• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA PEMBERDAYAAN DIFABEL MELALUI PROGR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "UPAYA PEMBERDAYAAN DIFABEL MELALUI PROGR"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PROCEEDING

International Seminar of Special Education

Education for All (EFA) Implementation toward Children with Special Needs in The Era of ASEAN Economic Community (AEC) 2015

(3)
(4)

INTERNATIONAL SEMINAR OF SPECIAL EDUCATION | iii KATA PENGANTAR

Education For All (EFA) dicetuskan pada tahun 1991 di Bangkok dan

GLODQMXWNDQ SDGD WDKXQ GL 6DODPDQFD 6SDQ\RO \DQJ PHQJKDVLONDQ ³the

Salamanca statement on inclusive education´ .RPLWPHQ LQL GLWLQGDN ODQMXWL ROHK pemerintah Indonesia pada tahun 2004 dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dan pada tahun 2005 dengan menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi. Kesungguhan pemerintah ini terus berlanjut dengan berpartisipasinya pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities, pasal 24 Ayat (1) undang-undang tersebut menyebutkan bahwa Negara-Negara Pihak mengakui hak penyandang disabilitas atas pendidikan. Dalam rangka memenuhi hak ini tanpa diskriminasi dan berdasarkan kesempatan yang sama, Negara-Negara Pihak harus menjamin sistem pendidikan yang bersifat inklusif pada setiap tingkatan dan pembelajaran seumur hidup yang terarah kepada: a) Pengembangan seutuhnya potensi diri dan rasa martabat dan harga diri, serta penguatan penghormatan terhadap hak asasi manusia, kebebasan fundamental dan keragaman manusia; b) Pengembangan atas kepribadian, bakat dan kreatifitas, serta kemampuan mental dan fisik dari penyandang disabilitas hingga mencapai potensi mereka sepenuhnya; dan c) Memungkinkan penyandang disabilitas untuk berpartisipasi secara efektif di dalam masyarakat yang bebas. Namun bagaimana pemerintah Indonesia mengimplementasikan konsep Pendidikan bagi semua khususnya bagi Difabel dalam menyongsong era ASEAN Economic Community (AEC) pada Tahun 2015.

Untuk menggali lebih mendalam permasalahan tersebut, Prodi. PLB FIP IKIP PGRI Jember menyelenggarakan seminar internasional dengan tema: Implementasi Pendidikan Untuk Semua bagi Anak Berkebutuhan Khusus di Era ASEAN Economic Cummunity (AEC) Tahun 2015

(5)

iv | PROCEEDING

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... iii Daftar Isi ... iv

BAHAN BANTU MENGAJAR DALAM PENGAJARAN BAHASA INGGERIS BAGI MURID-MURID PENDIDIKAN KHAS BERMASALAH PENDENGARAN

Mohd Hanafi Mohd Yasin, Abdul Al Hariss bin Abdul Samad ... 1

UPAYA PEMBERDAYAAN DIFABEL MELALUI PROGRAM PENDIDIKAN VOKASIONAL INFORMAL OLEH ORGANISASI PERSATUAN PENYANDANG CACAT (PERPENCA) DI KABUPATEN JEMBER

Asrorul Mais ... 9

PENGGUNAAN KAEDAH TERAPI MAIN DALAM MENGECAM HURUF VOKAL BAGI MURID PENDIDIKAN KHAS BERMASALAH PEMBELAJARAN

Kamarudin bin Abu Hassan, Siti Nurhanis binti Abdul Bahar ... 21

TEKNOLOGI PEMBELAJARAN BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH INKULSIF

Syamsul Hidayat ... 29

EFEKTIVITAS KOLABORASI METODE VAKT DAN PERMAINAN IMAJINATIF DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DAN MENULIS PADA ANAK BERKESULITAN BELAJAR

Lailil Aflahkul Yaum ... 37

PENGEMBANGAN PROTOTIPE VIDEO PEMBELAJARAN KONSEP

BINATANG DALAM UPAYA PENGUASAAN KONSEP DAN KONSENTRASI PADA SISWA AUTIS

Partiwi Ngayuningtyas Adi ... 47

PROGRAM INTERVENSI DINI BERSUMBER DAYA KELUARGA PADA ANAK DENGAN KETERLAMBATAN PERKEMBANGAN MOTORIK

Rosika Novia Megaswarie ... 53

PENGAPLIKASIAN KAEDAH PENGAJARAN MONTESSORI DALAM

PENGUASAAN KEMAHIRAN PRANOMBOR BAGI MURID SINDROM DOWN

Tumerah binti Rosmin, Kamarudin Bin Abu Hassan, Nur Hidayah binti Adar ... 61

PENGARUH METODE PEMBELAJARAN INQUIRY DAN MOTIVASI BELAJAR TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA TUNANETRA DI SMPLB BONDOWOSO DAN JEMBER

Qorry Nurul Hidayah ... 73

EFEKTIVITAS PELATIHAN ASERTIVITAS UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU ASERTIF SISWA KORBAN BULLYING

Akhmad Rifqi Azis ... 83

(6)

INTERNATIONAL SEMINAR OF SPECIAL EDUCATION | v MODEL INSAN MELAYU DALAM NOVEL-NOVEL S. OTHMAN KELANTAN

BAGI INSAN NORMAL DAN KURANG UPAYA

Robiah binti Mohamad ... 103

IMPLEMENTASI MANAJEMEN LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KUALITAS LAYANAN PENDIDIKAN BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Vera Firdaus ... 121

EFEKTIFITAS INSTRUMEN MUSIK GAMELAN LARAS SLENDRO

TERHADAP PENGENDALIAN EMOSI DAN KONSENTRASI ANAK AUTIS

Ninus Kemalasari ... 139

DEMOKRASI DAN RULE OF LAW : JAMINAN TERHADAP AKSESIBILITAS PENDIDIKAN BAGI PENYANDANG DISABILITAS

St. Fannatus Syamsiyah ... 153

ISU-ISU KRITIS PENDIDIKAN INKLUSIF DALAM BINGKAI EDUCATION FOR ALL

Abdul Muis ... 163

PEMEROLEHAN ASPEK SEMANTIK DALAM KALANGAN KANAK-KANAK SINDROM DOWN: SATU KAJIAN KES

Ismail bin Hasbullah ... 171

KOMPETENSI KESANTUNAN LAKUAN BAHASA DIREKTIF GURU PELATIH OPSYEN PEMULIHAN KHASDALAM PENGAJARAN

Zanariah binti Ibrahim, Maslida binti Yusof, Karim bin Harun ... 181

PERSEPSI GURU PELATIH KURSUS PERGURUAN LEPAS IJAZAH (KPLI) KURSUS DALAM CUTI (KDC) PENDIDIKAN KHAS TERHADAP PELAKSANAAN RANCANGAN PENDIDIKAN INDIVIDU (RPI): SATU TINJAUAN

Amerrudin bin Othman ... 193

PENGGUNAAN e-ANGKA UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN MURID BERKEPERLUAN KHAS MENGENAL ANGKA 1 HINGGA 10

Sarimah binti Ahmad, Nurul Ain binti Mohd. Yusof ... 203

STUDI TENTANG HUBUNGAN MEDIA VIDEO PEMBELAJARAN TERHADAP PERILAKU AGRESIF ANAK USIA DINI

Mudafiatun Isriyah ... 213

MENINGKATKAN KEMAHIRAN MEMBUNDAR NOMBOR EMPAT DIGIT KEPADA PULUH YANG TERDEKAT MENGGUNAKAN KAEDAH MODEL µANTHILL¶,17(5$.7,)%$*,085,'SLOW LEARNER

Halimah binti Haji Che Mat, Nur Zahidah binti Said ... 227

PENGAPLIKASIAN MULTIMEDIA BAGI MENGATASI MASALAH KEMAHIRAN MENAMBAH DENGAN MENGUMPUL SEMULA

MURID SLOW LEARNER

(7)

vi | PROCEEDING

PENGGUNAAN KAEDAH PERMAINAN PLAY AND SAVE BAGI MENINGKATKAN TUMPUAN MURID SLOW LEARNER MENGUASAI KEMAHIRAN MEMBACA PERKATAAN BAHASA MELAYU DUA SUKU KATA KVK + KVK

Mohd Israfi Bin Sayati, Nur Fatin Binti Tarmizi ... 249

PENTINGNYA PENDIDIKAN ENTREPRENEURSHIP LIFE SKILL BAGI ANAK BERKEBUTUHAN DAN LAYANAN KHUSUS

(8)

INTERNATIONAL SEMINAR OF SPECIAL EDUCATION |9 UPAYA PEMBERDAYAAN DIFABEL MELALUI PROGRAM PENDIDIKAN VOKASIONAL INFORMAL OLEH ORGANISASI PERSATUAN PENYANDANG

CACAT (PERPENCA) DI KABUPATEN JEMBER

Asrorul Mais IKIP PGRI Jember

e-mail: asrorulmais.plb@gmail.com

Abstract: This research aimed to describe the efforts to empower the disabled

through informally vocational education by Association of Disabled Persons in Jember District. The research used qualitative method. Data were collected by interview, observation, and document analysis. The results showed that Association of Disabled Persons efforts to empowering disabled consisted of two ways: (1) direct empowerment of people with disabilities done by the organization in the form of giving motivation and job training, and (2) indirect empowerment of people with disabilities involve with the appropriate institutions in the form of addressing the needs of disability aids, rehabilitation needs, training needs, and capital needs of the business. Type of informal vocational education given to disabled adapted to the needs and characteristics of disabilities which consists of four types of training for visual, hearing, mental, physical impairment, with four stages: identification of the problems and training needs of the disabled, planning, implementation and evaluation.

Keywords: empowerment, disabilities and informally vocational education

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan upaya pemberdayaan terhadap difabel melalui pendidikan vokasional informal oleh organisasi Persatuan Penyandang Cacat di Kabupaten Jember. Metode penelitian menggunakan metode kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi, dan analisis dokumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya Persatuan Penyandang Cacat (PERPENCA) Jember dalam pemberdayaan difabel terdiri dari dua cara yaitu: (1) perberdayaan penyandang cacat secara langsung yang dilakukan sendiri oleh organisasi tersebut berupa pemberian motivasi dan pelatihan kerja dan (2) pemberdayaan penyandang cacat secara tidak langsung dengan melibatkan instansi-instansi terkait berupa upaya pemenuhan kebutuhan alat bantu ketunaan, kebutuhan rehabilitasi, kebutuhan pelatihan, dan kebutuhan permodalan usaha. Jenis pendidikan vokasional informal yang diberikan pada difabel disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik difabel yang terdiri atas empat jenis yaitu pelatihan bagi tunanetra, tunarungu, tunagrahita dan tunadaksa dengan empat tahapan yaitu identifikasi permasalahan dan kebutuhan pelatihan difabel, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

Kata Kunci:pemberdayaan, difabel dan pendidikan vokasional informal

Pendahuluan

Berdasarkan data BPS tahun 2010, jumlah penyandang difabel di Kabupaten Jember sebanyak 27.447 dari 1.945.597 jiwa dengan kualifikasi kesulitan melihat (5.570), kesulitan berjalan atau naik tangga (6.236), kesulitan mengingat atau berkonsentrasi (5.789), kesulitan mengurus diri sendiri (5.037) dan kesulitan mendengar (4.815). Jumlah ini setara dengan 1,41% dari keseluruhan penduduk di Kabupaten Jember yang tersebar di 31 kecamatan (http://sp2010.bps.go.id).

(9)

10 | PROCEEDING

para penyandang cacat hanya bisa menjadi penonton tanpa bisa menikmati hasil dari proses pembangunan. Untuk itu diperlukan suatu kepedulian dari pihak-pihak terkait untuk memberdayakan penyandang difabel agar dapat ikut serta dan menikmati pembangunan.

Di beberapa negara maju, para penyandang difabel sudah dipersiapkan untuk memiliki keterampilan yang bersifat life skill untuk menunjang kemandirian dan penghidupannya kelak setelah mereka dewasa. Mynatt dan Gibbons (2011) dalam penelitiannya di Amerika Serikat menunjukkan bahwa pemerintah mempersiapkan karir siswa berkebutuhan khusus dari usia sekolah dengan melakukan bimbingan dan eksplorasi karir dengan partisipasi orang tua, pelatihan keterampilan, asesmen kemampuan keterampilan dan membantu mencarikan alternatif pekerjaan bagi mereka setelah lulus sekolah.

Spichtinger, dkk (2013) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pemerintah Jerman telah mempersiapkan regulasi dan penyediaan pasar tenaga kerja bagi difabel dengan melakukan pemetaan dan persiapan pendidikan vokasional bagi penyandang difabel usia muda.

Hirvonen (2010) dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa pendidikan vokasional bagi siswa difabel di Finlandia telah mampu merubah konsep pendidikan inklusif menjadi pendidikan berbasis vokasi agar siswa berkebutuhan khusus lebih mudah diterima di lingkungan masyarakat.

Indonesia sebagai negara yang masih berkembang tentunya masih belum memiliki kebijakan seperti di negara maju dalam memikirikan dan melaksanakan program pendidikan vokasional bagi difabel untuk mempersiapkan masa depan mereka. Berdasarkan alasan ini dan didasarkan pada belum optimalnya organisasi atau institusi pemerintahan atau swasta yang menangani penyandang cacat secara terorganisir maka muncul suatu ide oleh beberapa penyandang difabel untuk membentuk lembaga yang menangani pemberdayaan difabel di Kabupaten Jember.

Yayasan lembaga swadaya masyarakat yang telah berdiri sekitar satu dekade lalu ini merupakan suatu lembaga nirlaba non pemerintah yang berkomitmen kuat dalam program pemberdayaan penyandang difabel usia produktif pasca sekolah dalam membantu mereka untuk menjadi tenaga terampil dan cakap di bidangnya masing-masing sehingga keberadaan Persatuan Penyandang Cacat atau yang lebih dikenal dengan PERPENCA yang terlahir dari ide para difabel untuk pemberdayaan difabel dan dilakukan oleh difabel sendiri layak untuk diteliti lebih dalam.

Dari latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan beberapa fokus penelitian, selanjutnya fokus tersebut dijabarkan dalam beberapa rumusan masalah, yakni: (1) Bagaimana upaya Persatuan Penyandang Cacat (PERPENCA) Jember dalam pemberdayaan difabel? (Konsep makro pemberdayaan), (2) Apa saja jenis pendidikan vokasional informal yang diberikan pada difabel dan bagaimana proses pelaksanaannya? (Tahapan teknis dalam pelatihan)

(10)

INTERNATIONAL SEMINAR OF SPECIAL EDUCATION |11 Kajian Literatur

Pemberdayaan Difabel

Menurut UU No.19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) bahwa Penyandang disabilitas termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama di mana ketika berhadapan dengan berbagai hambatan, hal ini dapat menghalangi partisipasi penuh dan efektif mereka dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya. Mereka seringkali kurang dihargai dan bahkan dicap sebagai orang yang malas, lemah yang disebabkan oleh dirinya sendiri. Padahal ketidakberdayaan mereka seringkali merupakan akibat dari adanya kekurangadilan dan diskriminasi dalam aspek-aspek kehidupan tertentu.

Sennet dan Cabb (1972) dan Conway (1979) dalam Suharto (2006) menyatakan bahwa ketidakberdayaan penyandang cacat ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti: ketiadaan jaminan ekonomi, ketiadaan pengalaman dalam arena politik, ketiadaan akses terhadap informasi, ketiadaan dukungan finansial, ketiadaan pelatihan-pelatihan dan adanya ketegangan fisik maupun emosional.

Para teoritis seperti Seeman (1985), Seligman (1972) dan Learner (1986) dalam Suharto (2006) meyakini bahwa ketidakberdayaan yang dialami oleh sekelompok masyarakat seperti penyandang cacat merupakan akibat dari proses internalisasi yang dihasilkan dari interaksi mereka (penyandang cacat) dengan masyarakat. Penyandang cacat menganggap diri mereka lemah dan tidak berdaya karena masyarakat memang PHQJDQJJDSQ\D GHPLNLDQ 6HHPDQ PHQ\HEXW NHDGDDQ LQL GHQJDQ LVWLODK ¶DOLHQDVL¶ Sementara Seligman menyebutnya sebagai ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessnessGDQ/HDUQHUPHQDPDNDQQ\DGHQJDQLVWLODK¶NHWLGDNEHUGD\DDQVXUSOXV¶ atau surplus powerlessness´

Kieffer (1984) dalam Suharto (2006) menyatakan bahwa ketidakberdayaan dapat berasal dari penilaian diri yang negatif, interaksi negatif dengan lingkungan atau berasal dari blokade dan hambatan yang berasal dari lingkungan yang lebih besar. (1) Penilaian diri yang negatif. Ketidakberdayaan dapat berasal dari adanya sikap penilaian yang negatif yang ada pada diri seseorang yang terbentuk akibat adanya penialian negatif dari orang lain. (2) Interaksi negatif dengan orang lain. Ketidakberdayaan dapat bersumber dari pengalaman negatif dalam interaksi antara korban yang tertindas dengan sistem di luar mereka yang menindasnya. (3) Lingkungan yang lebih luas. Lingkungan yang lebih luas dapat menghambat peran dan tindakan kelompok tertentu. Situasi ini dapat mengakibatkan tidak berdayanya kelompok yang tertindas tersebut dalam mengekspresikan atau menjangkau kesempatan-kesempatan yang ada di masyarakat misalnya kesempatan dalam memperoleh pekerjaan dan pendidikan.

Dengan demikian, dibutuhkan adanya suatu usaha untuk melepas atau mengeluarkan penyandang cacat dari ketidakberdayaan yaitu melalui upaya pemberdayaan. Pemberdayaan menurut Payne (1997) dalam Adi (2003) adalah membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dengan rasa percaya diri untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka.

(11)

12 | PROCEEDING

(misalnya persepsi mereka sendiri) maupaun karena kondisi eksternal (misalnya ditindas oleh struktur sosial yang tidak adil).

Pelaksanaan proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan dapat dicapai melalui penerapan pendekatan pemberdayaan yang dapat disingkat menjadi 5P yaitu: pemungkinan, penguatan, perlindungan, penyokongan, dan pemeliharaan (suharto: 2006): (1) Pemungkinan: menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang secara optimal. Pemberdayaan harus mampu membebaskan masyarakat dari sekat-sekat kultural dan struktural yang menghambat. (2) Penguatan: memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Pemberdayaan harus mampu menumbuh-kembangkan segenap kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat yang menunjang kemandirian mereka. (3) Perlindungan: melindungi masyarakat terutama kelompok-kelompok lemah agar tidak tertindas oleh kelompok kuat, menghindari terjadinya persaingan yang tidak seimbang (apalagi tidak sehat) antara yang kuat dan lemah, dan mencegah terjadinya eksploitasi kelompok kuat terhadap kelompok lemah. Pemberdayaan harus diarahkan pada penghapusan segala jenis diskriminasi dan dominasi yang tidak menguntungkan rakyat kecil. (4) Penyokongan: memberikan bimbingan dan dukungan agar masyarakat mampu menjalankan peranan dan tugas-tugas kehidupannya. Pemberdayaan harus mampu menyokong masyarakat agar tidak terjatuh ke dalam keadaan dan posisi yang semakin lemah dan terpinggirkan. (5) Pemeliharaan: memelihara kondisi yang kondusif agar tetap terjadi keseimbangan distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Pemberdayaan harus mampu menjamin keselarasan dan keseimbangan yang memungkinkan setiap orang memperoleh kesempatan berusaha.

Dubois dan Miley dalam Suharto (2006) memberi beberapa cara atau teknik yang lebih spesifik yang dapat dilakukan dalam pemberdayaan meliputi: (1) Membangun relasi pertolongan yang: (a) merefleksikan respon empati; (b) menghargai pilihan dan hak klien menentukan nasibnya sendiri (self determination); (c) menghargai perbedaan dan keunikan individu; (d) menekankan kerjasama klien (client partnerships). (2) Membangun komunikasi yang: (a) menghormati martabat dan harga diri klien; (b) mempertimbangkan keragaman individu; (c) berfokus pada klien; (d) menjaga kerahasian klien. (3) Terlibat dalam pemecahan masalah yang: (a) memperkuat pertisipasi klien dalam semua aspek proses pemecahan masalah; (b) menghargai hak-hak klien; (c) merangkai tantangan-tantangan sebagai kesempatan belajar; (d) melibatkan klien dalam pembuatan keputusan dan evaluasi. (4) Merefleksikan sikap dan nilai profesi pekerjaan sosial melalui: (a) ketaatan terhadap kode etik profesi; (b) keterlibatan dalam pengembangan profesional, riset, dan perumusan kebijakan; (c) penerjemahan kesulitan-kesulitan pribadi ke dalam isu-isu publik; (d) penghapusan segala bentuk diskriminasi dan ketidaksetaraan kesempatan.

Pendidikan Vokasional

Menurut Sumarto (2006) Pendidikan vokasional merupakan penggabungan antara teori dan praktik secara seimbang dengan orientasi pada kesiapan kerja lulusannya, pendidikan vokasional membantu peserta didik dalam mengembangkan kemampuan belajar, menyadari dan mensyukuri potensi diri untuk dikembangkan dan diamalkan, berani menghadapi problema kehidupan, serta memecahkannya secara kreatif. Pendidikan vokasional dalam konteks difabel adalah pendidikan life skill yang dapat menjamin para difabel untuk dapat melakukan pekerjaan sesuai dengan kondisi disabilitas yang disandangnya.

(12)

INTERNATIONAL SEMINAR OF SPECIAL EDUCATION |13 lingkungan. Pelaksanaan pendidikan berlangsung tidak dengan cara-cara artificial, melainkan secara alamiah atau berlangsung secara wajar, oleh sebab itu pendidikan dalam keluarga disebut pendidikan informal.

Pelaksanaan pendidikan vokasional yang berorientasi pada life skill bagi difabel dilaksanakan dalam setting pendidikan informal baik yang dilaksanakan oleh difabel untuuk difabel dan oleh lembaga terkait untuk difabel yang dijembatani oleh PERPENCA.

Syamsi (2010) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pengembangan bentuk pelatihan untuk anak berkebutuhan khusus disesuaikan dengan karakteristik anak berkebutuhan khusus dan berbentuk pelatihan kewirausahaan yang bersifat fleksibel, praktis dan ekonomis sehingga memiliki keefektifan yang tinggi dan berdaya guna bagi anak berkebutuhan khusus.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Haryanto (2010) juga menyatakan bahwa perilaku masyarakat berkubuthan khusus dalam mendapatkan kemampuan keterampilan kerja menunjukkan hasil yang optimal jika didukung oleh partisipasi masyarakat, sarana dan prasarana yang memadai, selain itu masyarakat berkebutuhan khusus secara psikologis merasa diperhatikan, dihargai, dan dapat menumbuhkan semangat hidup, berkarya dan hidup mandiri.

Metode

Jenis Penelitian

Pada penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif. Menurut Moleong (2010:5) penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan berbagai metode yang ada.

Adapun tujuan dari penelitian kualitatif menurut Yuswan di dalam Bungin (2001:147) bertujuan agar dapat mendeskripsikan secara lebih rinci, lebih jelas dan lebih akurat. Jadi yang dihasilkan oleh penelitian ini adalah data deskriptif yang berisi tentang gejala-gejala sosial, fakta-fakta sosial lalu makna dari fakta-fakta yang ditemukan saat penelitian. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, penelitian ini diharapkan mampu mendeskripsikan tentang keadaan yang sebenarnya (naturalistik) dilapangan. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian studi deskriptif, Menurut Hamidi (2010), Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang bertujuan menyajikan informasi secara sangat tepat dan teliti (accurately and precisely) tentang karakteristik yang sangat luas populasi.

Dengan penelitian ini diharapkan peneliti mampu menggambarkan keadaan yang sebenarnya (naturalistik) di lapangan. Yang menjadi objek dalam penelitian deskriptif ini adalah suatu pola pemberdayaan yang dilakukan oleh pengurus perpenca untuk anggota,. Dalam penelitian ini, data-data kuantitatif masih diperlukan, tapi ini sekedar untuk pelengkap.

(13)

14 | PROCEEDING Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti mengambil lokasi penelitian di Sekretariat Perpenca (Persatuan Penyandang Cacat) Jember, Dinas Sosial, Rumah Pengurus PERPENCA, dan Rumah difabel mantan peserta pelatihan.

Data, Sumber Data, dan Narasumber

Terdapat dua kelompok data dalam penelitian ini, yaitu data utama dan data pendukung. Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan atau peristiwa. Data tersebut dipeoleh dari informan yaitu orang-orang yang terlibat langsung dalam kegiatan sebagai subjek penelitian. Data pendukung berasal dari dokumen-dokumen yang ada di PERPENCA Jember.

Adapun narasumber dalam penelitian ini adalah: a). Kepala Perpenca Jember, sebagai pimpinan organisasi b). Sekretaris c). Bendahara d). Seksi Humas, e). Seksi Pendidikan dan Pelatihan, f) penyandang difabel mantan peserta pelatihan dari tunadaksa, g) penyandang difabel mantan peserta pelatihan dari tunarungu, dan h) pegawai Dinas Sosial Kab. Jember.

Kehadiran Peneliti

Peran peneliti baik secara individu maupun dengan bantuan orang lain pada penelitian kualitatif adalah merupakan alat pengumpul data yang utama. Peneliti terjun langsung di objek penelitian untuk terlibat langsung dalam proses menggali informasi sebanyak-banyaknya dalam setiap tahap-tahap penelitian.

Metode Pengumpulan Data Wawancara (interview)

Pada penelitian ini peneliti dalam melakukan wawancara tidak terpaku pada waktu dan tempat yang ditentukan, wawancara ini dapat dilakukan di lembaga Perpenca maupun di rumah informan atau di tempat-tempat yang lain misalnya di tempat pelatihan.

Observasi

Pada metode observasi ini peneliti menggunakan observasi tak berstruktur, dimana peneliti dalam melaksanakan observasinya melakukan pengamatan secara bebas (tanpa pedoman).

Dokumentasi

Metode dokumentasi ini dilakukan guna memperoleh data sekunder yang diperlukan dengan jalan mencatat dan mempelajari data-data yang ada di Persatuan Penyandang Cacat (Perpenca), buku-buku yang berkaitan dengan judul penelitian, serta dokumen lain yang terkait.

Keabsahan Data

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik triangulasi sebagai teknik keabsahan data. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong: 2006). Triangulasi dapat dicapai dengan jalan: (a) Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara, (b) Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi, (c) Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.

Teknik Analisis Data

(14)

INTERNATIONAL SEMINAR OF SPECIAL EDUCATION |15 berupa angka-angka. Dengan demikian dalam penelitian ini peneliti menganalisis dan menggambarkan upaya-upaya yang dilakukan oleh PERPENCA dalam usaha memberdayakan penyandang cacat dengan data-data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan baik dari observasi, wawancara maupun data dokumentasi.

Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil pengumpulan data dari wawancara, observasi dan pencatatan dokumen dapat dikemukakan beberapa hasil penelitian.

Gambaran Umum PERPENCA Jember

Yayasan Lembaga Swadaya Masyarakat Persatuan Penyandang Cacat (PERPENCA) Jember berdiri pada tanggal 9 Juli 2003 dengan akta notaris nomor 02 tanggal 02 Oktober 2003 dan telah terdaftar di pengadilan negeri Jember dengan nomor: 46/Y/2003 dengan alamat sekretariat Jl. Imam Bonjol 146 Kaliwates Jember 68133. Organisasi ini memiliki 273 anggota penyandang difabel dengan kualifikasi tunadaksa sebanyak 217 orang, tunanetra sebanyak 10 orang, tunarungu sebanyak 41 orang dan tunagrahita sebanyak 5 orang yang kesemuanya membutuhkan bantuan pemberdayaan. Selain itu, organisasi ini juga memiliki 15 perwakilan kecamatan dan 4 perwakilan ketunaan.

Visi dari PERPENCA adalah (1) Kesetaraan, (2) Pemberdayaan, (3) Kemandirian, (4) Kesejahteraan bagi penyandang cacat baik untuk diri sendiri dan juga sesama. Sedangkan Misi Perpenca adalah mewujudkan kesamaan kedudukan, hak, kewajiban dan peran penyandang cacat di masyarakat dengan sarana dan upaya yang memadai, terpadu dan berkesinambungan. Adapaun tujuannya adalah: (1) Sebagai sarana untuk menjembatani antara pemerintah dengan penyandang cacat begitu juga sebaliknya. (2) Mempersatukan penyandang cacat se-Kabupaten Jember, dan (3) Sebagai forum komunikasi dan silaturahmi para penyandang cacat se-Kabupaten Jember.

Upaya Persatuan Penyandang Cacat (PERPENCA) Jember dalam Pemberdayaan Difabel

Secara garis besar, upaya Upaya Persatuan Penyandang Cacat (PERPENCA) Jember dalam pemberdayaan difabel terdiri dari dua cara yaitu: (1) perberdayaan penyandang cacat secara langsung dan (2) pemberdayaan penyandang cacat secara tidak langsung. Upaya pemberdayaan ini difokuskan pada difabel usia produktif pasca sekolah atau difabel yang tidak bersekolah.

Pemberdayaan secara langsung

Pemberdayaan secara langsung diawali dari proses pendataan langsung oleh perwakilan kecamatan yang tersebar di 15 kecamatan dengan langsung mendatangi rumah-rumah warga yang mengalami difabel atau yang memiliki anak, saudara, atau tetangga yang mengalami difabel untuk melakukan pendekatan secara individu guna mengetahui secara mendalam profil dan kemungkinan kendala-kendala yang dihadapi oleh para difabel tersebut.

(15)

16 | PROCEEDING

Masalah yang dapat ditangani langsung oleh PERPENCA pada umumnya adalah masalah yang berhubungan dengan motivasi diri baik yang bersumber dari diri penyandang difabel maupun dari lingkungan atau orang terdekat difabel yang masih memiliki persepsi negative terhadap keberadaan difabel di tengah-tengah mereka. Selain itu permasalahan yang dapat ditangani langsung oleh PERPENCA adalah permasalahan tentang kebutuhan pendidikan vokasional informal berupa pelatihan keterampilan kerja yang tidak membutuhkan biaya yang relatif besar serta PERPENCA memiliki sumber daya pelatih di bidang tersebut.

Sumber daya pelatih yang dimiliki PERPENCA adalah para difabel yang sudah bekerja mandiri dan sudah menekuni bidang keterampilan tertentu serta bersedia menjadi relawan untuk membantu memberikan pendidikan keterampilan tertentu kepada difabel lain secar suka rela. Para sumber daya ini pada umumnya berasal dari mantan peserta pelatihan yang dibina oleh Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja, dan PERPENCA sendiri yang ingin menyumbangkan ilmu dan keterampilan mereka untuk berbagi pada sesama karena terdorong oleh perasaan senasib.

Setelah memberikan pelatihan bagi difabel lainnya, para pelatih ini juga mengupayakan untuk mencarikan lapangan pekerjaan bagi difabel yang sudah dilatih oleh mereka atau merekomendasikan untuk melanjutkan ke tempat pelatihan yang dikelola oleh Dinas Sosial atau Dinas Tenaga Kerja.

Pemberdayaan secara tidak langsung

Pemberdayaan tidak langsung yang dilakukan oleh PERPENCA adalah pemberdayaan yang melibatkan instansi terkait dalam prosesnya. Proses ini diawali dari pendetaan penyandang difabel di 31 kecamatan yang ada di Kabupaten Jember yang beker jasama dengan Dinas Sosial Kabupaten Jember dan para perangkat desa dan kelurahan setempat. Sistem pendataan ini cenderung memiliki banyak kelemahan karena data yang didapat adalah data berupa angka jumlah penyandang difabel secara keseluruhan di setiap kecamatan sehingga tidak mampu memberikan gambaran secara rinci bagaimana kondisi dan kebutuhan pelatihan yang dibutuhkan oleh mereka. Data tersebut masih harus ditelusuri untuk memberikan gambaran kebutuhan pelatihan yang dibutuhkan oleh mereka, hal ini dilakukan oleh PERPENCA.

Cara yang dilakukan oleh PERPENCA adalah dengan menyebarkan angket yang berisikan profil difabel dan berbagai hal yang dibutuhkan oleh mereka dalam suatu forum pertemuan kecamatan yang biasanya diselenggarakan di kantor desa atau kantor kecamatan setempat. Di tempat tersebut, PERPENCA memberikan penjelasan dan penyuluhan kepada masyarakat dengan didampingi oleh perangkat desa atau kecamatan, tokoh masyarakat setempat, dan beberapa contoh para difabel yang sudah berhasil karena telah mengikuti program pelatihan.

Proses pemberdayaan ini lebih kompleks karena PERPENCA mengklasifikasikan kebutuhan difabel atas empat hal yaitu: (1) kebutuhan alat bantu ketunaan, (2) kebutuhan rehabilitasi, (3) kebutuhan pelatihan, dan (4) kebutuhan permodalan usaha. Setelah semua kebutuhan para difabel teridentifikasi, PERPENCA membahasnya dalam rapat rutin pengurus yang dilaksanakan setiap tiga bulan.

(16)

INTERNATIONAL SEMINAR OF SPECIAL EDUCATION |17 Kebutuhan akan rehabilitasi baik medis maupun sosial dan kebutuhan akan pelatihan dilakukan oleh PERPENCA dengan membantu para difabel untuk dikirim ke pusat-pusat rehabilitasi sosial seluruh Indonesia melalui Dinas Sosial Kabupaten Jember. Kebutuhan akan permodalan usaha bagi para difabel yang sudah memiliki keterampilan namun masih belum merintis usaha karena belum memiliki cukup modal dilakukan oleh PERPENCA dengan melibatkan Koperasi Simpan Pinjam Wanita Penyandang Difabel yang merupakan bagian dari PERPENCA. Koperasi ni memberikan pinjaman lunak tanpa agunan kepada para difabel agar dapat memulai usaha dengan bantuan dan bimbingan yang intensif dari para difabel lainnya yang sudah berpengalaman dalam bidang usaha tersebut.

Jenis Pendidikan Vokasional Informal yang Diberikan pada Difabel dan Proses Pelaksanaannya

Tidak semua jenis pendidkan vokasional informal dapat diberikan kepada para difabel, setiap pelatihan yang akan dilatihkan pada para difabel dikaji oleh PERPENCA berdasarkan kemampuan fisik para difabel, tingkat pendidikan dan ekonomi, dan keterserapan pasar. Hal ini yang menjadi penentu jenis pelatihan keterampilan yang akan dilatihkan pada para difabel.

Adapun jenis pendidikan vokasional informal yang diberikan pada difabel terbagi atas empat jenis yaitu: (1) pelatihan pijat, musik, dan komputer bicara bagi tunanetra, (2) pelatihan bordir, jahit, sablon, perbengkelan, las dan kerajinan tangan bagi tunarungu, (3) pelatihan tambal ban, pembuatan kerupuk, pembuatan tempe, pembuatan sulak, keset dan kapur tulis bagi tunagrahita (4) pelatihan jahit, bordir, disain grafis, servis elektronika, handphone, komputer, kerajinan tangan dan sablon bagi tuna daksa.

Proses pelaksanaan pendidikan vokasional informal yang dilakukan oleh PERPENCA terdiri dari empat tahap yaitu: (1) identifikasi permasalahan dan kebutuhan pelatihan difabel, (2) perencanaan, (3) pelaksanaan dan (4) evaluasi. Keseluruh tahapan siklus ini dilaksanakan dan dilaporkan oleh Ketua PERPENCA dalam musyawarah besar tahunan yang dilaksanakan setiap tahun.

Hal ini sejalan denga pendapat W.A. Friedlander dalam Herawati (2011) yang meyatakan bahwa Metode Bimbingan Sosial Masyarakat berlangsung dari proses permulaan hingga proses terakhir. Dalam hal ini terdiri dari empat tahap kegiatan, yaitu sebagai berikut: (1) Tahap penyelidikan, pada tahap ini pekerja sosial dan partisipan yang berminat menyelidiki masalah yang diusulkan dengan mengumpulkan data dan fakta yang ada dalam masyarakat dengan selengkap-lengkapnya. (2)Tahap diagnostik, pada tahap ini, selain dilaksanakan klasifikasi masalah, juga ditetapkan saluran, sumber, alat, serta pendekatan yang akan ditempuh berdasar data dan fakta yang ada. (3) Tahap perencanaan pada tahap ini semua permasalahan, aspek-aspek yang terkait, data dan fakta, serta pendapat dari berbagai pihak dipelajari dengan cermat dan hasilnya digunakan untuk menyusun rencana dan tindakan apa yang akan dilakukan dalam melaksanakan praktik pekerjaan bimbingan sosial masyarakat. (4) Tahap pelaksanaan atau tindakan, pada tahap ini, perencanaan dilaksanakan atau direalisasikan dalam tindakan. Dengan kata lain, pelaksanaan bimbingan harus dilakukan sesuai dengan perencanaan pada tahap ketiga.

(17)

18 | PROCEEDING

oleh Dins Sosial akan dilaksanakan secara mandiri oleh PERPENCA.

Setelah melakukan tahap identifikasi permasalahan dan kebutuhan pelatihan, PERPENCA melakukan tahap perencanaan. Pada tahap ini berfokus pada pelatihan yang dilaksanakan secara mandiri oleh PERPNCA. Perencanaan yang dilakukan meliputi jenis pelatihan yang akan dilatihkan, sumber daya pelatih yang akan melatih, tempat pelatihan, waktu pelaksanaan, teknis pelaksanaanya dan sumber dana.

Pelaksanaan pelatihan yang dilakukan PERPENCA tidak dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan, hal ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan kondisi di lapangan yang ada. Pelaksanaan pelatihan selain dilaksanakan di rumah masing-masing pelatih, juga sangat dimungkinkan pelatih mendatangi rumah difabel yang akan dilatih, kondisi seperti ini dikhususkan bagi para penyandang difabel berat yang meiliki tingkat mobilitas yang sangat rendah..

Setelah semua pelaksanaan pelatihan selesai dilakukan, dilakukan evaluasi untuk mengukur tingkat keterserapan pelatihan dan keberhasilan pelatihan dan pengaruhnya terhadap kemampuan keterampilan difabel guna mendukung proses kemandirian mereka dalam mencari penghidupan yang layak. Hasil dari evaluasi ini yang nantinya akan mendasari perencanaan dalam kegiatan pelatihan di tahun-tahun berikutnya.

Simpulan dan Saran Simpulan

Dari hasil temuan, pengolahan dan analisis data dalam penelitian ini, maka disimpulkan bahwa upaya Persatuan Penyandang Cacat (PERPENCA) Jember dalam pemberdayaan difabel terdiri dari dua cara yaitu: (1) perberdayaan penyandang cacat secara langsung dan (2) pemberdayaan penyandang cacat secara tidak langsung. Pemberdayaan secara langsung adalah pemberdayaan yang dilakukan oleh para difabel yang sudah bekerja mandiri dan sudah menekuni bidang keterampilan tertentu kepada difabel yang masih belum memiliki keterampilan life skill berupa pemberian motivasi psikologis kepada para difabel dan lingkungan sekitarnya serta dilanjutkan dengan pemberian pelatihan kerja, sedangkan pemberdayaan tidak langsung yang dilakukan oleh PERPENCA adalah pemberdayaan yang melibatkan instansi terkait dalam prosesnya. Adapun kebutuhan difabel yang diajukan oleh PERPENCA kepada kepada dinas-dinas terkait yaitu: (1) kebutuhan alat bantu ketunaan, (2) kebutuhan rehabilitasi, (3) kebutuhan pelatihan, dan (4) kebutuhan permodalan usaha. Jenis pendidikan vokasional informal yang diberikan pada difabel disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik difabel yang terdiri atas empat jenis yaitu pelatihan bagi tunanetra, tunarungu, tunagrahita dan tunadaksa dengan empat tahapan yaitu: (1) identifikasi permasalahan dan kebutuhan pelatihan difabel, (2) perencanaan, (3) pelaksanaan dan (4) evaluasi. Kesemua proses itu dibahas dan didiskusikan dalam forum rapat rutin tiga bulanan dan dipertanggung jawabkan dalam musyawarah tahunan.

Saran

(18)

INTERNATIONAL SEMINAR OF SPECIAL EDUCATION |19 agar melakukan penelitian dan pengkajian lebih mendalam lagi terkait dengan upaya pemberdayaan difabel baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun instansi terkait.

Pustaka Acuan

Adi, Isbandi Rukminto. 2003. Pemberdayaan Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

BPS. 2010. Sensus Penduduk Tahun 2010. (online), dalam (http://sp2010.bps.go.id/ index.php/site?id=3509000000&wilayah=Jember) diakses pada tanggal 12 Desember 2012

Bungin, B. 2001. Analisis Data Penelitian Kualitatif. PT Rajagrafindo Persada: Jakarta. Haryanto. 2010. Pendidikan Keterampilan Kerja Bagi Warga Berkebutuhan Khusus

Melalui Pelayanan Keliling di Pedesaan. Jurnal Pendidikan & Kebudayaan. 16 (1): 104-115

Hermawati, Istiana. 2011. Metode dan Teknik Dalam Praktik Pekerjaan Sosial. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa

Hirvonen, Maija .2010. From Vocational Training To Open Learning Environments: Vocational Special Needs Education During Change. Journal of Research in Special Educational Needs. 11 (2). (online), dalam (http://onlinelibrary.wiley. com/doi/10.1111/j.1471-3802.2010.01159.x/abstract) diakses pada tanggal 3 Januari 2013

Moleong J. Lexy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif: Edisi Revisi. Bandung; PT. Remaja Rosdakarya

______________. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Mynatt , dkk. 2011. Preparing Students With Disabilities for Their Future Careers. American Counseling Association Conference, March 25-27, 2011, New Orleans, LA. (online), dalam (http://counselingoutfitters.com/vistas/vistas11 /Article_08.pdf) diakses pada tanggal 3 Januari 2013

Spichtinger, dkk . 2013. Prevocational Training Situation of Young People with Special Educational Needs (SEN) In Germany. Social Welfare Interdisciplinary Approach 3 (1). (online), dalam (http://www.su.lt/bylos/mokslo_leidiniai/Social_ Welfare/3013_3_1/spichtinger_valaike.pdf) diakses pada tanggal 3 Januari 2013

Suharto, Edi. 2006. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung: PT Refika Aditama

Sumarto. 2006. Pendidikan Berkelanjutan Dalam Bidang Vokasi. Seminar Internasional: Peran LPTK Dalam Pengembangan Pendidikan Vokasi di Indonesia (online), dalam (http://download.portalgaruda.org/article.php? article=22642&val=1364&title) diakses pada tanggal 3 Januari 2013

Syamsi, Ibnu. 2010. Membuka Peluang Berwirausaha Untuk Pemberdayaan Anak Berkebutuhan. Jurnal Pendidikan & Kebudayaan. 16 (1): 90-103

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) (online), dalam (http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu2011_19.pdf) diakses pada tanggal 3 Januari 2013

(19)
(20)

Referensi

Dokumen terkait

Perkembangan tersebut juga didukung oleh kemampuan sumber daya manusia yang semakin baik, Keylogger merupakan sebuah tool yang paling berkembang dikarenakan aplikasi

Dari 18 rumah yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian Rahayu (Rahayu, 2010) dan pengamatan 6 rumah yang di observasi yang terletak di Dusun Lakah, dapat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw (KTJ) dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa

Oleh karena itu, penulis akan melakukan penelitian dan kajian secara mendalam serta menyeluruh terhadap pengaruh penggunaan metode Yanbu’a terhadap kemampuan baca

Bantuan Sosial untuk Penyandang Cacat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa uang dengan ketentuan sebagai berikut :. Penyandang Cacat Berat termasuk Penyandang Cacat

Kerajaan Thai yang lebih sering disebut Thailand dalam bahasa Inggris, atau dalam bahasa aslinya Mueang Thai (dibaca: "meng-thai", sama dengan versi Inggrisnya,

Awak kapal level III (elite crew) adalah level dimana seorang anggota Maritime Challenge yang memiliki kualifikasi anggota level II dan telah terpilih melalui seleksi ketat

1. Secara keseluruhan siswa yang menjadi perhatian dalam penelitian ini berjumlah 12 orang, terdiri dari 6 orang.. siswa laki-laki dan 6 orang siswa perempuan,