• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi Lisan Marosong-Osong Pada Upacara Perkawinan Adat Angkola

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tradisi Lisan Marosong-Osong Pada Upacara Perkawinan Adat Angkola"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEP

2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Tradisi Lisan

Tradisi lisan adalah kegiatan budaya tradisional suatu komunitas yang diwariskan secara turun-temurun dengan media lisan dari satu generasi ke generasi lain baik tradisi itu berupa susunan kata-kata lisan (verbal) maupun tradisi lisan yang bukan lisan (non-verbal). Oral Traditions are the community‟s traditionally cultural activities inherited orally from one generation to the other generation, either the tradition is

verbal or non-verbal (Sibarani, 2012: 47)

Menurut Koentjaraningrat (1997:9) tradisi merupakan suatu kebiasaan masyarakat yang secara historis keberadaannya dan keberlangsungannya bersifat turun temurun. Tradisi masyarakat dapat berupa adat atau budaya masyarakat setempat. Tradisi budaya merupakan berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara turun temurun yang dijalankan oleh masyarakat dan menjadi kebiasaan yang bersifat rutin. Inilah yang menjadi tradisi lisan.

(2)

komunitas tradisi lisan semakin berkurang. Hal ini akibat proses pewarisan secara alamiah tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sementara perubahan kebudayaan berjalan dengan cepat. Dihadapkan pada kenyataan ini, satu-satunya yang penting dalam upaya menjaga tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan pada masa sekarang dan yang akan datang adalah perubahan dalam sistem pewarisannya.

Tradisi lisan menurut Lord (2000:1) adalah sesuatu yang dituturkan dalam masyarakat. Batasan tradisi lisan ini memberikan isyarat dalam menyampaikan tradisi lisan unsur melisankan bagi penutur dan dan unsur mendengarkan bagi penerima menjadi kata kuncinya. Si penutur tidak menuliskan apa yang dituturkan dan penerima tidak membaca apa yang diterima. Menurut Pudentia (2009:59) tradisi lisan diartikan sebagai sesuatu hal yang ditransmisikan melalui tuturan meliputi yang beraksara dan tak beraksara. Tradisi lisan tidak hanya terdiri dari cerita rakyat (folklore) maupun berbagai jenis cerita lainnya, tetapi juga berbagai hal yang yang menyangkut sistem pengetahuan lokal, sistem genelogi, sejarah, hukum, lingkungan, alam semesta, adat-istiadat, tekstil, obat-obatan, religi, kepercayaan, nilai-nilai moral, bahasa seni dan sebagainya. Tradisi lisan haruslah membicarakan konteks masyarakat sebagai penghasil tradisi yang bersangkutan dan masyarakat sebagai penikmatnya.

(3)

tersebut disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi dan selanjutnya dilakukan oleh masyarakat setempat menjadi sebuah tradisi.

Salah satu warisan budaya yang amat berharga dan penting dalam pembentukan identitas dan karakter bangsa adalah Intangible Cultural Heritage (ICH). UNESCO dalam konvensi tanggal 16 Oktober 2003 menyebutkan salah satu unsur penting dalam ICH adalah tradisi lisan.

Roger Tol dan Pudentia (dalam Hoed, 2008:184), mengemukakan, “...oral traditions do not only contain folktales, myths, and legends (...), but store complete

indigeneous cognate system. To name a few: histories, legal practices, adat

lamedication...” (“...tradisi lisan tidak hanya berisikan pada cerita rakyat, mite, dan

legenda saja, melainkan berupa sistem kognasi kekerabatan lengkap misalnya seluruh sejarah hukum adat, praktik hukum, dan pengobatan tradisional...”).

Pendapat yang menjelaskan bahwa tradisi lisan memiliki cakupan yang sangat luas untuk didiskusikan, seperti yang diungkapkan oleh Sibarani (2012: 43-46) ada beberapa ciri-ciri tradisi lisan sebagai berikut;

1) Merupakan kegiatan budaya, kebiasaan atau kebudayaan berbentuk lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan; 2) Memiliki kegiatan atau peristiwa sebagai konteks penggunaannya; 3) Dapat diamati dan ditonton; 4) Bersifat tradisional. Ciri tradisional ini menyiratkan bahwa tradisi lisan harus mengandung unsur warisan etnik, baik murni bersifat etnis maupun kreasi baru yang ada unsur etnisnya; 5) Diwariskan secara turun temurun. Tradisi lisan itu diwariskan dari satu generasi ke generasi lain; 6) Proses penyampaian “dari mulut ke telinga”. Tradisi yang disampaikan, diajarkan, disosialisasikan, dan diwariskan secara lisan disebut tradisi lisan; 7) Mengandung nilai-nilai dan norma-norma budaya; 8) Memiliki versi-versi. Sebagai tradisi yang disampaikan secara lisan, sebuah tradisi lisan berpotensi memiliki bentuk-bentuk yang berbeda yang disebut dengan variasi atau versi; 9) Milik bersama komunitas tertentu; 10) Berpotensi direvitalisasi dan diangkat sebagai sumber industri budaya.

(4)

Tradisi lisan itu sendiri dapat dilihat sebagai kebudayaan yang diciptakan kembali (invented culture) untuk dimanfaatkan, dikembangkan, dan direvitalisasi, atau sebagai suatu bentuk kebudayaan yang karena suatu alasan tertentu perlu dijaga dari kepunahannya. Menggali dan mengembangkan potensi tradisi lisan, termasuk perlindungan kekayaan intelektual budaya Indonesia, melalui penelitian yang terstruktur dan berkelanjutan. Karena, sumber utama kajian adalah penutur, pembawa, atau nara sumber pemilik tradisi lisan yang diteliti yang meliputi pula masyarakat pemilik atau pendukung yang berkaitan. Di samping tradisi dan nara sumber utamanya yang masih hidup atau merupakan living traditions, ingatan kolektif yang tersimpan dalam masyarakat dan tradisi tersebut (memory traditions) juga dimasukkan dalam kategori ini.

Tradisi lisan sebagai produk budaya dan masyarakat penghasilnya tidak dapat dipisahkan. Keduanya sangat tergantung satu sama lain. Tanpa masyarakat pendukungnya, tradisi tidak akan pernah dapat dihadirkan apalagi diteruskan; sebaliknya, tanpa tradisi, masyarakat pemiliknya akan kehilangan identitas kemanusiaannya dan kehilangan banyak hal penting, khususnya pengetahuan tradisional, kearifan lokal, dan nilai-nilai yang pernah menghidupi komunitas tersebut

(5)

Pada upacara adat tradisi lisan marosong-osong setiap orang diposisikan sesuai dengan hubungan kekerabatanya dari posisi yang mempunyai horja sirion (upacara adat perkawinan) apakah anak boru, mora, atau kahanggi. Sehingga tak jarang sesorang yang tidak memahami posisinya pada tuturan akan berusaha meninggalkan komunitas adat tersebut.

Penegasan pentingnya memahami marosong-osong pada tradisi upacara adat Angkola sebagai warisan budaya, disebabkan terjadinya perubahan pada masyarakat modern yang melupakan tuturan dari tradisi yang mengandung nilai-nilai filosofis, budaya, kekerabatan, norma-norma, nilai-nilai didaktis, tenggang rasa, dan nilai-nilai estetis serta nilai-nilai lainnya.

Hal ini menurut Fortes dalam Tilaar, dari pewarisan budaya ada variabel-variabel yang perlu dicermati, yakni: unsur-unsur yang ditransmisikan/ diwariskan, proses pewarisan, dan cara pewarisannya. Dalam hal ini unsur-unsur yang diwariskan adalah nilai-nilai budaya, tradisi-tradisi masyarakat, dan pandangan-pandangan hidup masyarakat yang mengandung kearifan, kebenaran esensial, dan ide (2000: 54-55). Pengetahuan tradisional atau Indigenous Knowledge (IK) memungkinkan masyarakat pemilik dan atau pendukung sebagai kearifan lokal atau local wisdom dan berusaha untuk memahami tradisi lisan.

(6)

Realitas di masyarakat, para penutur marosong-osong dan komunitas pengguna tradisi marosong-osong semakin berkurang. Hal ini akibat proses pewarisan secara alamiah tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sementara perubahan kebudayaan berjalan dengan cepat. Sebab, dengan tidak dikuasai lagi tradisi marosong-osong oleh penutur yang berakibat pada hilangnya tradisi marosong-osong padahal

sejatinya pemahaman nilai-nilai kearifan tradisi marosong-osong harusnya tetap terjaga dengan baik.

2.1.2 Antropolinguistik

Hubungan bahasa dengan kebudayaan erat sekali, bahasa adalah bagian kebudayaan. Keduanya saling mempengaruhi, saling mengisi, dan berjalan berdampingan. Oleh karena itu, yang mendasari hubungan bahasa dengan kebudayaan dan kebudayaan dapat dipelajari melalui bahasa. karena bahasa mencakup hampir semua aktifitas manusia. karena bahasa mencakup hampir semua aktifitas manusia. Hingga akhirnya linguistik memperlihatkan adanya pergerakan menuju kajian yang bersifat multidisiplin, salah satunya adalah antropologi linguistik.

Antropologi linguistik biasa juga disebut etnolinguistik menelaah bukan hanya dari strukturnya semata tapi lebih pada fungsi dan pemakaiannya dalam konteks Ideologi, situasi, sosial, dan budaya. Hingga akhirnya linguistik memperlihatkan adanya pergerakan menuju kajian yang bersifat multidisiplin, salah satunya adalah antropologi linguistik. Antropologi linguistik biasa juga menelaah bukan hanya dari strukturnya semata tapi lebih pada fungsi dan pemakaiannya dalam konteks situasi sosial budaya.

(7)

kebudayaan yang “menciptakan” manusia sesuai dengan lingkungannya. Dengan

demikian terjalin hubungan timbal balik yang sangat erat dan padu antara manusia dan kebudayaan. Istilah Antropolinguistik sering dibedakan dengan linguistik antropologi. Yang pertama lebih menekankan pemahaman antropologi dibanding linguistik, sementara yang kedua lebih menitikberatkan linguistik daripada antropologi.

Kajian antropologi linguistik antara lain menelaah struktur dan hubungan kekeluargaan melalui istilah kekerabatan, konsep warna, pola pengasuhan anak, atau menelaah bagaimana anggota masyarakat saling berkomunikasi pada situasi tertentu seperti pada upacara adat, lalu menghubungkannya dengan konsep kebudayaannya. Melalui pendekatan antropologi linguistik, kita mencermati apa yang dilakukan orang dengan bahasa dan ujaran-ujaran yang diproduksi, diam, dan gesture dihubungkan dengan konteks pemunculannya (Duranti, 2001:1). Dapat dikatakan pendekatannya melalui performance, indexcality, dan participation.

(8)

konteks budayanya, dan bagaimana bahasa masyarakat dahulu sesuai dengan perkembangan budayanya. (Robert Sibarani, 2004:50).

Antropological linguistics is that sub-field of linguistics which is concern with the place of language in its wider social and cultural context, its role in forging and sustaining cultural practices and social structures. As such, it may be seen to overlap with another sub-field with a similar domain, sociolinguistics, and in practice this may indeed be so. (Foley, 2003:3)

Foley‟s (1997:3) mendefenisikan linguistik antropologi sebagai sub disiplin linguistik yang berkaitan dengan tempat bahasa dalam konteks budaya maupun sosial yang memiliki peran menyokong dan menempa praktek-praktek kultural dan struktur sosial.

Antropolinguistik memandang bahasa sebagai prisma atau inti dari konsep antropologi budaya untuk mencari makna dibalik penggunaan, ketimpangan penggunaan maupun tanpa menggunakan bahasa dalam bentuk register dan gaya yang berbeda. Dengan kata lain, Antropolinguistik memuat interpretasi bahasa untuk menemukan pemahaman kultural.

Antropological linguistics views language through the prism of the core anthropological concept, culture, and such, seeks to uncover the meaning behind the use, misuse, or non-use of language, its different forms, registers and style. It is an interpretive discipline peeling away at language to find cultural understandings. ( Foley 1997:3)

(9)

Dengan mendengar istilah antropolinguistik, paling sedikit ada tiga relasi penting yang perlu diperhatikan. Pertama, hubungan antara satu bahasa dengan satu budaya yang bersangkutan. Yang berarti bahwa ketika mempelajari suatu budaya, kita juga harus mempelajari bahasanya, dan ketika kita mempelajari bahasanya kita juga harus mempelajari budayanya. Kedua, hubungan bahasa dengan budaya secara umum yang berarti bahwa setiap ada satu bahasa dalam suatu masyarakat, maka ada satu budaya dalam masyarakat itu. Bahasa mengindikasikan budaya, perbedaan bahasa berarti perbedaan budaya atau sebaliknya. Ketiga, hubungan antara linguistik sebagai ilmu bahasa dengan antropologi sebagai ilmu budaya. (Sibarani, 2004:51).

(10)

dan norma sebuah tradisi lisan melalui proses interpretasi yang dikaitkan dengan konteksnya.

Sejalan dengan penelitian ini maka perlu diketahui beberapa fungsi bahasa. Penulis mengacu pada fungsi bahasa yang dikemukakan oleh teori Buhler yang disempurnakan tokoh aliran Praha, Roman Jakobson, yang dalam makalahnya berjudul “Linguistics and Poetics” (1960). Penulis mengambil salah satu fungsi sebagai pisau

analisis yakni fungsi puitik (poetic function) yang berorientasi pada pesan atau amanat yang disampaikan dalam komunikasi. Perlu diketahui pula dalam bahasa, apa yang dimaksud dengan etik dan emik yang ada hubungan nya dengan analisis lingusitik dalam antropolinguistik. Etic ialah “ a material manifestation that can be identified by any characteristic that strikes the erya”. Emic ialah “ a formal unit within a closed system” (Bolinger, 1975:520). Satuan emic adalah satuan formal dalam satu sistem tertutup. Satuan etic adalah manifestasi material yang teridentifikasi lewat ciri-ciri pemeriannya yang nampak.

Pengetahuan manusia terus berkembang dan berubah seturut dengan perjalanan waktu, maka kebudayaan juga akan memiliki perubahan yang menghasilkan keanekaragaman pemahaman. Keragaman pemahaman tersebut diakibatkan karena kedinamisan kebudayaan itu sendiri. Dengan kata lain, kedinamisan pengertian kebudayaan mengacu pada fungsi serta pemahaman dan penilaian atas kebudayaan itu sendiri berdasarkan tempat, situasi, dan kondisi dimana kebudayaan itu berlangsung. Pengertian seperti ini sering disebut dengan istilah relativisme kebudayaan.

(11)

maksud yang ada dalam bahasa dan untuk bahasa itu sendiri. Kerelativitasan bahasa ada pada penekanan kemungkinan yang terjadi karena tidak seorangpun dapat memprediksi bagaimana bahasa mengklasifikasi realitas pengalaman hidup manusia (linguistic relativism). Oleh karena itu, system koseptual bahasa berbeda satu dengan yang lain

dalam menyuarakan aspek berbeda dari realitas yang ada dengan menggunakan bahasa sebagai syarat dari refleksi pemikiran. Konsep teori konteks ditokohi oleh antropolog Inggris Bronislaw Malinowski. Ia menyatakan pentingnya menempatkan kata-kata dalam konteks keseluruhan ujaran pada situasinya (context of situation). Bagi Malinowski konteks ini adalah lingkungan fisik sebenarnya dari satu ujaran. Ia berpendapat bahwa untuk memahami ujaran harus diperhatikan konteks situasi. Berdasarkan analisis konteks situasi itu, kita dapat memecahkan aspek-aspek bermakna bahasa sehingga aspek linguistik dan aspek nonlinguistik dapat dikorelasikan. Inti dari teori konteks adalah:

a) Makna tidak terdapat pada unsur-unsur lepas yang berwujud kata, tetapi secara keseluruhan terpadu pada ujaran.

b) Makna tidak boleh ditafsirkan secara dualis ( kata dan acuan) atau secara trialis (kata, acuan, tafsiran), tetapi makna merupakan satu fungsi atau tugas yang terpadu dalam tutur yang dipengaruhi oleh situasi.

(12)

konteks sosial maupun kultural. Tidak dapat disangkal istilah antropolinguistik dapat saling berganti dengan sosiolinguistik dikarenakan keduanya mempunyai ranah yang sama tentang peran bahasa dalam masyarakat.

2.1.3 Teks, Konteks, dan Koteks

Sibarani dan Talhah (2015) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan teks adalah teks tertulis, teks lisan, dan teks pertunjukan. Teks tertulis adalah teks yang ditemukan dalam bentuk tulisan yang bersifat tetap karena direkam dalam tulisan. Teks lisan adalah teks yang dilisankan atau diucapkan saat pertunjukan. Teks lisan ini sangat lentur, tergantung sekali pada saat pertunjukan. Teks lisan bisa menjadi teks tertulis jika ditranskripsi ke dalam bentuk tulisan. Teks ini tidak berdiri sendiri di dalam seni tradisi, tetapi wujudnya selalu muncul dalam setiap pertunjukan.

Pertunjukan merupakan objek tontonan yang melibatkan pelaku dan penonton. Sebuah upacara ritual yang masih dianggap sakral, juga melibatkan publik yang mungkin hanya menonton atau pada saat tertentu, ikut terlibat. Oleh karenanya, peristiwa sosial semacam itu menjadi menjadi pertunjukan dan dibaca sebagai teks pertunjukan. Pada teks pertunjukan terdapat unsur verbal dan nonverbal. Unsur verbal berbentuk bahasa yang diucapkan oleh penyanyi, pemantun, dan pepantun saat kelompok kesenian cenggok-cenggok mengadakan pertunjukan.

(13)

teks itu sendiri. Koherensi internal, pola asosiatif, dan tata acuannya membentuk struktur komunikatif teks dan interaksi yang rumit antara hubungan teks yang satu dan hubungan teks yang lain itu berdasarkan asumsi budaya para penuturnya.

Koteks merupakan bagian penting dalarn memberikan pemaknaan terhadap teks tradisi lisan. Dalam tradisi lisan, sebuah teks seringkali didampingi oleh unsur-unsur nonverbal yang disebut dengan “koteks” (co-text) koteks bisa saja terdiri atas

paralinguistic (suprasegmental), kinetic (gerak isyarat), prosemic (penjagaan jarak), dan

unsur-unsur material atau benda-benda yang digunakan untuk mengana1isis tradisi lisan yang berbentuk upacara.

Konteks mempunyai peranan penting dalam pengkajian makna sebuah teks wacana. Bertalian dengan fungsinya dalam konteks, menurut Osch (1988:8), wacana merupakan seperangkat makna yang menghubungkan struktur bahasa dengan konteks yang melatarinya yang dirajut oleh penutur dan pendengar dalam proses memproduksi dan menafsirkan makna.

Dalam tradisi lisan konteks memberikan keutuhan pemaknaan sebuah tradisi. Pertunjukan tradisi lisan akan memiliki interpretasi yang berbeda apabila konteksnya berbeda. Konteks adalah segala keadaan atau kondisi yang berada di sekitar suatu tradisi lisan yang membuat tradisi itu hidup dan tercipta. Melalui konteks pemahaman terhadap keseluruhan tradisi lisan tercipta.

(14)

bersama, suatu kelompok masyarakat sebagai suatu keseluruhan yang sistematis dari prinsip-prinsip budaya, pola komunikasi antaranggota masyarakat, wujud sikap, pola perilaku lain secara bersama-sama berterima dan berlaku dalam realitas kehidupan suatu guyub budaya tertentu (Hesselgrave dan Edward, 1989:200).

Bila hanya memadakan makna dalam penerjemahan tanpa mempertimbangkan situasi komunikasi dan konteks budaya kedua bahasa tersebut, maka hasil terjemahan tidak akan optimal. Larson (1984: 3) menyatakan bahwa penerjemahan semata-mata memperhatikan ketepatan makna tetapi lebih dari itu, seorang penerjemah harus memperhatikan situasi komunikasi dan konteks budaya kedua bahasa tersebut. Dari contoh di atas, teks tidak terlepas dari konteks. Konteks itu sendiri „mengelilingil teks

atau teks itu berupa wadah untuk teks berfungsi. Konteks terdiri dari tiga lapisan yaitu konteks situasi (register), konteks budaya (genre) dan konteks ideologi.

Gambar di bawah menunjukkan bahwa unsur yang terdekat ke teks atau bahasa adalah konteks situasi dan disebut semiotik yang lebih konkret. Unsur yang lain yang paling jauh dari teks disebut semiotik yang abstrak. Berdasarkan strata kedekatan kepada teks atau bahasa, konteks sosial berurut mulai dari konteks situasi, budaya, dan ideologi. Teks tradisi budaya marosong-osong bermakna upacara tradisi budaya marosong-osong adalah bahwa anak boru memberikan bantuan kepada mora, pada

(15)

Gambar 2.1. Teks dan Konteks Sosial Martin (Saragih, 2012:34)

Martin (Saragih, 2012:34) menyatakan bahwa konteks sosial terjadi dari tiga unsur, yaitu konteks situasi, konteks budaya, dan konteks ideologi. Ketiga unsur konteks sosial tersusun di atas teks dan membentuk semiotik berstrata. Ideologi direalisasikan budaya, yang selanjutnya direalisasikan oleh situasi, yang seterusnya direalisasikan oleh semantik.

(16)

2.1.4 Semiotika

Semiotika merupakan ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang tanda-tanda, tanda-tanda tersebut mempunyai arti dan makna yang ditentukan oleh kesepakatan penggunanya. Bahasa sebagai media komunikasi memiliki struktur tanda-tanda yang bermakna. Media komunikasi yang menggunakan bahasa sebagai medium secara eksplisit memiliki sistem semiotika ketandaan. Sebagai ilmu, semiotika berfungsi untuk mengungkapkan secara ilmiah keseluruhan tanda dalam kehidupan manusia, baik tanda verbal maupun nonverbal.

Sesungguhnya semiotika berasal dari bahasa Yunani yaitu kata seme atau semeion, yang berarti penafsiran tanda. Dalam pengertian yang lebih luas, sebagai teori

semiotika, berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia. Kehidupan manusia dipenuhi oleh tanda dengan perantaraan tanda-tanda manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya sekaligus mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap bahasa bahkan dengan bahasa isyarat. Bahasa isyarat “silent language, gesture” memiliki substansi utama yaitu gerak tubuh yang memberikan isyarat bermakna “non-vocalic, non-orthographic” namun dalam tuturan bahasa adat memerlukan isyarat yang dilihat dari pengiriman isyarat “code-sender” dan penerima isyarat “code-receiver”.

(17)

Pada buku Kearifan Lokal yang ditulis Sibarani (2010:248) ada disebutkan bahwa memahami tradisi lisan secara teoretis akan dapat memberi arah dalam membongkar keseluruhan tradisi. Tanpa membongkar ketiga dimensi itu penelitian tradisi lisan hanya sebagai inventarisasi yang akan tersimpan di perpustakaan. Teori ini akan dilengkapi oleh teori pragmatis yang berusaha untuk melihat manfaat sebuah tradisi, betapapun abstraknya, mulai dari pemahaman tradisi masa lalu, mengaitkannya dengan manfaat masa kini dan proyeksi manfaat pada masa mendatang.

Untuk menguak tradisi marosong-osong yang berkaitan dengan upacara perkawinan adat Angkola, yang salah satu rangkaiannya adalah memberikan bantuan anak boru kepada mora dengan merujuk teori Semiotika yang dikembangkan Peirce.

Teori semiotik menurut Peirce dapat dikembangkan secara pragmatisme. Istilah pragmatis adalah teori makna yang menekankan hal-hal yang dapat ditangkap dan mungkin berdasarkan pengalaman subjek. (Christomy, 2004:115). Dasar pemikiran tersebut dijabarkan dalam bentuk tripihak (triadic) yakni setiap gejala secara fenemenologis mencakup (1) bagaimana sesuatu menggejala tanpa harus mengacu pada sesuatu yang lain, (2) bagaimana hubungan gejala tersebut dengan realitas di luar dirinya yang hadir dalam ruang dan waktu, dan (3) bagaimana gejala tersebut dimediasi direpresentasikan, dikomunikasikan, dan ditandai.

(18)

sesuatu yang dapat dipersepsi (perseptible), objek (O) sesuatu yang mengacu kepada hal lain (referential) dan interpretan (I) sesuatu yang dapat diinterpretasi (interpretible).

Gambar 2.2. Tiga Dimensi Tanda

Proses epistemologi atau semiosis berlangsung menurut dua tahap. Tahap pertama adalah lewat proses “logical argumentation” dalam urutan abduksi, deduksi,

dan induksi sehingga tiga tahap fenomenologi pun diterapkan pada tahap ini. Tahap kedua adalah lewat sistem triadik, yakni penjelajahan relasi antar unsur-unsur tanda secara tipologis. Dengan kata lain, tahap pertama memperhitungkan ketiga unsurnya, sedangkan tahap kedua mengkaji kaitan antar unsur secara berturut-turut dalam tipologi semiotik sebagaimana terlihat berikut :

Pengetahuan diperoleh lewat semiosis secara tidak langsung, yakni diperoleh lewat tanda-tanda. Karena pengetahuan tidak diperoleh langsung dari objek atau realistas, maka digambarkan dengan garis terputus-putus seperti terlihat di atas. Semua unsur yakni tanda (representament atau ground), objek, dan interpretant dapat ditelaah secara trikotomi. Ground ada tiga macam yaitu ikon, indeks, dan simbol,

Sehubungan dengan teori budaya yang memandang budaya sebagai sistem atau organisasi makna tersebut, memahami tradisi lisan bukan hanya memahami bentuk (struktur teks, ko-teks, dan konteks) sebagai lapisan permukaan, tetapi harus sampai

Representament (R)

Objek (O)

(19)

pada isi (makna dan fungsi, nilai dan norma budaya serta kearifan lokal) ke lapisan paling dalam (tacit knowledge). Dalam uraian sebelumnya ketiga hal itu disebut dengan lapisan bentuk (teks, ko-teks, dan konteks), lapisan isi (makna dan nilai budaya), dan lapisan kearifan lokal. Lapisan bentuk itu dapat juga dinamai dengan lapisan permukaan (the surface layer), lapisan isi dinamai dengan lapisan tengah (the middle layer), sedangkan lapisan kearifan lokal dinamai dengan lapisan inti (the core layer).

. Tokoh yang dianggap sebagai pendiri semiotik adalah dua orang yang hidup sezaman, yang bekerja secara terpisah dan dalam lapangan yang tidak sama (tidak saling memengaruhi), yang seorang ahli linguistik, yaitu Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan seorang ahli filsafat yaitu, Charles Sander Peirce (1839-1914). Saussure menyebut ilmu itu dengan nama semiologi, sedang Peirce menyebutnya semiotik (semiotics).

Tanda mempunyai dua aspek, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda itu, yaitu artinya. Contohnya, kata inang “ibu” merupakan tanda berupa satuan bunyi yang menandai arti: „orang yang melahirkan kita‟. Tanda itu tidak hanya satu macam saja, tetapi ada

beberapa berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya. Jenis-jenis tanda yang utama ialah ikon, indeks, dan simbol.

Ikon adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamiah

(20)

yang menunjukkan hubungan kausal (sebab-akibat) antara penanda dan petandanya, misalnya asap menandai api, alat penanda angin menunjukkan arah angin, dan sebagainya.

Simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya, hubungannya bersifat arbitrer (manasuka). Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi. Inang “Ibu” adalah simbol, artinya ditentukan oleh konvensi masyarakat bahasa Batak (Indonesia). Orang Inggris menyebutnya mother, Perancis menyebutnya la mere, dan sebagainya. Adanya bermacam-macam tanda untuk satu arti itu menunjukkan “kesemena-menaan” tersebut. Dalam bahasa, tanda yang

paling banyak digunakan adalah simbol.

Penganalisisan tuturan marosong-osong digunakan semiotika yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure dinamakan semiotik signifikasi dan yang bersumber dari Charles Sanders Pierce, seorang filosof pragmatis dan sekaligus ahli logika Amerika, teruji dalam menganalisis produk kebudayaan baik dari analisis bahasa dan linguistik. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. 2.1.5 Upacara Adat Perkawinan

(21)

sejak dahulu kala; 2. cara (kalakuan dan sebagainya) yang sudah menjadi kebiasaan; kebiasaan. 3. wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dan lainnya berkaitan dengan suatu sistem (2001: 7). Upacara adat yaitu: upacara yang berhubungan dengan adat sesuatau masyarakat. (2001: 1250).

Ada beberapa jenis Upacara yang harus dilalui dalam pesta perkawinan adat Angkola seperti horja haroan boru „kedatangan menantu perempuan‟ Horja Siriaon; 1) Tahi Godang; 2) Manganaekkon Gondang; 3) Pajongjong Mandera; 4)

marosong-osong 5) Maralok-alok; 6) Manortor; 7) Mambaca goar; 8) Patuaekkon; 9) Mangupa;

10) dan lain-lain (Ritonga dan Azhar, 2002: 64-105)

Pelaksanaan upacara perkawinan adat Angkola menurut Lembaga Adat-Budaya Sipirok (1996: 113-132) ada beberapa alur yang harus dilakukan yaitu: 1) Martahi 2) panaek gondang, 3) Marosong-osong 4) Maralok-alok, 5) Manortor, 6) Membawa pengantin ke Tapian Raya Bangunan, 7) Mangupa, 8) Paujung Harejo.

Sejalan dengan itu proses upacara perkawinan di kenal dengan istilah horja patobang anak dan pabagas boru, peristiwa perkawinan disebut dengan haroan boru, horja boru dengan alur upacara perkawinan adat seperti: 1) Mangkobar boru, 2) Mangampar ruji, 3) horja pabuat boru, 4) manaekkon gondang, 5) marosong-osong, 6)

Maralok-alok,7) Manortor, 8) Manyambol horbo pangupa, 9) Patuaekkon, dan 10)

Mangupa. (Parsadaan Marga Harahap, 1993: 259-396)

(22)

Manortor, 8) Manyambol horbo pangupa, 9) Patuaekkon, dan 10) Mangupa. Berkaitan

dengan kenyataan yang disebutkan di atas mengundang perlunya peneliti untuk melakukan pengkajian kronologis upacara perkawinan no. 5 yaitu tuturan

marosong-osong pada upacara perkawinan adat di Angkola.

2.1.6 Marosong-osong

Marosong-osong berasal dari verba osong (Indonesia usung) yang berarti „dipikul‟ bersama. kemudian menjadi kata berulang yang berawalan dan memperoleh

perubahan huruf (vokal) „u‟ menjadi „o‟.(Perkasa Alam, 2012:30). Tuturan marosong-osong dilaksanakan dalam pesta perkawinan adat (horja na godang) dengan memotong

kerbau (manyambol horbo) yang dilaksanakan selama tiga hari tiga malam.

Dalam tuturan marosong-osong ini pihak anak boru beserta rombongan membawa dana bantuan untuk disumbangkan secara bersama-sama kepada suhut bolon (yang punya hajatan) bentuk bantuan ini dimasukkan dalam sebuah bingkisan yang bentuknya menyerupai rumah adat (sopo godang) yang dihiasi sedemikian rupa dengan berbagai macam bahan seperti: umbut kelapa, buah-buahan yang disebut gala-gala, inilah yang disebut dengan osong-osong.

(23)

Kedatangan rombongan anak boru ke rumah mora yang membawa osong-osong akan disambut suhut bolon „yang memiliki hajatan/ pesta‟ dengan gondang dan tor-tor sambil berjalan mundur menuju rumah. berbeda dengan anak boru, suhut bolon hanya akan memyambut kedatangan anak boru di pintu rumah. Kedatangan anak boru agak berbeda mora, sebab dalam rombongan pengiring anak boru ada anak-anak muda yang lengkap dengan pakaian adat pengantin yang disebut dengan si dara doli (anak lajang) putra dari anak boru yang membawa rombongan itu.

Penyambutan rombonghan ini tentunnya tuan rumah atau suhut akan mempersiapkan pula anak-anak putrinya yang disebut dengan si dara bujing (anak gadis). Rombongan si dara doli tidak boleh masuk ke rumah sebelum mengadakan berbalas pantun dan mendapat izin dari si dara bujing. Kemudian kedua kelompok muda-mudi ini akan manortor (menari adat) di halaman lengkap dengan pakaian adat masing-masing, dan inilah masa perkenalan di antara muda-mudi dari kedua belah pihak, sungguh perkenalan yang cukup bersahaja. Acara berbalas pantun menyambut osong-osong dari pihak mora/ suhut bolon yang juga berpakaian adat lengkap.

2.1.7 Dalihan Na Tolu dan Fungsinya

Dalihan Na Tolu pada masyarakat adat Angkola, Mandailing, Batak

mengandung arti tiga kelompok masyarakat yang merupakan tumpuan. Pada upacara adat lembaga dalihan na tolu ini memegang peranan yang penting dalam menetapkan keputusan-keputusan. Dalihan secara etimologi berarti ”tungku” tolu berarti ”tiga”, dalihan biasanya terbuat dari batu dengan ukuran yang sama, kalau besar dan

(24)

terdiri dari kelompok: a) Suhut dan kahangginya; b) Anak boru; c) Mora/ mora ni mora (pisang raut). Setiap orang secara pribadi memiliki 3 (tiga) dimensi dalam kedudukannya sebagai unsur Dalihan Na Tolu ataupun sebagai anggota masyarakat. Oleh sebab itulah orang Mandailing dapat menyesuaikan diri jika dibutuhkan.

Pesta perkawinan merupakan horja siriaon, dalihan na tolu berperan penting dalam menyelesaikan seluruh beban kerja yang dipikulkan ke pundak dalihan na tolu, namun demikian pada saat ini banyak orang yang kurang menyadari tugas dan fungsinya pada tataran dalihan na tolu sehingga fungsi dalihan na tolu diserahkan kepada pihak yang memiliki hajatan untuk mencari orang yang mampu menggantikan posisi dalihan na tolu sehingga tak jarang dalihan natolu diupahkan kepada orang lain. Adat Angkola di luat-laut bona bulu hingga kini dalam mendayagunakan dalihan na tolu belum maksimal disebabkan oleh pemahaman masyarakat adat akan tugas dan

fungsinya pada tuturan adat. 2.1.8 Kearifan Lokal

(25)

Oleh karena itu, kearifan lokal bisa juga dimaknai sebagai gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik dan tertanam serta diikuti oleh anggota masyarakatnya. Pengertian lain kearifan lokal sebagai usaha manusia yang menggunakan akal budi (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu, wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai „kearifan/ kebijaksanaan‟.

Jadi, kearifan lokal merupakan pandangan hidup dan pengetahuan serta strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai kebijaksanaan atau nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya lokal berupa tuturan, falsafah atau semboyan hidup,

Unsur-unsur kearifan lokal ditemukan dalam tradisi lisan upacara perkawinan adat Angkola yang sarat dengan aturan-aturan dan seremonial adat marosong-osong yang mengadung nilai-nilai kekeluargaan, nilai gotong royong, kerukunan, nilai falsafah kerukunan, nilai keikhlasan bekerja, nilai identitas dan falsafah sebagai penguat identitas,

(26)

temurun dari generasi ke generasi. Padahal, sejatinya pesan penting nilai-nilai budaya lokal perlu tereksplorasi sebagai muatan dasar pada kurikulum pendidikan yang dapat menyerap kebudayaan lokal. Sehingga nilai-nilai kearifan lokal dapat mengadopsi kekayaan nilai-nilai budaya lokal secara terencana dan berkesinambungan pada pendidikan, agar pendidikan berkarakter kultur lokal memiliki kemampuan memfilterisasi dan berkemampuan bertahan terhadap budaya luar.

Kearifan lokal selalu dijadikan pedoman atau acuan oleh masyarakat dalam bertindak atau berperilaku dalam praksis kehidupannya. Setiap masyarakat diharapkan mengembangkan kearifan lokal sesuai dengan kondisi lingkungan serta sistem pengetahuan adat istiadat yang dimilikinya. Kearifan lokal (local wisdom) merupakan bagian dari sistem budaya yang biasanya yang mengatur hubungan sosial kemasyarakatan.

Kearifan lokal adat perkawinan Angkola sebagai aset yang dimiliki suatu komunitas adat di ulayat Angkola, sehingga masyarakat adat dapat mengatur hidup bermasyarakat dari generasi ke generasi berikutnya dengan tenteram dan harmoni. Oleh sebab itu, kearifan lokal selalu dijadikan pedoman atau acuan oleh masyarakat dalam bertindak atau berperilaku dalam praksis kehidupannya.

Kearifan lokal pada tuturan marosong-osong merupakan produk budaya masa lalu yang perlu secara berkesinambungan dijadikan pegangan hidup. Kearifan lokal tuturan marosong-osong erat hubungannya dengan masyarakat, Kearifan lokal tuturan marosong-osong memiliki nilai tersendiri pada nilai-nilai yang terkandung dalam

(27)

mora, nilai-nilai kesadaran membantu dengan kesadaran yang tulus dari anak boru memiliki nilai kearifan lokal yang mencerminkan nilai budaya dalam bergotong royong, kesejahteraan, kerja keras, disiplin, pendidikan, kesehatan, gotong royong, pengelolaan gender, pelestarian dan kreativitas budaya, peduli lingkungan, kedamaian, kesopansantunan, kejujuran, kesetiakawanan sosial, kerukunan dan penyeselesaian konflik, komitmen, pikiran positif, dan rasa syukur (Sibarani 2012: 133-134).

Kearifan lokal tuturan marosong-osong merupakan modal utama masyarakat Angkola dalam membangun komunitas masyarakat adat. Kearifan lokal tuturan marosong-osong upacara perkawinan dibangun dari nilai-nilai sosial yang dijunjung

dalam struktur sosial masyarakat sendiri dan memiliki fungsi sebagai pedoman, pengontrol berperilaku dalam berbagai dimensi kehidupan baik saat berhubungan dengan sesama walaupun sekarang eksistensi kearifan lokal tuturan marosong-osong dirasakan semakin memudar pada berbagai kelompok masyarakat. Padahal secara implisit marosong-osong mengandung kearifan seperti: 1) nilai sosial 2) kesantunan berbahasa, 3) perkenalan muda-mudi, 4) menjaga struktur kelompok sosial.

2.2 Kerangka Teori

(28)

salah satu dari rangkaian upacara perkawinan adat Angkola, agar lebih jelas kerangka teori yang akan dikemukakan pada penelitian ini meliputi tahap:

a) Bagaimanakah deskripsi tradisi lisan marosong-osong pada upacara perkawinan adat Angkola?

b) Bagaimanakah bentuk teks, koteks, dan konteks tradisi lisan marosong-osong pada upacara perkawinan adat Angkola?

c) Apakah makna, fungsi, dan Kearifan pada tradisi lisan marosong-osong adat Angkola?

Berdasarkan pembahasan di atas, maka kerangka teori yang digunakan dalam penelitian yang berjudul: Tradisi lisan Marosong-osong pada Upacara Perkawinan Adat Angkola.

2.3 Kajian yang Relevan

Berdasarkan studi kepustakaan, ada beberapa penelitian yang relavan atau yang dapat dijadikan pada kajian terdahulu tentang upacara perkawianan, tradisi lisan, dan kajian lainnya berupa hasil penelitian, artikel, jurnal, buku, tesis, dan disertasi.

Penelitian sebelumnya yang ada relevansinya dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Sudu (2012), dengan judul “Tradisi Lisan Kabhanti Gambusu Pada Masyarakat Muna di Sulawesi Tenggara”. Dalam Penelitiannya Sudu berfokus pada sistem pewarisan tradisi lisan kabhanti gambusu dengan menggunakan pendekatan etnografi untuk mengungkapkan pengetahuan seorang tukang kabhanti gambusu dalam melakukan pewarisan kepada generasi muda dan perubahan sosial

(29)

penulis saat ini berfokus pada pengungkapan makna dan fungsi serta kearifan lokal tradisi lisan marosong-osong dengan menggunakan pendekatan semiotik sosial

Penelitian yang berjudul: “Representasi Tradisi Berahoi pada Masyarakat

Melayu Langkat” yang ditulis oleh Umri (2014) menguraikan seni pertunjukan tradisi berahoi pada masyarakat Melayu (Langkat Sumatera Utara) dalam upacara-upacara tradisi agraris (tajak, semai, tanam, panen) yang hidup di masa dahulu. Para seniman sebagai warga masyarakat bekerja dengan semangat berpartisipasi dalam kegiatan komunal yang diwujudkan pada bentuk seni pertunjukan berahoi (ahoi-ahoi) yang dilakukan setelah panen padi usai. Upacara ini mencerminkan ungkapan artistik budaya gotong-royong. Seni tradisi berahoi dapat dihidupkan kembali dalam festival pertunjukkan rakyat. Di dalam pemaparan dan penganalisaaan digunakan teori Hermeunika dengan pendekatan semiotika budaya dan estetika paradoks, penggunaan teori dan pendekatan yang dilakukan ini untuk mengungkapkan sikap budaya masyarakat Melayu Langkat sebagai realisasi historis dalam tradisi berahoi.

Kajian penelitian yang berjudul Marhatadalam Upacara Adat Perkawinan Batak Toba, oleh: Napitupulu (2013). Penelitian ini membahas Marhata dalam upacara adat perkawinan Batak Toba. adalah acara untuk 1) mendeskripsikan realisasi bentuk pengenalan topik-topik peristiwa tutur marhata 2) merumuskan pola gilir bicara, dan 3) merumuskan pola pasangan berdekatan. Masing-masing tujuan tersebut dilaksanakan pada 3 (tiga) situasi tutur; situasi marhusip, marpudunsaut, dan marunjuk pada upacara adat perkawinan Batak Toba.

(30)

mengandung topik, gilir bicara dan pasangan berdekatan yang sudah diverifikasi dan ditriangulasi. Data dianalisis berdasarkan isi sekuensial untuk menemukan pola yang muncul berkali-kali dengan menggunakan pendekatan analisis percakapan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) pengenalan topik baru dikenalkan dengan realisasi bentuk kalimat perintah, pertanyaan, dan pernyataan. 2) Ketiga kaidah gilir bicara dapat diaplikasikan, namun kaidah pertama lebih dominan di setiap situasi tutur. 3) Kategori rangkaian marhata acara adat Perkawinan Batak Toba bervariasi; ada yang lengkap dan ada yang tidak lengkap. Struktur yang lengkap terdiri dari urutan awal, inisiasi, sela, dan respon. Urutan percakapan yang tidak lengkap terdiri dari inisiasi/pemicu dan respon.

Hasil penelitian Amri (2011) berjudul: Tradisi Lisan pada Upacara Adat Tapanuli Selatan: Pemahaman Leksikon Remaja di Padangsidimpuan. Tesis ini

mengkaji tradisi lisan yang digunakan pada upacara adat merupakan kearifan lokal (local wisdom) karena, berfungsi mengatur sistem nilai, pengetahuan tradisional (local knowledge), hukum, pengobatan, sistem kepercayaan dan religi, begitu pula pada

upacara adat perkawinan. Realitas di masyarakat menunjukkan bahwa, para penutur dan komunitas tradisi lisan semakin berkurang .

(31)

tetapi seluruhnya memiliki objek yang berbeda. Dan pengembangan tradisi lisan yang sudah tergerus itu dapat direvitalisasi sesuai dengan ciri-ciri tradisi lisan tersebut.

Gambar

Gambar 2.1. Teks dan Konteks Sosial Martin (Saragih, 2012:34)
Gambar 2.2. Tiga Dimensi Tanda

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses upacara tradisi pasahat boru dalam perkawinan adat Angkola, menganalisis teks, konteks, dan koteks tradisi pasahat boru

Dalam etnik Angkola, salah satu acara adat terpenting dalam upacara perkawinan adalah markobar, yakni penyampaian kata-kata nasihat oleh kedua orang tua, keluarga, dan

“Komunikasi Lisan sebagai Dasar Tradisi Lisan” dalam Metodologi Kajian Tradisi Lisan Editor Pudentia.. Jakarta : Asosiasi Tradisi

Ngoni Cangkingan atau yang disebut juga dengan istilah Juluk (pemberian gelar) adalah salah satu tradisi lisan yang menjadi salah satu rangkaian adat pernikahan yang dimiliki

Namun kesejarahan tradisi lisan barulah sebagian dari isi tradisi lisan itu sendiri, karena banyaknya peristiwa keseharian, nilai-nilai moral, keagamaan,

Tradisi tersebut merupakan rangkaian upacara adat yang masih hidup dan berkembang pada etnik Melayu Panai di Labuhanbatu Sumatera Utara.. Pesatnya arus balik budaya global

Selanjutnya Hoed mengemukakan bahwa tradisi lisan mencakup seperti apa yang dikemukakan oleh Roger Tol dan Pudentia (1995:2) bahwa tradisi lisan tidak hanya mencakup cerita

Tema-tema Psikologis dalam tradisi Marosong-osong pada pasangan pernikahan pemula dalam masyarakat perantau Tapanuli Selatan di Pekanbaru.. Yogyakarta: Program Studi