BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA KONSEP
DAN KERANGKA TEORETIK
2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka penelitian terdahulu yang relevan bermanfaat bagi
penelitian, hal itu digunakan sebagai pedoman dan langkah untuk menelaah
penelitian sebelumya, sebagai bahan perbandingan untuk kajian yang sedang
diteliti. Kajian terdahulu dilakukan bertujuan agar penelitian yang sebelumnya
dengan penelitian yang sedang dikaji tidak sama hasinya. Pada sub-sub judul
kajian terdahulu akan dipaparkan beberapa penelitian terdahulu yang sejenis dan
relevan dengan topik kajian yaitu tradisi lisan/ percakapan dengan menggunakan
analisis pengkajian yang berbeda-beda, agar lebih jelas dipaparkan di bawah ini:
Kajian penelitian terdahulu yang dikemukakan oleh Asrul Siregar alumni
Universitas Indonesia (1994) dengan judul: Ujaran-ujaran pada Upacara
Mangupa horja godang Masyarakat Tapanuli Selatan: Analisis Wacana. Pada kajian ujaran-ujaran pada Upacara Mangupa horja godang Masyarakat Tapanuli
Selatan mengandung bentuk-bentuk silih yang sukar menetapkan anteseden atau
rujukannya. Ujaran-ujaran itu juga mengandung bentuk-bentuk metafora yang
selalu membutuhkan penafsiran agar sampai kepada apa yang dimaksudkan
penuturnya. Konsep referensi dan inferensi dalam analisis wacana dari Brown &
Yule (1986) dipakai sebagai landasan berpijak menetapkan rujukan dan
mengungkapkan makna-makna yang tersimpan dalam ujaran tersebut. Oleh
hidup masyarakat Tapanuli Selatan maka untuk memahaminya diperlukan
pengetahuan tentang latar belakang masyarakat pemilik upacara ini.
Penelitian lain ialah yang dilakukan oleh Matondang dan Hasibuan (2001)
tentang teks dan analisis wacana lisan upacara perkawinan Angkola-Mandailing.
Analisis wacana lisan upacara perkawinan Angkola-Mandailing memberikan
kontribusi dalam sumber data penelitian yaitu dari Batak Toba. Data dikumpulkan
dengan teknik rekam dan dianalisis dengan menggunakan pasangan berdekatan
(adjacency pairs),moves, reciproca l acts, topics, precondition, dan request for
action. Dari analisis data ditemukan bahwa struktur wacana dalam gilir bicara (turn taking) dimulai dari suhut yang punya hajat pesta, anak boru suhut menantu
yang punya hajat, pisang raut ipar dari anak boru, paralok-alok, pesta musyawarah yang turut hadir, hatobangan „raja adat di kampung tersebut, raja torbing balok “raja adat dari kampung sebelah”, dan Raja Panusunan Bulung raja di raja adat/ pimpinan sidang. Topik percakapan dalam wacana lisan upacara
perkawinan tersebut adalah ucapan terimakasih dan permohonan mengadakan
sidang pesta, mengiring mora (pihak mertua), memberikan jawaban atas permintaan suhut, anak boru/pisang raut, menjawab permintaan, dan memutuskan
sidang.
Penelitian Ida Basaria (2008) Jurnal Ilmiah Indonesia berjudul: Stereotip Gender Bentuk Perintah Bahasa Batak Toba. Pembahasan masalah diatas menunjukkan adanya stereotip gender pada perintah bahasa Batak Toba yang
digunakan suami dengan istri pada masyarakat Batak Toba yakni bagaimana
bentuk penggunaan kalimat perintah yang digunakan oleh suami terhadap istrinya
pada masyarakat Batak Toba, bagaimana pula bentuk penggunaan perintah istri
Kajian penelitian disertasi: Marhata dalam Upacara Adat Perkawinan Batak Toba, karya: Selviana Napitupulu (2008). Penelitian ini bertujuan Marhata dalam upacara adat perkawinan Batak Toba adalah acara untuk 1)
mendeskripsikan realisasi bentuk pengenalan topik-topik peristiwa tutur marhata
2) merumuskan pola gilir bicara, dan 3) merumuskan pola pasangan berdekatan.
Masing-masing tujuan tersebut dilaksanakan pada 3 (tiga) situasi tutur; situasi
ma rhusip, ma rpudunsa ut, dan marunjuk pada upacara adat mangupa horja godang Batak Toba.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan
menerapkan kerangka berpikir pragmatik. Data yang dianalisis adalah
ujaran-ujaran yang mengatur topik, gilir bicara, dan pasangan berdekatan yang
sudah diverifikasi dan ditriangulasi.
Data dianalisis berdasarkan isi sekuensial untuk menemukan pola yang
muncul berkali-kali dengan menggunakan pendekatan analisis percakapan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa: 1) pengenalan topik baru dikenalkan dengan
realisasi bentuk kalimat perintah, pertanyaan, dan pernyataan. 2) Ketiga kaidah
gilir bicara dapat diaplikasikan, namun kaidah pertama lebih dominan di setiap
situasi tutur. 3) Kategori rangkaian marhata acara adat perkawinan Batak Toba bervariasi; ada yang lengkap dan ada yang tidak lengkap. Struktur yang lengkap
terdiri dari urutan awal, inisiasi, sela, dan respon. Urutan percakapan yang tidak
lengkap terdiri dari inisiasi/pemicu dan respon.
Respon terhadap inisiasi yang diberikan terdiri dari 16 (enam belas) pola
pasangan berdekatan yaitu 8 (delapan) pola pasangan disukai dan 8 (delapan)
pola pasangan tidak disukai. Ketiga hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
hubungan sosial antara masyarakat Batak Toba nyata direfleksikan dan diatur
lebih tinggi sehingga ketika mengenalkan topik-topik baru, JBPP
merealisasikannya dalam kalimat perintah permintaan.
Kemudian ketika JBPL hendak memberi gilir bicara kepada JBPP, sistem
kekerabatan rajanami atau ra ja i/hula-hula nami digunakan sebagai rujukan ke penutur pihak perempuan. Kemudian, dalam konteks meminang (marhusip),
respon bentuk pasangan tidak disukai banyak digunakan. Hal ini menunjukkan
bahwa juru bicara marhata dalam upacara adat haruslah orang yang pintar sehingga dia disebut raja parhata.
Penelitian Lubis (2009) yang berjudul Penerjemahan Teks Mangupa horja
godang dari Bahasa Mandailing ke dalam Bahasa Inggris. Penelitian ini menerjemahkan teks Mangupa horja godang , sebuah teks budaya Mandailing ke
dalam bahasa Inggris disebabkan perbedaan yang luas dalam struktur kedua
bahasa. Kemudian berusaha mempertahankan dan memperkenalkan bahwa
upacara tradisional Mandailing yang memiliki nilai budaya yang tinggi. Teks
mangupa horja godang diterjemahkan dengan menerapkan metode penerjemahan
berbasis makna; sebuah metode yang mentransfer makna teks sumber ke dalam
teks sasaran untuk mencapai terjemahan yang akurat, terbaca dan berterima.
Adapun penelitian terdahulu ini mempunyai pokok bahasan mengenai teks
Mangupa horja godang yang kaitannya dengan penelitian yang dilakukan ini bertumpu pada objek masalah kajian Mangupa horja godang .
Penelitian tentang analisis percakapan pernah dilakukan oleh Siagian
(2009) yang berjudul: “Strategi Percakapan Bahasa Batak Toba dalam Acara
Jou-jou Tano Batak”. Penelitian ini memberikan kontribusi dalam penentuan pola gilir bicara. Penelitian ini mengkaji bagaimana cara memulai dan
ujaran-ujaran yang tidak jelas, cara mengembalikan dan mengalihkan topik,
serta implikatur. Acara J ou-J ou Ta no Ba ta k adalah sebuah acara radio Karisma yang menggunakan BBT. Dalam acara ini terdapat percakapan antara
penyiar dan pendengar yang bergabung melalui sambungan telepon. Data
dikumpulkan dengan menggunakan metode simak, teknik rekam dan catat.
Berdasarkan analisis yang dilakukan, strategi percakapan BBT dalam acara
Jou-Jou Tano Batak ternyata memiliki sejumlah cara dalam mewujudkan percakapan yang lancar dan efektif. Penyiar dan pendengar juga memiliki kerja sama yang
baik dalam mewujudkan percakapan yang baik.
Penelitian Flansius Tampubolon (2010) berjudul: Umpasa Masyarakat
Batak Toba Dalam rapat Adat: Suatu Kajian Pragmatik. Kajian ini membahas fungsi, jenis dan komponen tindak tutur umpasa masyarakat Batak Toba pada
upacara adat yakni rapat adat atau musyawarah uang emas kawin (marhata
sinamot) yang dihadiri oleh ketiga unsur Dalihan Na Tolu, yaitu hula-hula „pemberi istri‟, dongan sabutuha/ dongan tubu „kerabat semarga‟, dan boru
„penerima istri‟ dari kedua pihak yang mempergunakan umpasa sebagai tindak
tutur pada acara tersebut. Dideskripsikan jenis tindak tutur, dan fungsi maupun
komponen tindak tutur yang menyangkut makna lokusi, makna ilokusi, dan
makna perlokusi pada umpasa yang digunakan oleh hula-hula (pihak pemberi istri), dongan sabutuha/ dongan tubu „kerabat semarga‟, dan boru „penerima istri‟.
Kajian penelitian terdahulu yang dikemukakan oleh Irfah Zukhairiyah,
(2011) dengan judul: Penerjemahan Teks Pabuat Boru dari bahasa Mandailing ke
percakapan pabuat boru dengan menggunakan teknik yang tepat yang tetap terikat
dengan budaya.
Hasil penelitian Amri (2011) berjudul, berjudul: Tradisi Lisan pada
Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan: Pemahaman Leksikon Remaja di Padangsidimpuan. Pengkajian Tradisi lisan yang digunakan pada upacara adat merupakan kearifan lokal (lokal wisdom) karena, berfungsi mengatur sistem nilai,
pengetahuan tradisional (lokal knowledge), hukum, pengobatan, sistem
kepercayaan dan religi, begitu pula pada upacara perkawinan adat. Realitas di
masyarakat menunjukkan bahwa, para penutur dan komunitas tradisi lisan
semakin berkurang.
Penyebab terjadinya penyusutan pemahaman leksikon tradisi lisan pada
upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan di Padangsidimpuan, karena faktor
internal penyebab terjadinya penyusutan pemahaman leksikon tradisi lisan pada
upacara perkawinan adat di Kota Padangsidimpuan, karena remaja tidak
memahami upacara perkawinan adat Angkola. Remaja tidak memahami urutan/
kronologis upacara perkawinan adat dan remaja tidak memahami jenis-jenis
upacara perkawinan adat. Remaja tidak mengetahui apa pengukur besar kecilnya
upacara perkawinan adat. Remaja lebih menyenangi musik pop (modern)
daripada musik tradisional. Remaja jarang mendengar leksikon pronomina dan
tidak memahami leksikon adat dan mereka tidak berusaha untuk mencari tahu
(bertanya) agar memahami makna leksikon tersebut kepada pelaku adat.
Faktor eksternal penyebab terjadinya penyusutan pemahaman leksikon
tradisi lisan pada upacara perkawinan adat di Kota Padangsidimpuan ada
lembaga adat belum mensosialisasikan adat pada remaja, remaja tidak mengenal
benda-benda adat yang dipakai pada upacara perkawinan adat, remaja tidak
pernah manortor sehingga tidak mengetahui nama-nama alat musik tradisional
yang dipakai mengiringinya begitu pula buku-buku berbahasa daerah jarang terbit.
Pagelaran budaya adat sangat jarang kecuali pada upacara perkawinan adat,
perlombaan budaya daerah tidak pernah ada kecuali lomba busana daerah,
Penelitian Damanik (2013) berjudul: Stereotip Gender dalam Bentuk Perumpamaan Bahasa Batak Toba: Kajian Atropolinguistik, untuk menjelaskan
makna dan bentuk-bentuk umpasa bahasa Batak Toba yang stereotip gender.
2.2 Kerangka Konsepdan Kerangka Teoretik
Upacara perkawinan adat Angkola berpuncak pada upacara mangupa horja godang , upacara tersebut dilakukan setelah upacara tu tapian raya bangunan (upacara melepas masa lajang/ gadis). Upacara adat mangupa horja
godang dianggap cukup sakral, karena pandangan masyarakat adat Angkola semakin kental tingkat paradatan seseorang semakin tinggi pula kedudukannya
pada masyarakat adat.
Kepercayaan masyarakat Angkola pada upacara mangupa horja godang adat yaitu agar terhindar dari marabahaya atau terhindar dari peristiwa
kemalangan/ musibah (siluluton), perasaan suka cita karena tercapainya sesuatu
niat (nazar) sebagai rasa syukur karena selesainya studi (naik kelas, meraih gelar
kesarjanaan) meraih kedudukan (pangkat/ jabatan, berkarir), naik haji, sembuh
dari penyakit, tercapai harapan, mendapat rezeki (anak lahir, masuk rumah baru).
Dengan tercapainnya keinginan itu, orang tua bersyukur dengan
Hakikinya, pelaksanaan upacara adat mangupa horja godang secara
filosofis diyakini masyarakat adat berfungsi untuk mengembalikan dan
menguatkan semangat (tondi) pada tubuh kasar (mangupa horja godang tondi
dohot badan) sehingga semangat yang telah pergi akan kembali ke tubuh. Di sisi yang lain, upacara adat mangupa horja godang merupakan perwujudan rasa kegembiraan, karena tercapainya suatu keinginan yang telah lama diidamkan.
Tradisi lisan mangupa horja godang adat memiliki kearifan lokal, dan nilai-nilai yang diyakini sudah menyatu dan merupakan perekat masyarakat adat,
hal tersebut yang berupaya diungkap pada tulisan ini. jadi, pada tulisan ini yang
menjadi objek kajian adalah performansi upacara mangupa horja godang adat
Angkola, analisis dilakukan dari kata-kata pada tradisi lisan mangupa horja godang yang dilakukan sebagai bagian pada upacara perkawinan (siriaon), berupa kata-kata nasihat, hidup berkeluarga, hormat terhadap orang tua, hidup
bermasyarakat, dan hidup beragama. Analisis pengkajian digunakan perspektif
ilmu linguistik sebagai payung ilmu yang digeluti, dan fokus pada
antropolinguistik sebagai jalan masuk (entry point) pengkajian, untuk melihat
makna dikaji dengan konsep teori semiotik.
Penelitian ini mendeskripsikan performansi tradisi lisan pada upacara
mangupa horja godang adat Angkola dan perubahan upacara mangupa horja
godang adat Angkola tersebut. Pengkajian antropolinguistik sebagai pembuka jalan untuk mengupas upacara mangupa horja godang yang dijadikan objek kajian dengan menggunakan teori upacara yang dikemukakan oleh Smith
(1846-1894) dan untuk mengetahui tradisi lisan dipakai teori Perspektif Folley (1988),
dalam Hoed (2008:184) dan pembuka cakrawala pengkajian tradisi lisan yang
dikemukakan Sibarani (2012:47) mengkaji tradisi lisan sebagai objek kajian
dengan melihat bentuk dengan mengkaji teks, ko-teks, dan konteks, kemudian
mengkaji isi dengan melihat nilai kearifan lokal dan norma dengan fokus kajian
fungsi dan makna. Dari pengkajian itu dilakukan upaya merevitalisasi pola
pelaksanaan prosesi mangupa horja godang adat Angkola sebagai model
pelestarian.
Menurut pendapat Eggin and Slade (1997:23) terdapat beberapa perspektif
dalam menganalisis tradisi lisan mangupa horja godang sebagai interaksi lisan dalam upacara mangupa horja godang dengan menggunakan metode etnografi,
yang dikemukakan Spreadley, antropolinguistik, dan semiotik. Perspektif
etnografi/ dengan pendekatan tradisi lisan dilakukan dengan antropolinguistik
sebagai jalan masuk.
Kerangka konseptual yang dibahas pada BAB II berupaya memaparkan
hal-hal dengan mengupas objek kajian yang membahas, menganalisis, dan
menguatkan kajian dalam penelitian ini antara lain: 2.1. Kajian pustaka, 2.2.
Kerangka konsep 2.3. Kerangka teori terdiri atas: 2.2.1. Tradisi lisan, 2.2.2
Kerangka Kajian Tradisi lisan, 2.3.3 Antropolinguistik, 2.2.3.1 Performansi,
2.2.3.2 Indeksikalitas, 2.2.3.3 Partisipan, 2.2.4 Fungsi dan Makna 2.2.5
Nilai-nilai dan norma, 2.2.6 Kearifan Lokal, 2.3.7 Revitalisasi tradisi mangupa horja
godang adat Angkola. Agar lebih jelas dipaparkan satu persatu, selanjutnya dipaparkan satu per satu pada kerangka teori yang dipakai dalam penelitian ini.
Aktifitas kebudayaan yang bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari
sejumlah kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh
kebutuhan kehidupan, sehingga hal tersebut berkembang menjadi tradisi. Menurut
Soekanto (1993:520) tradisi adalah suatu pola perilaku atau kepercayaan yang
telah menjadi bagian dari suatu budaya yang telah lama dikenal sehingga menjadi
adat istiadat dan kepercayaan turun temurun.
Pada hakikatnya tradisi lisan sebagai kegiatan budaya yang diwariskan
secara turun-temurun dengan media lisan dari satu generasi ke generasi lain baik
tradisi itu berupa susunan kata-kata lisan yang memiliki ciri fisik sosial dan
kebudayaan. Menurut Dundes (dalam Danandjaja, 2002:1) folk adalah
sekelompok orang yang memiliki ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan
khusus, sehingga dapat dibedakan dari kelompok lain. Dengan demikian
merupakan kolektif yang memiliki tradisi yang diwariskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya.
Pengetahuan tradisi lisan merupakan berbagai pengetahuan dan adat
istiadat yang secara turun temurun disampaikan secara lisan menurut Tol dan
Pudentia (1995: 2) dalam Hoed (2008:184) harus mencakup hal-hal yakni:
“
…Oral traditions do not only contain folktales, myths, and legends (…), but store
complete indigeneous cognate system. To name a few: histories, legal practices,
adat law, medication….” (“...tradisi lisan tidak hanya berisikan pada cerita rakyat, mitos, dan legenda saja, tetapi berupa sistem kognasi kekerabatan lengkap,
misalnya: seluruh sejarah hukum adat, praktik hukum, dan pengobatan
Sejalan dengan pendapat di atas Sibarani (2012:47) menjelaskan, Tradisi
lisan adalah kegiatan budaya tradisional suatu komunitas yang diwariskan secara
turun-temurun dengan media lisan dari satu generasi ke generasi lain baik tradisi
itu berupa susunan kata-kata lisan (verbal) maupun tradisi lisan yang bukan lisan
(non-verbal). Oral Traditions are the community‟s traditionally cultural activities
inherited orally from one generation to the other generation; either the tradition is verbal or non-verbal.
Tradisi lisan yang masuk dalam kategori yaitu: a) bahasa rakyat (folk
speech), logat, julukan, pangkat tradisional, dan gelar kebangsawanan (gelar adat), b) ungkapan seperti: pribahasa, pepatah, pameo. c) pertanyaan tradisional
(teka-teki) Finnegan (1992:151). Tradisi lisan merupakan penggabungan unsur lisan dan
nonlisan seperti: kepercayaan tradisional, permainan rakyat, adat istiadat, upacara,
teater rakyat, tari rakyat, dan pesta rakyat. Demikian juga yang dikemukakan oleh
William Bascom (1973) pada proses penuturan seni pertunjukan (Verbal Art) pada
tradisi cerita rakyat. Lebih jauh Bascom dalam Dananjaya (2002) menjelaskan,
tradisi lisan memiliki empat fungsi yaitu: 1) tradisi lisan berfungsi sebagai
proyeksi (cerminan) angan-angan kolektif, 2) tradisi lisan berfungsi sebagai alat
legitimasi pranata kebudayaan, 3) tradisi lisan berfungsi sebagai alat pendidikan,
4) tradisi lisan berfungsi sebagai alat pemaksa atau pengontrolagar norma
masyarakat selalu dipatuhi anggota kolektifnya.
Tradisi lisan menghubungkan generasi masa lalu, sekarang, dan masa
depan. Tradisi lisan itu diturunkan dari generasi ke generasi dalam kehidupan
sehari-hari, pemikiran perkataan, dan perilaku secara individu dan kelompok
bersifat mengikuti perkembangan zaman, sehingga kedinamisan terus berkembang
dari waktu ke waktu dari tradisi lisan primer ke tradisi lisan sekunder menurut
Ong (2007).
Lebih jauh Ong (2007:37-56) tradisi lisan primer memiliki ciri-ciri yang
bersifat umum seperti: a) aditif, gaya penuturan disesuaikan kepada pendengar.
b) agregatif, menggunakan ungkapan yang bersifat menyatukan komunitas adat
tertentu. c) redundan atau copio, ungkapan yang diulang-ulang dan terasa berlebihan yang tujuannya untuk memudahkan pemahaman dan tetap diingat. d)
konservatif, yaitu tetap memegang teguh nilai tradisional sebagai cara untuk
mempertahankan tradisi lisan yang dianggap bernilai tinggi. e) dekat dengan
dunia kehidupan manusia. f) agonistic, menjaga agar pengetahuan dan tradisi tetap kompetitif dan mampu bersaing dengan pengetahuan dan tradisi baru. g)
empatetis-partisipatori, belajar dan mengetahui dalam masyarakat tradisi yang
berarti terlibat langsung, menghormati, dan membentuk kesadaran bersama, h)
homestatik, masyarakat budaya lisan berupaya membangun keseimbangan hidup,
i) situasional, dalam masyarakat budaya lisan konsep-konsep yang berlaku
bersifat khas sesuai dengan situasi masyarakat setempat dan kurang abstrak.
Lebih lanjut Ong (2007:37-56) menjelaskan tradisi lisan sekunder
memiliki ciri-ciri: Kehidupan manusia telah mengenal tulisan. Budaya lisan
merambah melalui media cetak, radio, televisi, dan rekaman CD, DVD. kegiatan
tradisi lisan tidak lepas dari budaya tulis sehingga saling ketergantungan antara
lisan dan tulisan. Tradisi primer terus berkembang ke tradisi lisan sekunder
sehingga peralihan ke budaya modern yang telah merambah budaya cetak dan
Perspektif Folley (1988) atas ciri-ciri tradisi lisan terbagi atas: tradisi
lisan kelompok besar, tradisi lisan lokal, dan tradisi lisan individual
(idosinkratik). Salah satu warisan budaya yang amat berharga dan penting dalam
pembentukan identitas dan karakter bangsa adalah Intangible Cultural Heritage (ICH). UNESCO dalam konvensi tanggal 16 Oktober 2003 menyebutkan salah
satu unsur penting dalam ICH adalah tradisi lisan (Pudentia 2010).
Realitas di masyarakat, para penutur dan komunitas tradisi lisan semakin
berkurang. Hal ini akibat proses pewarisan secara alamiah tidak berjalan sesuai
dengan yang diharapkan, sementara perubahan kebudayaan berjalan dengan
cepat. Dihadapkan pada kenyataan ini, satu-satunya yang penting dalam upaya
menjaga tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan pada masa sekarang dan yang
akan datang adalah perubahan dalam sistem pewarisannya.
2.2.2 Kerangka Kajian Tradisi Lisan
Kerangka tradisi lisan dapat dilihat sebagai suatu peristiwa budaya atau
sebagai suatu bentuk kebudayaan yang diciptakan kembali (invented culture) untuk dimanfaatkan, dikembangkan, dan dilestarikan sebagai suatu bentuk
kebudayaan, yang karena suatu alasan tertentu perlu dijaga dari kepunahannya.
Menggali dan mengembangkan potensi tradisi lisan, termasuk perlindungan
kekayaan intelektual budaya Indonesia, melalui penelitian yang terstruktur dan
berkelanjutan. Menurut Olrik (1992:62) tradisi lisan mempunyai peluang
diingat karena tidak digunakan oleh komunitas adat sehingga tidak pernah
didengar lagi.
Sumber utama objek kajian pada penelitian adalah penutur, pelaku adat
sebagai informan kunci yang diteliti juga yang meliputi masyarakat pemilik atau
pendukung yang berkaitan dengan tradisi lisan mangupa horja godang . Di samping tradisi lisan mangupa horja godang, nara sumber yang tetap bertahan
merupakan living traditions, ingatan kolektif yang tersimpan dalam masyarakat dan tradisi tersebut (memory traditions) juga dimasukkan dalam kategori ini
tradisi lisan. Begitu pula data skunder yaitu masyarakat adat, dokumenter,
buku-buku adat.
Memang, pada umumnya penelitian tradisi lisan banyak difokuskan pada
kajian bentuk dan fungsi, padahal sejatinya kajian tradisi lisan menganalisis
aktifitas performansi tradisi karena dapat meretas nilai-nilai kearifan lokal yang
hampir hilang. Berbagai pengetahuan lokal yang hanya diperoleh pada proses
performansi saja. Hal ini sejalan dengan pendapat Fine (1994:58) mengatakan
bahwa penelitian tradisi lisan seharusnya diarahkan kepada performansi tradisi
lisan, karena dalam performansi tersebut dipertontonkan proses dan gaya
komunikasi sosial sebagai model estetika antara pelaku adat dengan komunitas
masyarakat adat yang memiliki karaktersitik adat yang sesuai dengan kondisi
sosial masyarakat adat, peristiwa upacara adat.
Kerangka tradisi lisan tidak dapat dipisahkan antara produk budaya dan
masyarakat sebagai komunitasnya. Keduanya sangat tergantung satu sama lain.
apalagi diteruskan. Sebaliknya, tanpa tradisi, masyarakat pemiliknya akan
kehilangan identitas kemanusiaannya dan kehilangan banyak hal penting,
khususnya pengetahuan tradisional, kearifan lokal, dan nilai-nilai yang pernah
menghidupi dan sudah menyatu pada komunitas tersebut.
Kerangka tradisi lisan sebagai sumber “yang tidak tertulis” yang
ditransmisikan secara lisan. Selain itu, pelestarian tradisi lisan ini sangat
tergantung pada memori (generasi-generasi) manusia pendukung tradisi lisan
tersebut (Sinar dan Takari, 2015:20). Dihadapkan pada kenyataan ini,
satu-satunya yang terpenting dalam upaya menjaga tradisi lisan sebagai sumber
pengetahuan pada masa sekarang dan yang akan datang adalah sistem
pewarisannya. Sistem pewarisan pembentukan identitas, perlu dilakukan
pengelolaan tradisi lisan mangupa horja godang seperti: pelindungan, preservasi,
model dan revitalisasi tradisi lisan, khususya tradisi lisan mangupa horja godang
masyarakat adat Angkola.
2.2.3 Antropolinguistik
Hubungan antara manusia dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan, sama
seperti manusia dengan bahasa sebagai wadah untuk berkomunikasi, begitu pula
manusia dengan kebudayaan tetap menggunakan bahasa sebagai perantaranya. Di
satu sisi manusia adalah kreator kebudayaan, di sisi yang lain kebudayaan
membutuhkan bahasa sebagai alat mewujudkan kebudayaan itu.
Hal ini sesuai dengan pendapat Levi-Strauss (1972:68) bahasa merupakan
hasil kebudayaan, maksudnya bahasa yang dipergunakan atau yang diucapkan
ada keterjalinan hubungan timbal balik yang sangat erat dan padu antara manusia,
bahasa, dan kebudayaan menjadi kajian antropolinguistik.
Antropolinguistik mengkaji budaya untuk mencari makna dibalik
penggunaan, ketimpangan penggunaan maupun tanpa menggunakan bahasa dalam
bentuk register dan gaya yang berbeda, mengkaji struktur dan hubungan
kekeluargaan melalui istilah kekerabatan dengan payung linguistik. Kajian
antropologi linguistik juga menelaah bagaimana kemampuan manusia sebagai
anggota masyarakat yang saling berkomunikasi dengan menggunakan
simbol-simbol dan lambang pada upacara adat dengan menggunakan konsep
kebudayaanan.
Kemampuan manusia mengembangkan bahasa sebagai alat komunikasi
dengan menggunakan lambang atau simbol-simbol manasuka yang cukup rumit,
hal ini terwujud karena kemampuan dasar manusia dalam mengembangkan
kemampuan bernalar. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Cassier
(1951:32) manusia sebagai makhluk yang paling mahir dalam mengembangkan
simbol-simbol sehingga manusia disebut makhluk yang banyak menggunakan
simbol (homo symbolicum).
Jadi, dengan dasar itulah pengkajian tradisi mangupa horja godang
menggunakan pengkajian antropolinguistik sebagai jalan masuk (entry point) dan
berperan karena antropoglinguistik dapat mendeskripsikan suatu bahasa yang
digunakan pada tradisi lisan mangupa horja godang . Di samping itu, dari pendekatan itu akan menghasilkan informasi yang berharga, yang tidak hanya
simbol-simbol yang digunakan oleh komunitas adat dalam upacara adat mangupa
horja godang .
Pengkajian antropolinguistik dapat membantu memahami dan
mengidentifikasi hal-hal yang dianggap memiliki arti khusus dalam upacara adat
mangupa horja godang tersebut, sehingga dipahami latar belakang adat sehingga tradisi yang humanis dapat dipahami dengan mengamati fenomenologis
pengalaman dan pemahaman adat mengupa komunitas Angkola.
Tradisi lisan mangupa horja godang sebagai objek kajian penelitian ini,
dengan mempertimbangkan saran yang disampaikan oleh penguji pada sidang
seminar proposal (kolokium) disertasi, begitu pula berdasarkan buku referensi
yang dibaca maka penulis memutuskan antropolinguistik jalan masuk (entri
point) yang tepat. Untuk membahas pemaknaan pada objek tradisi lisan mangupa horja godang digunakan teori semiotik untuk melihat lebih dalam makna sebagai
perlambang.
Kajian Antropolinguistik terhadap tradisi lisan mangupa horja godang
akan mengkaji unsur verbal dan nonverbal tradisi lisan mangupa horja godang dapat dijelaskan melalui pemahaman struktur teks, koteks, dan konteksnya
sehingga pemahaman bentuk juga menjadi pemahaman performansi tradisi lisan
mangupa horja godang . Antropolinguistik mempelajari teks, koteks, dan konteks (bentuk) performansi tradisi lisan dalam kerangka kerja antropologi, mempelajari
konteks budaya, konteks ideologi, konteks sosial, dan konteks situasi tradisi lisan
godang serta akhirnya menemukan model penelitian sehingga dilakukan revitalisasi sebagai pewarisan tradisi lisan mangupa horja godang .
Tradisi lisan mangupa horja godang sebagai bagian bahasa yang erat
kaitannya dengan kebudayaan sehingga antropolinguistik merupakan pilihan yang
tepat untuk mengkaji tradisi lisan mangupa horja godang . Hakikinya, antropolinguistik mempelajari variasi dan penggunaan bahasa yang berhubungan
dengan kebudayaan suatu suku bangsa. Antropolinguistik juga sebagai
pengetahuan yang mempelajari manusia dan kebudayaan, manusia sebagai kreator
pencipta kebudayaan, oleh karenanya terjalin hubungan sebab akibat yang cukup
erat dan padu antara keduanya, yaitu manusia, kebudayaan, tradisi dengan bahasa
sebagai medianya.
Sibarani (2004:50) menyebutkan hubungan antara bahasa dan kebudayaan
pada komunitas di masyarakat memiliki peranan yang cukup penting sebagai
sarana komunikasi. Penggunaan bahasa serta bagaimana cara seseorang
berkomunikasi dengan orang lain dalam kegiatan sosial dan budaya lain secara
tepat sesuai dengan teks dan konteks budayanya merupakan fokus kajian
antropolinguistik.
Antropologi linguistik atau antropolinguistik disebut juga dengan
etnolinguistik yang menelaah struktur, fungsi dan pemakaiannya dalam konteks
situasi sosial budaya. Melalui pendekatan antropolinguistik, perlu mencermati
yang dilakukan oleh manusia dengan kebudayaannya dengan menggunakan
bahasa sebagai ujaran-ujaran yang diproduksi, bahasa dihubungkan dengan
antropolinguistik modern, menurut Duranti (2001:14) menyatakan pendekatannya
melalui (1) performance, (2) indexcality, dan (3) participation.
Jadi, performansi sebagai peristiwa komunikasi yang memiliki dimensi
proses komunikasi yang bermuatan sosial, budaya, dan estetik (Finnegan
(1992:92-93). Performansi sebagai bentuk aktifitas tindakan dengan tanda tertentu
yang dapat ditafsirkan sehingga tindakan komunikasi dapat dipahami.
Performansi tradisi tuturan yang diperagakan sebagai objek kajian sesuai
kontekstual dengan menonjolkan suasana adat.
Menurut Sibarani (2004:50) fokus kajian antropolinguistik yaitu hubungan
dan peranan bahasa dan kebudayaan pada masyarakat serta bagaimana
hubungannya pada terminologi budaya. Komunikasi verbal dan nonverbal antara
seseorang dengan orang lain dalam kegiatan sosial dan budaya tertentu sesuai
dengan konteks budayanya, dan bagaimana bahasa masyarakat dahulu sesuai
dengan perkembangan budayanya.
Antropolinguistik memandang bahasa dari konsep inti antropologi yang
mengkaji budaya untuk mencari makna di balik penggunaan, ketimpangan
penggunaan maupun tanpa menggunakan bahasa dalam bentuk register dan gaya
yang berbeda. Hakikinya, antropolinguistik memuat interpretasi bahasa untuk
menemukan pemahaman secara budaya.
“Antropological linguistics views language through the prism of the core
anthropological concept, culture, and such, seeks to uncover the meaning behind
the use, misuse, or non-use of language, its different forms, registers and style. It
Penjelasan Foley‟s (1997:3) di atas dapat dijabarkan maksudnya, linguistik
antropologi sebagai subdisiplin linguistik yang berkaitan dengan tempat bahasa
dalam konteks budaya maupun sosial yang memiliki peran menyokong dan
menempa praktik-praktik kultural dan struktural sosial.
Antroplogical linguistics is that sub-field of linguistics which is concern with the place of language in its wider sosial and cultural context, its role in forging dan sustaining cultural practices and sosial structures. Such, it may be seen to overlap with another sub-field with a similar domain, sociolinguistics, and in practice this may indeed be so. (Foley, 2003:3)
Walaupun istilah keduanya sering bertukar tempat antara antropolinguistik
dengan sosiolinguistik, disebabkan memiliki ranah kajian yang sama yaitu fungsi
bahasa sebagai media komunikasi pada guyub tutur.
Agar lebih jelas Sibarani (2004:51) memaparkan, ada tiga relasi penting
kajian antropolinguistik yang memiliki hubungan yang patut jadi kajian:
Hubungan antara satu bahasa dengan satu budaya yang bersangkutan. Yang berarti bahwa ketika mempelajari suatu budaya, kita juga harus mempelajari bahasanya, dan ketika kita mempelajari bahasanya kita juga harus mempelajari budayanya. Hubungan bahasa dengan budaya secara umum yang berarti bahwa
setiap ada satu bahasa dalam suatu masyarakat, maka ada satu budaya dalam masyarakat itu. Bahasa mengindikasikan budaya, perbedaan bahasa berarti perbedaan budaya atau sebaliknya. Hubungan antara linguistik sebagai ilmu bahasa dengan
antropologi sebagai ilmu budaya.
Tradisi lisan mangupa horja godang sebagai objek kajian dengan menggunakan antropolinguistik sebagai jalan masuknya (entry point), pengkajian
dimulai dari unsur struktur dan formula unsur verbal dan nonverbal tradisi lisan
lokal) dan model revitalisasi (pengaktifan atau penghidupan kembali, pengelolaan,
dan proses pewarisan) tradisi lisan yang sedang diteliti, Sibarani (2012:288).
Peranan kebudayaan dalam memahami bahasa yang berfungsi sebagai
sarana komunikasi, maka pengguna bahasa menggunakannya sebagai media
komunikasi pada konteks budaya. Linguistik sebagai payung ilmu untuk mengkaji
difokuskan pada antropolinguistik yang merupakan subbidang dari linguistik.
Lebih jauh dijabarkan, pemahaman struktur (bentuk) dan kajian nilai, norma, dan kearifan lokal, sehingga bila dikaji dengan lebih mendalam akan didapat sistem proses pewarisan melalui revitalisasi. Nilai dan norma budaya tradisi lisan dikristalisasi dan ditemukan makna dan fungsinya. Dari makna dan fungsi bagian-bagian tradisi lisan serta makna dan fungsi keseluruhan tradisi lisan sebagai wacana yang lengkap akan dapat diungkapkan nilai dan norma sebuah tradisi lisan melalui proses interpretasi yang dikaitkan dengan konteksnya. (Sibarani 2012:305)
Antropolinguistis menyadari kajian bahasa melalui pendekatan pragmatik,
fungsional maupun analisis wacana dengan menggunakan pendekatan analisis
mikrostruktural dan makrostruktural untuk mengkaji struktur bahasa (teks, koteks,
dan konteks). Secara mikro mengkaji fungsi bahasa sebagai kebutuhan personal
dalam kehidupan bersosialisasi, antara lain: fungsi nalar, fungsi emosi, fungsi
komunikatif, fungsi perekam, fungsi pengidentifikasian, fungsi fatis, fungsi
memberikan rasa senang. Fungsi makro digunakan dalam kaitannya dengan
penutur, meliputi: fungsi ideasional, fungsi interpersonal, fungsi estetika bahasa,
fungsi tekstual, fungsi sosiologis. Penjabaran di atas dapat dipetik suatu fungsi
bahasa sebagai alat komunikasi yang dipakai pada tradisi adat mangupa horja
dimaksud dengan etik dan emik yang berhubungan dengan analisis data lapangan
dalam kajian antropolinguistik.
Hal ini dijabarkan oleh Bolinger (1975:520) tentang etic adalah, “a
material manifestation that can be identified by any characteristic that strikes the erya”, dan emic yaitu, “a formal unit within a closed system”. Jadi, emik adalah
satuan formal dalam satu sistem tertutup dan etik adalah manifestasi material yang
teridentifikasi lewat ciri-ciri pemeriannya.
Pengkajian lebih jauh tentang objek tradisi lisan mangupa horja godang ,
lebih jelas dengan jalan masuk menggunakan pengkajian antropolinguistik
terhadap tradisi lisan mangupa horja godang , yang akan mengkaji unsur verbal
dan nonverbal tradisi lisan mangupa horja godang dapat dijelaskan melalui permasalahan yang mengkaji struktur teks, koteks, dan konteksnya dengan objek
kajian tradisi lisan mangupa horja godang dengan kajian antropolinguistik.
2.2.3.1 Performansi
Performansi merupakan suatu peristiwa komunikasi yang memiliki
dimensi proses komunikasi yang bermuatan sosial, budaya, dan estetik.
Performansi menunjukkan perilaku yang memberikan kebermaknaan yang
semuanya bermuara pada konteks yang relevan. Pada konteks dapat
diidentifikasi pada berbagai tingkat dalam hal pengaturan upacara, misalnya,
tempat peristiwa budaya terjadi. Hal ini sesuai dengan pendapat Richard
Bauman (1978:26): We view the a ct of ferforma nce a s situa ted beha vior,
situa ted within a nd rendered mea ningful with reference to releva nt contexts.
Performansi budaya menunjukkan kinerja paling menonjol pada
masyarakat Angkola, performansi upacara mangupa horja godang memiliki aturan-aturan yang harus dipenuhi, aturan-aturan hanya berlaku pada
lingkup budaya pada masyarakat karena melibatkan seluruh elemen
komunitas adat. aturan-aturan adat masyarakat yaitu melakukan upacara
adat sebagai tanggung jawab moral sesama komunitas adat. Hal itu, berbeda
pada performansi pertunjukan pelaku bertanggung jawab kepada audiens,
sehingga kompetensi performer diharapkan melatihkan skil komunikasi
verbal serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan untuk dapat
berkomunikasi dengan pendekatan sosial humanis.
Martha C Sims dan Martine Stephens (2011:131-132) menambahkan
performansi pertunjukan sebagai kegiatan ekspresif yang membutuhkan
partisipasi pengetahuan dan pengalaman yang berimbas pada respon
audiens. Sehingga, performansi mampu dipahami dan ditafsirkan oleh
audiens, hal itu sebaliknya performansi tidak akan sukses bila pelaku tidak
menunjukkan kemampuan yang baik bila ekspresi audiens penuh dengan
kekecewaan. Lebih jauh Bauman (1978:29) menjelaskan struktur peristiwa
performansi melibatkan patisipan, pemain (s) dan audiens. fungsi
performensi sebagai dimensi utama dari pola pertunjukan pada masyarakat.
Lord mengatakan dalam performansi (1981:13-29) ada tiga tahap proses
berupa 1) komposisi, 2) performansi dan 3) transmisi. Lebih jauh dijelaskan
komposisi, yaitu a) peletakan pondasi dengan cara mendengarkan atau melakukan
penyerapan, b) penerapan atau aplikasi, dan c) pelantunan di hadapan pendengar.
mengakumulasi, mengkombinasi dan memodelkan kembali formula yang telah
ada. Atau, pembuatan komposisi dilakukaan saat ia melakukan performansi
(pertunjukan) sehingga komposisi dan performansi merupakan dua hal yang
dilakukan pada saat bersamaan. Konsep komposisi tidak dapat dilepaskan dari
konteks latar belakang penciptaan, seperti keterkaitannya dengan faktor individu
dan kolektif, keterkaitannya dengan performansi, keterkaitannya dengan
memorisasi, keterkaitannya dengan teks-pasti dan teks-bebas.
Performansi menurut Ruth Finnengan. (1991) (1992, 98-100), Sims dan
Martine Stephens (2011:131), Bauman (1978:29), Nagy dan Koenjtaraningrat
(1985:243) dapat diisimpulkan kerangka konsep performansi tradisi lisan terbagi
atas dua, a) performansi yang ditampilkan di hadapan audiens (hiburan) dan b)
performansi yang tidak ditampilkan di hadapan audiens sesuai dengan kondisi
tertentu (sakral).
Sehingga pengkajian performansi upacara mangupa horja godang adat Angkola yang tidak ditampilkan dihadapan audiens karena kondisi tertentu dan
upacara mangupa horja godang adat hanya diikuti oleh suhut sihabolonan, tokoh
adat, pelaku adat, harajaon, hatonangon, dan pandongani.
Finnegan mengatakan bahwa performansi dalam tradisi lisan dapat
dibedakan menjadi dua yaitu (a) performansi yang ditampilkan di hadapan
audiens, dan (b) performansi yang tidak ditampilkan di hadapan audiens sesuai dengan kondisi tertentu. Model performansi pertama dimanfaatkan untuk tujuan
hiburan, dan model kedua dimanfaatkan untuk tujuan sakral. Ia juga mengatakan
bahwa dalam performansi melibatkan unsur performer (orang yang melakukan
media (sarana dan prasarana yang digunakan, baik verbal maupun material).
Pendekatan performansi dapat dijadikan sebagai ide dalam mengkaji bagaimana
kegiatan masyarakat pemiliknya berkaitan dengan budaya lisan.
Finnengan juga memberikan sejumlah panduan yang dapat diaplikasikan
dalam menganalisis dan membandingkan teks dengan memperhatikan aspek gaya,
struktur, dan isi serta proses pengolahan teks lisan melalui penerjemahan,
pendeskripsian, dan presentasi. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa
Berdasarkan fenomena performansi seni pertunjukan berbeda dengan
tradisi lisan ma ngupa horja goda ng , tradisi lisan ma ngupa horja goda ng tidak membutuhkan penonton dan bahkan yang tidak terlibat pada prosesi
upacara adat tidak memiliki tempat pada prosesi upacara mangupa horja
godang tersebut. Jadi, pengkajian tradisi lisan ma ngupa horja goda ng digunakan kajian antropolinguistik yang dikemukakan oleh Duranti (1997:14)
dengan fokus objek kajian pada: performansi (performance), indeksikalitas
(indexica lity), partisipasi (pa rticipa tion). Pada performansi tradisi ma ngupa
horja goda ng sebagai puncak upacara perkawinan adat Angkola berupa penyampaian kalimat-kalimat nasihat kepada pengantin. Sejalan dengan
pendapat di atas Bauman (1993:3) menjelaskan performansi pada upacara
ma ngupa horja goda ng adalah pelaku adat dan tokoh adat (performer), pengantin dan masyarakat adat (a udience), performansi adat (konteks situasi,
tempat dan waktu).
Performansi adat merupakan unsur lingual memiliki nilai-nilai kearifan
lokal sebagai sumber pengetahuan hidup berumah tangga. Pemikiran Charles
indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). dan partisipasi adalah
perspektif tradisi mangupa horja godang sebagai aktivitas adat Angkola yang
melibatkan komunitas adat sebagai guyub tutur adat.
Pada upacara Kemudian tahapan performansi yaitu: performer, audies, partisan (orang-orang yang terlibat pertunjukan), dan media. Performansi
melibatkan unsur performer (orang yang melakukan pertunjukan dalam hal ini
tokoh adat), audies dan partisan (orang-orang yang terlibat pada upacara adat
mangupa horja godang ), media (sarana dan prasarana yang digunakan, baik verbal maupun material).
Charles Sanders Pierce tentang konsep indeksikalitas dibedakan tanda atas
tiga jenis yakni indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). dan partisipasi
adalah perspektif tradisi mangupa horja godang sebagai aktivitas adat Angkola
yang melibatkan komunitas adat sebagai guyub tutur adat.
Ditambahkannya bahwa proses komposisi tersebut dilanjutkan dengan
proses mengakumulasi, mengkombinasi dan memodelkan kembali formula yang
telah ada. Atau, pembuatan komposisi dilakukaan saat ia melakukan performansi
(pertujukan) sehingga komposisi dan performansi merupakan dua hal yang
dilakukan pada saat bersamaan. Konsep komposisi tidak dapat dilepaskan dari
konteks latar belakang penciptaan, seperti keterkaitannya dengan faktor individu
dan kolektif, keterkaitannya dengan performansi, keterkaitannya dengan
memorisasi, keterkaitannya dengan teks-pasti dan teks-bebas.
Menurut partisipan, pemain (s) dan audiens. fungsi performensi sebagai
dimensi utama dari pola pertunjukan pada masyarakat. (Bauman, 1993:3).
didukung oleh media seperti musik, tempat dan waktu penyajian, Bauman
1993:3) performansi: pelaku adat dan tokoh adat (performer), pengantin dan
masyarakat adat (audience), performansi adat (konteks situasi, tempat dan waktu).
Performansi tradisi lisan mangupa horja godang berbeda hanya dari sudut
bahan pangupa yang digunakan psebagai bahan dasar mangupa yaitu seekor
kerbau yang dugunakan untuk mangupa pengantin. Sehubungan dengan
performansi tersenut, Lord (1981:13-29) menekankan aspek-aspek kelisanan puisi
Yugoslavia berupa komposisi, performansi dan transmisi. Dikemukakannya lagi,
bagi penyair lisan, pembuatan komposisi dilakukan saat ia melakukan performansi
(pada tradisi tersebut) sehingga komposisi dan performansi merupakan dua hal
yang dilakukan pada saat bersamaan .lebih jauh ia menjelaskan dalam buku The Singer of Tales (1981), Lord memberi deskripsi eksplisit mengenai konsep komposisi, performansi, dan transmisi. Menurutnya bagi penyair lisan, pembuatan
komposisi dilakukaan saat ia melakukan performansi (pertujukan) sehingga
komposisi dan performansi merupakan dua hal yang dilakukan pada saat
bersamaan.
Lebih lanjut Lord (1981:13).mengatakan ada tiga tahap dalam proses
komposisi, yaitu peletakan pondasi dengan cara mendengarkan atau melakukan
penyerapan, penerapan atau aplikasi, dan pelantunan di hadapan pendengar.
Ditambahkannya bahwa proses komposisi tersebut dilanjutkan dengan proses
mengakumulasi, mengkombinasi dan memodelkan kembali formula yang telah
ada. Para penyair lisan dalam melantunkan puisi lisan (lagu) tidak akan sama
Hal ini disebabkan karena penyair lisan hanya menghafal formulanya saja,
sehingga dalam performansi terdapat perubahan, penambahan atau kesalahan.
Dengan demikian, hal semacam ini dapat memberi penegasan tentang proses yang
terjadi dalam proses transmisi dalam tradisi lisan. Lord (1981) dalam bukunya The
Singer of Tales, tidak memberi deskripsi eksplisit mengenai konsep komposisi, performansi, dan transmisi; tetapi justru Finnegan, dengan berpijak pada paparan
Lord, mendeskripsikan secara eksplisit ketiga konsep tersebut.
Menurut Finnengan komposisi dimaksudkan sebagai suatu cara atau
proses penciptaan sastra lisan atau cara sastra lisan disusun atau dihidupkan.
Konsep komposisi tidak dapat dilepaskan dari konteks latar belakang penciptaan,
seperti keterkaitannya dengan faktor individu dan kolektif, keterkaitannya dengan
performansi, keterkaitannya dengan memorisasi, keterkaitannya dengan teks-pasti
dan teks-bebas.
Pembicaraan mengenai komposisi yang diungkapkan oleh Lord tersebut,
kemudian diuraikan Nagy (2001) sebagai lanjutan dari apa yang selama ini
menjadi pertanyaan Parry dan Lord dalam mengkaji puisi Homer. Hal terpenting
dari hasil analisis Nagy (2001:3-10) adalah ia merumuskan tentang apa yang
pernah dilakukan oleh Parry dan Lord, menjadi sepuluh kelompok konsep yang
menjadi unsur terpenting dalam mengkaji sebuah tradisi lisan. Menurut Nagy,
sepuluh unsur yang harus dipertimbangkan dalam mengkaji komposisi tradisi
lisan adalah : (1) fieldwork, (2) syncrony vs diachrony, (3)
Diperlukan pendekatan sinkronis dan diakronis (syncrony vs diachrony)
untuk melihat perkembangan dan variasi satu tradisi (tradition vs innovation).Perspektif sinkronis berkaitan dengan kerja lapangan (fieldwork)
kajian sastra lisan pada saat disajikan dengan tujuan menggambarkan sistem
aktual yang hidup terus menerus oleh sebuah tradisi (Nagy, 2001: 3-4).
Sedangkan pendekatan diakronis dilakukan untuk melihat bagaimana tradisi
tersebut, sejak pertama kali disajikan hingga sekarang.
Pendekatan ini dimaksudkan bukan untuk mengklasisfikasi sejarahnya
sebagaimana ilmu lain seperti filologi, sejarah sastra, ataupun ilmu kritik sastra.
Karena sifat tradisi lisan dinamis dan komposisi disajikan pada saat penyajian
(composition-in-performansi) (Lord, 1981:13), maka prinsip diakronis diperlukan
untuk melihat variasi yang muncul dan selalu berbeda disetiap penyajian. Dengan
kata lain tradisi lisan bukan objek mati, tetapi justru merupakan tradisi
komunikasi yang berbentuk dan berubah dalam interaksi antara penyampai
(author) dan khalayak. Dari interaksi ini, terjadilah proses penyebaran (diffusion),
baik pengetahuan maupun informasi yang diperoleh dari teks lisan (texs).
Ditegaskan kembali leh Nagy bahwa selama ini telah terjadi
kesalahpahaman peneliti sastra lisan yang menganggap bahwa konsep yang
ditemukan oleh Parry dan Lord adalah teori sastra lisan. Menurutnya, sastra
ataupun puisi adalah satu “fakta” yang diketahui dari hasil kerja lapangan. Dari
hasil analisis tersebut, Nagy mengatakan bahwa tanpa performansi tradisi lisan
tidak akan tersaji dalam bentuk lisan. Tanpa performansi, gagasan utama tradisi
Berkaitan dengan performansi, perlu juga melihat pemikiran yang
dikemukakan oleh Finnengan (1991) dalam bukunya Oral Poetry: Its Nature, Significance and Social Contexs, memperlihatkan hasil kajian di bidang lain
berupa seni pertunjukan dan tradisi lisan., ia mengungkapkan bahwa terdapat
tiga aspek penting yang harus diperhatikan dalam mengkaji penyajian sastra lisan
yaitu (1) composition, suatu proses bentuk-bentuk lisan dikomposisi (digubah)
dengan mempertimbangkan relasi antara tradisi dan kreasi individual yang
mampu mengembangkannya ke dalam beberapa dimensi yang berbeda, budaya,
dan gendre yang beragam seperti gaya (bahasa), isi, musik, plot, ideologi ataupun
ciri khas penyajian itu sendiri, (2) transmission, yaitu proses regenerasi ataupun
proses penyeleksian terhadap individual tertentu yang akan mewarisi dan
melanjutkan tradisi lisan tersebut, dan (3) audience, yaitu unsure khalayak atau penikmati yang menentukan sukses tidaknya sebuah performansi.
Lebih lanjut, Finnengan (1992:91-111) menguraikan lebih luas bahwa
pada sejumlah gagasan dan teori yang overlapping yang berkaitan dengan karya
seni dan ekspresi lisan. Tapi, pendekatan pada performansi cenderung dapat
dijadikan sebagai ide sentral untuk mengkaji bagaimana kegiatan masyarakat
pemiliknya berkaitan dengan budaya lisan itu sendiri. Dalam pendekatan etnografi,
performansi dapat dipandang sebagai satu “lahan” lain di samping teks sebagai
salah satu unit deskripsi dan analisis yang fundamental dalam mendukung
kerangka kerja empiris bagi pemahaman terhadap sastra lisan.
Etnografi sebagai sebuah pendekatan, menaruh perhatian pada tingkah
laku yang aktual pada saat penyajian lisan yang bersifat artistik dalam kehidupan
penyaji (performer), audience, situasi dan pengorganisasian penyajian yang
didukung oleh media seperti musik, tempat dan waktu penyajian (Bauman, 1993:
3). Finnegan dalam buku Oral Tradition and Verbal Art (1992.98-100),
memperkaya tiga aspek di atas dengan membagi aspek audience menjadi empat kelompok, yaitu (1) primary audience, yaitu orang yang berkepentingan dengan pelaksanaan tradisi lisan, (2) secondary audience, yaitu orang yang tidak hanya
hadir untuk sekedar menikmati penyajian, tetapi juga merekam dan mengambil
gambar dokumentasi, (3) integral audience, yaitu orang yang memang wajib
untuk datang karena penyajian adalah satu bagian tertentu yang sudah melekat
dalam diri dan kesehariannya, dan (4) accidental audience, yaitu orang
(kelompok) yang mendapat informasi dari pemberitaan lisan ataupun media massa.
Lebih jauh, Finnengan juga memberikan sejumlah panduan yang dapat
diaplikasikan dalam menganalisis dan membandingkan teks dengan
memperhatikan aspek gaya, struktur, dan isi serta proses pengolahan teks lisan
melalui penerjemahan, pendeskripsian, dan presentasi. Selanjutnya, ia
mengatakan bahwa performansi adalah suatu peristiwa komunikasi yang memiliki
dimensi proses komunikasi yang bermuatan sosial, budaya, dan estetik.
Pertunjukan memiliki model tindakan dengan tanda tertentu yang dapat
ditafsirkan sehingga tindakan komunikasi dapat dipahami. Tindakan komunikasi
diperagakan, diperkenalkan dengan objek luar, dan dibangun dari lingkungan
kontekstualnya. Pertunjukan budaya merupakan konteks pertunjukan yang
menonjolkan suasana komunitas, yang berkaitan dengan ruang dan waktu.
Hal yang sama juga dikemukan oleh Fine bahwa ada tiga fokus yang perlu
estetika dan gaya komunikasi, 2) berhubungan dengan peristiwa tertentu, 3)
budaya khusus dan varibel dari studi lintas-budaya (Fine, 1984: 58). Oleh karena
itu, metode penelitian sastra lisan, harus diarahkan dalam dua aspek, yang pertama
adalah berkaitan dengan konten atau isi daritradisi lisan, dan kedua adalah
berhubungan dengan performansi yang merupakan ruang tersendiri yang memiliki
hubungan dengan model komunikasi khusus yang berbeda dengan pidato antara
performer dengan pendengarnya.
Selain itu, performansi sastra lisan juga merupakan ruang ekspresi budaya
yang berhubungan dengan peristiwa budaya tertentu di dalam suatu masyarakat.
Performansi juga merupakan variasi budaya yang penting dalam studi lintas
budaya. Oleh karena itu, kajian mengenai performansi sastra lisan merupakan
kekayaan kajian di masa yang akan datang. Lebih lanjut , Finnegan mengatakan
bahwa performansi dalam tradisi lisan dapat dibedakan menjadi dua yaitu (1)
performansi yang ditampilkan di hadapan audiens, dan performansi yang tidak ditampilkan di hadapan audiens sesuai dengan kondisi tertentu.
Model performansi pertama dimanfaatkan untuk tujuan hiburan, dan
model kedua dimanfaatkan untuk tujuan sakral. Ia juga mengatakan bahwa dalam
performansi melibatkan unsur performer (orang yang melakukan pertunjukan),
audies dan partisan (orang-orang yang terlibat pertunjukan), serta media (sarana dan prasarana yang digunakan, baik verbal maupun material).
Konsep performansi yang digunakan dalam kajian ini aspek-aspek
kelisanan dari sebuah penyajian tradisi lisan diantaranya komposisi, transmisi, dan
prespektif sinkronis dan diakronis sehingga ditemukan perubahan-perubahan yang
muncul, baik dalam teks maupun dalam performansi tradisi lisan itu sendiri.
Pengkajian performasi tentang objek tradisi lisan mangupa horja godang ,
adalah mengkaji performer sebagai tokoh adat mangupa dalam melakukan tradisi
lisan mangupa dalam kajian antropolinguistik terhadap orang-orang yang terlibat
pada tradisi lisan mangupa horja godang, yang akan mengkaji unsur verbal dan
nonverbal tradisi lisan mangupa horja godang dapat dijelaskan melalui permasalahan yang mengkaji struktur teks, koteks, dan konteksnya dengan objek
kajian tradisi lisan mangupa horja godang dengan kajian antropolinguistik.
2.2.3.2 Indeksikalitas
Pemahaman indeksikalitas sebagai peristiwa komunikasi yang memiliki
dimensi tindakan dengan tanda tertentu yang dapat ditafsirkan sehingga tindakan
komunikasi dapat dipahami. Kajian Antropolinguistik terhadap tradisi lisan
mangupa horja godang akan mengkaji unsur verbal dan nonverbal tradisi lisan mangupa horja godang dapat dijelaskan melalui pemahaman struktur teks, koteks, dan konteksnya. Pemahaman indeksikalitas tradisi lisan mangupa horja godang,
menurut Duranti (2001:14) menyatakan pendekatannya melalui (1) performance, (2) indexcality, dan (3) participation.
Konsep indeksikalitas ini berasal dari pemikiran filosof Amerika Charles
Sanders Pierce yang membedakan tanda atas tiga jenis yakni indeks (index),
simbol (symbol), dan ikon (icon). Indeks adalah tanda yang mengindikasikan
bahwa ada hubungan alamiah dan eksistensial antara yang menandai dan yang
ditandai. Konsep indeks (indeksikalitas) diterapkan pada ekspresi linguistik
(personal pronouns), adverbia waktu (temporal expressions), dan adverbia
tempat (spatial expressions).
2.2.3.3 Partisipan
Partisipan yang dimaksud dalam tradisi lisan mangupa horja godang upacara adat perkawinan adat Angkola adalah seluruh komunitas adat Angkola
yang terlibat dalam rangka terwujudnya tradisi lisan mangupa horja godang
tersebut. Dengan demikian, partisipan bukan hanya mereka yang ada pada upacara
mangupa tersebut, tetapi orang-orang yang juga dapat berpartisipasi dalam
mempersiapkan tradisi lisan mangupa horja godang tersebut. Hal itu karena tradisi lisan mangupa horja godang melibatkan berbagai pihak. Partisipan yang
terlibat dalam tradisi lisan mangupa horja godang , antara lain yang menyiapkan bahan pangupa, memasak, dan mereka turut bekerja dan menyiapkan tradisi lisan
mangupa horja godang. .
2.2.4 Teks, Koteks, dan Konteks
1) Teks
Performansi teks tradisi lisan mangupa horja godang sebagai objek penelitian mengkaji bentuk dan isi, bentuk dikaji atas teks, koteks, dan konteks.
Menurut Sibarani (2012:242) performansi teks merupakan unsur verbal yang
memiliki struktur yang dapat dikaji dari struktur makro, struktur alur, dan struktur
mikro. Performansi koteks memiliki elemen yang mendampingi teks seperti
performansi konteks memiliki kondisi yang formulanya berkenaan dengan budaya,
sosial, situasi, dan ideologi.
Teks, menurut Halliday dan Hasan (1985: 10), sebagai bahasa yang
fungsional, bahasa yang melakukan tugas tertentu dalam konteks tertentu, yang
berbeda dengan kata-kata atau kalimat-kalimat yang berdiri sendiri. Teks juga
adalah unit dari pengguna bahasa (Halliday & Hasan 1978: 1). Teks itu dibatasi
sebagai unit bahasa yang fungsional dalam konteks sosial (Halliday 1994). Semua
teks merupakan penggunaan bahasa yang dihasilkan dengan maksud untuk
menunjukkan sesuatu untuk beberapa tujuan. Teks merupakan suatu proses yang
dapat dimengeri, tidak terbuka bagi persepsi yang langsung, dari menegosiasikan
sebuah pesan. Teks kemudian akan menjadi penanda maknanya sendiri, apapun
konteks atau tujuan dari produknya (Widdowson 2007: 6-8).
Bahasa, khususnya, bahasa evaluatif di dalam teks sangat tergantung pada
konteks. Bagi Halliday dan Hasan (1985: 5), jalan menuju pemahaman tentang
bahasa terletak dalam kajian teks. Teks terdiri atas makna-makna walaupun teks
terdiri atas kata-kata dan kalimat. Teks pada dasarnya merupakan satuan makna.
Teks harus dipandang dari dua sudut yang bersamaan yaitu sebagai produk dan
sebagai proses karena sifatnya sebagai satuan makna. Sebagai produk, teks
merupakan luaran, sesuatu yang dapat direkam dan dipelajari karena mempunyai
susunan tertentu teks dan dapat dideskripsikan dengan peristilahan yang
sistematik. Teks juga merupakan suatu proses dalam pengertian bahwa teks
terbentuk melalui proses pemilihan makna terus menerus.
Performansi teks tradisi lisan yang ditafsirkan memerlukan ketelitian dan
karena dapat menguak umpan balik sehingga dapat mengungkapkan sesuatu
yang tersirat dan tersembunyi pada teks mangupa horja godang yang dianalisis.
Hal ini sesuai dengan pendapat Van Dijk dalam Sibarani (2012:312) agar dapat
memahami teks mangupa horja godang diperlukan kerangka struktur teks makro,
super struktur, dan struktur mikro, karena teks terbangun dari ketiga unsur
tersebut.
Lebih jauh Halliday (1992:14) menyebutkan agar dapat lebih mudah
dalam memahami teks alangkah baik dikodekan agar menghilangkan proses
analisis dari unsur subjektifitas dalam pemaknaan teks mangupa horja godang karena pengkodean akan lebih mudah menelaah topik, tema, secara sistematis.
Teks yang dianalisis dipadukan dengan ko-teks dan konteksnya agar tema dan
gagasan mudah dipahami. Ada asumsi tema sebuah teks sering juga menjadi judul
sebuah teks, tetapi sering juga tidak terlihat secara eksplisit di dalam teks, tetapi
terintegrasi pada keseluruhan teks melalui jalinan kohesif yang padu.
Sibarani (2012:316) menyebutkan linguistik teoretis mencakup tataran
bahasa seperti bunyi (Fonologis), makna (semantik), maksud (pragmatik), gaya
bahasa (stilistik) dan bahasa kiasan (figuratif). Jadi, struktur makro digunakan
juga dalam menganalisis teks tradisi lisan mangupa horja godang dengan
melakukan beberapa tahapan seperti: membaca, mengamati, dan menghayati
keseluruhan teks tradisi lisan mangupa horja godang agar diperoleh tema yang
menjadi ide dasar teks mangupa horja godang , memahami topik sebagai konsep dasar yang membangun teks mangupa horja godang . Begitu pula memahami
kerangka dasar teks mangupa horja godang dengan memahami struktur alur atau
membangun teks mangupa horja godang yang padu dan kohesif. Lebih jauh
Sibarani (2012:315) menyebutkan sebuah teks tradisi lisan secara garis besar
tersusun atas tiga elemen yaitu pendahuluan (Introduction), bagian tengah (body),
dan penutup (conclusion) yang masing-masing harus saling mendukung secara koheren.
Paparan di atas dapat disimpulkan dalam memahami performansi teks
tradisi lisan mangupa horja godang dikodekan agar objektif dalam proses analisis
dari unsur pemaknaan teks mangupa horja godang agar lebih mudah menelaah
topik, tema, secara sistematis. Performansi teks yang dianalisis dipadukan dengan
ko-teks dan konteksnya agar tema dan gagasan mudah dipahami Kajian struktur
mikro ini dapat dilaksanakan secara bersama-sama, tetapi dapat juga dipilih
tataran tertentu sesuai kebutuhan analisi dan sesuai dengan karakteristik teks yang
akan dikaji.
2) Ko-teks
Sibarani (2012:319) pemaknaan teks tradisi lisan mangupa horja godang
sebagai tanda verbal harus digunakan secara serempak dengan tanda-tanda yang
lain. Teks tradisi lisan Mangupa horja godang dapat dipahami dengan tanda-tanda seperti: ko-teks, ko-teks terdiri atas paralinguistik, kinetik, proksemik, dan
unsur material lain, ko-teks berfungsi untuk mempejelas pesan atau makna sebuah
teks. Di samping itu teks tradisi lisan mangupa horja godang perlu dianalisis
dengan unsur-unsur suprasegmental seperti: intonasi, aksen, jeda, dan tekanan.
Istilah lain untuk suprasegmental itu adalah paralinguistik. Paralinguistik selalu
berdampingan dengan teks sebagai tanda verbal dan tidak dapat dipisahkan dari
segmental atau teks lisan dalam tindak komunikasi. Pada kajian koteks upacara
mangupa horja godang akan mengkaji menurut teori yang dikemukakan Charles
Sander Peirsce yaitu mengkaji ikon, indeks, dan simbol pada perangkat pangupa
yang digunakan sebagai landasan/ dasar dilakukannnya upacara mangupa horja godang adat Angkola.
3) Konteks
Konteks bahasa hanya dapat dipahami dengan melihat cara bahasa itu
digunakan dalam konteks tertentu, baik budaya maupun situasionalnya. Penulis
atau penutur bahasa menggunakan konfigurasi sumber-sumber linguistik di dalam
konteks tertentu. Konteks merupakan faktor kunci di dalam pemilihan bahasa,
konteks merupakan teks yang menyertai konteks tersebut (Halliday & Hasan
1985:5) (Fowler & Kress, 1979:30). Eggins (1994,2004) menyatakan ini sebagai
dimensi yang berpengaruh kuat dari konteks situasi langsung dari suatu peristiwa
bahasa pada cara bahasa itu digunakan. Dengan demikian, konteks afek pilihan
bahasa yang dibuat oleh seorang penutur atau penulis tergantung pada setting yang diberikan.
Antropolinguistik dalam menganalisis teks, koteks, dan konteks (bentuk)
performansi tradisi lisan mangupa horja godang dalam kerangka kerja
antropologi, mempelajari konteks budaya, konteks ideologi, konteks sosial, dan
konteks situasi tradisi lisan dalam kerangka kerja linguistik. Penelitian tradisi
lisan mangupa horja godang ini, serta menggali nilai, norma, kearifan lokal (isi)
tradisi lisan mangupa horja godang dengan melihat konteks tradisi lisan
Menurut Malinowski konteks lisan berdasarkan situasi, karena kata-kata
sebagai bagian tradisi lisan sebagai konteks situasi (context of situation).
Antropolog Inggris ini menempatkan kata-kata dalam konteks ujaran pada situasi
lingkungan sebagai bagian dari tradisi lisan sehingga dipahami dan diperhatikan
konteks situasi. Fokus analisis konteks situasi dapat memecahkan aspek-aspek
bermakna bahasa hingga aspek linguistik dan aspek nonlinguistik dapat
dihubungkan.
Menurut Sperber dan Wilson (1998:15) konteks disebutkan seperangkat
asumsi yang dibangun secara psikologis oleh penutur dan pendengar sesuai
dengan pengetahuannya tentang dunia. Konteks ini tidak hanya terbatas pada
ujaran saat ini dan ujaran sebelumya, tetapi menyangkut semua yang dapat terlibat
dalam interpretasi. Sejalan dengan pendapat di atas Shiffrin (1994:367)
menjabarkan, konteks merupakan latar belakang pengetahuan yang disebut
“kaidah-kaidah konstitutif” merupakan pengetahuan mengenai kondisi
-kondisi yang dipakai untuk memahami tradisi lisan sebagai sesuatu yang khusus
namun berbeda dengan tuturan yang lain. Pemahaman tentang tradisi adat sudah
melekat dan dimiliki komunitas adat dianggap sebagai latar belakang pengetahuan
bersama yang dimiliki yang terbangunnya implikasi dalam tuturan untuk
memaknai tradisi lisan mangupa horja godang .
Menurut Duranti (1997) bahasa (tradisi lisan) dan konteks saling
mendukung satu sama lain. Tradisi lisan membutuhkan konteks dalam
pemakaiannya, begitu pula sebaliknya, konteks baru memiliki makna jika di
digunakan dalam tradisi lisan dalam upacara, sehingga bahasa tidak hanya
kegiatan pada konteks adat. Konteks pada tradisi lisan merupakan pengetahuan
abstrak yang didasari oleh bentuk tindak tutur, lingkungan sosial komunitas adat
yang dapat diinterpretasikan dalam realitas yang nyata (Sciffrin, 1994:371).
Pada sisi lain, Halliday dan Hasan (1992:16:62) membagi konteks situasi
menjadi tiga; yaitu (1) sebagai medan wacana menunjuk pada sesuatu yang
sedang terjadi pada sifat (keformalan) tindakan sosial yang sedang berlangsung,
(2) sebagai pelibat wacana, dan (3) sebagai sarana wacana, yang merujuk kepada
bagian yang diperankan oleh bahasa seperti, organisasi teks, kedudukan dan
fungsi yang dimiliki, saluran yang digunakan, serta model retorikanya.
Oleh karena itu, tradisi lisan mangupa horja godang hanya memiliki
makna jika berada dalam suatu konteks situasi. Kebermaknaan sebuah tradisi lisan
diinterpretasikan melalui tradisi dengan memperhatikan konteks, sebab konteks
akan memberikan makna tradisi berdasarkan situasi. Artinya, konteks situasi
sangat berpengaruh dalam berinteraksi. Konteks tradisi lisan adalah konteks
dalam semua aspek fisik atau setting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan.
Konteks tuturan mencakupi aspek fisik atau latar sosial yang berupa ekspresi yang
dapat mendukung kejelasan maksud disebut dengan ko-teks. Konteks merupakan
situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian.
Pada hakikatnya konteks dalam tradisi lisan merupakan semua latar
belakang pengetahuan (background knowledge) yang dipahami bersama pada
komunitas adat. Jadi, teori konteks antara lain:
a) Makna tidak terdapat pada unsur-unsur lepas yang berwujud kata adat,