• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH AYAH KANDUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH AYAH KANDUNG"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN

OLEH AYAH KANDUNG

(Jurnal Skripsi)

Oleh

ALFIN RAHMANDA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN

OLEH AYAH KANDUNG Oleh

Alfin Rahmanda. Mahasiswa Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Email: alfinrahmanda @gmail.com. Nikmah Rosidah, Budi Rizki Husin. Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung Jalan Soemantri Brojonegoro Nomor 1 Bandar Lampung 35145.

Anak yang belum dewasa secara mental dan fisik harus dilindungi, tetapi pada kenyataannya anak justru menjadi korban pencabulan oleh ayah kandungnya. Setiap anak yang menjadi korban pencabulan memperoleh perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh ayah kandung dalam Putusan Nomor: 59/Pid./2015/PT TJK dan bagaimanakah pemidanaan terhadap ayah kandung yang melakukan tindak pidana pencabulan sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap anak dalam Putusan Nomor: 59/Pid./2015/PT TJK? Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Narasumber terdiri dari Hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang, Penyidik Unit PPA Kepolisian Daerah Lampung, Staf Kantor Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Provinsi Lampung dan akademisi Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan: Perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban kejahatan pencabulan berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak adalah dengan memberikan perlindungan hukum, perlindungan medis dan perlindungan psikologis. Perlindungan secara medis dilakukan untuk memulihkan kondisi fisik anak yang mungkin mengalami kerugian fisik (luka-luka, memar, lecet dan sebagainya) sebagai akibat dari pencabulan yang dialaminya. Perlindungan medis ini diberikan sampai anak korban kejahatan pencabulan benar-benar sembuh secara fisik. Perlindungan psikologis dengan pendampingan kepada anak, yaitu dengan melaksanakan terapi kejiwaan atas trauma yang mereka alami akibat pencabulan untuk mengantisipasi dampak jangka panjang bagi stabilnya perkembangan jiwa anak korban kejahatan pencabulan. Faktor-faktor penghambat perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana pencabulan faktor aparat penegak hukum, yaitu masih belum optimalnya kuantitas penyidik dan minimnya sosialisasi Undang-Undang Perlindungan Anak. Faktor masyarakat sebagai faktor yang dominan, yaitu adanya keengganan masyarakat untuk menjadi saksi dalam proses penegakan hukum serta kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana pencabulan. Faktor budaya, yaitu adanya budaya individualisme dalam kehidupan masyarakat, sehingga mereka bersikap acuh tidak acuh dan tidak memperdulikan adanya tindak pidana pencabulan terhadap anak.

(3)

ABSTRACT

LEGAL PROTECTION OF CHILDREN AS A VICTIM OF OBSCENITY COMMITTED BY BIOLOGICAL FATHER

(Study of Decision Number: /Pid./2015/PT TJK.) By

ALFIN RAHMANDA

Children must be mentally and physically protected, but in reality the child becomes a victim of obscenity by his biological father. Every child who becomes a victim of sexual immorality obtains legal protection as stipulated in Law No. 23 of 2002 Jo. Law Number 35 Year 2014 on Child Protection. The problems in this research are: How is the legal protection for child victims of abuses committed by the father in Decision Number: 59/Pid/2015/PT TJK and how is the criminal punishment against the father who commits a criminal act of abuse as a form of legal protection for children In Decision Number: 59/Pid./2015/PT TJK? This research uses normative juridical approach and empirical juridical approach. The speakers consisted of the Tanjung Karang High Court Judge, PPA Police Unit Investigator Lampung, Social Service Office and Rehabilitation Staff of the Lampung Provincial Office and academician of Criminal Law Department of Unila Law Faculty. Data collection was done by literature study and field study. Data analysis is done qualitatively. The results of this study show: Legal protection of children as victims of abuse crimes under the Child Protection Act is to provide legal protection, medical protection and psychological protection. Medical protection is performed to restore the physical condition of a child who may experience physical harm (injuries, bruises, abrasions and so on) as a result of his obscenity. This medical protection is granted until the child of the victim of the crime of transgression is physically healed. Psychological protection is provided by counseling child victims of evil, by practicing psychotherapy for the trauma they suffer from obscenity in anticipation of the long-term impacts on the stability of the child's development. Inhibiting factors of legal protection for children as victims of criminal acts of law enforcement agencies are still not optimal the quantity of investigators and the lack of socialization of the Child Protection Act. Community factors as a dominant factor, namely the reluctance of the community to be a witness in the process of law enforcement and lack of public knowledge about the protection Law against child victims of criminal acts of obscenity. Cultural factors, namely the existence of culture of individualism in the life of society, so they are indifferent and do not care about the existence of criminal acts of child abuse.

(4)

I. Pendahuluan

Anak pada dasarnya merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya juga melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak merupakan potensi masa depan dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Anak yang belum matang secara mental dan fisik, kebutuhannya harus dicukupi, pendapatnya harus dihargai, diberikan pendidikan yang benar adanya suatu kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan pribadi dan kejiwaannya, agar kelak anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi anak yang dapat diharapkan sebagai penerus bangsa. Pada kenyataannya anak justru mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari orang dewasa dan dijadikan sebagai objek tindak pidana.1

Anak yang menjadi korban kekerasan dalam kehidupan sehari-hari, yang menunjukkan bagaimana lemahnya posisi anak ketika mengalami kekerasan terhadap dirinya. Anak sangat rentan terhadap kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya, di ruang-ruang publik, bahkan dirumahnya sendiri. Kekerasan terhadap anak dominan terjadi di dalam rumah tangga yang sebenarnya diharapkan dapat memberikan rasa aman, dan yang sangat disesalkan adalah kasus-kasus kekerasan terhadap anak selama ini dianggap

1

Gadis Arivia. Potret Buram Eksploitasi Kekerasan Seksual pada Anak. Ford Foundation. Jakarta. 2005.hlm.4.

sebagai masalah yang wajar dan tidak dianggap sebagai tindak pidana kejahatan, dan yang sering terjadi tindak kekerasan pada anak disertai dengan tindak pidana pencabulan pada anak.2

Pencabulan merupakan tindakan pelanggaran hukum, pelanggaran moral, susila dan agama. Pencabulan yang dilakukan oleh seorang pelaku terhadap anak yang masih di bawah umur, dapat menimbulkan trauma fisik dan psikis terhadap korban terutama yang berusia anak-anak sehingga bisa berpengaruh pada perkembangan diri korban ketika dewasa nanti.3

Pemerintah dalam rangka memberikan perlindungan terhadap anak, telah memberlakukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Peraturan ini diberlakukan dalam guna memberikan perlindungan secara komprehensif atau menyeluruh terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana.

Upaya perlindungan hukum kepada anak yang menjadi korban tindak pidana pencabulan dikoordinasikan dan tingkatkan dalam bentuk kerjasama secara lokal, nasional, regional dan internasional, dengan strategi antara lain dengan mengembangkan koordinasi yang berkesinambungan di antara stake holder dalam penghapusan kekerasan seksual kepada anak. Pencegahan tindak pidana pencabulan dapat ditempuh

2

Primautama Dyah Savitri. Benang Merah Tindak Pidana Pelecehan Seksual. Penerbit Yayasan Obor. Jakarta. 2006. hlm.11

3

(5)

dengan strategi mengutamakan hak anak dalam semua kebijakan dan program pemerintah dan masyarakat, memberdayakan anak sebagai subyek dari hak-haknya dalam menentang pencabulan, serta menyediakan akses pelayanan dasar bagi anak di bidang pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial.

Fenomena yang melatar belakangi penelitian ini adalah aturan hukum tidak selalu dijadikan acuan bagi pembelaan terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana pencabulan. Sementara itu di sisi lain penegak hukum sangat terikat pada asas legalitas, sehingga undang-undang dibaca sebagaimana huruf-huruf itu berbunyi, dan sangat sulit memberikan interpretasi yang berbeda bahkan ketika harus berhadapan dengan kasus-kasus yang berkaitan erat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan tidak jarang, kasus-kasus kekerasan terhadap anak terkena imbas dari sistem peradilan yang tidak netral, seperti misalnya terkait persoalan politik dan uang. Oleh karena itu diharapkan dapat muncul pemikiran-pemikiran baru dan terobosan-terobosan yang dapat memberikan perlindungan yang memadai bagi para pencari keadilan.

Pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak dalam putusan Putusan Nomor: 59/Pid./2015/PT TJK. dihukum 13 tahun penjara, sesuai dengan ancaman pidana dalam Pasal 81 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu 15 tahun penjara. Pidana yang dijatuhkan hakim tersebut merupakan bentuk perlindungan terhadap anak, sebab terdakwa yang berstatus sebagai ayah kandung korban, seharusnya

melindungi korban. Selain itu perbuatan terdakwa dilakukan dengan disertai dengan ancaman kekerasan fisik, perbuatan terdakwa dilakukan secara berlanjut dari tahun 2013 – 2014 (dilakukan lebih kurang 15 kali), perbuatan terdakwa mengakibatkan korban mengalami penderitaan lahir dan batin dan perbuatan terdakwa mengakibatkan korban hamil.

Permasalahan penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah perlindungan hukum

terhadap anak korban tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh ayah kandung dalam Putusan Nomor: 59/Pid./2015/PT TJK? 2. Apakah faktor-faktor penghambat

perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh ayah kandung

dalam Putusan Nomor:

59/Pid./2015/PT TJK?

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.

II. Pembahasan

(6)

pidana yang mencak kejaksanaan dan penga peradilan pidana sebaga penegakan hukum melibatkan berbagai inst hukum yang masing-m fungsi sendiri-sendiri, adalah kepolisian, ke pengadilan. Dalam ke sitematik ini tindakan b akan berpengaruh pad lainnya. Sistem peradilan dilaksanakan untuk kejahatan, dengan tuj masyarakat menjadi kor menyelesaikan kasus terjadi sehingga masyara bahwa keadilan telah yang bersalah d mengusahakan mereka melakukan kejahatan ti lagi kejahatannya.

Menurut penjelasan Kepolisian sebagai a hukum berupaya semak dalam memberikan perli kepada anak sebagai pidana pencabulan, den berbagai langkah konstruktif dalam perlindungan hukum ses dan wewenangnya mewujudkan keamanan meliputi terpeliharanya ketertiban masyarakat tegaknya hukum, t perlindungan, pengayom dan terbina ketenteram yang menjunjung tingg

4

Hasil wawancara dengan He Penyidik Unit Perlindungan P Anak. Kepolisian Daerah Lam April 2017

ncakup kepolisian, pengadilan. Sistem gai penyelenggaan pidana yang nstitusi atau badan -masing memiliki us kejahatan yang arakat merasa puas h ditegakkan dan dipidana dan ka yang pernah n tidak mengulangi

n Heri Sumarji4, sesuai dengan hak dalam rangka

Heri Sumarji selaku n Perempuan dan

ampung. Kamis 6

Manusia. Pelaksanaan tug oleh kepolisian diarahkan pemeliharaan keamanan da penegakan hukum, pengayoman, dan pela masyarakat. Upaya ter dilaksanakan secara berke oleh kepolisian denga program sesuai dengan s yang telah ditetapkan sebelum

Menurut Heri Sumarji5 te perlindungan hukum ter sebagai korban tinda pencabulan, Kepolisian mungkin menanggapi se laporan dari anggota masya adanya tindak pidana penca melakukan penyelidikan, ka tersebut harus didukung ole yang kuat untuk menent termasuk sebagai tindak bukan. Dalam penyel rangkaian tindakan penyeli untuk mencari dan mene peristiwa yang diduga se pidana, guna menentukan tidaknya dilakukan Rangkaian tindakan penye dimaksudkan untuk peristiwa pidana da mencari/menemukan

Tindakan penyidikan didahului dengan Manakala penyidik peristiwa yang dinilai se pidana, dapat segera penyidikan.

5

(7)

Menurut Pasal 42 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, proses penyidikan terhadap perkara anak nakal wajib dirahasiakan. Kewajiban untuk merahasiakan identitas anak nakal ini konsisten dengan norma hukum Pasal 8 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 yang menentukan bahwa hakim memeriksa perkara anak nakal dalam sidang tertutup. Kecuali dalam hal tertentu, sidang dapat dinyatakan sebagai sidang terbuka. Jadi, sebelumnya adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dalam hal menjaga kerahasiaan anak yang berhadapan dengan hukum sudah tersedia Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 yang lebih maju, dimana adanya norma hukum yang mewajibkan penyidikan yang merahasiakan identitas anak. Karenanya, bukan lagi hanya sekadar hak anak, namun telah dirumuskan sebagai kewajiban penyidik dalam penyidikan. Anak berhak memperoleh bantuan hukum, dan bantuan lainnya, baik korban atau pelaku tindak pidana (Pasal 18 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak).

Perlindungan anak merupakan kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan anak mengupayakan agar setiap hak anak tidak dirugikan dan bersifat melengkapi hak-hak lain dan menjamin bahwa anak akan menerima apa yang mereka butuhkan agar mereka dapat hidup,

berkembang dan tumbuh. Tujuan dasar dari perlindungan anak adalah untuk menjamin bahwa semua pihak yang berkewajiban mengawasi perlindungan anak mengenali tugas-tugas dan dapat memenuhi tugas yang telah ditetapkan itu.

Setelah pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana pencabulan di Tingkat Kepolisian selesai dilaksanakan, yaitu dengan pelimpahan perkara oleh Pihak Kepolisian kepada kejaksaan maka selanjutnya Pihak Kejaksaaan akan menindak lanjuti perkara tersebut sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum yang berlaku.

Penuntut umum dalam hal ini memiliki wewenang untuk melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan. Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, maka penuntut umum menentukan apakah berkas perkara tersebut sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dapat dilimpahkan ke pengadilan

Berdasarkan uraian di atas maka jelaslah bahwa perlindungan hukum terhadap anak pada tingkat kejaksaan dilakukan dengan dasar hukum KUHP dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

(8)

wajar sesuai dengan harka kemanusiaan, serta perlindungan dari k diskriminasi (Pasal 4) selama dalam pengasu wali, atau pihak lain m bertanggung jawab at berhak mendapat per perlakuan diskriminasi, ekonomi maupun seksua kekejaman, keker penganiayaan, ketida perlakuan salah lainnya yang melakukan perlaku keadilan melalui proses mana berdasarkan bukti-dan meyakinkan, haki hukuman kepada terdakwa pencabulan terhadap ana amanat KUHP dan Perlindungan Anak.

Hakim dalam hal menj kepada terdakwa menjatuhkan pidana t apabila dengan sekurang alat bukti yang sah, s memperoleh keyakinan tindak pidana benar-be terdakwalah yang

melakukannya (Pasal 183 KUHAP bukti sah yang dimaks

Keterangan Saksi; (b). Ke (c). Surat; (d). Petunjuk;

6

Hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Tinggi Senin 13 Februari 2017

harkat dan martabat i, eksploitasi, baik ksual, penelantaran, kerasan, dan tidakadilan dan nnya. Setiap orang kuan itu dikenakan n [Pasal 13 Ayat (1)

Al Farisi6 pada dilan berupaya kin menegakkan oses pengadilan, di bukti-bukti secara sah tersebut kecuali ang-kurangnya dua h, sehingga hakim nan bahwa suatu -benar terjadi dan ng bersalah 183 KUHAP). Alat aksud adalah: (a). . Keterangan Ahli; uk; (e). Keterangan

n Salman Al Farisi. gi Tanjung Karang.

Terdakwa atau hal yang sudah diketahui sehingga dibuktikan.

Pasal 185 Ayat (2 menyebutkan bahwa ketera saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terda terhadap perbuatan yang kepadanya, sedangkan dal dikatakan ketentuan ter berlaku apabila disertai denga bukti yang sah lainnya (unus testis). Saksi korban jug sebagai saksi, sehingga apa alat bukti yang lain dimaksud dalam Ayat (3), cukup untuk menuntut si pe pidana pencabulan kepada a

(9)

Menurut Ratna Fitriani7 upaya perlindungan kepada anak sebagai korban tindak pidana pencabulan tidak hanya dilakukan secara hukum, sebagaimana telah diuraikan di atas, tetapi harus dilakukan secara terpadu baik perlindungan secara medis maupun secara psikologis.

Perlindungan secara medis dilakukan untuk memulihkan kondisi fisik anak yang mungkin mengalami kerugian fisik (luka-luka, memar, lecet dan sebagainya) sebagai akibat dari pencabulan yang dialaminya. Perlindungan medis ini diberikan sampai anak korban tindak pidana pencabulan tersebut benar-benar sembuh secara fisik. Sementara itu perlindungan psikologis diberikan dengan melakukan pendampingan kepada anak korban tindak pidana pencabulan, yaitu dengan melaksanakan terapi kejiwaan atas trauma yang mereka alami akibat pencabulan. Hal ini sangat penting dilakukan untuk mengantisipasi dampak jangka panjang bagi stabilnya perkembangan jiwa anak korban tindak pidana pencabulan.

Berdasarkan uraian di atas maka diketahui bahwa anak adalah generasi penerus keluarga, masyarakat, bangsa dan negara harus dirawat, dibina, dan dibimbing agar dapat tumbuh kembang secara wajar sesuai potensi yang dimiliki dengan tetap membela dan mempertahankan identitas. Anak merupakan individu yang belum matang baik secara fisik, mental maupun sosial dan oleh karena kondisinya yang rentan,

7

Hasil wawancara dengan Ratna Fitriani. Kabid Pelayanan dan Rebilitas Sosial pada Dinas Sosial Provinsi Lampung. Rabu 8 Februari 2017

tergantung dan berkembang, anak lebih berisiko mendapatkan kekerasan dan eksploitasi ketimbang orang dewasa. Di sisi lain anak adalah pemilik masa depan dan oleh karenanya kita bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup, tumbuh kembang dan kemampuan mereka untuk bisa berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi hidup mereka.

Uraian di atas sesuai dengan pendapat Tri Andrisman, bahwa perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Jadi masalah perlindungan hukum bagi anak mencakup ruang lingkup yang sangat luas.8

Undang-Undang Perlindungan Anak menentukan karakteristik pemerintah atau negara dalam menentukan sistem hukum perlindungan anak yang masih menampilkan kesenjangan hukum mengenai anak dan hak-hak anak yang masih belum sepenuhnya terintegrasi kedalam norma hukum positif dan belum maksimal khususnya dalam pemberian rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 Ayat (3) huruf a Undang-Undang Perlindungan Anak, menyatakan perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilaksanakan melalui: upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar

8

(10)

lembaga. Dilatar belakangi ketidakadilan perlakuan antara hak-hak pelaku dan hak-hak korban dalam upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga sistem peradilan pidana dan tujuan negara, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Atas dasar ini, negara harus ikut campur tangan secara aktif dalam upaya memberikan perlindungan terhadap nasib korban secara kongkrit dan individual, melalui rehablitasi sebagai bentuk kompensasi maupun restitusi

Berdasarkan uraian di atas maka penulis menganalisis bahwa perlindungan hukum kepada anak sebagai korban tindak pidana pencabulan adalah sebagai mekanisme dan rangkaian kegiatan pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan itu harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial.

Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara. Bahkan sedemikian pentingnya perlindungan anak tersebut, upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun.

Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak mengatur bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

B. Faktor-Faktor Penghambat Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Tindak Pidana Pencabulan

1. Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)

Faktor perundang-undangan (substansi hukum) yang tidak menjadi penghambat perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh ayah kandung, karena penegak Undang-Undang Perlindungan Anak telah secara jelas mengatur upaya perlindungan terhadap anak sebagai korban tindak pidana pencabulan sehingga menjadi dasar hukum bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakannya.

(11)

semangat hukum yang dibangun berkaitan erat dengan visi pembentuk Undang-Undang, maka dalam konteks membangun hukum yang demokratis, tinjauan tentang peran pembentuk undang-undang penting dilakukan. Pembentuk undang-undang tidak

semata-mata berkewajiban

mengadaptasikan hukum untuk mengubah masyarakat menjadi lebih baik, tetapi juga memiliki kesempatan untuk memberikan sumbangan terhadap pembentukan perubahan masyarakat itu sendiri. Pembentuk undang-undang, dengan demikian, tidak lagi semata-mata mengikuti perubahan masyarakat, akan tetapi justru mendahului perubahan masyarakat itu. Masyarakat yang adil dan makmur serta modern yang merupakan tujuan pembangunan bangsa, justru sesungguhnya merupakan kreasi tidak langsung dari pembentuk undang-undang.9

Peraturan perundang-undangan sebagai instrumen hukum pidana menciptakan tata tertib di dalam masyarakat melalui pemberian pidana kepada para pelaku kejahatan, artinya dengan ditetapkannya di dalam undang-undang perbuatan-perbuatan tertentu sebagai perbuatan-perbuatan yang dilarang disertai ancaman pidana, atau dengan ditetapkannya perbuatan-perbuatan tertentu sebagai tindak pidana di dalam undang-undang, maka diharapkan warga masyarakat akan mengerti dan menyesuaikan diri sehingga tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang telah dilarang dan diancam pidana itu.

9

Roeslan Saleh, Penjabaran Pancasila dan UUD 1945 Dalam Perundang-Undangan, Bina Aksara, Jakarta, 1979, hlm. 12.

2. Faktor Penegak Hukum

Menurut Ratna Fitriani10 faktor aparat penegak hukum yang menghambat perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh ayah kandung adalah masih terbatasnya kuantitas penyidik Unit Perlindungan Anak dan Perempuan

(PPA) dalam melaksanakan

perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana pencabulan. Selain itu minimnya

sosialisasi Undang-Undang

Perlindungan Anak pada masyarakat, khususnya kelompok masyarakat di daerah terpencil, berpendidikan rendah dan ekonomi rendah oleh aparat penegak hukum sehingga mereka tidak memiliki pengetahuan dan kesadaran tentang pentingny perlindungan hukum terhadap anak dan tidak tahu bagaimana memperoleh perlindungan hukum tersebut. Seharusnya aparat penegak hukum dapat bekerja lebih maksimal dalam mensosialisasikan Undang-Undang Perlindungan Anak pada masyarakat, agar pengetahuan dan kesadaran mereka meningkat dan mereka dapat memperoleh perlindungan hukum, khususnya bagi anak-anak mereka yang mengalami tindak pidana pencabulan. Hal ini penting dilakukan, mengingat perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari berbagai kekerasan

10

(12)

dan diskriminasi, termasuk perlindungan dari tindak pidana tindak pidana pencabulan terhadap anak.

3. Faktor Sarana dan Fasilitas

Menurut Heri Sumarji11 Faktor sarana dan fasilitas tidak menjadi penghambat perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh ayah kandung, karena penegak hukum perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh ayah kandung telah didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai.

Sarana dan prasarana yang memadai memiliki peranan yang penting dalam meningkatkan proses penyidikan. Selain itu ketersedian sarana prasarana juga menjadi instrumen penting dalam penegakan hukum yang memiliki peranan besar dalam penyelengaraan kehidupan berbangsa dan bernegara untuk menjamin kepentingan mayoritas masyarakat atau warga negara, terjaminnya kepastian hukum sehingga berbagai perilaku tindak pidana dan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan anggota masyarakat atas anggota masyarakat lainnya akan dapat dihindarkan. Dengan kata lain penegakan hukum secara ideal akan dapat mengantisipasi berbagai penyelewengan pada anggota masyarakat dan adanya pegangan yang pasti bagi masyarakat dalam menaati dan melaksanakan hukum. Pentingnya masalah penegakan hukum dalam hal ini

11

Hasil wawancara dengan Heri Sumarji selaku Penyidik Unit Perlindungan Perempuan dan Anak. Kepolisian Daerah Lampung. Kamis 6 April 2017

berkaitan dengan semakin meningkatnya kecenderungan berbagai fenomena tindak pidana baik secara kuantitatif dan kualitatif serta mengalami kompleksitas baik pelaku, modus, bentuk, sifat, maupun keadaannya.

4. Faktor Masyarakat

Menurut Salman Al Farisi12 faktor masyarakat yang menghambat perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh ayah kandung adalah adanya ketakutan atau keengganan masyarakat untuk menjadi saksi dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak.

Kehidupan masyarakat memerlukan eksistensi hukum, karena bukan hanya menjadi parameter untuk keadilan, keteraturan, ketentraman dan ketertiban, tetapi juga untuk menjamin adanya kepastian hukum. Hukum semakin diarahkan sebagai sarana kemajuan dan kesejahteraan masyarakat dan manusia dituntut untuk dapat mengendalikan perilakunya, sebab tanpa pengendalian dan kesadaran untuk membatasi perilaku yang berpotensi merugikan kepentingan orang lain dan kepentingan umum. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maka peran hukum menjadi sangat penting untuk mengatur hubungan masyarakat sebagai warga negara, baik hubungan antara sesama manusia, hubungan manusia dengan kebendaan, manusia dengan alam sekitar dan manusia dengan negara, tetapi pada kenyataannya ada manusia yang

12

(13)

melanggar hukum atau melakukan tindak pidana.

5. Faktor Kebudayaan

Menurut Salman Al Farisi13 faktor budaya yang menghambat perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh ayah kandung adalah adanya budaya individualisme dalam kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat mereka bersikap acuh tidak acuh dan tidak memperdulikan apabila menjumpai atau mengetahui adanya pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak. Hal ini tentunya akan menjadi penghambat sebab apabila sikap individualisme dan tidak peduli telah menjadi bagian dari budaya masyarakat kota pada khususnya, maka pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak akan mengalami hambatan karena kurangnya partisipasi atau dukungan dari masyarakat yang telah memiliki nilai-nilai individualisme dalam kehidupan.

Faktor terjadinya tindak pidana pencabulan kepada anak, karena rendahnya pengetahuan masyarakat pada umumnya tentang bagaimana dan kepada siapa mencari perlindungan hukum bagi anak-anak mereka yang menjadi korban tindak pidana pencabulan, karena kurangnya sosialiasi khususnya pada masyarakat di daerah terpencil, berpendidikan dan ekonomi rendah. Selain itu berkembangnya mitos di tengah-tengah masyarakat bahwa

13

Hasil wawancara dengan Salman Al Farisi. Hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang. Senin 13 Februari 2017

melakukan hubungan badan dengan anak-anak akan dapat meningkatkan keperkasaan seorang laki-laki dan membuat jadi awet muda. Mitos ini turut berpotensi meningkatkan jumlah anak-anak yang menjadi korban tindak pidana pencabulan.

III. Penutup A. Kesimpulan

1. Perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana pencabulan berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak adalah dengan memberikan perlindungan hukum, perlindungan medis dan perlindungan psikologis. Perlindungan secara medis dilakukan untuk memulihkan kondisi fisik anak yang mungkin mengalami kerugian fisik (luka-luka, memar, lecet dan sebagainya) sebagai akibat dari pencabulan yang dialaminya. Perlindungan medis ini diberikan sampai anak korban tindak pidana pencabulan tersebut benar-benar sembuh secara fisik. Perlindungan psikologis diberikan dengan melakukan pendampingan kepada anak korban tindak pidana pencabulan, yaitu dengan melaksanakan terapi kejiwaan atas trauma yang mereka alami akibat pencabulan untuk mengantisipasi dampak jangka panjang bagi stabilnya perkembangan jiwa anak korban tindak pidana pencabulan.

(14)

optimalnya kuantitas penyidik dan minimnya sosialisasi Undang-Undang Perlindungan Anak. Faktor masyarakat sebagai faktor yang dominan, yaitu adanya keengganan masyarakat untuk menjadi saksi dalam proses penegakan hukum serta kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana pencabulan. Faktor budaya, yaitu adanya budaya individualisme dalam kehidupan masyarakat, sehingga mereka bersikap acuh tidak acuh dan tidak memperdulikan adanya tindak pidana pencabulan terhadap anak.

B. Saran

1. Agar perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban perkosaaan dioptimalkan oleh aparat penegak hukum dan instansi terkait dengan memberikan perlindungan secara medis dan secara psikologis terhadap anak korban kejahatan perkosaaan, sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara baik dalam rangka menyongsong masa depannya.

2. Hendkanya pada masa mendatang pidana yang dijatuhkan secara maksimal sesuai ancaman dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, dalam rangka memberikan efek jera dan meminimalisasi terjadinya kejahatan pencabulan terhadap anak.

DAFTAR PUSTAKA

Andrisman, Tri. 2013. Hukum Peradilan Anak. Bahan Ajar pada Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Atmasasmita, Romli. 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi,

Mandar Maju, Bandung.

Gosita, Arief. 2001, Masalah Korban Kejahatan, Pressindo, Jakarta.

Hamzah, Andi. 2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta.

Harahap, M. Yahya. 1998.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Sinar Grafika. Jakarta.

Lamintang,P.A.F. 1996. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Adityta Bakti, Bandung.

Marpaung, Leden. 2004. Kejahatan terhadap Kesusilaan dan Masalah PrevensinyaSinar Grafika, Jakarta.

Moeljatno, 1983.Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana,Bina Aksara, Jakarta.

Muladi. 1997Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana.Badan Penerbit UNDIP. Semarang.

Rahardjo, Satjipto. 1996.Hukum dalam Perspektif Sejarah dan

(15)

Reksodiputro, Mardjono. 1994.Sistem Peradilan Pidana Indonesia Melihat

Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi. Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta.

Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika. Jakarta.

Rosidah, Nikmah. 2011. Asas-Asas Hukum Pidana. Penerbit Pustaka Magister, Semarang.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta.

---. 1986. Faktor-Faktor yang

Mempengaruhi Penegakan

Hukum. Rineka Cipta. Jakarta.

Wadong, Maulana Hasan. 2006.

Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Gramedia Widiaksara Indonesia, Jakarta.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

jo. Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2014 Tentang

Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Referensi

Dokumen terkait

2. The General Conference may meet in extraordinary session if so called upon by the President on the advice of the Executive Board... The General Conference shall have

From the phenomenon above the writer is interested in conducting a research entitled, “Descriptive Study on English Speaking Teaching-Learning Process at the First Year of Junior

Bagi pembangunan pertanian, sistem-sistem agroforestri menyediakan model pertanian komersil, menguntungkan dan berkesinambungan dan sesuai dengan keadaan petani,

Implikasi dalam penelitian ini adalah (1) penyelenggaraan pendidikan gratis di MI Guppi Datara dapat diteruskan oleh pemerintah, karena pendidikan gratis sangat memberikan manfaat

Berdasarkan hasil pengamatan fenotip, tanaman yang terseleksi pada tanaman bayam populasi UB 3 adalah tanaman yang memiliki daun berwarna dark citron (hijau muda)

The objective is to combine the benefits of case study method of teaching with online discussion forum to enhance the quality of learning while making this an assessment component

Sebelum adanya program UKM masyarakat sulit mengembangkan usahanya dan sulit untuk mengakses dana atau modal akan tetapi adanya program UKM yang diadakan oleh

Sementara itu, trigonometri rasional membahas tentang garis dan segitiga pada berbagai lapangan, misalnya lapangan himpunan bilangan riil, lapangan himpunan bilangan