• Tidak ada hasil yang ditemukan

S2 2015 342401 introduction

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "S2 2015 342401 introduction "

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Indonesia merupakan negara hukum (rechtsstaat), yang berarti Indonesia menjunjung tinggi hukum dan kedaulatan hukum. Hal ini sebagai konsekuensi dari ajaran kedaulatan hukum bahwa kekuasaan tertinggi tidak terletak pada kehendak pribadi penguasa (penyelenggara negara/pemerintah), melainkan pada hukum. Kekuasaan hukum terletak di atas segala kekuasaan yang ada dalam negara dan kekuasaan itu harus tunduk pada hukum yang berlaku. Kewenangan pemerintah dalam negara kesejahteraan sangat luas yaitu meliputi hampir seluruh aspek kehidupan rakyat, karena itu pemerintah mempunyai wewenang diskresi untuk bertindak atas prakarsa sendiri, tidak berdasarkan peraturan perundangan. Untuk menjaga tindakan pemerintah terutama yang berdasarkan wewenang diskresi, agar tidak menjadi tindakan yang sewenang-wenang maka dibentuklah lembaga pengontrol salah satunya ialah Peradilan Tata Usaha Negara (Peradilan TUN). 1

Peradilan TUN merupakan keseluruhan proses atau aktivitas hakim tata usaha negara yang didukung oleh seluruh fungsionaris pengadilan dalam melaksanakan fungsi mengadili baik di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) maupun Mahkamah Agung.2 Peradilan TUN sebagai lingkungan peradilan yang terakhir dibentuk,

1

Muchsan, 1982, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, hlm. 2

2 W. Riawan Tjandra, 2009, Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN): Mendorong

(2)

2

yang ditandai dengan disahkannya UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada tanggal 29 Desember 1986.

Pertimbangan pembentukan Peradilan TUN yang termuat pada

konsideran “menimbang” undang-undang tersebut disebutkan bahwa salah satu

tujuan dibentuknya Peradilan TUN adalah untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram serta tertib yang menjamin hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras antara aparatur di bidang tata usaha negara dengan warga masyarakat, sehingga lahirnya Peradilan TUN menjadi bukti bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kepastian hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Tujuan dibentuknya Peradilan TUN berkaitan dengan kompetensi Peradilan TUN dalam sistem peradilan di Indonesia yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara antar anggota masyarakat dan pihak pemerintah yang ditimbulkan sebagai akibat ditetapkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang merugikan individu atau badan hukum perdata sebagai pihak pencari keadilan. Fungsi Peradilan TUN apabila dikaitkan dengan asas keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat yang bertumpu atas asas kerukunan, dapat diketengahkan tiga fungsi utama peradilan administrasi negara, yaitu fungsi penasihatan, fungsi perujukan dan fungsi peradilan.3

3 Philipus M. Hadjon, dkk, 2008, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction

(3)

3

Untuk mengetahui mengenai pengertian sengketa tata usaha negara, maka perlu dilihat dari perumusan Pasal 1 angka 10 UU No. 51 Tahun 2009 yang berbunyi sebagai berikut :

“sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Bentuk penyelesaian sengketa tata usaha negara yang melalui fungsi Peradilan TUN yaitu dihasilkannya Putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap. Adanya Putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap dimaksudkan untuk menjadi jalan keluar hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kepastian hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) bagi pencari keadilan, sehingga pelaksanaan putusan menjadi hal yang krusial untuk dilakukan sebagai wujud perlindungan hukum bagi pencari keadilan. Hal tersebut dikarenakan sesuai ketentuan Pasal 115 UU No. 5 Tahun 1986,

menyebutkan bahwa “hanya putusan Pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan”.

(4)

4

menciptakan prilaku aparatur yang bersih dan tata hukum, serta sadar akan tugas dan fungsinya sebagai pelayan dan pengayom masyarakat.4 Hal tersebut disebabkan masih terdapat Putusan PTUN yang tidak dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (Pejabat TUN).

Putusan PTUN hanya dapat dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan karena terhadap KTUN berlaku asas contractus actus, yaitu asas yang menyatakan penarikan kembali atau perubahan suatu keputusan harus memenuhi persyaratan yang sama seperti pada waktu keputusan itu dibuat.5 Adanya asas contractus actus mempunyai implikasi terhadap KTUN yang menuntut perubahan dengan dilakukannya pencabutan dan penerbitan kembali KTUN tidak dapat dilaksanakan oleh selain Badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan, sehingga tidak dapat diwakilkan ataupun digantikan.

Adanya kemungkinan tidak dilaksanakan putusan PTUN berkaitan dengan berlakunya asas self respect. Eksekusi Putusan PTUN yang dilaksanakan sebelum adanya revisi UU No. 5 Tahun 1986 telah dipengaruhi oleh asas self respect/self obidence dan sistem floating execution, yaitu kewenangan melaksanakan Putusan PTUN yang sudah berkekuatan hukum tetap, sepenuhnya diserahkan kepada badan atau pejabat yang berwenang, tanpa adanya kewenangan bagi Peradilan Tata Usaha Negara untuk menjatuhkan sanksi.

4 Titik Triwulan dan Ismu Gunadi Widodo, 2014, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum

Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Kencana, Jakarta, hlm. 567

5 Prins-R. Kosim Adisapoetra, 1976, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara,

(5)

5

Proses pelaksanaan Putusan PTUN, setelah UU No. 5 Tahun 1986 direvisi, lebih memperlihatkan dipergunakannya sistem fixed execution, yaitu eksekusi yang pelaksanaannya dapat dipaksakan oleh pengadilan melalui sarana-sarana pemaksa yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.6 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara tampaknya justru memadukan sebagian sistem eksekusi yang pernah diatur pada UU No. 5 Tahun 1986 dan UU No. 9 Tahun Tahun 2004. Hal ini dapat dicermati dari sistem pelaksanaan Putusan PTUN sebagaimana diatur pada Pasal 116 UU No. 51 Tahun 2009.

Ketentuan dalam Pasal 116 UU No. 51 Tahun 2009 mengatur kembali kewajiban yang hampir sama dengan rumusan Pasal 116 UU No. 5 Tahun 1986 mengenai kewajiban bagi Ketua PTUN untuk mengajukan perihal ketidakpatuhan badan atau Pejabat TUN kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan Putusan PTUN, namun juga terlihat bahwa sifat fixed execution dalam pelaksanaan putusan PTUN terlihat tetap ditekankan karena eksistensi Pasal 116 ayat (5) tersebut didahului pengaturan mengenai kewenangan PTUN untuk menjatuhkan upaya paksa berupa penerapan uang paksa dan/atau sanksi administratif.7

Eksekusi terhadap ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, yaitu kewajiban berupa pencabutan KTUN (beschikking) merupakan satu-satunya kewajiban Badan atau Pejabat TUN yang tidak memerlukan upaya

6

W. Riawan Tjandra, Op.Cit, hlm. 209

7 W. Riawan Tjandra, 2010, Teori & Praktik Peradilan Tata Usaha Negara, Universitas

(6)

6

paksa dalam eksekusi putusan PTUN. Hal ini dikarenakan, terhadap kewajiban ini diberlakukan ketentuan dalam Pasal 116 ayat (2) UU No. 51 Tahun 2009, sehingga apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja Badan atau Pejabat TUN tidak melaksanakan putusan PTUN yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang memerintakan dilakukan pencabutan KTUN, maka secara otomatis KTUN tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Cara eksekusi seperti ini, oleh Paulus Effendie Lotulung8 disebut eksekusi otomatis.

Penjatuhan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif diperlukan terhadap Badan atau Pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan PTUN yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Putusan PTUN yang dimaksud tersebut yang memerintahkan terhadap Badan atau Pejabat TUN untuk melakukan kewajiban sebagai berikut: 1. Pencabutan KTUN yang bersangkutan dan menerbitkan keputusan yang

baru (Pasal 97 ayat (9) huruf b);

2. Penerbitan KTUN dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3 (Pasal 97 ayat (9) huruf c);

Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 tersebut menentukan:

(1) Apabila Badan atau Pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.

(7)

7

tata usaha negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.

(3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimnya permohonan, Badan atau Pejabat tata usaha negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.

Bagi Indroharto,9 Pasal 3 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 merupakan ketentuan bahwa setiap Badan atau Pejabat TUN wajib melayani setiap permohonan warga masyarakat yang ia terima. Apabila hal yang dimohonkan kepadanya itu menurut peraturan dasarnya menjadi tugas kewajibannya dan jika ia melalaikan kewajiban itu, maka walaupun ia tidak berbuat apa-apa terhadap permohonan yang diterimanya itu, peraturan perundang-undangan menganggap Pejabat TUN telah mengeluarkan keputusan yang isinya menolak permohonan tersebut.

Keputusan yang tidak dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN, padahal menjadi kewajiban dari Badan atau Pejabat TUN untuk mengeluarkan keputusan tersebut, dalam literatur Hukum Tata Usaha Negara10 disebut KTUN fiktif, karena keputusan ini dianggap seolah-olah ada, padahal sebenarnya secara faktual dalam bentuk penetapan tertulis tidak ada dan disebut KTUN Negatif, karena Badan atau Pejabat TUN dianggap telah mengeluarkan keputusan yang isinya menolak permohonan.

Ketentuan mengenai penjatuhan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang sebelumnya dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 42

9

Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II, cetakan keempat, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 184-185

(8)

8

Tahun 1991 jo. Pasal 5 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1129 Tahun 1991, memang mengatur dapat diberikannya sanksi administratif terhadap Badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan, tetapi penjatuhan sanksi administratif itu limitatif hanya berkaitan dengan kelalaiannya yang mengakibatkan negara membayar ganti kerugian. Oleh karena itu, tidak ada kaitannya dengan perbuatan yang tidak mau melaksanakan Putusan PTUN yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut,11 sehingga Peraturan Pemerintah tersebut tidak berlaku terhadap Badan atau Pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan PTUN.

Sanksi administratif adalah sanksi yang dijatuhkan sendiri oleh Badan atau Pejabat TUN yang mempunyai wewenang untuk menjatuhkan sanksi tersebut. Sanksi administratif tidak hanya sanksi yang berupa hukuman disiplin sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS), tetapi dapat berupa sanksi yang lain, misalnya alih tugas jabatan yang semula jabatannya adalah pimpinan, kemudian dialihkan menjadi staf. Hal tersebut berlaku apabila Badan atau Pejabat TUN adalah pegawai negeri sipil. Apabila Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan KTUN berstatus sebagai pejabat negara seperti Bupati dan Gubernur atau pejabat lain yang ditentukan dalam Undang-Undang, maka terhadap pejabat negara tersebut tidak dapat diterapkan Peraturan Pemerintah tentang disiplin PNS.

11 Zairin Harahap, 2014, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Rajawali Pers,

(9)

9

Penerapan upaya paksa berupa sanksi administratif sebagai penyangga agar dilaksanakannya putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap merupakan upaya untuk menjamin perlindungan hukum bagi pencari keadilan, namun hingga saat sebelum UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Administrasi Pemerintahan) diberlakukan, peraturan pelaksana yang secara eksplisit mengatur tentang Pejabat TUN belum tersedia. UU Administrasi Pemerintahan yang mengatur mengenai sanksi administrasi Pejabat TUN untuk saat ini pun belum dapat diterapkan sampai peraturan pelaksana dikeluarkan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun, sehingga terdapat kekosongan hukum selama 2 (dua) tahun tersebut.

Jaminan perlindungan pencari keadilan terhadap Pejabat TUN yang tidak melaksanakan Putusan PTUN masih menjadi kelemahan kontroversial dan fundamental bagi efektifnya penegakan hukum di bidang administrasi/Tata Usaha Negara. Hal ini tentu saja menjadikan pelaksanaan Putusan PTUN oleh Pejabat Tata Usaha Negara terhadap kewajiban penerbitan KTUN baru akibat pencabutan KTUN sebelumnya tersebut menarik untuk dikaji lebih lanjut dari perspektif keilmuan terutama dari aspek ilmu hukum dan studi kasus putusan-putusan pengadilan (Putusan PTUN Surabaya Nomor: 60/G/2010/PTUN.Sby dan Putusan PTUN Semarang Nomor: 57/G/TUN/2001/PTUN.Smg.).

B.Perumusan Masalah

(10)

10

1. Bagaimana pelaksanaan Putusan PTUN terhadap kewajiban penerbitan KTUN di PTUN Surabaya dan Semarang (Putusan PTUN Surabaya Nomor: 60/G/2010/PTUN.Sby dan Putusan PTUN Semarang Nomor: 57/G/TUN/2001/PTUN.Smg.)?

2. Apa kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan Putusan PTUN terhadap kewajiban penerbitan KTUN di PTUN Surabaya dan Semarang (PTUN Surabaya Nomor: 60/G/2010/PTUN.Sby dan Putusan PTUN Semarang Nomor: 57/G/TUN/2001/PTUN.Smg.)?

3. Bagaimana pengoptimalan pelaksanaan Putusan PTUN terhadap kewajiban penerbitan KTUN dalam mewujudkan perlindungan hukum bagi pencari keadilan?

C.Tujuan Penelitian

Suatu kegiatan penelitian dilakukan pasti terdapat tujuan yang hendak dicapai. Tujuan tersebut sebagai pemecahan atas permasalahan yang dihadapi maupun untuk memenuhi kebutuhan perorangan. Selain itu kegiatan penelitian ini diharapkan dapat menyajikan data yang akurat dan memiliki validitas untuk menyelesaikan masalah. Berpijak dari hal tersebut maka penulis mengkategorikan tujuan penelitian dalam tujuan deskriptif, tujuan kreatif, dan tujuan inovatif sebagai berikut:

(11)

11

2. Tujuan kreatif yaitu untuk menganalisis kendala pelaksanaan Putusan PTUN terhadap kewajiban penerbitan KTUN.

3. Tujuan inovatif yaitu untuk memberikan solusi baru mengenai pelaksanaan Putusan PTUN terhadap kewajiban penerbitan KTUN dalam mewujudkan perlindungan hukum bagi pencari keadilan.

D.Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan masukan yang baik dari sudut ilmu pengetahuan maupun dari sudut praktis, antara lain:

1. Manfaat Teoritis

Sebagai bahan masukan dan kontribusi pemikiran dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah wawasan penulis dalam pelaksanaan sistem PTUN dan bidang hukum kenegaraan pada umumnya dan hukum administrasi negara pada khususnya serta dapat memberikan informasi dan pemahaman yang mendalam mengenai pelaksanaan Putusan PTUN oleh Pejabat TUN terhadap kewajiban penerbitan KTUN.

2. Manfaat Praktis

(12)

12

Pejabat TUN terhadap kewajiban penerbitan KTUN dalam mewujudkan perlindungan hukum bagi pencari keadilan melalui sistem PTUN.

E.Keaslian Penelitian

Keaslian penelitian dapat diartikan bahwa masalah yang dipilih belum pernah diteliti oleh penulis sebelumnya atau harus dinyatakan dengan tegas bedanya dengan penulis yang sudah pernah dilakukan.12 Setelah menelusuri kepustakaan, kemudian dapat diketahui bahwa penelitian tentang “Tinjauan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Terhadap Kewajiban Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara (Studi Putusan PTUN Surabaya Nomor: 60/G/2010/PTUN.Sby dan Putusan PTUN Semarang Nomor: 57/G/TUN/2001/PTUN.Smg.)” sampai saat ini belum ada yang meneliti, namun demikian penulis temukan hasil penelitian yang telah dipublikasikan memiliki objek penelitian serupa, meskipun demikian didalamnya tidak terdapat kesamaan. Dalam hal ini, penulis menjadikan hasil-hasil penelitian tersebut sebagai bahan pertimbangan dan acuan dalam melaksanakan penelitian. Adapun hasil penelitian tersebut ditulis oleh Delta Arga Prayudha,13 dengan judul penulisan “Ultra Petita Dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha

Negara Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat Pencari Keadilan (Tinjauan Hukum Progresif) dari Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Penelitian ini memiliki permasalahan mengenai:

12 Maria S.W. Sumardjono, 2001, Pedoman Usulan Penelitian, Gramedia, Jakarta, hlm 18

13 Delta Arga Prayudha, 2013, Ultra Petita Dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara

(13)

13

1. Bagaimana implikasi dari aturan normatif yang mengatur tentang ultra petita dalam Peradilan TUN terhadap putusan PTUN?

2. Bagaimana penerapan ultra petita dalam putusan PTUN dalam upaya perlindungan hukum bagi masyarakat pencari keadilan dipandang dari segi kebutuhan hukum yang ada saat ini (tinjauan hukum progresif)?

Kesimpulan pertama dari hasil penelitian di atas adalah dalam hukum acara PTUN, meskipun secara normatif muatan ultra petita dilarang karena menurut Undang-Undang Mahkamah Agung dapat dijadikan sebagai alasan mengajukan peninjauan kembali, akan tetapi dalam perkembangannya amar putusan reformatio in peius dimungkinkan untuk dijatuhkan. Dalam perkembangannya ketentuan larangan ultra petita di lingkungan Peradilan TUN tidaklah berlaku mutlak. Jurisprudensi sebagai bagian dari sumber hukum formil dalam Hukum Acara PTUN menjadi pijakan hukum bagi para hakim TUN untuk mengeluarkan putusan ultra petita sebatas pada reformatio in peius. Namun dalam hal ultra petita yang bukan merupakan reformatio in peius dapat berimplikasi yuridis terhadap putusan tersebut dapat dibatalkan ditingkat banding kasasi, maupun peninjuan kembali.

(14)

14

dalam perkara Kholik Hidayat (penggugat) melawan Kepala Desa Tipar, Kecamatan Rawalo Kabupaten Banyumas (tergugat), Hakim PTUN telah berani melakukan kreatifitas yang berwujud penemuan hukum dan terobosan-terobosan hukum dalam menjadikan putusan tersebut lebih bermakna dan fungsional bagi terciptanya keadilan. Namun, kreatifitas apapun yang dilakukan oleh penegak hukum dapat menjadi tidak bermakna progresif manakala tidak untuk mewujudkan keadilan substansif.

Perbedaan antara tesis yang penulis susun dengan tesis di atas adalah bahwa tesis tersebut lebih mentikberatkan kepada penerapan ultra petita dalam putusan Peradilan TUN dalam upaya perlindungan hukum bagi masyarakat pencari keadilan dipandang dari segi kebutuhan hukum yang ada saat ini, sedangkan tesis yang Penulis susun lebih mengarah kepada pelaksanaan Putusan PTUN terhadap kewajiban penerbitan KTUN baru dalam mewujudkan perlindungan bagi pencari keadilan terkait adanya kendala dan penolakan dalam proses pelaksanaan Putusan PTUN yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Selain itu juga terdapat penulisan Tesis oleh Mahasiswi Program Studi Magister Kenotariatan bernama Era Yustika Adillah,14 yang berjudul Tinjauan Yuridis Kekuatan Hukum Risalah Lelang Atas Lelang Eksekusi Putusan Pengadilan No. 64/Pdt.G/1991/PN.Yk. dengan Adanya Putusan Kasasi No. 1817 K/PDT/2000. Penelitian ini memiliki permasalahan mengenai:

14 Era Yustika Adillah, 2010, Tinjauan Yuridis Kekuatan Hukum Risalah Lelang Atas

(15)

15

1. Bagaimanakah kekuatan hukum risalah lelang atas lelang eksekusi putusan Pengadilan No. 64/Pdt.G/1991/PN.Yk. dengan adanya Putusan Kasasi No. 1817 K/PDT/2000?

2. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi pemenang lelang pada lelang eksekusi putusan Pengadilan tersebut?

Kesimpulan pertama dari tesis tersebut adalah lelang eksekusi putusan Pengadilan No. 64/Pdt.G/1991/PN.Yk telah dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang berlaku, sehingga sah menurut hukum dan tidak dapat dinyatakan batal. Kebatalan suatu lelang hanya dapat dilakukan dengan diajukan gugatan ke Pengadilan, mengenai kebenaran materiil dari subjek lelang dan obyek lelang. Dalam putusan Kasasi No. 1817 K/Pdt/2000 mengenai perlawanan atas pelaksanaan lelang tersebut tidak terbukti adanya pelanggaran pada kebenaran formal pelaksanaan lelang tersebut tetap dinyatakan sah dan risalah lelang tetap berlaku, mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak.

(16)

16

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan yang ingin dicapai dalam rangka implementasi Visi dan Misi Pendidikan Tinggi tahun 2015 – 2019 yang berhubungan dengan ISI Padangpanjang adalah: 1)

Lomba Portofolio Perangkat Lunak menyeleksi kemampuan dan kreativitas peserta dalam mengembangkan ide kreatif untuk memberikan penyelesaian masalah di Indonesia

berdasarkan tarif atau biaya tera yang terdapat dalam lampiran Perda Provinsi Sumatera Selatan Nomor 12 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor

Dengan mengucap syukur Alhamdulillahirabbil’alamin, beserta rahmat dan kehadirat Allah SWT, karena berkat karunia-Nya penulis mampu menyelesaikan Skripsi yang

HATIBINWASDA dapat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Administrasi Persidangan dan Pelaksanaan Putusan antara lain meliputi : pembagian perkara, penentuan

2 Etika Keilmuan dan Penelitian 3 Penyusunan KTI Internasional 4 Kebijakan Program dan Litbang 5 Kepemimpinan dalam Litbang 6 Pengelolaan Litbang Multi-Disiplin 7 Kerjasama Litbang

Penelitian di Korea Selatan tahun 2010, sniffing position dengan penggunaan bantal 9 cm selama tindakan laringoskopi memberikan visualisasi glotis terbaik yang signifikan atau

Persam aan dengan tesis yang penulis susun adalah adanya alas bukti hak yang hanya sura t pernyataan tana h, yang m enjadi perbedaaan dengan tesis ya ng penulis