• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS SINERGI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN K (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TESIS SINERGI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN K (1)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS SINERGI KEBIJAKAN

PENANGGULANGAN KEMISKINAN

BERBASIS PEMBERDAYAAN

MASYARAKAT

pascasarjana

(KODE : PASCSARJ-0107) : TESIS SINERGI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN BERBASIS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (PRODI : MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sampai saat ini, Pemerintah dan Pemerintah Daerah di Indonesia masih menghadapi permasalahan kemiskinan yang bersifat multidimensional. Kemiskinan menjadi sebab dan akibat dari lingkaran setan (vicious cyrcle)-rangkaian permasalahan pengangguran, rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia, dan rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Kondisi tersebut digambarkan dengan masih tingginya jumlah penduduk miskin dan jumlah pengangguran terbuka, serta masih rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (Indonesia) Indonesia dibanding mayoritas negara-negara lain. Kualitas sumber daya manusia ditandai oleh indeks

pembangunan manusia (IPM) atau human development index (HDI). Indeks

pembangunan manusia merupakan indikator komposit status kesehatan yang dilihat dari angka harapan hidup saat lahir, taraf pendidikan yang diukur dengan angka melek huruf penduduk dewasa dan gabungan angka partisipasi kasar jenjang pendidikan dasar, menengah, tinggi, serta taraf perekonomian penduduk yang diukur dengan pendapatan domestik bruto (PDB) per kapita dengan paritas daya beli.

(2)

sebagai berikut:

* Tabel sengaja tidak ditampilkan *

Berdasarkan data dalam Surat Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat,

Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (Bapermas, P3AKB) Kota X Nomor 511.1/662/VIII/2009 tentang Permohonan Alokasi Raskin Bulan Agustus 2009; dan data Bagian Administrasi Pemerintahan Sekretariat Daerah Kota X, diketahui bahwa Rumah Tangga Sasaran (RTS) penerima raskin : tahun 2008 sebanyak 26.521 KK, tahun 2009 sebanyak 22.729 KK dan tahun 2010 sebanyak 21.954 KK yang terdiri dari 11.251 rumah tangga hampir miskin, 7.135 rumah tangga miskin, dan 3.568 rumah tangga sangat miskin. Merujuk data dari Bappeda Kota X dan Bapermas, P3AKB Kota X, bahwa jumlah penduduk miskin di Kota X pada tahun 2009 mencapai 104.988 jiwa, ditambah jumlah gakin di Panti Sosial, Diffabel, total penduduk miskin di Kota X sebanyak 106.389 jiwa.

Untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia, berbagai program penanggulangan kemiskinan telah digulirkan oleh Pemerintah sejak era Orde Baru hingga saat ini. Beberapa program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat yang pernah dilaksanakan yaitu : Kredit Usaha Kecil (KUK), Kredit Industri Kecil (KIK), Kredit Candak Kulak (KCK), Inpres Desa Tertinggal (IDT), Padat Karya, Jaring

Pengaman Sosial- Program Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (JPS-PDMDKE), Program Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah (P2MPD), P4K, TPSP-KUD, Unit Ekonomi Desa dan Simpan Pinjam (UEDSP), Pengembangan Kawasan Terpadu, Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP).

Dalam era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (Kabinet Indonesia Bersatu I), Pemerintah menetapkan salah satu prioritas dan arah kebijakan

pembangunan untuk menanggulangi kemiskinan. Sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, khususnya berkaitan dengan agenda peningkatan kesejahteraan masyarakat, salah satu sasarannya yaitu : menurunkan jumlah penduduk miskin menjadi 8,2% dan pengurangan pengangguran menjadi 5,1% dari total angkatan kerja pada tahun 2009.

(3)

Berbasis Pemberdayaan Masyarakat" dan Buletin Sambung Hati 9949 edisi bulan November 2009, terdapat tiga kluster program untuk penanggulangan kemiskinan yaitu :

1. Program-Program dalam kluster program Bantuan dan Perlindungan Sosial. Kelompok program ini bertujuan untuk melakukan pemenuhan hak dasar, pengurangan beban hidup, serta perbaikan kualitas hidup masyarakat miskin. Program ini dianalogikan dengan pemberian ikan kepada masyarakat miskin dan kelompok rentan lainnya seperti kaum miskin, lansia, korban bencana dan konflik, penyandang cacat, komunitas adat terkecil, yang jumlahnya 19,1 juta Rumah Tangga Sasaran (RTS) secara nasional. Program-program dalam Kluster ini meliputi : Jaminan Kesehatan Masyarakat, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Beras untuk Rumah Tangga Miskin (Raskin), Bantuan Tunai Bersyarat (BTB) atau Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan untuk Pengungsi/Korban Bencana, Bantuan untuk Penyandang Cacat dan Bantuan untuk Kelompok Lansia. Bantuan untuk Penyandang Cacat diberikan kepada penyandang cacat permanen, dalam arti tidak dapat menghidupi diri sendiri dan sepenuhnya tergantung kepada orang lain dalam melakukan aktivitas. Pemerintah memberikan bantuan dana jaminan sosial bagi penyandang cacat berat dengan indeks Rp 300.000 per orang per bulan selama 12 bulan. Bantuan pelayanan dan jaminan sosial lansia terlantar diberikan kepada masyarakat yang tidak berdaya secara fisik, ekonomi, dan sosial. Bantuan Lansia dikirim lewat PT POS Indonesia dan para pendamping bertugas mengantar dana bantuan tersebut kepada penerima yang berhak. Pemerintah memberikan bantuan dana jaminan sosial bagi Lansia dengan indeks Rp 300.000 per orang per bulan selama 12 bulan. Anggaran dan Sasaran Program-Program Bantuan dan

Perlindungan Sosial tercantum dalam tabel berikut :

(4)

provinsi. Enam provinsi tambahan adalah NAD, Sumatera Utara, DIY, Banten, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Selatan.

3. Program UMKM untuk Kemandirian Masyarakat. Dalam upaya mengurangi kemiskinan dan pengangguran, serta memberdayakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), pemerintah melaksanakan program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Kluster ini diibaratkan sebagai perahu, di mana UMKM mendapat kredit usaha dari bank-bank milik negara yaitu Bank BRI, Bank BNI, Bank Mandiri, dan Bank Syariah Mandiri, Bank Bukopin dan Bank BTN. Hingga Oktober 2009 KUR yang telah

disalurkan sebesar Rp 8.332.161.000.000 dengan jumlah nasabah 2.236.926 orang. Pada tahun 2008, KUR menciptakan lapangan kerja untuk 4,59 juta orang. Pada tahun 2009 diperkirakan akan membuka lapangan kerja untuk 6 juta orang.

Alokasi anggaran untuk penanggulangan kemiskinan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yaitu : pada tahun 2004 mencapai Rp 19 triliun, tahun 2005 meningkat 26.3 % menjadi Rp 24 triliun, tahun 2006 meningkat 70.8 % menjadi Rp 41 triliun, tahun 2007 meningkat 24.4% menjadi Rp 51 triliun dan tahun 2008 meningkat 13.7 % menjadi Rp 58 triliun dan tahun 2009 meningkat 12 % menjadi 66,2 triliun.

Berbagai program penanggulangan kemiskinan dengan dukungan peningkatan anggaran untuk pengentasan kemiskinan yang cukup signifikan sejak tahun 2004 hingga tahun 2009, mampu menurunkan jumlah penduduk miskin di Indonesia walaupun tidak secara drastis. Tingkat kemiskinan yang pada tahun 2007 sebesar 16,58 persen, pada tahun 2008 sudah menurun menjadi sebesar 15,42 persen, pada tahun 2009 tingkat kemiskinan menurun lagi menjadi 14,15 persen. Tetapi, target yang ditetapkan dalam RPJMN Tahun 2004-2009 untuk menurunkan jumlah

penduduk miskin menjadi 8,2% pada tahun 2009 tidak tercapai.

Dalam era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono (Kabinet Indonesia Bersatu II), Pemerintah tetap menetapkan salah satu prioritas dan arah kebijakan pembangunan untuk menanggulangi kemiskinan. Berdasarkan Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014, sasaran bidang penanggulangan kemiskinan dan pemerataan pembangunan adalah menurunkan tingkat kemiskinan menjadi sebesar 8-10% pada akhir 2014.

Untuk mencapai sasaran tersebut, arah kebijakan dan prioritas program

(5)

kemiskinan. Ketiga, meningkatkan efektivitas pelaksanaan penurunan kemiskinan di daerah khususnya daerah tertinggal dan korban bencana.

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2009 tentang Koordinasi

Penanggulangan Kemiskinan, kelompok program penanggulangan kemiskinan terdiri dari kelompok program : berbasis bantuan dan perlindungan sosial, berbasis

pemberdayaan masyarakat, dan berbasis pemberdayaan usaha mikro dan kecil. Untuk menanggulangi kemiskinan di Kota X, beberapa program Pemerintah Pusat yang dilaksanakan antara lain : Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Beras untuk Masyarakat Miskin (Raskin), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri-Perkotaan (PNPM Mandiri Mandiri-Perkotaan), Program Pemberdayaan Fakir Miskin Melalui Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (PPFM-BLPS) atau dikenal dengan Kelompok Usaha Bersama Ekonomi (KUBE), dan Padat Karya Produktif serta Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Menindaklanjuti pelaksanaan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, dan dalam rangka desentralisasi dan otonomi daerah saat ini, Pemerintah Daerah berperan besar untuk menanggulangi kemiskinan. Pemerintah Daerah dengan didukung stakeholders dan masyarakat, dapat mengembangkan prakarsa untuk menyusun berbagai kebijakan dan melaksanakan program-program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Pemerintah Daerah juga dapat berperan dengan

menyediakan dana atau program pendamping untuk pelaksanaan program-program dari Pemerintah Pusat.

Beberapa program berbasis pemberdayaan masyarakat yang diluncurkan oleh Pemerintah Kota X meliputi : Program bantuan perbaikan/rehap Rumah Tidak Layak Huni (RTLH); Sanitasi Masyarakat (Sanimas); Bantuan operasional Posyandu Balita dan Lansia; Kegiatan pendidikan ketrampilan, pembangunan tempat usaha,

pinjaman modal bergulir untuk koperasi dan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM); Solo Techno Park; Pengembangan Wisata Kuliner-Galabo, alokasi Dana Pembangunan Kelurahan (DPK) dan Program Terpadu Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Gender (P2MBG).

Program-program pemberdayaan dari Pemerintah dan Pemerintah Kota X yang dilaksanakan di tingkat kelurahan meliputi : PNPM Mandiri Perkotaan, BLPS- P2FM (KUBE), Bantuan Rehap RTLH, P2MBG, Padat Karya Produktif dan DPK.

(6)

penanggulangan kemiskinan, serta harmonisasi antar pelaku. Berbagai program pemberdayaan masyarakat dari Pemerintah dan Pemerintah Kota X memerlukan sinergi baik dalam tataran kebijakan, kelembagaan dan implementasi program. Penanggulangan kemiskinan memerlukan perubahan yang cukup sistemik dan menyeluruh, namun penanganannya selama ini cenderung parsial sektoral, tidak terintegrasi, dan belum sinergis.

Dalam dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Di Kota X (2008:3), disebutkan : tindakan penanganan kemiskinan menghadapi permasalahan dan tantangan, antara lain : 1) Indikator atau tolok ukur kriteria penduduk miskin masih banyak perbedaan diantara beberapa SKPD, sehingga data yang dihasilkan juga berbeda. 2) Belum sepenuhnya memberdayakan masyarakat. 3) Terjadi salah sasaran. 4) Tidak optimalnya pengelolaan dana. 5) Usaha yang dipilih tidak berorientasi pasar. 6) Distribusi dana kurang mendasarkan pada kebutuhan nyata. 7) Belum terpadunya pelaksanaan kegiatan. 8) Mental dan perilaku, pola ketergantungan pada bantuan dan lemahnya motivasi untuk melakukan usaha produktif. 9) Perilaku budaya

masyarakat yang senang menerima bantuan sehingga apabila ada pendataan untuk bantuan jumlah masyarakat miskin selalu bertambah. 10) Program yang bergulir di masyarakat setelah selesai tidak ada mekanisme monitoring dan evaluasinya. 11) Lemahnya koordinasi masing-masing SKPD saat menyusun intervensi kemiskinan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka penelitian tentang Sinergi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat Di Kota X relevan dan menarik untuk dilakukan. Program-program pemberdayaan masyarakat yang diteliti mencakup : PNPM Mandiri Perkotaan, KUBE, Bantuan Rehap RTLH, P2MBG, dan DPK.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan dan menganalisa sinergi kebijakan penanggulangan kemiskinan berbasis

pemberdayaan masyarakat di Kota X. Secara terperinci, permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini yaitu :

1. Bagaimana kebijakan dan kelembagaan yang mendukung sinergi dalam penanggulangan kemiskinan di Kota X ?

2. Bagaimana bentuk-bentuk sinergi dalam implementasi program-program

(7)

C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan :

1. Mendeskripsikan kebijakan dan kelembagaan yang mendukung sinergi dalam penanggulangan kemiskinan di Kota X.

2. Mendeskripsikan dan menganalis bentuk-bentuk sinergi dalam implementasi program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan di tingkat kelurahan di Kota X.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu: 1. Manfaat Praktis.

Memberikan rekomendasi untuk sinergi dalam penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan di tingkat kelurahan di Kota X.

2. Manfaat Akademik.

Mengembangkan pengetahuan tentang sinergi dalam inplementasi kebijakan penanggulangan kemiskinan yang mendasarkan pada kajian teori governance dan teori kolaborasi collaboration. Teori governance merupakan basis teori untuk menjelaskan dan menganalisa sinergi peran antar pelaku (aktor) kebijakan

penanggulangan kemiskinan. Teori kolaborasi untuk menjelaskan dan menganalisa bentuk-bentuk sinergi.

BAB I PENDAHULUAN

(8)

kerangka teoritik dan empirik yang luas, mencakup didalamnya penguatan masyarakat sipil (civil society), supremasi hukum, strategi pembangunan ekonomi dan pembangunan politik yang saling terkait dan mempengaruhi. Dengan demikian, reformasi birokrasi juga merupakan bagian tak terpisahkan dalam buruknya birokrasi saat ini. 1.2 Rumusan Masalah Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, penulis mengemukakan beberapa rumusan masalah, diantaranya: 1. Apakah yang dimaksud dengan reformasi birokrasi? 2. Bagaimana reformasi birokrasi di Indonesia? 3. Bagaimana birokrasi Indonesia sebelum adanya reformasi birokrasi? 4. Bagaimana mekanisme pelaksanaan reformasi birokrasi yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah guna mengatasi patologi birokrasi? 1.3 Tujuan Penulisan Tujuan penulisan ini adalah untuk mngkaji kembali bagaimana sebenarnya pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia. Selain itu, pembuatan makalah ini juga bertujuan untuk mengkaji lebih dalam mengenai bagaimana proses dari reformasi birokrasi itu sendiri di Indonesia guna mengatasi patologi birokrasi di Indonesia.  

BAB II PEMBAHASAN

(9)

Reformasi birokrasi di Indonesia belum berjalan dengan maksimal. Indikasinya adalah buruknya pelayanan publik dan masih maraknya perkara korupsi. Reformasi birokrasi merupakan salah satu cara untuk membangun kepercayaan rakyat. Reformasi birokrasi adalah suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem yang tujuannya mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang sudah lama. Ruang lingkup reformasi birokrasi tidak hanya terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur dan sikap serta tingkah laku. Hal ini berhubungan dengan permasalahan yang bersinggungan dengan wewenang dan kekuasaan. Reformasi birokrasi adalah sebuah harapan masyarakat pada pemerentah agar mampu memerangi KKN dan membentuk pemerintahan yang bersih serta keinginan masyarakat untuk menikmati pelayanan public yang efisien,responsip dan akuntabel. Maka dari itu masyarakat perlu mengetahui reformasi birokrasi yang dilakukan saat ini agar kehidupan bernegara berjalan dengan baik,msyarakat juga berposisi sebagai penilai dan pihak yang dilayani pemerintah.

Pada dasarnya Reformasi Birokrasi adalah suatu perubahan signifikan elemen-elemen birokrasi seperti kelembagaan, sumber daya manusia aparatur, ketatalaksanaan, akuntabilitas, aparatur, pengawasan dan pelayanan publik, yang dilakukan secara sadar untuk memposisikan diri (birokrasi) kembali, dalam rangka menyesuaikan diri dengan dinamika lingkungan yang dinamis. Perubahan tersebut dilakukan untuk melaksanakan peran dan fungsi birokrasi secara tepat, cepat dan konsisten, guna menghasilkan manfaat sesuai diamanatkan konstitusi. Perubahan kearah yang lebih baik, merupakan cerminan dari seluruh kebutuhan yang bertitik tolak dari fakta adanya peran birokrasi saat ini yang masih jauh dari harapan. Realitas ini, sesungguhnya menunjukan kesadaran bahwa terdapat kesenjangan antara apa yang sebenarnya diharapkan, dengan keadaan yang sesungguhnya tentang peran birokrasi dewasa ini. 2.1.2 Tujuan Reformasi Birokrasi 1. Memperbaiki kinerja birokrasi agar lebih efektif dan efisien. 2. Terciptanya birokrasi yang profesional, netral, terbuka, demokratis, mandiri, serta memiliki integritas dan kompetensi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya selaku abdi masyarakat dan abdi negara. 3. Pemerintah yang bersih (clean government).

4. Bebas KKN.

(10)
(11)

yang terkendali dari praktek-praktek penyalahgunaan kewenangan dan penyimpangan serta pelanggaran disiplin, tingginya kinerja sumber daya aparatur dan kinerja pelayanan publik).

5. Pengawasan.

Pengawasan ini dilakukan dengan harapan terbangunnya sistem pengawaan nasional dengan elemen-elemen pengawasan fungsional, pengawasan internal, pengawasan eksternal, dan pengawasan masyarakat,ditandai oleh sistem pengendalian dan pengawasan yang tertib, sisdalmen/waskat, wasnal, dan wasmas, koordinasi, integrasi dan sinkronisasi aparat pengawasan, terbentuknya sistem informasi pengawasan yang mendukung pelaksanaan tindak lanjut, serta jumlah dan kualitas auditor profesional yang memadai, intensitas tindak lanjut pengawasan dan penegakan hukum secara adil dan konsisten.

(12)

2.2 Tahap-tahap Reformasi Birokrasi yang Ideal dan Strategi Reformasi Birokrasi

a. Tahap-tahap Reformasi Birokrasi yang Ideal Agar reformasi birokrasi dapat berjalan baik, perlu dilakukan langkah-langkah manajemen perubahan. Manajemen perubahan adalah proses mendiagnosis, menginisialisasi, mengimplementasi, dan mengintegrasi perubahan individu, kelompok, atau organisasi dalam rangka menyesuaikan diri dan mengantisipasi perubahan lingkungannya agar tetap tumbuh, berkembang, dan menghasilkan keuntungan. Ada tujuh langkah manajemen perubahan yang dikutip dari Harvard Business Essentials tahun 2005, yaitu sebagai berikut:

1. Memobilisasi energi dan komitmen para anggota organisasi melalui penentuan cita-cita, tantangan, dan solusinya oleh semua anggota organisasi. Pada tahap ini, setiap lini dalam instansi pemerintah harus tahu apa yang dicita-citakan instansi, apa yang mereka hadapi, dan cara menghadapi atau menyelesaikan masalah itu secara bersama-sama. Agar mereka tergerak untuk menjalankan solusi bersama, mereka perlu dilibatkan dalam diskusi dan pengambilan keputusan. 2. Mengembangkan visi bersama, bagaimana mengatur dan mengorganisasi diri maupun organisasi agar dapat mencapai apa yang dicita-citakan. 3. Menentukan kepemimpinan. Di dalam instansi pemerintahan, kepemimpinan biasanya dipegang para pejabat eselon. Padahal, kepemimpinan harus ada pada semua level agar dapat mengontrol perubahan. Pemimpin tertinggi harus memastikan orang-orang yang kompeten dan jujurlah yang berperan sebagai pemimpin pada level-level di bawahnya. 6. Membuat peraturan formal, sistem, maupun struktur untuk mengukuhkan perubahan, termasuk cara untuk mengukur perubahan yang terjadi. 7. Mengawasi dan menyesuaikan strategi untuk merespons permasalahan yang timbul selama proses perubahan berlangsung. b. Strategi Reformasi Birokrasi 1. Pada level kebijakan, harus diciptakan berbagai kebijakan yang mendorong Birokrasi yang berorientasi pada pemenuhan hak-hak sipil warga (kepastian hukum, batas waktu, prosedur, partisipasi, pengaduan, gugatan). 2. Pada level organisational, dilakukan melalui perbaikan proses rekrutmen berbasis kompetensi, pendidikan dan latihan yang sensitif terhadap kepentingan masyarakat, penciptaan Standar Kinerja Individu, Standar Kinerja Tim dan Standar Kinerja Instansi Pemerintah. 3. Pada level operasional, dilakukan perbaikan melalui peningkatan service quality meliputi dimensi tangibles, reliability, responsiveness, assurance dan emphaty.

(13)

pegawai, masa pengabdian dan kondisi pekerjaan yang lebih luwes. c. Tujuan organisasi dan individu pegawai disusun secara jelas sehingga memungkinkan dibuatkannya tolok ukur prestasi lewat indikator kinerjanya masing-masing, termasuk pula sistem evaluasi program-programnya. d. Staf pimpinan yang senior dapat memiliki komitmen politik kepada pemerintah yang ada, dan dapat pula bersikap non partisan dan netral. e. Fungsi-fungsi pemerintah bisa dinilai lewat uji pasar (market test) seperti misalnya dikontrakkan pada pihak ketiga tanpa harus disediakan atau ditangani sendiri oleh pemerintah. f. Mengurangi peran-peran pemerintah misalnya lewat kegiatan privatisasi. g. Birokrasi harus steril dari akomodasi politik yang menghambat efektivitas pemerintahan.

h. Rekruitmen dan penempatan pejabat birokrasi yang bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme.

2.3 Reformasi Birokrasi Di Indonesia Reformasi yang terjadi menyusul jatuhnya Rezim Orde Baru ternyata tidak seperti yang diharapkan, yaitu reformasi yang mampu mengadakan perubahan kehidupan yang berarti bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Selain itu reformasi juga diharapkan untuk mampu memerangi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme ( KKN ) dan membentuk pemerintahan yang bersih ternyata masih jauh dari realita. Praktek KKN dalam birokrasi pemerintahan dan pelayanan public masih terus berlangsung malah semakin merajalela. Keinginan masyarakat untuk menikmati pelayanan public yang efisien, responsive dan akuntabel masih jauh dari harapan. Masuknya orang-orang baru dalam pemerintahan, baik di legislatif maupun eksekutif juga tidak mampu menciptakan perubahan yang berarti dalam kinerja pemerintahan. Bahkan banyak diantara mereka akhirnya terperangkap dalam lumpur KKN dan ikut memperburuk kinerja birokrasi dan pelayanan publik. Pada masa orde reformasi dan orde sesudahnya (hingga saat ini), reformasi birokrasi telah banyak diwacanakan dan diagendakan,bahkan mungkin telah betul-betul secara serius dilaksanakan. Beberapa diantaranya adalah diberlakukannya PP No.8 tahun 2003 tentang restrukturisasi organisasi pemerintah daerah dengan konsep MSKF (Miskin Struktur Kaya fungsi). Tujuannya jelas adalah untuk rasionalisasi birokrasi di lingkup pemerintahan daerah. Kemudian juga ada perubahan paradigma dari UU Nomor 5 tahun 1974 yang menggunakan the structural efficensy model menuju UU Nomor 22 tahun 1999 yang selanjutnya diperbaharui dengan UU Nomor 32 tahun 2004 yang lebih cenderung menggunakan the local democracy model (Tim Fisipol Unwar,2006) . Agenda reformasi tersebut tampaknya merupakan jawaban atas semakin meningkatnya tuntutan masyarakat serta banyak didorong oleh konsep konsep perubahan yang datang dari luar Indonesia seperti entrepreneurial bureaucracy, reinventing government, good governance dan sebagainya.

(14)

3. Mengakui dan menghormati kemajemukan politik dalam rangka mendorong partisipasi dan mewujudkan desentralisasi (ibid). Meskipun banyak agenda reformasi telah diintrodusir,dalam prakteknya perubahan tersebut cukup sulit dilakukan. Beberapa data membuktikan bahwa birokrasi public di Indonesia pada era reformasi belum sepenuhnya siap menghadapi perubahan. 1. Laporan dari the world competitivness yearbook tahun 1999 yang menyatakan bahwa birokrasi Indonesia berada pada kelompok Negara Negara yang memiliki indeks competitivness yang paling rendah diantara 100 negara yang diteliti (Cullen& Cushman,2000). 2. Hasil penelitian PSKK UGM tahun 20000 di 3 provinsi yang menyimpulkan bahwa kinerja birokrasi dalam pelayanan public masih amat buruk disebabkan oleh kuatnya pengaruh paternalisme (Dwiyanto,20003). 3. Hasil kajian political and economic risk consultancy di 14 negara tahun 2001,menyatakan adanya indikasi kinerja birokrasi di Indonesia yang makin buruk dan korup (Kompas,22 juni 2001)  Struktur, norma, nilai,dan regulasi yang ada juga masih berorientasi pada

kekuasaan.

 Budaya birokrasi yang masih bersifat “dilayani” daripada “melayani”, dan  Banyaknya posisi-posisi terpenting dalam lembaga birokrasi kita yang

tidak diisi oleh orang-orang yang berkompeten. Padahal, birokrasi pada suatu negara merupakan suatu lembaga penting yang merupakan alat negara dalam melayani masyarakat. Oleh karena itu, suatu perubahan pada birokrasi kita harus dilaksanakan, atau melaksanakan reformasi birokrasi. 2. Jumlah pegawai yang berlebihan. 3. Tidak modern atau ketinggalan jaman 4. Seringkali menyalahgunakan wewenang. 5. Tidak ada perhatian atau mengabaikan daerah daerah miskin dan tidak tanggap atas keragaman kebutuhan dan kondisi daerah setempat. Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Pemerintah di Indonesia pada dasarnya dimulai sejak akhir tahun 2006 yang dilakukan melalui pilot project di Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Sejak itu, dikembangkan konsep dan kebijakan Reformasi Birokrasi yang komprehensif yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden No.81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, dan Permenpan-rb No. 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014. Selain itu, diterbitkan pula 9 (sembilan) Pedoman dalam rangka pelaksanaan reformasi birokrasi yang ditetapkan dengan Permenpan-rb No. 7 sampai dengan No. 15 yang meliputi pedoman tentang Pengajuan dokumen usulan sampai dengan mekanisme persetujuan pelaksanaan reformasi birokrasi dan tunjangan kinerja.

(15)

Dalam rangka itu, ditetapkan Permenpanrb No. 1 Tahun 2012 tentang Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi, dan untuk operasionalisasinya ditetapkan Permenpanrb No. 31 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Secara Online.

Pedoman dan Petunjuk Teknis Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB) tersebut merupakan acuan bagi instansi pemerintah untuk melakukan penilaian upaya pencapaian program Reformasi Birokrasi sejalan dengan pencapaian sasaran, indikator dan target nasional. PMPRB mengkaitkan penilaian atas output dan outcome pelaksanaan program reformasi birokrasi di instansi pemerintah, serta pencapaian Indikator Kinerja Utama masing-masing instansi pemerintah dengan indikator keberhasilan reformasi birokrasi secara nasional. Sistem Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB), berperan sangat penting dalam mengetahui dan menilai serta mengawal pencapaian reformasi birokrasi sebagaimana diharapkan.

2.4 Birokrasi Indonesia Sebelum Reformasi Birokrasi di Indonesia menurut Karl D Jackson merupakan bureaucratic polity. Model ini merupakan birokrasi dimana negara menjadi akumulasi dari kekuasaan dan menyingkirkan peran masyarakat dari politik dan pemerintahan. Ada pula yang berpendapat bahwa birokrasi di Indonesia merupakan birokrasi Parkinson dan Orwel. Hal ini disampaikan oleh Hans Dieter Evers. Birokrasi Parkinson merujuk pada pertumbuhan jumlah anggota serta pemekaran struktural dalam birokrasi yang tidak terkendali. Birokrasi Orwel merujuk pada pola birokratisasi yang merupakan proses perluasan kekuasaan pemerintah yang dimaksudkan sebagai pengontrol kegiatan ekonomi, politik dan social dengan menggunakan regulasi yang bila perlu ada

suatu pemaksaan.

Dari model yang diutarakan di atas dapat dikatakan bahwa birokrasi yang berkembang di Indonesia pada masa Orde Baru adalah birokrasi yang berbelit-belit, tidak efisien dan mempunyai pegawai birokrat yang makin membengkak.

Keadaan ini pula yang menyebabkan timbulnya penyimpangan-penyimpangan berikut, seperti : 1. Maraknya tindak KKN 2. Tingginya keterlibatan birokrasi dalam partai politik sehingga pelayanan terhadap masyarakat tidak maksimal 3. Pelayanan publik yang diskriminatif 4. Penyalahgunaan wewenang 5. Pengaburan antara pejabat karir dan non-karir

(16)

(termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat). c. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni : pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan waktu. d. Birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu pembangunan. e. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fleksibel dan responsif. Dari pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa organisasi birokrasi yang mampu memberikan pelayanan publik secara efektif dan efesien kepada masyarakat, salah satunya jika strukturnya lebih terdesentralisasi daripada tersentralisasi. Sebab, dengan struktur yang terdesentralisasi diharapkan akan lebih mudah mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga dengan cepat birokrasi dapat menyediakan pelayanannya sesuai yang diharapkan masyarakat pelanggannya. Sedangkan dalam kontek persyaratan budaya organisasi birokrasi, perlu dipersiapkan tenaga kerja atau aparat yang benar-benar memiliki kemampuan (capabelity), memiliki loyalitas kepentingan (competency), dan memiliki keterkaitan kepentingan (consistency atau coherency).

Oleh karena itu, untuk merealisasikan kriteria ini Pemerintah sudah seharusnya segera menyediakan dan mempersiapkan tenaga kerja birokrasi professional yang mampu menguasai teknik-teknik manajemen pemerintahan yang tidak hanya berorientasi pada peraturan (rule oriented) tetapi juga pada pencapaian tujuan (goal oriented).

  BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

(17)

pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, sebagai wujud profesionalisme dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, harus memerhatikan tiga hal pokok

di bawah ini :

1. Peningkatan kesejahteraan aparat birokrasi pemerintah. 2. Peningkatan etika dan moral birokrasi pemerintah. 3. Peningkatan profesionalisme birokrasi pemerintah. Tujuan reformasi birokrasi: Memperbaiki kinerja birokrasi, Terciptanya good governance, yaitu tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa, Pemerintah yang bersih (clean government), bebas KKN, meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat.

3.2 Saran

1. Diharapkan kepada Pemerintah untuk memperhatinkan pelayanan yang optimal kepada masyarakat. 2. Untuk Peningkatan pelayanan, pemerintah harus memberikan pelayanan yang merata di berbagai aspek 3. Masyarakat bukan hanya sebagai pihak yang dilayani tetapi juga pengawas pelayanan maka pemerintah haruslah memperbaiki system pelayanan hal ini di karenakan takutnya ketidak percayaan masyarakat kepada pemerintah yang menjalankan pelayanan. 4. Diharapkan juga kepada masyarakat agar lebih berpartisipatif dalam pelaksanaan reformasi birokrasi, prinsip-prinsip good governance, pelayanan publik, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang baik, bersih, dan berwibawa, serta pencegahan dan percepatan pemberantasan korupsi. 5. Mengupayakan penataan perundang-undangan, dengan menyelesaikan rancangan undang-undang yang telah ada, Agar reformasi birokrasi guna mencegah buruknya birokrasi dapat berjalan dengan baik dengan adanya legalitas secara hukum dalam pelaksanaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Benveniste, Guy. 1997. Birokrasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Dwiyanto, Agus, dkk. 2006. reformasi birokrasi public di Indonesia. Yogyakarta: UGM press. Qodri azizy, abdul. 2007. Change management dalam reformasi birokrasi. jakarta: gramedia, Thoha, Miftah. 2007. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Referensi

Dokumen terkait

Hastuti dkk, (2011) menyatakan bahwa amoniasi berfungsi memutuskan ikatan antara selulosa dan lignin, serta membuat ikatan serat menjadi longgar, sedangkan dalam

Gejala yang selalu ada : perdarahan segera, darah segar mengalir segera setelah bayi lahir, kontraksi uterus baik, plasenta baik.Gejala yang kadang – kadang

MA'HADUT THOLABAH Sejarah Kebudayaan Islam KAB.. LEBAKSIU Sejarah Kebudayaan

11 92 Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian deskriptif, yang dimaksudkan untuk mendapatkan informasi lebih terperinci dengana cara

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder mengenai laporan keuangan yang dimiliki oleh bank yang terdaftar pada Bursa Efek

Citizen-initiated contact with local authorities is often more than just outcries or proclamations, and the deliberative quality of stated claims clearly varies across individuals

Parameter-parameter tersebut merupakan rangkuman dari beberapa penelitian mengenai penilaian kinerja sistem informasi yang berhasil diinventarisir delone&mclean