• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI-NILAI ANTIKORUPSI DALAM PENDIDIKAN ISLAM (Tinjauan Normatif Aspek Kurikulum Pendidikan Agama Islam Terhadap Pendidikan Antikorupsi) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "NILAI-NILAI ANTIKORUPSI DALAM PENDIDIKAN ISLAM (Tinjauan Normatif Aspek Kurikulum Pendidikan Agama Islam Terhadap Pendidikan Antikorupsi) SKRIPSI"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI-NILAI ANTIKORUPSI DALAM PENDIDIKAN ISLAM (Tinjauan Normatif Aspek Kurikulum Pendidikan Agama Islam

Terhadap Pendidikan Antikorupsi)

SKRIPSI

Oleh :

BHAYU SULISTIAWAN NPM : 20040720049

FAKULTAS AGAMA ISLAM

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (TARBIYAH)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

(2)

NILAI-NILAI ANTIKORUPSI DALAM PENDIDIKAN ISLAM (Tinjauan Normatif Aspek Kurikulum Pendidikan Agama Islam Terhadap

Pendidikan Antikorupsi)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) Strata Satu Pada Fakultas Agama Islam

Jurusan Pendidikan Agama Islam (Tarbiyah) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Oleh:

BHAYU SULISTIAWAN NPM: 20040720049

FAKULTAS AGAMA ISLAM

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (TARBIYAH) UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

MOTTO

”Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang Telah diusahakannya. Dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling

sempurna”. (Q.S. Al-Najm/53: 39-41)

!

"

”Maka apabila kamu Telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, Dan Hanya kepada Tuhanmulah hendaknya

kamu berharap” (Q.S. Alam Nasyrah/94:7-8)

”Sebagian dari kebaikan keislaman seseorang ialah

meninggalkan sesuatu yang tidak berguna bagi dirinya”. (Al-Hadits)

du chocs des opinions jaillit la verité, du chocs des idees jaillit la lumiere.

(dari benturan berbagai opini akan muncul sebuah kebenaran, dari benturan berbagai gagasan akan muncul sinar (kebenaran). (Idiom Perancis)

”Kemajuan yang kau dapatkan tidaklah terukur dengan keberhasilanmu memperbaiki segala apa yang telah terjadi, melainkan bagaimana kau merengkuh

(6)

PERSEMBAHAN

Dengan tidak mengurangi rasa syukurku kepada Allah SWT, Tuhan sumber segala ”muara” esensi.

Kupersembahkan totalitas usaha, karya, dan buah pikiran, Skripsi ini untuk:

Bapak dan Ibuku tercinta, yang telah membesarkan dan selalu memberikan tarbiyah dan ta’dib,

kasih sayang, semangat, pengertian dan do'a yang tak terputus-putus untuk keberhasilanku.

Adikku-adikku tersayang,

yang selalu mengalah dan “dikorbankan”

untuk mendahulukan cita-cita Bapak yang dititipkan kepadaku.

B ”250406” R_tie,S.Pd.I; for a long time...

whenever and wherever you are... Yes, we can!!!

Pemda Kota dan Kabupaten Bekasi, yang tetap mengunggulkan kepentingan bangsa

dan membimbing para putera daerah.

Almamaterku, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillâhilladzî nawwaranâ bi al’ilmi wa al’aqli. Segenap puja dan puji syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan petunjuk, bimbingan dan kekuatan lahir batin kepada diri peneliti, sehingga penelitian hasil dari sebuah usaha ilmiah yang sederhana ini guna menyelesaikan tugas akhir kesarjanaan terselesaikan dengan sebagaimana mestinya, setelah menjalani proses akademik yang cukup panjang. Sholawat dan salam semoga dilimpahkan oleh-Nya kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, sosok historis yang membawa proses transformasi dari masa ”uncivilized” yang gelap gulita ke arah alam yang sangat terang benderang dan berperadaban ini, juga kepada para keluarga, sahabat serta semua pengikutnya yang setia disepanjang zaman.

(8)

perdana penulis di bidang kependidikan, bukan hanya untuk memenuhi kewajiban akademik (scholar duty) an sich.

Cukup terharu rasanya ketika penulis telah menyelesaikan proses akademik dan penyusunan skripsi ini. Karena dengan media ini penulis telah banyak belajar, berfikir, berimajinasi, mencurahkan segenap kemampuan dalam hal pemikiran, kreativitas dan ketelitian untuk memenuhi kebutuhan kurioritas (rasa ingin tahu) penulis atas problematika korupsi dalam mengarungi suatu

setting pertempuran intelektualitas yang cukup menantang sehingga dapat mencari

dan menemukan identitas diri sebagai seorang manusia yang dianugerahi akal oleh Sang Kholiq. Oleh karenanya, penulis semakin sadar akan berbagai kelemahan, kebodohan dan keterbatasan yang ada dalam diri penulis, ”wamâ

ûtîtum min al’ilmi illa qalîlan”.

Dalam proses penyusunan penelitian tersebut, peneliti banyak mendapatkan bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, oleh karena itu izinkan peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada hamba-hamba Allah yang membantu peneliti sehingga karya sederhana ini bisa menjadi kenyataan, bukan hanya angan dan keinginan semata. Mereka adalah:

1. Bapak Ir. H. Dasron Hamid, M.Sc, selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

(9)

3. Bapak Drs. Syamsudin Hs, M. Pd, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam (Tarbiyah) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

4. Bapak Nurwanto, MA, selaku dosen pembimbing yang telah dengan tekun dan sabar serta meluangkan waktu untuk membimbing peneliti dan memberikan kritik konstruktif dalam proses penyusunan penelitian ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen yang telah membimbing, mendidik dan memberikan pencerahan untuk selalu berpikir kritis-edukatif-transformatif-inovatif menggali ayat-ayat qauliyyah dan kauniyyah selama berada di lingkungan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

6. Bapak serta Ibu karyawan UMY yang dengan rela dan senang hati untuk memberikan pelayanan dari awal hingga akhir studi. Pak. Taufik, Pak Tarlan, Bu Nurul, Pak Muji, Pak Wardani, Pak Joko, Mas Suryadi, Mas Syarif, terima kasih atas pelayanan yang diberikan.

7. Bapak Drs. Mas’udi, M. Ag, terima kasih atas pemberian bukunya berjudul

NU Melawan Korupsi: Kajian Tafsir dan Fiqih” dan juga buku ”Fikih

Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah Majelis Tarjih dan Tajdid PP

Muhammadiyah”. Pemberian bapak sangat membantu kelancaran penyusunan

karya ini. Jazakumulloh khairon katsiron.

(10)

FAI ataupun korkom UMY. Hasil diskusi kita dengan kawan-kawan sangat membantu dalam membahas penelitian ini. Yakin Usaha Sampai, semoga cepat dapat gelar Doktornya prof...

9. Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pendidikan (LP3) dan Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah meminjamkan beberapa sumber referensi.

10. Ayah dan Ibu yang senantiasa mendo'akan dan memberikan perhatian, motivasi serta kasih sayang yang tiada tara sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini sebagai kulminasi formal perkuliahan dengan baik.

11.Adik-adikku tercinta (Guntur, Bunga) yang selalu memberikan motivasi serta kesabarannya untuk membantu meringankan perjalanan studiku.

12.Semua keluargaku di Bekasi, Sukabumi, Kutoarjo yang senantiasa mendo’akanku dengan penuh tulus ikhlas.

13.Ristyawati, S. Pd.I, yang senantiasa membantu, menyemangati, memarahi, menyarankan, mengingatkan (baik dengan tawa maupun air mata) serta mendoa'kanku selama proses penyusunan penelitian ini hingga selesai. Your

existence is complement in my life. Kamu adalah bukti dari idiom Arab:

”Al-hayâtu bighoiri habîbah kahayâti al-ghorîbah”

(11)

15.Bang Dedi Sutomo, SEI, Surawan, S. Pd.I, Bagus ”olenk”, S. Pd.I, terima kasih atas saran-sarannya dari perjumpaan kita waktu sharing-sharing, juga untuk Gus Bowo dan Via Zubed atas bantuannya selama ini.

16.Teman-teman aktifis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)-MPO yang selalu semangat dengan idealisme perjuangan, Danang, Eko, Perli, Fathnan, Cahyo, (HMI-MPO FAI), serta seluruh pengurus HMI-MPO Cabang Yogyakarta dan kader-kader (aktifis) HMI-MPO Komisariat FAI UMY, Korkom UMY, Cabang Yogyakarta serta Pengurus Besar (PB) HMI-MPO. Kenangan indah dan ”sentilan-sentilan” kritis untuk perjuangan bangsa bersama kalian tak pernah kulupakan.

17.Kawan-kawan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Bang Patra, Mas Kholid, Abi, Dandan, Boim, Ma’ruf, Acan, ’Ai, Fatma, Rida, Heny, Helmi, Dayat, dan semua kader-kader IMM UMY. Tetap Anggun dalam Moral Unggul dalam Intelektual.

(12)

Candaan serta guyonan bersama kalian bikin ngurangin stress dan penat. Tetap semangat ”Solid di Perantoan Berkarya Demi Bekasi”!

19.Sohib-sohib FOSMA (Forum Silaturahmi Mahasiswa Alumni Attaqwa)- Yogyakarta. Bang Popeye, S.ThI, Bang Sofyan, Abu Hasan, Noeng Alie, Omplay, Sukway, Malik, Juned. Syukran katsîron ilaikum....

20.Kawan-kawan diskusi lintas kampus, Komunitas Wirobrajan HMI-MPO, kajian Angkringan, Lingkar Studi Matahari, UKM Musik UMY, komunitas badminton, club futsal UNWAMA, terima kasih atas sekedar refreshing dan

sharing-sharingnya.

21.Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, namun tak terlupakan bantuannya yang turut dalam penyelesaian penelitian ini.

Akhirnya, semoga segala bantuannya yang tidak ternilai ini mendapatkan balasan dari Allah SWT dengan balasan yang sepantasnya, dan semoga penelitian ini bermanfaat khususnya bagi peneliti sendiri.

Yogyakarta, 23 Oktober 2008 Penulis

(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... NOTA DINAS ... HALAMAN PENGESAHAN ... HALAMAN MOTTO ... HALAMAN PERSEMBAHAN ... KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL DAN SKEMA... ABSTRACK ... i ii iii iv v vi xii xv xvi

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... B. Rumusan Masalah ... C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... D. Tinjauan Pustaka ... E. Kerangka Konseptual ... 1. Konsep Pendidikan Antikorupsi ... 2. Pendidikan Islam ... 3. Kurikulum Pendidikan ... F. Metode Penelitian ... G. Sistematika Pembahasan ...

(14)

BAB II : GAMBARAN UMUM KORUPSI

A. Definisi Korupsi ... B. Model-model Korupsi ... C. Sebab-sebab Korupsi ... D. Perkembangan Kasus Korupsi ... E. Penyelesaian Kasus-kasus Korupsi ...

36 43 49 54 57

BAB III : NILAI-NILAI ANTIKORUPSI DALAM PENDIDIKAN ISLAM

A. Korupsi Menurut Perspektif Islam ... B. Nilai-nilai Islam yang Diselewengkan Dalam Kasus Korupsi ... 1. Amanah ... 2. Shidiq ... 3. Adil ... 4. Taqwa ... C. Konsep Pendidikan Antikorupsi ... 1. Falsafah Pendidikan Antikorupsi ………... 2. Pendidikan Moral Sebagai Dasar Pendidikan

Antikorupsi ………... D. Model Pendidikan Antikorupsi di Beberapa Negara ...

60

70 70 72 74 76 77 78

(15)

BAB IV : TINJAUAN NORMATIF ASPEK KURIKULUM

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM TERHADAP

PENDIDIKAN ANTIKORUPSI

A. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ... B. Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum ... C. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Pada Pendidikan Antikorupsi ... D. Model Pendidikan Antikorupsi Integratif-Inklusif dalam

Pendidikan Agama Islam ...

88 92

102

108

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... B. Saran-saran ... C. Kata Penutup ...

126 127 129

(16)

DAFTAR TABEL DAN SKEMA

Tabel 1 : Pemahaman Korupsi Dalam Definisi Praktis ... 40 Tabel 2 : Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2003-2006 ... 54 Tabel 3 : Pendidikan Antikorupsi di Beberapa Negara ... 86 Tabel 4 : Kompetensi Dasar KTSP pada Mata Pelajaran PKn

SMP/MTs Semester II ……… 110

Tabel 5 : Model Pendidikan Antikorupsi Integratif-Inklusif dalam Pendidikan Agama Islam ………...

113

Skema : Mekanisme Kerja Tim Pengembang Kurikulum, MGMP dan Guru Mata Pelajaran ...

(17)

ABSTRAK

Keterlibatan pendidikan formal dalam upaya pencegahan korupsi sebenarnya bukan hal baru, justru memiliki kedudukan strategis-antisipatif. Upaya pencegahan budaya korupsi di masyarakat terlebih dahulu dapat dilakukan dengan mencegah berkembangnya mental korupsi pada anak bangsa Indonesia melalui pendidikan. Semangat antikorupsi yang patut menjadi kajian adalah penanaman pola pikir, sikap, dan perilaku antikorupsi melalui sekolah, karena sekolah adalah proses pembudayaan.

Sektor pendidikan formal di Indonesia dapat berperan dalam memenuhi kebutuhan pencegahan korupsi. Langkah preventif (pencegahan) tersebut secara tidak langsung bisa melalui dua pendekatan (approach), pertama: menjadikan peserta didik sebagai target, dan kedua: menggunakan pemberdayaan peserta didik untuk menekan lingkungan agar tidak permissive to corruption. Pendidikan untuk mengurangi korupsi berupa pendidikan nilai, yaitu pendidikan untuk mendorong setiap generasi menyusun kembali sistem nilai yang diwarisi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep Pendidikan Antikorupsi yang direlevansikan dengan tinjauan normatif aspek kurikulum dalam Pendidikan Agama Islam, kemudian mencoba menampilkan model Pendidikan Antikorupsi dalam Pendidikan Agama Islam. Pendidikan Antikorupsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah program pendidikan antikorupsi yang secara konsepsional disisipkan pada mata pelajaran yang sudah ada di sekolah dalam bentuk perluasan tema yang sudah ada dalam kurikulum dengan menggunakan pendekatan kontekstual pada pembelajaran antikorupsi, yaitu dengan model Pendidikan Antikorupsi integratif-inklusif dalam Pendidikan Agama Islam.

Untuk berpartisipasi dalam gerakan pemberantasan dan pencegahan korupsi ada dua model yang dapat dilakukan oleh sekolah dalam mengembangkan kurikulum Pendidikan Antikorupsi yang integratif-inklusif pada Pendidikan Agama Islam. Pertama, proses pendidikan harus menumbuhkan kepedulian sosial-normatif, membangun penalaran obyektif, dan mengembangkan perspektif universal pada individu. Kedua, pendidikan harus mengarah pada penyemaian strategis, yaitu kualitas pribadi individu yang konsekuen dan kokoh dalam keterlibatan peran sosialnya. Model Pendidikan Antikorupsi yang integratif-inklusif dalam pendidikan agama Islam secara aplikatif lebih berkedudukan sebagai pendekatan dalam pembelajaran berbasis kontekstual.

Kata Kunci: Pendidikan Antikorupsi, Pendidikan Agama Islam,

(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia akhir-akhir ini tengah menghadapi berbagai permasalahan yang cukup pelik seputar krisis multi-dimensional serta problem lain yang menyangkut tatanan nilai yang sangat menuntut adanya upaya pemecahan secara mendesak. Problematika yang menyangkut tatanan nilai dalam masyarakat salah satunya adalah problematika korupsi yang tak kunjung usai. Karena semakin akutnya permasalahan tersebut, sebagian orang menganggap korupsi di Indonesia sudah menjadi budaya dan epidemi bahkan virus yang harus segera diperangi bersama.

(19)

ranking amat buruk. Rilis yang dikeluarkan Transparency International tahun 2005 misalnya, menunjukkan posisi Indonesia tidak kunjung naik kelas dalam kelompok negara terkorup. Meskipun tidak lagi menjadi nomor buncit karena berada pada peringkat 137 dari 159 negara yang disurvei, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia hanya 2,2. IPK ini sedikit lebih baik bila dibandingkan tahun 2004 (2,0) dan tahun-tahun sebelumnya (PBB UIN, 30/11/2005).

Pada tahun 2006 IPK Indonesia naik sedikit dari 2,2 pada 2005 menjadi 2,4. Dengan IPK 2,4 Indonesia berada pada ranking 130 dari 163 negara yang disurvey (www.suarakarya-online.com, tanggal 2/4/2008). Sedangkan pada tingkat negara-negara se-Asia, peringkat Indonesia turun menjadi peringkat dua Asia pada tahun 2007 (www.kapanlagi.com, tanggal 2/4/2008).

Korupsi memang merupakan problematika yang cukup pelik yang melilit dan menghinggap di hampir seluruh negara, tak terkecuali Indonesia. Bagi telinga rakyat Indonesia bukanlah hal yang asing bahwa teriakan-teriakan aksi untuk pemberantasan korupsi mulai bergema kencang, terlebih keheranan masyarakat bertambah ketika Departemen Agama pun yang notabene lembaga representatif untuk menjadi ‘uswah’ dan penggerak nilai-nilai keagamaan secara normatif-kolektif, malah ikut terlibat dalam kasus korupsi.

(20)

Agama, menyusul kemudian Departemen Pendidikan Nasional yang di dalamnya penuh dengan orang-orang yang semestinya menjadi teladan moral bagi masyarakat luas (Moh. Asror Yusuf [Ed.], 2006: 231). Oleh karenanya tak heran pula ketika organisasi Retting Political and Economic Risk

Concultancy (PERC) Hongkong, ikut melaporkan hasil survey yang

diperolehnya bahwa Indonesia merupakan negara terkorup di Asia (Ridlwan Nasir [Ed.], 2006: 272).

Patut dicatat bahwa presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan jajaran pemerintahannya kali ini juga meminta semua pihak untuk bersama-sama memberantas ‘virus’ korupsi. Tak pelak para alim ulama, cendikiawan, serta tokoh masyarakat pun diminta untuk membantu memberantas korupsi. Untuk itu, berbagai tokoh Ornop dan LSM atau gerakan masyarakat – termasuk partai-partai politik – turut berpartisipasi dalam gerakan pemberantasan korupsi ini. Hal ini menunjukan betapa problematika korupsi sudah menjadi agenda pemerintahan yang cukup signifikan.

(21)

yang sangat besar. Sehingga para koruptor layak dihukum mati, dan kalau koruptor mati tidak perlu dishalati. Begitu pula kaum ulama Muhammadiyah yang juga telah menyatakan bahwa “korupsi adalah syirik akbar yang dosanya tidak diampuni oleh Allah” (Tempo Interaktif, 8/12/2004).

Namun mengapa fatwa-fatwa para ulama NU-Muhammadiyah itu tidak diacuhkan sama sekali oleh banyak orang, sehingga para koruptor tetap meneruskan kejahatan-kejahatan mereka. Perlu dicatat juga bahwa banyak diantara para koruptor itu yang mengaku sebagai orang muslim yang rajin sholat, pergi ke masjid, pernah atau bahkan sering menunaikan ibadah haji ke Mekkah Al-Mukarromah.

Kegeraman masyarakat terhadap perilaku korupsi memang tidak bisa dipungkiri, tetapi mereka sudah tidak berdaya untuk melakukan tindakan dalam bentuk apapun untuk melawannya. Hal ini terindikasikan misalnya dari hasil Hot Survey Jobs DB Indonesia yang menghasilkan 1.238 (78%) dari 1.561 responden menyatakan setuju bila para koruptor yang terbukti bersalah oleh pengadilan dihukum mati (Republika, 2005).

Berbagai upaya telah dilakukan guna mencegah dan menghilangkan praktek korupsi di Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini. Namun realitasnya, korupsi tetap saja menjamur. Bahkan di era otonomi daerah sekarang ini, korupsi sudah menyebar di berbagai daerah lokal. Pada tingkatan birokrat pusat pun korupsi menyebar luas.

(22)

pendidikan. Gagasan ini lahir dimaksudkan untuk membasmi korupsi melalui persilangan (intersection) antara pendidikan watak dan pendidikan kewarganegaraan. Disamping itu, pendidikan untuk mengurangi korupsi berupa pendidikan nilai, yaitu pendidikan untuk mendorong setiap generasi menyusun kembali sistem nilai yang diwarisi (Kompas, 21 Februari 2007).

Secara simplistik memang sektor pendidikan formal di Indonesia dapat berperan dalam memenuhi kebutuhan pencegahan korupsi. Langkah

preventif (pencegahan) tersebut secara tidak langsung bisa melalui dua

pendekatan (approach), pertama: menjadikan peserta didik sebagai target, dan kedua: menggunakan pemberdayaan peserta didik untuk menekan lingkungan agar tidak permissive to corruption.

Oleh karenanya, pendidikan Islam perlu mengembangkan nilai antikorupsi. Sebab dalam sistem pendidikan Indonesia, baik dalam kurikulum 1994, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) maupun Kurikulum tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) belum dimuat materi mengenai permasalahan korupsi di Indonesia secara langsung. Pendidikan dapat berperan dalam memberantas korupsi secara tidak langsung melalui pengaitan materi pembelajaran secara kontekstual dengan pesan-pesan yang ingin disampaikan berkenaan dengan korupsi. Selain itu juga, media pembelajaran berupa buku-buku paket pelajaran yang digunakan dalam proses belajar mengajar sangat sedikit yang memuat secara langsung materi permasalahan korupsi.

(23)

bangsa Indonesia melalui pendidikan. Hal ini disadari bahwa memberantas korupsi juga tak lepas dari gerakan preventif, yaitu mencegah timbulnya mental korupsi pada generasi anak bangsa. Mengingat upaya pencegahan tersebut tidak hanya dapat dilakukan pada satu generasi saja, melainkan dua atau tiga generasi selanjutnya.

Dengan demikian, jelaslah bahwa pendidikan Islam sebagai bagian integral dari pendidikan Indonesia tentunya mempunyai peranan penting dalam mengembangkan nilai antikorupsi. Pendidikan Islam bisa dijadikan sebagai sarana upaya preventif dan antisipatif dalam mengembangkan nilai antikorupsi untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Karena manusia-manusia yang lahir melalui sektor pendidikan adalah manusia-manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, beriman, berakhlak mulia, memiliki kompetensi dan profesionalitas serta sebagai warga negara yang bertanggung jawab. Dan disaat institusi lain tidak berdaya melakukan perlawanan terhadap korupsi, maka institusi pendidikan (Islam) dapat dijadikan benteng terakhir tempat menyebarkan nilai-nilai antikorupsi.

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari uraian di atas peneliti mengambil beberapa rumusan masalah yang akan dikembangkan dalam penelitian ini, yaitu:

(24)

b. Bagaimana implikasi pendidikan antikorupsi terhadap kurikulum Pendidikan Agama Islam?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui konsep pendidikan antikorupsi.

b. Untuk mengetahui implikasi pendidikan antikorupsi terhadap kurikulum Pendidikan Agama Islam.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari Penelitian ini adalah: a. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dalam dunia pendidikan khususnya di bidang Pendidikan Agama Islam. Penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman di dalam menyampaikan materi atau pengajaran dalam Pendidikan Agama Islam serta mengkritisi proses pembelajaran yang dilakukan di berbagai lembaga pendidikan dalam perannya sebagai proses internalisasi nilai-nilai antikorupsi.

b. Kegunaan Praktis

(25)

hal-hal yang berkaitan dengannya, terutama konsep kependidikan serta hubungannya dengan problematika korupsi. Penelitian ini juga sebagai acuan bagi para pendidik Islam, sehingga pendidik dapat mengarahkan peserta didik untuk mengaktualisasikan nilai-nilai pendidikan Islam dalam upaya pencegahan terhadap korupsi. Dan secara implisit, untuk menambah wawasan keilmuan serta sebagai khazanah pemikiran pendidikan Islam agar dapat bersikap aktif memerangi kejahatan korupsi sebagai wujud perlawanan terhadap kemungkaran sosial.

D. Tinjauan Pustaka

Sejauh yang bisa dipantau oleh peneliti, penelitian tentang korupsi masih minim dan lebih minim lagi jika dikaitkan dengan pendidikan. Dari beberapa penelusuran yang telah peneliti lakukan terhadap karya-karya ilmiah, hasil penelitian, dan buku-buku yang sesuai dengan penelitian ini, peneliti menemukan beberapa hal yang penting untuk diperhatikan.

(26)

perijinan/perpajakan masing-masing dengan indeks 3,8 dan 3,6 (www.rusdimathari.wordpress.com, tanggal 1/4/2008). Berbeda dengan penelitian ini yang akan membahas korupsi dari sektor pendidikan, sedangkan penelitian di atas dilakukan di lembaga polisi, DPR-DPRD, dan pelayanan masyarakat.

Penelitian tentang Format Pendidikan Antikorupsi di UIN/IAIN: Review Atas Kurikulum dan Proses Pembelajaran yang dilakukan oleh PBB UIN Jakarta, 2006. Penelitian ini terfokus pada persoalan kurikulum dan proses pembelajaran yang berhubungan dengan upaya internalisasi nilai-nilai antikorupsi di UIN/IAIN. Dimana penelitian ini mengasumsikan bahwa baik kurikulum maupun proses pembelajaran yang terjadi kurang mempengaruhi pengembangan kecerdasan emosional, spiritual, dan sosial mahasiswa mengenai antikorupsi.

Kesamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama mengangkat tema pendidikan antikorupsi. Tetapi penelitian di atas hanya memfokuskan pada aspek kurikulum dan proses pembelajaran serta dilakukan di lingkungan UIN/IAIN saja. Dalam penelitian ini, peneliti ingin menjelaskan secara lebih universal lagi konsep pendidikan antikorupsi, kemudian dikaitkan dengan implikasinya terhadap kurikulum Pendidikan Agama Islam.

Selain hasil penelitian di atas, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan juga telah melaporkan hasil penelitian yang berjudul "Peranan

Sektor Pendidikan Formal Terhadap Kebutuhan Pencegahan Korupsi"

(27)

pencegahan korupsi di Indonesia, kepada Komisi Pemberantasan Korupsi disarankan agar: 1) Melibatkan sektor pendidikan formal di Indonesia; 2) Pelibatan sektor pendidikan formal tidak dalam bentuk mata pelajaran atau kurikulum khusus program antikorupsi; 3) Program-program antikorupsi hendaknya dilakukan melalui penyebaran informasi menggunakan sumber belajar yang dikemas secara menarik; dan 4) Dilakukan kerja sama dengan Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional (www.aceh@bpkp.go.id, tanggal 2/4/2008).

Dalam buku yang ditulis oleh Yunahar Ilyas [Et.al.] yang berjudul

Korupsi Dalam Perspektif Agama-agama (Panduan Untuk Pemuka Umat)

yang diterbitkan oleh KUTUB, 2001. Buku ini merupakan upaya untuk mensosialisasikan kampanye antikorupsi di kalangan masyarakat melalui jalur pendidikan keumatan. Dalam buku ini pembahasannya dilakukan dengan pendekatan lintas agama melalui para penulis yang merepresentasikan dari agama Islam, Kristen, Hindu dan Budha, dan menitikberatkan pada pembahasan aktualisasi nilai-nilai keagamaan dalam upaya pemberantasan korupsi.

(28)

tersebut diantaranya perlunya pendekatan kultural untuk proses internalisasi nilai-nilai antikorupsi melalui pendidikan.

Beberapa acuan lain peneliti dapatkan dari beberapa kajian yang dilakukan oleh beberapa institusi. Seperti Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) yang berbasis kultural kaum Nahdliyin. Lembaga ini telah melaksanakan sejumlah bahtsul masa’il (diskusi hukum Islam) mengenai korupsi serta menerbitkannya dalam beberapa buku. Diantaranya Buku yang berjudul Menolak Korupsi: Membangun Kesalehan Sosial, berisi kumpulan naskah khotbah Jum’at yang mengambil tema korupsi. Buku terbitan P3M lain adalah Korupsi di Negeri Kaum Beragama: Ikhtiar Membangun Fikih

Antikorupsi, berisikan kumpulan makalah yang disajikan dalam acara Munas

Bahtsul Masail NU (Mei 2004).

Buku berjudul NU Melawan Korupsi: Kajian Tafsir dan Fiqih yang diterbitkan oleh Tim Kerja Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (GNPK PB NU), 2006. Buku ini mengelaborasi fenomena korupsi di Indonesia serta membahasnya melalui pandangan Islam dan strategi pemberantasannya.

(29)

Buku berjudul Fikih Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah, yang disusun oleh Mejelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah terbitan Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) 2006. Dalam buku ini menyajikan permasalahan korupsi lebih sistematis dengan disertai pula langkah-langkah pemberantasan korupsi, diantaranya melalui jalur pendidikan. Tetapi belum rinci karena pembahasannya hanya satu sub bab saja.

Oleh karena masih minimnya penelitian tentang pendidikan antikorupsi, maka peneliti bermaksud mengkaji tentang konsep pendidikan antikorupsi yang telah diformulasikan oleh beberapa lembaga atau instansi pendidikan. Kemudian mengelaborasinya dalam perspektif pendidikan Islam, dengan menitik beratkan pada aspek kurikulum Pendidikan Agama Islam. Aspek filosofi pendidikan Islam serta korupsi dalam perspektif Islam juga dibahas dalam penelitian ini.

E. Kerangka Konseptual

1. Konsep Pendidikan Antikorupsi

(30)

rancangan dalam memahami pendidikan antikorupsi yang dikonsep dan dapat diterapkan dalam pendidikan Islam.

Pendidikan adalah suatu proses belajar dan penyesuaian individu-individu secara terus menerus terhadap nilai-nilai budaya dan cita-cita masyarakat, suatu proses dimana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien.

Ki Supriyoko dalam Moh. Asror Yusuf [Ed.] (2006: 232) mengatakan bahwa antara pendidikan dengan kebudayaan memiliki kesamaan sifat, misalnya, keduanya terkait dengan nilai-nilai kehidupan. Satu sisi, pendidikan berkepentingan untuk mengembangkan nilai-nilai yang bersifat positif bagi peserta didik, pada sisi lain kebudayaan berkepentingan untuk mengaplikasikan nilai-nilai positif di tengah-tengah kehidupan sosial bermasyarakat. Sedangkan kesamaan lain menyangkut prosesnya yang pelan namun pasti (evolusioner). Keduanya memerlukan waktu yang lama, proses yang harus ditempuhnya bisa dalam satuan generasi.

Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran

(intellect) dan jasmani anak-anak, selaras dengan alam dan masyarakatnya.

(31)

ruhani yang menuju kepada kesempurnaan dan kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya.

Dari beberapa pengertian di atas ternyata peranan pendidikan menempati posisi yang sangat urgen dalam mewujudkan manusia yang berkepribadian utuh dan mandiri serta menjadi manusia yang mulia dan bermanfaat bagi lingkungannya. Pendidikan merupakan basis penanaman nilai-nilai kepada individu untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sosial masyarakat.

Marimba (1989: 19) menyatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Hal tersebut selaras dengan Undang-undang SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 yang menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi-potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

(32)

emosi, sikap, apresiasi, nilai atau tingkat kemampuan menerima atau menolak sesuatu. Ketiga, domain psikomotorik yang menekankan pada tujuan untuk melatih keterampilan seperti menulis, teknik mengajar, berdagang, dan lain-lain.

Idealnya ketiga domain tersebut selaras dan saling melengkapi. Menurut seorang ahli pendidikan Islam, Omar Mohammad Thoumy al-Syaibani (1979: 399), keselarasan itu harus menunjang. Pertama, tujuan individual yang berkaitan dengan individu-individu. Kedua, tujuan-tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan, tentang perubahan dan kemajuan yang diingini. Ketiga, tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu. Dari ketiga unsur pencapaian pendidikan itu idealnya harus dilakukan secara terpadu (integral) sehingga tercapai tujuan proses pendidikan yang diinginkan.

Korupsi secara etimologis sesuai dengan bahasa aslinya berasal dari bahasa Latin, corruption dari kata kerja corrumpere, yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok, orang yang dirusak, dipikat atau disuap (Ridwan Nasir, [Ed.], 2006: 281-282).

(33)

sebagian pakar sosiologi korupsi), korupsi adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk kepentingan pribadi (misuse of public power) (http://id/wikipedia.org?wiki/korupsi, tanggal 12/3/2008).

Untuk mencapai definisi korupsi yang lebih operasional, beberapa riset telah mencoba mengklasifikasikan bentuk-bentuk korupsi dalam pengertian yang lebih aktual. Salah satu hasil riset yang diungkapkan disini, yaitu tesis Ph.D yang dilakukan oleh Inge Amundsen tentang fenomena korupsi di Senegal, Afrika. Menurut Amundsen, bentuk-bentuk korupsi diantaranya adalah tindakan penyuapan (bribery), penipuan atau penggelapan (emblezzement and fraud), dan pemerasan; lintah darat

(exortion) (Andvig, [et. al.], 2000).

Terma korupsi secara universal selama ini diartikan sebagai tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeruk keuntungan pribadi, berakibat merugikan kepentingan umum dan negara. Bentuk nyata tingkah laku korupsi bisa berwujud penggelapan, penyuapan, penyogokan, manipulasi data administrasi keuangan (termasuk mark up), pemerasan, penyelundupan, jual beli dukungan politik dan perbuatan sejenis lainnya.

(34)

adanya kerugian yang diakibatkan dari tindakan korupsi, seperti kerugian uang negara secara materil.

Oleh karenanya dapat diketahui bahwa hampir semua definisi korupsi mengandung dua unsur di dalamnya: pertama, penyalahgunaan kekuasaan yang melampaui batas kewajaran hukum oleh para pejabat atau aparatur negara; dan kedua, pengutamaan kepentingan pribadi atau klien di atas kepentingan publik oleh para pejabat atau aparatur negara yang bersangkutan.

Relevansi pendidikan antikorupsi didasarkan keyakinan nilai, serta pemberantasan korupsi harus dilakukan secara simultan. Oleh karena problematika korupsi menyangkut nilai dari suatu sikap atau perilaku yang bertentangan dengan yang diidealkan, maka pendekatannya adalah melalui pendidikan nilai guna memupuk dan melahirkan sikap tegas yang responsif terhadap problem-problem sosial seperti korupsi.

(35)

Dengan demikian pendidikan nilai tidak terhenti pada pengenalan nilai-nilai, masih harus berlanjut ke pemahaman nilai-nilai, ke penghayatan nilai-nilai, dan ke pengamalan nilai-nilai sebagai kulminasi dari proses internalisasi nilai dalam diri maupun pribadi serta dapat membawa bangsa untuk memperbarui diri.

2. Pendidikan Islam

Undang-undang SISDIKNAS No. 20 tahun 2003, menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi-potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Undang-undang No. 20 Tahun 2003: 9).

Pengertian di atas mengindikasikan betapa peranan pendidikan sangat besar dalam mewujudkan manusia yang utuh dan mandiri serta menjadi manusia yang mulia dan bermanfaat bagi lingkungannya. Dengan pendidikan, manusia akan paham bahwa dirinya itu sebagai makhluk yang dikaruniai kelebihan dibandingkan dengan makhluk lainnya.

Pada tataran nation, pendidikan memberi kontribusi yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan konstitusi serta membangun watak bangsa

(36)

nuansa kehidupan yang cerdas pula dan secara progresif akan membentuk kemandirian. Masyarakat dan bangsa yang demikian merupakan investasi yang besar untuk perjuangan keluar dari krisis dan menghadapi dunia global (E. Mulyasa, 2004: 4).

Pengertian pendidikan dapat dibagi menjadi tiga, yakni secara sempit, luas dan alternatif (Redja Mulyahardjo, 2001: 3). Definisi pendidikan secara luas adalah mengartikan pendidikan sebagai hidup. Pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam lingkungan dan sepanjang hidup (long life education). Pendidikan adalah segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu. Secara simplistik pendidikan didefinisikan sebagai sekolah, yakni pengajaran yang dilaksanakan atau diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Pendidikan adalah segala pengaruh yang diupayakan terhadap anak dan remaja yang diserahkan kepadanya agar mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubungan-hubungan dan tugas sosial mereka (Redja, 2001: 6).

(37)

ataupun informal di sekolah yang berlangsung seumur hidup yang bertujuan mengoptimalisasi pertimbangan kemampuan-kemampuan individu, agar dikemudian hari dapat memainkan peranan secara tepat (Redja, 2001: 11).

Sedangkan pendidikan Islam secara khusus merupakan rangkaian usaha membimbing, mengarahkan potensi hidup manusia yang berupa kemampuan-kemampuan dasar dan belajar, sehingga terjadilah perubahan di dalam kehidupan pribadinya sebagai makhluk individual, sosial dan dalam hubungannya dengan alam sekitar berada dalam nilai Islam, yakni norma-norma syari’ah dan akhlak yang mulia (Al-Syaibani, 1979: 399).

Kata “Islam” dalam “pendidikan Islam” menunjukkan warna pendidikan tertentu yang khusus, yaitu pendidikan yang bernuansa atau berwarna Islam (baca: pendidikan Islami). Pendidikan Islami yaitu pendidikan yang berdasarkan pada agama Islam (Ahmad Tafsir, 2005: 24). Pandangan para tokoh pendidikan tentang pendidikan Islam berbeda-beda, diantaranya Zakiyah Darajat (1992: 29), ia mengatakan bahwa pendidikan Islam diharapkan menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakatnya serta senang dan gemar mengamalkan ajaran agama Islam dalam hubungannya dengan Allah dan dengan sesamanya, dapat mengambil manfaat yang semakin meningkat dari alam semesta ini untuk kepentingan di dunia dan akhirat.

(38)

yang terkandung dalam al-Qur'an dan Sunnah sebagai pedoman agama Islam. Nilai-nilai yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah yang merupakan dasar bagi materi pendidikan Islam mengingatkan akan kewajiban manusia secara vertikal-transendental (hablum minallah) dan horizontal (hablum minannas).

Berangkat dari paradigma pendidikan Islam seperti itulah dunia pendidikan akan menciptakan sebuah toleransi antar sesama pendidik, pendidik-peserta didik dan antar sesama peserta didik. Nilai-nilai yang terkandung dalam materi pendidikan Islam merupakan pengejawantahan dari prinsip-prinsip pendidikan Islam yang dijabarkan lebih luas lagi dalam kurikulum.

Diantara prinsip-prinsip pendidikan Islam adalah prinsip tauhid, prinsip integrasi, prinsip keseimbangan, prinsip keutamaan. Prinsip tauhid akan melahirkan tata nilai berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan secara metafisis maupun aksiologis Dia tertinggi (Abd. Halim, 2002: 71). Prinsip integrasi menginternalisasikan bahwa dunia ini merupakan sebuah jalan menuju kampung akhirat. Prinsip keseimbangan merupakan kesemestian hingga dalam pengembangan dan pembinaan manusia tidak ada kepincangan dan kesenjangan (Munzir, 2004: 24-26).

(39)

segala kegiatannya diwarnai dan ditujukan kepada keutamaan-keutamaan (Abd. Halim, 2002: 82).

Mendiskusikan masalah pendidikan Islam tidak akan terlepas dari nilai atau norma. Permasalahan inilah yang akan dibahas dalam penelitian ini lebih jauh adalah masalah moral, yang dalam pendidikan Islam lebih dikenal dengan akhlak.

Pelaksanaan pendidikan moral ini sangat penting, karena hampir seluruh masyarakat di dunia khususnya Indonesia sedang mengalami (dalam istilah sosiologi) patologi sosial yang amat kronis. Bahkan sebagian besar masyarakat kita tercerabut dari adat-istiadat ketimuran yang beradab, santun dan beragama.

Sejalan dengan misi agama Islam yang bertujuan memberikan rahmat bagi sekalian makhluk di alam ini, maka pendidikan Islam mengidentifikasikan sasarannya yang digali dari sumber ajaran al-Qur’an, meliputi empat pengembangan fungsi manusia yaitu: (Arifin, 2000: 33-38).

a. Menyadarkan manusia secara individual pada posisi dan fungsinya di tengah makhluk lain, serta tentang tanggung jawab dalam kehidupannya. Dengan kesadaran ini, manusia akan mampu berperan sebagai makhluk Allah yang paling utama diantara makhluk-makhluk lainnya sehingga mampu berfungsi sebagai Khalifah di muka bumi. b. Menyadarkan fungsi manusia dalam hubungannya dengan masyarakat,

(40)

karena itu manusia harus mengadakan interelasi dan interaksi dengan sesamanya dalam kehidupan masyarakat.

c. Menyadarkan manusia terhadap pencipta alam dan mendorongnya untuk beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu manusia sebagai Homo

Divinans (makhluk yang berketuhanan), sikap dan watak

religiusitasnya perlu dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu menjiwai dan mewarnai kehidupannya.

d. Menyadarkan manusia tentang kedudukannya terhadap makhluk lain dan membawanya agar memahami hikmah Tuhan menciptakan makhluk lain, serta memberikan kemungkinan kepada manusia untuk mengambil manfaatnya.

Pengamat dan praktisi pendidikan sering mengkritik bahwa sistem pendidikan Indonesia lebih berorientasi pada pengisian kognisi yang eqivalen dengan peningkatan IQ (Intelegence Qoetiont) yang walaupun juga didalamnya terintegrasi pendidikan EQ (Emotional

Quetiont). Oleh karenanya, perlu kiranya dalam pengembangan

pendidikan moral ini eksistensi SQ (Spiritual Quetiont) yang merupakan tradisi spiritualitas yang tinggi harus terintegrasi dalam target peningkatan IQ dan EQ siswa.

(41)

gradual dan komprehensif serta dengan melibatkan semua unsur yang terkait dalam proses pembelajaran atau pendidikan.

Tujuan pendidikan moral tidak semata-mata untuk menyiapkan peserta didik untuk menelan mentah-mentah konsep-konsep pendidikan moral, tetapi yang lebih penting adalah terbentuknya karakter yang baik, yaitu pribadi yang memiliki pengetahuan moral, peranan perasaan moral dan tindakan atau perilaku moral (Lickona, 1992: 53).

3. Kurikulum Pendidikan

Kurikulum merupakan bagian integral dari komponen pokok sistem pendidikan. Secara simplistik, UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan kurikulum sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik.

(42)

Susilo, 2007: 50) menyebutkan sedikitnya terdapat tujuh komponen sekolah yang harus dikelola dengan baik, yaitu:

1. Kurikulum dan program pengajaran; 2. Tenaga kependidikan;

3. Kesiswaan; 4. Keuangan;

5. Sarana dan prasarana pendidikan;

6. Pengelolaan hubungan sekolah dan masyarakat; 7. Manajemen pelayanan khusus lembaga pendidikan.

Istilah ”kurikulum” muncul pertama kali di bidang olahraga, berasal dari bahasa Latin: ”Curriculae”, yaitu jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari (Joko Susilo, 2007: 77). Senada dengan hal tersebut Ahmad Tafsir (2005: 53) mendefinisikan secara historis, yaitu suatu alat yang membawa orang dari start sampai finish.

Pada perkembangannya istilah kurikulum kemudian dipakai dalam bidang pendidikan, dengan arti sejumlah mata pelajaran di suatu perguruan. Dalam kamus Webster tahun 1856 kurikulum diartikan dengan dua macam, yaitu: Pertama, sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari siswa di sekolah atau perguruan tinggi untuk memperoleh ijazah tertentu. Kedua: sejumlah mata pelajaran yang ditawarkan oleh suatu lembaga pendidikan atau jurusan.

(43)

siswa yang bertujuan untuk memperoleh ijazah, sehingga cenderung legal

oriented, karena dengan menempuh suatu kurikulum siswa dapat

memperoleh ijazah.

Secara eksplisit, Oliva (dalam Joko Susilo, 2007: 80) mendefinisikan kurikulum sebagai berikut:

”Curriculum is that which is taught in school, is a set of subject, is content, is a program studies, is a set of materials, is a course of study, is a sequence of courses, is a set of performance objective, is everything that goes on within the school, including extra class activities, guidance, and interpersonal relationships, is that which is taught both inside and outside of school directed by the school, is everything that is planned by school personal, is a series of experiences undergone by learners in school and is

that which an individual learner experiences as a result of schooling”.

Definisi di atas tidak hanya mengidentifikasi kurikulum sebagai kegiatan yang berpusat di sekolah, melainkan juga seluruh aspek kegiatan di luar sekolah yang berhubungan dengan proses kegiatan belajar serta hasil pendidikan yang diterima di sekolah. Oleh karenanya, kurikulum juga merupakan suatu rencana yang memberi pedoman atau pegangan dalam proses kegiatan belajar mengajar.

Lebih lanjut Albert I. Oliver mengatakan bahwa ”curriculum

with the educational program and divided it into four basic element: (1)

the program of study, (2) the program of experiences, (3) the program of

service, and (4) the hidden curriculum” (Joko Susilo, 2007: 51). Dengan

(44)

Kurikulum secara praksis adalah apa yang dialami oleh siswa-siswa ketika berada di dalam kelas. Oleh karenanya guru sebagai pendidik yang terjun langsung dalam masalah-masalah pengajaran mempunyai kesempatan yang paling signifikan dalam menjalankan kurikulum.

Secara fungsional kurikulum sebagai suatu proses mempunyai fungsi. Beauchamp dalam Joko Susilo (2007: 83) menggambarkan terdapat tujuh macam fungsi kurikulum, yaitu:

1. the choice of arena for curriculum decision making,

2. the selection and involvement of person in curriculum planning,

3. organization for and techniques used in curriculum planning,

4. actual writing of a curriculum,

5. implementing the curriculum,

6. evaluation the curriculum, and

7. providing for feedback and modification of the curriculum.

Dari beberapa definisi dan fungsi di atas dapat diringkas fungsi kurikulum secara umum sebagai berikut:

a. Fungsi kurikulum dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Bahwa kurikulum merupakan suatu alat atau usaha untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan oleh lembaga pendidikan yang dianggap cukup tepat dan penting untuk dicapai.

(45)

diharapkan mereka akan mendapat sejumlah pengalaman baru yang kelak kemudian hari dapat dikembangkan seirama dengan perkembangan anak.

c. Fungsi kurikulum bagi guru. Ada tiga macam, yaitu: (a). sebagai pedoman kerja dalam menyusun dan mengorganisir pengalaman belajar bagi anak didik. (b). sebagai pedoman untuk mengadakan evaluasi terhadap perkembangan anak dalam rangka menyerap sejumlah pengalaman yang diberikan. (c). sebagai pedoman dalam mengatur kegiatan pendidikan dan pengajaran.

d. Fungsi kurikulum bagi orang tua murid. Bagaimanapun orang tua dapat turut serta membantu usaha sekolah dalam memajukan putra-putrinya. Oleh karenanya, orang tua dapat memberikan bantuan melalui konsultasi langsung dengan sekolah, guru dan sebagainya. e. Fungsi kurikulum bagi sekolah. Setidaknya ada dua jenis berkaitan

dengan fungsi ini yaitu pemeliharaan keseimbangan proses pendidikan dan penyiapan tenaga guru.

Dengan demikian fungsi kurikulum mencakup seluruh aspek dan elemen pendidikan. Karena dengan kurikulum suatu proses belajar mengajar dapat menjalankan pedomannya serta memberikan arahan yang jelas terhadap pendidik.

(46)

lembaga pendidikan. Diantara komponen kurikulum yaitu, 1). Tujuan, 2). bahan pelajaran, 3). proses belajar mengajar, 4). Evaluasi dan penilaian (Nasution, 2003).

Masing-masing komponen sangat bertalian erat, jadi secara ringkas tujuan bertalian dengan bahan pelajaran, proses belajar-mengajar, dan penilaian. Kesalingterkaitan komponen-komponen tersebut dapat digambarkan dalam bagan berikut:

Dari bagan di atas nampak jelas bahwa semua komponen mempunyai interrelasi, saling berhubungan antara komponen satu dengan yang lainnya.

Dari setiap proses keterpaduan komponen tersebut akan mengarahkan kurikulum kepada perkembangannya sesuai kebutuhan lembaga pendidikan dan masyarakat.

Pengembangan kurikulum disusun antara lain agar dapat memberi kesempatan peserta didik untuk: belajar untuk beriman dan bertakwa

Tujuan

Penilaian Bahan Pelajaran

(47)

kepada Tuhan Yang Maha Esa, belajar untuk memahami dan menghayati, belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif, belajar untuk hidup bersama dan berguna untuk orang lain, dan belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini secara garis besar menggunakan :

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka atau library research, yaitu model penelitian yang (datanya diperoleh) dilakukan terhadap informasi yang didokumentasikan dalam bentuk tulisan baik dalam bentuk buku, jurnal, paper, tulisan lepas, internet, annual report dan bentuk dokumen tulisan lainnya yang memiliki keterkaitan dengan objek penelitian serta memiliki akurasi dengan fokus permasalahan yang akan dibahas (Arikunto, 2005: 244).

(48)

Fokus penelitian deskriptif eksploratif adalah berusaha untuk mendeskripsikan, membahas dan menggali gagasan-gagasan pokok yang selanjutnya di tarik pada satu kasus baru. Dalam hal ini ide pokok yang menjadi dasar penelitian adalah konsep pendidikan antikorupsi sebagai strategi pencegahan korupsi melalui sektor pendidikan formal.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa buku-buku, jurnal ilmiah, artikel-artikel, paper, tulisan lepas, internet, annual

report, produk hukum dan bentuk dokumen tulisan lainnya yang memiliki

keterkaitan dengan objek penelitian serta memiliki akurasi dengan fokus permasalahan yang akan dibahas yang relevan dengan pembahasan penelitian ini.

Untuk memudahkan, dalam penelitian ini peneliti membagi sumber data menjadi dua bentuk: pertama, sumber data utama (primer) yaitu data-data yang berkaitan langsung dengan teori-teori (kurikulum) pendidikan Islam dan pendidikan antikorupsi (Suharsimi, 1998: 114).

Buku-buku yang berkaitan dengan pendidikan antikorupsi dan (kurikulum) pendidikan Islam yang dijadikan sebagai sumber data primer adalah :

(49)

b. Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Fikih Antikorupsi

Perspektif Ulama Muhammadiyah, Jakarta: Pusat studi Agama dan

Peradaban (PSAP), 2006.

c. Ahmad Fawa’id, Sultonul Huda (Ed.), NU Melawan Korupsi: Kajian

Tafsir dan Fiqih, Jakarta: Tim Kerja Gerakan Nasional Pemberantasan

Korupsi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, 2006.

d. Muhammad Joko Susilo, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan:

Manajemen Pelaksanaan dan Kesiapan Sekolah Menyongsongnya,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

e. Mansur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual; Panduan Bagi Guru, Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008.

Kedua, data sekunder, yaitu data yang tidak secara langsung terkait

dengan penelitian. Data ini berupa data-data pengalaman beberapa negara dalam melaksanakan konsep pendidikan antikorupsi sebagai upaya pencegahan korupsi, data-data perkembangan korupsi di Indonesia serta penelitian-penelitian terdahulu dalam kaitan penerapan pendidikan antikorupsi, serta dokumen kurikulum nasional (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan/KTSP) dan produk-produk hukum.

3. Metode Pengumpulan Data

(50)

metode pengumpulan datanya menggunakan cara menelaah buku, dengan cara memperoleh keterangan-keterangan mengenai suatu obyek pembahasan. Teknik dan alat pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik penelitian pustaka (library research methode), yaitu kegiatan mempelajari dan mengumpulkan data tertulis untuk menunjang penelitian (Moleong, 2002: 3).

Data yang dikumpulkan berupa literatur yang berhubungan dengan topik permasalahan penelitian, baik dalam bentuk buku, work paper, jurnal, annual report, draf perencanaan, master plan, makalah seminar, artikel majalah, ensiklopedia, kamus, website dan sebagainya.

4. Metode Analisis Data

Analisis data bertujuan untuk mengelompokan, membuat sistematika dan mengorganisasikan data sehingga dapat dibaca dan dipahami oleh orang lain (Amirul dan Haryono, 1998; 14).

Analisis data peneliti lakukan dengan menganalisis data dari buku-buku yang diperoleh dengan cara membaca, menggunakan kerangka berfikir induktif, yaitu pola pikir yang bertolak dari pengamatan atas hal-hal atau kasus-kasus kemudian menarik kesimpulan, yang digambarkan secara kwalitatif (Amirul dan Haryono, 1998: 14).

(51)

5. Pendekatan

Sesuai dengan topik yang akan dibahas dan dikaji dalam skripsi ini, maka penelitian ini mempergunakan pendekatan sosio-filosofis. Pendekatan sosiologis digunakan dalam membahas wacana dan fenomena sosial yang menjadi permasalahan dalam pembahasan penelitian ini, serta melihat pengalaman (empiric) beberapa negara yang menerapkan pendidikan antikorupsi. Sedangkan pendekatan filosofis digunakan untuk menganalisis konsep-konsep pendidikan yang terkait dengan penelitian ini.

G. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah dalam pembahasan dan penelaahan penelitian ini, maka peneliti membuat rancangan secara sistematis yang akan ditulis menjadi lima bagian dan masing-masing bagian sebagai bab dengan sistematika sebagai berikut:

Bab pertama, berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka koseptual, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab dua, pada bab ini mengemukakan mengenai gambaran umum korupsi, yang meliputi: definisi korupsi, model-model korupsi, sebab-sebab korupsi, perkembangan kasus korupsi serta penyelesaian kasus-kasus korupsi.

(52)

yang diselewengkan dalam kasus korupsi, konsep pendidikan antikorupsi serta model pendidikan antikorupsi di beberapa negara.

Bab empat, berisi pembahasan inti tentang tinjauan normatif aspek kurikulum pendidikan agama Islam terhadap pendidikan antikorupsi. Pembahasan tersebut meliputi: Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, prinsip-prinsip pengembangan kurikulum, pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam pada pendidikan antikorupsi, serta model pendidikan antikorupsi integratif-inklusif dalam pendidikan agama Islam.

(53)

BAB II

GAMBARAN UMUM KORUPSI

A. Definisi Korupsi

Dalam sejarah tercatat bahwa korupsi bermula sejak awal kehidupan manusia, dimana organisasi kemasyarakatan yang rumit mulai muncul. Kepustakaan lain mencatat korupsi sudah berlangsung sejak zaman Mesir kuno, Babilonia, Roma, sampai pada abad pertengahan, hingga sekarang. Pada zaman Romawi korupsi dilakukan oleh para jenderal dengan cara memeras daerah jajahannya, untuk memperkaya dirinya sendiri. Pada abad pertengahan para bangsawan istana kerajaan juga melakukan praktek korupsi. Pendek kata, korupsi yang merupakan benalu sosial dan masalah besar sudah berlangsung dan tercatat di dalam sejarah Mesir, Babilonia, Ibrani, India, Cina, Yunani, dan Romawi kuno (Ridwan Nasir, [Ed.], 2006: 277).

(54)

Korupsi dan koruptor sesuai dengan bahasa aslinya bersumber dari bahasa latin corruptus, yakni berubah dari kondisi yang adil, benar dan jujur menjadi kondisi yang sebaliknya (Muhammad Azhar [Et.al], 2003: 28).

Corruptio dari kata kerja corrumpere, yang berarti busuk, rusak,

menggoyahkan, memutar balik, menyogok, orang yang dirusak, dipikat, atau disuap (Ridwan Nasir, [Ed.], 2006: 281-282).

Samuel Huntington dalam buku Political Order in Changing

Societies, mendefinisikan korupsi sebagai behavior of public officials with

deviates from accepted norms in order to serve private ends (1968: 59).

Melihat dari definisi tersebut jelas bahwa korupsi tidak hanya menyangkut aspek hukum, ekonomi dan politik tetapi juga menyangkut perilaku manusia

(behavior) yang menjadi bahasan utama serta norma (norms) yang diterima

dan dianut masyarakat.

Definisi korupsi di atas mengidentifikasikan adanya penyimpangan dari pegawai publik (public officials) dari norma-norma yang diterima dan dianut masyarakat dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi

(serve private ends). Senada dengan Azyumardi Azra mengutip pendapat Syed

Husein Alatas yang lebih luas: ”Corruption is abuse of trust in the interest of

private gain”, Korupsi adalah penyalahgunaan amanah untuk kepentingan

pribadi (Syamsul Anwar [Et.al], 2006: 10).

(55)

yang paling mengidentikkan perilaku korupsi bagi masyarakat umum adalah penekanan pada penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan publik untuk keuntungan pribadi.

Dalam Kamus Lengkap Oxford (The Oxford Unabridged Dictionary) korupsi didefinisikan sebagai ”penyimpangan atau perusakan integritas dalam pelaksanaan tugas-tugas publik dengan penyuapan atau balas jasa”. Sedangkan pengertian ringkas yang dipergunakan World Bank adalah ”penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi (the abuse of

public office for private gain). Definisi ini juga serupa dengan yang

dipergunakan oleh Transparency International (TI), yaitu ”korupsi melibatkan perilaku oleh pegawai di sektor publik, baik politikus atau pegawai negeri, dimana mereka dengan tidak pantas dan melawan hukum memperkaya diri mereka sendiri, atau yang dekat dengan mereka, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka (Ahmad Fawa’id & Sultonul Huda [Ed.]; 2006: 24).

Definisi lengkap menurut Asian Development Bank (ADB) adalah ”korupsi melibatkan perilaku oleh sebagian pegawai sektor publik dan swasta, dimana mereka dengan tidak pantas dan melawan hukum memperkaya diri mereka sendiri dan atau orang-orang yang dekat dengan mereka, atau membujuk orang lain untuk melakukan hal-hal tersebut, dengan menyalahgunakan jabatan dimana mereka ditempatkan.

(56)

Namun demikian, bila dikaji secara mendalam dan eksplisit, dapat diketahui bahwa hampir semua definisi korupsi mengandung dua unsur didalamnya:

Pertama, penyalahgunaan kekuasaan yang melampaui batasan kewajaran

hukum oleh para pejabat atau aparatur negara; dan Kedua, pengutamaan kepentingan pribadi atau klien di atas kepentingan publik oleh para pejabat atau aparatur negara yang bersangkutan.

Dengan melihat beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa korupsi secara implisit adalah menyalahgunakan kewenangan, jabatan atau amanah secara melawan hukum untuk memperoleh keuntungan atau manfaat pribadi dan atau kelompok tertentu yang dapat merugikan kepentingan umum.

Dari beberpa definisi tersebut juga terdapat beberapa unsur yang melekat pada korupsi. Pertama, tindakan mengambil, menyembunyikan, menggelapkan harta negara atau masyarakat. Kedua, melawan norma-norma yang sah dan berlaku. Ketiga, penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang atau amanah yang ada pada dirinya. Keempat, demi kepentingan diri sendiri, keluarga, kerabat, korporasi atau lembaga instansi tertentu. Kelima, merugikan pihak lain, baik masyarakat maupun negara.

(57)

(shifting paradigm) ke arah yang lebih baik dan komprehensif dalam

memahami upaya pemberantasan korupsi.

Diantara penyebab kurangnya mobilitas peran masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi dikarenakan ketidak tahuan tentang makna, hakikat dan kategorisasi korupsi, yang semakin berkembang dan rumit. Secara

lughowiyah (kebahasaan), definisi korupsi memiliki makna yang jelas dan

tegas. Namun secara praktis makna korupsi berbeda antara satu dengan yang lainnya. Selain itu juga definisi korupsi selalu berkembang, baik secara normatif maupun secara sosiologis.

Hal tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh tim riset Koalisi Antarumat Beragama untuk Antikorupsi (Rahman, 2004). Dalam riset ini dijelaskan bahwa problem utama yang muncul belum terpetakannya istilah-istilah dan artikulasi definitif tentang korupsi, hakikat korupsi pun secara struktural belum dipahami secara jelas.

Tabel 1

Pemahaman Korupsi Dalam Definisi Praktis

RESPON

No Varian Definisi Termasuk

Korupsi Tidak termasuk Korupsi 1. 2. 3. 4.

Seorang peserta rapat yang datang terlambat

Dosen mengakhiri kuliah sebelum waktunya

Pejabat menggunakan mobil plat merah untuk acara pribadi

Mahasiswa memberi hadiah kepada dosen untuk menaikkan skor ujian

(58)

5.

6.

7.

8.

9.

Mengurangi komposisi bahan bangunan untuk mengambil untung

Mengambil sebagian dana yang dipercayakan tanpa melaporkan pada pihak yang bersangkutan

Mengutip dana tertentu sebagai syarat di luar regulasi

Merekruit karyawan berdasar asas kekeluargaan

Majelis ulama menentukan Hari Raya sesuai dengan hari yang ditentukan sponsor penyelenggara acara tertentu

57,8% 62,5% 26,1% 19,8% 2,6% 42,2% 37,5% 73,9% 80,2% 97,4%

Sumber: Riset Koalisi antarumat Beragama untuk Korupsi, 2004

(Muhammad Azhar [Et.al], 2003: 30)

Secara simplistik dapat dilihat dari data-data tersebut bahwa problem mendasar dari korupsi adalah belum terpetakannya istilah-istilah dan artikulasi definitif tentang korupsi yang sesungguhnya. Korupsi dipahami sebagian orang dalam kerangka definisi yang sederhana saja. Contoh lain adanya perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak adalah pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain. Oleh karenanya, dalam langkah awal memberantas korupsi penting kiranya untuk mencari definisi operasional-praktis yang dapat dikategorikan sebagai perilaku korupsi.

(59)

yaitu tesis Ph.D yang dilakukan oleh Inge Amundsen tentang fenomena korupsi di Senegal, Afrika. Menurut Amundsen, bentuk-bentuk korupsi diantaranya adalah tindakan penyuapan (bribery), penipuan atau penggelapan

(embezzlement and fraud), dan pemerasan; lintah darat (extortion) (Andvig, et.

al., 2000).

Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo.UU No. 20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan kedalam tiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi yang dapat dikelompokkan; kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, gratifikasi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi (KPK, 2006: 19-20).

(60)

Korupsi dengan berbagai modusnya telah terbukti menyengsarakan rakyat. Salah seorang budayawan bahkan mengatakan bahwa korupsi sebenarnya lebih ’porno’ dari pada pornografi itu sendiri.

B. Model-model Korupsi

Tindak pidana korupsi dalam berbagai bentuk mencakup pemerasan, penyuapan dan gratifikasi pada dasarnya telah terjadi sejak lama dengan pelaku mulai dari pejabat negara sampai pegawai yang paling rendah. Korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini, terutama yang dilakukan oleh aparatur pemerintah sudah mulai dilakukan secara sistematis baik oleh perorangan maupun berkelompok (berjamaah), serta semakin meluas dan semakin canggih dalam proses pelaksanaannya. Korupsi ini semakin memprihatinkan bila terjadi dalam aspek pelayanan yang berkaitan dengan sektor publik, mengingat tugas dan kewajiban utama dari aparat pemerintah adalah memberikan pelayanan kepada publik atau masyarakat.

Korupsi pada hakekatnya berawal dari suatu kebiasaan (habit) yang tidak disadari oleh setiap aparat, mulai dari kebiasaan menerima upeti, hadiah, suap, pemberian fasilitas tertentu ataupun yang lain dan pada akhirnya kebiasaan tersebut lama-lama akan menjadi bibit korupsi yang nyata dan dapat merugikan keuangan negara.

(61)

dapat mendefinisikan model korupsi, dimulai dengan melakukan pengukuran secara obyektif dan komprehensif dalam mengidentifikasi jenis korupsi, tingkat korupsi dan perkembangan korupsi dan menganalisa bagaimana korupsi bisa terjadi dan bagaimana kondisi korupsi saat ini.

Seiring dengan perkembangan jaman dan budaya masyarakat korupsi pun ikut tumbuh sedemikian rupa sehingga memiliki bentuk, model atau jenis yang beragam. Banyak para pakar yang telah mencoba mengelompokkan jenis-jenis atau model-model korupsi.

Dari beberapa definisi yang telah disebutkan di atas, dapat diringkas secara umum bentuk-bentuk, karakteristik atau ciri-ciri, dan unsur-unsur (dari sudut pandang hukum) korupsi sebagai berikut :

a. Penyuapan (bribery) mencakup tindakan memberi dan menerima suap, baik berupa uang maupun barang.

b. Embezzlement, merupakan tindakan penipuan dan pencurian sumber daya

yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang mengelola sumber daya tersebut, baik berupa dana publik atau sumber daya alam tertentu.

c. Fraud, merupakan suatu tindakan kejahatan ekonomi yang melibatkan

penipuan (trickery or swindle). Termasuk didalamnya proses manipulasi atau mendistorsi informasi dan fakta dengan tujuan mengambil keuntungan-keuntungan tertentu.

d. Extortion, tindakan meminta uang atau sumber daya lainnya dengan cara

(62)

memiliki kekuasaan. Lazimnya dilakukan oleh mafia-mafia lokal dan regional.

e. Favouritism, adalah mekanisme penyalahgunaan kekuasaan yang

berimplikasi pada tindakan privatisasi sumber daya. f. Melanggar hukum yang berlaku dan merugikan negara.

g. Serba kerahasiaan, meskipun dilakukan secara kolektif atau “korupsi berjama’ah”.

Jenis korupsi yang lebih operasional juga diklasifikasikan oleh tokoh reformasi, M. Amien Rais yang menyatakan sedikitnya ada empat jenis korupsi. Pertama, korupsi ekstortif, yakni berupa sogokan atau suap yang dilakukan pengusaha kepada penguasa. Kedua, korupsi manipulatif, seperti permintaan seseorang yang memiliki kepentingan ekonomi kepada eksekutif atau legislatif untuk membuat peraturan atau UU yang menguntungkan bagi usaha ekonominya.

Ketiga, korupsi nepotistik, yaitu terjadinya korupsi karena ada ikatan

kekeluargaan, pertemanan, dan sebagainya. Keempat, korupsi subversif, yakni mereka yang merampok kekayaan negara secara sewenang-wenang untuk dialihkan ke pihak asing dengan sejumlah keuntungan pribadi (Syamsul Anwar [Et.al], 2006: 18).

(63)

Jeremy Pope (2007: xxvi) – mengutip dari Gerald E. Caiden dalam

”Toward a General Theory of Official Corruption” – menguraikan secara

rinci bentuk-bentuk korupsi yang umum dikenal, yaitu:

1. Berkhianat, subversif, transaksi luar negeri ilegal, penyelundupan. 2. Penggelapan barang milik lembaga, swastanisasi anggaran

pemerintah, menipu dan mencuri.

3. Penggunaan uang yang tidak tepat, pemalsuan dokumen dan penggelapan uang, mengalirkan uang lembaga ke rekening pribadi, menggelapkan pajak, menyalahgunakan dana.

4. Penyalahgunaan wewenang, intimidasi, menyiksa, penganiayaan, memberi ampun dan grasi tidak pada tempatnya.

5. Menipu dan mengecoh, memberi kesan yang salah, mencuran

Gambar

Tabel 1 : Pemahaman Korupsi Dalam Definisi Praktis .................... 40
Tabel 1 Pemahaman Korupsi Dalam Definisi Praktis
Tabel 2 Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2003-2006
Tabel Pengembalian Korupsi
+4

Referensi

Dokumen terkait

Kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah mencari pengaruh sistem penyelesaian transaksi saham yang diterapkan dalam perdagangan saham terhadap keamanan transaksi,

Proyek yang dilaksanakan oleh mahasiswa dilakukan dengan tahapan studi literatur, perancangan perangkat keras, perancangan perangkat lunak, simulasi dan implementasi dalam

Kesimpulannya, para orang tua dan pendidik perlu meghindarkan faktor penyebab timbulnya kemarahan pada anak-anak, lalu menerapkan metode yang telah diajarkan oleh

Maka Pada tugas akhir ini di kembangkan sebuah rangkaian yang berbasis mikrokontroller yang banyak digunakan pada perguruan tinggi di Indonesia, dengan

adalah gaya kepemimpinan profetik yang bersifat pribadi (individual) yang tidak hanya dimiliki oleh para pemimpin saja, namun juga dimiliki oleh setiap pribadi

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan cara wawancara atau angket yang menanyakan isi materi yang diukur dari suatu objek penelitian atau responden.. 2.1.3 Faktor-faktor

Beberapa penelitian yang dilakukan terhadap prestasi belajar diantaranya Harefa (2013) dengan judul penelitiannya adalah Pengaruh Motivasi Belajar dan Kebiasaan

karakteristik data sampel penelitian. Tahap pengujian hipotesis, yaitu tahap pengujian terhadap proposisi-proposisi yang dibuat apakah proposisi tersebut ditolak atau