• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Toksisitas Akut Limbah Cair Industri Tahu terhadap Ikan Patin (Pangasius sp.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Uji Toksisitas Akut Limbah Cair Industri Tahu terhadap Ikan Patin (Pangasius sp.)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Patin (Pangasius sp.)

Ikan patin merupakan jenis ikan konsumsi air tawar, berbadan panjang berwarna

putih perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Ikan patin dikenal sebagai

komoditi yang berprospek cerah, karena memiliki harga jual yang tinggi. Hal inilah

yang menyebabkan ikan patin mendapat perhatian dan diminati oleh para pengusaha

untuk membudidayakannya. Ikan ini cukup responsif terhadap pemberian makanan

tambahan. Pada pembudidayaan, dalam usia enam bulan ikan patin bisa mencapai

panjang 35-40 cm. Sebagai keluarga Pangasidae, ikan ini tidak membutuhkan perairan

yang mengalir untuk “membongsorkan“ tubuhnya Pada perairan yang tidak mengalir

dengan kandungan oksigen rendah sudah memenuhi syarat untuk membesarkan ikan ini

(Prihatman, 2000).

Klasifikasi ikan patin menurut Saanin (1984) diacu oleh Najamuddin 2008

adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Pisces

Famili : Pangasidae

Genus : Pangasius

Ikan patin berbadan panjang untuk ukuran ikan tawar lokal, warna putih seperti

perak, dan punggung berwarna kebiru-biruan. Kepala ikan patin relatif kecil, mulut

(2)

Ikan patin pada sudut mulutnya terdapat dua pasang kumis pendek yang berfungsi

sebagai peraba (Romdon, 2010).

Ikan Patin termasuk ikan yang beraktifitas pada malam hari atau nocturnal.

Selain itu, patin suka bersembunyi di dalam liang-liang di tepi sungai habitat hidupnya.

Ikan ini termasuk ikan demersal atau ikan dasar. Secara fisik memang dari bentuk mulut

yang lebar persis seperti ikan domersal lain seperti ikan lele dan ikan gabus. Habitatnya

di sungai-sungai besar dan muara-muara sungai yang tersebar di Indonesia, India, dan

Myanmar. Tidak hanya itu ikan patin juga sulit memijah di kolam atau wadah

pemeliharaan dan termasuk pula ikan yang kawin musiman sehingga pemijahannya

dilakukan secara buatan serta hanya memijah sekali setahun pada musim hujan yaitu

pada bulan november hingga maret (Amri (2007) diacu oleh Yuliartati, 2011).

Ikan patin (Pangasius sp.) mempunyai sifat yang termasuk omnivora atau

golongan ikan pemakan segala. Malam hari ia akan keluar dari lubangnya dan mencari

makanan renik yang terdiri atas cacing, udang sungai, jenis–jenis siput dan biji–bijian.

Dari sifat makannya ikan ini juga tergolong ikan yang sangat rakus karena jumlah

makannya yang besar. Sedangkan untuk larva ikan patin yang dipelihara pada

kolam-kolam maupun akuarium dapat diberikan makanan alami seperti artemia untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya (Maswira, 2009 diacu oleh Yuliartati, 2011).

Kualitas Air Ikan Patin (Pangasius sp.)

Kualitas suatu perairan memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap

survival dan pertumbuhan makhluk hidup di perairan itu sendiri. Lingkungan yang baik

(hiegienis) bagi hewan diperlukan untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya.

(3)

perairan, tetapi perubahan kualitas air tanah sering terjadi karena kegiatan manusia

(Minggawati dan Saptono, 2012).

Menurut Minggawati dan Saptono (2012), dalam kegiatan budidaya ikan patin,

air yang digunakan kualitasnya harus baik, yaitu :

1. Suhu air berkisar antara 25 – 33 ºC.

2. pH air 6,5 – 9,0 optimal 7 – 8,5.

3. Oksigen terlarut (DO) antara 3 - 7 ppm, optimal 5 – 6 ppm.

4. Kadar amonia (NH3) dan asam belerang (H2S) tidak lebih dari 0,1 ppm.

5. Karbondioksida (CO2) tidak lebih dari 10 ppm.

Limbah Cair Tahu

Limbah tahu adalah limbah yang dihasilkan dalam proses pembuatan tahu

maupun pada saat pencucian kedelai. Limbah yang dihasilkan berupa limbah padat dan

cair. Limbah padat industri tahu belum dirasakan dampaknya karena limbah padat

industri tahu bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Air banyak digunakan sebagai

bahan pencucian dan merebus kedelai untuk proses produksinya. Akibat dari banyak

nya pemakaian air dalam proses pembuatan tahu maka limbah cair yang dihasilkan juga

cukup besar. Limbah cair industri tahu memiliki beban pencemar yang tinggi.

Pencemaran limbah cair industri tahu berasal dari bekas pencucian kedelai, perendaman

kedelai, air bekas pembuatan tahu dan air bekas perendaman tahu (Agung dan Hanry,

2009).

Sebagian besar sumber limbah cair yang dihasilkan oleh industri pembuatan

tahu adalah cairan kental yang terpisah dari gumpalan tahu yang disebut dengan air

(4)

Limbah cair ini sering dibuang secara langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu

sehingga menghasilkan bau busuk dan mencemari sungai. Sumber limbah cair lainnya

berasal dari pencucian kedelai, pencucian peralatan proses, pemasakan dan larutan

bekas rendaman kedele (Sani, 2006).

Untuk limbah industri tahu tempe ada dua hal yang perlu diperhatikan yakni

karakteristik fisik dan kimia. Karakteristik fisik meliputi padatan total, suhu, warna dan

bau. Karakteristik kimia meliputi bahan organik, bahan anorganik dan gas. Suhu

buangan industri tahu berasal dari proses pemasakan kedelai. Suhu limbah cair tahu

pada umumnya lebih tinggi dari air bakunya, yaitu 40ºC sampai 46ºC. Tingginya suhu

buangan tersebut akan mempengaruhi lingkungan perairan yang selanjutnya akan

berpengaruh terhadap kehidupan biologis, kelarutan oksigen dan gas lain, kerapatan air,

viskositas, dan tegangan permukaan (Rossiana, 2006).

Karakteristik Limbah Cair Tahu

Menurut Husni dan Esmiralda (2010), karakteristik limbah cair industri tahu

antara lain:

1. Suhu

Suhu buangan industri tahu berasal dari proses pemasakan kedelai. Suhu yang

meningkat di lingkungan perairan akan mempengaruhi kehidupan biologis,

kelarutan oksigen dan gas lain, kerapatan air, viskositas, serta tegangan

permukaan. Suhu limbah cair yang dihasilkan dari proses pencetakan tahu

(5)

2. pH

Nilai pH air digunakan untuk mengekpresikan kondisi keasaman (konsentrasi

ion hidrogen) air limbah. Skala pH berkisar antara 1-14; kisaran nilai pH 1-7

termasuk kondisi asam, pH 7-14 termasuk kondisi basa, dan pH 7 adalah kondisi

netral.

3. TSS (Total Suspended Solid)

Padatan-padatan tersuspensi/TSS (Total Suspended Solid) digunakan untuk

menentukan kepekatan air limbah, efisiensi proses dan beban unit proses.

Pengukuran yang bervariasi terhadap konsentrasi residu diperlukan untuk

menjaminkemantapan proses kontrol.

4. BOD dan COD

Kebutuhan oksigen dalam air limbah ditunjukkan melalui BOD dan COD. COD

(Chemical Oxygen Demand) adalah kebutuhan oksigen dalam proses oksidasi

secara kimia. Nilai COD akan selalu lebih besar daripada BOD karena

kebanyakan senyawa lebih mudah teroksidasi secara kimia daripada secara

biologi. Menurut Anonim (2004) dalam Sani 2006, air limbah tahu sebagian

besar terdiri dari limbah organik dengan nilai COD (Chemical Oxygen Demand)

cukup tinggi, yaitu 5771 mg/l.

5. Senyawa-senyawa organik di dalam air buangan tersebut dapat berupa protein,

karbohidrat, lemak dan minyak. Senyawa-senyawa berupa protein dan

karbohidrat memiliki jumlah yang paling besar yaitu 40%-60% dan 25%-50%

sedangkan lemak 10%. Komponen terbesar dari limbah cair tahu yaitu protein

(N-total) sebesar 226,06-434,78 mg/l, sehingga masuknya limbah cair tahu ke

(6)

6. Gas-gas yang biasa ditemukan dalam limbah tahu adalah gas nitrogen (N2),

amonia (NH3), Oksigen (O2), hidrogen sulfida (H2S), karbondioksida (CO2) dan

metana (CH4). Gas-gas tersebut berasal dari dekomposisi bahan-bahan organik

yang terdapat di dalam air buangan.

Limbah Cair Tahu sebagai Bahan Pencemar bagi Ikan

Air limbah tahu mengandung bahan organik, bila langsung dibuang kebadan

air penerima tanpa ada nya proses pengolahan maka akan menimbulkan pencemaran,

seperti menimbulkan rasa dan bau yang tidak sedap dan berkurangnya oksigen yang

terlarut dalam air sehingga mengakibatkat organisme yang hidup didalam air terganggu

karena kehidupannya tergantung pada lingkungan sekitarnya. Pencemaran yang

dilakukan terus menerus akan mengakibatkan mati nya organisme yang ada dalam air,

mengingat air berubah kondisinya menjadi anaerob (Astuty (2007) diacu oleh Agung

dan Hanry, 2009).

Suhu buangan industri tahu berasal dari proses pemasakan kedelai. Suhu limbah

cair tahu pada umumnya lebih tinggi dari air bakunya, yaitu 40oC − 46oC. Suhu yang

meningkat di lingkungan perairan akan mempengaruhi kehidupan biologis, kelarutan

oksigen dan gas lain, kerapatan air, viskositas, dan tegangan permukaan (Herlambang

(2002) diacu oleh Kaswinarni, 2007).

Suhu air mempengaruhi kelarutan oksigen. Kenaikan temperatur dapat

menyebabkan menurunnya kelarutan oksigen di perairan. Apabila ikan mengalami

kekurangan oksigen maka sistem fisiologis dalam tubuhnya tidak akan berfungsi

dengan baik sehingga dapat menyebabkan stres ((Francis dan Floyd (2009) diacu oleh

(7)

Pengaruh Limbah Cair Industri Tahu terhadap Biota Perairan

Dampak yang ditimbulkan oleh pencemaran bahan organik limbah industri tahu

adalah gangguan terhadap kehidupan biotik. Turunnya kualitas air perairan akibat

meningkatnya kandungan bahan organik. Aktivitas organisme dapat memecah molekul

organik yang kompleks menjadi molekul organik yang sederhana. Bahan anorganik

seperti ion fosfat dan nitrat dapat dipakai sebagai makanan oleh tumbuhan yang

melakukan fotosintesis. Selama proses metabolisme oksigen banyak dikonsumsi,

sehingga apabila bahan organik dalam air sedikit, oksigen yang hilang dari air akan

segera diganti oleh oksigen hasil proses fotosintesis dan oleh reaerasi dari udara.

Sebaliknya jika konsentrasi beban organik terlalu tinggi, maka akan tercipta kondisi

anaerobik yang menghasilkan produk dekomposisi berupa amonia, karbondioksida,

asam asetat, hirogen sulfida, dan metana. Senyawa-senyawa tersebut sangat toksik bagi

sebagian besar hewan air, dan akan menimbulkan gangguan terhadap keindahan

(gangguan estetika) yang berupa rasa tidak nyaman dan menimbulkan bau (Herlambang

(2002) diacu oleh Kaswinarni, 2007).

Mortalitas

Mortalitas atau kematian adalah merupakan keadaan hilangnya semua

tanda-tanda kehidupan secara permanen yang dapat terjadi setiap saat setelah kelahiran hidup

(World Health Organization). Kematian dapat menimpa kapan saja dan dimana saja.

Mortalitas merupakan ukuran jumlah kematian (umumnya, atau karena akibat yang

spesifik) pada suatu populasi, skala besar suatu populasi, per dikali satuan. Mortalitas

khusus mengekspresikan pada jumlah satuan kematian per 1000 individu per tahun,

(8)

kematian per tahun. Mortalitas berbeda dengan

individual yang memiliki penyakit selama periode waktu tertentu (Daelami, 2001).

Uji Pendahuluan (Nilai Kisaran)

Uji pendahuluan dilakukan untuk menentukan batas kisaran kritis (critical range

test) yang menjadi dasar dari penentuan konsentrasi yang digunakan dalam uji lanjutan

atau uji toksisitas dasar, yaitu konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian terbesar

mendekati 50% dan kematian terkecil mendekati 50%. Perlakuan pada percobaan

dilakukan dengan 5 variasi pengenceran limbah dan satu sebagai kontrol, percobaan ini

dilakukan dengan dua kali pengulangan atau duplo (Husni dan Esmiralda, 2010).

Percobaan pada tahap pendahuluan ini bertujuan untuk mencari kisaran

konsentrasi krisis bahan uji yang akan digunakan untuk penentuan LC-50. Pengujian

dihentikan setelah mencapai jam ke-48. Hewan uji yang mati pada waktu pengamatan

segera dikeluarkan dari media uji untuk menghindari kemungkinan perubahan kualitas

air yang bukan disebabkan oleh bahan uji. Hewan uji diamati pada tiap konsentrasi dan

dihitung secara kumulatif dalam tiap jam. Disamping itu diamati pula tingkah laku

hewan uji dalam wadah yang diberi perlakuan. Nilai LC ditentukan untuk tujuan

penelitian nilai ambang batas yang layak di suatu lingkungan penelitian (Rumampuk,

dkk., 2010).

Uji Toksisitas

Uji toksisitas merupakan uji hayati yang berguna untuk menentukan tingkat

toksisitas dari suatu zat atau bahan pencemar dan digunakan juga untuk pemantauan

rutin suatu limbah. Uji toksisitas akut dengan menggunakan hewan uji merupakan salah

(9)

effluent atau badan perairan penerima mengandung senyawa toksik dalam konsentrasi

yang menyebabkan toksisitas akut. Parameter yang diukur biasanya berupa kematian

hewan uji, yang hasilnya dinyatakan sebagai konsentrasi yang menyebabkan 50%

Kematian hewan uji (LC50) dalam waktu yang relatif pendek satu sampai empat hari

(Husni dan Esmiralda, 2010).

Sebelum percobaan toksisitas dilakukan, sebaiknya telah ada data mengenai

identifikasi, sifat obat, dan rencana penggunaannya. Data ini dapat dipakai untuk

mengarahkan percobaan toksisitas yang akan dilakukan untuk meneliti berbagai efek

yang berhubungan dengan cara dan waktu pemberian suatu sediaan obat.

Pengujian toksisitas biasanya dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:

1. Uji toksisitas akut

Uji ini dilakukan dengan memberikan zat kimia yang sedang diuji sebanyak

satu kali atau beberapa kali dalam jangka waktu 24 jam.

2. Uji toksisitas jangka pendek (subkronis)

Uji ini dilakukan dengan memberikan zat kimia tersebut berulang-ulang,

biasanya setiap hari, atau lima kali seminggu, selama jangka waktu kurang

lebih 10% masa hidup hewan, yaitu 3 bulan untuk tikus dan 1 atau 2 tahun

untuk anjing. Namun, beberapa peneliti menggunakan jangka waktu yang lebih

pendek, misalnya pemberian zat kimia selama 14 dan 28 hari.

3. Uji toksisitas jangka panjang (kronis)

Percobaan jenis ini mencakup pemberian zat kimia secara berulang selama 3-6

bulan atau seumur hidup hewan, misalnya 18 bulan untuk mencit, 24 bulan

(10)

percobaan kronis lebih dari 6 bulan tidak akan bermanfaat, kecuali untuk

percobaan karsinogenik (Harmita, 2009).

Pengujian toksisitas suatu senyawa dibagi menjadi dua golongan yaitu uji

toksisitas umum, dan uji toksisitas khusus. Pengujian toksisitas umum meliputi

pengujian toksisitas akut, subkronik, dan kronik. Pengujian toksisitas khusus meliputi

uji potensiasi, karsinogenik, mutagenik, teratogenik, reproduksi, kulit, mata, dan

tingkah laku (Loomis (1978) diacu oleh Manggung, 2008).

Toksisitas merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari farmakologi yang

merupakan efek biologis negatif akibat dari pemberian suatu zat. Toksisitas suatu bahan

dapat didefinisikan sebagai kapasitas bahan untuk mencederai suatu organisme hidup.

Pengetahuan mengenai bahan kimia dikumpulkan dengan mempelajari efek-efek dari

pemaparan bahan kimia terhadap hewan percobaan, pemaparan bahan kimia terhadap

organisme tingkat rendah seperti bakteri dan kultur sel-sel dari mamalia di

laboratorium, dan pemaparan bahan kimia terhadap manusia (Retnomurti, 2008).

Uji toksisitas digunakan untuk mengevaluasi besarnya konsentrasi toksikan dan

durasi pemaparan yang dapat menimbulkan efek toksik pada jaringan biologis. Salah

satu biota yang dapat digunakan untuk uji toksisitas adalah ikan, dengan syarat harus

mempunyai kepekaan tinggi, memenuhi syarat umur, berat, dan panjang, serta sesuai

dengan ikan yang hidup diperairan yang telah dalam keadaan tercemar (Pararaja, 2008

diacu oleh Pratiwi, dkk., 2012).

Toksisitas akut adalah efek total yang didapat pada dosis tunggal/multiple dalam

24 jam pemaparan. Toksisitas akut sifatnya mendadak, waktu singkat,biasanya

(11)

percobaan, dinyatakan dengan LC50. Nilai LC50 sangat berguna untuk menentukan

klasifikasi zat kimia sesuai dengan toksisitas relatifnya.

Kriteria derajat toksisitas (Lu, 1995 dalam Retnomurti, 2008) dapat dilihat pada

Tabel 1.

Tabel 1. Kategori Lethal Concentration/ Dosis Lethal (LC/LD50)

Kategori LD50 (mg/kgBB)

Supertoksik ≤ 5

Amat sangat toksik 5 – 50

Sangat toksik 50 – 500

Toksik sedang 500 – 5000

Toksik ringan 5000 – 15000

Praktis tidak toksik > 15000

Lethal Concentration (LC50)

LC50 (Lethal Concentration) merupakan konsentrasi yang menyebabkan

kematian sebanyak 50% dari organisme uji yang dapat diestimasi dengan grafik dan

perhitungan, pada suatu waktu pengamatan tertentu, misalnya LC50 48 jam, LC50 96

jam (Dhahiyat dan Djuangsih 1997 diacu oleh Rossiana 2006) sampai waktu hidup

hewan uji. Berdasarkan kepada lamanya, metode penambahan larutan uji dan

maksud serta tujuannya maka uji toksisitas diklasifikasikan sebagai berikut: Klasifikasi

menurut waktu, yaitu uji hayati jangka pendek (short term bioassay), jangka menengah

(intermediate bioassay) dan uji hayati jangka panjang (long term bioassay). Klasifikasi

menurut metode penambahan larutan atau cara aliran larutan, yaitu uji hayati statik

(static bioassay), pergantian larutan (renewal biossay), mengalir (flow trough

(12)

kualitas air limbah, uji bahan atau satu jenis senyawa kimia, penentuan toksisitas serta

daya tahan dan pertumbuhan organisme uji (Rossiana, 2006).

Untuk mengetahui efek zat pencemar terhadap biota dalam suatu perairan, perlu

dilakukan suatu uji toksisitas zat pencemar terhadap biota yang adayaitu dalam bentuk

Lethal Concentration (LC50). Jadi, uji toksisitas digunakan untuk mengevaluasi

besarnya konsentrasi toksikan dan durasi pemaparanyang dapat menimbulkan efek

toksik pada jaringan biologis (Pararaja, 2008 diacu oleh Pratiwi, dkk., 2012).

Parameter Kualitas Air

Untuk menghindari terjadinya wabah penyakit akibat kualitas air yang tidak

baik, sebaiknya air yang akan dimanfaatkan untuk memelihara ikan dianalisis terlebih

dahulu. Pemeriksaan air ditujukan terhadap sifat fisika, kimia, dan keadaan biota air

lainnya, khususnya makhluk hidup yang berpotensi mengganggu kehidupan ikan, baik

berupa pemangsa (predator), penyaing (kompetitor), ataupun jasad penyebab penyakit

(pathogen). Dengan demikian, air yang digunakan benar-benar layak bagi kehidupan

ikan yang akan dipelihara (Daelami, 2001).

1. Oksigen terlarut

Oksigen diperlukan ikan untuk respirasi dan metabolisme dalam tubuh ikan

untuk aktivitas berenang, pertumbuhan, reproduksi dan lain-lain. Laju

pertumbuhan dan konversi pakan juga sangat tergantung pada kandungan

oksigen. Nilai oksigen di dalam pengelolaan kesehatan ikan sangat penting

karena kondisi yang kurang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan

dapat mengakibatkan ikan stress sehingga mudah terserang penyakit (Sucipto

(13)

2. Suhu

Semua jenis ikan umumnya mempunyai toleransi yang rendah terhadap

perubahan suhu air yang mendadak. Oleh karena itu, terjadinya kenaikan

maupun penurunan yang besar dan mendadak akan berakibat kurang baik bagi

kehidupan ikan. Perubahan suhu ini dampaknya akan tampak jelas terutama bila

terjadi perubahan dari dingin ke panas. Dampak yang jelas terlihat adalah stress

dengan gejala ikan berenang melonjak-lonjak, mengapung dan bernafas di

permukaan, serta terjadi kematian bila hal tersebut berlangsung relatif lama.

Kisaran suhu yang baik bagi kepentingan budidaya ikan adalah antara 25-320C.

Kisaran suhu ini umumnya terjadi di daerah beriklim tropis, seperti Indonesia.

Dengan demikian, Indonesia mempunyai kondisi yang menguntungkan untuk

usaha budidaya ikan (Daelami, 2001).

3. Derajat keasaman (pH)

Keadaan pH yang dapat mengganggu kehidupan ikan adalah pH yang terlalu

rendah (sangat asam) atau sebaliknya terlalu tinggi (sangat basa). Setiap jenis

ikan akan memperlihatkan respon yang berbeda terhadap perubahan pH dan

dampak yang ditimbulkannya berbeda (Daelami, 2001).

4. Amoniak

Amonia diperairan berasal dari hasil pemecahan nitrogen organik (protein dan

urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air, berasal dari

dekomposisi bahan organik (biota akuatik yang telah mati) yang dilakukan oleh

mikroba dan jamur yang dikenal dengan istilah amonifikasi (Effendi, 2004).

Bentuk amoniak di air yang berbahaya karena merupakan racun bagi ikan adalah

(14)

(NH4+) tidak berbahaya, kecuali bila konsentrasinya sangat tinggi. Tingkat daya

racun amoniak (NH3) pada air kolam bias mematikan ikan pada batas 0,1-0,3

mg/l, sedang pada tingkat konsentrasi amoniak (NH3) antara 0,6-2,0 mg/l hanya

dapat meracuni ikan jika terjadi kontak yang berlangsung secara singkat

Gambar

Tabel 1. Kategori Lethal Concentration/ Dosis Lethal (LC/LD50)

Referensi

Dokumen terkait

Yogyakarta Bagian Selatan semata-mata untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia Jogja secara keseluruhan, baik yang tinggal di Wilayah Selatan maupun yang tinggal di

Peraturan Kepala BKPM RI Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal. Peraturan Kepala BKPM Nomor 15 Tahun 2015 tentang Pedoman dan Tata Cara

In this method, the handheld devices using GPS technology to provide the location of the users, e.g., smart phone, is used as the positioning equipment; an emergency

Biaya tetap usaha ternak sapi potong adalah biaya yang tidak mengalami perubahan sebagai akibat perubahan jumlah hasil yang diperoleh oleh petani peternak di

Dengan menggunakan metode ekstraksi berbantu gelombang mikro, penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh variabel daya, rasio umpan – pelarut, dan waktu

Garis tangen sebuah kurva C dititik P dan C didefinisikan sebagai posisi limit garis lurus L yang melalui titik P dan titik lain Q pada C jika Q semakin mendekati P sepanjang kurva

setelah dilakukan pengurangan karyawan rata-rata beban kerja menjadi 94.89% dengan jumlah karyawan yang optimal adalah 3 orang.. Pada

Sehingga dapat disimpulkan ada pengaruh yang signifikan dari penggunaan media simulasi PhET terhadap prestasi belajar materi pokok energi dalam sistem kehidupan