• Tidak ada hasil yang ditemukan

modul 1 Arti Vital Energi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "modul 1 Arti Vital Energi"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Modul Ajar 1 – halaman 1 Topik : Arti Vital Energi

Substansi :  Energi dan kualitas hidup manusia

 Persoalan mendasar sistem energi saat ini Tujuan Pembelajaran : Dapat:

(1)menjelaskan dua substansi topik

(2)memberikan rekomendasi alternatif solusi terhadap persoalan mendasar sistem energi

Waktu : 2 sks (2 x 50 menit)

1.1.

Energi dan Kualitas Hidup Manusia

Pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya (UNEP-IEA, 2002). Mewujudkan definisi tersebut ke dalam kebijakan dan seperangkat aksi merupakan tantangan besar. Hal tersebut karena pembangunan berkelanjutan mengandung hubungan antara generasi saat ini dan masa datang serta terkait dengan tiga dimensi sekaligus: ekonomi, kesejahteraan sosial dan lingkungan. Energi menjadi komponen tak terpisahkan dalam tiga dimensi tersebut secara sekaligus.

Energi diperlukan untuk menggerakkan berbagai aktifitas, baik alami maupun buatan. Energi menjadi salah satu penentu keberlangsungan hidup suatu masyarakat: dalam kemampuannya menjaga berbagai proses ekologis, menggerakkan berbagai aktifitas ekonomi dan secara umum meningkatkan kualitas hidup. Keberlangsungan tingkat dan kualitas aktifitas sangat tergantung kepada ketersediaan dan konsumsi energi (Hughes, 2000).

(2)

Modul Ajar 1 – halaman 2

beras. Yang dimanfaatkan dari energi adalah “layanan” yang disediakannya;

bukan energi itu sendiri.

Layanan energi (energy service) adalah berupa manfaat yang dihasilkan oleh pembawa energi bagi kepentingan hidup manusia (Modi dkk., 2005). Contoh layanan energi yang diterima oleh manusia adalah seperti panas untuk memasak, cahaya untuk penerangan rumah atau pabrik, daya mekanis untuk menumbuk atau menggiling biji-bijian, komunikasi dan lainnya. Sementara Lovins (2004) mengartikan layanan energi sebagai fungsi yang dituju dengan melakukan konversi energi dalam berbagai piranti. Fungsi tersebut misalnya kenyamanan, mobilitas, udara segar, fisibilitas, hiburan, reaksi elektrokimia, dan sebagainya.

Terdapat berbagai macam pembawa energi, seperti listrik yang dapat dibangkitkan dari bermacam-macam sumber energi (air, angin, matahari atau batu bara). Sementara itu, layanan energi dapat diperoleh dari beragam pembawa energi tersebut, misal cahaya dari bahan bakar atau listrik atau daya mekanik yang diperoleh dari energi potensial air, energi kinetik angin, atau dari listrik.

Sementara itu, yang penting dari sisi pemakai adalah layanan energi, bukan sumber energi. Pemakai (rumah tangga, bisnis, dan lainnya) menuntut adanya kehandalan (reliability), keterjangkauan (affordability) dan akses (accesibility) terhadap layanan energi. Dari sisi pembangunan berkelanjutan, sangat penting untuk dapat ditegaskan layanan energi apa saja yang dibutuhkan manusia untuk mencapai berbagai target yang ditetapkan.

(3)

Modul Ajar 1 – halaman 3 merupakan salah satu elemen vital dalam pencapaian kualitas hidup yang memadai.

Ada tingkat minimal konsumsi energi per kapita per hari tertentu yang harus dicapai oleh suatu negara agar warganya dapat terpenuhi kebutuhan hidup dasarnya dan mencapai standar hidup yang layak. Satu analisis memperkirakan bahwa diperlukan setidaknya 100 watts per kapita per hari (Najam dan Cleveland, 2003) untuk penyediaan fasilitas masak dengan gas (seperti LPG – Liquid Petrolium Gas) serta listrik untuk penerangan, kipas angin, lemari pendingin

kecil, dan televisi. Angka tersebut hanya sepersepuluh konsumsi energi yang diperlukan untuk memenuhi standar hidup Eropa Barat.

UNDP (United Nations Development Programme), dengan metoda tertentu, memanfaatkan data usia harapan hidup (life expectancy at birth) untuk mengukur tingkat kesehatan dan serta pendapatan domestik bruto per kapita (GDP per capita) untuk mengukur standar kualitas hidup. Sementara itu, untuk

mendapatkan angka tingkat pendidikan, dipakai tingkat melek huruf (adult literacy rate) dan partisipasi pendidikan (combined primary, secondary and

tertiary gross enrolment ratio). Variabel-variabel ini disusun sedemikian rupa

untuk mendapatkan Indeks Pembangunan Manusia yang disingkat IPM (human development index - HDI). Dengan kalimat sederhana, menurut metode UNDP tersebut manusia yang berkualitas adalah mereka yang berumur panjang dan sehat, terdidik, serta hidup dalam standar yang layak. Dengan angka 0 sampai 1, kondisi suatu negara dinilai dengan IPM ini untuk mendapatkan gambaran kualitas hidup. Angka 0 mewakili tingkat kualitas terendah.

Terdapat hubungan erat antara tingkat konsumsi energi dengan capaian tingkat kualitas hidup manusia, dalam hal ini yang diwakili oleh IPM. Hal tersebut digambarkan oleh gambar (1.1) di bawah.

(4)

Modul Ajar 1 – halaman 4 mewakili negara-negara transisional, sementara daerah 3 mewakili negara-negara dengan konsumsi energi modern dengan jumlah sangat besar.

Daerah 1 ditandai dengan nilai tinggi pada variabel 

IPM

E dalam kurva IPM vs konsumsi energi. Hal ini menyatakan bahwa peningkatan berarti dalam nilai IPM dapat dicapai dengan peningkatan kecil dalam hal konsumsi energi. Artinya, negara-negara yang masuk ke dalam kelompok termiskin membutuhkan sedikit peningkatan akses terhadap energi untuk mencapai peningkatan IPM secara signifikan. Hal tersebut sangat berbeda dalam daerah 3, dimana peningkatan besar dalam hal konsumsi energi tidak akan menghasilkan peningkatan capaian IPM dengan nilai yang tinggi.

Gambar 1.1 Hubungan antara IPM dan konsumsi energi (modifikasi Johansson dan Goldemberg, 2002)

Konsumsi energi per kapita (kg, tahun 1997)

In

Konsumsi energi per kapita (kg, tahun 1997)

(5)

Modul Ajar 1 – halaman 5 Gambar 1.2. Kategorisasi Pengaruh Konsumsi Energi terhadap Nilai IPM (modifikasi Johansson dan Goldemberg, 2002)

1.2.

Ketahanan Energi

Dewasa ini ketahanan energi makin menjadi pusat perhatian dominan dalam kebijakan energi. Berbagai organisasi masing-masing mengemukakan definisi ketahanan energi mereka yang dapat dicermati misalnya dalam UN-ESCAP (2008). Laporan Asia Pacific Energy Research Centre mendefinisikan ketahanan energi sebagai kemampuan sebuah sistem ekonomi untuk menjamin ketersediaan pasokan energi secara berkelanjutan dan dalam waktu yang tepat dengan tingkat harga yang tidak merugikan kinerja sistem ekonomi tersebut.

Definisi lain diungkapkan oleh European Union. Organisasi ini menekankan pada kemampuan untuk menjamin ketersediaan produk fisik energi di pasar secara terus menerus dalam tingkat harga yang terjangkau oleh konsumen, baik pribadi maupun industri, dengan selalu memperhatikan pertimbangan lingkungan untuk mendukung kelangsungan pembangunan berkelanjutan.

(6)

Modul Ajar 1 – halaman 6 setiap waktu dalam jumlah yang memadai serta harga yang terjangkau tanpa mengakibatkan dampak negatif yang irreversible terhadap lingkungan.

Dalam kerangka ini laporan OECD (2008) dan WEF (2006), misalnya, menyoroti kemungkinan gangguan perdagangan harian minyak, gas, batubara dan listrik yang disebabkan oleh berbagai hal, seperti kemelut politik, konflik bersenjata, pembajakan oleh teroris, bencana alam, dan ancaman rivalitas berlatarbelakang faktor nasionalisme dan geopolitik. Terkait dengan resiko tersebut maka para pembuat kebijakan akan memperhatikan rentang ketahanan yang ditentukan antara lain oleh volume cadangan strategis dan infrastruktur cadangan. Terkait dengan resiko itu pula maka keragaman macam dan asal pasokan energi menjadi salah satu kata kunci.

Konsep ketahanan energi mencakup berbagai jenis energi di sepanjang rantai pasokannya (supply chain) dengan memasukkan variabel ketersediaan fisik dan harga. Ketahanan energi merupakan kondisi yang menghubungkan berbagai variabel, seperti energi, politik, dan pembangunan ekonomi.

Kondisi ini dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Para eksportir energi akan berkepentingan terhadap sumber energi, berbagai fasilitas kegiatan ekspor dan keberlangsungan kebutuhan yang akan menentukan penghasilan mereka. Perusahaan-perusahaan pemasok energi akan selalu memperhatikan akses terhadap berbagai cadangan baru, kemampuan untuk membangun infrastruktur baru dan kondisi yang kondusif untuk berinvestasi. Perusahaan listrik akan terus menjaga dan meningkatkan luas dan kehandalan jaringan mereka.

Sementara itu para pengguna energi berkepentingan terhadap kehandalan pasok dan keterjangkauan harga. Berbagai industri padat energi atau negara-negara konsumen energi, apalagi negara-negara-negara-negara berkembang, terus menghadapi tantangan perubahan harga energi yang berdampak pada anggaran mereka.

(7)

Modul Ajar 1 – halaman 7

1.3.

Persoalan Mendasar Sistem Energi

Secara umum, saat ini terdapat berbagai persoalan mendasar, yang dapat dikelompokkan sebagai berikut.

1. Ketergantungan berlebih terhadap sumber energi fosil 2. Rendahnya rasio elektrifikasi

3. Ketergantungan terhadap biomassa tradisional

1.3.1. Ketergantungan Berlebih Terhadap Sumber Energi

Fosil

Energi yang menopang kebutuhan manusia di bumi ini berasal dari empat kelompok besar sumber, yaitu tenaga nuklir, matahari, panas bumi, serta gravitasi dan pergerakan planet.

Bahan bakar fosil yang masuk dalam kelompok energi takterbarukan berasal dari sisa organisme dengan komponen utama karbon yang hidup jutaan tahun yang lalu. Bahan bakar fosil, secara umum terdiri atas tiga jenis: batubara, minyak dan gas. Bahan bakar ini mempunyai bentuk dan warna yang beragam.

Di luar kelompok energi takterbarukan terdapat kelompok energi terbarukan. Sumber energi yang masuk kelompok ini disebut “terbarukan” karena dapat tersedia kembali atau terbarui kembali dalam periode relatif pendek (dalam orde bulan atau tahun; bukan abad atau bahkan jutaan tahun).

Namun demikian sumber energi terbarukan dapat berubah menjadi tak terbarukan. Hal ini terjadi jika permintaan terus meningkat sehingga menyebabkan laju pengurasan sumber daya tersebut menjadi lebih besar dibandingkan laju generasinya/pembaruannya.

(8)

Modul Ajar 1 – halaman 8 quadrillion Btu tahun 2015 dan kemudian diperkirakan akan mencapai 678 quadrillion Btu pada tahun 2030 (lihat gambar 1.3)

Gambar 1.3. Prediksi konsumsi energi dunia (EIA, 2009)

Walau terdapat banyak macam sumber yang tersedia, saat ini manusia masih saja menggantungkan kebutuhan energi utamanya terhadap berbagai sumber energi fosil, yaitu minyak bumi, gas dan batu bara. Sejak abad ke-19, batubara mengambil peran sebagai sumber energi utama. Kemudian, minyak mengambil alih peran tersebut mulai abad ke-20. Sistem energi saat ini terlalu bertumpu pada sumber energi fosil. Sekitar 80,3% pasok energi primer dunia berasal dari minyak bumi, gas bumi, dan batubara (OECD/IEA, 2006). Energi fosil tersebut digunakan untuk pembangkitan listrik maupun ragam kebutuhan lain. Tingkat pemakaian tersebut merupakan peningkatan sebesar sekitar 800 kali dibandingkan tingkat konsumsi energi fosil pada tahun 1750-an, dan 12-an kali dibanding abad ke-20 (Hall dkk., 2003).

(9)

Modul Ajar 1 – halaman 9 cenderung naik, potensi konflik berlatar belakang energi fosil, dan masalah lingkungan akibat konsumsi energi fosil.

Dalam Visi Energi Baru dan Terbarukan 25/25 yang dicanangkan pada tahun 2010 pemerintah Indonesia menargetkan bahwa pada tahun 2025 komposisi neraca energi primer Indonesia akan diubah menjadi 32% batubara, 23% gas bumi, dan 20% minyak bumi. Artinya, porsi total ketiga sumber energi fosil tersebut mencapai 75%. Sebanyak 25% kebutuhan energi ditargetkan dipenuhi dari pemanfaatan energi baru dan terbarukan. Hal tersebut merupakan penajaman target dalam Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 yang mencanangkan bahwa pada tahun yang sama komposisi neraca energi primer Indonesia akan diubah menjadi 32,7% batubara, 30,6% gas bumi, dan 26,2% minyak bumi (porsi total ketiga sumber energi fosil tersebut masih mencapai 89,5%). Hal senada juga dijumpai dalam komposisi pemakaian sumber energi untuk pembangkitan listrik. Sampai tahun 2010 84% kebutuhan pembangkitan masih dicukupi dari sumber energi fosil.

Ketergantungan terhadap energi fosil tersebut menimbulkan berbagai masalah besar yang saling terkait akibat berkurangnya cadangan utamanya minyak bumi, sumber energi fosil dunia yang tidak terdistribusi dengan baik, harga energi fosil, utamanya minyak bumi, yang fluktuatif, spekulatif, dan cenderung naik, potensi konflik politik bahkan militer yang didorong oleh masalah energi fosil dan juga masalah lingkungan yang sangat kompleks dengan berbagai dampak negatifnya yang sangat luas. Berbagai masalah sebagai konsekuensi ketergantungan terhadap energi fosil tersebut akan diuraikan secara lebih mendalam dalam bab ini.

1.3.2. Rendahnya Rasio Elektrifikasi

(10)

Modul Ajar 1 – halaman 10 terutama dijumpai di daerah pedesaan. Rasio elektrifikasi diartikan sebagai jumlah rumah tangga yang sudah berlistrik dibagi dengan jumlah rumah tangga yang ada. Tanpa adanya terobosan besar dan tepat maka sampai tahun 2030 jumlah penduduk dunia yang belum bisa menikmati listrik diprediksikan masih mencapai 1,4 milyar jiwa, atau sekitar 17% penduduk dunia.

Tabel 1.1. Rasio Elektrifikasi di Berbagai Wilayah Dunia Tahun 2005

Wilayah Perkotaan

Negara-negara berkembang 85,2 56,4 68,3

Negara-negara ekonomi transisi dan OECD 100 98,1 99,5

Dunia 90,4 61,7 75,6

Sumber: IEA (2007)

Rasio elektrifikasi berkaitan erat dengan kemiskinan. Gambar 1.8 di bawah memperlihatkan hubungan antara kemiskinan dengan rasio elektrifikasi. Untuk suatu negara, pada umumnya, semakin banyak penduduk yang hidup di bawah kemiskinan akan makin rendah rasio elektrifikasi di negara tersebut. Untuk Indonesia, negara yang lebih dari 50% jumlah penduduknya hidup miskin dengan kurang dari US$ 2 per hari, persoalan ini sangat relevan. Dari hubungan ini terdapat perkecualian-perkecualian, misalnya yang dijumpai untuk Cina. Walau penduduk miskinnya 56%, rasio elektrifikasi di negara ini telah mencapai 98% (terlepas dari fakta rendahnya kualitas jasa penyediaan listrik, fasilitas kelistrikan rumah tangga dengan yang banyak masih mengabaikan standar keamanan, dan penggunaan listrik yang sangat rendah utamanya di daerah pedesaan).

(11)

Modul Ajar 1 – halaman 11 harapan kelahiran hidup, angka kematian bayi dan kematian ibu melahirkan) dan utamanya dengan berbagai indikator ekonomi (seperti PDB per kapita). Peningkatan konsumsi listrik per kapita merupakan stimulasi percepatan pertumbuhan ekonomi. Terutama pada negara-negara dengan IPM kelas rendah dan menengah, secara tidak langsung peningkatan konsumsi tersebut akan mendorong capaian lebih tinggi pada pembangunan sektor sosial (Leung, 2005).

Gambar 1.4. Hubungan antara Kemiskinan dan Rasio Elektrifikasi (IEA, 2002)

0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 0.90 1.00

0 5000 10000 15000 20000 25000 30000

N

il

ai

IP

M

Konsumsi Energi Listrik (kWh/kapita.thn)

(12)

Modul Ajar 1 – halaman 12 Sebagian besar warga di banyak negara miskin di dunia tidak memiliki akses kepada layanan energi modern. Lapisan tersebut banyak mengandalkan pemenuhan kebutuhan energinya dari kotoran ternak untuk memasak dan pemanas ruangan, lilin atau minyak tanah untuk penerangan, dan daya mekanis dari manusia atau hewan untuk berbagai aktifitas, seperti pengolahan hasil pertanian atau transportasi, dan lain keperluan serupa. Lapisan warga miskin tersebut bahkan tidak jarang harus mengeluarkan bagian besar penghasilan mereka untuk membeli layanan energi yang memang betul-betul esensial untuk mempertahankan hidup, seperti untuk memasak dan transportasi. Di negara-negara seperti itu (saat ini terkonsentrasi di Afrika sub-Sahara dan Asia Selatan), warga yang lebih beruntung tidak memiliki banyak alternatif, selain harus membayar layanan energi dengan kualitas rendah (Modi dkk., 2005).

Kemiskinan energi dapat dilihat dalam hal ketidakmampuan untuk memasak dengan bahan bakar modern dan ketiadaan sumber listrik untuk penerangan dan akitifitas lain rumah tangga dan produktif setelah matahari terbenam. Kebutuhan minimal rumah tangga tersebut kira-kira sebesar 50 kgoe per kapita per tahun (40 kgoe untuk memasak dan 10 kgoe bahan bakar untuk pembangkitan listrik). Kebutuhan minimal energi tersebut baru untuk keperluan rumah tangga; belum untuk mencukupi kebutuhan dalam hal pertanian, transportasi, berbagai layanan sosial, industri, komersial maupun pemerintahan.

Sementara itu, menurut Leung (2005) konsumsi sebesar 500 kWh per kapita per tahun dapat dilihat sebagai pembatas antara negara ber-IPM rendah dengan negara ber-IPM menengah. Suatu kelompok masyarakat akan mencapai perbaikan signifikan pada kualitas hidup mereka, jika mereka minimal memakai tingkat konsumsi tadi untuk keperluan-keperluan dasar, seperti pompa air, penerangan, serta pendingin untuk makanan dan obat-obatan.

(13)

Modul Ajar 1 – halaman 13 berkembang menjadi makin kompetitif (juga dalam persaingan global) dan untuk dapat menyerap makin banyak tenaga kerja. Dalam penumbuhan berbagai usaha produktif inilah terlihat pentingnya peran layanan energi dari sisi tuntutan pencapaian pertumbuhan ekonomi.

Secara tidak langsung, peran dalam pertumbuhan ekonomi tersebut didapat pula dengan meningkatkan akses ke layanan pendidikan dan kesehatan serta bertambahnya waktu luang yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan usaha. Waktu luang tambahan tersebut didapat dari tidak perlunya lagi masyarakat mencari sumber energi tradisional karena sudah dilayani energi modern, semacam listrik.

Layanan energi modern juga berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi dengan cara penurunan harga per unit energi. Umumnya berbagai sumber energi yang biasa diakses oleh lapis masyarakat miskin seperti lilin, minyak tanah, atau arang rendah memiliki tingkat efisiensi rendah. Itu sebabnya lapis masyarakat tersebut harus membayar lebih tinggi untuk tiap unit energi yang dibelinya ketimbang lapis masyarakat mampu yang bisa membeli layanan energi modern, semacam listrik. Dengan menyediakan layanan energi modern bagi masyarakat tidak mampu, maka diharapkan akan bisa menurunkan porsi belanja energi terhadap pendapatan lapis masyarakat tersebut.

Layanan energi listrik berperan sangat besar dalam peningkatan produktifitas sumber daya manusia. Ini terlihat jelas, antara lain dalam intensitas tinggi pemanfaatan komputer, super server, telepon, internet dan lainnya dalam dunia usaha di berbagai negara maju, yang hanya mungkin terwujud karena kehandalan ketersediaan layanan energi listrik.

1.3.3. Ketergantungan pada Biomassa Tradisional

(14)

Modul Ajar 1 – halaman 14 Diungkapkan dalam World Energy Outlook 2006 (IEA, 2007) bahwa masih sekitar 2,5 milyar lebih penduduk dunia masih mengandalkan diri pada sumber energi biomassa tradisional, semacam kayu, kotoran hewan dan sisa produk pertanian, untuk keperluan memasak dan pemanas ruangan. Di Indonesia angka ini mencapai sekitar 156 juta jiwa, atau 72% dari seluruh jumlah penduduk (lihat tabel 1.2).

Tabel 1.2. Jumlah Penduduk Tahun 2004 yang Mengandalkan pada Biomassa Tradisional untuk Memasak

Negara/Wilayah juta % dari total

penduduk

Cina 480 37

Indonesia 156 72

India 740 69

Negara Lain di Asia 489 65

Brazil 24 13

Negara Lain di Amerika Latin 60 23

Afrika Utara 4 3

Sub-Sahara 575 76

Negara berkembang 2528 52

Sumber: IEA (2007)

(15)

Modul Ajar 1 – halaman 15 Gambar 1.6. Hubungan Transisi Pembawa Energi dan Pendapatan

(modifikasi Reusswig dkk., 2003)

Gambar 1.7. Hubungan antara Kemiskinan dengan Porsi Peran Pemanfaatan Biomassa dari Konsumsi Energi pada Rumah Tangga (IEA, 2002)

(16)

Modul Ajar 1 – halaman 16 Waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan sumber biomassa, semacam kayu bakar. Kayu bakar harus diambil dari tempat yang jauh dari tempat tinggal. Di banyak tempat di dunia, kaum perempuanlah yang harus menjalankan tugas ini. Aktifitas ini bisa menyita terlalu banyak waktu, yang mestinya dapat dimanfaatkan untuk keperluan lain, seperti pendidikan atau aktifitas industri rumah tangga.

Pemanfaatan secara tradisional biomassa biasanya adalah dengan cara dibakar langsung. Cara dengan efisiensi sekitar 10 hingga 15% (Holm, 2005) ini akan mengakibatkan polusi di dalam ruang.

Kaum perempuan dan anak-anak menjadi korban terbesar masalah ini. Tiap tahun diperkirakan sekitar empat juta kematian dini (sekitar 60%-nya adalah balita) akibat pemakaian biomassa secara tradisional ini. Membakar bahan bakar biomassa tradisional dengan tungku atau kompor tradisional ini mengakibatkan polusi di dalam rumah-rumah di daerah pedesaan. Asapnya membawa berbagai polutan (gas CO dan berbagai partikel lainnya) yang bisa menyebabkan berbagai masalah kesehatan. Tiap tahunnya masalah ini juga bertanggungjawab atas munculnya sekitar 40 juta kasus baru penyakit bronchitis kronis dan berbagai penyakit ISPA lainnya. Termasuk masalah yang dapat muncul di sini adalah juga COPD (chronic obstructive pulmonary disease), kanker paru-paru, kanker nasopharing, resiko asma dan resiko kelahiran bayi dengan bobot rendah (UN-ESCAP, 2008). Artinya, masalah ini menimbulkan konsekuensi serius dalam bentuk turunnya tingkat harapan hidup dan produktifitas; suatu problem serius kesehatan. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan sangat besar: 350 miliar dolar AS per tahun (Clini dan Stuart-Moody, 2001).

(17)

Modul Ajar 1 – halaman 17 berkelanjutan, potensi dampak negatif (misal dalam hal polusi) suatu sumber energi perlu pula mendapat perhatian serius.

Negara-negara miskin umumnya mempunyai tingkat konsumsi energi yang rendah dan masih terlalu tergantung pada jenis sumber energi berkualitas rendah pula, semisal kotoran hewan, limbah pertanian dan kayu bakar secara langsung. Holm (2005), misalnya, menegaskan bahwa peningkatan akses terhadap energi modern yang bersih merupakan syarat mendasar bagi pengurangan angka kemiskinan. Masalah polusi akibat pemakaian biomassa tradisional dapat ditangani misalnya dengan perbaikan rancangan kompor atau dengan perbaikan sistem ventilasi dapur dan rumah. Namun solusi yang lebih baik adalah dengan mengalihkan pemakaian bahan bakar tradisional ke bahan bakar yang lebih modern, semisal LPG, biogas, atau lainnya.

Tugas Latihan 1

1. Gambarkan diagram alur dampak negatif yang akan terjadi jika terjadi gangguan pasok energi di suatu negara

Gambar

Gambar 1.1 Hubungan antara IPM dan konsumsi energi
Gambar 1.2. Kategorisasi Pengaruh Konsumsi Energi terhadap Nilai IPM (modifikasi Johansson dan Goldemberg, 2002)
Tabel 1.1. Rasio Elektrifikasi di Berbagai Wilayah Dunia Tahun 2005
Gambar 1.4. Hubungan antara Kemiskinan dan Rasio Elektrifikasi (IEA, 2002)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Dalam prosedur ini fungsi Gudang mengajaukan permintaan pembelian dalam formulir surat permintaan pembelian kepada fungsi pembelian. Jika barang tidak disimpan digudang,

Hasil penelitian didapatkan bahwa gambaran pengetahuan pasangan usia subur dalam memilih metode kontrasepsi IUD di Kecamatan Cicalengka Kabupaten Bandung sebelum mendapatkan

Epidermis terdiri dari stratum korneum yang kaya akan keratin, stratum lucidum, Epidermis terdiri dari stratum korneum yang kaya akan keratin, stratum

Tuntutan keadaan, sering memaksa perempuan untuk terjun langsung di sektor domestik, publik atau keduanya tanpa persiapan yang matang dan berdampak pada pemunculan perilaku

Pantai ini juga kaya akan jenis ikan laut sehingga banyak nelayan yang menangkap ikan, tidak heran jika di pantai ini terdapat tempat pelelangan ikan yang

meningkatkan kreativitas peserta didik sesuai dengan strategi pembelajaran yang dipilihnya, dan (2) kurangnya kemampuan guru dalam mengukur kemampuan kreativitas

Sama seperti halnya pada ordered list, digunakan 2 buah tag yaitu <ul> untuk memulai sebuah list berupa bullet, dan tag <li> untuk menuliskan isi dari list HTML yang

TOA Galva Industries diantaranya adalah pemakaian bahan  berbahay seperti cat pada proses pengecatan, menggunakan 80% peralatan  produksi dengan tenaga listrik