 – 15000
Praktis tidak toksik > 15000
Lethal Concentration (LC50)
LC50 (Lethal Concentration) merupakan konsentrasi yang menyebabkan
kematian sebanyak 50% dari organisme uji yang dapat diestimasi dengan grafik dan
perhitungan, pada suatu waktu pengamatan tertentu, misalnya LC50 48 jam, LC50 96
jam (Dhahiyat dan Djuangsih 1997 diacu oleh Rossiana 2006) sampai waktu hidup
hewan uji. Berdasarkan kepada lamanya, metode penambahan larutan uji dan
maksud serta tujuannya maka uji toksisitas diklasifikasikan sebagai berikut: Klasifikasi
menurut waktu, yaitu uji hayati jangka pendek (short term bioassay), jangka menengah
(intermediate bioassay) dan uji hayati jangka panjang (long term bioassay). Klasifikasi
menurut metode penambahan larutan atau cara aliran larutan, yaitu uji hayati statik
(static bioassay), pergantian larutan (renewal biossay), mengalir (flow trough
kualitas air limbah, uji bahan atau satu jenis senyawa kimia, penentuan toksisitas serta
daya tahan dan pertumbuhan organisme uji (Rossiana, 2006).
Untuk mengetahui efek zat pencemar terhadap biota dalam suatu perairan, perlu
dilakukan suatu uji toksisitas zat pencemar terhadap biota yang adayaitu dalam bentuk
Lethal Concentration (LC50). Jadi, uji toksisitas digunakan untuk mengevaluasi
besarnya konsentrasi toksikan dan durasi pemaparanyang dapat menimbulkan efek
toksik pada jaringan biologis (Pararaja, 2008 diacu oleh Pratiwi, dkk., 2012).
Parameter Kualitas Air
Untuk menghindari terjadinya wabah penyakit akibat kualitas air yang tidak
baik, sebaiknya air yang akan dimanfaatkan untuk memelihara ikan dianalisis terlebih
dahulu. Pemeriksaan air ditujukan terhadap sifat fisika, kimia, dan keadaan biota air
lainnya, khususnya makhluk hidup yang berpotensi mengganggu kehidupan ikan, baik
berupa pemangsa (predator), penyaing (kompetitor), ataupun jasad penyebab penyakit
(pathogen). Dengan demikian, air yang digunakan benar-benar layak bagi kehidupan
ikan yang akan dipelihara (Daelami, 2001).
1. Oksigen terlarut
Oksigen diperlukan ikan untuk respirasi dan metabolisme dalam tubuh ikan
untuk aktivitas berenang, pertumbuhan, reproduksi dan lain-lain. Laju
pertumbuhan dan konversi pakan juga sangat tergantung pada kandungan
oksigen. Nilai oksigen di dalam pengelolaan kesehatan ikan sangat penting
karena kondisi yang kurang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan
dapat mengakibatkan ikan stress sehingga mudah terserang penyakit (Sucipto
2. Suhu
Semua jenis ikan umumnya mempunyai toleransi yang rendah terhadap
perubahan suhu air yang mendadak. Oleh karena itu, terjadinya kenaikan
maupun penurunan yang besar dan mendadak akan berakibat kurang baik bagi
kehidupan ikan. Perubahan suhu ini dampaknya akan tampak jelas terutama bila
terjadi perubahan dari dingin ke panas. Dampak yang jelas terlihat adalah stress
dengan gejala ikan berenang melonjak-lonjak, mengapung dan bernafas di
permukaan, serta terjadi kematian bila hal tersebut berlangsung relatif lama.
Kisaran suhu yang baik bagi kepentingan budidaya ikan adalah antara 25-320C.
Kisaran suhu ini umumnya terjadi di daerah beriklim tropis, seperti Indonesia.
Dengan demikian, Indonesia mempunyai kondisi yang menguntungkan untuk
usaha budidaya ikan (Daelami, 2001).
3. Derajat keasaman (pH)
Keadaan pH yang dapat mengganggu kehidupan ikan adalah pH yang terlalu
rendah (sangat asam) atau sebaliknya terlalu tinggi (sangat basa). Setiap jenis
ikan akan memperlihatkan respon yang berbeda terhadap perubahan pH dan
dampak yang ditimbulkannya berbeda (Daelami, 2001).
4. Amoniak
Amonia diperairan berasal dari hasil pemecahan nitrogen organik (protein dan
urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air, berasal dari
dekomposisi bahan organik (biota akuatik yang telah mati) yang dilakukan oleh
mikroba dan jamur yang dikenal dengan istilah amonifikasi (Effendi, 2004).
Bentuk amoniak di air yang berbahaya karena merupakan racun bagi ikan adalah
(NH4+) tidak berbahaya, kecuali bila konsentrasinya sangat tinggi. Tingkat daya
racun amoniak (NH3) pada air kolam bias mematikan ikan pada batas 0,1-0,3
mg/l, sedang pada tingkat konsentrasi amoniak (NH3) antara 0,6-2,0 mg/l hanya
dapat meracuni ikan jika terjadi kontak yang berlangsung secara singkat