• Tidak ada hasil yang ditemukan

Agama islam dan agama rukhshah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Agama islam dan agama rukhshah"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Sumber 1

Bait Syair Kelima Belas

Kesulitan Sebab Datangnya Kemudahan

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir rahimahullah berkata pada kaidah berikutnya: ُرْيِسْيّتلا ِةَعْيِرّشلا ِدِعاوَق ْنِمَو

Di antara kaidah syariat adalah memberikan kemudahan dalam setiap perkara yang terdapat kesulitan padanya.

[Syarh]

Ini adalah salah satu dari lima kaidah terbesar dalam Islam yang dikategorikan sebagai tiang-tiang syariat Islam dan dibangun di atasnya sebagian besar masalah-masalah fiqhiah. Penjabaran dan pengamalan kaidah ini adalah semua rukhshah yang Allah Ta’ala telah syariatkan -sebagai rahmat dan keringanan- kepada para hamba-Nya, dikarenakan adanya sebab tertentu yang mengharuskan adanya rukhshah tersebut. Hal itu karena pada dasarnya semua bentuk kesusahan dan kesulitan itu ditolak keberadaannya dari agama Islam. Karenanya, setiap kali hamba

mendapatkan kesulitan dalam kehidupan mereka maka syariat pasti datang untuk memberikan kemudahan, sebagai hikmah dan rahmat dari Allah kepada mereka.

Dalil-Dalil Kaidah.

Ada banyak dalil dari Al-Qur`an dan as-sunnah yang menunjukkan kaidah ini, di antaranya firman Allah Ta’ala:

َرْسُعْلا ُمُكِب ُديِرُي َلَو َرْسُيْلا ُمُكِب ُ ّا ُديِرُي

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Allah Ta’ala juga berfirman: اَهَعْسُو ّلِإ اًسْفَن ُ ّا ُفّلَكُي َل

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)

Adapun dari as-sunnah, maka ada beberapa hadits yang menjelaskan tentangnya, di antaranya: Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

(2)

“Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan (semakin berat dan sulit).” (HR. Al-Bukhari no. 38)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Si’di rahimahullah berkata setelah membawakan sebagian dalil-dalil di atas, “Semua syariat Islam adalah bersifat hanif lagi mudah. Hanif dalam ketauhidan, dimana syariatnya dibangun di atas penyembahan hanya kepada Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan mudah dalam semua hukum dan amalan yang disyariatkan di dalamnya. Shalat wajib -misalnya-, hanya lima kali sehari semalam yang jelas tidak memakan banyak waktu seorang hamba. Jumlah zakat (mal) yang dikeluarkan hanyalah sebagian kecil dari total harta yang dimiliki seorang hamba, itu pun hanya dikenakan pada harta yang sifatnya berkembang dan tidak dikenakan pada harta yang tidak bisa berkembang, itu pun hanya dikeluarkan sekali dalam setahun. Demikian halnya haji tidak diwajibkan kecuali sekali dalam seumur hidup, itu pun hanya wajib bagi mereka yang mampu. Demikian seluruh kewajiban, pasti ada kemudahan di dalamnya sesuai dengan adanya sebab-sebab rukhshah. Semua kewajiban dalam syariat mencapai puncak kemudahan dan gampang dikerjakan. Namun bersamaan dengan kemudahan amalan-amalan tersebut, Allah tetap mensyariatkan sebab-sebab tertentu pada banyak amalan yang bisa membantu dan menyemangati hamba dalam mengerjakan amalan tersebut.

Sebagaimana disyariatkannya berjamaah dalam pelaksanaan shalat lima waktu, shalat jumat, dan shalat id. Demikian halnya berpuasa, dimana kaum mukminin bersama-sama berpuasa pada satu bulan yang sama, dan tidak ada yang tidak mengerjakannya kecuali orang yang mempunyai udzur seperti sakit atau safar atau selain keduanya. Demikian halnya haji disyariatkan berjamaah. Karena tidak diragukan bahwa mengerjakan sesuatu secara berjamaah itu bisa menghilangkan kesulitan dalam ibadah, bisa menyemangati orang-orang yang mengerjakannya, dan bisa melahirkan persaingan sportif dalam berlomba mengerjakan kebaikan. Sebagaimana Allah Ta’ala juga menjadikan adanya balasan yang segera diberikan di dunia dan balasan (pahala) yang akan diberikan di akhirat yang tidak diketahui banyaknya, sebagai motifator terbesar yang membantu seorang hamba dalam mengerjakan kebaikan dan meninggalkan semua yang dilarang. Pembahasan selanjutnya:

1. Dalil-dalil kaidah ini selain dari yang tersebut di atas.

(3)

4. 8 Sebab Datangnya Rukhshah (Keringanan) syariat. 5. 7 bentuk rukhshah dalam syariat Islam.

6. Rukhshah ada yang wajib dikerjakan, ada yang sunnah dikerjakan, ada yang boleh ditinggalkan, dan ada yang sebaiknya ditinggalkan. Bagaimana cara membedakannya?

Sumber 2 http://almanhaj.or.id/content/3000/slash/0/makna-rukhshah-dan-pembagiannya/

MAKNA RUKHSHAH DAN PEMBAGIANNYA

Oleh

Ustadz Nurul Mukhlisin Asyrafuddin

Rukhshah secara bahasa, berarti izin pengurangan atau keringanan. Sedangkan menurut ulama ushul diartikan dengan:

ٍرْذُعِل ِلْيِلّدلا ِفَلِخ ىَلَع ُتِباّثلا ُمْكُحْلا

Hukum yang berlaku berdasarkan dalil yang menyalahi dalil yang ada karena adanya udzur.

Dari pengertian di atas dipahami tiga syarat dari rukhshah yaitu:

1. Rukhshah (keringanan) hendaknya berdasarkan dalil al-Qur’an dan Sunnah baik secara tekstual maupun konstektual melalui qiyas (analogi) atau ijtihad, bukan berdasarkan kemauan dan dugaan sendiri.

2. Kata hukum mencakup semua hukum dan dalil hukum yang ada seperti wajib, sunnah, haram dan mubah semuanya bisa terjadi rukhshah di dalamnya.

(4)

HIKMAH ADANYA RUKHSHAH.

Adanya rukhshah (keringanan) merupakan bagian dari kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta'ala pada hamba-Nya dan bukti bahwa Islam adalah agama yang mudah dan tidak memberatkan sebagaimana firman -Nya:

{ َرْسُعْلا ْمُكِب ُديِرُي َلَو َرْسُيْلا ْمُكِب ُ ّا ُديِرُي }

Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. [al Baqarah/ 2:185]

Juga firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

{ اًفيِعَض ُناَسْنِ ْلا َقِلُخَو ْمُكْنَع َفّفَخُي ْنَأ ُ ّا ُديِرُي }

Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. [an Nisaa/4:28].

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

{ ُهَبَلَغ ّلإ ٌدَحَأ َنيّدلا ّداَشُي ْنَلَو ٌرْسُي َنيّدلا ّنإ }

Sesungguhnya agama ini mudah dan tidak ada orang yang berlebih-lebihan dalam agama ini kecuali akan mengalahkannya (tidak mampu melakukannya)”.[HR. Bukhari]

PEMBAGIAN RUKHSHAH.

(5)

1. Rukhshah dengan menggugurkan kewajiban seperti boleh meninggalkan perbuatan wajib atau sunnah karena berat dalam melaksanakannya atau membahayakan dirinya apabila melakukan perbuatan tersebut, misalnya orang sakit atau dalam perjalanan boleh meninggalkan puasa Ramadhan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : "Jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain". [al-Baqarah/2:184].

Rukhshah juga diberikan kepada wanita untuk meninggalkan shalat ketika sedang haid atau nifas, tidak berpuasa ketika hamil atau menyusui. Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata : Diberikan rukhshah kepada orang tua jompo untuk tidak berpuasa dan menggantinya dengan memberi makan orang miskin setiap hari dan tidak wajib qadha (mengulangi) puasanya, begitu juga kepada wanita hamil dan menyusui kalau dia khawatir akan dirinya maka boleh tidak berpuasa dan memberikan makan seorang miskin setiap hari selama tidak berpuasa. Ibnu Abbas juga berkata: Apabila perempuan hamil khawatir atas kesehatan dirinya atau ibu menyusui yang khawatir atas anaknya maka mereka berdua boleh berbuka (tidak berpuasa) dan memberi makan setiap hari seorang miskin dan tidak mengqadha’ puasanya [1].

Pada kitab yang sama Syaikh Nashiruddin Albany menyebutkan riwayat Nafi’ bahwa puteri Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu menikah dengan seorang dari Qurays. Dalam keadaan hamil ia puasa Ramadhan dan mengalami kehausan. Abdullah bin Umar memerintahkan untuk berbuka dan menyuruhnya untuk memberi makan seorang miskin.

Contoh rukhshah yang lain seperti bolehnya meninggalkan shalat jumat karena uzur musafir atau sakit tetapi menggantinya dengan shalat zuhur. Dari Thariq bin Syihab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ٌضيِرَم ْوَأ ّيِبَص ْوَأ ٌةَأَرْما ْوَأ ٌكوُلْمَم ٌدْبَع ًةَعَبْرَأ ّلِإ ٍةَعاَمَج يِف ٍمِلْسُم ّلُك ىَلَع ٌبِجاَو ّقَح ُةَعُمُجْلا

(6)

Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ٌةَعُمُج ِرِفاَسُمْلا ىَلَع َسْيَل

Tidak wajib shalat jumat bagi orang yang musafir” [2]

Rukhshah tidak shalat jumat juga diberikan kepada orang yang sedang menjaga sesuatu yang sangat vital. Salah seorang yang bertugas di bagian sentral imformasi yang bertanggungjawab terhadap keamanan dan kebutuhan orang banyak pernah bertanya kepada Lajnah Daimah di Saudi Arabia apakah dia boleh tidak ikut shalat berjamaah atau shalat jumat?. Lajnah Daimah menjawab sebagai berikut: Hukum asal melakukan shalat Jum’at bagi setiap orang muslim yang berakal dan muqim adalah wajib, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : “Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegerahlah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” [al-Jum’ah/62:9]

Dan hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Muslim dari Ibn Mas’ud Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda terhadap kaum yang tidak melakukan shalat Jum’at:

ْمُهَتوُيُب ِةَعُمُجْلا ْنَع َنوُفّلَخَتَي ٍلاَجِر ىَلَع َقّرَحُأ ّمُث ِساّنلاِب يّلَصُي ًلُجَر َرُمآ ْنَأ ُتْمَمَه ْدَقَل

Sesungguhnya aku ingin menyuruh seseorang menggantikanku menjadi imam shalat bersama orang-orang, kemudian aku akan membakar rumah-rumah orang-orang yang tertinggal shalat Jum’at.”

Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah dan Ibn Umar keduanya mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda di atas mimbar:

(7)

Hendaknya kaum-kaum itu berhenti meninggalkan shalat Jum’at atau Allah benar-benar akan mengunci hati mereka kemudian mereka benar-benar termasuk golongan orang-orang yang lengah.

Dan ulama sepakat bahwa jika teradapat udzur syar’i bagi orang yang wajib Jum’at, misalnya sebagai penanggungjawab langsung pekerjaan yang berhubungan dengan keamanan umat dan menjaga kesejahteraan mereka yang diharuskan untuk tetap dilaksanakan pada waktu shalat Jum’at juga seperti petugas lalu lintas atau petugas sentral keamanan dan semacamnya, maka mereka boleh meninggalkan shalat Jum’at dan jama’ah berdasarkan keumuman firman Allah “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” [at-Thaghabun/64: 16]

Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

ْمُتْعَطَتْسا اَم ُهْنِم اوُلَعْفاَف ِهِب ْمُكُت ْرَمَأ اَمَو ُهوُبِنَت ْجاَف ُهْنَع ْمُكُتْيَهَن اَم

Apa yang aku larang untukmu melakukannya maka tinggalkanlah, dan apa yang aku perintahkan melakukannya maka lakukanlah sesuai kesanggupan kamu.”

Hanya saja hal itu tidak menggugurkan kewajiban shalat dhuhur dan harus melakukannya pada waktunya. [3]

2. Rukhshah dalam bentuk mengurangi kadar kewajiban, seperti mengurangi jumlah rakaat shalat yang empat pada waktu qashar atau mengurangi waktunya pada shalat jama’ karena musafir, Allah Subahnahu wa Ta'ala, berfirman : "Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu [an-Nisaa/4:101].

Rukhshah menjama’ shalat juga diberikan karena ada uzur mendesak sebagaimana yang

(8)

demikian?. Said menjawab; saya pernah bertanya kepada Ibnu Abbas sebagaimana yang anda tanyakan dan beliau menjawab : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin agar tidak memberatkan umatnya". Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim,V/215, dalam

mengomentari hadits ini mengatakan : “Mayoritas ulama membolehkan menjamak shalat bagi mereka yang tidak musafir bila ada kebutuhan yang sangat mendesak, dengan catatan tidak menjadikan yang demikian sebagai tradisi (kebiasaan)". Pendapat demikian juga dikatakan oleh Ibnu Sirin, Asyhab, juga Ishaq Almarwazi dan Ibnu Munzir, berdasarkan perkataan Ibnu Abbas ketika mendengarkan hadist Nabi di atas, “Beliau tidak ingin memberatkan umatnya, sehingga beliau tidak menjelaskan alasan menjamak shalatnya, apakah karena sakit atau musafir”.[4]

3. Rukhshah dalam bentuk mengganti kewajiban dengan kewajiban lain yang lebih ringan seperti mengganti wudhu’ dan mandi dengan tayamum karena tidak ada air atau tidak bisa atau tidak boleh menggunakan air karena sakit dan lainnya, mengganti shalat berdiri dengan duduk, berbaring atau isyarat, mengganti puasa wajib dengan memberikan makan kepada fakir miskin bagi orang tua yang tidak bisa berpuasa atau orang sakit yang tidak ada harapan sembuhnya.

4. Rukhshah dalam bentuk penangguhan pelaksanaannya kewajiban seperti penangguhan shalat Zuhur ke shalat Ashar ketika jama’ ta’khir atau menangguhkan pelaksanaan puasa ke luar bulan Ramadhan bagi orang yang sakit atau musafir.

5. Rukhshah dalam bentuk mendahulukan pelakasanaan kewajiban seperti membayar zakat fithrah beberapa hari sebelum hari raya padahal wajibnya adalah pada akhir Ramadhan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Nafi’ bahwa Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu mengeluarkan zakat sehari atau dua hari sebelum hari raya [HR.Bukhari].

Atau seperti mendahulukan pelaksanaan shalat Ashar di waktu Zuhur ketika jama’ taqdim.

6. Rukhshah dalam bentuk merubah kewajiban seperti merubah cara melaksasnakan shalat ketika sakit atau dalam keadaan perang, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

(9)

ْمُهَتَحِلْسَأَو ْمُهَرْذِح اوُذُخْأَيْلَو َكَعَم اوّلَصُيْلَف اوّلَصُي ْمَل

Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang salat besertamu) sujud (telah

menyempurnakan seraka'at), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersalat,lalu bersalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata….. [an-Nisaa/4: 102].

7. Rukhshah dalam bentuk membolehkan melakukan perbuatan yang haram dan meninggalkan perbuatan yang wajib karena adanya uzur syar'i seperti bolehnya memakan memakan bangkai, darah, dan daging babi pada asalnya haram, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

ٌميِحّر ُُروُفَغ َا ّنِإ ِهْيَلَع َمْثِإ َلَف ٍداَع َلَو ٍغاَب َرْيَغ ّرُطْضا ِنَمَف ِا ِرْيَغِل ِهِب ّلِهُأآَمَو ِريِزنِخْلا َمْحَلَو َمّدلاَو َةَتْيَمْلا ُمُكْيَلَع َمّرَح اَمّنِإ

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [al-Baqarah/4: 173].

Melakukan jual beli salam dengan memberikan harga (pembayaran) terlebih dahulu dan barangnya menyusul dengan syarat ditentukan jumlah, sifat, dan tempat penerimaannya juga termasuk rukhshah, misalnya seorang petani menerima uang harga gabahnya yang belum dia panen karena dia butuh kepada uang, hal ini pernah terjadi di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana yang diceritakan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu.

(10)

Rasulullah tiba di Madinah dan mereka sedang melakukan jual beli salam pada buah-buahan setahun atau dua tahun, beliau bersabda,” Barangsiapa yang melakukan jual beli salam pada buah-buahan maka hendaknya melakukannya dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas dan waktu yang jelas”. [HR Bukhari dan Muslim].

Padahal hukum asal dalam jual beli adalah al-taqabudh yaitu serah terima barang dan harganya dan tidak boleh ada yang ditunda.

Ada juga rukhshah yang diberikan karena adanya uzur ketererpaksaan misalnya bolehnya mengucapkan kata-kata yang mengkafirkan dengan syarat hatinya masih tetap beriman, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :"Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orangyang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”. [an-Nahl/16: 106].

HUKUM MENGGUNAKAN RUKHSHAH.

Apakah orang yang mendapatkan rukhshah karena uzur seperti di atas wajib melakukan rukhsah tersebut atau hukumnya ibahah (boleh mengamalnya atau meninggalkannya)?. Masalah ini menjadi perbincangan di kalangan para ulama. Imam Abu Ishaq Al-Syathibi dalam kitabnya al-Muwafaaqat menyebutkan hukum menggunakan rukhsah adalah mubah, artinya boleh dilakukan atau tidak. Alasannya karena pada dasarnya rukhshah itu hanyalah keringanan agar tidak

menyulitkan dan memberatkan, maka seseorang boleh memilih antara mengamalkan rukhshah tersebut atau tidak tergantung uzur kesulitan atau keberatan yang dia hadapi, misalnya orang musafir dia diberikan kelapangan untuk memilih apakah ia mau mengqashar shalatnya atau itmam (menyempurnakannya empat rakaat) tergantung kepada uzurnya. Kalau menggunakan rukhshah itu diperintahkan baik secara wajib maupun sunnah maka bukan lagi sebuah

keringanan, tetapi kewajiban yang harus dilakukan dan tidak boleh ada pilihan lain.

(11)

atau sunat, misalnya menjaga jiwa agar tidak binasa adalah wajib, maka memakan babi bagi mereka yang terpaksa agar tidak mati kelaparan adalah wajib bukan mubah. Karena kalau dikatakan mubah maka orang tersebut boleh memilih antara makan atau membiarkan dirinya tidak makan walaupun dirinya mati kelaparan.

Dalam kasus mengqashar dan menjama’ shalat bagi orang musafir, syaikh Abdul Adzim al-Khulaify mengatakan wajib bagi orang musafir untuk melakukannya. Ini artinya orang yang musafir wajib melakukan qashar shalat sekalipun dalam perjalanannya itu ia tidak mendapatkan kesulitan atau tidak berat melakukan shalat secara sempurna. Beliau memberikan beberapa dalil di antaranya:

Hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas beliau berkata:

ًةَعْكَر ِفْوَخْلا يِفَو ِِنْيَتَعْكَر ِرَفّسلا يِفَو اًعَبْرَأ ِرَضَحْلا يِف َمّلَسَو ِهْيَلَع ُ ّا ىّلَص ْمُكّيِبَن ِناَسِل ىَلَع َة َلّصلا ُ ّا َضَرَف

Allah mewajibkan shalat melalui lisan nabimu ketika muqim empat rakaat, ketika dalam perjalanan dua rakaat dan ketika dalam keadaan takut satu rakaat” [HR Muslim].

Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu berkata:

َمّلَسَو ِهْيَلَع ُ ّا ىّلَص ٍدّمَحُم ِناَسِل ىَلَع ٍر ْصَق ُرْيَغ ٌماَمَت ِناَتَعْكَر ىَح ْضَ ْلاَو ُرْطِفْلاَو ِناَتَعْكَر ِةَعُمُجْلا ُة َلَصَو ِناَتَعْكَر ِرَفّسلا ُة َلَص

Shalat dalam perjalanan dua rakaat, shalat Jumat dua rakaat, shalat idul fithri dan idul adha dua rakaat, secara sempurna bukan dikurangi menurut perintah Rasulullah. [HR. Ibnu Majah dan Nasa’i].

Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata:

ِرَضَحْلا ُة َلَص ْتّمِتُأَو ِرَفّسلا ُة َلَص ْتّرِقُأَف ِنْيَتَعْكَر ْتَضِرُف اَم َلّوَأ َة َلّصلا ّنَأ

(12)

Lajnah Da’imah (Majlis Ulama ) di Saudi Arabia ketika ditanya apakah yang lebih afdhal bagi orang yang musafir berpuasa atau tidak?, menjawab : Banyak sekali hadits yang shahih dan perbuatan Rasulullah sendiri yang menunjukkan bahwa berbuka (tidak berpuasa) lebih baik bagi orang yang musafir, baik dalam keadaan berat atau tidak. Walaupun demikian boleh saja mereka berpusa sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Hamzah bin Umar al-Aslamy berkata; Ya Rasulullah di antara kami ada yang kuat melaksanakan puasa ketika musafir apakah mereka salah (kalau berpuasa)? Rasulullah menjawab: Itu adalah rukhshah dari Allah

barangsiapa yang mengambilnya maka itu lebih baik, barangsiapa yang ingin berpuasa maka tidak ada dosa baginya. [HR Muslim].

Wallahu ‘A’lam pendapat mayoritas ulama yang menyatakan keharusan mengamalkan rukhshah adalah baik itu wajib atau sunnah adalah yang rajih (kuat) dengan alasan :

a). Sesuai dengan karakterisitik Islam yang mudah dan tidak memberatkan.

b). Rukhshah merupakan shadaqah Allah Subhanahu wa Ta'ala yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menerimanya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ya’la bin Umayyah ia bertanya kepada Umar bin Khatab tentang firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqasar salat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu musuh yang nyata bagimu. (an-Nisaa/4:101). Dan sekarang kita sudah aman. (tidak perlu qashar).Umar bin Khatab berkata:

هتقدص اولبقاف ، مكيلع اهب ا قدصت ةقدص : لاقف . كلذ نع ملسو هيلع ا ىلص ا لوسر تلأسف ، هنم تبجع امم بجع .

Saya juga heran sebagaimana anda heran dan saya bertanya kepada Rasulullah masalah itu dan bersabda,” Shadaqah yang diberikan oleh Allah kepadamu dan terimalah shadaqah-Nya”.

(13)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

هتيصعم كرتت نأ بحي امك هصخر ىتؤت نأ بحي ا نإ .

Sesungguhnya Allah Senang untuk diambil keringanan-Nya sebagaimana Dia senang di tinggalkan maksiat kepada-Nya. [HR.Ibnu Hibban dan Ibnu Huzaimah].

d). Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri sebagai teladan kita selalu mengambil dan mengamalkan sesuatu yang paling mudah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu 'anha ia berkata : "Rasulullah (tidak pernah memilih antara dua masalah kecuali mengambil yang paling mudah selama itu tidak berdosa, kalau itu dosa maka beliau orang yang paling menjauhi masalah tersebut dan Rasulullah (tidak pernah balas dendam karena pribadinya kecuali kalau melanggar syariat Allah maka beliau membalasnya karena Allah [HR.Bukhari dan Muslim].

Wallahu ‘A’lam.

Sumber 3 http://www.tengkuazhar.com/rukhshah-sebuah-anugerah-yang-terzhalimi.html

Rukhshah, Sebuah Anugerah Yang Terzhalimi Prolog

(14)

ini, kita akan mengupas apa itu rukhshah? Dan bagaimana penerapannya dalam kehidupan sehari-hari bagi kaum muslimin?

Permudahlah dan jangan memberatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu

mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan bahwa syariat yang diturunkan oleh-Nya adalah memberikan kemudahan kepada umat manusia dan bukan memberatkan mereka. Tetapi, tidak sedikit kaum muslimin yang memberat-beratkan diri mereka dan melemparkan diri mereka ke dalam kebinasaan. Karenanya, ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendengar berita bahwa ada tiga orang shahabat beliau yang ingin shalat terus menerus tanpa beristirahat, ingin berpuasa terus menerus tanpa berbuka, dan ingin beribadah terus menerus tanpa menikah, maka beliau sagat marah, dan mengingatkan para shahabat tersebut bahwa beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah manusia yang paling bertaqwa dan paling takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di muka bumi ini. Kemudian beliau bersabda, “Tetapi, aku shalat dan akupun beristirahat, aku berpuasa dan aku berbuka, dan menikah dengan wanita. Maka barangsiapa yang membenci sunnahku, maka dia bukan golonganku.”

Perhatikanlah, bagaimana Rasulullah mendidik para shahabatnya bahwa prilaku memberat-beratkan diri sehingga menyampakkan seseorang ke dalam kebinasaan bukanlah dari sunnah dan tuntunan beliau.

(15)

Sangat menggelikan, ketika kita menyaksikan seseorang melaksanakan shalat dengan seribu rakaat, membaca surat Al-Fatihah seribu kali, membaca surat Al-Ikhlash seribu kali, membaca ayat kursi seribu kali, dianggap ajaran Rasulullah dan sunnahnya.

Justru mereka telah menyelisihi sunnah Rasulullah yang menyukai kemudahan, pertengahan dan tidak berlebih-lebihan. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :

“Sesungguhnya dien ini (Islam), adalah dien yang memberikan kemudahan.” (HR. Al-Bukhari). Beliau juga bersabda :

“Amalan Islam yang paling disukai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah amalan yang memberikan kemudahan dan toleransi.” (HR. Al-Bukhari).

Jadi jelaslah, bahwa salah satu karakteristik dien ini adalah memberikan kemudahan dan menghilangkan kesukaran dan keberatan. Karenanya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. At-Taghabun : 16)

Definisi Rukhshah

Rukhshah secara bahasa adalah keringanan atau kemudahan.

Secara istilah rukhshah adalah sebuah hukum tetap yang menyelisihi dalil syar’i dikarenakan ada sebab-sebab yang rajih.

Imam Ar-Razi mengatakan : rukhshah adalah sesuatu yang boleh dikerjakan atau dilaksanakan sekalipun pada hukum asalnya perbuatan itu dilarang.

Imam Al-Hindi mengatakan : rukhshah adalah meninggalkan atau mengerjakan sesuatu yang pada hukum asalnya dilarang dikarenakan ada sebab-sebab yang rajih.

Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an dan Rasulullah dalam sunnah-sunnahnya telah memberikan beberapa keringanan kepada kaum muslimin apabila terpenuhi syarat dan sebab-sebabnya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat suka apabila keringanan-keringanan yang telah Dia berikan dan tetapkan dijalankan dan dilaksanakan oleh umat-Nya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala suka apabila keringanan-keringanan dari-Nya dilaksanakan sebagaimana Dia suka ‘azimah-Nya dilaksanakan.”

Sikap umat Islam terhadap rukhshah

(16)

Pertama : Kelompok yang berlebih-lebihan dalam menyikapi rukhshah. Sehingga, mereka sering meninggalkan yang wajib atau bahkan mengerjakan yang haram karena alasan rukhshah, padahal sebab-sebab dan syarat-syaratnya belum terpenuhi dengan sempurna. Bahkan kelompok ini sering mencari-cari rukhshah, padahal dia bukanlah orang yang berhak untuk mengamalkan rukhshah tersebut. Lebih jelasnya pada akhir bab ini akan kita jelaskan tentang kelompok yang ketiga ini.

Kedua : Kelompok yang meremehkan rukhshah. Kelompok ini tidak peduli dengan keringanan-keringanan yang telah Allah berikan kepada mereka, sekalipun terpenuhi syarat dan sebab-sebabnya. Menurut mereka, mengambil keringanan adalah bentuk peremehan terhadap agama Allah dan mempermainkannya. Kelompok ini jelas berada dalam kekeliruan yang besar dan nyata.

Ketiga : Kelompok yang berada antara yang berlebih-lebihan dan yang meremehkan. Mereka mengambil keringanan yang telah Allah dan Rasul-Nya berikana sesuai dengan sebab dan syarat-syarat yang telah disepakati oleh para ulama.

Contoh-contoh Rukhshah dan Hukumnya

Para ulama menjelaskan, bahwa hukum rukhshah berbeda-beda. Terkadang rukhshah menjadi wajib hukumnya untuk diamalkan. Seperti memakan bangkai atau babi bagi orang yang dalam kondisi darurat tidak mendapatkan makanan. Jika dia tidak memakan bangkai atau daging babi itu dia akan binasa atau mati. Para ulama menjelaskan bahwa mengambil rukhshah ini hukumnya wajib. Contoh lain adalah bahwa menutup aurat hukumnya wajib dan menampakkannya kepada yang bukan mahram adalah haram hukumnya. Tetapi, ketika seseorang ini melakukan operasi (karena penyakit tertentu), dan tim dokter menyatakan bahwa untuk mengobati penyakitnya harus dilakukan tindakan operasi bedah, maka tidak masalah bagi orang tersebut membuka aurat dan memperlihatkannya kepada yang bukan mahramnya jika hal itu terpaksa harus dilaksanakan. Terkadang rukhshah hukumnya adalah sunnah. Seperti mengqashar shalat (shalat empat rakaat diqashar menjadi dua rakaat) bagi orang yang musafir, atau meninggalkan shaum Ramadhan bagi seorang musafir dan menggantikannya pada hari-hari lain. Dan masih banyak contoh-contoh rukhshah lainnya yang telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.

Hukum mencari-cari Rukhshah

(17)

telah dibuka oleh syaithan untuk menusia adalah :”Mencari rukhsah (pendapat paling ringan) dari para fuqaha’ dan mengikuti kesalahan-kesalahan mereka”. Dengan cara ini syaithan menipu banyak kaum muslimin yang bodoh. Sehingga hal-hal yang haram dilanggar, dan hal-hal yang wajib ditinggalkan karena bergantung kepada pendapat atau rukhsah yang palsu. Maka jadilah orang-orang bodoh tersebut menjadikan hawa nafsu mereka sebagai hakim dalam

masah-masalah khilafiyah (perselisihan). Mereka memilih pendapat yang paling mudah dan yang paling enak menurut hawa nafsu mereka tanpa bersandar kepada dalil syar’i. Bahkan karena taqlid kepada kesalahan seorang alim, yang seandainya orang alim tersebut mengetahui kebenaran maka dia akan meninggalkan pendapatnya (yang salah tersebut) tanpa ragu-ragu.

Ketika tidak ada seorangpun yang mengingkari orang-orang bodoh tersebut maka mereka akan beralasan bahwa mereka tidaklah melakukan hal tersebut berdasarkan pendapat mereka semata, tetapi ada ulama yang memfatwakan bolehnya apa yang telah mereka lakukan. Dan bahwa mereka bukanlah yang dimintai pertanggung jawaban adalah pada ulama yang memfatwakannya, jika benar atau salah. Bahkan mereka mengambil rukhsah dari para fuqaha’ pada suatu

permasalahan dan meninggalkan pendapat-pendapat para fuqaha itu pada permasalahan yang lain. Mereka menyesuaikan antara madzhab-madzhab dan menggabungkan pendapat-pendapat (menurut hawa nafsu mereka -pent). Mereka menyangka telah melakukan amalan yang sebaik-baiknya (padahal malah sebaliknya, -pent)

Syaithan telah menyebarkan pada orang-orang bodoh tersebut perkataan :”Letakkanlah dia di leher orang alim, dan keluarlah darinya dalam keadaan selamat”. (Maksudnya yaitu serahkan tanggung jawab akibat perbuatan kalian kepada orang alim yang memfatwakan hal itu, maka kalian akan keluar dengan selamat tanpa beban -pent). Ketika timbul suatu masalah pada salah seorang di antara orang-orang bodoh tersebut, maka dia akan pergi kepada sebagian ulama yang tasahul (mudah memberikan jawaban yang ringan dan enak, -pent) dalam berfatwa, lalu mereka (sebagian ulama yang tasahul, -pent) mencarikan untuknya rukhsah yang telah difatwakan oleh seseorang, lalu mereka berfatwa dengan rukhsah tersebut padahal rukhsah itu menyelesihi dalil dan kebenaran yang telah mereka yakini..

Kebanyak orang-orang bodoh itu terdiri dari dua golongan, yaitu (pertama) orang awam yang pergi ke ulama yang tasahul dalam berfatwa. Dan (yang kedua) mufti yang mencari keridhaan manusia yang tidak berfatwa dengan dalil.

(18)

Yang dimaksud dengan rukhsah di sini adalah pendapat para ulama dalam masalah khilafiyah yang paling ringan (paling enak, -pent) yang tidak bersandar kepada dalil yang shahih. Atau kesalahan seorang alim mujtahid yang kesalahannya tersebut diselisihi oleh para mujtahid yang lain. Dan inilah makna rukhsah menurut bahasa.

Adapun makna syar’i yaitu istilah terhadap sesuatu yang berubah dari perkara yang asal karena adanya halangan, atau untuk kemudahan dan keringanan. Seperti diqasharnya shalat ketika safar dan kesalahan-kesalahan padanya yang rukhsah-rukhsah syar’i yang lainnya.

Contoh-contoh rukhsah para ahli fiqih. 1. Pendapat bolehnya mencukur jenggot

1. Pendapat bolehnya membayar zakat fitrah dengan uang.

1. Pendapat bolehnya meminum semua yang memabukkan kecuali yang dari anggur. 1. Pendapat bahwasanya tidak ada shalat Jum’at kecuali pada tujuh wilayah.

1. Pendapat tentang diakhirkannya shalat asar hingga (panjang) bayangan setiap benda adalah empat kalinya.

1. Pendapat bolehnya lari pada saat bertemu dengan musuh (ketika jihad, -pent). 1. Pendapat bolehnya mendengarkan nyanyian dan alat-alat musik.

1. Pendapat bolehnya nikah mut’ah.

1. Pendapat bolehnya menukar satu dirham dengan dua dirham secara kontan/tunai. 1. Pendapat bolehnya menjima’i istri dari duburnya.

1. Pendapat sahnya nikah tanpa wali dan tanpa mahar. 1. Pendapat tidak disyariatkannya dua saksi dalam nikah.

Mengikuti rukhsah para fuqaha’ menimbulkan mafsadah yang banyak. Di antaranya hilangnya kemulian agama (Islam), dan jadilah agama ini permainan ditangan manusia. Di antaranya juga meremehkan hal-hal yang haram dan meremehkan batasan-batasan syari’at.

(19)

sukai. Maka tersebarlah kekacauan dan kedzaliman-kedzaliman, dan seperti menjadi sarana menuju pendapat mengabung-gabungkan madzhab-madzhab dengan cara yang merusak ijma.” Penutup

Dari apa yang telah kami jelaskan di atas, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya telah menetapkan beberapa rukhshah bagi umat-Nya. Karenanya, kita mengambil rukhshah-rukhshah yang telah jelas dalil-dalil syar’inya, sehingga kita tidak termasuk orang yang mencari-cari rukhshah, sehingga mengandalkan akal, hawa nafsu, dan perkataan segelintir ulama yang tidak berdasarkan kepada dalil. Wallahu Ta’ala A’lamu bish Shawab.

Reference :

1. Ma’alim Ushul Fiqh, Syaikh Muhammad bin Husain Al-Jizani.

2. Ahkam Tatabbu’ir Rukhash, Syaikh Abu Abdirrahmhman Ibrahim bin Abdillah Al-Mazru’i.

Referensi

Dokumen terkait

Solusi yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah pelayanan kefarmasian Puskesmas di Kota Semarang yaitu perbaikan sarana dan prasarana dengan penambahan

Dalam penelitian terdahulu membahas tanggung jawab pialang saham atas prinsip keterbukaan kepada investor serta tanggung jawab hukum dan perlindungan yang diberikan kepada

Hasil penelitian terdahulu yang sesuai dengan penelitian, diantaranya adalah penelitian dari Anggriani (2012) yang dilaksanakan pada siswa kelas VII di SMP N

Analisis sisa klor yang ada pada air hasil produksi PDAM Kota Malang ini dilakukan dengan cara sampling langsung di lapangan (tandon dan pelanggan), sampling ini

Maimunah, Tengku Kamariah telah berkahwin dengan Raja Kecik dan dikurniakan anak iaitu Raja Mahmud(Raja Buang), Tengku Mandak pula telah berkahwin dengan Opu Dahing

Hasil penelitian ini menunjukkan isolat FMA indigenus rizosfir tanaman jahe sehat dari lahan endemik yang diintroduksi pada bibit jahe mampu menahan perkembangan penyakit layu

o Asesmen awal medis dilaksanakan dalam 24 jam pertama sejak rawat inap atau lebih dini/cepat sesuai kondisi pasien atau kebijakan rumah sakit.. o Asesmen awal keperawatan

Pada penelitian ini menggunakan blok sitologi yang telah di diagnosis mencurigakan suatu keganasan namun belum dapat ditentukan asal sel nya karena memiliki