• Tidak ada hasil yang ditemukan

SANDAL RUMAH & JURU KUNCI(1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SANDAL RUMAH & JURU KUNCI(1)"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

Sandal Rumah dan Juru Kunci

bandar lampung, oktober 2009

(2)
(3)

MERENDAM KUKU

sejak kecil aku tahu cara memanjangkan kuku, beribu waktu

yang terpikir olehku bertahan dari masa lalu, bertahan dari segenap amsal, ihwal lain pertengkaran. Beribu waktu telah jamak, telah memilih, dan beranak pinak – rahim ibu yang tak kunjung lepas dari bisu. Seperti aku yang juga tak kunjung reda dari bulan-bulanan memetik kuku di ambang pintu, pintu yang kata emak jangan kau lakukan itu di waktu malam, sebab sesuntuk apapun kau, luka selalu datang dari arah rimba gelap, terkadang purnama. Terkadang

kita harus meremas sendiri tetek kita, dalam ketagihan.

(4)

MENGGARUK

sekarang engkau aku tinggalkan, meninggalkan panas pada pori bekas gesek yang dulu sering kali kita layarkan saat hasrat bertemu lebih mendahului _rambut yang tumbuh pada bingkai tubuhmu.

dan berbahagialah kepada rambut, yang bersedia kita kafani,meski matimu tak pernah utuh.Dan berbahagialah kepada kita, rambut yang sering kali kita lukai (tanpa sadar) itu, tanpa harap, tanpa balas dendam, telah memilih tumbuh sampai pantas. Tumbuh tanpa memberi siluet, tanpa takut

pada pingset, afitson, dan minyak pelicin otot-otot. Sebab dingin tak pernah menyebabkan kami masuk angin, dan kami, sungguh,

(5)

MENGEROK

jangan kau artikan ini sebagai kepincangan, sayang,

karena aku terlalu kaku untuk menggerakan tangan kiriku, mengusir angin yang telah lama berumah pada epidermisku,

dan jangan kau artikan ini sebagai masuk angin, sayang, karena aku telah memilih sendiri telanjang dalam kamar menulis kembali sepucuk sajak untukmu yang tentu saja akan kembali kau buang sebagai kenangan,

‘aku suka kau mengirimkan sajak untukku, tapi beri tahulah aku maksud dari sajak-sajakmu’.

jangan kau artikan sajak-sajakku sebagai maksud, sayang, tapi ada baiknya kau masuki saja, sebagai tamu yang telah lama kutunggu, sebagai kapuk yang telah lama ingin hanyut.

seperti itulah sajak-sajakku, sayang,

berumah angin samudra, bertolak dari tungku kata-kata.

jangan pula kau artikan ini sebagai prasasti, sayang, karena aku tak pernah bertitah pada tubuhku, padamu, juga angin yang merasuk itu.

aku hanya ingin seperti biasa saja.

jadi jika suatu ketika kau temui di lengan kiriku

ada garis merah bekas kerok lagi, jangan kau limpahkan kesalahan itu pada uang logam yang kupilih untuk beradu, tapi salahkanlah aku yang tak ingin mengusir angin,

membiarkannya berumah, memasang nomor alamat , dan memberi nama-nama baru

dari setiap jalan yang telah dibangun tubuhku.

artinya,

tak perlu kau ragukan lagi

(6)

ini surat ke jalan saraf Sudirman;

yang ini ke saraf Soekarno;

yang ini ke saraf Bung Tomo;

yang ini ke saraf Romeo.

dan artinya pula,

telah ada komplek pemakaman dalam tubuhku, sayang, baik pemakaman keluarga maupun pemakaman umum.

jangan terlalu kau pikirkan, sayang,

(7)

ADA SAJA

(8)

DI ATAS LANTAI PAKAIAN IBU

adikku, di atas lantai pakaian ibu, kita belajar bersama, bertengkar sebagai anjing, anjing pakaian. Kita belajar sakit dari gigit, cakar, congkel, dorong, dan tarik. dari setiap peristiwa tengkar, dari setiap rebut sabar. Kita belajar memaknai

alir puting susu, urat ibu anggap kandung, dan perihal bapak yang terselubung, dalam mata sarat timbang duduk timang.

adikku, kita selalu membayangkan

mampu bebas melihat purnama tanpa harus di punggung mamak dan minan. Kita

(9)
(10)

BILA SANDALKU TELAH TIBA

(11)

MENDAKI SANDAL

kita memutuskan keluar rumah. Aku dari pintu depan, dan kau dari pintu dapur. Tak ada yang memilih pingsan atau kejang. tak ada yang memilih “pecahkan!”. Tanpa membanting, kita memutuskan keluar, dan tak ada yang dibuat tergesa,

(12)

MENGIKAT PINGGUL GORDEN

(13)

BERTEMU DI BUKIT SANDAL

(14)

SANDAL KANAN

(15)

MENGUNJUNGI SANDAL

selamat datang di halaman sembilan, di sini, setiap puisi diperkenankan singgah, menelaah kembali dirinya,

kata per kata, larut per larut, sampai ketemu ia di titik cinta. selamat datang. Di halaman ini, semua kaum papa tak tercatat, hanya pantulan di senggang kalimat, ada juga kuecookies, secangkir kopi moka, dan getar buah dada. Tak ada stensilan paragraf yang membuatmu meninggikan oktaf, menyanyi gereja tua. Atau meledak karena hujan begitu pemicu, angin gemuruh, hidung gaduh, ingus riuh. Selamat datang,

di halaman ini takkan kau temui taman, sepasang angsa, dan kolam bermuka telaga, atau pun gugur purnama. Daun-daun,

hanya mampu berucap: selamat atau besok lusa. Tiada

betina yang akan kau temui, tiada ciuman yang serat di bibir. selamat datang, dan biarkan angka-angka itu saling tindih,

nanti, di setiap celahnya, akan kau temui tanggal, dan daun-daun akan menggenang sampai pelataran jalan. Saat itulah,

kau akan yakin, tentang lorong-lorong sempit, nomor blok rumah, dan air panas yang tumpah. Kau akan mencium kembali

bau tetangga dari setiap jemuran, dari berbagai sampah selokan. bukankah dia Puput, yang jam tangannya kau buat luput? matanya yang dulu kau sebut biru tualang, desisnya buih Samudra Hindia, pasirnya pantai Bengkulu. Dan jantungmu, dentum meriam ke gigir pantai. Aku tak suka pantai,

aku suka pegunungan – di atasnya semakin dalam kulihat perjalanan. kau seperti ingin menemukan tempat asing. Ingin menemukan

setiap kelainan rambut, kulit, mata, hidung, dan senar pinggul. padahal, yang justru sering karam di tengah lautan adalah keanekaragaman, kampung halaman penyair terlahir.

kau masih juga ingin nanap, dan kapan kau akan melepasnya masuk ke halaman sembilan, bertaruh kehidupan?

(16)

BELAJAR MENERIMA KEKURANGAN

(17)

PERUT JENDELA

aku mencoba melahirkan kembali apa yang aku punya

menjerit pada kelir bunga malam, mengental dalam suaka tembang. aku mencoba kembali menarik timba udara, dan berkaca

(18)

MEMANDIKAN SANDAL

kita mungkin telah memilih jalan yang salah, menduduki pekarangan belakang rumah orang yang juga tak kunjung dipagar, hanya ditandai beberapa tangkai selasih dan kemangi. Kita

mungkin tergesa-gesa untuk pulang, karena magrib seperti datang tiba-tiba; masih ada yang belum disiangi; masih ada yang belum bersih dicuci.

(19)

SANDAL JAZZ

(20)

MELETAKAN SANDAL

di mana aku mesti meletakan sandal itu, ketika yang sempat melirik tak mengira kepunyaannya? di depan pintu? Tidak. Tidak ada yang mau tahu

kepunyaanku atau kamu. Semestinya kita memberi tanda, mengukir nama yang (mungkin) tak sama. Kau

(21)

SANDAL JAZZ, 2

aku tak ingin peduli dengan baju compang-camping, halte tempat kemungkinan kita menunggu sesuatu, bus kota yang telah ditentukan arah tuju. Dan jaket, akhirnya mau meregang, dari pembelian baru kemarin membentuk lekuk liku tangan tubuhku. Kita

mungkin tak perlu lagi mengatakan permisi

tak ada yang mengira-ngira telah diterima atau tidak sebagai tamu pergi. Aku meninggalkanmu sebentar

(22)

SANDAL KERTAS

siapa yang terbilang laku

jadi secarik peristiwa kota Bandar

ketika sinar bulan menampakan yang tercemar dari sudut-sudut gang? Semuanya

seperti cahaya yang berpendar jauh

dari pelabuhan. Dan kita kembali mengulang mencatat kapal-kapal merapat

meski kita telah kehilangan tempat

(23)

SEJAJAR

SANDAL SENJA:

setelah senja datang, kita kembali melupakan sejenak apa yang semula tak enak dibicarakan. Tik-tok langkahnya akan meyakinkan kita tentang malam yang akan tiba. dan lampu-lampu, seperti biasa, mengabarkan

kota ini berpenghuni. Ada jejak senja di pipimu, sayang. ada langkah lelaki yang kau curi.

SANDAL JANUARI:

setelah engkau datang, kami seperti kehilangan tempat untuk beteduh, dan menunda waktu pertemuan. Kami seperti menunda waktu pergi, mengamati hujan yang pecah di dahan pepohonan. Ada juga langit.

(24)

MERAPAT KE DINDING

kali ini aku ingin kau merapat

(25)

BILA SALAH MEMAKAI SANDAL

bila salah memakai sandal, dinda, tak perlu kau kembalikan.

pergilah, aku tetap menunggumu. Tetap menjaga sandalmu. Meletaknya, merapihkannya sejajar dengan sandal-sandal di rumahku. Kau tak perlu takut larut malam, sandalku mengerti apa yang harus dilakukan.

(26)

TAK ADA YANG BOLEH PERGI SENDIRI

tak ada yang boleh pergi sendiri, meninggalkan dunia ini. bawa serta keluarga dan seluruh keponakanmu. Bawa ampun sahabat-sahabatmu. Bawa serta, bila kau tidak ingin

(27)

MENUNDUK KE SANDAL

(28)

MENGUBUR SANDAL

berapa liang yang harus aku gali? Dua. tapi apakah dapat mengubur keduanya dengan adil? Tidak. Tapi biarkan,

(29)

SANDAL-SANDAL DI BELAKANG JENAZAH

(30)

RUMAH TUA

ATAP:

apa yang kita percaya tentang langit, sehingga kita mengerti, dan yakin, ada yang tetap berputar pada porosnya, ada yang tetap bersesuaian, ada yang tetap teduh dipandang? Apa yang kita percaya tentang langit, dari setiap pendar bintang, dari setiap redup bulan di balik awan, dari cinta yang tak sampai? Apa yang kita percaya tentang langit, dan tetap memilih

bertahan menaungi kita, membayang kita di siang hari? Apa yang kita percaya, apa yang sejak semula kau menatap atapnya.

LAMPU:

seberapa penting wajahmu? Seberapa penting wajahmu dan wajahku bagi waktu. Ada yang tetap terbilang disetiap sisi ruas tempat kita berhadapan, tempat kau dan aku sempat mengatakan:

“matikan lampu di bagian kamar bukan di sarang trotoar.”

PINTU:

jangan lagi lari, akan ada selalu pemalang, akan ada yang tersandung dan was-was membiarkanmu tetap berkeliaran. Tetaplah di garis waktu; bila dengan ini kita dapat berkata sayang.

JENDELA:

tetaplah terbangun di waktu fajar, ada embun di ranting damar, ada sisa malam di tanah dan di batu pinggir kali. Ada juga kata-kata dan kokok unggas. Ada saja yang tetap ingin tergambar meski rahasia. Bersegeralah, dan berangkatlah bila waktumu tiba. Jangan buat kami kecewa.

KISI:

setiap celah akan dilewati udara; setiap cinta akan melewati umurnya. setiap kata tetap jadi rahasia; setiap kita berhak menggunakannya. setiap usaha bergantung tali timbanya; setiap peristiwa ada pemicunya. jika benar antara kau dan aku masih bertetangga.

LANTAI:

(31)

beranak dan bercucu. Tempat jejakmu yang setiap hari perlu dibersihkan dan diganti jejakmu yang baru.

ASBAK ROKOK:

lain waktu kita perlu penuh membakarnya, lain waktu kita tinggalkan ia sampai habis jadi abu. Kau tahu itu. Aku tak suka terlalu lama menghisap.

SANDAL:

kau tetap tak terpakai-pakai juga. Jadinya buat apa kau kubeli. Tapi bukankah sejak awal kau menerimanya, kau terus berusaha mencobanya. kali ini, pantas, tidak? Bukankah sejak awal, percaya atau tidak percaya diri, kau tetap berjalan. Masih bisa meminjam sandal orang. Kadang kaki

(32)

ATRIBUT

(33)

MENIMBA SANDAL

(34)

MENURUNI SANDAL

kita tidak akan celaka.

(35)

MEMANJAT SANDAL

kau tahu, apa yang paling kutakutkan? memanjat. Setelahnya, tidak ada

kata lain selain jatuh. Coba,

seandainya erat kupegang dahanmu, aku takkan mati karenamu.

seandainya, ada kata lain selain jatuh, setelahnya, kau tahu,

(36)

MENANAM RUMPUT

(37)

BERUMAH DI PINGGIR JALAN

masih belum juga kau pagar halaman depan – nanti diambil lagi buat melebar jalan –

semakin lebar ingatan –

tak terbendung lagi masa depan – bersegeralah kau pagar –

jika akhirnya dibongkar –

(38)
(39)

RUMAH

-- sandra

1.

kau tahu, mengapa kita perlu selalu mengunci pintu? Supaya tidak ada pencuri masuk, sayangku. Supaya, leluasa, di antara kita, memencet bel. supaya, seperti pertanda, di antara kita, ada yang perlu berkemas atau bersiap-siap. Sudah ramahkah yang ada di dalam rumah? Seisi tangga,

bergerak turun. Seisi tangga, bergerak, berkumpul ke ruang santun. Kau atau aku membuka pintu? Bagaimana kalau kita menelepon dahulu? Seberapa tahu, kau, yang ada di luar pintu? Seberapa mengerti, kita, gerak-gerik lagi, angin, dan bunga-bunga kertas dalam pot, sesuatu yang keras di teras rumah? Seberapa jelas, posisi kita – menolak atau menerima sesuatu

kedatangan yang tiba-tiba. menjadikannya tidak tersisa begitu saja. Kau tahu, kita baru saja masuk, baru saja selesai, mencocok-cocokkan kunci mana yang pas dengan pintu rumah kita.

2.

kau yakin tidak ada orang di dalam rumah? Tidak ada sesiapa? Coba kau intip dari jendela. Jangan kau ketuk-ketuk lagi pintu muka. Belnya mati. wajar tak terdengar dari tadi. Kita, kini, yang selayaknya bertanya-tanya. Ini rumah kita, kan?

3.

mengapa, seperti pencuri, pintu selalu diberi kunci, sayangku? Dia selalu terbuka, membiarkan sandal dan kita masuk, membiarkan kita kemudian, berpergian. Mencatat kita, bagian lain dari ruang yang kadang-kadang dingin, kadang-kadang panas meretas. Kau tahu, hujan di hutan, lebih ganas dibandingkan di halaman. Meski keduanya ditumbuhi rerumputan.

4.

(40)

kehilangan sesuatu yang pantas terbuka. Kita mungkin, takkan

membutuhkan lagi jendela. Kita, mungkin, melihat rembulan, bintang-bintang, begitu terbuka. Kita tak membutuhkan tirai tertutup atau

menggesernya sedikit saja. Kita tidak membutuhkan mengintip sesiapa di luar jendela. Kita terlampau terbuka. Karena dinding, kita tetap waspada.

karena dinding, pintu tetap menjadikan kita sebagai tamu, sayangku. Yang pelan-pelan mengelak dengan tegur-sapa paling rahasia, dengan tegur-sapa paling kata. sayangku, pintu kita, pintu yang kadang lupa, kadang-kadang alpa.

ketahuilah, tanpa dinding, rumah baru jadi kerangka.

5.

jangan kau sia-siakan mata untuk menyimpan rahasia. Jauh di dasarnya ada bunga paling waspada. Kau tahu berapa serangga terkena ranjaunya? Satu di antaranya adalah cinta.

begitulah pintu, mencatat jejak-jejak yang datang dan pergi, tanpa kecewa. hanya memang, sesekali kita mendengar dia menderit. Engselnya yang tak terawat mungkin juga sudah renta atau salah cara memasangnya. Tapi, ia pintu, sayangku. Kau sempat tersedu kan di tubuhnya? Sesuatu yang datang dan yang pergi, kadang, begitu saja kita tak berkata-kata kepadanya.

mungkin, karena ia, sementara.

6.

mengapa tak ada lagi pohon di pekarangan rumah? Hanya ada bunga-bunga pagar. Kapan kalian memutuskan untuk menggantikannya dengan yang lebih dapat terawat? Kau tahu, aku benci semua itu. Meski aku baru saja memikirkannya dari bingkai pintu.

7.

(41)

aku, mengapa aku tak mengatakan sesuatupun kepadamu.

(42)

RUMAH YANG TERTUMPUK

kerja belum selesai. Belum sempat memperhitungkan 4-5 ribu spatula. memasak saja. Bumbu seadanya. Seada cinta di dapur. Dan beberapa aroma baur. Setelah itu sunyi. Hidangan kita abadi.

maka, jangan kau anggap sajak ini, jatuh cinta, sayang. Tapi pikiran. Tapi perbuatan. yang tiba-tiba saja memerlukan uang kas dan cap beberapa berkas. Beberapa, di antaranya, ingin lunas. Tunai segala pias. Tuan, ada di rumah? Jam berapa? Besok saja, saya lelah.

maka, jangan kau anggap sajak ini, jatuh cinta, sayang, tapi pikiran. Tapi perbuatan. yang tiba-tiba saja rindu kampung halaman dan jejak perjalanan. Berapa usiamu? sudah separuh gagu. Tapi, maaf, tak sempat aku

mengantarmu ke masa lalu. Aku waktu.

maka, jangan kau tibakan sajak ini, sebagai pintu, sayang. Tapi jarak. Batas antara halaman, dan ruangtengah lapang.

maka, jangan kau ibakan sajak ini kepada buku tamu. Tapi penumpuk pikiran.

biarkan ia bercorak tanda tangan.

(43)

RUMAH DI ATAS KERTAS

(44)

ATOM

apakah kau masih percaya pada kedudukan angka_ ; yang telah merepresentasikan kata sehingga kita tertib pada rumus umumnya? Apakah kau masih percaya_; pada

(45)

SELAGI RAMBUTMU SURUT

lima mayat kelopak bunga hanyut di atas arus rambutmu; kubiarkan begitu saja sebagai tanda;

(46)

RUMAH DI ATAS SAMADENGAN

rumah yang kami bangun di atas sama dengan ini, telah memilih takdirnya sendiri untuk dijual. Kami

tidak mampu lagi mempertahankan tanah, kelopak rumah, dan tangga di penghujung pintu. Kami telah jatuh miskin.

rumah yang kami bangun di atas samadengan ini, telah banyak kami masukkan angka. Kami

(47)

BERJALAN DI ATAS SANDAL PUTUS

mengapa kau bersegera menutup pintu sedangkan pintu tak bermaksud apa pun kepadaku? Mengapa kau

seperti begitu pengecut menghadapi masalalu sedangkan aku datang padamu demi cintaku? Pohon-pohon

(48)

SANDAL-SANDAL YANG BARU SAJA SELESAI KURAPIHKAN

kawan, jika ada yang salah, kelak, dari perjamuan ini, aku minta maaf. aku tahu. Kau mungkin ragu-ragu dengan apa yang telah kuucapkan ini. karena aku, penyair, pantang minta maaf. Aku memang egois.

(49)

SANDAL-SANDAL YANG BERGERAK KE ARAH TANYA

;kolastra

pintu gerbang sekolah kembali terbuka, di pagi yang berbeda.

baru saja berbunga, hari-hari lampau, daun-daun beringin berserakan. apa yang kita ingat dari seorang penjaga kebersihan selain seikat sapu lidi yang mapan? Di pagi berbeda, di wajah penjaga yang telah kami kenal lama, tak cukup kami hanya bertanya. Tetapi kadang ingin juga kami bercerita – tentang kemenangan itu. Tentang air muka kami yang teduh. Tentangteks

kami yang berlabuh. Kau (mungkin) baru pertama kali datang, dan tahu arti kehilangan. Seperti, – bel yang berbunyi_ kami hening dalam kelas. jangan lagi kau tendang pintu gerbang. Kau telah telat seperempat jam. tidurmu yang pulas membuatmu bergegas – kecewa. Dan apa yang berbunyi di tengah lapangan, bunyimu nanti; tepat dan setia. Setia pada dedaunan berserakan, rontok sebelum umur. Setelah itu, kita menyatakan sepakat, pada hujan yang membentur tangkai. Apa pun yang terjadi, tidak boleh ada yang dilerai. Maka kami memaknai perpisahan sebagai pertentangan.

(50)

PERGI DARI RUMAH

mengapa kau ingin pergi dari rumah, sayang? Apa yang kelak kau santap di luar sana hanya bau merica. Tak ada bumbu sempurna. Tergantung kita merasakannya. Kau ingin pergi juga? Sebentar lagi senja. Dan rumah-rumah yang akan kau tatap seperti tampak tanpa penghuni. Taman halaman sepi. atau sebuah kecelakaan panjang, kita larut berbincang di teras depan.

(51)
(52)

Juru Jarak dan Waktu

(kecepatan)

apa yang terjadi jika anda tidak berjarak denganku? Kita dempet, tentunya.

aku tidak perlu menemuimu. Aku tidak perlucapek, basah kuyup, mutung,

haus, kusam,ancur, atauapalah….Toh, kau, tak berjarak denganku.

tapi kenyataannya kau berjarak denganku. Mungkin pada saat kau membaca

blogku ini kau berada 100 meter, 1000 meter, atau 10.000 meter dari posisiku.

bisa juga, kau bersebelahan denganku, dari sebuah warung internet (warnet).

dan kita tidak saling tahu. Katanya, “ internet membuat kita tahu jarak

dalamkilobytesaja.” Dunia ini bagaikan kertas yang dilipat-lipat. Dulu,

kita sering mendengar kata ini: “dunia ini tak selebar daun kelor.” “ke ujung

dunia akan kucari.” “tuntutlah ilmu ke negeri Cina.” Dulu sekali, kita

menganggap seseorang yang jantan adalah orang yang telah pergi begitu

jauh. “Tiada jarak di antara kita,” kata seseorang.

tohkenyataannya kita berjarak. Mungkin pada saat kau sedang membaca

blogku ini aku sedang mengendarai sepeda motor dengan kecepatan 20

km/jam – “woy, lambat amat!” “sabar dulu, baru masukkan gigi satu. Jangan

gara-gara prasangka, gigi kitamalah ilangsatu.” Mungkin aku sedang

(53)

menancap gas sampai 80 km/jam. Mungkin saja, ketika kau membaca

(54)

Juru Selamat Pertama

(percepatan)

kau, mungkin, baru saja selesai mandi. “Tidak lupa menggosok gigi. Habis

mandi kutolong ibu. Membersihkan tempat tidurku. Bantal guling bau

pesing”. Dan aku, mungkin, baru saja menyelesaikan administrasi. “Anda

harus mendaftar jika ingin masuk penjara. Jika anda ada uang, bisa kami

percepat”. Anda tahu, sebelum masuk penjara saja, kami harus mengantri.

(55)

Juru Selamat Kedua

(gravitasi)

kau tahu, apa yang paling kutakutkan? Medan gavitasi. Tapi kali ini, dia

(mungkin) bisa jadi penyelamatku dari masalalu. Aku bukan orang yang

takut dengan ketinggian. Seperti yang kau duga sebelumnya. Tapi aku

memang takut jatuh. Semula aku percaya, jika kita tidak terpaksa sedikitpun

terjun dari suatu ketinggian; pada saat itulah kita sadar; ketinggian bukanlah

sesuatu yang perlu ditakuti. Tapi sebuah harapan. Mungkin juga sebuah

'aksen' tegas betapa aku memang berjarak denganmu. Ketika kau membaca

blogku ini, kau harus yakin, jarak di antara kita, sesungguhnya hanyalah

(56)

Juru Selamat Ketiga

(substitusi)

tapi, kali ini aku tidak dapat begitu lama, bermain-main dalamkilobyteangka-angka. Mataku tak cukup kuat menahan radiasi. Tapi aku tetap menunggu, kau bertanya kepadaku. Sesuatu itu. Yang hilang saat kita pejamkan sejenak_ mata diambang kelelahan. Aku tahu, kau, setia untuk

(57)

Juru Penanya Pertama

mengapa kau lari dariku? Mengapa kau ingin jauh dariku?

mengapa pergi selalu lebih dekat denganmu?

seandainya, masalalu, dapat kita tempuh dengan berjalan kaki saja,

(58)

Konsisten

kita telah memilih jalan ini untuk berbalapan. tanpa percakapan; atau sebuah pukulan.

tak ada yang terpaksa; atau sebuah pistol di tangan. selintas memang, kau melihatku agak marah,

rumah yang telah lama kita bangun, hancur; atau terlanjur digusur.

“surat rumah kita tidak lengkap,” katamu.

tapi cinta kita lengkap.

seseorang, yang mungkin kamu, terlanjur tidak berkata-kata; atau menanyakan

silsilah tanah, keringat tumpah, sesayat darah yang turun-temurun terkubur bersama, seseorang yang mungkin kamu; tetangga.

(59)

Juru Berangkat Kami

(60)

Juru Selamat Puisi

jika puisi ini telah selesai kami tuliskan tak perlu kau sebut satu per satu

nama kami. Tak perlu kau peduli bagaimana kami hidup dan bagaimana kami mati. Cukup kau gauli saja

dengan intim. Dan kau jangan cemburu, kami akan lebih muda dari dirimu. bangsamu akan lebih bijaksana

(61)

Berjalan di Atas Sandal

bagaimana kabarmu, saudara? Hari yang menyenangkan, bukan? Kali ini mungkin aku tak terburu-buru mengentri data ini. Kehidupan yang sejenak menantang Abad Berlari; palu yang mulai tumbuh rambut. Tuan harap gersang, hanya dengan itu aku mampu bersarang.Dan kembali gagal menggoda anak cucu Gunawan. Siapa itu yang punya celana? Ya, itu, si Joko; kasus pembunuhan pertama – vonis yang tak pernah tegas. Seperti titik yang tak pernah tuntas. Nah, akunitiklagi. “Tuan-tuan yang terhormat, aku kembali lagi mendarat. Sungguh, aku sangat takut turbulensi; tiba-tiba moncong sandal oleng, kemudian sayap, lalu diikuti sentak pinggang. Udara

makin buruk saja.” Kabarku baik. Sekarang jam sebelas. Jam sekarat. Tapi kau pantas untuk mendapatkan dataku secara lambat. Tiba-tiba saja aku membayangkan kau orgasmaya dan melahirkan sejuta kb sperma; handuk tak ada di layar; kau terjun lalu memformatnya ke dalam html. Tetapi html tak punya serat. Licin. Maka tersungkur ke dalamignoreataunot responding.

Refresh.Ah, aku aut membayangkanmu. Sejurus aku hentakkan sandal kiriku; penerbangan yang agak berbeda. Bergerak melewati selangkangan; selangkangan menyapa, “awas kau toel antena. Komunikasi

(62)

bicara dengan tuhan saat ini. Ada kamu yang sedang membacaku. Baiklah, aku ganti kata-katanya.Pembaca, seharusnya kau membaca ini dengan gerakan lambat.Kau akan tahu data yang seharusnya tak perlu

kukabarkan padamu.

(63)

Juru Mayat Satu

(64)

Juru Penyapa Satu

di suatu waktu, padakilobyteyang entah berapa, kau menyapaku dengan sangat hangat sehingga beberapa tafsir kita tentang website

tidaklah begitu konyol, agak mesum, atau agak durhaka pada kata. kita seperti dua angsamacromedia flashyang kosongbackground

berenang-renang dan mengharap ada beberapa daun desain gugur karena program komputer yang eror.Tapi itu tidak mungkin terjadi jika sebelumnya kau memang tidak membuatnya, dan mendeletnya

(65)

Juru Nasehat Satu

(66)

Juru Sambutan Pertama

gigi-gigi yang terhormat sambutlah salam hangat dari kami yang teramat mayat. Kami baru saja mati terkena Trojan. Beberapa harus bersedia mati ditembak oleh Ansav. Beberapa lagi di antara kami selamat namun harus menderita cacat. Jauh lagi ke dalam, tubuh kata hidup tanpa kepala. Tapi sungguh, karena ia masih keluarga kita, beberapa masih dapat dikenali identitasnya. Misalnya,hasy, oleh ahli forensik dapat dikenali sebagai

harusnya.Tdk?Ah, hanya masalah huruf vokal saja. Mungkin saja sebagai

tidak.Prang, sampai saat ini masih diduga sebagaiperang. Tetapi, gigi, seluruh di antara kami, belum satu pun mengetahui apakah kata yang satu ini cacat atau sempurna, kami terus saja mencari tahu, terus saja kami

berselisih tentang ini. Yang satu mengatakan, “ia tidak cacat; ia tetapkursi.”. yang satu mengatakan, “ia cacat; ia seharusnyakorupsi.”. Sampai akhir, dari 5000 kata yang cacat, dalam sambutan ini, kami sampaikan kepada seluruh gigi, kami belum dapat memastikan, apakah iakursi, apakah iakorupsi. Yang pasti virus telah berhasil menjangkiti keluarga kami.

“…?”

“mayoritas kehilangani.”

“…?”

(67)

Juru Sambutan Kedua

kaki, berangkat adalah kepergian yang hangat tetapi kerinduan bukanlah waktu yang singkat sesingkat kita menggosok-gosokkan gigi pada pinggul sikat yang serat. “Awas kau tergelincir lagi! Gusimu yang tua bisa kembali berdarah karena luka lebam sepuluh tahun sudah kembali menjadi sasaran.”. Tepat saran. Kaki, jika nanti, kau benar-benar memilih kembali, bawakan aku beberapa tangkai daun seledri.

(68)
(69)

Seperti Tidak Lagi Muda

kami seperti tidak lagi muda saat petasan lepas ke udara

ada pikiran yang lengas di jalan ini tetapi tidak sesuatupun jelas lagi

inilah hari di mana kami harus pergi atau kembali ke_keharibaan tubuh ini yang dengan keterbukaannya

kami terima apa adanya

inilah hari di mana kami kembali tidak mengerti

mengapa mati adalah pilihan kami.

(70)

Surat Rindu

1.

pun1, aku rindu padamu, seperti buku-buku, seperti masa lalu. Karena itu,

aku ingin segera pulang dari perantauan. Memulangkan ingatan.

memulangkan pakaian. Dua hari lagi menjelang lebaran mungkin aku sudah ada dilamban2. Di sore hari, di dua hari lebaran itu, kau bisa mengepek aku,

memastikan aku benar-benar pulang. Aku tentu duduk di beranda atas, minum kopi, dan menunggu sepintas perjumpaan kita. Lihatlah mataku sekali itu. Malamnya, aku akan menunggumu di samping jendela, di rumah yang tentu kita berdua kenal lama. Kau harus tetap waspada, bapakmu yang raja, masih belum mengizinkan kita.

besok pagi, seperti rencana kita, aku menunggumu kembali di Dermaga Tiga, di bawah pohon kelapa yang agak pinggir ke muara, dan jika kita agak

dekat menghadap ke laut, ada kapal terdampar. Dan akan kita temui, beberapa orang, senang melempar batu ke arah kapal itu, sehingga dentangnya yang karat, akan membuat kita saling menatap, mengingat malam yang terasa singkat, sesingkat kita mencari tempat beristirahat. Dan kita memilih bersandar di bawah pohon kelapa dekat muara. Menatap laut lebih jauh lagi. Mengingat kembali Terbaya di suatu senja, di dalam bis, dan selembar karcis. Mungkin karena itu, ia dikatakan Terbaya, tempat

terbakarnya asmara.

asmara kita, sayang, pada bukit di pangkal teluk, dan bandar besar di sisa karat dermaga, daniwa tenapa3yang akan tetap kita jumpa. Seperti kau,

sayang, yang selalu ingin memakai gelang kana4, dansigor5di atas kepala.

(71)

sebab itulah, sayang – tapi tolong jangan kau bicarakan ini pada raja, warna sigor di atas kepala sesungguhnya adalah warna senja, yang akan

mengingatkan kita pada asmara purba, di atas Bukit Terbaya. Dan gelang kana yang kau pakai adalah tiga ikatan, yang akhirnya mengikat marga-marga.

aku tahu itu, sayang, sebab itu kita tidak akan pernah bisa melihat apa yang mengikat

di atas kepala, sebab itu aku hanya percaya pada warna pacakh6yang ada di tangan

kita,restu para keluarga.

aku juga. Tetapi bukan restu raja.

maka, aku memilih menulis surat saja. Di dalamnya, ada kata-kata, yang tentu tak hanya dapat dilihat dan disimpan di dalam kepala kita, tetapi juga dapat kau wariskan pada anak-cucu siapa saja, mungkin anak-cucu kita. bahwa sempat ada saya, yang jatuh cinta kepadamu, yang bicara senja di atas Bukit Terbaya, dan dermaga –

2.

setiap kapal yang belum pernah merapat

di dermaga ini, tetap mendapat tempat

setiap surat yang belum pernah sampai alamat

tetap setia ditulis dan dibuat

dan aku, juga mencintai kau, buku-buku, dan masa lalu. Tetapi, tidak bisakah

kau memberikan kita masa depan, tidak sekedar hanya menulis ingatan?

bisakah kita menghilangkan semua ingatan, bahwa di kota ini,

(72)

setiap kisah yang pernah dimiliki anak-cucu marga , bahwa tidak pernah ada

iwa tenapa, dan tidak pernah ada pacar, serta warna senja di atas kepala?

bisakah kita lenyap saja dari cerita?Ada juga warna senja, sayang, setelah kita

selesai mengunyah cambai7. Dan aku, tidak ingin gigi kita ngilu karena dingin. Aku

tidak ingin, kota kita sepi untuk merestui pengantin.

aku tidak tahu, apakah aku pergi atau pulang. Tetapi aku datang, mencoba membaca kembali kisah kita yang belum selesai. Seperti senja di atas Bukit Terbaya yang telah lama menyimpan harapan-harapan, di dalam bis dan selembar karcis.

1 = panggilan anak pertama pengikhan (dalam bahasa Indonesia; panggilan anak pertama raja). Khaja dalam masyarakat adat lampung memiliki kedudukan kedua setelah pengikhan. Khaja tidak sama dengan raja.

2 = rumah 3 = ikan asap

4 = gelang yang dipakaikan di lengan pengantin. 5 = mahkota yang dipakaikan di kepala pengantin. 6 = inai

(73)

Belajar Kembali Mencintaimu

Ia baru saja pulang. Memulangkan kembali ingatan. Ia mencoba pergi saja, tetapi tetap tidak bisa. Beberapa kali ia mencoba menutup mata. Mencoba melupakan. Tetapi setiap ia mencoba membuka matanya kembali, setiap kali, terbuka sepenuhnya apa yang pernah ia alami di masa itu. Ia tidak pernah menyangka, waktu seperti berlalu begitu cepat. Pohon-pohon muda di kampung telah menjadi tua. Beberapa telah renta, dan tidak menghasilkan apa-apa. Aku curiga kepadanya. Ingatan yang kembali itu adalah ingatan yang kami berdua mencoba untuk menolaknya. Sebatang pohon ditebang pemiliknya. Kenangan, memuncak jejaknya.

Tetapi yang ia tolak sungguh berarti baginya. Dibukanya mata, sepenuhnya. Seperti membuka kembali pintu yang telah lama tertutup rapat. Ia rapatkan bahunya. Di atas jembatan, ia berhenti sejenak. Ia basuh mukanya. Di pinggir kali, ada pohon tua yang tak pernah tumbang. Di hatinya kembali tumbuh harapan.

Tetapi yang ia harapkan, yang ia pernah tolak sebelumnya. Tidak ada dedaunan yang gugur di sekitarnya. Di hadapannya, patahan reranting bambu hanyut terbawa arus. Ada yang tersangkut di langit-langit mulutnya. Telinganya kembali mendengung setelah mendengus hidungnya.

(74)
(75)

Ia yang Menulis Tentang Dirinya

suatu hari, ia akan renta. Telah jauh dari peristiwa. Ia akan tidak berdaya lagi dari berkata-kata. Tidak akan ada lagi yang mendengarkannya; mungkin karena ia akan diam saja. Suatu hari, yang dapat ia lakukan hanya menulis, dan menulis saja – entah, mungkin bukan untuk sesiapa. Entah, mungkin juga bukan untuk dirinya. Maka ia akan tampak sangat sekarat, karena dirinya dan lingkungannya. Tetapi, ia akan tetap diam saja. Lalu ia akan mengingat-ingat apa yang sempat tumbuh di halaman depan rumahnya. sesiapa saja yang pernah menegurnya. Sesiapa saja yang pernah –

(76)

Riwayat

mengapa tanggal lagi sehelai kancing bajumu?

ia bertanya-tanya.

apakah aku terlalu memaksa?

sesuatu yang lepas dari jahitan, sesuatu (yang mungkin)

lelah menerima banyak sentuhan.

tetapi, yang lepas tetap utuh.

ia mulai menolak pertanyaan.

di dalam setiap pertanyaan, ada jawaban.

bulan emas di atas cemas

di dalam hati yang ditinggalkan,

(77)

Referensi

Dokumen terkait

b) Tanda titik koma dipakai sebagai pengganti kata penghubung untuk memisahkan kalimat yang setara di dalam kalimat majemuk; c) Tanda titik koma dipakai untuk

itu berkoresponden dengan massa air, menurut definisi, untuk usia tracer pasif dan usia umum mereka adalah sistematis lebih besar dari usia setiap radioaktif pelacak yang

Sejauh ini data mengenai pengukuran morfometrik dan meristik jenis-jenis ikan dikawasan muara sungai sugihan sumatera selatan masih sangat kurang dan belum terdokumentasi

Dengan arti lain, kesimpulan Wilatikta menegaskan bahwa sistem pembelajaran daring tidak dapat atau sulit mengakomodir aspek pembelajaran selain kognitif, sehingga

Pada komparator, threshold berfungsi membandingkan sebuah sinyal input, sedangkan outputnya akan memiliki dua kondisi berbeda yaitu low atau high, tergantung rancangan dan

1) Pertumbuhan daerah perkotaan yang terus menerus, termasuk sejumlah CBD dan pusat daerah pinggir kota dan regional, membutuhkan pelayanan transportasi yang

Penelitian ini bertujuan untuk menelaah penerapan literasi finansial pada mahasiswa Fakultas Ekonomi UNEJ berdasarkan faktor-faktor pendidikan yang meliputi pendidikan formal

• Hubungan Kemanusiaan atau gaya yang lunak dihubungkan pada pemimpin yang tidak k dihubungkan pada pemimpin yang tidak mempertimbangkan perbedaan yang besar diantara teman-teman