• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG

PERLINDUNGAN ANAK

Oleh

NOVI PUSPASARI RS

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG

PERLINDUNGAN ANAK Oleh

NOVI PUSPASARI RS

Tindak pidana pencabulan terhadap anak merupakan kejahatan yang melanggara moral, susila dan agama. Dampak tindak pidana ini terhadap anak adalah menimbulkan trauma fisik dan psikis terhadap korban terutama yang berusia anak-anak sehingga bisa berpengaruh pada perkembangan diri korban ketika dewasa nanti. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana pencabulan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak? (2) Apakah perlindungan hukum anak dalam Undang Nomor 23 Tahun 2002 sudah dapat memenuhi kepentingan hukum anak sebagai korban tindak pidana?

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Responden penelitian adalah Kasubnit I Perlindungan Perempuan dan Anak Polresta Bandar Lampung, Assisten Tindak Pidana Umum Kejakasaan Negeri Bandar Lampung, Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Staf Unit Rehabilitasi Anak Korban Kekerasan Seksual RSUD Abdoel Moelok Bandar Lampung. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Data dianalisis secara kualitatif untuk memperoleh kesimpulan penelitian.

(3)

Tingkat Pengadilan Negeri, dilakukan dengan proses pengadilan terhadap terdakwa pelaku pencabulan terhadap anak. Hakim menjatuhkan hukuman kepada terdakwa tindak pidana pencabulan berdasarkan bukti-bukti secara sah dan meyakinkan.

Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Aparat penegak hukum disarankan untuk lebih intens dalam menangani masalah perlindungan hukum kepada anak hendaknya semakin meningkatkan sosialiasi dalam rangka menyebar luaskan pengetahuan dan kesadaran bagi masyarakat, khususnya masyarakat yang berada di daerah terpencil, pedesaan, dengan latar belakang pendidikan dan ekonomi yang rendah, tentang pentingnya perlindungan hukum kepada anak. Hal ini penting dilakukan agar masyarakat luas mengetahui adanya perlindungan hukum kepada anak dan mereka mengetahui langkah-langkah apa yang semestinya dilakukan ketika anak-anak mereka dilecehkan secara seksual. (2) Orang tua dan masyarakat luas pada umumnya, hendaknya semakin meningkatkan pengawasan dan kontrol terhadap lingkungan dan tempat bermain anak, hal ini penting dilakukan guna mengantisipasi potensi terjadinya tindak pidana pencabulan yang mengancam anak-anak. Kepada tokoh agama dan tokoh masyarakat hendaknya semakin intensif melakukan pembinaan kepada warga masyarakat untuk dapat meminimalisasi potensi terjadinya tindak pidana pencabulan yang mungkin dapat terjadi di lingkungan masyarakat setempat.

(4)
(5)
(6)

DAFTAR ISI

I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 14

II TINJAUAN PUSTAKA ... 16

A. Pengertian Anak ... 16

B. Perlindungan Hukum Terhadap Anak ... 17

C. Tindak Pidana Pencabulan ... 24

D. Perlindungan Korban ... 32

III METODE PENELITIAN ... 38

A. Pendekatan Masalah ... 38

B. Jenis Data ... 38

C. Penentuan Narasumber... 40

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 41

E. Analisis Data ... 42

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 43

A. Karakteristik Responden ... 43

B. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Tindak Pidana Pencabulan Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak ... 44

(7)

A. Kesimpulan ... 78

B. Saran ... 79

(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pesatnya arus pertumbuhan globalisasi, industrialisasi dan adanya perdagangan

bebas membuat banyak perubahan terhadap kondisi umat manusia yang juga

berdampak pada beragamnya jenis tindak pidana. Tindak pidana tersebut tidak

hanya menyentuh publik tetapi juga pribadi individu manusia. Adanya ketidak

seimbangan ekonomi yang semakin lebar menjadi salah satu faktor utama

penyebab berbagai macam tindak pidana.

Salah satu pihak yang paling dirugikan akibat hal tersebut adalah anak-anak. Anak

merupakan generasi penerus cita-cita bangsa, oleh karena itu komitmen dan

perlakuan yang memperhatikan perkembangan dan peranan anak sebagai generasi

penerus bangsa merupakan suatu hal yang harus dipegang oleh pemimpin negeri

ini. Dengan demikian, anak yang belum matang secara mental dan fisik,

kebutuhannya harus dicukupi, pendapatnya harus dihargai, diberikan pendidikan

yang benar adanya suatu kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan pribadi

dan kejiwaannya, agar kelak anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi anak

yang dapat diharapkan sebagai penerus bangsa.1

1

(9)

Anak yang menjadi korban kekerasan dalam kehidupan sehari-hari, yang

menunjukkan bagaimana lemahnya posisi anak ketika mengalami kekerasan

terhadap dirinya. Anak sangat rentan terhadap kekerasan yang dilakukan oleh

orang-orang di sekitarnya, di ruang-ruang publik, bahkan dirumahnya sendiri.

Kekerasan terhadap anak dominan terjadi di dalam rumah tangga yang sebenarnya

diharapkan dapat memberikan rasa aman, dan yang sangat disesalkan adalah

kasus-kasus kekerasan terhadap anak selama ini dianggap sebagai masalah yang

wajar dan tidak dianggap sebagai tindak pidana kejahatan, dan yang sering terjadi

tindak kekerasan pada anak disertai dengan tindak pidana pencabulan pada anak.2

Tindak pidana pencabulan merupakan suatu pelanggaran hak-hak asasi manusia

yang paling hakiki dan tidak ada suatu alasan yang dapat membenarkan tindak

pidana tersebut, baik dari segi moral, susila dan agama, terutama tindak pidana

pencabulan yang dilakukan oleh seorang pelaku terhadap anak yang masih

dibawah umur. Oleh karena perbuatan pelaku tersebut dapat menimbulkan trauma

fisik dan psikis terhadap korban terutama yang berusia anak-anak sehingga bisa

berpengaruh pada perkembangan diri korban ketika dewasa nanti.

Upaya perlindungan hukum kepada Anak pada dasarnya telah diatur dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya Pasal 287 KUHP yang

mengatur:

(1) Barangsiapa bersetubuh dengan sorang wanita yang bukan istrinya, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umur wanita itu belum lima belas tahun, atau kalau umumya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawinkan, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

2

(10)

(2) Penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan, kecuali bila umur wanita itu belum sampai dua belas tahun atau bila ada salah satu hal seperti tersebut dalam Pasal 291 dan Pasal 294.

Perkembangan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban pencabulan

selanjutnya diatur secara khusus melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak. Latar belakang pemberlakuan Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 adalah masih sering terjadinya berbagai bentuk perilaku

orang dewasa yang melanggar hak-hak anak di Indonesia dalam berbagai aspek

kehidupan. Oleh karena itu Nomor 23 Tahun 2002 diberlakukan dalam rangka

pemenuhan hak-hak anak dalam bentuk perlindungan hukum yang meliputi hak

atas kelangsungan hidup, hak untuk berkembang, hak atas perlindungan dan hak

untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat tanpa diskriminasi. Setiap anak

yang menjadi korban pencabulan memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan

hukum secara pasti sesuai dengan Hak Asasi Manusia.

Pada dasarnya hukum merupakan pedoman atau pegangan bagi manusia yang

digunakan sebagai pembatas sikap, tindak atau perilaku dalam melangsungkan

antar hubungan dan antar kegiatan dengan sesama manusia lainnya dalam

pergaulan hidup bermasyarakat. Hukum juga dapat dilukiskan sebagai jaringan

nilai-nilai kebebasan sebagai kepentingan pribadi di satu pihak dan nilai-nilai

ketertiban sebagai kepentingan antar pribadi di pihak lain. Arti penting

perlindungan hukum dalam kehidupan masyarakat antara lain adalah untuk

(11)

dan menghindarkan manusia dari kekacauan di dalam segala aspek kehidupannya.

Hukum diperlukan guna menjamin dan menghindarkan manusia dari kekacauan.3

Upaya perlindungan hukum kepada anak yang menjadi korban pencabulan

dikoordinasikan dan tingkatkan dalam bentuk kerjasama secara lokal, nasional,

regional dan internasional, dengan strategi antara lain dengan mengembangkan

koordinasi yang berkesinambungan di antara stake holder dalam penghapusan

kekerasan seksual kepada anak. Pencegahan tindak pidana pencabulan dapat

ditempuh dengan strategi mengutamakan hak anak dalam semua kebijakan dan

program pemerintah dan masyarakat, memberdayakan anak sebagai subyek dari

hak-haknya dalam menentang pencabulan, serta menyediakan akses pelayanan

dasar bagi anak di bidang pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial.

Berdasarkan data nasional Komisi Perlindungan Anak (KPA) maka diketahui

bahwa pada tahun 2010 terjadi sebanyak 3.652 kasus pencabulan anak di

Indonesia, meningkat menjadi 4.217 kasus pada tahun 2011 dan kembali

mengalami peningkatan menjadi 5.078 kasus pada tahun 2012.4

Data di atas menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 masih

belum mampu secara optimal dalam memberikan perlindungan kepada anak,

bahkan jumlah anak yang menjadi kroban pencabulan mengalami peningkatan.

Padahal undang-undang ini telah mengatur secara rinci sanksi pidana terhadap

pelaku pencabulan dan pelanggar hak-hak anak lainnya, namun demikian pada

pelaksanaannya sanksi tersebut tidak sepenuhnya memberikan efek jera kepada

3

Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi. Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1994. hlm. 12-13

4

(12)

pelaku dan aparat penegak hukum seharusnya mengoptimalkan upaya

perlindungan hukum kepada anak sebagai korban pencabulan.

Upaya memberikan perlindungan kepada anak-anak yang menjadi korban

pencabulan dapat dilakukan dengan mengembangkan sistem dan mekanisme

perlindungan hukum dan sosial bagi bagi anak yang beresiko atau menjad korban

pencabulan. Selain itu sangat penting pula dilakukan upaya pemulihan dan

reintregasi anak korban pencabulan. Caranya antara lain dengan mengutamakan

pendekatan yang baik kepada anak-anak yang menjadi korban pencabulan dalam

keseluruhan prosedur perundangan, memberi pelayanan medis, psikologis

terhadap anak dan keluarganya, mengingat anak yang menjadai korban

pencabulan biasanya mengalami trauma yang akan berpotensi mengganggu

perkembangan kejiwaan mereka.

Kehidupan bermasyarakat setiap orang tidak dapat terlepas dari berbagai

hubungan timbal balik dan kepentingan yang saling terkait antara yang satu

dengan yang lainya yang dapat di tinjau dari berbagai segi, misalya segi agama,

etika, sosial budaya, politik, dan termasuk pula segi hukum. Ditinjau dari

kemajemukan kepentingan seringkali menimbulkan konflik kepentingan, yang

pada akhirya melahirkan apa yang di namakan tindak pidana. Untuk melindugi

kepentingan-kepentingan yang ada tersebut, maka di buat suatu aturan dan atau

norma hukum yang wajib di taati. Terhadap orang yang melenggar aturan hukum

dan menimbulkan kerugian kepada orang lain akan di ambil tindakan berupa ganti

kerugian atau denda, sedang bagi seorang yang telah melakukan tindak pidana

(13)

Uraian di atas menunjukkan adanya pembangunan di bidang hukum yang

mersepon kompleksnya permasalahan-permasalahan hukum termasuk maraknya

kejahatan/kriminalitas yang terus terjadi seiring dengan perkembangan zaman,

ilmu pengetahuan dan teknologi. Pemerintah indonesia melalui badan dan atau

instansi-instansi beserta aparatur penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan,

Pengadilan dan Lembaga Permasyarakatan) diharapkan mampu melaksanakan

upaya penegakan hukum yang nyata dan dapat di pertanggungjawabkan sesuai

dengan peraturan hukum yang berlaku agar tatanan kehidupan bermasyarakat dan

berbangsa yang aman dan tertib dapat di capai semaksimal mungkin.

Pentingnya kajian mengenai perbandingan bentuk perlidungan hukum terhadap

anak sebagai korban pencabulan dalam penelitian ini adalah untuk

mendeskripsikan mengenai hak anak sebagai korban pencabulan dalam

memperoleh perlindungan sebagai hak-hak mereka. Beberapa bentuk

perlindungan tersebut di antaranya adalah mendapatkan upaya rehabilitasi, lalu

mendapatkan perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa, dan

pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban, serta pemberian aksesibilitas

untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.

Fenomena yang melatar belakangi penelitian ini adalah aturan hukum tidak selalu

dijadikan acuan bagi pembelaan terhadap anak yang menjadi korban pencabulan.

Sementara itu di sisi lain penegak hukum sangat terikat pada asas legalitas,

sehingga undang-undang dibaca sebagaimana huruf-huruf itu berbunyi, dan sangat

sulit memberikan interpretasi yang berbeda bahkan ketika harus berhadapan

(14)

jarang, kasus-kasus kekerasan terhadap anak terkena imbas dari sistem peradilan

yang tidak netral, seperti misalnya terkait persoalan politik dan uang. Oleh karena

itu diharapkan dapat muncul pemikiran-pemikiran baru dan terobosan-terobosan

yang dapat memberikan perlindungan yang memadai bagi para pencari keadilan

khususnya dalam hal ini.

Berdasarkan uraian di atas penuliskan melakukan penelitian dalam skripsi yang

berjudul: ”Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Tindak Pidana

Pencabulan Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak”

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka permasalahan dalam

penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana

pencabulan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak?

b. Apakah perlindungan hukum anak dalam Undang Nomor 23 Tahun 2002

sudah dapat memenuhi kepentingan hukum anak sebagai korban tindak pidana?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup ilmu penelitian adalah hukum pidana, dengan subkajian mengenai

perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana pencabulan berdasarkan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ruang

lingkup waktu penelitian adalah pada tahun 2013 dengan wilayah penelitian yaitu

(15)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap anak korban tindak

pidana pencabulan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak

b. Untuk mengetahui perlindungan hukum anak dalam Undang Nomor 23 Tahun

2002 memenuhi kepentingan hukum anak sebagai korban tindak pidana

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini terdiri dari kegunaan secara teoretis dan kegunaan secara

praktis sebagai berikut:

a. Kegunaan Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan berguna dalam memperkaya wawasan hukum

pidana, dengan kajian tentang perlindungan hukum terhadap anak korban

tindak pidana pencabulan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak.

b. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran

bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan perlindungan hukum

terhadap anak yang menjadi korban pencabulan sebagai upaya untuk

memenuhi hak-hak anak untuk memperoleh perlindungan sesuai dengan

(16)

D. Kerangka Teoretis dan Konseptual

1. Kerangka Teoretis

Kerangka teoretis merupakan abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau

dasar yang relevan untuk pelaksanaan suatu penelitian ilmiah, khususnya

penelitian hukum5. Berdasarkan pengertian tersebut maka kerangka teoretis yang

digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Perlindungan Hukum Terhadap Anak

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak

dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara

optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).

Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam

situasi darurat, anak yang melakukan tindak pidana, anak dari kelompok minoritas

dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak

yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika,

alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan,

penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak

yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

5

(17)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan

bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan

negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus

demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan itu harus berkelanjutan

dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik,

mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan

kehidupan terbaik bagi anak sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh,

memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta

berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.

Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari

janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik

tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif,

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak meletakkan

kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas yaitu:

1) Nondiskriminasi;

2) Kepentingan yang terbaik bagi anak;

3) Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan

4) Penghargaan terhadap pendapat anak.

b. Teori Sistem Hukum Lawrence Friedman

Menurut Lawrence Friedman sebagaimana dikutip Mardjono Reksodiputro,

unsur-unsur sistem hukum itu terdiri dari struktur hukum (legal structure),

(18)

a. Struktur hukum meliputi badan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta

lembaga-lembaga terkait, seperti Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan, Komisi

Judisial, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lain-lain.

b. Substansi hukum adalah mengenai norma, peraturan maupun undang-undang.

c. Budaya hukum adalah meliputi pandangan, kebiasaan maupun perilaku dari

masyarakat mengenai pemikiran nilai-nilai dan pengharapan dari sistim

hukum yang berlaku, dengan perkataan lain, budaya hukum itu adalah iklim

dari pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar

atau dilaksanakan. 6

Sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum

pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi

sendiri-sendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan

lembaga pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sistematik ini tindakan badan

yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya. Instansi-instansi tersebut

masing-masing menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya.

Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang

menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana

materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun

demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks

sosial. Dengan demikian demi apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka

ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas

6

(19)

keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan

hukum. 7

Pandangan penyelenggaran tata hukum pidana demikian itu disebut oleh Sudarto

sebagai model kemudi (stuur model). Jadi kalau polisi misalnya hanya memarahi

orang yang melanggar peraturan lalu lintas dan tidak membuat proses verbal dan

meneruskan perkaranya ke Kejaksaan, itu sebenarnya merupakan suatu keputusan

penetapan hukum. Demikian pula keputusan Kejaksaan untuk menuntut atau tidak

menuntut seseorang di muka pengadilan. Ini semua adalah bagian dari kegiatan

dalam rangka penegakan hukum, atau dalam suasana kriminologi disebut crime

control suatu prinsip dalam penanggulangan kejahatan ini ialah bahwa

tindakan-tindakan itu harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. 8

Sistem peradilan pidana melibatkan penegakan hukum pidana, baik hukum pidana

substantif, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana, dalam

bentuk yang bersifat prefentif, represif maupun kuratif. Dengan demikian akan

nampak keterkaitan dan saling ketergantungan antar subsistem peradilan pidana

yakni lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan

dalam melaksanakan penelitian9. Batasan pengertian dari istilah yang digunakan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

7

Ibid, hlm. 77. 8

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni,Bandung, 1986, hlm.7.

9

(20)

a. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi

anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan

berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,

serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi10

b. Anak adalah adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

termasuk anak yang masih dalam kandungan11

c. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,

larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi

siapa yang melanggar larangan itu. Tindak pidana merupakan pelanggaran

norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan sengaja atau tidak

sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku12

d. Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau

kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana13.

e. Pencabulan adalah setiap bentuk perilaku yang memiliki muatan seksual yang

dilakukan seseorang atau sejumlah orang namun tidak disukai dan tidak

diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat

negatif, seperti: rasa malu, tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga diri

dan kehilangan kesucian14

10

Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

11

Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 12

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 54

13

Pasal 1 Angka (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

14

(21)

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini disajikan dalam beberapa bab yaitu sebagai

berikut:

I PENDAHULUAN

Bab ini berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar

Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan

Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.

II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tinjauan pustaka yang meliputi pengertian perbandingan

hukum, perlindungan hukum terhadap anak, tindak pidana dan pencabulan

III METODE PENELITIAN

Bab ini berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari

Pendekatan Masalah, Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel,

Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi penyajian dan pembahasan data yang telah didapat dari hasil

penelitian, yang terdiri dari bentuk perlindungan hukum terhadap anak

korban tindak pidana pencabulan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan perlindungan hukum anak

dalam Undang Nomor 23 Tahun 2002 memenuhi kepentingan hukum anak

(22)

V PENUTUP

Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan

pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan

(23)

A. Pengertian Anak

Beberapa batasan umur sebagai pengertian mengenai anak menurut peraturan

perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang usia yang dikategorikan

sebagai anak yang antara lain sebagai berikut:

1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

Pasal 287 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa usia yang dikategorikan sebagai

anak adalah seseorang yang belum mencapai lima belas tahun.

2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Pasal 1 angka (2) menyatakan anak adalah seorang yang belum mencapai

batas usia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin

3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Pasal 1 angka (1) menyatakan anak adalah orang yang dalam perkara anak

nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18

(delapan belas) tahun dan belum pernah kawin

4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Pasal angka (5) menyebutkan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia

di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang

(24)

Pasal 1 angka (1), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, menjelaskan anak adalah seseorang yang belum berusia

18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan YME, yang senantiasa harus

dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai

manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak

asasi manusia yang termuat dalam UUD 1945 dan Konvensi PBB tentang

Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan

bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas

kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi, perlindungan dari

tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

B. Perlindungan Hukum Terhadap Anak

1. Pengertian Perlindungan Hukum Terhadap Anak

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak

dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara

optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).

Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam

situasi darurat, anak yang melakukan tindak pidana, anak dari kelompok minoritas

(25)

alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan,

penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak

yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan

bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan

negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus

demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan itu harus berkelanjutan

dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik,

mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan

kehidupan terbaik bagi anak sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh,

memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta

berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.

Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari

janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik

tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif,

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak meletakkan

kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas yaitu:

1) Nondiskriminasi;

2) Kepentingan yang terbaik bagi anak;

3) Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan;

(26)

masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan,

lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia

usaha, media massa, atau lembaga pendidikan.

Menurut Pasal 66 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak:

(1) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau

seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 merupakan kewajiban dan

tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

(2) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana dimaksud

dalam Ayat (1) dilakukan melalui:

a. Penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi

secara ekonomi dan/atau seksual;

b. Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan

c. Pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja,

lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan

eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.

(3) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh

melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana

(27)

Hak-hak anak di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, adalah sebagai berikut:

(a) Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan

berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,

serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 4).

(b) Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status

kewarganegaraan (Pasal 5).

(c) Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan

berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan

orang tua (Pasal 6).

(d) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh

oleh orang tuanya sendiri. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak

dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar

maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak

angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku [Pasal 7 Ayat (1) dan (2)].

(e) Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial

sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial (Pasal 8).

(f) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka

pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan

bakatnya. Khusus bagi anak penyandang cacat juga berhak memperoleh

pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga

(28)

(g) Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima,

mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan

usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan

kepatutan (Pasal 10).

(h) Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul

dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan

minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri (Pasal 11).

(i) Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan

sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial (Pasal 12).

(j) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana

pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan

dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual,

penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan dan

perlakuan salah lainnya. Setiap orang yang melakukan segala bentuk

perlakuan itu dikenakan pemberatan hukuman [Pasal 13 Ayat (1) dan (2)].

(k) Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada

alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu

adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan

terakhir (Pasal 14).

(l) Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan

dalam kegiatan politik; pelibatan dalam sengketa bersenjata; pelibatan dalam

kerusuhan sosial; pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur

(29)

(m)Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,

penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Setiap anak

berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. Penangkapan,

penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai

dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir

[Pasal 16 Ayat (1), (2) dan (3)].

(n) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk mendapatkan

perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang

dewasa; memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif

dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan membela diri dan

memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak

memihak dalam sidang tertutup untuk umum. Setiap anak yang menjadi

korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum

berhak dirahasiakan [Pasal 17 Ayat (1) dan (2)].

(o) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak

mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya (Pasal 18).

Setiap anak berkewajiban untuk menghormati orang tua, wali, dan guru;

mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; mencintai tanah air,

bangsa, dan negara; menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan

melaksanakan etika dan akhlak yang mulia (Pasal 19).

Perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana merupakan

perwujudan dari pemenuhan hak-hak anak dalam konteks sistem peradilan pidana

(30)

berikut; sebagai tersangka, hak-hak yang diperoleh sebagai tindakan perlindungan

terhadap tindakan yang merugikan (fisik, psikologis dan kekerasan), hak untuk

yang dilayani kerena penderitaan fisik, mental, dan sosial atau penyimpangan

perilaku sosial; hak didahulukan dalam proses pemeriksaan, penerimaan laporan,

pengaduan dan tindakan lanjutan dari proses pemeriksaan; hak untuk dilindungi

dari bentuk-bentuk ancaman kekerasan dari akibat laporan dan pengaduan yang

diberikan.

Hak-hak anak dalam proses penuntutan, meliputi sebagai berikut: menetapkan

masa tahanan anak cuma pada sudut urgensi pemeriksaan, membuat dakwaan

yang dimengerti anak, secepatnya melimpahkan perkara ke Pengadilan,

melaksanakan ketetapan hakim dengan jiwa dan semangat pembinaan atau

mengadakan rehabilitasi. Hak-hak anak pada saat pemeriksaan di Kejaksaan

sebagai berikut; hak untuk mendapatkan keringanan masa/ waktu penahanan,

hakuntuk mengganti status penahanan dari penahanan Rutan (Rumah Tahanan

Negara) menjadi tahanan rumah atau tahanan kota, hak untuk mendapatkan

perlindungan dari ancaman, penganiayaan, pemerasan dari pihak yang beracara,

hak untuk mendapatkan fasilitas dalam rangka pemerisaan dan penuntutan, hak

untuk didampingi oleh penasehat hukum.

Hak-hak anak dalam proses persidangan antara lain adalah; hak untuk

memperoleh pemberitahuan datang kesidang pengadilan (Pasal 145 KUHAP), hak

untuk menerima surat penggilan guna menghadiri sidang pengadilan (Pasal 146

ayat (1) KUHAP), hak untuk memperoleh apa yang didakwakan (Pasal 51 hurub b

(31)

177, Pasal 165 ayat (4) KUHAP), hak untuk mengusahakan atau mengajukan

saksi (Pasal 65 dan Pasal 165 ayat (4) KUHAP).

Hak anak selama persidangan, masih dibedakan lagi dalam kedudukannya sebagai

pelaku, korban dan sebagai saksi. Hak anak selama persidangan dalam

kedudukannya sebagai pelaku:

a. Hak mendapatkan penjelasan mengenai tata cara persidangan kasusnya.

b. Hak untuk mendapatkan pendamping dan penasihat selama persidangan.

c. Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar persidangan

mengenai dirinya.

d. Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan yang merugikan

penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja.

e. Hak untuk menyatakan pendapat.

f. Hak untuk memohon ganti kerugian atas perlakuan yang menimbulkan

penderitaan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan

berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau

hukum yang diterapkan.

g. Hak untuk mendapatkan perlakuan pembinaan/penghukuman yang positif,

yang masih mengembangkan dirinya sebagai manusia seutuhnya.

h. Hak akan persidangan tertutup demi kepentingannya.

C. Tindak Pidana Pencabulan 1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,

(32)

tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai

kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat

menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukannya1

Jenis-jenis menurut Andi Hamzah tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar

tertentu, antara lain:

a. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara lain

kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat dalam

Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi“kejahatan” danpelanggaranitu

bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP kita menjadi Buku ke II

dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum

pidana di dalam perundang-undangan secara keseluruhan.

b. Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil (formeel

Delicten) dan tindak pidana materil (Materiil Delicten). Tindak pidana formil

adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu

adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362 KUHP yaitu tentang

pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya adalah pada menimbulkan

akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang

itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana.

c. Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana

sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten).

Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP antara

lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengaja

1

(33)

sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat

dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkan

matinya seseorang, contohnya diatur dalam Pasal 188 dan Pasal 360 KUHP.

d. Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan aktif

juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk mewujudkannya

diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya

Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378 KUHP). Tindak Pidana

pasif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan tidak murni. Tindak pidana

murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana

yang pada dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnya

diatur dalam Pasal 224,304 dan 552 KUHP.Tindak Pidana tidak murni adalah

tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat

dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur

terlarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal

338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal2

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak pidana terdiri

dari tindak pidana kejahatan dan pelanggaran, tindak pidana formil dan materil,

tindak pidana sengaja dan tidak sengaja, serta tindak pidana aktif dan pasif.

2. Pengertian Pencabulan

Pencabulan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang laki-laki

terhadap seorang perempuan dengan cara menurut moral dan atau hukum yang

2

(34)

berlaku melanggar. Pencabulan berarti di satu pihak merupakan suatu tindakan

atau perbuatan seorang laki-laki yang melampiaskan nafsu seksualnya terhadap

seorang perempuan yang dimana perbuatan tersebut tidak bermoral dan dilarang

menurut hukum yang berlaku.3

Pencabulan ialah pria yang memaksa pada seorang wanita bukan isterinya untuk

melakukan persetubuhan dengannya dengan ancaman kekerasan, yang mana

diharuskan kemaluan pria telah masuk ke dalam lubang kemaluan seorang wanita

yang kemudian mengeluarkan air mani4

Sesuai dengan pengertian di atas maka diketahui bahwa pencabulan merupakan

suatu keadaan seorang pria yang melakukan upaya pemaksaan dan ancaman serta

kekerasan persetubuhan terhadap seorang wanita yang bukan isterinya dan dari

persetubuhan tersebut mengakibatkan keluarnya air mani seorang pria. Jadi

unsurnya tidak hanya kekerasan dan persetubuhan akan tetapi ada unsur lain yaitu

unsur keluarnya air mani, yang artinya seorang pria tersebut telah menyelesaikan

perbutannya hingga selesai, apabila seorang pria tidak mengeluarkan air mani

maka tidak dapat dikategorikan sebagai pencabulan.

Asumsi yang tak sependapat dalam hal mendefinisikan pencabulan tidak

memperhitungkan perlu atau tidaknya unsur mengenai keluarnya air mani, yaitu

perkosaan sebagai perbuatan seseorang yang dengan kekerasan atau ancaman

3

Adami Chazawi,Tindak pidana Mengenai Kesopanan,Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2005 hlm. 66

4

(35)

kekerasan memaksa seorang wanita untuk melakukan persetubuhan di luar ikatan

perkawinan dengan dirinya.5

Pengertian di atas menunjukkan bahwa dengan adanya kekerasan dan ancaman

kekerasan dengan cara dibunuh, dilukai, ataupun dirampas hak asasinya yang lain

merupakan suatu bagian untuk mempermudah dilakukannya suatu persetubuhan.

Perkosaan dapat dirumuskan dari beberapa bentuk perilaku yang antara lain

sebagai berikut:

a. Korban pencabulan harus seorang wanita, tanpa batas umur (objek).

Sedangkan ada juga seorang laki-laki yang diperkosa oleh wanita.

b. Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini berarti tidak

ada persetujuan pihak korban mengenai niat dan tindakan perlakuan pelaku.

c. Persetubuhan di luar ikatan perkawinan adalah tujuan yang ingin dicapai

dengan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap wanita

tertentu. Dalam kenyataan ada pula persetubuhan dalam perkawinan yang

dipaksakan dengan kekerasan, yang menimbulkan penderitaan mental dan

fisik. Walaupun tindakan ini menimbulkan penderitaan korban, tindakan ini

tidak dapat digolongkan sebagai suatu kejahatan oleh karena tidak dirumuskan

terlebih dahulu oleh pembuat undang-undang sebagai suatu kejahatan.6

Perumusan di atas menunjukan bahwa posisi perempuan ditempatkan sebagai

objek dari suatu kekerasan seksual (pencabulan) karena perempuan identik dengan

lemah, dan laki laki sebagai pelaku dikenal dengan kekuatannya sangat kuat yang

5

Romli Atmasasmita,Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi,Mandar Maju, Bandung. 1995. hlm. 54

6

(36)

kehendaki meskipun dengan cara kekerasan atau ancaman kekerkasan.

Ancaman kekerasan mempunyai aspek yang penting dalam pencabulan yang

antara lain sebagai berikut :

1) Aspek obyektif, ialah (a) wujud nyata dari ancaman kekerasan yang berupa

perbuatan persiapan dan mungkin sudah merupakan perbuatan permulaan

pelaksanaan untuk dilakukannya perbuatan yang lebih besar yakni kekerasan

secara sempurna; dan (b) menyebabkan orang menerima kekerasan menjadi

tidak berdaya secara psikis, berupa rasa takut, rasa cemas (aspek subyektif

yang diobjektifkan).

2) Aspek subyektif, ialah timbulnya suatu kepercayaan bagi si penerima

kekerasan (korban) bahwa jika kehendak pelaku yang dimintanya tidak

dipenuhi yang in casubersetubuh dengan dia, maka kekerasan itu benar-benar

akan diwujudkan. Aspek kepercayaan ini sangat penting dalam ancaman

kekerasan sebab jika kepercayaan ini tidak timbul pada diri korban, tidaklah

mungkin korban akan membiarkan dilakukan suatu perbuatan terhadap

dirinya.7

Kekerasan dan ancaman kekerasan tersebut mencerminkan kekuatan fisik laki-laki

sebagai pelaku merupakan suatu faktor alamiah yang lebih hebat dibandingkan

perempuan sebagai korban, sehingga laki-laki menampilkan kekuatan yang

bercorak represif yang menempatkan perempuan sebagai korbannya.

7

(37)

ini muncul banyak bentuk penyimpangan khususnya pencabulan seperti bentuk

pemaksaan persetubuhan yang dimana bukan vagina(alat kelamin wanita) yang

menjadi target dalam pencabulan akan tetapi anus atau dubur (pembuangan

kotoran manusia) dapat menjadi target dari pencabulan yang antara lain:

a. Perbuatannya tidak hanya bersetubuh (memasukkan alat kelamin ke

dalamvagina),

b. Memasukkan alat kelamin ke dalam anus atau mulut.

c. Memasukkan sesuatu benda (bukan bagian tubuh laki-laki) ke dalam vagina

atau mulut wanita.

d. Caranya tidak hanya dengan kekerasan/ ancaman kekerasan, tetapi juga dengan

cara apapun di luar kehendak/ persetujuan korban.

e. Objeknya tidak hanya wanita dewasa yang sadar, tetapi wanita yang tidak

berdaya/ pingsan dan di bawah umur, juga tidak hanya terhadap wanita yang

tidak setuju (di luar kehendaknya), tetapi juga terhadap wanita yang

memberikan persetujuannya karena dibawah ancaman, karena kekeliruan/

kesesatan/ penipuan atau karena di bawah umur.8

3. Unsur-unsur Pencabulan

Pencabulan merupakan suatu tindak kejahatan yang pada umumnya diatur dalam

pasal 285 KUHP, yang mengatur:

Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

8

(38)

Beberapa unsur dalam pencabulan sebagaimana diatur dalam pasal di atas adalah

sebagai berikut:

1) “Barangsiapamerupakan suatu istilah orang yang melakukan.

2) “Dengan kekerasan atau ancaman kekerasanyang artinya melakukan

kekuatan badan, dalam pasal 289 KUHP disamakan dengan menggunakan

kekerasan yaitu membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya.

3) “Memaksa seorang wanita yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia” yang

artinya seorang wanita yang bukannya istrinya mendapatkan pemaksaan

bersetubuh di luar ikatan perkawinan dari seorang laki-laki.

Pencabulan dalam bentuk kekerasan dan ancaman kekerasan untuk bersetubuh

dengan Anak diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak pada pasal 81 ayat (1) dan (2) yang mengatur:

(1) Setiap orang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.]

Beberapa unsur dalam pencabulan sebagaimana diatur dalam pasal di atas adalah

sebagai berikut:

a. Setiap orang, yang berarti subyek atau pelaku.

b. Dengan sengaja, yang berarti mengandung unsur kesengajaan (dolus).

c. Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, yang berarti dalam prosesnya

(39)

yang berarti ada suatu pemaksaan dari pelaku atau orang lain untuk bersetubuh

dengan seorang anak (korban).

d. Berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,

serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan

dengannya atau dengan orang lain, yang berarti bahwa perbuatan tersebut

dapat dilakukan dengan cara menipu, merayu, membujuk dan lain sebagainya

untuk menyetubuhi korbannya.

D. Perlindungan Korban

Upaya memberikan perlindungan terhadap korban sesuai dengan ketentuan

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,

yang mengatur bahwa setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan

perlindungan yang diberikan oleh negara, baik fisik maupun psikis. Jaminan

perlindungan terhadap warga negara yang diberikan oleh negara khususnya dalam

bidang hukum diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang

menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam

hukum dan pemerintah wajib menjunjung hukum dan pemerintah itu dengan tidak

ada kecualinya.

Kedudukan saksi dan korban dalam tindak pidana berkaitan dengan peranan serta

hak dan kewajiban saksi dan korban dalam terjadinya kejahatan sebagai tindak

pidana. Namun sebelumnya akan diuraikan terlebih dahulu hal–hal yang menjadi

dasar diperhatikannya kedudukan saksi dan/atau korban dalam tindak pidana

(40)

setiap warganya melayani sesama manusia demi keadilan dan kesejahteraan

yang bersangkutan sendiri.

b. Adanya keperluan melengkapi perbaikan pada umumnya hukum pidana dan

acara pidana dan pengasuhan/pemasyarakatan sebagai tindak lanjut mereka

yang tersangkut dalam suatu tindak pidana termasuk pihak saksi dan korban.

c. Adanya perbedaan jiwa, tujuan, manfaat dan kepentingan rakyat yang terjalin

dalam peraturan hukum pidana koloni.

d. Adanya kekurangan dalam usaha saksi dan/atau korban baik karena kurangnya

penyuluhan maupun bertambahnya pembiaran terjadinya penyimpangan dan

tindak pidana dengan sengaja oleh masyarakat.

e. Adanya peningkatan kejahatan internasional yang mungkin juga menimbulkan

saksi dan/atau korban warga negara Indonesia tanpa adanya kemungkinan

mendapatkan kompensasi, sedangkan yang menderita itu sangat memerlukan

kompensasi itu untuk kelanjutan hidupnya.

f. Adanya pencerminan pencurahan perhatian yang mencegah terjadinya saksi

dan korban yang lebih besar pada pembuat saksi dan korban lebih besar pada

pembuat saksi dan korban dalam Undang-Undang hukum pidana dan acara

pidana mengenai tangguang jawab terjadinya tindak pidana.

g. Kurangnya perhatian terhadap mereka yang bersengketa sebagai

manusia-manusia yang setaraf kedudukannya dan sama martabatnya dalam perkara

pidana, hal itu antara lain dirasakan dalam proses peradilan penyelesaian

masalah tindak pidana. Si terdakwa pembuat saksi dan korban yang sedikit

(41)

bersama-korban diwakili oleh jaksa sebagai wakil dari ketertiban hukum demi

kepentingan umum/penguasa. Saksi dan/atau korban tidak mempunyai arti

lagi karena diabstrakan. Hanya sebagai pemberi keterangan, hanya sebagai

saksi kalau diperlukan dan sebagai alat bukti saja.

h. Masih berlakunya pandangan, bahwa bila saksi dan/atau korban ingin

mendapatkan atau menuntut penggantian kerugian ialah harus menempuh

jalan yang tidak mudah, yaitu melalui proses hukum perdata dan tidak dapat

diselesaikan dalam proses hukum pidana yang sama bagi saksi korban yang

tidak mampu dan memerlukan penggantian kerugian tersebut untuk kelanjutan

hidupnya dengan segera, ketentuan ini adalah sangat merugikan oleh karena

itu perlu ditinjau kembali oleh para ahli dan pemerintah demi keadilan dan

kesejahteraan rakyat.9

Kepastian, kegunaan, keadilan antara lain akan tampak apabila diperankan oleh

penegak hukum dalam menjalankan aturan hukum yang berlaku dan tidak

melupakan perlindungan saksi dan korban dalam menegakan hukum tersebut,

perlindungan saksi korban bertujuan memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau

korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana (Pasal

5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

Korban).

9

(42)

Korban, menyatakan sebagai berikut:

(1) Setiap orang yang memaksakan kehendaknya baik menggunakan kekerasan

maupun cara tertentu, yang menyebabkan Saksi dan atau korban tidak

memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ayat (1) huruf a

atau huruf d sehingga saksi dan atau korban tidak memberikan kesaksian pada

tahap pemeriksaan tingkat manapun, dipidana dengan pidana penjara paling

singkat satu tahun dan paling lama lima tahun dan dipidana denda paling

sedikit empat puluh juta rupiah dan paling banyak dua ratus juta rupiah.

(2) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud

pada Ayat (1) sehingga menimbulkan luka berat pada saksi dan atau korban,

dipidana dengan penjara paling singkat dua tahun dan paling lama pidana

penjara tujuh tahun dan pidana denda paling sedikit delapan puluh juta rupiah

dan paling banyak lima ratus juta rupiah.

(3) Setiap orang yang melakukan pemaksaaan kehendak sebagaimana dimaksud

pada Ayat (1) sehingga mengakibatkan matinya saksi dan atau korban,

dipidana dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama

seumur hidup dan pidana denda paling sedikit delapan puluh juta rupiah dan

paling banyak lima ratus juta rupiah

Pasal 5 Ayat (1) Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

Saksi dan Korban, menyatakan bahwa seseorang saksi dan korban berhak:

a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta

bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang

(43)

b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan

dukungan keamanan.

c. Memberi keterangan tanpa tekanan.

d. Mendapat penerjemah.

e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat.

f. Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus.

g. Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan.

h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan.

i. Mendapat identitas baru.

j. Mendapat tempat kediaman baru.

k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan.

l. Mendapat nasihat hukum; dan/atau

m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan

berakhir.

Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

Saksi dan Korban menyatakan bahwa hak sebagaimana dimaksud Pada Ayat (1)

diberikan kepada saksi dan korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu

sesuai dengan keputusan LPSK.

Penegakan hukum dilaksanakan sesuai dengan sistem hukum yang berlaku, yaitu

melalui pemidanaan yang bertujuan untuk mencegah dilakukannya tindak pidana

dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; menyelesaikan

konflik yang ditimbulkan tindak pidana; memulihkan keseimbangan;

(44)

bersalah pada terpidana.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

pada prinsipnya melindungi saksi dan korban, perlindungan terhadap korban

kejahatan dibutuhkan banyak keterlibatan para pihak, para pihak disini dapat juga

institusi pemerintah yang memang ditugaskan sebagai suatu lembaga yang

menangani korban kejahatan, dapat juga masyarakat luas, khususnya ketertiban

masyarakat disini adalah peran serta untuk turut membantu pemulihan dan

(45)
(46)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis

normatif. Pendekatan yuridis normatif dilakukan untuk memahami persoalan

dengan tetap berada atau bersandarkan pada lapangan atau kajian ilmu hukum

yang didasarkan pada asas-asas, norma-norma dan peraturan yang berlaku1

Berdasarakan pengertian di atas maka pendekatan yuridis normatif dalam

penelitian ini digunakan untuk melakukan perbandingan perlindungan hukum

terhadap anak korban tindak pidana pencabulan berdasarkan Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Selain menggunakan pendekatan yuridis normatif, penelitian ini juga

menggunakan pendekatan yuridis empiris sebagai penunjang, guna memperoleh

data tambahan yang dibutuhkan dari para narasumber penelitian.

B. Jenis Data

Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian terdiri dari data primer

dan data sekunder sebagai berikut:

1

(47)

1. Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan

penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan narasumber, untuk

mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber

hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Data sekunder

dalam penelitian ini, terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer bersumber dari:

(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73

Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

(3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana

(4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak

(5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

(6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

(7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi

dan Korban

(8) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan

(48)

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dapat bersumber dari bahan-bahan hukum yang

melengkapi hukum primer dan peraturan perundang-undangan lain yang

sesuai dengan masalah dalam penelitian ini, diantaranya:

(1) Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan

Anak Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perlindungan Anak

(2) Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan

Anak Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal

Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban

Kekerasan

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier dapat bersumber dari berbagai bahan seperti teori/

pendapat para ahli dalam berbagai literatur/buku hukum dan buku lain

yang membahas tentang anak, dokumentasi, kamus hukum dan internet.

C. Penentuan Narasumber

Penelitian ini memerlukan narasumber sebagai sumber informasi untuk

mengolah dan menganalisis data sesuai permasalahan yang dibahas.

Narasumber dalam penelitian ini terdiri dari empat orang sebagai berikut:

1). Kasubnit I Perlindungan Perempuan dan Anak Polresta Bandar Lampung

2). Assisten Tindak Pidana Umum Kejakasaan Negeri Bandar Lampung

3). Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang

4). Staf Unit Rehabilitasi Anak Korban Kekerasan Seksual RSUD Abdoel

(49)

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur studi kepustakaan dan studi

lapangan sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian

kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku

literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan

perundang-undangan terkait dengan permasalahan.

b. Studi Lapangan

Studi lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan

wawancara (interview) kepada responden penelitian sebagai usaha

mengumpulkan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai

dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.

2. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah

diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data

dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan

data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti

(50)

b. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut

kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang

benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.

c. Penyusunan data, adalah kegiatan menyusun data yang saling berhubungan

dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok

bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

Analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun

secara sistematis, jelas dan terperinci yang kemudian diinterpretasikan untuk

memperoleh suatu kesimpulan. Analisis data yang dipergunakan dalam

penelitian ini adalah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan

dengan metode deduktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat umum lalu

menarik kesimpulan yang bersifat khusus sesuai dengan permasalahan yang

dibahas dalam penelitian2.

2

(51)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai

berikut:

1. Perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana pencabulan

berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak menunjukkan bahwa

pemberlakuan undang-undang ini memberikan perlindungan secara

komprehensif atau menyeluruh terhadap anak yang menjadi korban

pencabulan, baik dari aspek ancaman pidana terhadap pelaku, perlindungan

atas perlakuan diskriminasi maupun perlindungan atas proses hukum.

2. Perlindungan hukum anak dalam Undang Nomor 23 Tahun 2002 memenuhi

kepentingan hukum anak sebagai korban tindak pidana karena mengacu pada

perlindungan yang menyeluruh kepada anak korban pencabulan serta

memenuhi hak-hak anak dalam proses penegakan hukum serta memberikan

rehabilitasi kepada anak, baik secara medis atau secara psikis.

a. Bentuk perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban pencabulan

dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan mulai dari tingkat

kepolisian, kejaksanaan dan pengadilan. Pelaksanaan perlindungan hukum

terhadap anak sebagai korban pencabulan di tingkat kepolisian dilakukan

(52)

tentang adanya dugaan tindak pidana pencabulan kepada anak, setelah

jelas dan cukup bukti bahwa laporan masyarakat tersebut benar, maka

selanjutnya dilaksanakan penyidikan.

b. Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban

pencabulan di Tingkat Kejaksaan dilakukan dengan melakukan penuntutan

terhadap tersangka dan melimpahkan perkara ke pengadilan negeri beserta

surat dakwaan. Tindak pidana pencabulan kepada anak dapat dikenakan

dakwaan berlapis yaitu Ayat (2) Pasal 290 KUHP, Pasal 292 KUHP, Pasal

293 KUHP serta Pasal 81 dan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 Tentang Perlindungan Anak.

c. Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban

pencabulan di Tingkat Pengadilan Negeri, dilakukan dengan proses

pengadilan terhadap terdakwa pelaku pencabulan terhadap anak. Hakim

menjatuhkan hukuman kepada terdakwa tindak pidana pencabulan

berdasarkan bukti-bukti secara sah dan meyakinkan.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Aparat penegak hukum disarankan untuk lebih intens dalam menangani

masalah perlindungan hukum kepada anak hendaknya semakin meningkatkan

sosialiasi dalam rangka menyebar luaskan pengetahuan dan kesadaran bagi

masyarakat, khususnya masyarakat yang berada di daerah terpencil, pedesaan,

dengan latar belakang pendidikan dan ekonomi yang rendah, tentang

pentingnya perlindungan hukum kepada anak. Hal ini penting dilakukan agar

(53)

mereka mengetahui langkah-langkah apa yang semestinya dilakukan ketika

anak-anak mereka dilecehkan secara seksual.

2. Orang tua dan masyarakat luas pada umumnya, hendaknya semakin

meningkatkan pengawasan dan kontrol terhadap lingkungan dan tempat

bermain anak, hal ini penting dilakukan guna mengantisipasi potensi

terjadinya tindak pidana pencabulan yang mengancam anak-anak. Kepada

tokoh agama dan tokoh masyarakat hendaknya semakin intensif melakukan

pembinaan kepada warga masyarakat untuk dapat meminimalisasi potensi

terjadinya tindak pidana pencabulan yang mungkin dapat terjadi di lingkungan

masyarakat setempat.

3. Perlindungan terhadap anak korban pencabulan dalam Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak memiliki tendensi bias

jender, yaitu korban pencabulan lebih cenderung pada anak berjenis kelamin

perempuan. Hal ini tentunya kurang relevan dengan adanya fakta mengenai

anak laki-laki yang juga menjadi korban pencabulan, seperti kasus sodomi

atau perilaku seksual menyimpang lain terhadap anak laki-laki. Oleh karena

itu disarankan kepada para pengambil kebijakan untuk secara khusus

memformulasikan produk hukum yang juga memberikan perlindungan hukum

kepada anak laki-laki sebagai korban pencabulan.

(54)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Arivia, Gadis. 2005. Potret Buram Eksploitasi Kekerasan Seksual pada Anak. Ford Foundation. Jakarta.

Atmasasmita, Romli. 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi,

Mandar Maju, Bandung.

Chazawi, Adami. 2005. Tindak pidanaMengenai Kesopanan, Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Hamzah, Andi. 2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta.

Marpaung, Leden. 2004. Kejahatan terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya Sinar Grafika, Jakarta.

Moeljatno, 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1993.

Nawawi Arief, Barda. Perbandingan Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta. 2002

Reksodiputro, Mardjono. 1994. Sistem Peradilan Pidana IndonesiaMelihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi. Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pengamatan fenotip, tanaman yang terseleksi pada tanaman bayam populasi UB 3 adalah tanaman yang memiliki daun berwarna dark citron (hijau muda)

The objective is to combine the benefits of case study method of teaching with online discussion forum to enhance the quality of learning while making this an assessment component

Berdasarkan hasil dari penelitian dan analisis yang telah di lakukan oleh penulis tentang Pelaksanaan Manajemen Kemitraan PT Buana Wira Lestari Mas dengan Petani

Apa saja yang menjadi tugas komite sekolah sebagai pendukung dalam pelaksanaan MBS di SDN Lamper Tengah 01 Semarang?. Memberikan dukungan fasilitas sarana prasarana serta

hukum dalam memperoleh organ gigi manusia untuk kepentingan Pendidikan. Masyarakat mengetahui adanya hukum yang mengatur tentang jual beli organ. untuk kepentingan pendidikan.

Hiperkolesterolemia merupakan masalah yang cukup penting karena termasuk faktor resiko utama penyakit jantung koroner disamping hipertensi dan merokok. Kebiasaan makan individu..

Pada metode antopometri kita kenal dengan Indeks Antropometri. Indeks antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi dari beberapa parameter

Dengan melihat kondisi angin yang seperti ini bisa dikatakan pada tanggal 9 November 2017 hujan berpotensi turun dalam waktu yang cukup lama sebab pergerakan angin seperti mendapat