OTENTIK ADALAH “YANG” BERBUDAYA
(RESUME “MENYIBAK TABIR POLITIK OTENTIK ARENDTIAN: SEBUAH
PEMBACAAN DARI PERSPEKTIF ETIKA POLITIK)
Oleh. Marianus Ivo Meidinata, O.Carm (15007)
Setiap orang perlu mengerti antara yang politis dan yang apolitis, sebelum masuk pada pengertian politik otentik Arendtian. Politik dan yang apolitis menjadi realitas dalam kehidupan politik/ruang publik sekitar. Realitas yang terjadi inilah yang dapat dijadikan sebagai cermin untuk lebih mengerti politik otentik. Realitas atau gambaran nyata akan lebih hidup dan mudah dipahami, dibanding dengan teori/materi saja. Maka, baik jika yang nyata ini digunakan dan dilihat, sekaligus dikenal dalam perspektif politik menurut Arent.
Politik Otentik Arendtian
Dalam menyelesaikan masalah kekeringan, pemerintah Kota Batu melaksanakan survei dan pertemuan dengan masyarakat khususnya para petani. Pemerintah mengunjungi daerah pertanian dan menerima aspirasi dari masyarakat. Aspirasi yang ada kemudian dilihat kembali untuk memutuskan langkah yang tepat dari penyelesaian masalah yang ada.1 Berbeda dengan yang terjadi di Desa Awar-Awar, Lumajang. Izin pengambilan pasir pantai yang diberikan oleh pemerintah desa kepada ‘oknum pembisnis’ mendapat kecaman dari masyarakat. Kecaman ini pun berujung pada pembunuhan seorang warga oleh aparat desa karena ikut mengecam pengambilan pasir pantai.2
Dua realitas di atas menunjukkan perbedaan antara yang politis dengan yang apolitis. Politik otentik adalah politik yang lebih menjunjung kebebasan, pluralitas, dan komunikasi (terwujud dalam musyawarah di Kota Batu). Dalam politik otentik, hak-hak setiap pribadi diutamakan sehingga kebersamaan dalam forum politik menjadi lebih khas dan terbuka. Berbeda dengan sikap pemerintah Desa Awar-Awar, Lumajang yang terlihat masih apolitik. Sikap apolitik yang menekan hak-hak setiap pribadi dipraktekkan dengan sikap dominasi, uniformisasi, dan totalisasi yang dilakukan oleh pemerintah. Bukan lagi politik yang berkuasa, tetapi dia/mereka yang kuat dan hebat yang berkuasa.
Berpikir, berkehendak, dan menilai adalah aktivitas penting dalam diri seseorang. Lewat ketiga aktivitas ini, seseorang mampu memproduksi politik otentik. Seseorang yang berani berpikir sendiri akan mampu menemukan mana yang benar dan salah dalam berkehendak. Proses berpikir yang berlanjut pada berkehendak ini, kemudian memunculkan dialog dalam diri sendiri. Dialog inilah yang menjadi acuan seseorang menilai dan memutuskan setiap masalah dalam perspektif bersama. Aktivitas ini perlu dilakukan sebelum seseorang mulai menunjukkan sikap politik di tengah masyarakat. Proses awal ini membentuk pribadi-pribadi yang politis dan cakap dalam berpolitik otentik.
Setelah aspek internal diolah, seseorang tersebut siap melaksanakan politik yang terwujud dalam kerja, karya, dan tindakan. Tiga hal ini melatih setiap orang untuk memahami dan memaknai hidup bagi orang lain. Kasus yang terjadi di Lumajang dapat diartikan bahwa aparat desa belum mengolah aspek internal maupun eksternal. Tujuan yang dikejar masih demi ‘perut’ sendiri dan terlihat tidak memiliki etika. Berbeda dengan pemerintah Kota Batu, kerja dan karya difokuskan pada sebuah ‘tindakan’ komunikasi dengan masyarakat. Dari tindakan ini, ruang publik mulai terlihat dan berfungsi mempertemukan pendapat/aspirasi banyak orang. Di tempat inilah, aktivitas internal dan eksternal bermuara. Di tempat inilah, dilahirkan politik otentik yang mempertahankan hak-hak asasi manusia, kebebasan, pluralitas, demokrasi, dan partisipasi politik. Dan di tempat inilah, praktek privatisasi dan komersialisasi politik disingkirkan.
Budaya Indonesia: Politik Otentik
Ternyata politik otentik menurut Arendt ini sejak dahulu sudah dilaksanakan oleh bangsa Indonesia. Sebelum Indonesia mengenal politik otentik, Indonesia sudah melaksanakan politik secara benar. Budaya musyawarah yang masih dilakukan di Kota Batu adalah bentuk politik otentik Indonesia. Budaya musyawarah di Indonesia bertujuan untuk menyelesaikan masalah dalam masyarakat. Musyawarah digunakan sebagai kontrol sosial supaya kepentingan bersama dapat diselesaikan secara kekeluargaan di tengah kebersamaan.3 Hak asasi manusia, kebebasan, pluralitas, demokrasi, dan partisipasi politik sungguh terwujud. Dahulu Indonesia buta akan teori politik otentik, namun telah melaksanakan dan menjunjung budaya ini.
1Endnotes:
Radar Batu, Abaikan Hujan Buatan, Tata Saluran Irigasi, 16 Oktober 2015, hlm. 35.
2 Jawa Pos, Jawab Hakim, Kades Baca Kerpekan, 13 Oktober 2015, hlm. 23.
3 Bdk. Oetojo Oesman Alfian (ed.), Pancasila Sebagai Ideologi, (Jakarta: Departemen Penerangan Republik Indonesia, 1991), hlm. 192.