Diyah Arini1
Abstract: Breastfeeding is food and beverages that foremost for babies. Foods addition besides breastfeeding at earlier ages can increase morbidity. Children who drink ASI rarely get diarrhea than those who drink formula milk. This study aims at identifying the relations between breast feeding patterns with the frequency of diarrhea occurance and ARI in children aged 6-12 months in Balong Panggang Gresik Health center.
The design applied in this study was Analytical observational carried out through cross-sectional design. The population is a group of mothers having children aged 6-12 months. The sample included 153 mothers selected by probability sampling approach to Stratified random sampling. Questionnaire was accepted as the research instrument. Data were analyzed using multiple logistic regression tests. The study found that the pattern of breastfeeding in children aged 6-12 months was
36.6% partial. With confidence level α = 0.05, the study showed the frequency of
diarrhea occurance associated to the breastfeeding pattern (p = 0.006), birth weight (p = 0.003), and the solid foods provision in < 6 months children (p = 0.008). It also found a significant relations between ARI occurance frequency of breast-feeding pattern (p = 0.000), giving MPASI in <6 months children (p = 0.026) and immunization status (p = 0.020)
Implication of this study is the pattern of breastfeeding associated with the occurance of diarrhea and ARI. Therefore, all parties, both parents and health workers should pay attention in children’s nutrition, especially for children’s breastfeeding exclusivity to reduce the occurance of diarrhea and ARI in children.
Keywords: Breastfeeding pattern, Diarrhea, ARI, children aged 6-12 Months
Latar Belakang
Bayi akan mengalami
pertumbuhan dan perkembangan
sensorik, kognitif, motorik dan sosial yang cepat. Melalui hubungan timbal balik dengan pemberi perawatan (orang tua), bayi menjalani poses tumbuh dan
berkembang sesuai dengan tugas
perkembangannya. Untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangannya, bayi memerlukan dukungan nutrisi yang optimal (Khasanah, 2011). Air susu ibu adalah satu-satunya makanan atau
minuman yang dianjurkan untuk bayi baru lahir sampai usia enam bulan, hal ini telah ditentukan dalam undang-undang kesehatan tentang pemberian ASI eksklusif. ASI merupakan substansi bahan yang hidup dengan kompleksitas
biologis yang luas yang mampu
memberikan daya perlindungan, baik secara aktif maupun melalui pengaturan
imunologis, namun menciptakan
pemberian ASI sejak hari pertama tidak selalu mudah karena banyak wanita
melakukannya, keadaan yang sering terjadi yaitu sulitnya ASI keluar (Varney, dkk, 2007). Hal ini membuat ibu berpikir bayi tidak akan mendapat cukup ASI sehingga ibu langsung mengambil langkah berhenti menyusui dan mengganti dengan susu formula, atau anak tetap diberi ASI dan menambah dengan susu formula atau makanan yang lain. Pemberian makanan atau minuman lewat botol kepada bayi akan menjadi ancaman bagi kesehatan bayi tersebut di dalam masyarakat sosial ekonomi lemah, dimana orangtua tidak mampu membeli susu bubuk yang bermutu, tidak memiliki air bersih untuk
melarutkannya dan tidak bisa
mensterilkan dot botolnya (Hawes &
Christin, 1993). Meningkatnya
penggunaan susu formula untuk
makanan bayi, dapat menimbulkan berbagai masalah di negara-negara berkembang. Misalnya yang terkenal dengan trias Jelliffe yang terdiri dari :
kekurangan kalori protein tipe
marasmus, moniliasis pada mulut, dan diare karena infeksi (Soetjiningsih, 1997). Umumnya, diare pada bayi datang akibat pencernaan si kecil kemasukan bakteri. Sumbernya, bisa dari kurang higienisnya saat pembuatan susu formula, tetapi bisa juga karena si kecil alergi terhadap protein susu sapi yang terkandung dalam susu formula. Kemungkinan alergi terhadap bayi yang
mengkonsumsi ASI, masih ada
kemungkinan juga meski jauh lebih kecil dibandingkan bayi yang menerima susu formula. Wilayah Puskesmas Balong Panggang Gresik dengan letak geografis dataran rendah yang rawan
terhadap bahaya banjir karena
berdekatan dengan kali Lamong dan sungai Bengawan Solo, selain itu wilayah ini sulit mendapatkan sumber air. apalagi dengan cakupan ASI eksklusif yang sangat rendah serta
kebiasaan masyarakat dalam
memberikan MP-ASI secara dini pada bayinya. Keadaan ini dapat menjadi faktor resiko terjadinya wabah diare dan ISPA.
Menurut data Riskesdas 2010 persentasi pola menyusui di Indonesia pada bayi umur 0 bulan adalah 39,8% menyusui eksklusif, 5,1 % menyusui
predominan dan 55,1% menyusui
parsial, persentase meyusui eksklusif semakin menurun dengan meningkatnya kelompok umur bayi dimana pada bayi yang berumur 5 bulan menyusui
eksklusif hanya 15,3%, menyusui
pedominan 1,5% dan menyusui parsial 83,2%. Berdasarkan data Riskedas 2010 didapatkan data di Jawa Timur penyebab kematian kedua terbesar pada balita dan nomor 3 bagi bayi serta nomor 5 bagi semua umur, sekitar 162 ribu balita meninggal setiap tahun atau sekitar 460 balita setiap harinya. Hasil
survey morbiditas diare dan
pengetahuan, sikap dan perilaku yang dilaksanakan oleh DepKes RI pada tahun 2000 ditemukan angka kesakitan diare untuk semua umur di Jawa Timur adalah 283 per 1.000 penduduk, sedangkan episode pada balita 1,3 kali per tahun, demikian juga dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), setiap tahunnya 40% – 60% dari kunjungan di Puskesmas ialah penderita penyakit ISPA. Seluruh kematian balita, proporsi kematian yang disebabkan oleh ISPA ini mencapai 20 – 30% (Purnomo, 2008), dari data yang di dapat dari
wilayah kerja puskesmas
Sedangkan target pemberian ASI eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan yang saat ini hanya mencapai 32,44 % dari
target 80 %. Berdasarkan hasil
observasi dan wawancara dengan
petugas kesehatan yang ada di
Puskesmas Balongpanggang, bahwa masyarakat Balongpanggang sampai
saat ini masih kesulitan untuk
mendapatkan air bersih untuk
memenuhi kebutuhan air sehari-hari.
Buruknya pemberian ASI
eksklusif di Indonesia, terbatasnya persediaan pangan di tingkat rumah tangga serta terbatasnya akses balita sakit terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas menyebabkan 5 juta anak menderita gizi kurang. (Arwin, dkk, 2010). Apalagi dengan melihat masih tingginya angka kejadian Diare dan ISPA di Indonesia, khususnya di Jawa Timur. Sekian banyak usaha preventif untuk mencegah kematian anak balita, tampak bahwa pemberian ASI adalah cara paling banyak untuk dapat menurunkan kematian anak balita (Suradi, 2004), namun cakupan ASI ekslusif masih rendah.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara pola
pemberian ASI dengan frekuensi
kejadian Diare dan ISPA pada anak
Bahan Dan Metode Penelitian
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah jenis analitik observasional dengan rancang bangun
penelitian adalah cross-sectional.
Penelitian dilaksanakan di wilayah
puskesmas Balongpanggang Gresik
mulai bulan Mei - Juli 2011. Populasi pada penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak berusia 6 – 12 bulan yang bertempat tinggal di wilayah puskesmas Balongpanggang Gresik
sebanyak 327 ibu. Berdasarkan
perhitungan diatas maka besar sampel
pada penelitian ini adalah 153. Tekhnik pengambilan sampel dalam penelitian
ini dilakukan secara Stratified Random
Sampling berdasarkan pola pemberian ASI. Variabel pada penelitian ini terdiri dari 1)Variabel bebas yaitu pola pemberian ASI, 2) Variabel terikat adalah Frekuensi Kejadian diare pada anak 6-12 bulan dalam 6 bulan terakhir, 3)Variabel pengganggu adalah berat badan lahir, jumlah balita yang tinggal bersama anak dalam 1 rumah tangga, pemberian MPASI pada usia < 6 bulan, tingkat pendidikan ibu, status ekonomi keluarga, kepadatan hunian rumah, status perokok pasif, status imunisasi.
Penelitian ini dianalisis untuk mengetahui hubungan antara variabel, yaitu melihat hubungan variabel bebas dengan variabel pengganggu yang
bermakna secara bersama-sama
terhadap variabel terikat dengan
menggunakan Uji statistik regresi
logistik ganda dengan tingkat
kemaknaan sebesar 0,05.
Hasil Penelitian
1. Data Khusus
a. Pola pemberian ASI
N o
Karakteristik Responden
frekuens
i Persentase (%)
1 Non ASI 32 20,9
2 Parsial 56 36,6
3 Predominan 28 18,3
4 Eksklusif 37 24,2
Tabel di atas memperlihatkan
proporsi responden dalam pola
b. Frekuensi kejadian Diare pada anak
No Karakteristik responden frekuensi Persentase (%)
1 Sering 61 39,9
2 Jarang 43 28,1
3 Tidak pernah 49 32,0
Tabel di atas memperlihatkan paling besar anak sering mengalami diare(39,9 %), tidak pernah 32%, jarang 28,1%.
c. Frekuensi kejadian ISPA pada anak
No Karakteristik
Tabel di atas memperlihatkan sebagian besar anak sering mengalami ISPA (50,3%), tidak pernah mengalami ISPA 24,2%, jarang mengalami ISPA Puskesmas Balong Panggang Gresik
Variabel bulan yang berpengaruh terjadinya kejadian diare. Pada variabel pola pemberian ASI dimana anak tidak
diberi ASI OR 6x1016 menunjukkan
bahwa anak yang tidak diberi ASI maka frekuensi kejadian diare sering beresiko 6x1016 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pola pemberian ASI secara
eksklusif pada anak. Sedangkan
variabel pola pemberian ASI secara
parsial ditemukan OR 7x108
menunjukkan bahwa anak yang diberi ASI secara parsial maka frekuensi
kejadian diare sering beresiko 7x108
pada anak. Sedangkan pada anak yang
diberi ASI secara predominan
ditemukan OR 3x108 menunjukkan
bahwa anak yang diberi ASI
predominan maka kejadian diare dengan
frekuensi sering beresiko 3x108 kali
lebih tinggi dari anak yang diberi ASI secara eksklusif.
Hasil analis pada variabel berat badan lahir rendah dengan kejadian diare yang sering menunjukkan OR 55,979 artinya frekuensi kejadian diare sering pada anak dengan berat lahir rendah sebesar 55 kali lebih tinggi dibandingkan dengan berat badan lahir normal. Sedangkan variabel berat badan lahir dengan kejadian diare yang jarang
menunjukkan OR 27,160 artinya
frekuensi kejadian diare yang jarang pada anak dengan berat lahir rendah
sebesar 27 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan berat badan lahir normal
Hasil analis pada variabel
pemberian MPASI < 6 bulan pada anak dengan kejadian diare yang sering
menunjukkan OR 42,918 artinya
frekuensi kejadian diare sering pada anak dengan pemberian MPASI < 6 bulan beresiko 42 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan pemberian
MPASI > 6 bulan. Sedangkan variabel pemberian MPASI < 6 bulan pada anak dengan kejadian diare yang jarang menunjukkan p=0,013 dengan OR 23,332 artinya frekuensi kejadian diare sering pada anak dengan pemberian MPASI < 6 bulan sebesar 23 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian MPASI > 6 bulan.
e. Hubungan Pola Pemberian ASI dengan Frekuensi Kejadian ISPA pada anak usia 6-12 bulan di wilayah Puskesmas Balong Panggang Gresik
Varia
Predominan 0,002 314,969 8,741 11349,907 ada tiga variabel berhubungan dengan frekuensi kejadian ISPA yaitu pola pemberian ASI pada frekuensi kejadian ISPA yang jarang sebagai variabel bebas dan pemberian MPASI < usia 6 bulan serta status imunisasi anak.
yang diberi ASI secara eksklusif. Pada
anak yang diberi ASI secara
predominan maka frekuensi kejadian diare jarang beresiko 314 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan pola
pemberian ASI secara eksklusif pada anak.
Frekuensi kejadian ISPA sering pada anak dengan pemberian MPASI <
6 bulan sebesar 2x1011 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan pemberian
MPASI > 6 bulan.
Frekuensi kejadian ISPA yang
sering pada anak dengan status
imunisasi tidak lengkap beresiko
473,998 kali dibandingkan dengan
status imunisasi yang lengkap.
Sedangkan frekuensi kejadian ISPA yang jarang pada anak dengan status imunisasi tidak lengkap beresiko 1085 kali lebih tinggi dibandingkan dengan status imunisasi yang lengkap.
Pembahasan
1.Pengaruh perbedaan pola
pemberian ASI dengan frekuensi kejadian diare
Frekuensi kejadian diare yang sering lebih banyak terjadi pada anak yang tidak diberikan ASI 87%. Anak tidak akan menerima imunoglobulin yang utama pada ASI seperti SIgA sehingga
bayi tidak dapat dilindungi dari
mikroorganisme patogen yang berasal dari sekitarnya. Anak yang tidak diberi ASI tidak akan mendapatkan enzim yang berfungsi membantu pencernaan bayi dimana fungsi pankreas masih belum sempurna, sebagai pengangkut logam-logam (Fe, Mg, Zn dan Se) dan berfungsi sebagai anti infeksi. Selain itu
anak tidak akan mendapatkan
karbohidrat utama dari ASI seperti laktosa yang oleh fermentasi akan dirubah menjadi asam laktat dimana ini
akan memberikan suasana asam
didalam usus bayi. Sehinggan anak
yang tidak diberi ASI akan mudah mengalami pertumbuhan balteri yang
patologis didalam usus bayi.
Sedangkan anak yang diberi ASI secara
parsial mengalami diare dengan
frekuensi jarang sebesar13 kali lebih tinggi dibandingkan anak yang diberi ASI secara eksklusif. Menyusui secara parsial adalah menyusui bayi serta diberikan makanan buatan selain ASI, baik susu formula, bubur atau makanan lain sebelum bayi berumur enam bulan baik diberikan secara kontinyu maupun diberikan sebagai makanan prelakteal. Pemberian makanan pendamping ASI
yang terlalu dini juga akan
meningkatkan angka kematian pada bayi.
Hal tersebut diperjelas lagi oleh Kristiyanasari (2009), bahwa pada bayi baru lahir sistem IgE belum sempurna.
Pemberian susu formula akan
merangsang aktivasi sistem ini dan dapat menimbulkan alergi. ASI tidak
menimbulkan efek ini. Pemberian
protein asing yang ditunda sampai umur 6 bulan akan mengurangi kemungkinan alergi.
Peneliti berasumsi pola
pemberian ASI secara parsial sebagian besar diberikan oleh ibu di wilayah
puskesmas Balongpanggang Gresik
dikarenakan bahwa tingkat pendidikan orang tua sangat mempengaruhi dalam pencegahan penyakit diare pada anak, ini terbukti dengan tingkat pendidikan orang tua bayi pada penelitian yang tidak mengalami diare adalah tingkatan tinggi (50%) yaitu SMA dan PT. Namun budaya masyarakat sangat mempengaruhi dalam pola pemberian ASI pada anaknya dimana didapatkan anak yang berusia satu bulan sudah diberi pisang atau nasi lembek sebagai tambahan ASI, selain itu ibu yang masih tinggal bersama dengan orang tua
dimana ada kecenderungan anak
memberikan makanan selain ASI sebelum anak berusia < 6 bulan.
Hasil penelitian menunjukkan anak yang diberi ASI eksklusif hampir
sepenuhnya tidak diare. Menurut
Soetjiningsih (1997), ASI mengandung bermacam-macam enzim. Banyak dari
enzim-enzim ini dapat melewati
lambung, karena mempunyai struktur
tersier yang hidrofobik dan ASI
merupakan buffer yang bagus yang dapat meningkatkan pH menjadi 5,5-6,0. Hal ini diperkuat dengan pendapat Kodrat (2010), bahwa bayi yang diberi susu eksklusif dari si ibu selama 6 bulan pertama kelahirannya jarang sekali yang mengalami alergi pada kulit atau infeksi
karena bakteri. ASI telah
diformulasikan khusus untuk bayi. Dalam ASI ada efek laksatif yang menyebabkan bayi tidak sembelit dan jarang diare. ASI mengurangi resiko sakit perut. Cairan pada ASI akan
menghancurkan dan menghambat
pertumbuhan mikroorganisme yang
berbahaya. Anak yang tetap diberikan ASI, mempunyai volume tinja lebih sedikit, frekuensi diare lebih sedikit, serta lebih cepat sembuh dibanding anak yang tidak mendapat ASI.
2.Pengaruh perbedaan pola
pemberian ASI dengan frekuensi kejadian ISPA
Frekuensi kejadian ISPA yang sering lebih banyak terjadi pada anak yang tidak diberikan ASI 84,4%, dan secara parsial 87,5 % dan pola pemberian ASI secara predominan sebagian besar mengalami ISPA dengan frekuensi jarang 82,1% sementara yang tidak mengalami kejadian ISPA terjadi pada anak dengan pola pemberian ASI secara eksklusif 94,6%. Anak yang
tidak diberikan ASI mengalami
frekuensi kejadian ISPA sering 3 x 109
lebih tinggi dibandingkan pada anak
yangdiberi ASI secara eksklusif namun
tidak ada hubungan antara pola
pemberian ASI secara eksklusif dengan frekuensi kejadian ISPA yang sering pada naak usia 6-12 bulan. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA pada anak, hal ini berhubungan dengan penjamu, agent penyakit dan lingkungan. Salah satunya adalah polusi udara, hal ini berkaitan dngan konsentrasi polutan lingkungan yang dapat mengiritasi mukosa saluran respiratori. Anak yang tinggal di dalam rumah berventilasi baik memiliki angka insidens ISPA yang lebih rendah dari pada anak yang berada didalam rumah yang berventilasi buruk. Orang tua yang perokok menyebabkan anaknya rentan
terhadap pneumonia. Anak yang tidak
diberi ASI mengalami ISPA dengan frekuensi jarang sebesar 267,640 kali lebih tinggi dibandingkan pada anak dengan pemberian ASI secara eksklusif. Sementara Kramer et al. (2003) menyatakan bahwa efek perlindungan ASI terhadap penyakit gastrointetinal dan infeksi pernapasan akan meningkat seiring dengan eksklusif tidaknya pemberian ASI yang dilakukan.
dengan bayi dengan berat badan lahir normal (BBLN). Bayi dengan berat badan lahir rendah biasanya terlahir sebelum waktunya (prematur). Bayi yang terlahir prematur baik secara fisik maupun fisiologis belum terbentuk secara sempurna, khususnya organ vital paru-paru.
Anak yang diberi ASI secara predominan mengalami ISPA dengan
frekuensi sering sebesar 2x108 lebih
tinggi dibandingkan dengan anak yang diberi kan ASI secara eksklusif. Sedangkan Anak yang diberi ASI secara predominan mengalami diare dengan frekuensi jarang sebesar 314 lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang diberi kan ASI secara eksklusif. Ginjal bayi belum matang atau belum berkembang secara sempurna. Ginjal bayi tidak mempu mengelurkan air dengan cepat sehingga menyebabkan timbunan air dalam tubuh yang dapat
membahayakan bayi. Kelebihan
pemberian air putih dapat melarutkan natrium (sodium) dalam darah dan akan dikeluarkan oileh tubuh sehingga dapat
mempengaruhi aktivitas otak.
Kebutuhan bayi akan air putih
sebenarnya sudah terpenuhi waktu minum ASI karena sebagian besar bahannya adalah air. Selain itu air putih dengan mudah membuat perut bayi menjadi penuh sehingga bayi tidak mau diberikan ASI. Dampak lainnya adalah bayi mengalami intoksikasi air atau keracunan air dengan gejala awal adalah
iritabilitas (bayi merengek-rengek),
mengantuk dan mengalami perubahan mental lainnya. Gejala lainnya adalah menurunnya suhu tubuh, edema atau bengkak di sekitar wajah dan kejang. Selain itu apabila air yang dikonsumsi tercemar maka anak mudah sekali mengalami infeksi pernapasan dan pencernaan. perlindungan langsung melawan serangan penyakit. Sifat lain dari ASI yang juga memberikan perlindungan dengan penyediaan lingkungan yang ramah bagi bakteri yang menguntungkan dimana bakteri tersebut dapat menghambat perkembangan bakteri, virus dan parasit yang berbahaya.
Simpulan Dan Saran
Frekuensi kejadian diare dan ISPA pada anak 6-12 bulan semakin sering terjadi pada anak yang tidak diberikan ASI, pemberian ASI secara parsial ataupun secara predominan. Ibu dapat melakanakan manajemen laktasi dan bagi sesama Ibu Menyusui saling
berbagi pengalaman, bertukar
informasi, memberi semangat dan dukungan seputar kegiatan menyusui dan pemberian ASI, agar ASI Eksklusif berhasil diberikan kepada bayi selama 6 bulan pertama, dan ASI diteruskan hingga anak berusia 2 tahun atau lebih, tidak kalah pentingnya adalah peran dari pemerintah agar senantiasa
mensosialisasikan keunggulan ASI
kepada masyarakat Serta
mensosialisasikan UU Kesehatan yang terkait dengan pemberian ASI yang
didukung juga dengan Peraturan
Pemerintah serta bentuk sanksi yang akan diberikan.
American Academy Of Pediatrics (2005)
Breastheeding and Human Mile Pediatrics. Vol. 115. hlm 496-506 Arifeen. S. Black. R.E. Sntelman. G. Baqui.
infants in Dhaka dilums Pediatrics, vol.108. hlm 1 – 8.
Hawes, H & Christine S. (1993)
Children for Health British : British Library Cataloguing-in publication data.
Khasanah, Nur. (2011). Panduan
Lengkap Seputar ASI dan Susu Formula. Jogjakarta. FlashBooks.
Kodrat, Laksono. (2010). Dahsyatnya
ASI dan Laktasi. Cetakan ke-1. Yogyakarta ; Media Baca, hlm 2-49
Kristiyanasari. (2009). ASI, Menyusui,
dan Sadari. Cetakan ke-1. Yogyakarta ; Nuha Medika.
Pramono, D. (1997) Besar sampel
dalam penelitian kesehatan
Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press. Edisi terjemahaan dari : Lemeshow, S., Hosmer, D.W., Klar, J., Lwanga. (1990) Adequacy of sample size in health studies. WHO : john Willey & Sons.
Suraatmaja. (2007). Kapita Selekta Gastroenterologi Anak. CV. Sagung Seto. Hal 1-15
Soetjiningsih. (1997). ASI Petunjuk
untuk Tenaga Kesehatan. Cetakan ke-1. Jakarta ; EGC, hlm20-75.
1