Sandal Rumah dan Juru Kunci
bandar lampung, oktober 2009
MERENDAM KUKU
sejak kecil aku tahu cara memanjangkan kuku, beribu waktu
yang terpikir olehku bertahan dari masa lalu, bertahan dari segenap amsal, ihwal lain pertengkaran. Beribu waktu telah jamak, telah memilih, dan beranak pinak – rahim ibu yang tak kunjung lepas dari bisu. Seperti aku yang juga tak kunjung reda dari bulan-bulanan memetik kuku di ambang pintu, pintu yang kata emak jangan kau lakukan itu di waktu malam, sebab sesuntuk apapun kau, luka selalu datang dari arah rimba gelap, terkadang purnama. Terkadang
kita harus meremas sendiri tetek kita, dalam ketagihan.
MENGGARUK
sekarang engkau aku tinggalkan, meninggalkan panas pada pori bekas gesek yang dulu sering kali kita layarkan saat hasrat bertemu lebih mendahului _rambut yang tumbuh pada bingkai tubuhmu.
dan berbahagialah kepada rambut, yang bersedia kita kafani,meski matimu tak pernah utuh.Dan berbahagialah kepada kita, rambut yang sering kali kita lukai (tanpa sadar) itu, tanpa harap, tanpa balas dendam, telah memilih tumbuh sampai pantas. Tumbuh tanpa memberi siluet, tanpa takut
pada pingset, afitson, dan minyak pelicin otot-otot. Sebab dingin tak pernah menyebabkan kami masuk angin, dan kami, sungguh,
MENGEROK
jangan kau artikan ini sebagai kepincangan, sayang,
karena aku terlalu kaku untuk menggerakan tangan kiriku, mengusir angin yang telah lama berumah pada epidermisku,
dan jangan kau artikan ini sebagai masuk angin, sayang, karena aku telah memilih sendiri telanjang dalam kamar menulis kembali sepucuk sajak untukmu yang tentu saja akan kembali kau buang sebagai kenangan,
‘aku suka kau mengirimkan sajak untukku, tapi beri tahulah aku maksud dari sajak-sajakmu’.
jangan kau artikan sajak-sajakku sebagai maksud, sayang, tapi ada baiknya kau masuki saja, sebagai tamu yang telah lama kutunggu, sebagai kapuk yang telah lama ingin hanyut.
seperti itulah sajak-sajakku, sayang,
berumah angin samudra, bertolak dari tungku kata-kata.
jangan pula kau artikan ini sebagai prasasti, sayang, karena aku tak pernah bertitah pada tubuhku, padamu, juga angin yang merasuk itu.
aku hanya ingin seperti biasa saja.
jadi jika suatu ketika kau temui di lengan kiriku
ada garis merah bekas kerok lagi, jangan kau limpahkan kesalahan itu pada uang logam yang kupilih untuk beradu, tapi salahkanlah aku yang tak ingin mengusir angin,
membiarkannya berumah, memasang nomor alamat , dan memberi nama-nama baru
dari setiap jalan yang telah dibangun tubuhku.
artinya,
tak perlu kau ragukan lagi
ini surat ke jalan saraf Sudirman;
yang ini ke saraf Soekarno;
yang ini ke saraf Bung Tomo;
yang ini ke saraf Romeo.
dan artinya pula,
telah ada komplek pemakaman dalam tubuhku, sayang, baik pemakaman keluarga maupun pemakaman umum.
jangan terlalu kau pikirkan, sayang,
ADA SAJA
DI ATAS LANTAI PAKAIAN IBU
adikku, di atas lantai pakaian ibu, kita belajar bersama, bertengkar sebagai anjing, anjing pakaian. Kita belajar sakit dari gigit, cakar, congkel, dorong, dan tarik. dari setiap peristiwa tengkar, dari setiap rebut sabar. Kita belajar memaknai
alir puting susu, urat ibu anggap kandung, dan perihal bapak yang terselubung, dalam mata sarat timbang duduk timang.
adikku, kita selalu membayangkan
mampu bebas melihat purnama tanpa harus di punggung mamak dan minan. Kita
BILA SANDALKU TELAH TIBA
MENDAKI SANDAL
kita memutuskan keluar rumah. Aku dari pintu depan, dan kau dari pintu dapur. Tak ada yang memilih pingsan atau kejang. tak ada yang memilih “pecahkan!”. Tanpa membanting, kita memutuskan keluar, dan tak ada yang dibuat tergesa,
MENGIKAT PINGGUL GORDEN
BERTEMU DI BUKIT SANDAL
SANDAL KANAN
MENGUNJUNGI SANDAL
selamat datang di halaman sembilan, di sini, setiap puisi diperkenankan singgah, menelaah kembali dirinya,
kata per kata, larut per larut, sampai ketemu ia di titik cinta. selamat datang. Di halaman ini, semua kaum papa tak tercatat, hanya pantulan di senggang kalimat, ada juga kuecookies, secangkir kopi moka, dan getar buah dada. Tak ada stensilan paragraf yang membuatmu meninggikan oktaf, menyanyi gereja tua. Atau meledak karena hujan begitu pemicu, angin gemuruh, hidung gaduh, ingus riuh. Selamat datang,
di halaman ini takkan kau temui taman, sepasang angsa, dan kolam bermuka telaga, atau pun gugur purnama. Daun-daun,
hanya mampu berucap: selamat atau besok lusa. Tiada
betina yang akan kau temui, tiada ciuman yang serat di bibir. selamat datang, dan biarkan angka-angka itu saling tindih,
nanti, di setiap celahnya, akan kau temui tanggal, dan daun-daun akan menggenang sampai pelataran jalan. Saat itulah,
kau akan yakin, tentang lorong-lorong sempit, nomor blok rumah, dan air panas yang tumpah. Kau akan mencium kembali
bau tetangga dari setiap jemuran, dari berbagai sampah selokan. bukankah dia Puput, yang jam tangannya kau buat luput? matanya yang dulu kau sebut biru tualang, desisnya buih Samudra Hindia, pasirnya pantai Bengkulu. Dan jantungmu, dentum meriam ke gigir pantai. Aku tak suka pantai,
aku suka pegunungan – di atasnya semakin dalam kulihat perjalanan. kau seperti ingin menemukan tempat asing. Ingin menemukan
setiap kelainan rambut, kulit, mata, hidung, dan senar pinggul. padahal, yang justru sering karam di tengah lautan adalah keanekaragaman, kampung halaman penyair terlahir.
kau masih juga ingin nanap, dan kapan kau akan melepasnya masuk ke halaman sembilan, bertaruh kehidupan?
BELAJAR MENERIMA KEKURANGAN
PERUT JENDELA
aku mencoba melahirkan kembali apa yang aku punya
menjerit pada kelir bunga malam, mengental dalam suaka tembang. aku mencoba kembali menarik timba udara, dan berkaca
MEMANDIKAN SANDAL
kita mungkin telah memilih jalan yang salah, menduduki pekarangan belakang rumah orang yang juga tak kunjung dipagar, hanya ditandai beberapa tangkai selasih dan kemangi. Kita
mungkin tergesa-gesa untuk pulang, karena magrib seperti datang tiba-tiba; masih ada yang belum disiangi; masih ada yang belum bersih dicuci.
SANDAL JAZZ
MELETAKAN SANDAL
di mana aku mesti meletakan sandal itu, ketika yang sempat melirik tak mengira kepunyaannya? di depan pintu? Tidak. Tidak ada yang mau tahu
kepunyaanku atau kamu. Semestinya kita memberi tanda, mengukir nama yang (mungkin) tak sama. Kau
SANDAL JAZZ, 2
aku tak ingin peduli dengan baju compang-camping, halte tempat kemungkinan kita menunggu sesuatu, bus kota yang telah ditentukan arah tuju. Dan jaket, akhirnya mau meregang, dari pembelian baru kemarin membentuk lekuk liku tangan tubuhku. Kita
mungkin tak perlu lagi mengatakan permisi
tak ada yang mengira-ngira telah diterima atau tidak sebagai tamu pergi. Aku meninggalkanmu sebentar
SANDAL KERTAS
siapa yang terbilang laku
jadi secarik peristiwa kota Bandar
ketika sinar bulan menampakan yang tercemar dari sudut-sudut gang? Semuanya
seperti cahaya yang berpendar jauh
dari pelabuhan. Dan kita kembali mengulang mencatat kapal-kapal merapat
meski kita telah kehilangan tempat
SEJAJAR
SANDAL SENJA:
setelah senja datang, kita kembali melupakan sejenak apa yang semula tak enak dibicarakan. Tik-tok langkahnya akan meyakinkan kita tentang malam yang akan tiba. dan lampu-lampu, seperti biasa, mengabarkan
kota ini berpenghuni. Ada jejak senja di pipimu, sayang. ada langkah lelaki yang kau curi.
SANDAL JANUARI:
setelah engkau datang, kami seperti kehilangan tempat untuk beteduh, dan menunda waktu pertemuan. Kami seperti menunda waktu pergi, mengamati hujan yang pecah di dahan pepohonan. Ada juga langit.
MERAPAT KE DINDING
kali ini aku ingin kau merapat
BILA SALAH MEMAKAI SANDAL
bila salah memakai sandal, dinda, tak perlu kau kembalikan.
pergilah, aku tetap menunggumu. Tetap menjaga sandalmu. Meletaknya, merapihkannya sejajar dengan sandal-sandal di rumahku. Kau tak perlu takut larut malam, sandalku mengerti apa yang harus dilakukan.
TAK ADA YANG BOLEH PERGI SENDIRI
tak ada yang boleh pergi sendiri, meninggalkan dunia ini. bawa serta keluarga dan seluruh keponakanmu. Bawa ampun sahabat-sahabatmu. Bawa serta, bila kau tidak ingin
MENUNDUK KE SANDAL
MENGUBUR SANDAL
berapa liang yang harus aku gali? Dua. tapi apakah dapat mengubur keduanya dengan adil? Tidak. Tapi biarkan,
SANDAL-SANDAL DI BELAKANG JENAZAH
RUMAH TUA
ATAP:
apa yang kita percaya tentang langit, sehingga kita mengerti, dan yakin, ada yang tetap berputar pada porosnya, ada yang tetap bersesuaian, ada yang tetap teduh dipandang? Apa yang kita percaya tentang langit, dari setiap pendar bintang, dari setiap redup bulan di balik awan, dari cinta yang tak sampai? Apa yang kita percaya tentang langit, dan tetap memilih
bertahan menaungi kita, membayang kita di siang hari? Apa yang kita percaya, apa yang sejak semula kau menatap atapnya.
LAMPU:
seberapa penting wajahmu? Seberapa penting wajahmu dan wajahku bagi waktu. Ada yang tetap terbilang disetiap sisi ruas tempat kita berhadapan, tempat kau dan aku sempat mengatakan:
“matikan lampu di bagian kamar bukan di sarang trotoar.”
PINTU:
jangan lagi lari, akan ada selalu pemalang, akan ada yang tersandung dan was-was membiarkanmu tetap berkeliaran. Tetaplah di garis waktu; bila dengan ini kita dapat berkata sayang.
JENDELA:
tetaplah terbangun di waktu fajar, ada embun di ranting damar, ada sisa malam di tanah dan di batu pinggir kali. Ada juga kata-kata dan kokok unggas. Ada saja yang tetap ingin tergambar meski rahasia. Bersegeralah, dan berangkatlah bila waktumu tiba. Jangan buat kami kecewa.
KISI:
setiap celah akan dilewati udara; setiap cinta akan melewati umurnya. setiap kata tetap jadi rahasia; setiap kita berhak menggunakannya. setiap usaha bergantung tali timbanya; setiap peristiwa ada pemicunya. jika benar antara kau dan aku masih bertetangga.
LANTAI:
beranak dan bercucu. Tempat jejakmu yang setiap hari perlu dibersihkan dan diganti jejakmu yang baru.
ASBAK ROKOK:
lain waktu kita perlu penuh membakarnya, lain waktu kita tinggalkan ia sampai habis jadi abu. Kau tahu itu. Aku tak suka terlalu lama menghisap.
SANDAL:
kau tetap tak terpakai-pakai juga. Jadinya buat apa kau kubeli. Tapi bukankah sejak awal kau menerimanya, kau terus berusaha mencobanya. kali ini, pantas, tidak? Bukankah sejak awal, percaya atau tidak percaya diri, kau tetap berjalan. Masih bisa meminjam sandal orang. Kadang kaki
ATRIBUT
MENIMBA SANDAL
MENURUNI SANDAL
kita tidak akan celaka.
MEMANJAT SANDAL
kau tahu, apa yang paling kutakutkan? memanjat. Setelahnya, tidak ada
kata lain selain jatuh. Coba,
seandainya erat kupegang dahanmu, aku takkan mati karenamu.
seandainya, ada kata lain selain jatuh, setelahnya, kau tahu,
MENANAM RUMPUT
BERUMAH DI PINGGIR JALAN
masih belum juga kau pagar halaman depan – nanti diambil lagi buat melebar jalan –
semakin lebar ingatan –
tak terbendung lagi masa depan – bersegeralah kau pagar –
jika akhirnya dibongkar –
RUMAH
-- sandra
1.
kau tahu, mengapa kita perlu selalu mengunci pintu? Supaya tidak ada pencuri masuk, sayangku. Supaya, leluasa, di antara kita, memencet bel. supaya, seperti pertanda, di antara kita, ada yang perlu berkemas atau bersiap-siap. Sudah ramahkah yang ada di dalam rumah? Seisi tangga,
bergerak turun. Seisi tangga, bergerak, berkumpul ke ruang santun. Kau atau aku membuka pintu? Bagaimana kalau kita menelepon dahulu? Seberapa tahu, kau, yang ada di luar pintu? Seberapa mengerti, kita, gerak-gerik lagi, angin, dan bunga-bunga kertas dalam pot, sesuatu yang keras di teras rumah? Seberapa jelas, posisi kita – menolak atau menerima sesuatu
kedatangan yang tiba-tiba. menjadikannya tidak tersisa begitu saja. Kau tahu, kita baru saja masuk, baru saja selesai, mencocok-cocokkan kunci mana yang pas dengan pintu rumah kita.
2.
kau yakin tidak ada orang di dalam rumah? Tidak ada sesiapa? Coba kau intip dari jendela. Jangan kau ketuk-ketuk lagi pintu muka. Belnya mati. wajar tak terdengar dari tadi. Kita, kini, yang selayaknya bertanya-tanya. Ini rumah kita, kan?
3.
mengapa, seperti pencuri, pintu selalu diberi kunci, sayangku? Dia selalu terbuka, membiarkan sandal dan kita masuk, membiarkan kita kemudian, berpergian. Mencatat kita, bagian lain dari ruang yang kadang-kadang dingin, kadang-kadang panas meretas. Kau tahu, hujan di hutan, lebih ganas dibandingkan di halaman. Meski keduanya ditumbuhi rerumputan.
4.
kehilangan sesuatu yang pantas terbuka. Kita mungkin, takkan
membutuhkan lagi jendela. Kita, mungkin, melihat rembulan, bintang-bintang, begitu terbuka. Kita tak membutuhkan tirai tertutup atau
menggesernya sedikit saja. Kita tidak membutuhkan mengintip sesiapa di luar jendela. Kita terlampau terbuka. Karena dinding, kita tetap waspada.
karena dinding, pintu tetap menjadikan kita sebagai tamu, sayangku. Yang pelan-pelan mengelak dengan tegur-sapa paling rahasia, dengan tegur-sapa paling kata. sayangku, pintu kita, pintu yang kadang lupa, kadang-kadang alpa.
ketahuilah, tanpa dinding, rumah baru jadi kerangka.
5.
jangan kau sia-siakan mata untuk menyimpan rahasia. Jauh di dasarnya ada bunga paling waspada. Kau tahu berapa serangga terkena ranjaunya? Satu di antaranya adalah cinta.
begitulah pintu, mencatat jejak-jejak yang datang dan pergi, tanpa kecewa. hanya memang, sesekali kita mendengar dia menderit. Engselnya yang tak terawat mungkin juga sudah renta atau salah cara memasangnya. Tapi, ia pintu, sayangku. Kau sempat tersedu kan di tubuhnya? Sesuatu yang datang dan yang pergi, kadang, begitu saja kita tak berkata-kata kepadanya.
mungkin, karena ia, sementara.
6.
mengapa tak ada lagi pohon di pekarangan rumah? Hanya ada bunga-bunga pagar. Kapan kalian memutuskan untuk menggantikannya dengan yang lebih dapat terawat? Kau tahu, aku benci semua itu. Meski aku baru saja memikirkannya dari bingkai pintu.
7.
aku, mengapa aku tak mengatakan sesuatupun kepadamu.
RUMAH YANG TERTUMPUK
kerja belum selesai. Belum sempat memperhitungkan 4-5 ribu spatula. memasak saja. Bumbu seadanya. Seada cinta di dapur. Dan beberapa aroma baur. Setelah itu sunyi. Hidangan kita abadi.
maka, jangan kau anggap sajak ini, jatuh cinta, sayang. Tapi pikiran. Tapi perbuatan. yang tiba-tiba saja memerlukan uang kas dan cap beberapa berkas. Beberapa, di antaranya, ingin lunas. Tunai segala pias. Tuan, ada di rumah? Jam berapa? Besok saja, saya lelah.
maka, jangan kau anggap sajak ini, jatuh cinta, sayang, tapi pikiran. Tapi perbuatan. yang tiba-tiba saja rindu kampung halaman dan jejak perjalanan. Berapa usiamu? sudah separuh gagu. Tapi, maaf, tak sempat aku
mengantarmu ke masa lalu. Aku waktu.
maka, jangan kau tibakan sajak ini, sebagai pintu, sayang. Tapi jarak. Batas antara halaman, dan ruangtengah lapang.
maka, jangan kau ibakan sajak ini kepada buku tamu. Tapi penumpuk pikiran.
biarkan ia bercorak tanda tangan.
RUMAH DI ATAS KERTAS
ATOM
apakah kau masih percaya pada kedudukan angka_ ; yang telah merepresentasikan kata sehingga kita tertib pada rumus umumnya? Apakah kau masih percaya_; pada
SELAGI RAMBUTMU SURUT
lima mayat kelopak bunga hanyut di atas arus rambutmu; kubiarkan begitu saja sebagai tanda;
RUMAH DI ATAS SAMADENGAN
rumah yang kami bangun di atas sama dengan ini, telah memilih takdirnya sendiri untuk dijual. Kami
tidak mampu lagi mempertahankan tanah, kelopak rumah, dan tangga di penghujung pintu. Kami telah jatuh miskin.
rumah yang kami bangun di atas samadengan ini, telah banyak kami masukkan angka. Kami
BERJALAN DI ATAS SANDAL PUTUS
mengapa kau bersegera menutup pintu sedangkan pintu tak bermaksud apa pun kepadaku? Mengapa kau
seperti begitu pengecut menghadapi masalalu sedangkan aku datang padamu demi cintaku? Pohon-pohon
SANDAL-SANDAL YANG BARU SAJA SELESAI KURAPIHKAN
kawan, jika ada yang salah, kelak, dari perjamuan ini, aku minta maaf. aku tahu. Kau mungkin ragu-ragu dengan apa yang telah kuucapkan ini. karena aku, penyair, pantang minta maaf. Aku memang egois.
SANDAL-SANDAL YANG BERGERAK KE ARAH TANYA
;kolastra
pintu gerbang sekolah kembali terbuka, di pagi yang berbeda.
baru saja berbunga, hari-hari lampau, daun-daun beringin berserakan. apa yang kita ingat dari seorang penjaga kebersihan selain seikat sapu lidi yang mapan? Di pagi berbeda, di wajah penjaga yang telah kami kenal lama, tak cukup kami hanya bertanya. Tetapi kadang ingin juga kami bercerita – tentang kemenangan itu. Tentang air muka kami yang teduh. Tentangteks
kami yang berlabuh. Kau (mungkin) baru pertama kali datang, dan tahu arti kehilangan. Seperti, – bel yang berbunyi_ kami hening dalam kelas. jangan lagi kau tendang pintu gerbang. Kau telah telat seperempat jam. tidurmu yang pulas membuatmu bergegas – kecewa. Dan apa yang berbunyi di tengah lapangan, bunyimu nanti; tepat dan setia. Setia pada dedaunan berserakan, rontok sebelum umur. Setelah itu, kita menyatakan sepakat, pada hujan yang membentur tangkai. Apa pun yang terjadi, tidak boleh ada yang dilerai. Maka kami memaknai perpisahan sebagai pertentangan.
PERGI DARI RUMAH
mengapa kau ingin pergi dari rumah, sayang? Apa yang kelak kau santap di luar sana hanya bau merica. Tak ada bumbu sempurna. Tergantung kita merasakannya. Kau ingin pergi juga? Sebentar lagi senja. Dan rumah-rumah yang akan kau tatap seperti tampak tanpa penghuni. Taman halaman sepi. atau sebuah kecelakaan panjang, kita larut berbincang di teras depan.
Juru Jarak dan Waktu
(kecepatan)
apa yang terjadi jika anda tidak berjarak denganku? Kita dempet, tentunya.
aku tidak perlu menemuimu. Aku tidak perlucapek, basah kuyup, mutung,
haus, kusam,ancur, atauapalah….Toh, kau, tak berjarak denganku.
tapi kenyataannya kau berjarak denganku. Mungkin pada saat kau membaca
blogku ini kau berada 100 meter, 1000 meter, atau 10.000 meter dari posisiku.
bisa juga, kau bersebelahan denganku, dari sebuah warung internet (warnet).
dan kita tidak saling tahu. Katanya, “ internet membuat kita tahu jarak
dalamkilobytesaja.” Dunia ini bagaikan kertas yang dilipat-lipat. Dulu,
kita sering mendengar kata ini: “dunia ini tak selebar daun kelor.” “ke ujung
dunia akan kucari.” “tuntutlah ilmu ke negeri Cina.” Dulu sekali, kita
menganggap seseorang yang jantan adalah orang yang telah pergi begitu
jauh. “Tiada jarak di antara kita,” kata seseorang.
tohkenyataannya kita berjarak. Mungkin pada saat kau sedang membaca
blogku ini aku sedang mengendarai sepeda motor dengan kecepatan 20
km/jam – “woy, lambat amat!” “sabar dulu, baru masukkan gigi satu. Jangan
gara-gara prasangka, gigi kitamalah ilangsatu.” Mungkin aku sedang
menancap gas sampai 80 km/jam. Mungkin saja, ketika kau membaca
Juru Selamat Pertama
(percepatan)
kau, mungkin, baru saja selesai mandi. “Tidak lupa menggosok gigi. Habis
mandi kutolong ibu. Membersihkan tempat tidurku. Bantal guling bau
pesing”. Dan aku, mungkin, baru saja menyelesaikan administrasi. “Anda
harus mendaftar jika ingin masuk penjara. Jika anda ada uang, bisa kami
percepat”. Anda tahu, sebelum masuk penjara saja, kami harus mengantri.
Juru Selamat Kedua
(gravitasi)
kau tahu, apa yang paling kutakutkan? Medan gavitasi. Tapi kali ini, dia
(mungkin) bisa jadi penyelamatku dari masalalu. Aku bukan orang yang
takut dengan ketinggian. Seperti yang kau duga sebelumnya. Tapi aku
memang takut jatuh. Semula aku percaya, jika kita tidak terpaksa sedikitpun
terjun dari suatu ketinggian; pada saat itulah kita sadar; ketinggian bukanlah
sesuatu yang perlu ditakuti. Tapi sebuah harapan. Mungkin juga sebuah
'aksen' tegas betapa aku memang berjarak denganmu. Ketika kau membaca
blogku ini, kau harus yakin, jarak di antara kita, sesungguhnya hanyalah
Juru Selamat Ketiga
(substitusi)
tapi, kali ini aku tidak dapat begitu lama, bermain-main dalamkilobyteangka-angka. Mataku tak cukup kuat menahan radiasi. Tapi aku tetap menunggu, kau bertanya kepadaku. Sesuatu itu. Yang hilang saat kita pejamkan sejenak_ mata diambang kelelahan. Aku tahu, kau, setia untuk
Juru Penanya Pertama
mengapa kau lari dariku? Mengapa kau ingin jauh dariku?
mengapa pergi selalu lebih dekat denganmu?
seandainya, masalalu, dapat kita tempuh dengan berjalan kaki saja,
Konsisten
kita telah memilih jalan ini untuk berbalapan. tanpa percakapan; atau sebuah pukulan.
tak ada yang terpaksa; atau sebuah pistol di tangan. selintas memang, kau melihatku agak marah,
rumah yang telah lama kita bangun, hancur; atau terlanjur digusur.
“surat rumah kita tidak lengkap,” katamu.
tapi cinta kita lengkap.
seseorang, yang mungkin kamu, terlanjur tidak berkata-kata; atau menanyakan
silsilah tanah, keringat tumpah, sesayat darah yang turun-temurun terkubur bersama, seseorang yang mungkin kamu; tetangga.
Juru Berangkat Kami
Juru Selamat Puisi
jika puisi ini telah selesai kami tuliskan tak perlu kau sebut satu per satu
nama kami. Tak perlu kau peduli bagaimana kami hidup dan bagaimana kami mati. Cukup kau gauli saja
dengan intim. Dan kau jangan cemburu, kami akan lebih muda dari dirimu. bangsamu akan lebih bijaksana
Berjalan di Atas Sandal
bagaimana kabarmu, saudara? Hari yang menyenangkan, bukan? Kali ini mungkin aku tak terburu-buru mengentri data ini. Kehidupan yang sejenak menantang Abad Berlari; palu yang mulai tumbuh rambut. Tuan harap gersang, hanya dengan itu aku mampu bersarang.Dan kembali gagal menggoda anak cucu Gunawan. Siapa itu yang punya celana? Ya, itu, si Joko; kasus pembunuhan pertama – vonis yang tak pernah tegas. Seperti titik yang tak pernah tuntas. Nah, akunitiklagi. “Tuan-tuan yang terhormat, aku kembali lagi mendarat. Sungguh, aku sangat takut turbulensi; tiba-tiba moncong sandal oleng, kemudian sayap, lalu diikuti sentak pinggang. Udara
makin buruk saja.” Kabarku baik. Sekarang jam sebelas. Jam sekarat. Tapi kau pantas untuk mendapatkan dataku secara lambat. Tiba-tiba saja aku membayangkan kau orgasmaya dan melahirkan sejuta kb sperma; handuk tak ada di layar; kau terjun lalu memformatnya ke dalam html. Tetapi html tak punya serat. Licin. Maka tersungkur ke dalamignoreataunot responding.
Refresh.Ah, aku aut membayangkanmu. Sejurus aku hentakkan sandal kiriku; penerbangan yang agak berbeda. Bergerak melewati selangkangan; selangkangan menyapa, “awas kau toel antena. Komunikasi
bicara dengan tuhan saat ini. Ada kamu yang sedang membacaku. Baiklah, aku ganti kata-katanya.Pembaca, seharusnya kau membaca ini dengan gerakan lambat.Kau akan tahu data yang seharusnya tak perlu
kukabarkan padamu.
Juru Mayat Satu
Juru Penyapa Satu
di suatu waktu, padakilobyteyang entah berapa, kau menyapaku dengan sangat hangat sehingga beberapa tafsir kita tentang website
tidaklah begitu konyol, agak mesum, atau agak durhaka pada kata. kita seperti dua angsamacromedia flashyang kosongbackground
berenang-renang dan mengharap ada beberapa daun desain gugur karena program komputer yang eror.Tapi itu tidak mungkin terjadi jika sebelumnya kau memang tidak membuatnya, dan mendeletnya
Juru Nasehat Satu
Juru Sambutan Pertama
gigi-gigi yang terhormat sambutlah salam hangat dari kami yang teramat mayat. Kami baru saja mati terkena Trojan. Beberapa harus bersedia mati ditembak oleh Ansav. Beberapa lagi di antara kami selamat namun harus menderita cacat. Jauh lagi ke dalam, tubuh kata hidup tanpa kepala. Tapi sungguh, karena ia masih keluarga kita, beberapa masih dapat dikenali identitasnya. Misalnya,hasy, oleh ahli forensik dapat dikenali sebagai
harusnya.Tdk?Ah, hanya masalah huruf vokal saja. Mungkin saja sebagai
tidak.Prang, sampai saat ini masih diduga sebagaiperang. Tetapi, gigi, seluruh di antara kami, belum satu pun mengetahui apakah kata yang satu ini cacat atau sempurna, kami terus saja mencari tahu, terus saja kami
berselisih tentang ini. Yang satu mengatakan, “ia tidak cacat; ia tetapkursi.”. yang satu mengatakan, “ia cacat; ia seharusnyakorupsi.”. Sampai akhir, dari 5000 kata yang cacat, dalam sambutan ini, kami sampaikan kepada seluruh gigi, kami belum dapat memastikan, apakah iakursi, apakah iakorupsi. Yang pasti virus telah berhasil menjangkiti keluarga kami.
“…?”
“mayoritas kehilangani.”
“…?”
Juru Sambutan Kedua
kaki, berangkat adalah kepergian yang hangat tetapi kerinduan bukanlah waktu yang singkat sesingkat kita menggosok-gosokkan gigi pada pinggul sikat yang serat. “Awas kau tergelincir lagi! Gusimu yang tua bisa kembali berdarah karena luka lebam sepuluh tahun sudah kembali menjadi sasaran.”. Tepat saran. Kaki, jika nanti, kau benar-benar memilih kembali, bawakan aku beberapa tangkai daun seledri.
Seperti Tidak Lagi Muda
kami seperti tidak lagi muda saat petasan lepas ke udara
ada pikiran yang lengas di jalan ini tetapi tidak sesuatupun jelas lagi
inilah hari di mana kami harus pergi atau kembali ke_keharibaan tubuh ini yang dengan keterbukaannya
kami terima apa adanya
inilah hari di mana kami kembali tidak mengerti
mengapa mati adalah pilihan kami.
Surat Rindu
1.
pun1, aku rindu padamu, seperti buku-buku, seperti masa lalu. Karena itu,
aku ingin segera pulang dari perantauan. Memulangkan ingatan.
memulangkan pakaian. Dua hari lagi menjelang lebaran mungkin aku sudah ada dilamban2. Di sore hari, di dua hari lebaran itu, kau bisa mengepek aku,
memastikan aku benar-benar pulang. Aku tentu duduk di beranda atas, minum kopi, dan menunggu sepintas perjumpaan kita. Lihatlah mataku sekali itu. Malamnya, aku akan menunggumu di samping jendela, di rumah yang tentu kita berdua kenal lama. Kau harus tetap waspada, bapakmu yang raja, masih belum mengizinkan kita.
besok pagi, seperti rencana kita, aku menunggumu kembali di Dermaga Tiga, di bawah pohon kelapa yang agak pinggir ke muara, dan jika kita agak
dekat menghadap ke laut, ada kapal terdampar. Dan akan kita temui, beberapa orang, senang melempar batu ke arah kapal itu, sehingga dentangnya yang karat, akan membuat kita saling menatap, mengingat malam yang terasa singkat, sesingkat kita mencari tempat beristirahat. Dan kita memilih bersandar di bawah pohon kelapa dekat muara. Menatap laut lebih jauh lagi. Mengingat kembali Terbaya di suatu senja, di dalam bis, dan selembar karcis. Mungkin karena itu, ia dikatakan Terbaya, tempat
terbakarnya asmara.
asmara kita, sayang, pada bukit di pangkal teluk, dan bandar besar di sisa karat dermaga, daniwa tenapa3yang akan tetap kita jumpa. Seperti kau,
sayang, yang selalu ingin memakai gelang kana4, dansigor5di atas kepala.
sebab itulah, sayang – tapi tolong jangan kau bicarakan ini pada raja, warna sigor di atas kepala sesungguhnya adalah warna senja, yang akan
mengingatkan kita pada asmara purba, di atas Bukit Terbaya. Dan gelang kana yang kau pakai adalah tiga ikatan, yang akhirnya mengikat marga-marga.
aku tahu itu, sayang, sebab itu kita tidak akan pernah bisa melihat apa yang mengikat
di atas kepala, sebab itu aku hanya percaya pada warna pacakh6yang ada di tangan
kita,restu para keluarga.
aku juga. Tetapi bukan restu raja.
maka, aku memilih menulis surat saja. Di dalamnya, ada kata-kata, yang tentu tak hanya dapat dilihat dan disimpan di dalam kepala kita, tetapi juga dapat kau wariskan pada anak-cucu siapa saja, mungkin anak-cucu kita. bahwa sempat ada saya, yang jatuh cinta kepadamu, yang bicara senja di atas Bukit Terbaya, dan dermaga –
2.
setiap kapal yang belum pernah merapat
di dermaga ini, tetap mendapat tempat
setiap surat yang belum pernah sampai alamat
tetap setia ditulis dan dibuat
dan aku, juga mencintai kau, buku-buku, dan masa lalu. Tetapi, tidak bisakah
kau memberikan kita masa depan, tidak sekedar hanya menulis ingatan?
bisakah kita menghilangkan semua ingatan, bahwa di kota ini,
setiap kisah yang pernah dimiliki anak-cucu marga , bahwa tidak pernah ada
iwa tenapa, dan tidak pernah ada pacar, serta warna senja di atas kepala?
bisakah kita lenyap saja dari cerita?Ada juga warna senja, sayang, setelah kita
selesai mengunyah cambai7. Dan aku, tidak ingin gigi kita ngilu karena dingin. Aku
tidak ingin, kota kita sepi untuk merestui pengantin.
aku tidak tahu, apakah aku pergi atau pulang. Tetapi aku datang, mencoba membaca kembali kisah kita yang belum selesai. Seperti senja di atas Bukit Terbaya yang telah lama menyimpan harapan-harapan, di dalam bis dan selembar karcis.
1 = panggilan anak pertama pengikhan (dalam bahasa Indonesia; panggilan anak pertama raja). Khaja dalam masyarakat adat lampung memiliki kedudukan kedua setelah pengikhan. Khaja tidak sama dengan raja.
2 = rumah 3 = ikan asap
4 = gelang yang dipakaikan di lengan pengantin. 5 = mahkota yang dipakaikan di kepala pengantin. 6 = inai
Belajar Kembali Mencintaimu
Ia baru saja pulang. Memulangkan kembali ingatan. Ia mencoba pergi saja, tetapi tetap tidak bisa. Beberapa kali ia mencoba menutup mata. Mencoba melupakan. Tetapi setiap ia mencoba membuka matanya kembali, setiap kali, terbuka sepenuhnya apa yang pernah ia alami di masa itu. Ia tidak pernah menyangka, waktu seperti berlalu begitu cepat. Pohon-pohon muda di kampung telah menjadi tua. Beberapa telah renta, dan tidak menghasilkan apa-apa. Aku curiga kepadanya. Ingatan yang kembali itu adalah ingatan yang kami berdua mencoba untuk menolaknya. Sebatang pohon ditebang pemiliknya. Kenangan, memuncak jejaknya.
Tetapi yang ia tolak sungguh berarti baginya. Dibukanya mata, sepenuhnya. Seperti membuka kembali pintu yang telah lama tertutup rapat. Ia rapatkan bahunya. Di atas jembatan, ia berhenti sejenak. Ia basuh mukanya. Di pinggir kali, ada pohon tua yang tak pernah tumbang. Di hatinya kembali tumbuh harapan.
Tetapi yang ia harapkan, yang ia pernah tolak sebelumnya. Tidak ada dedaunan yang gugur di sekitarnya. Di hadapannya, patahan reranting bambu hanyut terbawa arus. Ada yang tersangkut di langit-langit mulutnya. Telinganya kembali mendengung setelah mendengus hidungnya.
Ia yang Menulis Tentang Dirinya
suatu hari, ia akan renta. Telah jauh dari peristiwa. Ia akan tidak berdaya lagi dari berkata-kata. Tidak akan ada lagi yang mendengarkannya; mungkin karena ia akan diam saja. Suatu hari, yang dapat ia lakukan hanya menulis, dan menulis saja – entah, mungkin bukan untuk sesiapa. Entah, mungkin juga bukan untuk dirinya. Maka ia akan tampak sangat sekarat, karena dirinya dan lingkungannya. Tetapi, ia akan tetap diam saja. Lalu ia akan mengingat-ingat apa yang sempat tumbuh di halaman depan rumahnya. sesiapa saja yang pernah menegurnya. Sesiapa saja yang pernah –
Riwayat
mengapa tanggal lagi sehelai kancing bajumu?
ia bertanya-tanya.
apakah aku terlalu memaksa?
sesuatu yang lepas dari jahitan, sesuatu (yang mungkin)
lelah menerima banyak sentuhan.
tetapi, yang lepas tetap utuh.
ia mulai menolak pertanyaan.
di dalam setiap pertanyaan, ada jawaban.
bulan emas di atas cemas
di dalam hati yang ditinggalkan,