• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKONOMI MIKRO DALAM HUKUM PIDANA INDONES

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "EKONOMI MIKRO DALAM HUKUM PIDANA INDONES"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

EKONOMI MIKRO DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA. Oleh: Kodrat Wibowo, SE, MA, Ph.D1

Dinamika Ilmu Hukum

Ilmu pengetahuan mengenai perilaku manusia (scientific human behavior) merupakan lingkup dan objek banyak ilmu seperti ilmu psikologi, ilmu sosiologi, ilmu hukum dan juga ilmu ekonomi, oleh karena itulah dalam dunia ilmu kita mengenal pelajaran psikologi hukum, sosiologi hukum dan hukum dan ekonomi atau pendekatan analisis ekonomi mikro2 tentang hukum. Perbedaan masing-masing keterkaitan bidang ilmu ini terletak pada metodologi yang dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu melalui suatu analisis mengenai perilaku manusia. Pergaulan hidup manusia selalu dibatasi oleh kebiasaan atau hokum (adat) yang berlaku pada komunitasnya-hukum mengatur pergaulan hidup manusia. Kehidupan manusia selalu mengejar atau ingin mencapai kehidupan yang sejahtera dimana ekonomi merupakan pengetahuan yang dapat memberikan pemahaman mengenai menilai keuntungan dan kerugian dalam setiap langkah pekerjaan manusia. Langkah manusia mempertahankan kehidupan (ekonomi) keluarga dan pribadinya dalam hubungan dengan manusia lain selalu berada di dalam batas-batas aturan yang telah disepakati bersama, yaitu hukum. Inti penjelasan di atas bahwa baik hukum maupun ekonomi, adalah ilmu pengetahuan mengenai bagaimana manusia di dalam kehidupannya dan dalam mengisi waktu sehari-hari tidak terlepas dari penilaian keuntungan dan kerugian dimana hukum bertugas memberikan perlindungan baginya agar terdapat kepastian, keadilan dan dirasakan manfaat (perlindungan)-nya.

Kegunaan ilmu pengetahuan pada umumnya, khusus ilmu hukum; merupakan dorongan seseorang untuk mempelajari dan memahami ilmu pengetahuan. Memahami kegunaan (kekuatan) hukum bagi setiap orang merupakan faktor yang bersifat ‘sufficient’ bukan bersifat ‘necessary’ dalam menentukan apakah seseorang mentaati atau tidak mentaati hukum, kecuali bagi seorang psikopat atau kleptomania. Untuk menentukan ada atau tidak adanya pelanggaran hukum dan menentukan siapa yang bertanggung jawab atas pelanggaran hukum, merupakan tugas hukum pidana. Untuk

1 Kepala Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unpad, Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Bandung, Koordinator Jawa Barat, dan Wakil Direktur Bidang Ekonomi, Lembaga Kajian Independen kebijakan Publik (LPIKP).

(2)

menentukan apakah seseorang yang di duga telah melakukan pelanggaran hukum itu bertanggung jawab atas perbuatannya, hukum menggunakan penilaian benar (right) atau salah (wrong) atau penilaian yang bersifat ex ante. Berbeda dengan penilaian sudut ekonomi yang dititikberatkan pada risiko (cost) dan manfaat (benefit) yang dicapainya. Fletcher menguatkan pergeseran pandangan tentang hal tersebut dengan mengatakan:

“Traditional ideas of justice and morality now face a radical challenge from economist and economically trained lawyer”.3 Selanjutnya dikatakan, “these terms “optimum” and “efficient” are now common parlance in the law. The Court have yet to go over to the new language, but there are many teachers of law who think that efficiency is the summum bonum, the supreme good, of legal arrangments. Though they are loathing to identify their theories as “normative” as opposed to “positive” and scientific, the advocates of efficiency espouse a new morality for the law-or at least a new code of expressing the principle of utilitarian morality”.4

Analisis Ekonomi Mikro dan Ilmu Hukum Di Indonesia

Pembangunan nasional di Indonesia yang telah dilaksanakan sejak Tahun 1970-an, bahkan sampai saat ini, bertumpu pada pembangunan ekonomi nasional, yang dipandang sebagai tulang punggung pembangunan nasional di segala bidang. Pembangunan ekonomi nasional didesain untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan kesejahteraan bangsa dan keberhasilan pembangunan ekonomi nasional juga telah merupakan tolok ukur kemajuan bangsa-bangsa di seluruh Negara. Globalisasi abad 20 dan 21 telah merupakan idiologi seluruh bangsa di dunia, bertujuan mencapai kesejahteraan seluruh bangsa-bangsa dengan menggunakan parameter keberhasilan pertumbuhan ekonomi nasional setiap negara.

Konsep Pembangunan hukum nasional telah dicanangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja pada tahun 1970-an, kemudian menjadi bagian dari REPELITA II era Suharto; tidak menyertakan parameter tolok ukur keberhasilan dalam mencapai cita: (i) kepastian hukum, (ii) keadilan, dan (iii) kemanfaatan bagi masyarakat Indonesia. Pertimbangan yang dikemukakan ketika itu ialah bahwa pembangunan hukum tidak sama dengan pembangunan sarana dan prasarana fisik karena pembangunan hukum diartikan proses perubahan sikap mental dalam mematuhi hukum yang

3 George P.Fletcher, “Basic Concept of Legal Thought”;Oxfoord University Press; 1996; hlmn 155

(3)

berlaku dan mem-fungsikan peranan hukum dalam membawa kemajuan masyarakatnya. Intinya pembangunan hukum tidak memiliki parameter yang terukur dan pasti tentang keberhasilannya mencapai cita kesejahteraan rakyat. Dengan pertimbangan ini, analisis ilmu ekonomi mikro dapat membantu ilmu hukum menemukan jawaban pasti dan terukur mengenai keberhasilan bekerjanya hukum dalam masyarakat untuk kemudian membangun politik hukum masa yang datang.

Selain pertimbangan tersebut di atas, memahami analisis ekonomi mikro penting diketahui para ahli hukum Indonesia karena hukum merupakan proses yang bergerak dinamis atau merupakan “law in the making” (Satjipto Rahardjo), artinya hukum tidak bersifat status quo, tidak sekedar mempertahankan kondisi masyarakat yang telah ada, melainkan juga hukum terus berada dalam proses mencari (in searching) dan menemukan (inventing) jawaban mengenai efisiensi dan efektivitas bekerjanya hukum di dalam masyarakat untuk mencapai ketiga tujuan klasik dari hukum. Hambatan pada para ahli hukum untuk menyelami proses mencari dan menemukan hukum (baru) adalah dipengaruhi oleh pendapat Van Kan bahwa hukum selalu tertinggal dari perkembangan masyarakat; suatu pendapat yang bertolak belakang bahkan tidak lagi relevan dengan perkembangan masyarakat di era globalisasi, yang sangat memerlukan hukum dapat berfungsi dan berperan dalam mengantisipasi kemungkinan dampak suatu kebijakan politik di masa yang akan datang. Bahkan Mochtar Kusumaatmadja, secara tidak langsung telah membantah pendapat Van Kan tersebut dengan menyampaikan teori hukum pembangunan yang menempatkan fungsi dan peranan hukum dalam membawa masyarakat menuju perubahan yang lebih baik dari masa lampau. Karenanya analisis ekonomi mikro dapat melengkapi fungsi dan peranan hukum dalam melakukan prediksi pembangunan hukum di masa yang akan datang dengan hasil nyata yang pasti dan terukur.

(4)

antara disiplin ilmu ekonomi dan disiplin ilmu hukum dalam mewujudkan cita-cita pendiri NKRI. Kolaborasi tersebut merupakan bagian terpenting dari komunitas ilmu pengetahuan yang sepatutnya tidak hanya bersikukuh pada dunia ilmu masing-masing dan yang paling benar sendiri, melainkan merupakan amanah dan petunjuk untuk saling berbagi informasi dan pengetahuan satu sama lain, hanya dengan satu tujuan yaitu bersama-sama dan bekerjasama memajukan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Pertimbangan keempat, gerakan pemberantasan korupsi semakin masif dimotori oleh KPK bersama-sama Kejaksaan dan telah memperoleh apresiasi dari masyarakat pada umumnya, dengan UU RI Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 telah banyak koruptor dijatuhi hukuman penjara. Namun demikian tujuan penting lain dari undang-undang tersebut, terbukti belum berhasil mengembalikan kerugian keuangan Negara secara signifikan. Hasil penelitian Doktor ilmu Hukum, Muhammad Yusuf, menunjukkan bahwa nilai kerugian keuangan Negara dari tindak pidana yang berhasil diselamatkan selama kurun waktu 5 (lima) selama periode 2007-2012 adalah sebesar 19.50% dari total kerugian Rp180.309.318.403.96 (000) dan sebesar 20.82% dari USD37.261.549.65.5 Begitu pula dari Laporan Rekapitulasi Kejaksaan Agung RI mengenai pemberantasan korupsi periode 2009 s.d. Juli, 2014, menunjukkan gambaran sebagai berikut:

Tabel 1. Jumlah Kasus Korupsi dan Kerugian Negara yang Diselamatkan, Periode 2009 s.d.Juli, 2014

Jumlah

Penyidikan PenuntutanJumlah Kerugian NegaraPenyelamatan (000)

9.598 9.355 Rp6.646.065.225.97

USD9.174.643.11

BATH3.835.192.76

Sumber: diolah dari Data Kejaksaan Agung RI, 2014

Sekalipun laporan Kejaksaan Agung RI telah menunjukkan angka kerugian keuangan Negara yang diselamatkan, tetapi laporan angka total kerugian Negara selama periode tersebut belum terdata secara lengkap. Table berikut menampilkan angka kerugian keuangan Negara yang berhasil diselamatkan KPK:6

5 Supra note 49

(5)

Tabel 2. Nilai Kerugian Negara yang Diselamatkan KPK, 2009-2013

Tahun Nilai Kerugian Negara yangDikembalikan

2009 Rp 142.290.575.282.00

2010 Rp 192.430.877.162.00

2011 Rp 138.062.072.084.30

2012 Rp 121.655.680.319.00

2013 Rp 122.047.032.251.00

Total Rp 716.486.237.098.30

Sumber: diolah dari Data KPK, 20147

Selain dari besarnya angka kerugian Negara yang tidak terselamatkan, ternyata kerugian akibat eksploitasi ilegal terhadap kekayaan sumber alam Indonesia juga tidak kalah penting; data yang disampaikan ICW pada Hari Anti Korupsi Tahun 2012 menunjukkan bahwa kerugian Negara dari korupsi periode 2004-2011 adalah sebesar Rp39,3 trilyun; kerugian Negara akibat illegal logging periode 2012 sebesar Rp169, 7 Trilyun; untuk perkara illegal fishing, berdasarkan keterangan BPK tahun 2012 adalah sebesar Rp300 Trilyun, dan akibat penyalahgunaan narkoba, sebesar Rp48,2 Trilyun.8 Total kerugian keuangan Negara dalam kurun waktu 5 (lima) tahun tersebut telah mencapai kurang lebih Rp 517 trilyun. Penulis yakin bahwa besarnya kerugian Negara tersebut sampai saat ini belum berhasil dikembalikan sepenuhnya kepada Negara baik oleh Kejaksaan maupun oleh KPK.

Total perkiraan nilai kerugian keuangan negara dan penyelamatannya akan semakin tinggi jika melihat data biaya makan jumlah narapidana dan tahanan (BAMA) di Lembaga Pemasyarakatan sebagai berikut:

Tabel 1. Jumlah Narapidana dan Tahanan (BAMA) di Lembaga Pemasyarakatan (2009-2012)

Tahun Jumlah (orang)

2009 137.648

2010 129.877

7 Kompas 30 desember 2013 menyatakan KPK berhasil menyelamatkan 1,196 triliun berupa PNBP dan Kas Negara/Daerah.

(6)

2011 141.208

2012 150.769

Sumber: Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementrian Hukum dan HAM RI, 2014

Biaya makanan narapidana dan tahanan yang jumlahnya secara rata-rata 100.000 orang per tahun, dengan harga satuan BAMA (Lauk pauk dan beras) untuk satu narapidana rata-rata per hari adalah Rp15.000,- (lima belas ribu rupiah), sehingga total biaya BAMA dari APBN adalah (100.000 x Rp 15.000) = Rp15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah). Jika rata-rata narapidana dijatuhi hukuman 3-5 tahun (tanpa remisi dan bebas bersyarat) maka total biaya Negara untuk BAMA dan lain-lain adalah Rp 16.425.000.000.000,-(enam belas triliun empat ratus dua puluh lima miliar) untuk hukuman penjara 3 (tiga) tahun, dan meningkat sebesar, Rp27.375.000.000.000.- (dua puluh tujuh triliun tiga ratus tujuh puluh lima miliar) untuk hukuman penjara selama 5 (lima) tahun. Anggaran Negara yang telah dikeluarkan tersebut belum dihitung biaya perkara korupsi yang disediakan dalam APBN sebesar rata-rata antara Rp 250 juta s.d. Rp 500 juta per perkara.

Merujuk pada data dari ketiga aparatur penegak hukum di atas (APH) telah terbukti bahwa penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi telah menimbulkan kerugian keuangan yang lebih besar bagi Negara dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir sehingga terjadi kontra-produktif terhadap tujuan utama pembentukan UU Pemberantasan Korupsi yang ditetapkan pada Tahun 1999 –vide ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 yang menentukan unsur kerugian keuangan Negara sebagai unsur terpenting dalam tindak pidana korupsi. Selain kenyataan tersebut di atas, dari analisis ekonomi mikro, terbukti proses peradilan pidana bedasarkan hukum yang represif, tidak efisien, baik dari aspek sosial, ekonomi, politik dan hukum serta keuangan Negara.

(7)

pencegahan di sisi hulu (upstream) bukan ditentukan dari seberapa jumlah (kuantitas) orang yang dijebloskan ke dalam penjara.

Analisis ekonomi mikro tentang pembiayaan negara dalam penegakan hukum khusus pemberantasan korupsi telah membuktikan bahwa hukum yang represif telah gagal memenuhi cita kepastian, keadilan dan kemanfaatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kini diperlukan perubahan orientasi dan landasan berpijak dalam penegakan hukum khususnya pemberantasan korupsi, dari orientasi hukum represif yang mengutamakan penjeraan (efek jera) kepada hukum yang responsif dan hukum yang restorative atau penulis namakan, Hukum 2R. Hukum responsif agar penegakan hukum sungguh-sungguh mempertimbangkan apa yang diperlukan secara nyata oleh rakyat Indonesia, dan hukum yang restoratif adalah hukum yang dapat mengkomodasi pemulihan hubungan sosial antara pelaku dan korban (perorangan atau negara).

Konsep Hukum 2R diatas diyakini merupakan pilihan model penegakan hukum yang bersifat primum remedium sebagai lawan pilihan model penegakan hukum represif dalam penegakan hukum di Indonesia khususnya terhadap korporasi yang di duga telah melakukan tindak pidana khususnya yang termasuk “financial crimes”. Hukum 2R (responsive) menggunakan pendekatan “cost and benefit ratio” dengan menerapkan prinsip maksimalisasi, keseimbangan dan efisiensi; sedangkan, Hukum 2R (restorative) menggunakan pendekatan “mediasi” dengan prinsip keseimbangan kepentingan antara korban dan pelaku. Sanksi yang cocok dengan orientasi baru dalam penegakan hukum tersebut adalah didasarkan pada paradigma sanksi piramida (regulatory Pyramid)-Braithwaite.9

Pengalaman penulis ikut aktif dalam menyusun perundang-undangan terkait pemberantasan korupsi, para ahli hukum tidak pernah melakukan konsultasi dengan ahli lainnya seperti ahli ekonomi dan ahli psikologi atau sosiologi. Ahli hukum dengan kepercayaan diri yang besar merasa mampu sendiri menyelesaikan persoalan korupsi-bangsa ini, dan mengabaikan ketajaman metodologi dan analisis dari ahli lainnya seperti ahli ekonomi, yang menurut penulis sudah sepantasnya duduk bersama dengan para ahli hukum. Mengapa? Hal ini didasarkan kenyataan sejak era pemerintahan Suharto selama kurang lebih 35 tahun lamanya di mana pembangunan ekonomi nasional, sampai saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono; tetap dijadikan tulang punggung (the backbone) dari pencapaian cita-cita kesejahteraan rakyat Indonesia disamping pembangunan bidang hukum.

(8)

Namun di sisi lain, pembangunan hukum tetap terpuruk dan berjalan di tempat, bahkan menurut beberapa survey atau polling di media nasional, penegakan hukum dan juga proses legislasi dipandang bermasalah dan tidak pernah memberikan rasa adil bagi masyarakat pada umumnya, khususnya para pencari keadilan. Ekses penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan aparatur penegak hukum semakin merajalela tanpa pengawasan yang kuat dan berkesinambungan; penyelesaian ekses tersebut layaknya “pemadam kebakaran”, dan bersifat adhoc, sekedarnya untuk memberikan citra yang baik di hadapan rakyat pada umumnya. Hukum masih tumpul ke atas dan tajam ke bawah, demikian kiasan dan kritik masyarakat yang masih sering kita dengar sampai saat ini.

Persoalan serius di bidang hukum juga tampak berimbas kepada pembangunan di bidang lainnya termasuk bidang ekonomi, iklim investasi, dan bisnis, serta bidang pembangunan proyek fisik sehingga sering terdengar keluhan mengenai kepastian hukum dan keadilan dalam setiap aspek kehidupan bangsa ini. Imbas ini bukan karena semata-mata ekses sebagaimana diuraikan di atas, melainkan disebabkan agenda pemberantasan korupsi yang telah dicanangkan melalui 4 (empat) Instruksi Presiden (INPRES)10 telah diterjemahkan secara keliru dalam implementasinya oleh aparatur penegak hukum di mana keberhasilan agenda pemberantasan korupsi hanya diukur dari keberhasilan melakukan penangkapan, penahanan dan pemenjaraan seseorang yang terlibat korupsi. Kekeliruan kedua, bahwa aparatur penegak hukum termasuk KPK, disadari atau tidak, telah melupakan tujuan lain dari pemberantasan korupsi, yaitu mengembalikan secara optimal kerugian keuangan kepada negara. Akibat selanjutnya dan logis jika dikatakan bahwa, telah terjadi inefisiensi (Posner) dan tidak maksimal serta terjadi ketidak seimbang antara sarana-termasuk dana yang telah dikeluarkan Negara dan hasil nyata yang telah dicapai.11

Pertimbangan kelima, para ahli hukum telah mengetahui dan memahami apa yang merupakan tujuan hukum: (i) ketertiban merupakan tujuan terdekat dan (ii) keadilan adalah tujuan yang terjauh, dan di tengah-tengah kedua tujuan tersebut, adalah (iii) kepastian, dan (iv) kemanfaatan. Namun di dalam mencapai tujuan hukum tersebut, para ahli hukum tidak dapat memastikan apakah hukum (undang-undang) yang diberlakukan telah bekerja dengan baik dalam mencapai tujuan tersebut. Apakah solusi sengketa atau tuntutan pidana yang bermuara pada putusan pengadilan

10 Inpres RI Nomor 7 Tahun 2004; Inpres RI Nomor 17 Tahun 2011; Inpres RI Nomor 1 Tahun 2013, dan Inpres RI Nomor 2 Tahun 2014.

(9)

yang menetapkan siapa “the winner” dan “the losser” atau perdamaian di antara para pihak, dapat dinyatakan secara pasti bahwa keempat tujuan hukum telah tercapai atau mencerminkan keempat tujuan hukum tersebut? Kontribusi analisis ekonomi mikro dapat membantu ilmu hukum menganalisis peristiwa hukum masa sekarang dandapat memprediksi secara pasti dan terukur mengenai bangunan politik hukum di masa yang datang.Analisis ekonomi mikro tersebut juga diharapkan dapat mengatasi kelemahan atau menambah kekuatan yang telah dimiliki ilmu hukum dalam menjalankan fungsi dan peranannya memberikan perlindungan dan jaminan kepastian hukum.Penulis yakin bahwa belum semua ahli hukum yang mengetahui secara pasti bagaimana menerjemahkan tujuan hukum yang bersifat abstrak ke dalam suatu tolok ukur keberhasilan secara pasti dan terukur sehingga dapat dirasakan secara nyata hasilnya.

Pertimbangan keenam, perkembangan ekonomi nasional, Negara-negara di dunia sejak tahun 1970-an telah memasuki tahap proses penyusunan kebijakan publik setiap Negara sehingga memerlukan argumentasi ekonomi untuk dijadikan landasan justifikasi keputusan-keputusan kebijakan publik. Bank Dunia dan OECD telah mendorong penerapan kebijakan ex ante untuk mengantisipasi konsekuensi langkah kebijakan dengan metode “regulatory impact analysis” (RIA) atau disebut IA (impact assessment).12 Sekalipun metoda analisis kebijakan publik dengan pendekatan ekonomi memperoleh kritik keras dari politisi di Negara maju akan tetapi, pergerakan pendekatan hukum dan ekonomi telah mengubah pola pikir para ahli hukum dan pengambil kebijakan pada tahun 1960-an di Amerika Serikat, yaitu analisis ekonomi tentang hukum atau economic analysis of law (EAL). EAL adalah pandangan normative tentang hukum dan ekonomi yang memandang hukum tidak hanya apa adanya (law is) melainkan bagaimana hukum seharusnya (law ought to be).13 Pendekatan EAL pada intinya bagaimana mendesain dan membentuk struktur peraturan (hukum) untuk mendorong hasil yang efisien yang fokus pada reaksi individual dan pasar terhadap langkah kebijakan baru tersebut (EAL). RIA dengan kebijakan ex ante adalah merupakan petunjuk terhadap pengambil kebijakan dalam pilihan solusi kebijakan untuk mencapai satu solusi yaitu mempertahankan keuntungan (bersih) dan kesejahteraan sosial.

Merujuk pada pergerakan dan perkembangan hukum dan ekonomi dengan metoda pendekatan tersebut, pengetahuan mengenai analisis ekonomi mikro tentang hukum sangat relevan dan penting bagi ilmu hukum karena

(10)

analisis hukum akan memperoleh pengetahuan baru, yaitu mempertimbangkan “cost and benefit ratio” dalam pembentukan undang-undang dan penegakan hukum, sehingga hukum tidak bekerja dalam ruangan hampa tanpa ada makna dan manfaatnya bagi kehidupan manusia. Posner14 menegaskan, “economics is a powerful tool for analyzing a vast range of legal questions”; here economics means rational choice and price theory, combined with the assumption that ‘resources tend to gravitate to their most valuable uses if voluntary exchange-market-is permitted” (ekonomi merupakan sarana yang berdaya guna untuk melakukan analisis atas pertanyaan-pertanyaan hukum yang luas; ekonomi mengartikan adanya pilihan rasional dan teori harga, yang dikombinasikan dengan asumsi bahwa, ketersediaan sumber daya cenderung bergerak kearah penggunaannya yang sangat berharga jika pedagangan-sistem pasar-diperbolehkan).

Peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat beragam versi, misalnya, perkara perdata, perkara pidana atau perkara administrasi; ketiga peristiwa hukum tersebut sering terjadi dan sering menimbulkan polemik mengenai sanksi (ancaman hukum) yang mana yang harus didahulukan atau diutamakan- hanya dengan satu tujuan agar kehidupan masyarakat pada umumnya, khususnya pihak-pihak berperkara dapat memulihkan kembali hubungan sosialnya. Di antara sanksi administrasi, sanksi perdata dan sanksi pidana, maka sanksi pidana dipandang merupakan sanksi yang diakui sangat keras dan tajam karena secara langsung menimbulkan efek jera pada pelaku kejahatan dan keluarganya. Penempatan dalam tempat penahanan dan pembatasan kebebasan bergerak serta kehilangan-kehilangan kebebasan lainnya merupakan keadaan yang menakutkan dan menjerakan. Pandangan tersebut mendorong kehendak pada setiap pemegang kekuasaan dalam suatu negara hukum untuk selalu berpandangan bahwa, sanksi pidana dapat diterapkan serta merta pada suatu peristiwa sosial dalam masyarakat tanpa harus mempertimbangkan sanksi-sanksi lain (sanksi administratif dan sanksi perdata) hanya karena sanksi pidana dianggap efektif menghentikan setiap orang yang akan melakukan kejahatan dan dianggap satu-satunya sanksi yang dapat membuat jera pelakunya.

Sejarah perkembangan hukum pidana dan yang terjadi di beberapa negara, terutama kejahatan terhadap nyawa dan badan, hampir dapat dipastikan paradigm bahwasanya sanksi hukuman badan (penjara) adalah yang paling efektif dan menjerakan pelakunya; suatu pandangan utilitarianisme ala Jeremy Bentham dengan teori-nya “felicific calculus”15atau keseimbangan

(11)

antara keseriusan kejahatan dan sanksi yang seimbang. Sanksi pidana denda sangat jarang diterapkan dengan pertimbangan hanya dapat dan layak diterapkan terhadap kejahatan-kejahatan yang bertujuan mencari keuntungan finansial atau kejahatan di bidang keuangan (financial crimes). Namun, baik sanksi pidana penjara maupun sanksi pidana denda masih tetap berpijak pada pandangan bahwa, “man is a rational-actor-and immoral”16 yang mampu membuat kalkulasi mengenai keuntungan dan kerugian (cost and benefit analysis) dari kejahatan yang (akan) dilakukannya. Keuntungan yang diperoleh pelaku kejahatan adalah kerugian yang dialami korban (pelaku atau negara). Keuntungan yang diperoleh ada yang berwujud (tangible) dan tidak berwujud (intangible) seperti kejahatan karena hawa nafsu saja. Sedangkan, kerugian yang timbul bagi pelaku adalah beberapa biaya lain seperti “out of pocketexpenses”; biaya membeli senjata api, alat-alat untuk mencuri dan topeng, dll. Selain itu, bagi pelaku masih ada biaya-biaya lain, seperti biaya waktu yang terpakai oleh tersangka (opportunity cost) dan biaya karena ditahan dan mengalami penderitaan selama menjalani hukuman (expected cost). Namun disisi lain konsep “rational actor” ini menurut Posner dipandang tidak realistik karena dalam kenyataannya, masih ada kejahatan karena kemiskinan dan tingkat pendidikan yang rendah.17

Dalam konteks perkembangan dunia terutama abad 20, di mana perhatian masyarakat internasional dipusatkan pada dampak regulasi terkait ekonomi internasional, regional dan nasional, maka orientasi hukum pidana mulai beralih, dari pendekatan normatif dengan metoda abstraksi logis, kepada analisis yang memanfaatkan konsep ekonomi mikro yang terukur dan pasti tentang bekerjanya hukum pidana dalam masyarakat. Analisis ekonomi mikro tentang hukum pidana mulai memperoleh perhatian para ahli hukum yang memahami ekonomi, dan ahli ekonomi yang memahami pentingnya dampak regulasi.

Karya-karya penting tentang analisis ekonomi mikro terhadap hukum pidana dimulai oleh Beccaria dan Bentham pada abad 18 dan awal abad 19: karya Beccaria, “On Crime and Punishment”(terjemahan Henry Paolucci, 1963); karya Jeremy Bentham, “An Introduction to the Principles of Morals and Legislation” (1843), dan “Principles of Penal Law”.

Pendekatan analisis ekonomi mikro tentang hukum pidana berasal dari definisi ekonomi mikro yaitu, “the study of how scarce resources are

16 Michael Trebilcock

(12)

allocated among competing ends” (Studi mengenai bagaimana sumberdaya yang terbatas dialokasikan antara berbagai hasil akhir yang bersaing satu sama lain). Teori ekonomi mikro menawarkan suatu teori umum tentang bagaimana setiap orang/pimpinan/kelompok orang mengambil keputusan.18 Teori ini adalah teori mengenai aspek tingkah laku manusia dan didasarkan pada 3 (tiga) prinsip, yaitu: (i) Optimalisasi (maximization dan Minimization), (ii) keseimbangan (equilibrium), dan (iii) efisiensi (efficiency), 19 atau (i) prinsip nilai (values), (ii) kegunaan atau manfaat (utility), dan (iii) efisiensi (efficiency).20 Dari tiga prinsip tersebut karenanya Ekonomi mikro berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat dan bahkan melahirkan cabang ilmu ekonomi tersendiri yaitu ekonomi kesejahteraan (Welfare Economics).

Analisis Ekonomi Mikro sering pula disebut analisis teori penentuan harga (Price Theory) karena menganalisis terjadinya penentuan harga (price analisys) dalam berbagai struktur pasar. Sebenarnya analisis ekonomi mikro selain didasarkan pada analisis positif dan normatif, 3 (tiga) prinsip: (i) Optimalisasi (maximization dan Minimization), (ii) keseimbangan (equilibrium), dan (iii) efisiensi, juga didasarkan pada pendekatan perbandingan statis dan dinamis, jangka pendek dan jangka panjang, dan Analisis keseimbangan parsial dan umum (parsial dan general equilibrium).

Perbedaan analisis ekonomi mikro sangat penting diperhatikan mengingat bahwa ketiga prinsip ekonomi tidak dapat dikatakan tercapai bila hanya diihat satu dimensi saja. Sebagai contoh keputusan hukuman untuk PT Asian Agri Group dapat dikatakan efisien, maksimal, dan seimbang tidak hanya terkait pada beratnya hukuman denda yang mampu mengakibatkan efek jera di jangka pendek namun keputusan untuk memberikan kesempatan bagi PT AAG untuk tetap beroperasi secara dimensi dinamis dan keseimbangan umum menyebabkan efisiensi, maksimisasi, dan keseimbangan yang diinginkan juga dirasakan dalam jangka panjang dan keseimbangan umum; perusahaan tetap dapat memutar roda perekonomian Indonesia kedepan dengan tidak mengakibatkan pengangguran dan tetap menyumbang pemasukan devisa penerimaan pajak, selain itu sektor ekonomi lain terkait bidang usaha PT AAG seperti pengolahan kelapa sawit, pabrik minyak goreng, usaha transportasi dan logistik yang menopang dan juga ditopang oleh produk PT AAG akan tidak dirugikan.

18 Richard Cooter & Thoman Ullen, hlmn 13 -1 5 19 ibid

(13)

Penulis berpendapata bahwa dengan melihat berbagai jenis analisis ekonomi mikro yang tersedia, perilaku di antara pelaku ekonomi tidak selalu harus terobsesi pada maksimalisasi/Minimisasi tujuannya (end-goals)21 akan tetapi juga setiap orang harus mempertimbangkan keseimbangan dalam menjalankan hak dan kewajibannya di dalam kehidupan masyarakat, serta setiap tindakannya harus terukur dan pasti sehingga tercapai efisiensi antara upaya dan hasil nyata yang telah diperolehnya, baik positif/normatif, jangka pendek/panjang, statis/dinamis, juga keseimbangan parsial dan umum. Ketiga prinsip ekonomi tersebut sebenarnya merupakan turunan dari filsafat utilitarianisme Jeremy Bentham dan Beccaria yang telah dikembangkan dalam pendidikan hukum dan dalam praktik peradilan di Amerika Serikat dikenal sebagai “pragmatic utilitarianism” (Alschuler, 2000)22. Namun dalam praktik hukum terutama oleh para penasehat hukum di sana, telah dikembangkan menjadi “applied utilitarianism”; pendekatan yang tidak lagi berpijak pada nilai kesejahteraan sosial kecuali hanya untuk kepentingan kesejahteraan (kekayaan) pribadi(individual) saja di atas pengorbanan orang lain. Dalam konteks ini, penulis dapat mengatakan bahwa, tiga prinsip ekonomi sebagai parameter analisis terhadap bekerjanya hukum merupakan upaya ilmiah, ‘penghalusan hukum (rechtvervjining)’ sekaligus koreksi terhadap kekeliruan aplikasi hukum selama ini. Di sisi lain, prinsip-prinsip ekonomi mikro merupakan cara yang tepat untuk menempatkan (kembali) aliran hukum, “pragmatic utilitarianism” pada tempat yang tepat sesuai dengan sistem demokrasi modern yang telah berjalan dua ratus tahun lebih di Negara tersebut.

Prinsip ekonomi mikro pertama, Optimisasi (dalam hal terkait hukum adalah maksimalisasi); didasarkan pada teori pilihan rasional (rational choice theory), dan dalam konteks kejahatan terutama pada level “white collar crime”, teori ini dapat menjelaskan bahwa kejahatan yang dilakukan oleh korporasi atau kelas menengah telah memperhitungkan antara probabilita atau kemungkinan perolehan “keuntungan” dan “kerugian” dari kejahatannya. Keuntungan dimaksud adalah hasil kejahatannya dan kerugian dimaksud adalah kerugian materiel dan immaterial pada korban kejahatannya (perorangan, pebisnis atau Negara), serta kerugian yang telah diperhitungkan karena ditangkap dan ditahan serta dihukum.

Dalam konteks hukum pidana, keseimbangan yang merupakan prinsip ekonomi mikro kedua, seharusnya dapat menyelesaikan masalah yaitu dengan mempertanyakan, bagaimana kerugian korban kejahatan dapat

21Contohya Minimisasi Biaya atau Maksimisasi Keuntungan.

(14)

tergantikan oleh pelaku kejahatan; apakah dengan pemberian kompensasi atau dengan penghukuman yang setimpal dengan akibat dari kejahatannya. Namun demikian, penjatuhan sanksi terhadap kejahatan harus mempertimbangkan prinsip ekonomi mikro ketiga yaitu efisiensi. Prinsip ini relevan dengan pertanyaan, apakah penjatuhan pidana penjara atau pidana denda atau pidana kerja sosial23, lebih efisien atau justru pemberian kompensasi kepada korban kejahatan, atau pengembalian kerugian keuangan Negara dipastikan lebih adil dibandingkan dengan menjalani hukuman penjara selama waktu tertentu?

Efisiensi dimaksudkan adalah baik bagi perbaikan pribadi pelaku kejahatan maupun bagi korban-nya apakah perorangan, kelompok atau Negara. Contohnya, dalam tindak pidana lingkungan hidup, penerapan tanggung jawab (pidana) mutlak (strict-liability) diikuti dengan pidana denda maksimal lebih efisien dibandingkan dengan penerapan “liability based-on fault” dan pidana penjara selama waktu tertentu. Dari sudut analisis ekonomi mikro, penerapan strict-liability lebih efisien (adil), misalnya dalam perkara lingkungan hidup, yaitu penjatuhan pidana tanpa pembuktian kesalahan terhadap suatu perusahaan produksi tekstil dimana limbah buangan pabrik telah mengakibatkan pencemaran terhadap perairan sawah penduduk karena pertama, proses peradilan tidak memerlukan waktu yang lama; kedua, pelaksanaan putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana denda maksimal ditambah dengan nilai kerugian materiel dan immaterial pada korban penduduk sekitar pabrik, dan ketiga, organisasi perusahaan telah diperbaiki dengan menyediakan tempat penampungan limbah sesuai dengan ketentuan AMDAL, serta perusahaan tetap dapat beroperasi seperti sediakala dan menghasikan tekstil ekspor berkualitas yang dapat memasukkan devisa bagi Negara. Contoh lain, menjalani hukuman selama waktu tertentu misalnya 5 (lima) tahun terhadap pelaku tindak pidana korupsi dan pidana denda Rp 1 milyar apakah adil jika dibandingkan dengan pidana kerja sosial bagi pelakunya, misalnya seorang mantan menteri dan berpengalaman serta memiliki kualifikasi sarjana bidang nuklir. Dalam contoh kasus ini perlu dipertimbangkan aspek kemanfaatan yaitu kepada seorang terdakwa sarjana nuklir selama menjalani hukuman dan hukuman yang tepat adalah pidana bersyarat selama minimal 3 (tiga) tahun atau maksimal 5 (lima) tahun, dan selama waktu tersebut terpidana ybs wajib mengabdikan dirinya kepada

(15)

proyek pemerintah untuk pembangkit tenaga nuklir dimana saat ini sarjana di bidang ini sangat langka. Kemanfaatan bagi terpidana ybs adalah ybs dapat tetap menjalankan kehidupannya seperti biasa dan dapat bertemu dengan keluarga setiap hari akan tetapi tetap berada dalam pengawasan kejaksaan.

Dari sudut analisis ekonomi mikro, jelas terlihat bahwa pidana kerja sosial atau pidana denda maksimal dengan pidana bersyarat mencerminkan efisiensi, keseimbangan dan maksimalisasi dari suatu kebijakan hukum. Contoh-contoh tersebut di atas sekaligus juga menerangkan bagaimana seharusnya hukum pidana bekerja dan kiranya cocok dengan pendapat yang dikemukakan Becker secara spesifik bahwa analisis ekonomi mikro terhadap hukum pidana meliputi24:

1. Keseimbangan antara kepastian dan beratnya hukuman;

2. Perbandingan secara ekonomi antara hukuman denda dan hukuman penjara;

3. Aspek ekonomi dari penegakan hukum dan hukum acara;

4. Efek penjeraan dan pencegahan dari hukuman penjara (termasuk hukuman mati).

Keempat lingkup objek analisis ekonomi mikro dari Becker di atas menitik-beratkan pada keterkaitan antara perbuatan dan hukuman di satu sisi, dan antara hukuman penjara dan hukuman denda di sisi lain, khusus mengenai efeknya terhadap pelaku tindak pidana.

Bagi penganut paham hukum pidana klasik yang mengutamakan penjeraan (deterrence) tentu analisis ekonomi mikro terhadap hukum pidana dari Becker akan diabaikan dan tidak menarik perhatian mereka untuk dikaji lebih lanjut karena bagi mereka penjeraan lebih penting dari kegunaan atau kemanfaatan, apalagi sisi efisiensi dari bekerjanya hukum pidana. Namun bagi penganut paham hukum pidana modern, keempat objek tersebut mendapat perhatian yang serius karena mereka beranggapan bahwa sepanjang sejarah hukum pidana, khusus mengenai hukuman, tidak pernah terjadi efek penjeraan yang masif pada pelaku tindak pidana, bahkan sebaliknya, residivis semakin meningkat setiap hari-nya. Pengalaman mengenai hal ini disampaikan kepada penulis oleh Kepala Rumah Tahanan di LP Cipinang yang mengatakan bahwa LP Cipinang setiap hari mengeluarkan hampir 100 orang narapidana karena habis masa hukuman, dan pada minggu yang sama menerima narapidana baru, kurang lebih dengan jumlah

(16)

yang sama; di antaranya termasuk narapidana yang baru dikeluarkan pada minggu yang sama. Posner mengemukakan pendapatnya mengenai pidana denda dibandingkan dengan pidana penjara sebagai berikut:25

“From an economic standpoint, the use of fines should be encouraged. Not only does imprisonment generate no revenue for the state, as fines do, but the social cost of imprisonment exceed those of constructing, maintain, and operating prisons…the loss of incarcerated individual’s lawful productivity (if any) during the period while he is in prison, the disutility of imprisonment to him, and the impairment of his productivity in legitimate activity after release”.

Pandangan Posner tersebut di atas, sejalan dengan teori-nya pada akhir Tahun 1970-an mengenai “Maksimalisasi kesejahteraan sebagai paradigma keadilan” (wealth maximization as a paradigm of justice),26 yang memperoleh penghargaan dari para akademisi dan pengambil kebijakan ketika itu di Amerika Serikat.

Penulis sependapat dengan Posner sekalipun pragmatis tetapi realistik sesuai dengan kenyataanper kembangan peristiwa penegakan hukum di Indonesia. Beberapa pertimbangan penulis sependapat dengan Posner sebagai berikut:

(1)Hasil penelitian M.Yusuf (2013) menunjukkan bahwa penyelamatan kerugian keuangan Negara selama 5 tahun (2007-2012) hanya mencapai 20% dari total kerugian keuangan negara sebesar Rp100 triliun lebih;

(2)Dalam kurun waktu 5 (lima) tahun 2009-2013; Laporan Kejaksaan Agung bahwa telah berhasil menyelamatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 6 triliun; Laporan Kepolisian sebesar Rp2 triliun, dan laporan KPK sebesar Rp 700 miliar. Sedangkan, selama kurun waktu yang sama, biaya negara yang dikeluarkan untuk proses penegakan hukum termasuk biaya akomodasi narapidana untuk selama 5 (lima) tahun adalah sebesar Rp27 triliun. Laporan ICW tentang kerugian keuangan negara dari illegal logging dan illegal fishing sebesar Rp600 triliun.

(3)Realisasi penerimaan negara dari pajak dalam kurun waktu 5 (lima) tahun selalu kurang dari 100% dari target pendapatan pajak setiap tahunnya. Merujuk pada rendahnya angka pengembalian kerugian keuangan negara dan defisit negara karena perkiraan pendapatan pajak yang tidak mencapai target selama kurun waktu 5 (lima) tahun,

(17)

dapat disimpulkan bahwa efek penjeraan kontra produktif bagi upaya meningkatkan pendapatan negara.

Keempat objek kajian dalam pendekatan analisis ekonomi mikro tersebut menurut Becker merupakan upaya alternatif yang diharapkan dapat membangun politik hukum di Indonesia yang sejalan dengan kenyataan yang hidup dalam masyarakat pada umumnya, khususnya masyarakat penjara atau “the society of captive” (Gresham Sykes, 1958). Sykes meneliti sejumlah narapidana di AS dan telah memperoleh hasil yang mencengangkan, yaitu bahwa kumpulan narapidana telah merupakan komunitas tersendiri dan terasing dari masyarakat umum, serta mereka memiliki kode etik dan budaya tersendiri yang berbeda dengan budaya masyarakat pada umumnya (prisoner’s sub-culture)27.

Berdasarkan pandangan Posner mengenai perbandingan pidana denda dan pidana penjara dari sudut efisiensi sejalan dengan politik hukum pidana di Amerika Serikat sejak Tahun 1970-an yang telah menggunakan analisis ekonomi mikro sejak penyusunan draft UU sampai pada implementasinya khususnya penghukuman. Bandingkan hal ini dengan politik hukum pidana di Belanda sejak KUHP Tahun 1996, yang dikenal dengan “low profile of justice”28, sebagai lawan efek jera dan penderitaan yang merupakan “high profile of justice”.

Dalam kaitan pendapat Becker mengenai empat objek analisis ekonomi mikro tentang hukum, Posner mengemukakan pendapatnya, bahwa masih ada substansi yang belum disentuh oleh Becker yaitu doktrin mengenai percobaan melakukan tindak pidana (attempt), permufakatan jahat (conspiracy), penjebakan (entrapment), kegilaan (insanity), dan perencanaan melakukan kejahatan. Posner berpendapat pula bahwa seharusnya konsep-konsep hukum pidana tersebut diberikan arti secara ekonomi yang dapat mendukung efisiensi penegakan hukumnya. Posner29 lebih lanjutmengatakan bahwa dari sudut analisis ekonomi mikro, doktrin mengenai konsep hukum pidana tersebut merupakan masalah yang tidak dapat dianggap mudah, dan Posner kemudian mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:

1. Fungsi hukum pidana secara umum dalam masyarakat kapitalis adalah mencegah anggota masyarakat untuk melanggar sistem kesepakatan

27

Gresham M. Sykes,” The Cociety of Captives: A Study of a Maximum Security Prison”, Pricenton Unive. Press, 1958

(18)

dan kesukarelaan anggota masyarakat, atau secara ekonomi, disebut “market bypassing”;

2. Sebagian besar dari “market bypassing” tidak dapat dicegah melalui hukum Tort (Tort Law) yaitu gugatan perorangan atas kerugian yang terjadi. Ganti rugi optimal yang disyaratkan sebagai penjeraan sering melampaui batas kemampuan pelaku pelanggaran untuk membayar sehingga diperlukan sanksi lain yaitu berupa penghukuman;

3. Sanksi hukuman memerlukan biaya besar sehingga menimbulkan implikasi terhadap perbedaan dalam doktrin mengenai konsep hukum pidana, seperti percobaan melakukan kejahatan harus dihukum seperti kejahatan yang selesai dilakukan (completed crime). Adanya perbedaan konsep hukum pidana ini dari sudut ekonomi, sangat tidak efisien karena percobaan untuk melakukan suatu tindak pidana, tetap dihukum sama dengan biaya yang sama besarnya dengan kejahatanyang telah dilakukan (completed crime).

Pendapat Posner mengenai fungsi pencegahan dari hukum pidana agar anggota masyarakat tidak melanggar kesepakatan bersama, dan sanksi berdasarkan hukum Tort tidak efektif dalam mengatasi masalah pelanggaran tersebut, disebabkan ketidakberdayaan secara ekonomi dari para pelaku. Sanksi hukuman badan (penjara) atas tindak pidana percobaan (attempt), dan tindak pidana telah dilakukan (completed crime) juga dianggap tidak efisien. Menurut pendapat penulis, ketiga isu tersebut merupakan condition sine qua non; satu dan lainnya saling terkait dan tidak terpisahkan serta satu isu tidak terjadi maka isu lainnya tidak akan muncul. Ketiga isu tersebut bagaikan “lingkaran setan” (vicious circle) yang tidak mudah untuk dihentikan atau di-by pass di tengah jalan. Karenanya, analisis ekonomi mikro mungkin dapat menemukan solusi alternatif yang bermanfaat sehingga fungsi hukum pidana dapat membuka “kotak Pandora” konsep hukum pidana yang tidak berjalan efektif dan efisien karena tidak merujuk pada prinsip maksimalisasi, keseimbangan dan efisiensi.

Salah satu solusi dan masukkan bagi penyusunan kebijakan hukum pidana pada umumnya, adalah jika tiga tujuan/cita hukum: (i) kepastian hukum, (ii) keadilan, dan (iii) kemanfaatan disandingkan dengan tiga prinsip ekonomi mikro menurut Cooter dan Ullen, yaitu: (i) maksimalisasi, (ii) keseimbangan, dan (iii) efisiensi; sebagaimana tercantum dalam Gambar 2.1 berikut.

(19)

MIKRO HUKUM

 EFISIENSI  KEADILAN

 KESEIMBANGAN  KEPASTIAN

HUKUM

 MAKSIMALISASI  KEMANFAATAN

Gambar 1 Sandingan Prinsip Ekonomi Mikro dan Tujuan Hukum

Sandingan mengenai tiga tujuan hukum dan tiga prinsip ekonomi tersebut di atas merupakan upaya untuk mencoba menyelaraskan hubungan antara ke-enam variable tersebut di dalam suatu eko-sistem hukum pidana di mana keadilan ternyata cocok disandingkan dengan efisiensi dalam arti setiap pencari keadilan telah merasakan hasil nyata upaya hukum yang telah dilaksanakannya dalam proses peradilan dan juga dampaknya terhadap perubahan nasib mereka pasca proses peradilan tersebut. Secara Pareto efficiency30 keadilan memang tepat disandingkan dengan efisiensi karena kesejahteraan sebuah masyarakat akan tercapai bila setiap orang memiliki tingkat kepuasan yang sama sesuai dengan pengorbanan sumber daya yang dimilikinya; pencari keadilan puas dengan apa yang didapat, sedangkan terhukum harus juga puas dengan hukumannya karena itu adalah resiko rasional dari perbuatan melanggar hukumnya. Efisiensi ini juga dapat diartikan bahwa telah terjadi perubahan perilaku tidak taat hukum dengan penjatuhan hukuman terhadap ybs. Dengan dasar definisi efisiensi ala Kaldor-Hicks criterion31, maka efisiensi juga dapat disandingkan dengan kemanfaatan karena pihak terpidana sebetulnya dapat memberikan kompensasi kepada pihak yang mencari keadilan melalui denda atau bentuk lain yang membuat utility atau kepuasaan pencari keadilan menjadi lebih baik.

30 Syarat tercapainya keseimbangan umum dalam Pareto Efficiency ditunjukkan dengan MRSyxA = MRSyxB dimana A dan B adalah anggota masyarakat dalam sebuah society. MRS

sendiri menunjukkan tambahan konsumsi satu barang dari mengorbankan konsumsi barang lain dengan upaya mempertahankan tingkat kepuasan yang sama.

(20)

Keseimbangan disandingkan dengan Kepastian hukum harus diartikan bahwa, keuntungan yang diharapkan dari tindak pidana oleh ybs. telah dinikmati dan karenanya dijatuhi hukuman yang setimpal dengan kerugian yang telah diderita korban karena tindak pidana tersebut. Keseimbangan ini juga cocok disandingkan dengan keadilan karena secara rasional pelanggar hukum harus menerima hukuman terbaik yang diakibatkan tindakannya sementara pencari keadilan secara rasional dapat pula menerima hukuman tersebut setimpal dengan perbuatan terhukum; bila hukuman terlalu berat maka sebenarnya terhukum juga dirugikan dengan kepuasan pencari keadilan yang lebih tinggi, bahkan kerugian si terhukum tersebut bisa lebih berat dalam hal dampaknya terhadap pihak ketiga misalkan dalam hal ini keluarga dan masa depannya yang suram akibat vonis yang terlalu berat (Dead Weight Loss).

Kemanfaatan disandingkan dengan maksimalisasi harus diartikan bahwa, penegakan hukum telah memberikan manfaat yang maksimal bagi kepentingan perlindungan hukum dan jaminan kepastian hukum para pencari keadilan.

Dalam pembahasan mengenai efek positif ekonomi mikro (Cooter dan Ullen) khususnya kontribusi tentang prediksi yang bermanfaat bagi penyusunan suatu kebijakan, Posner optimis dapat menempatkan hukum sebagai suatu studi ilmiah (empiris). Keenam variable pada gambar 2.1 merupakan suatu sistem pemikiran ilmiah (system of thought) yang telah menggabungkan dua prinsip yang berasal dari disiplin ilmu yang berbeda, yaitu prinsip “cost and benefit ratio” dan prinsip “right or wrong”, dan kedua prinsip tersebut merupakan “condition sine qua non” dalam menyusun suatu kebijakan hukum berbasis ekonomi nasional.Kebijakan hukum berbasis ekonomi nasional adalah suatu politik hukum nasionalyang bertujuan memberikan kemanfaatan nyata, keseimbangan dan efisiensi baik bagi rakyat pencari keadilan maupun Negara. Teori utiliarianisme Bentham dalam konteks abad 21 Globalisasi telah tergolong teori yang bangkrut (bankrupt) sebagaimana dinyatakan oleh Ronald Coase: ”…whatever moral claims it had rested largely on the strength of utilitarianism, a theory generally viewed as banckrupt…”32

Dalam praktik penegakan hukum pidana di Indonesia, keenam variabel di atas (gambar2.1) tidak pernah dijadikan bahan pertimbangan dalam menetapkan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice

(21)

system). Makalah ini menyarankan sepatutnya dalam memasuki abad 21 ini, praktisi hukum khusus aparatur penegak hukum mulai memahami pendekatan analisis ekonomi mikro, dan pada Fakultas Hukum, dimasukkan mata kuliah analisis ekonomi mikro dalam kurikulum fakultas hukum. Selain itu, diperlukan pula sosialisasi pendekatan analisis ekonomi mikro kepada para ahli hukum di Indonesia atas kerjasama Fakultas Hukum dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis se-Indonesia.

Analisis ekonomi mikro dalam hubungannya dengan penegakan hukum pidana, sesungguhnya dapat membantu menemukan solusi yang “saling menguntungkan” tanpa menghilangkan efek jera, yaitu dengan pola penyelesaian “win-win solution” terutama pada aktivitas-aktivitas investasi bisnis dan komersial untuk memasukan devisa negara sebanyak-banyaknya. Posner telah memperkirakan perlunya perbedaan perlakuan dalam hal pelanggaran hukum, yaitu melalui hukum Tort (Tort Law) yang mirip pola hukum adat (kebiasaan) sejak lama, dan melalui sanksi pidana. Posner berpendapatbahwa perbedaan antara hukum Tort dan hukum pidana materiel disebabkan karena: (1) perbedaan risiko biaya sosial antara sanksi atas tindak pidana dan pelanggaran Tort, dan (2) perbedaan ‘keuntungan sosial’ dari kedua perbuatan pelanggaran tersebut. Posner yakin bahwa doktrin hukum pidana yang sangat menonjol memerlukan penjelasan yang sama dengan tujuan hukum pidana, yaitu mendukung efisiensi secara ekonomi.

Contoh-contoh berikut mencerminkan telah terjadi inefisiensi, non-maksimalisasi dan ketidak-seimbangan dalam proses pembentukan hukum dan penegakan hukum pidana di Indonesia.

(22)

menjalani hukuman. Konsekuensi logis dari ketentuan Pasal 4 tersebut, adalah bagi tersangka adalah lebih baik melarikan diri menjadi buron daripada menyerahkan diri atau jikapun menjadi tersangka, ia akan menyembunyikan uang tersebut sebagai “modal” untuk membiayai hidup keluarganya atau setelah menjalani hukumannya. Dari sudut ekonomi, cara yang sangat efisien, adalah jika terdakwa didenda membayar 5x lipat dari kerugian Negara tanpa harus menjalani hukuman, yaitu dengan hukuman bersyarat selama 2 tahun, dan uang Negara dikembalikan;

2. Berdasarkan APBN Tahun 2012/2013, biaya perkara untuk pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi diKejaksaan telah dialokasikan sebesar Rp250.000.000,-(dua ratus lima puluh juta rupiah). Jika tindak pidana korupsi di wilayah Jakarta pusat, yang merugikan keuangan Negara sebesar Rp 25.000.000,-sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 (UU Tipikor 1999), aparatur penegak hukum (APH) wajib mengembalikan uang Negara sebesar Rp 25.000.000,- dan menghukum pelakunya sekurang-kurangnya dengan ancaman hukuman 1 tahun atau 4 tahun dan seberat-beratnya 20 tahun. Dari sudut pendekatan ekonomi, implementasi ketentuan tersebut untuk kerugian Negara jauh lebih kecil dari biaya perkara yang dialokasikan dalam APBN, dan ditambah dengan biaya Negara yang harus dikeluarkan selama pelaku menjalani masa hukuman tersebut; jelas sangat tidak efisien. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana halnya dengan efek jera terhadap pelaku? Jawabannya terletak pada bagaimana sikap APH menjawab perbedaan sudut pandang mengenai moralitas dari hukuman dan rasionalitas (efisiensi) dan hasil nyata dari implementasi penegakan hukum berdasarkan UU Tipikor 1999. Solusi terbaik dari sudut analisis ilmu ekonomi adalah dengan penyelesaian melalui cara injunction33. Keuntungan Negara dengan pola penyelesaian kasus ini melalui injunction adalah: pertama, memperpendek jarak waktu penyelesaian; kedua, Negara tidak perlu mengeluarkan biaya yang tidak perlu (karena tidak efisien), dan ketiga, hukuman bersyarat atau hukuman kerja sosial akan jauh lebih menguntungkan kepentingan Negara karena Negara tidak perlu mengeluarkan biaya

(23)

ekstra untuk membiayai hidup narapidana selama menjalani proses peradilan hingga menjalani hukuman. Biaya Negara y ang harus dikeluarkan jika pemeriksaan perkara korupsi senilai Rp25.000.000,-diuraikan di bawah ini.

3. Jika terdakwa perkara korupsi tetap diselesaikan melalui proses peradilan, dan terdakwa dijatuhi hukuman penjara selama 4 (empat) tahun dipotong masa tahanan selama 1 (satu) tahun, maka terdakwa harus menjalani hukuman tersisa selama 3 (tiga) tahun dengan hak memperoleh remisi, cuti, asimilasi dan pembebasan bersyarat, maka ybs hanya menjalani hukuman penjara selama 1 tahun 6 bulan. Selain itu juga biaya Negara memenuhi kebutuhan hidup terdakwa misalnya satu hari memerlukan biaya Rp15.000,-maka biaya hidup untuk satu narapidana, selama 1 tahun 6 bulan=18 bulan x 30 hari x Rp 15.000,=Rp 8.100.000,-(delapan juta seratus ribu rupiah). Jika narapidana tidak memperoleh remisi dan bebas bersyarat secara penuh, dan menjalani hukuman penuh selama 3 (tiga) tahun, tentu biaya yang dikeluarkan negara bagi seorang narapidana menjadi total Rp16.425.000 (enam belas juta empat ratus dua puluh lima ribu rupiah). Jika rata-rata per tahun di seluruh LP di Indonesia, terdapat 100.000 narapidana korupsi, dan rata-rata menjalani hukuman 3 (tiga) tahun, maka total biaya yang harus dikeluarkan untuk Bahan Makanan (BAMA) di seluruh LP adalah Rp 1.642.500.000.000,-(satu triliun enam ratus empat puluh dua miliar lima ratus juta rupiah). Beban Negara tersebut belum termasuk biaya kesehatan narapidana dan fasilitas air minum dan kebersihan.

4. Kasus Texmaco yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi, melalui jalur pidana mengakibatkan pabrik terpaksa ditutup dan buruh pabrik terpaksa di PHK yang menambah jumlah pengangguran, serta pabrikmenjadi besi tua sehingga Negara kehilangan devisa dan penerimaan pajak.

5. Kasus Dipasena, pabrik pengekspor udang terbesar ketiga se-dunia, dituntut pidana melalui jalur penghukuman, pabrik ditutup dan PHK serta menjadi lumpur sehingga Negara kehilangan devisa dan penerimaan pajak.

(24)

pidana penjara dengan pidana denda serta memberikan pendapatnya sebagai berikut34:

“One punishment that is widely used is imprisonment. The costs of this alternative include not only the cost to the prisoner of being miserable.. but also the expense of building and operating prisons, and a loss of productivity of the offender during the period of incarceration.” The individual will also less productive after his release, because of his prolonged separation from the labor market and the stigma of conviction of a serious offense. The reduction of his productivity and earning capacity will lower the opportunity cost of crime, and increase likelihood that he will return to crime” (Salah satu hukuman yang banyak digunakan adalah hukuman penjara. Biaya dari alternatif ini tidak hanya mencakup biaya untuk narapidana menjadi menderita dalam penjara.. tapi juga biaya untuk bangunan dan mengoperasikan penjara, serta hilangnya produktivitas narapidana selama periode penahanan. "Si narapidana juga akan kurang produktif setelah pembebasannya, karena lama berada di luar pasar tenaga kerja dan stigma terhadap mantan kriminal. Berkurangnya produktivitas dan kapasitas penerimaan akan menurunkan opportunity cost untuk melakukan kembali kejahatan, dan jelas meningkatkan kemungkinan bahwa narapidana yang telah bebas akan kembali ke dunia kejahatan).

Inti uraian Stephen tersebut adalah bahwa biaya (risiko) sosial dari hukuman penjara lebih besar dari biaya (risiko) sosial hukuman denda; akan tetapi menurut penulis, efek jera pidana denda tetap dapat efektif jika dijatuhkan denda maksimal sesuai dengan kemampuan ekonomi terdakwa baik perorangan maupun korporasi sehingga efek jera secara fisik (hukuman penjara/badan) disubstitusi dengan efek jera secara finansial (pidana denda) dan efek jera secara sosial (menjalani pidana kerja sosial).

Dalam konteks contoh kasus di atas dan pernyataan Stephen, muncul berbagai pertanyaan dari pembuat undang-undang, “bagaimana efek sanksi terhadap perilaku manusia”? Sebagai contoh, jika sanksi pidana denda atau membayar ganti rugi dibebankan kepada seseorang atau korporasi yang telah mengeluarkan produk barang yang cacat, apa yang akan terjadi terhadap keamanan dan harga barang tersebut di masa yang akan

(25)

datang?.35 Dalam konteks tindak pidana di Indonesia masih ada pendapat yang kuat dan masih berpengaruh, bahwa efek jera dari hukuman yang diperberat sangat diperlukan, begitu juga lebih jera dengan ditiadakannya remisi dan bebas bersyarat bagi narapidana korupsi, terorisme dan narkoba.

Dalam konteks perkembangan hukum di Indonesia, makalah ini menyikapi bahwa perkembangan analisis ekonomi tentang hukum khusus terhadap hukum pidana merupakan kekuatan baru yang dapat meningkatkan moral hukum pidana agar dapat digunakan secara efisien dan berarti bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat terjadi jika para ahli hukum pidana secara sungguh-sungguh memperhatikan sisi kemanfaatan dan kerugian penggunaan hukum pidana yang selama ini dipandang sebagai instrumen yang mampu menimbulkan efek jera dan menghentikan kejahatan yang terjadi di dalam masyarakat. Pandangan baru pendekatan analisis ekonomi terhadap hukum pidana justru mengubah paradigm hukum pidana klasik (benar dan salah) kepada hukum pidana berbasis ekonomi yaitu seberapa besar dampak sosial dan ekonomi rakyat dari penggunaan hukum pidana.

Tujuan hukum juga adalah kemanfaatan selain kepastian dan keadilan. Hukum memiliki banyak aspek dari kehidupan manusia seperti aspek ekonomi, sosial, budaya, dan aspek politik. Perekonomian nasional merupakan tulang punggung kesejahteraan rakyat dan tidak akan kokoh jika tidak ditopang oleh hukum. Kelemahan hukum dalam proses pembangunan nasional berbasis pembangunan ekonomi nasional adalah hanya melihat peristiwa masa kini (at present) dengan pendekatan masa lalu (ex-ante), dan tidak melihat masa depan. Ekonomi justru melihat masa depan dari suatu kebijakan hukum (to the future). Kelemahan hukum dalam cara memandang suatu peristiwa dapat dilengkapi/diisi oleh ekonomi sehingga pembangunan hukum yang cocok di era globalisasi adalah pembangunan hukum berbasis analisis ekonomi mikro.

BOX 1. Denda dan Hukuman Kejahatan Korporasi

Berdasarkan Majalah The Economist, terbitan tanggal 21 Juli 2012, sejak April 2014,beberapa perusahaan di Inggris dan Amerika Serikat telah sepakat untuk membayar lebih dari USD 10 milyar karena pelanggaran hukum yang mereka lakukan. Economics of Crime

menunjukkan bahwa denda yang dikenakan oleh regulator mungkin

(26)

perlu naik lebih besar lagi jika mereka ingin mengimbangi benefit dari pelanggaran hukum.

Tuduhan terbaru dari perilaku persaingan tidak sehat, strategi marketing yang menyesatkan konsumen, dan penetapan harga bias pada praktek monopoli, kejahatan perbankan telah menjadi pelanggaran hukum terbanyak dan terburuk akhir dasawarsa ini. Barclays didenda USD 450 milyar untuk perannya dalam skandal penetapan harga; HSBC diharapkan untuk menerima denda yang besar dan berat karena diduga melanggar peraturan pencucian uang. Dua perusahaan farmasi, GlaxoSmithKline dan Abbott Laboratories telah didakwa untuk praktek marketing yang ilegal.

Bahwa banyak perusahaan berperilaku buruk bukan hal yang baru, tapi respon dari pihak hukum telah berubah baru-baru ini. Kita ambil contoh praktek kartel, secara internasional, besaran denda naik dengan seribu kali lipat jumlahnya antara tahun 1990-an ke tahun 2000-an walaupun paraktek kartel dan persaingan tidak sehat justru menurun pada periode yang sama (lihat grafik berikut).

Analisa ekonomi terhadap upaya pencegahan kejahatan dimulai dengan asumsi menyedihkan: eksekutif perusahaan hanya mempertimbangkan cost-benefit semua pilihan mereka, termasuk yang ilegal. Mengurai dan menjelaskan asumsi yang kuat tentang rasionalitas pelaku kejahatan adalah cara yang berguna untuk mengetahui bagaimana untuk mencegah pelanggar peraturan.

(27)

diharapkan dari perilaku melanggar hukum adalah produk dari dua hal: (i) kemungkinan ditangkap dan (ii) beratnya hukuman jika tertangkap. Kerangka bepikir ini dapat digunakan untuk memeriksa besaran yang tepat dari jumlah denda, serta untuk melihat apakah ada alasan untuk membebaskan perusahaan dari denda dan menjatuhkan jenis hukuman lain seperti penjara.

Dalam memikirkan cara mengatur denda, sangat membantu bila kita memulai dari hal yang ekstrem. Salah satu pilihan adalah untuk tidak menerapkan denda sama sekali untuk setiap pelanggaran perusahaan, dan mengandalkan hanya pada kekuatan pasar untuk memaksakan biaya yang memaksa perusahaan tetap patuh pada atuan hukum. Pendekatan berbasis pasar untuk regulasi antitrust, yang dipopulerkan oleh Aaron, Direktur dari University of Chicago, menyatakan bahwa pelanggaran antitrust harus memiskinkan si bersalah, apakah dia konsumen atau produsen. Masalah dengan pandangan ini adalah bahwa terdapat friksi - biaya switching dari konsumen atau hambatan alami masuknyapesaing baru - dapat memungkinkan perusahaan untuk berperilaku eksploitatif “manipulative”(?) guna menghindari hukuman. Mekanisme pasar saja tidak selalu cukup untuk memastikan perilaku korporasi yang baik. Dalam sebuah makalah tahun 2007, John Connor dan Gustav Helmers dari Purdue University meneliti 283 kartel internasional yang beroperasi antara tahun 1990 dan 2005. Kenaikan pendapatan agregat kartel ini mencapai lebih dari $ 300 miliar.

Pada ekstrem yang lain, adalah penetapan sistem denda yang sangat tinggi . Memang, kalkulasi kejahatan ala Mr Becker mungkin mengarah pada kesimpulan bahwa denda harus sama kejamnya, mungkin -merebut semua aset dari pelaku misalnya. Apa pun upayamenurunkan denda akan mengurangi biaya yang diharapkan oleh pelaku pelanggar hukum, tanpa melakukan apa pun untuk meningkatkan probabilitas deteksi. (Memperlakukan “whiste-blower” secara baik sangat konsisten dengan logika ini: membiarkan mereka lepas dari hukuman yang menimbulkan kemungkinan kebenaran terungkap lebih luas, dan karenanya deteksi yang lebih awal). Ada banyak argumen terhadap denda ultra- tinggi, salah satunya adalah bahwa pengakuan palsu membawa akibat biaya terlalu tinggi bagi pelaku.Argumen lain adalah bahwa denda tinggi bisa melumpuhkan perusahaan dan mengurangi daya saing mereka di pasar.

(28)

hal ini harus diimbangi oleh besaran denda. Dalam studi dari Connor dan Helmers, jumlah rata-rata denda terhadap anggota hanya lebih sedikit dari 20% dibandingkan pendapatan mereka dari praktek kartel yang mereka lakukan. Selanjutnya, kita perlu asumsi tentang kemungkinan terdeteksi: tingkat deteksi mengetahui satu dari tiga praktek kartel sudah cukup memadai. Dalam contoh ini, itu berarti harus ada denda 60% dari pendapatan hasil kartel dibutuhkan untuk mengimbangi 20% manfaat yang diharapkan dari pendapatan.

Gambar

Tabel 1.  Jumlah Kasus Korupsi dan Kerugian Negara yang
Gambar 1 Sandingan Prinsip Ekonomi Mikro dan Tujuan Hukum

Referensi

Dokumen terkait

Bila keadaan tahap IV terus berlanjut maka akan jatuh pada stres tahap V yang ditandai dengan hal-hal berikut: kelelahan fisik dan mental yang semakin mendalam,

[r]

Jika terjadi perbedaan antara pemilik dan pengusaha, yaitu satu pihak menyangkut sesuatu yang umum dan pihak lain menyangkut masalah khusus, yang diterima adalah pernyataan

Hasilnya, Dewan direksi wanita secara parsial memiliki pengaruh negatif tidak signifikan terhadap pengungkapan CSR, sedangkan dewan direksi asing, komposisi komisaris

Setelah melakukan pengeditan isi, pengorganisasian, dan gaya penulisannya, langkah berikutnya adalah melakukan pengeditan dari sudut mekanik atau teknis penulisan suatu pesan –

“Pengaruh Struktur Kepemilikan terhadap Luas Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial (CSR Disclosure) pada Laporan Tahunan Perusahaan : Study Empiris pada Perusahaan

Pendekatan kebudayaan di artikan sebagai sudut pandang atau cara melihat dan memperlakukan suatu gejala yang menjadi perhatian dengan menggunakan kebudayaan

Why, a bad action is just a wrong in this world, but when you’ve won the whole world, it’s a wrong in your own world, so you can make it right