• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGELOLAAN TRADISI LISAN SEBAGAI WARISA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGELOLAAN TRADISI LISAN SEBAGAI WARISA"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

PENGELOLAAN TRADISI LISAN SEBAGAI WARISAN

BUDAYA

Dalam berbagai kesempatan, baik yang dikemukakan secara formal maupun yang dihasilkan dari penelitian-penelitian Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) sejak tahun 1993 , telah dinyatakan berulang kali bahwa tradisi lisan sebagai kekuatan kultural penting untuk dikembangkan dalam upaya menempatkannya sebagai (1) salah satu sumber

pengetahuan untuk kajian kebudayaan dan kemasyarakatan dan (2) sumber penting pembentukan karakter bangsa. Kesadaran akan

pentingnya tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan mulai terasa ketika dalam banyak hal sumber-sumber pengetahuan modern yang diperoleh dari sumber-sumber tertulis tidak memberi jawaban terhadap

permasalahan yang dihadapi, misalnya fenomena-fenomena yang berkaitan dengan lingkungan hidup, fenomena alam yang berkaitan dengan bencana, dan krisis identitas dan multi dimensional di banyak daerah. Tragisnya , para penutur dan komunitas tradisi lisan semakin berkurang akibat proses pewarisan tidak berjalan dengan sesuai dengan yang diharapkan, sementara perubahan kebudayaan berjalan dengan cepat. Kehilangan atau kematian seorang penutur tradisi boleh disamakan sebagai kehilangan sebuah ensiklopedi komunitas tertentu. Kalau kita sepakat bahwa tradisi lisan adalah juga bahasa dan sastra yang

terkandung di dalamnya, maka membicarakannya adalah juga

membicarakan masalah yang dihadapi oleh bahasa dan sastra daerah bersangkutan. Permasalahan utama berkaitan dengan isu ini adalah bagaimanakah pengelolaan tradisi lisan yang sama artinya dengan pengelolaan sastra dan bahasa daerah harus dilakukan agar dapat memenuhi harapan yang diidealkan dalam upaya pelindungan, pengembangan, dan pembinaan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang dan Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengannya atau menurut kriteria pengelolaan yang telah dibuat ATL setelah

(2)

sampai dengan tahun 2010 yaitu pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan.

Dalam melaksanakan program pengelolaan tersebut tampak bahwa peran pemerintah dan masyarakat sepantasnya diwujudkan bersama dalam program nyata. Kita sudah dapat memastikan bahwa tradisi tidak dapat hidup tanpa komunitasnya dan begitu juga sebaliknya; komunitas masyarakat tanpa tradisi akan kehilangan rohnya. Peran

masyarakat menjadi kata kunci dalam pengelolaan bersama dengan peran pemerintah.

Peran masyarakat yang dimaksudkan di sini adalah bagaimana negara dan atau pemerintah menempatkan masyarakat sebagai mitra atau bagaimana masyarakat diperlakukan sebagai mitra kerja

pemerintah. Pengelolaan kemitraan berbasis masyarakat berarti

melibatkan potensi masyarakat dan memberi tempat yang signifkan pada aktivitas mereka. Sejalan dengan makin menguatnya peran negara beberapa waktu yang lampau, potensi masyarakat pernah dianggap sebagai ancaman. Akibatnya, secara umum terjadi kevakuman atau ketidakpedulian masyarakat luas , khususnya akan hal-hal yang berkaitan dengan budaya. Situasi dan paradigma pembangunan yang pernah

berjalan yang menekankan pada pentingnya pembangunan ekonomi mengatasi yang lain amat berperan dalam membentuk ketidakpedulian dan sekaligus ketidaktahuan masyarakat akan berbagai hal yang

bersangkut paut dengan budaya dan peran utamanya sebagai salah satu sumber pembentukan identitas kemanusiaan dan salah satu media efektif dalam penyampaian nilai-nilai.

(3)

daripada yang dikelola negara. Bali, dengan kesuksesannya

mempromosikan pantai Kuta dan budayanya adalah contoh lain yang memperlihatkan peran swasta (asing) jauh lebih kuat daripada peran pemerintah. Contoh terakhir dari perkembangan Bali yang juga

memperlihatkan betapa kuatnya peran swasta adalah Bali Safari dengan pentas Bali Agung-nya yang telah membuktikan budaya sebagai aset yang potensial untuk industri kreatif. Banyak contoh lain dapat

disebutkan untuk memperlihatkan peran nyata berbagai lembaga swasta di bidang budaya dengan berbagai kekhususan dan kekhasannya dalam melakukan berbagai hal yang berkaitan dengan pengembangan,

pengelolaan, penelitian,pelatihan, pendampingan, dan sebagainya. Lembaga swasta ini melakukan aktivitasnya justru lebih banyak dengan bantuan pihak swasta atau pemerintah asing dan atau dengan bantuan anggota lembaga itu sendiri. Kemitraan berbasis masyarakat didasarkan tidak hanya pada hak dan kewajiban masyarakat untuk turut mengembangkan kebudayaan nasional, dan tentu juga kebudayaan daerah, tetapi juga pada kenyataan fsik bahwa sumber-sumber budaya memang berasal dan berada dalam pengelolaan masyarakat/komunitas pemilik atau pendukung budaya yang bersangkutan. Masyarakat

tempatan pemilik budaya juga yang paling mengetahui bagaimana

pengelolaan tersebut dapat dilaksanakan dan sejauh mana mereka masih membutuhkannya. Masyarakat juga memiliki kekhasan masing-masing dalam memberi tanggapan terhadap lingkungan alam dan kehidupannya yang berbeda-beda tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan sekaligus juga mereka memberi tanggapan terhadap setiap perubahan yang datang. Di lain pihak, perubahan itu sendiri dan konteks sosial yang terbentuk dari tanggapan masyarakat terhadap alam dan kehidupannya mempengaruhi pembentukan kebudayaan Indoneia.

(4)

segala konsekuensinya, pemerintah harus berupaya membuka akses kemitraan dengan pihak masyarakat. Dalam membangun kemitraan ini perlu dikembangkan sikap saling terbuka dan relasi yang terbentuk adalah pemahaman untuk bekerja sama dalam posisi saling memberi. Di samping itu, peran pemerintah diperlukan dalam menciptakan berbagai kebijakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat luas, khususnya pihak pelaku industri/pengusaha. Secara bertahap hendaknya peran pemerintah dan pengusaha/pemilik industri dapat ditingkatkan dan mengatasi peran lembaga asing dalam mendukung peran masyarakat memajukan kebudayaan.

Dengan fungsi dan perannya yang begitu penting, keberadaan tradisi harus dikelola dengan amat baik dan bertanggung jawab dengan memperhatikan sebab-sebab terjadinya perubahan dan kepunahan

tersebut. Pengaruh negatif dari globalisasi, kehebatan teknologi informasi dan industrialisasi sangat berperan. Selain itu, belum adanya program pengelolaan yang melibatkan juga penghargaan yang tetap dan

berkelanjutan pada para penutur dan pemilik tradisi dan proses pewarisan yang belum berjalan sesuai dengan kondisi masa kini juga merupakan penyebab makin menghilangnya warisan budaya tersebut , baik sebagai

living tradition maupun sebagai memory tradition.

Upaya untuk menjaga warisan budaya seperti diungkapkan di atas muncul di berbagai negara dan dilakukan oleh berbagai lembaga yang kompeten seperti UNESCO dengan berbagai program seperti “World Heritage”, “Memory of The World”, dan membuat konvensi perlindungan budaya (Convention of Safeguarding Intangiable Cultural Heritage, 2004) yang diratifkasi berbagai negara anggotanya, termasuk Indonesia dengan SK Presiden pada tahun 2008 yang lalu.

Pertanyaan menarik yang dapat diajukan adalah apakah yang memotivasi gerakan tersebut dan berkembangnya pemahaman peran penting warisan budaya dalam identitas kultural tamadun suatu bangsa. Tidaklah berlebihan bila dikatakan faktor utama yang mendorong

(5)

termasuk membangun perekonomian suatu bangsa (lih.Huntington, 2007). Mereka bertolak dari kenyataan bahwa pembangunan ekonomi selama ini terbukti tidak dapat memperbaiki kualitas hidup manusia

secara ideal dan bahkan membuat masyarakat jadi amat tergantung pada birokrasi sentralistik yang memiliki berbagai fasilitas dan akses. Selain itu, perubahan dari budaya agraris ke budaya industri dan budaya pasca-industri telah menyebabkan perubahan dalam tata kehidupan

masyarakat, termasuk masyarakat Indonesia. Secara sistematis dan terstruktur, pendekatan ekonometrik yang sangat sentralistik (khususnya di Indonesia) telah meniadakan potensi lokal untuk memperlihatkan kekuatan dan sekaligus keunggulan komparatifnya. Dengan menaruh harapan bahwa nilai-nilai budaya yang dikembangkan untuk membangun ekonomi kerakyatan dapat menciptakan kemakmuran yang adil dan merata, khususnya dalam meningkatkan daya saing tempatan, berbagai program penanganan warisan budaya kemudian ditingkatkan.

Pokok-pokok pemikiran di atas, menjadi titik tolak untuk melihat berbagai fakta, proyeksi maupun strategi yang dapat dilakukan dalam upaya pengelolaan dan pengembangan potensi intangiable

cultural heritage di Indonesia. Perlu ada upaya pengembangan potensi,

penyusunan langkah-langkah perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan warisan budaya ICH, dan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) untuk kesejahteraan masyarakat.

Perlu sekali untuk membangun sebuah paradigma yang melihat tradisi sebagai sebuah kekuatan yang dengan itu sebagian masyarakat kita mampu berdialog secara baik dengan kekuatan-kekuatan lain

termasuk kekuatan hegemonidan kekuatan di luar dirinya. Paradigma ini terbangun dari suatu pandangan bahwa tradisi merupakan perwujudan kegiatan sosial budaya sebuah komunitas.

Paradigma berikutnya muncul juga dari kesadaran akan pentingnya tradisi sebagai sumber ilmu pengetahuan yang memperlihatkan keunikan-keunikan lokal yang dihadapi dewasa ini. Para pewaris tradisi dan

(6)

muncul tawaran yang amat membantu mereka menyelesaikan permasalahan kongkrit sehari-hari yang dihadapinya, pewarisan tradisi berubah atau bergeser menjadi komoditas industri. Sesuai dengan kondisi yang dipaparkan di atas, tradisi beraai dalam 3 kondisi, yaitu yang terancam punah, yang berubah atau dalam bentuk

transformasinya, dan yang dapat dikembangkan untuk berbagai

kepentingan positif (pendidikan, industri kreatif, pariwisata, dan sumber berbagai pengetahuan). Pengelolaan tradisi dilakukan dengan 3 tahapan yang satu sama lain dapat saling melengkapi atau berdiri sendiri,

tergantung pada kondisi bersangkutan. Tahapan awal, yaitu Perlindungan yang akan mencakupi kegiatan inventarisasi, klasifkasi, pemetaan,

dokumentasi, dan pendaftaran/registrasi secara lokal, nasional, regional, dan internasional. Tahap kedua merupakan kegiatan Pemeliharaan atau

Perawatan yang meliputi kegiatan dokumentasi,pendeskripsian,

pementasan, dan pengkajian. Tahap terakhir, yaitu kegiatan Revitalisasi yang hanya dapat dilakukan dengan persyaratan khusus, yaitu sepanjang masyarakat pemilik masih menginginkannya, maka berarti juga masih berfungsi bagi mereka. Dapat dikatakan tradisi tersebut mempunyai daya hidup yang lebih panjang dan lebih luas wilayah publiknya dan

dimungkinkan tidak saja menjadi warisan budaya komunitas lokalnya, tetapi menjadi warisan budaya bangsa dan antarbangsa.

(Tulisan ini diramu dari tulisan terdahulu yang menjadi pengantar salah satu bagian dalam Naskah Akademik RUU Kebudayaan dan materi usulan pengelolaan warisan budaya antarbangsa)

Pudentia MPSS

Referensi

Dokumen terkait

Namun kesejarahan tradisi lisan barulah sebagian dari isi tradisi lisan itu sendiri, karena banyaknya peristiwa keseharian, nilai-nilai moral, keagamaan,

Objek yang diteliti adalah tradisi lisan marosong-osong adat Angkola, dengan pendekatan tradisi lisan akan diperoleh nilai-nilai tuturan marosong-osong dalam

Nilai-nilai Kultural dalam Lirik Lagu ″Banyuwangen″: Kajian Tradisi Lisan; Indri Wahyu Lestari; 2013: 114 halaman; Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra

Sibarani 2012:11 menyatakan bahwa tradisi lisan tidak hanya mencakup kelisanan, seperti tuturan yang kemudian dikategorikan dalam bentuk tulisan, tetapi juga bentuk dan pola kelisanan

Berdasar paparan di atas, dapat dinyatakan bahwa meskipun secara konseptual bahasa lisan tidak sama dengan tradisi lisan, dalam kajian bahasa yang tidak memiliki sistem

MARHATA-HATA: SASTRA LISAN PADA TRADISI MULAK ARI DI NAGARI RABI JONGGOR KECAMATAN GUNUNG TULEH KABUPATEN PASAMAN BARAT PROVINSI SUMATERA BARAT Oleh: , , 1 Mahasiswa STKIP

Pendahuluan Tradisi lisan sebagai bagian budaya lisan dan adat lisan adalah pesan atau kesaksian yang disampaikan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya secara

2 Manfaat Praktis: a bagi siswa dapat digunakan dalam pembelajaran sastra bermuatan kearifan lokal, sehingga menambah wawasan siswa untuk memahami tradisi lisan yang terdapat di