• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi lisan Mangupa Horja Godang Masyarakat Adat Agkola

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tradisi lisan Mangupa Horja Godang Masyarakat Adat Agkola"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA KONSEP

DAN KERANGKA TEORETIK

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka penelitian terdahulu yang relevan bermanfaat bagi

penelitian, hal itu digunakan sebagai pedoman dan langkah untuk menelaah

penelitian sebelumya, sebagai bahan perbandingan untuk kajian yang sedang

diteliti. Kajian terdahulu dilakukan bertujuan agar penelitian yang sebelumnya

dengan penelitian yang sedang dikaji tidak sama hasinya. Pada sub-sub judul

kajian terdahulu akan dipaparkan beberapa penelitian terdahulu yang sejenis dan

relevan dengan topik kajian yaitu tradisi lisan/ percakapan dengan menggunakan

analisis pengkajian yang berbeda-beda, agar lebih jelas dipaparkan di bawah ini:

Kajian penelitian terdahulu yang dikemukakan oleh Asrul Siregar alumni

Universitas Indonesia (1994) dengan judul: Ujaran-ujaran pada Upacara

Mangupa horja godang Masyarakat Tapanuli Selatan: Analisis Wacana. Pada kajian ujaran-ujaran pada Upacara Mangupa horja godang Masyarakat Tapanuli

Selatan mengandung bentuk-bentuk silih yang sukar menetapkan anteseden atau

rujukannya. Ujaran-ujaran itu juga mengandung bentuk-bentuk metafora yang

selalu membutuhkan penafsiran agar sampai kepada apa yang dimaksudkan

penuturnya. Konsep referensi dan inferensi dalam analisis wacana dari Brown &

Yule (1986) dipakai sebagai landasan berpijak menetapkan rujukan dan

mengungkapkan makna-makna yang tersimpan dalam ujaran tersebut. Oleh

(2)

hidup masyarakat Tapanuli Selatan maka untuk memahaminya diperlukan

pengetahuan tentang latar belakang masyarakat pemilik upacara ini.

Penelitian lain ialah yang dilakukan oleh Matondang dan Hasibuan (2001)

tentang teks dan analisis wacana lisan upacara perkawinan Angkola-Mandailing.

Analisis wacana lisan upacara perkawinan Angkola-Mandailing memberikan

kontribusi dalam sumber data penelitian yaitu dari Batak Toba. Data dikumpulkan

dengan teknik rekam dan dianalisis dengan menggunakan pasangan berdekatan

(adjacency pairs),moves, reciproca l acts, topics, precondition, dan request for

action. Dari analisis data ditemukan bahwa struktur wacana dalam gilir bicara (turn taking) dimulai dari suhut yang punya hajat pesta, anak boru suhut menantu

yang punya hajat, pisang raut ipar dari anak boru, paralok-alok, pesta musyawarah yang turut hadir, hatobangan „raja adat di kampung tersebut, raja torbing balok “raja adat dari kampung sebelah”, dan Raja Panusunan Bulung raja di raja adat/ pimpinan sidang. Topik percakapan dalam wacana lisan upacara

perkawinan tersebut adalah ucapan terimakasih dan permohonan mengadakan

sidang pesta, mengiring mora (pihak mertua), memberikan jawaban atas permintaan suhut, anak boru/pisang raut, menjawab permintaan, dan memutuskan

sidang.

Penelitian Ida Basaria (2008) Jurnal Ilmiah Indonesia berjudul: Stereotip Gender Bentuk Perintah Bahasa Batak Toba. Pembahasan masalah diatas menunjukkan adanya stereotip gender pada perintah bahasa Batak Toba yang

digunakan suami dengan istri pada masyarakat Batak Toba yakni bagaimana

bentuk penggunaan kalimat perintah yang digunakan oleh suami terhadap istrinya

pada masyarakat Batak Toba, bagaimana pula bentuk penggunaan perintah istri

(3)

Kajian penelitian disertasi: Marhata dalam Upacara Adat Perkawinan Batak Toba, karya: Selviana Napitupulu (2008). Penelitian ini bertujuan Marhata dalam upacara adat perkawinan Batak Toba adalah acara untuk 1)

mendeskripsikan realisasi bentuk pengenalan topik-topik peristiwa tutur marhata

2) merumuskan pola gilir bicara, dan 3) merumuskan pola pasangan berdekatan.

Masing-masing tujuan tersebut dilaksanakan pada 3 (tiga) situasi tutur; situasi

ma rhusip, ma rpudunsa ut, dan marunjuk pada upacara adat mangupa horja godang Batak Toba.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan

menerapkan kerangka berpikir pragmatik. Data yang dianalisis adalah

ujaran-ujaran yang mengatur topik, gilir bicara, dan pasangan berdekatan yang

sudah diverifikasi dan ditriangulasi.

Data dianalisis berdasarkan isi sekuensial untuk menemukan pola yang

muncul berkali-kali dengan menggunakan pendekatan analisis percakapan. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa: 1) pengenalan topik baru dikenalkan dengan

realisasi bentuk kalimat perintah, pertanyaan, dan pernyataan. 2) Ketiga kaidah

gilir bicara dapat diaplikasikan, namun kaidah pertama lebih dominan di setiap

situasi tutur. 3) Kategori rangkaian marhata acara adat perkawinan Batak Toba bervariasi; ada yang lengkap dan ada yang tidak lengkap. Struktur yang lengkap

terdiri dari urutan awal, inisiasi, sela, dan respon. Urutan percakapan yang tidak

lengkap terdiri dari inisiasi/pemicu dan respon.

Respon terhadap inisiasi yang diberikan terdiri dari 16 (enam belas) pola

pasangan berdekatan yaitu 8 (delapan) pola pasangan disukai dan 8 (delapan)

pola pasangan tidak disukai. Ketiga hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

hubungan sosial antara masyarakat Batak Toba nyata direfleksikan dan diatur

(4)

lebih tinggi sehingga ketika mengenalkan topik-topik baru, JBPP

merealisasikannya dalam kalimat perintah permintaan.

Kemudian ketika JBPL hendak memberi gilir bicara kepada JBPP, sistem

kekerabatan rajanami atau ra ja i/hula-hula nami digunakan sebagai rujukan ke penutur pihak perempuan. Kemudian, dalam konteks meminang (marhusip),

respon bentuk pasangan tidak disukai banyak digunakan. Hal ini menunjukkan

bahwa juru bicara marhata dalam upacara adat haruslah orang yang pintar sehingga dia disebut raja parhata.

Penelitian Lubis (2009) yang berjudul Penerjemahan Teks Mangupa horja

godang dari Bahasa Mandailing ke dalam Bahasa Inggris. Penelitian ini menerjemahkan teks Mangupa horja godang , sebuah teks budaya Mandailing ke

dalam bahasa Inggris disebabkan perbedaan yang luas dalam struktur kedua

bahasa. Kemudian berusaha mempertahankan dan memperkenalkan bahwa

upacara tradisional Mandailing yang memiliki nilai budaya yang tinggi. Teks

mangupa horja godang diterjemahkan dengan menerapkan metode penerjemahan

berbasis makna; sebuah metode yang mentransfer makna teks sumber ke dalam

teks sasaran untuk mencapai terjemahan yang akurat, terbaca dan berterima.

Adapun penelitian terdahulu ini mempunyai pokok bahasan mengenai teks

Mangupa horja godang yang kaitannya dengan penelitian yang dilakukan ini bertumpu pada objek masalah kajian Mangupa horja godang .

Penelitian tentang analisis percakapan pernah dilakukan oleh Siagian

(2009) yang berjudul: “Strategi Percakapan Bahasa Batak Toba dalam Acara

Jou-jou Tano Batak”. Penelitian ini memberikan kontribusi dalam penentuan pola gilir bicara. Penelitian ini mengkaji bagaimana cara memulai dan

(5)

ujaran-ujaran yang tidak jelas, cara mengembalikan dan mengalihkan topik,

serta implikatur. Acara J ou-J ou Ta no Ba ta k adalah sebuah acara radio Karisma yang menggunakan BBT. Dalam acara ini terdapat percakapan antara

penyiar dan pendengar yang bergabung melalui sambungan telepon. Data

dikumpulkan dengan menggunakan metode simak, teknik rekam dan catat.

Berdasarkan analisis yang dilakukan, strategi percakapan BBT dalam acara

Jou-Jou Tano Batak ternyata memiliki sejumlah cara dalam mewujudkan percakapan yang lancar dan efektif. Penyiar dan pendengar juga memiliki kerja sama yang

baik dalam mewujudkan percakapan yang baik.

Penelitian Flansius Tampubolon (2010) berjudul: Umpasa Masyarakat

Batak Toba Dalam rapat Adat: Suatu Kajian Pragmatik. Kajian ini membahas fungsi, jenis dan komponen tindak tutur umpasa masyarakat Batak Toba pada

upacara adat yakni rapat adat atau musyawarah uang emas kawin (marhata

sinamot) yang dihadiri oleh ketiga unsur Dalihan Na Tolu, yaitu hula-hula „pemberi istri‟, dongan sabutuha/ dongan tubu „kerabat semarga‟, dan boru

„penerima istri‟ dari kedua pihak yang mempergunakan umpasa sebagai tindak

tutur pada acara tersebut. Dideskripsikan jenis tindak tutur, dan fungsi maupun

komponen tindak tutur yang menyangkut makna lokusi, makna ilokusi, dan

makna perlokusi pada umpasa yang digunakan oleh hula-hula (pihak pemberi istri), dongan sabutuha/ dongan tubu „kerabat semarga‟, dan boru „penerima istri‟.

Kajian penelitian terdahulu yang dikemukakan oleh Irfah Zukhairiyah,

(2011) dengan judul: Penerjemahan Teks Pabuat Boru dari bahasa Mandailing ke

(6)

percakapan pabuat boru dengan menggunakan teknik yang tepat yang tetap terikat

dengan budaya.

Hasil penelitian Amri (2011) berjudul, berjudul: Tradisi Lisan pada

Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan: Pemahaman Leksikon Remaja di Padangsidimpuan. Pengkajian Tradisi lisan yang digunakan pada upacara adat merupakan kearifan lokal (lokal wisdom) karena, berfungsi mengatur sistem nilai,

pengetahuan tradisional (lokal knowledge), hukum, pengobatan, sistem

kepercayaan dan religi, begitu pula pada upacara perkawinan adat. Realitas di

masyarakat menunjukkan bahwa, para penutur dan komunitas tradisi lisan

semakin berkurang.

Penyebab terjadinya penyusutan pemahaman leksikon tradisi lisan pada

upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan di Padangsidimpuan, karena faktor

internal penyebab terjadinya penyusutan pemahaman leksikon tradisi lisan pada

upacara perkawinan adat di Kota Padangsidimpuan, karena remaja tidak

memahami upacara perkawinan adat Angkola. Remaja tidak memahami urutan/

kronologis upacara perkawinan adat dan remaja tidak memahami jenis-jenis

upacara perkawinan adat. Remaja tidak mengetahui apa pengukur besar kecilnya

upacara perkawinan adat. Remaja lebih menyenangi musik pop (modern)

daripada musik tradisional. Remaja jarang mendengar leksikon pronomina dan

tidak memahami leksikon adat dan mereka tidak berusaha untuk mencari tahu

(bertanya) agar memahami makna leksikon tersebut kepada pelaku adat.

Faktor eksternal penyebab terjadinya penyusutan pemahaman leksikon

tradisi lisan pada upacara perkawinan adat di Kota Padangsidimpuan ada

(7)

lembaga adat belum mensosialisasikan adat pada remaja, remaja tidak mengenal

benda-benda adat yang dipakai pada upacara perkawinan adat, remaja tidak

pernah manortor sehingga tidak mengetahui nama-nama alat musik tradisional

yang dipakai mengiringinya begitu pula buku-buku berbahasa daerah jarang terbit.

Pagelaran budaya adat sangat jarang kecuali pada upacara perkawinan adat,

perlombaan budaya daerah tidak pernah ada kecuali lomba busana daerah,

Penelitian Damanik (2013) berjudul: Stereotip Gender dalam Bentuk Perumpamaan Bahasa Batak Toba: Kajian Atropolinguistik, untuk menjelaskan

makna dan bentuk-bentuk umpasa bahasa Batak Toba yang stereotip gender.

2.2 Kerangka Konsepdan Kerangka Teoretik

Upacara perkawinan adat Angkola berpuncak pada upacara mangupa horja godang , upacara tersebut dilakukan setelah upacara tu tapian raya bangunan (upacara melepas masa lajang/ gadis). Upacara adat mangupa horja

godang dianggap cukup sakral, karena pandangan masyarakat adat Angkola semakin kental tingkat paradatan seseorang semakin tinggi pula kedudukannya

pada masyarakat adat.

Kepercayaan masyarakat Angkola pada upacara mangupa horja godang adat yaitu agar terhindar dari marabahaya atau terhindar dari peristiwa

kemalangan/ musibah (siluluton), perasaan suka cita karena tercapainya sesuatu

niat (nazar) sebagai rasa syukur karena selesainya studi (naik kelas, meraih gelar

kesarjanaan) meraih kedudukan (pangkat/ jabatan, berkarir), naik haji, sembuh

dari penyakit, tercapai harapan, mendapat rezeki (anak lahir, masuk rumah baru).

Dengan tercapainnya keinginan itu, orang tua bersyukur dengan

(8)

Hakikinya, pelaksanaan upacara adat mangupa horja godang secara

filosofis diyakini masyarakat adat berfungsi untuk mengembalikan dan

menguatkan semangat (tondi) pada tubuh kasar (mangupa horja godang tondi

dohot badan) sehingga semangat yang telah pergi akan kembali ke tubuh. Di sisi yang lain, upacara adat mangupa horja godang merupakan perwujudan rasa kegembiraan, karena tercapainya suatu keinginan yang telah lama diidamkan.

Tradisi lisan mangupa horja godang adat memiliki kearifan lokal, dan nilai-nilai yang diyakini sudah menyatu dan merupakan perekat masyarakat adat,

hal tersebut yang berupaya diungkap pada tulisan ini. jadi, pada tulisan ini yang

menjadi objek kajian adalah performansi upacara mangupa horja godang adat

Angkola, analisis dilakukan dari kata-kata pada tradisi lisan mangupa horja godang yang dilakukan sebagai bagian pada upacara perkawinan (siriaon), berupa kata-kata nasihat, hidup berkeluarga, hormat terhadap orang tua, hidup

bermasyarakat, dan hidup beragama. Analisis pengkajian digunakan perspektif

ilmu linguistik sebagai payung ilmu yang digeluti, dan fokus pada

antropolinguistik sebagai jalan masuk (entry point) pengkajian, untuk melihat

makna dikaji dengan konsep teori semiotik.

Penelitian ini mendeskripsikan performansi tradisi lisan pada upacara

mangupa horja godang adat Angkola dan perubahan upacara mangupa horja

godang adat Angkola tersebut. Pengkajian antropolinguistik sebagai pembuka jalan untuk mengupas upacara mangupa horja godang yang dijadikan objek kajian dengan menggunakan teori upacara yang dikemukakan oleh Smith

(1846-1894) dan untuk mengetahui tradisi lisan dipakai teori Perspektif Folley (1988),

(9)

dalam Hoed (2008:184) dan pembuka cakrawala pengkajian tradisi lisan yang

dikemukakan Sibarani (2012:47) mengkaji tradisi lisan sebagai objek kajian

dengan melihat bentuk dengan mengkaji teks, ko-teks, dan konteks, kemudian

mengkaji isi dengan melihat nilai kearifan lokal dan norma dengan fokus kajian

fungsi dan makna. Dari pengkajian itu dilakukan upaya merevitalisasi pola

pelaksanaan prosesi mangupa horja godang adat Angkola sebagai model

pelestarian.

Menurut pendapat Eggin and Slade (1997:23) terdapat beberapa perspektif

dalam menganalisis tradisi lisan mangupa horja godang sebagai interaksi lisan dalam upacara mangupa horja godang dengan menggunakan metode etnografi,

yang dikemukakan Spreadley, antropolinguistik, dan semiotik. Perspektif

etnografi/ dengan pendekatan tradisi lisan dilakukan dengan antropolinguistik

sebagai jalan masuk.

Kerangka konseptual yang dibahas pada BAB II berupaya memaparkan

hal-hal dengan mengupas objek kajian yang membahas, menganalisis, dan

menguatkan kajian dalam penelitian ini antara lain: 2.1. Kajian pustaka, 2.2.

Kerangka konsep 2.3. Kerangka teori terdiri atas: 2.2.1. Tradisi lisan, 2.2.2

Kerangka Kajian Tradisi lisan, 2.3.3 Antropolinguistik, 2.2.3.1 Performansi,

2.2.3.2 Indeksikalitas, 2.2.3.3 Partisipan, 2.2.4 Fungsi dan Makna 2.2.5

Nilai-nilai dan norma, 2.2.6 Kearifan Lokal, 2.3.7 Revitalisasi tradisi mangupa horja

godang adat Angkola. Agar lebih jelas dipaparkan satu persatu, selanjutnya dipaparkan satu per satu pada kerangka teori yang dipakai dalam penelitian ini.

(10)

Aktifitas kebudayaan yang bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari

sejumlah kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh

kebutuhan kehidupan, sehingga hal tersebut berkembang menjadi tradisi. Menurut

Soekanto (1993:520) tradisi adalah suatu pola perilaku atau kepercayaan yang

telah menjadi bagian dari suatu budaya yang telah lama dikenal sehingga menjadi

adat istiadat dan kepercayaan turun temurun.

Pada hakikatnya tradisi lisan sebagai kegiatan budaya yang diwariskan

secara turun-temurun dengan media lisan dari satu generasi ke generasi lain baik

tradisi itu berupa susunan kata-kata lisan yang memiliki ciri fisik sosial dan

kebudayaan. Menurut Dundes (dalam Danandjaja, 2002:1) folk adalah

sekelompok orang yang memiliki ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan

khusus, sehingga dapat dibedakan dari kelompok lain. Dengan demikian

merupakan kolektif yang memiliki tradisi yang diwariskan dari satu generasi ke

generasi berikutnya.

Pengetahuan tradisi lisan merupakan berbagai pengetahuan dan adat

istiadat yang secara turun temurun disampaikan secara lisan menurut Tol dan

Pudentia (1995: 2) dalam Hoed (2008:184) harus mencakup hal-hal yakni:

Oral traditions do not only contain folktales, myths, and legends (…), but store

complete indigeneous cognate system. To name a few: histories, legal practices,

adat law, medication….” (“...tradisi lisan tidak hanya berisikan pada cerita rakyat, mitos, dan legenda saja, tetapi berupa sistem kognasi kekerabatan lengkap,

misalnya: seluruh sejarah hukum adat, praktik hukum, dan pengobatan

(11)

Sejalan dengan pendapat di atas Sibarani (2012:47) menjelaskan, Tradisi

lisan adalah kegiatan budaya tradisional suatu komunitas yang diwariskan secara

turun-temurun dengan media lisan dari satu generasi ke generasi lain baik tradisi

itu berupa susunan kata-kata lisan (verbal) maupun tradisi lisan yang bukan lisan

(non-verbal). Oral Traditions are the community‟s traditionally cultural activities

inherited orally from one generation to the other generation; either the tradition is verbal or non-verbal.

Tradisi lisan yang masuk dalam kategori yaitu: a) bahasa rakyat (folk

speech), logat, julukan, pangkat tradisional, dan gelar kebangsawanan (gelar adat), b) ungkapan seperti: pribahasa, pepatah, pameo. c) pertanyaan tradisional

(teka-teki) Finnegan (1992:151). Tradisi lisan merupakan penggabungan unsur lisan dan

nonlisan seperti: kepercayaan tradisional, permainan rakyat, adat istiadat, upacara,

teater rakyat, tari rakyat, dan pesta rakyat. Demikian juga yang dikemukakan oleh

William Bascom (1973) pada proses penuturan seni pertunjukan (Verbal Art) pada

tradisi cerita rakyat. Lebih jauh Bascom dalam Dananjaya (2002) menjelaskan,

tradisi lisan memiliki empat fungsi yaitu: 1) tradisi lisan berfungsi sebagai

proyeksi (cerminan) angan-angan kolektif, 2) tradisi lisan berfungsi sebagai alat

legitimasi pranata kebudayaan, 3) tradisi lisan berfungsi sebagai alat pendidikan,

4) tradisi lisan berfungsi sebagai alat pemaksa atau pengontrolagar norma

masyarakat selalu dipatuhi anggota kolektifnya.

Tradisi lisan menghubungkan generasi masa lalu, sekarang, dan masa

depan. Tradisi lisan itu diturunkan dari generasi ke generasi dalam kehidupan

sehari-hari, pemikiran perkataan, dan perilaku secara individu dan kelompok

(12)

bersifat mengikuti perkembangan zaman, sehingga kedinamisan terus berkembang

dari waktu ke waktu dari tradisi lisan primer ke tradisi lisan sekunder menurut

Ong (2007).

Lebih jauh Ong (2007:37-56) tradisi lisan primer memiliki ciri-ciri yang

bersifat umum seperti: a) aditif, gaya penuturan disesuaikan kepada pendengar.

b) agregatif, menggunakan ungkapan yang bersifat menyatukan komunitas adat

tertentu. c) redundan atau copio, ungkapan yang diulang-ulang dan terasa berlebihan yang tujuannya untuk memudahkan pemahaman dan tetap diingat. d)

konservatif, yaitu tetap memegang teguh nilai tradisional sebagai cara untuk

mempertahankan tradisi lisan yang dianggap bernilai tinggi. e) dekat dengan

dunia kehidupan manusia. f) agonistic, menjaga agar pengetahuan dan tradisi tetap kompetitif dan mampu bersaing dengan pengetahuan dan tradisi baru. g)

empatetis-partisipatori, belajar dan mengetahui dalam masyarakat tradisi yang

berarti terlibat langsung, menghormati, dan membentuk kesadaran bersama, h)

homestatik, masyarakat budaya lisan berupaya membangun keseimbangan hidup,

i) situasional, dalam masyarakat budaya lisan konsep-konsep yang berlaku

bersifat khas sesuai dengan situasi masyarakat setempat dan kurang abstrak.

Lebih lanjut Ong (2007:37-56) menjelaskan tradisi lisan sekunder

memiliki ciri-ciri: Kehidupan manusia telah mengenal tulisan. Budaya lisan

merambah melalui media cetak, radio, televisi, dan rekaman CD, DVD. kegiatan

tradisi lisan tidak lepas dari budaya tulis sehingga saling ketergantungan antara

lisan dan tulisan. Tradisi primer terus berkembang ke tradisi lisan sekunder

sehingga peralihan ke budaya modern yang telah merambah budaya cetak dan

(13)

Perspektif Folley (1988) atas ciri-ciri tradisi lisan terbagi atas: tradisi

lisan kelompok besar, tradisi lisan lokal, dan tradisi lisan individual

(idosinkratik). Salah satu warisan budaya yang amat berharga dan penting dalam

pembentukan identitas dan karakter bangsa adalah Intangible Cultural Heritage (ICH). UNESCO dalam konvensi tanggal 16 Oktober 2003 menyebutkan salah

satu unsur penting dalam ICH adalah tradisi lisan (Pudentia 2010).

Realitas di masyarakat, para penutur dan komunitas tradisi lisan semakin

berkurang. Hal ini akibat proses pewarisan secara alamiah tidak berjalan sesuai

dengan yang diharapkan, sementara perubahan kebudayaan berjalan dengan

cepat. Dihadapkan pada kenyataan ini, satu-satunya yang penting dalam upaya

menjaga tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan pada masa sekarang dan yang

akan datang adalah perubahan dalam sistem pewarisannya.

2.2.2 Kerangka Kajian Tradisi Lisan

Kerangka tradisi lisan dapat dilihat sebagai suatu peristiwa budaya atau

sebagai suatu bentuk kebudayaan yang diciptakan kembali (invented culture) untuk dimanfaatkan, dikembangkan, dan dilestarikan sebagai suatu bentuk

kebudayaan, yang karena suatu alasan tertentu perlu dijaga dari kepunahannya.

Menggali dan mengembangkan potensi tradisi lisan, termasuk perlindungan

kekayaan intelektual budaya Indonesia, melalui penelitian yang terstruktur dan

berkelanjutan. Menurut Olrik (1992:62) tradisi lisan mempunyai peluang

(14)

diingat karena tidak digunakan oleh komunitas adat sehingga tidak pernah

didengar lagi.

Sumber utama objek kajian pada penelitian adalah penutur, pelaku adat

sebagai informan kunci yang diteliti juga yang meliputi masyarakat pemilik atau

pendukung yang berkaitan dengan tradisi lisan mangupa horja godang . Di samping tradisi lisan mangupa horja godang, nara sumber yang tetap bertahan

merupakan living traditions, ingatan kolektif yang tersimpan dalam masyarakat dan tradisi tersebut (memory traditions) juga dimasukkan dalam kategori ini

tradisi lisan. Begitu pula data skunder yaitu masyarakat adat, dokumenter,

buku-buku adat.

Memang, pada umumnya penelitian tradisi lisan banyak difokuskan pada

kajian bentuk dan fungsi, padahal sejatinya kajian tradisi lisan menganalisis

aktifitas performansi tradisi karena dapat meretas nilai-nilai kearifan lokal yang

hampir hilang. Berbagai pengetahuan lokal yang hanya diperoleh pada proses

performansi saja. Hal ini sejalan dengan pendapat Fine (1994:58) mengatakan

bahwa penelitian tradisi lisan seharusnya diarahkan kepada performansi tradisi

lisan, karena dalam performansi tersebut dipertontonkan proses dan gaya

komunikasi sosial sebagai model estetika antara pelaku adat dengan komunitas

masyarakat adat yang memiliki karaktersitik adat yang sesuai dengan kondisi

sosial masyarakat adat, peristiwa upacara adat.

Kerangka tradisi lisan tidak dapat dipisahkan antara produk budaya dan

masyarakat sebagai komunitasnya. Keduanya sangat tergantung satu sama lain.

(15)

apalagi diteruskan. Sebaliknya, tanpa tradisi, masyarakat pemiliknya akan

kehilangan identitas kemanusiaannya dan kehilangan banyak hal penting,

khususnya pengetahuan tradisional, kearifan lokal, dan nilai-nilai yang pernah

menghidupi dan sudah menyatu pada komunitas tersebut.

Kerangka tradisi lisan sebagai sumber “yang tidak tertulis” yang

ditransmisikan secara lisan. Selain itu, pelestarian tradisi lisan ini sangat

tergantung pada memori (generasi-generasi) manusia pendukung tradisi lisan

tersebut (Sinar dan Takari, 2015:20). Dihadapkan pada kenyataan ini,

satu-satunya yang terpenting dalam upaya menjaga tradisi lisan sebagai sumber

pengetahuan pada masa sekarang dan yang akan datang adalah sistem

pewarisannya. Sistem pewarisan pembentukan identitas, perlu dilakukan

pengelolaan tradisi lisan mangupa horja godang seperti: pelindungan, preservasi,

model dan revitalisasi tradisi lisan, khususya tradisi lisan mangupa horja godang

masyarakat adat Angkola.

2.2.3 Antropolinguistik

Hubungan antara manusia dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan, sama

seperti manusia dengan bahasa sebagai wadah untuk berkomunikasi, begitu pula

manusia dengan kebudayaan tetap menggunakan bahasa sebagai perantaranya. Di

satu sisi manusia adalah kreator kebudayaan, di sisi yang lain kebudayaan

membutuhkan bahasa sebagai alat mewujudkan kebudayaan itu.

Hal ini sesuai dengan pendapat Levi-Strauss (1972:68) bahasa merupakan

hasil kebudayaan, maksudnya bahasa yang dipergunakan atau yang diucapkan

(16)

ada keterjalinan hubungan timbal balik yang sangat erat dan padu antara manusia,

bahasa, dan kebudayaan menjadi kajian antropolinguistik.

Antropolinguistik mengkaji budaya untuk mencari makna dibalik

penggunaan, ketimpangan penggunaan maupun tanpa menggunakan bahasa dalam

bentuk register dan gaya yang berbeda, mengkaji struktur dan hubungan

kekeluargaan melalui istilah kekerabatan dengan payung linguistik. Kajian

antropologi linguistik juga menelaah bagaimana kemampuan manusia sebagai

anggota masyarakat yang saling berkomunikasi dengan menggunakan

simbol-simbol dan lambang pada upacara adat dengan menggunakan konsep

kebudayaanan.

Kemampuan manusia mengembangkan bahasa sebagai alat komunikasi

dengan menggunakan lambang atau simbol-simbol manasuka yang cukup rumit,

hal ini terwujud karena kemampuan dasar manusia dalam mengembangkan

kemampuan bernalar. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Cassier

(1951:32) manusia sebagai makhluk yang paling mahir dalam mengembangkan

simbol-simbol sehingga manusia disebut makhluk yang banyak menggunakan

simbol (homo symbolicum).

Jadi, dengan dasar itulah pengkajian tradisi mangupa horja godang

menggunakan pengkajian antropolinguistik sebagai jalan masuk (entry point) dan

berperan karena antropoglinguistik dapat mendeskripsikan suatu bahasa yang

digunakan pada tradisi lisan mangupa horja godang . Di samping itu, dari pendekatan itu akan menghasilkan informasi yang berharga, yang tidak hanya

(17)

simbol-simbol yang digunakan oleh komunitas adat dalam upacara adat mangupa

horja godang .

Pengkajian antropolinguistik dapat membantu memahami dan

mengidentifikasi hal-hal yang dianggap memiliki arti khusus dalam upacara adat

mangupa horja godang tersebut, sehingga dipahami latar belakang adat sehingga tradisi yang humanis dapat dipahami dengan mengamati fenomenologis

pengalaman dan pemahaman adat mengupa komunitas Angkola.

Tradisi lisan mangupa horja godang sebagai objek kajian penelitian ini,

dengan mempertimbangkan saran yang disampaikan oleh penguji pada sidang

seminar proposal (kolokium) disertasi, begitu pula berdasarkan buku referensi

yang dibaca maka penulis memutuskan antropolinguistik jalan masuk (entri

point) yang tepat. Untuk membahas pemaknaan pada objek tradisi lisan mangupa horja godang digunakan teori semiotik untuk melihat lebih dalam makna sebagai

perlambang.

Kajian Antropolinguistik terhadap tradisi lisan mangupa horja godang

akan mengkaji unsur verbal dan nonverbal tradisi lisan mangupa horja godang dapat dijelaskan melalui pemahaman struktur teks, koteks, dan konteksnya

sehingga pemahaman bentuk juga menjadi pemahaman performansi tradisi lisan

mangupa horja godang . Antropolinguistik mempelajari teks, koteks, dan konteks (bentuk) performansi tradisi lisan dalam kerangka kerja antropologi, mempelajari

konteks budaya, konteks ideologi, konteks sosial, dan konteks situasi tradisi lisan

(18)

godang serta akhirnya menemukan model penelitian sehingga dilakukan revitalisasi sebagai pewarisan tradisi lisan mangupa horja godang .

Tradisi lisan mangupa horja godang sebagai bagian bahasa yang erat

kaitannya dengan kebudayaan sehingga antropolinguistik merupakan pilihan yang

tepat untuk mengkaji tradisi lisan mangupa horja godang . Hakikinya, antropolinguistik mempelajari variasi dan penggunaan bahasa yang berhubungan

dengan kebudayaan suatu suku bangsa. Antropolinguistik juga sebagai

pengetahuan yang mempelajari manusia dan kebudayaan, manusia sebagai kreator

pencipta kebudayaan, oleh karenanya terjalin hubungan sebab akibat yang cukup

erat dan padu antara keduanya, yaitu manusia, kebudayaan, tradisi dengan bahasa

sebagai medianya.

Sibarani (2004:50) menyebutkan hubungan antara bahasa dan kebudayaan

pada komunitas di masyarakat memiliki peranan yang cukup penting sebagai

sarana komunikasi. Penggunaan bahasa serta bagaimana cara seseorang

berkomunikasi dengan orang lain dalam kegiatan sosial dan budaya lain secara

tepat sesuai dengan teks dan konteks budayanya merupakan fokus kajian

antropolinguistik.

Antropologi linguistik atau antropolinguistik disebut juga dengan

etnolinguistik yang menelaah struktur, fungsi dan pemakaiannya dalam konteks

situasi sosial budaya. Melalui pendekatan antropolinguistik, perlu mencermati

yang dilakukan oleh manusia dengan kebudayaannya dengan menggunakan

bahasa sebagai ujaran-ujaran yang diproduksi, bahasa dihubungkan dengan

(19)

antropolinguistik modern, menurut Duranti (2001:14) menyatakan pendekatannya

melalui (1) performance, (2) indexcality, dan (3) participation.

Jadi, performansi sebagai peristiwa komunikasi yang memiliki dimensi

proses komunikasi yang bermuatan sosial, budaya, dan estetik (Finnegan

(1992:92-93). Performansi sebagai bentuk aktifitas tindakan dengan tanda tertentu

yang dapat ditafsirkan sehingga tindakan komunikasi dapat dipahami.

Performansi tradisi tuturan yang diperagakan sebagai objek kajian sesuai

kontekstual dengan menonjolkan suasana adat.

Menurut Sibarani (2004:50) fokus kajian antropolinguistik yaitu hubungan

dan peranan bahasa dan kebudayaan pada masyarakat serta bagaimana

hubungannya pada terminologi budaya. Komunikasi verbal dan nonverbal antara

seseorang dengan orang lain dalam kegiatan sosial dan budaya tertentu sesuai

dengan konteks budayanya, dan bagaimana bahasa masyarakat dahulu sesuai

dengan perkembangan budayanya.

Antropolinguistik memandang bahasa dari konsep inti antropologi yang

mengkaji budaya untuk mencari makna di balik penggunaan, ketimpangan

penggunaan maupun tanpa menggunakan bahasa dalam bentuk register dan gaya

yang berbeda. Hakikinya, antropolinguistik memuat interpretasi bahasa untuk

menemukan pemahaman secara budaya.

“Antropological linguistics views language through the prism of the core

anthropological concept, culture, and such, seeks to uncover the meaning behind

the use, misuse, or non-use of language, its different forms, registers and style. It

(20)

Penjelasan Foley‟s (1997:3) di atas dapat dijabarkan maksudnya, linguistik

antropologi sebagai subdisiplin linguistik yang berkaitan dengan tempat bahasa

dalam konteks budaya maupun sosial yang memiliki peran menyokong dan

menempa praktik-praktik kultural dan struktural sosial.

Antroplogical linguistics is that sub-field of linguistics which is concern with the place of language in its wider sosial and cultural context, its role in forging dan sustaining cultural practices and sosial structures. Such, it may be seen to overlap with another sub-field with a similar domain, sociolinguistics, and in practice this may indeed be so. (Foley, 2003:3)

Walaupun istilah keduanya sering bertukar tempat antara antropolinguistik

dengan sosiolinguistik, disebabkan memiliki ranah kajian yang sama yaitu fungsi

bahasa sebagai media komunikasi pada guyub tutur.

Agar lebih jelas Sibarani (2004:51) memaparkan, ada tiga relasi penting

kajian antropolinguistik yang memiliki hubungan yang patut jadi kajian:

 Hubungan antara satu bahasa dengan satu budaya yang bersangkutan. Yang berarti bahwa ketika mempelajari suatu budaya, kita juga harus mempelajari bahasanya, dan ketika kita mempelajari bahasanya kita juga harus mempelajari budayanya.  Hubungan bahasa dengan budaya secara umum yang berarti bahwa

setiap ada satu bahasa dalam suatu masyarakat, maka ada satu budaya dalam masyarakat itu. Bahasa mengindikasikan budaya, perbedaan bahasa berarti perbedaan budaya atau sebaliknya.  Hubungan antara linguistik sebagai ilmu bahasa dengan

antropologi sebagai ilmu budaya.

Tradisi lisan mangupa horja godang sebagai objek kajian dengan menggunakan antropolinguistik sebagai jalan masuknya (entry point), pengkajian

dimulai dari unsur struktur dan formula unsur verbal dan nonverbal tradisi lisan

(21)

lokal) dan model revitalisasi (pengaktifan atau penghidupan kembali, pengelolaan,

dan proses pewarisan) tradisi lisan yang sedang diteliti, Sibarani (2012:288).

Peranan kebudayaan dalam memahami bahasa yang berfungsi sebagai

sarana komunikasi, maka pengguna bahasa menggunakannya sebagai media

komunikasi pada konteks budaya. Linguistik sebagai payung ilmu untuk mengkaji

difokuskan pada antropolinguistik yang merupakan subbidang dari linguistik.

Lebih jauh dijabarkan, pemahaman struktur (bentuk) dan kajian nilai, norma, dan kearifan lokal, sehingga bila dikaji dengan lebih mendalam akan didapat sistem proses pewarisan melalui revitalisasi. Nilai dan norma budaya tradisi lisan dikristalisasi dan ditemukan makna dan fungsinya. Dari makna dan fungsi bagian-bagian tradisi lisan serta makna dan fungsi keseluruhan tradisi lisan sebagai wacana yang lengkap akan dapat diungkapkan nilai dan norma sebuah tradisi lisan melalui proses interpretasi yang dikaitkan dengan konteksnya. (Sibarani 2012:305)

Antropolinguistis menyadari kajian bahasa melalui pendekatan pragmatik,

fungsional maupun analisis wacana dengan menggunakan pendekatan analisis

mikrostruktural dan makrostruktural untuk mengkaji struktur bahasa (teks, koteks,

dan konteks). Secara mikro mengkaji fungsi bahasa sebagai kebutuhan personal

dalam kehidupan bersosialisasi, antara lain: fungsi nalar, fungsi emosi, fungsi

komunikatif, fungsi perekam, fungsi pengidentifikasian, fungsi fatis, fungsi

memberikan rasa senang. Fungsi makro digunakan dalam kaitannya dengan

penutur, meliputi: fungsi ideasional, fungsi interpersonal, fungsi estetika bahasa,

fungsi tekstual, fungsi sosiologis. Penjabaran di atas dapat dipetik suatu fungsi

bahasa sebagai alat komunikasi yang dipakai pada tradisi adat mangupa horja

(22)

dimaksud dengan etik dan emik yang berhubungan dengan analisis data lapangan

dalam kajian antropolinguistik.

Hal ini dijabarkan oleh Bolinger (1975:520) tentang etic adalah, “a

material manifestation that can be identified by any characteristic that strikes the erya”, dan emic yaitu, “a formal unit within a closed system”. Jadi, emik adalah

satuan formal dalam satu sistem tertutup dan etik adalah manifestasi material yang

teridentifikasi lewat ciri-ciri pemeriannya.

Pengkajian lebih jauh tentang objek tradisi lisan mangupa horja godang ,

lebih jelas dengan jalan masuk menggunakan pengkajian antropolinguistik

terhadap tradisi lisan mangupa horja godang , yang akan mengkaji unsur verbal

dan nonverbal tradisi lisan mangupa horja godang dapat dijelaskan melalui permasalahan yang mengkaji struktur teks, koteks, dan konteksnya dengan objek

kajian tradisi lisan mangupa horja godang dengan kajian antropolinguistik.

2.2.3.1 Performansi

Performansi merupakan suatu peristiwa komunikasi yang memiliki

dimensi proses komunikasi yang bermuatan sosial, budaya, dan estetik.

Performansi menunjukkan perilaku yang memberikan kebermaknaan yang

semuanya bermuara pada konteks yang relevan. Pada konteks dapat

diidentifikasi pada berbagai tingkat dalam hal pengaturan upacara, misalnya,

tempat peristiwa budaya terjadi. Hal ini sesuai dengan pendapat Richard

Bauman (1978:26): We view the a ct of ferforma nce a s situa ted beha vior,

situa ted within a nd rendered mea ningful with reference to releva nt contexts.

(23)

Performansi budaya menunjukkan kinerja paling menonjol pada

masyarakat Angkola, performansi upacara mangupa horja godang memiliki aturan-aturan yang harus dipenuhi, aturan-aturan hanya berlaku pada

lingkup budaya pada masyarakat karena melibatkan seluruh elemen

komunitas adat. aturan-aturan adat masyarakat yaitu melakukan upacara

adat sebagai tanggung jawab moral sesama komunitas adat. Hal itu, berbeda

pada performansi pertunjukan pelaku bertanggung jawab kepada audiens,

sehingga kompetensi performer diharapkan melatihkan skil komunikasi

verbal serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan untuk dapat

berkomunikasi dengan pendekatan sosial humanis.

Martha C Sims dan Martine Stephens (2011:131-132) menambahkan

performansi pertunjukan sebagai kegiatan ekspresif yang membutuhkan

partisipasi pengetahuan dan pengalaman yang berimbas pada respon

audiens. Sehingga, performansi mampu dipahami dan ditafsirkan oleh

audiens, hal itu sebaliknya performansi tidak akan sukses bila pelaku tidak

menunjukkan kemampuan yang baik bila ekspresi audiens penuh dengan

kekecewaan. Lebih jauh Bauman (1978:29) menjelaskan struktur peristiwa

performansi melibatkan patisipan, pemain (s) dan audiens. fungsi

performensi sebagai dimensi utama dari pola pertunjukan pada masyarakat.

Lord mengatakan dalam performansi (1981:13-29) ada tiga tahap proses

berupa 1) komposisi, 2) performansi dan 3) transmisi. Lebih jauh dijelaskan

komposisi, yaitu a) peletakan pondasi dengan cara mendengarkan atau melakukan

penyerapan, b) penerapan atau aplikasi, dan c) pelantunan di hadapan pendengar.

(24)

mengakumulasi, mengkombinasi dan memodelkan kembali formula yang telah

ada. Atau, pembuatan komposisi dilakukaan saat ia melakukan performansi

(pertunjukan) sehingga komposisi dan performansi merupakan dua hal yang

dilakukan pada saat bersamaan. Konsep komposisi tidak dapat dilepaskan dari

konteks latar belakang penciptaan, seperti keterkaitannya dengan faktor individu

dan kolektif, keterkaitannya dengan performansi, keterkaitannya dengan

memorisasi, keterkaitannya dengan teks-pasti dan teks-bebas.

Performansi menurut Ruth Finnengan. (1991) (1992, 98-100), Sims dan

Martine Stephens (2011:131), Bauman (1978:29), Nagy dan Koenjtaraningrat

(1985:243) dapat diisimpulkan kerangka konsep performansi tradisi lisan terbagi

atas dua, a) performansi yang ditampilkan di hadapan audiens (hiburan) dan b)

performansi yang tidak ditampilkan di hadapan audiens sesuai dengan kondisi

tertentu (sakral).

Sehingga pengkajian performansi upacara mangupa horja godang adat Angkola yang tidak ditampilkan dihadapan audiens karena kondisi tertentu dan

upacara mangupa horja godang adat hanya diikuti oleh suhut sihabolonan, tokoh

adat, pelaku adat, harajaon, hatonangon, dan pandongani.

Finnegan mengatakan bahwa performansi dalam tradisi lisan dapat

dibedakan menjadi dua yaitu (a) performansi yang ditampilkan di hadapan

audiens, dan (b) performansi yang tidak ditampilkan di hadapan audiens sesuai dengan kondisi tertentu. Model performansi pertama dimanfaatkan untuk tujuan

hiburan, dan model kedua dimanfaatkan untuk tujuan sakral. Ia juga mengatakan

bahwa dalam performansi melibatkan unsur performer (orang yang melakukan

(25)

media (sarana dan prasarana yang digunakan, baik verbal maupun material).

Pendekatan performansi dapat dijadikan sebagai ide dalam mengkaji bagaimana

kegiatan masyarakat pemiliknya berkaitan dengan budaya lisan.

Finnengan juga memberikan sejumlah panduan yang dapat diaplikasikan

dalam menganalisis dan membandingkan teks dengan memperhatikan aspek gaya,

struktur, dan isi serta proses pengolahan teks lisan melalui penerjemahan,

pendeskripsian, dan presentasi. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa

Berdasarkan fenomena performansi seni pertunjukan berbeda dengan

tradisi lisan ma ngupa horja goda ng , tradisi lisan ma ngupa horja goda ng tidak membutuhkan penonton dan bahkan yang tidak terlibat pada prosesi

upacara adat tidak memiliki tempat pada prosesi upacara mangupa horja

godang tersebut. Jadi, pengkajian tradisi lisan ma ngupa horja goda ng digunakan kajian antropolinguistik yang dikemukakan oleh Duranti (1997:14)

dengan fokus objek kajian pada: performansi (performance), indeksikalitas

(indexica lity), partisipasi (pa rticipa tion). Pada performansi tradisi ma ngupa

horja goda ng sebagai puncak upacara perkawinan adat Angkola berupa penyampaian kalimat-kalimat nasihat kepada pengantin. Sejalan dengan

pendapat di atas Bauman (1993:3) menjelaskan performansi pada upacara

ma ngupa horja goda ng adalah pelaku adat dan tokoh adat (performer), pengantin dan masyarakat adat (a udience), performansi adat (konteks situasi,

tempat dan waktu).

Performansi adat merupakan unsur lingual memiliki nilai-nilai kearifan

lokal sebagai sumber pengetahuan hidup berumah tangga. Pemikiran Charles

(26)

indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). dan partisipasi adalah

perspektif tradisi mangupa horja godang sebagai aktivitas adat Angkola yang

melibatkan komunitas adat sebagai guyub tutur adat.

Pada upacara Kemudian tahapan performansi yaitu: performer, audies, partisan (orang-orang yang terlibat pertunjukan), dan media. Performansi

melibatkan unsur performer (orang yang melakukan pertunjukan dalam hal ini

tokoh adat), audies dan partisan (orang-orang yang terlibat pada upacara adat

mangupa horja godang ), media (sarana dan prasarana yang digunakan, baik verbal maupun material).

Charles Sanders Pierce tentang konsep indeksikalitas dibedakan tanda atas

tiga jenis yakni indeks (index), simbol (symbol), dan ikon (icon). dan partisipasi

adalah perspektif tradisi mangupa horja godang sebagai aktivitas adat Angkola

yang melibatkan komunitas adat sebagai guyub tutur adat.

Ditambahkannya bahwa proses komposisi tersebut dilanjutkan dengan

proses mengakumulasi, mengkombinasi dan memodelkan kembali formula yang

telah ada. Atau, pembuatan komposisi dilakukaan saat ia melakukan performansi

(pertujukan) sehingga komposisi dan performansi merupakan dua hal yang

dilakukan pada saat bersamaan. Konsep komposisi tidak dapat dilepaskan dari

konteks latar belakang penciptaan, seperti keterkaitannya dengan faktor individu

dan kolektif, keterkaitannya dengan performansi, keterkaitannya dengan

memorisasi, keterkaitannya dengan teks-pasti dan teks-bebas.

Menurut partisipan, pemain (s) dan audiens. fungsi performensi sebagai

dimensi utama dari pola pertunjukan pada masyarakat. (Bauman, 1993:3).

(27)

didukung oleh media seperti musik, tempat dan waktu penyajian, Bauman

1993:3) performansi: pelaku adat dan tokoh adat (performer), pengantin dan

masyarakat adat (audience), performansi adat (konteks situasi, tempat dan waktu).

Performansi tradisi lisan mangupa horja godang berbeda hanya dari sudut

bahan pangupa yang digunakan psebagai bahan dasar mangupa yaitu seekor

kerbau yang dugunakan untuk mangupa pengantin. Sehubungan dengan

performansi tersenut, Lord (1981:13-29) menekankan aspek-aspek kelisanan puisi

Yugoslavia berupa komposisi, performansi dan transmisi. Dikemukakannya lagi,

bagi penyair lisan, pembuatan komposisi dilakukan saat ia melakukan performansi

(pada tradisi tersebut) sehingga komposisi dan performansi merupakan dua hal

yang dilakukan pada saat bersamaan .lebih jauh ia menjelaskan dalam buku The Singer of Tales (1981), Lord memberi deskripsi eksplisit mengenai konsep komposisi, performansi, dan transmisi. Menurutnya bagi penyair lisan, pembuatan

komposisi dilakukaan saat ia melakukan performansi (pertujukan) sehingga

komposisi dan performansi merupakan dua hal yang dilakukan pada saat

bersamaan.

Lebih lanjut Lord (1981:13).mengatakan ada tiga tahap dalam proses

komposisi, yaitu peletakan pondasi dengan cara mendengarkan atau melakukan

penyerapan, penerapan atau aplikasi, dan pelantunan di hadapan pendengar.

Ditambahkannya bahwa proses komposisi tersebut dilanjutkan dengan proses

mengakumulasi, mengkombinasi dan memodelkan kembali formula yang telah

ada. Para penyair lisan dalam melantunkan puisi lisan (lagu) tidak akan sama

(28)

Hal ini disebabkan karena penyair lisan hanya menghafal formulanya saja,

sehingga dalam performansi terdapat perubahan, penambahan atau kesalahan.

Dengan demikian, hal semacam ini dapat memberi penegasan tentang proses yang

terjadi dalam proses transmisi dalam tradisi lisan. Lord (1981) dalam bukunya The

Singer of Tales, tidak memberi deskripsi eksplisit mengenai konsep komposisi, performansi, dan transmisi; tetapi justru Finnegan, dengan berpijak pada paparan

Lord, mendeskripsikan secara eksplisit ketiga konsep tersebut.

Menurut Finnengan komposisi dimaksudkan sebagai suatu cara atau

proses penciptaan sastra lisan atau cara sastra lisan disusun atau dihidupkan.

Konsep komposisi tidak dapat dilepaskan dari konteks latar belakang penciptaan,

seperti keterkaitannya dengan faktor individu dan kolektif, keterkaitannya dengan

performansi, keterkaitannya dengan memorisasi, keterkaitannya dengan teks-pasti

dan teks-bebas.

Pembicaraan mengenai komposisi yang diungkapkan oleh Lord tersebut,

kemudian diuraikan Nagy (2001) sebagai lanjutan dari apa yang selama ini

menjadi pertanyaan Parry dan Lord dalam mengkaji puisi Homer. Hal terpenting

dari hasil analisis Nagy (2001:3-10) adalah ia merumuskan tentang apa yang

pernah dilakukan oleh Parry dan Lord, menjadi sepuluh kelompok konsep yang

menjadi unsur terpenting dalam mengkaji sebuah tradisi lisan. Menurut Nagy,

sepuluh unsur yang harus dipertimbangkan dalam mengkaji komposisi tradisi

lisan adalah : (1) fieldwork, (2) syncrony vs diachrony, (3)

(29)

Diperlukan pendekatan sinkronis dan diakronis (syncrony vs diachrony)

untuk melihat perkembangan dan variasi satu tradisi (tradition vs innovation).Perspektif sinkronis berkaitan dengan kerja lapangan (fieldwork)

kajian sastra lisan pada saat disajikan dengan tujuan menggambarkan sistem

aktual yang hidup terus menerus oleh sebuah tradisi (Nagy, 2001: 3-4).

Sedangkan pendekatan diakronis dilakukan untuk melihat bagaimana tradisi

tersebut, sejak pertama kali disajikan hingga sekarang.

Pendekatan ini dimaksudkan bukan untuk mengklasisfikasi sejarahnya

sebagaimana ilmu lain seperti filologi, sejarah sastra, ataupun ilmu kritik sastra.

Karena sifat tradisi lisan dinamis dan komposisi disajikan pada saat penyajian

(composition-in-performansi) (Lord, 1981:13), maka prinsip diakronis diperlukan

untuk melihat variasi yang muncul dan selalu berbeda disetiap penyajian. Dengan

kata lain tradisi lisan bukan objek mati, tetapi justru merupakan tradisi

komunikasi yang berbentuk dan berubah dalam interaksi antara penyampai

(author) dan khalayak. Dari interaksi ini, terjadilah proses penyebaran (diffusion),

baik pengetahuan maupun informasi yang diperoleh dari teks lisan (texs).

Ditegaskan kembali leh Nagy bahwa selama ini telah terjadi

kesalahpahaman peneliti sastra lisan yang menganggap bahwa konsep yang

ditemukan oleh Parry dan Lord adalah teori sastra lisan. Menurutnya, sastra

ataupun puisi adalah satu “fakta” yang diketahui dari hasil kerja lapangan. Dari

hasil analisis tersebut, Nagy mengatakan bahwa tanpa performansi tradisi lisan

tidak akan tersaji dalam bentuk lisan. Tanpa performansi, gagasan utama tradisi

(30)

Berkaitan dengan performansi, perlu juga melihat pemikiran yang

dikemukakan oleh Finnengan (1991) dalam bukunya Oral Poetry: Its Nature, Significance and Social Contexs, memperlihatkan hasil kajian di bidang lain

berupa seni pertunjukan dan tradisi lisan., ia mengungkapkan bahwa terdapat

tiga aspek penting yang harus diperhatikan dalam mengkaji penyajian sastra lisan

yaitu (1) composition, suatu proses bentuk-bentuk lisan dikomposisi (digubah)

dengan mempertimbangkan relasi antara tradisi dan kreasi individual yang

mampu mengembangkannya ke dalam beberapa dimensi yang berbeda, budaya,

dan gendre yang beragam seperti gaya (bahasa), isi, musik, plot, ideologi ataupun

ciri khas penyajian itu sendiri, (2) transmission, yaitu proses regenerasi ataupun

proses penyeleksian terhadap individual tertentu yang akan mewarisi dan

melanjutkan tradisi lisan tersebut, dan (3) audience, yaitu unsure khalayak atau penikmati yang menentukan sukses tidaknya sebuah performansi.

Lebih lanjut, Finnengan (1992:91-111) menguraikan lebih luas bahwa

pada sejumlah gagasan dan teori yang overlapping yang berkaitan dengan karya

seni dan ekspresi lisan. Tapi, pendekatan pada performansi cenderung dapat

dijadikan sebagai ide sentral untuk mengkaji bagaimana kegiatan masyarakat

pemiliknya berkaitan dengan budaya lisan itu sendiri. Dalam pendekatan etnografi,

performansi dapat dipandang sebagai satu “lahan” lain di samping teks sebagai

salah satu unit deskripsi dan analisis yang fundamental dalam mendukung

kerangka kerja empiris bagi pemahaman terhadap sastra lisan.

Etnografi sebagai sebuah pendekatan, menaruh perhatian pada tingkah

laku yang aktual pada saat penyajian lisan yang bersifat artistik dalam kehidupan

(31)

penyaji (performer), audience, situasi dan pengorganisasian penyajian yang

didukung oleh media seperti musik, tempat dan waktu penyajian (Bauman, 1993:

3). Finnegan dalam buku Oral Tradition and Verbal Art (1992.98-100),

memperkaya tiga aspek di atas dengan membagi aspek audience menjadi empat kelompok, yaitu (1) primary audience, yaitu orang yang berkepentingan dengan pelaksanaan tradisi lisan, (2) secondary audience, yaitu orang yang tidak hanya

hadir untuk sekedar menikmati penyajian, tetapi juga merekam dan mengambil

gambar dokumentasi, (3) integral audience, yaitu orang yang memang wajib

untuk datang karena penyajian adalah satu bagian tertentu yang sudah melekat

dalam diri dan kesehariannya, dan (4) accidental audience, yaitu orang

(kelompok) yang mendapat informasi dari pemberitaan lisan ataupun media massa.

Lebih jauh, Finnengan juga memberikan sejumlah panduan yang dapat

diaplikasikan dalam menganalisis dan membandingkan teks dengan

memperhatikan aspek gaya, struktur, dan isi serta proses pengolahan teks lisan

melalui penerjemahan, pendeskripsian, dan presentasi. Selanjutnya, ia

mengatakan bahwa performansi adalah suatu peristiwa komunikasi yang memiliki

dimensi proses komunikasi yang bermuatan sosial, budaya, dan estetik.

Pertunjukan memiliki model tindakan dengan tanda tertentu yang dapat

ditafsirkan sehingga tindakan komunikasi dapat dipahami. Tindakan komunikasi

diperagakan, diperkenalkan dengan objek luar, dan dibangun dari lingkungan

kontekstualnya. Pertunjukan budaya merupakan konteks pertunjukan yang

menonjolkan suasana komunitas, yang berkaitan dengan ruang dan waktu.

Hal yang sama juga dikemukan oleh Fine bahwa ada tiga fokus yang perlu

(32)

estetika dan gaya komunikasi, 2) berhubungan dengan peristiwa tertentu, 3)

budaya khusus dan varibel dari studi lintas-budaya (Fine, 1984: 58). Oleh karena

itu, metode penelitian sastra lisan, harus diarahkan dalam dua aspek, yang pertama

adalah berkaitan dengan konten atau isi daritradisi lisan, dan kedua adalah

berhubungan dengan performansi yang merupakan ruang tersendiri yang memiliki

hubungan dengan model komunikasi khusus yang berbeda dengan pidato antara

performer dengan pendengarnya.

Selain itu, performansi sastra lisan juga merupakan ruang ekspresi budaya

yang berhubungan dengan peristiwa budaya tertentu di dalam suatu masyarakat.

Performansi juga merupakan variasi budaya yang penting dalam studi lintas

budaya. Oleh karena itu, kajian mengenai performansi sastra lisan merupakan

kekayaan kajian di masa yang akan datang. Lebih lanjut , Finnegan mengatakan

bahwa performansi dalam tradisi lisan dapat dibedakan menjadi dua yaitu (1)

performansi yang ditampilkan di hadapan audiens, dan performansi yang tidak ditampilkan di hadapan audiens sesuai dengan kondisi tertentu.

Model performansi pertama dimanfaatkan untuk tujuan hiburan, dan

model kedua dimanfaatkan untuk tujuan sakral. Ia juga mengatakan bahwa dalam

performansi melibatkan unsur performer (orang yang melakukan pertunjukan),

audies dan partisan (orang-orang yang terlibat pertunjukan), serta media (sarana dan prasarana yang digunakan, baik verbal maupun material).

Konsep performansi yang digunakan dalam kajian ini aspek-aspek

kelisanan dari sebuah penyajian tradisi lisan diantaranya komposisi, transmisi, dan

(33)

prespektif sinkronis dan diakronis sehingga ditemukan perubahan-perubahan yang

muncul, baik dalam teks maupun dalam performansi tradisi lisan itu sendiri.

Pengkajian performasi tentang objek tradisi lisan mangupa horja godang ,

adalah mengkaji performer sebagai tokoh adat mangupa dalam melakukan tradisi

lisan mangupa dalam kajian antropolinguistik terhadap orang-orang yang terlibat

pada tradisi lisan mangupa horja godang, yang akan mengkaji unsur verbal dan

nonverbal tradisi lisan mangupa horja godang dapat dijelaskan melalui permasalahan yang mengkaji struktur teks, koteks, dan konteksnya dengan objek

kajian tradisi lisan mangupa horja godang dengan kajian antropolinguistik.

2.2.3.2 Indeksikalitas

Pemahaman indeksikalitas sebagai peristiwa komunikasi yang memiliki

dimensi tindakan dengan tanda tertentu yang dapat ditafsirkan sehingga tindakan

komunikasi dapat dipahami. Kajian Antropolinguistik terhadap tradisi lisan

mangupa horja godang akan mengkaji unsur verbal dan nonverbal tradisi lisan mangupa horja godang dapat dijelaskan melalui pemahaman struktur teks, koteks, dan konteksnya. Pemahaman indeksikalitas tradisi lisan mangupa horja godang,

menurut Duranti (2001:14) menyatakan pendekatannya melalui (1) performance, (2) indexcality, dan (3) participation.

Konsep indeksikalitas ini berasal dari pemikiran filosof Amerika Charles

Sanders Pierce yang membedakan tanda atas tiga jenis yakni indeks (index),

simbol (symbol), dan ikon (icon). Indeks adalah tanda yang mengindikasikan

bahwa ada hubungan alamiah dan eksistensial antara yang menandai dan yang

ditandai. Konsep indeks (indeksikalitas) diterapkan pada ekspresi linguistik

(34)

(personal pronouns), adverbia waktu (temporal expressions), dan adverbia

tempat (spatial expressions).

2.2.3.3 Partisipan

Partisipan yang dimaksud dalam tradisi lisan mangupa horja godang upacara adat perkawinan adat Angkola adalah seluruh komunitas adat Angkola

yang terlibat dalam rangka terwujudnya tradisi lisan mangupa horja godang

tersebut. Dengan demikian, partisipan bukan hanya mereka yang ada pada upacara

mangupa tersebut, tetapi orang-orang yang juga dapat berpartisipasi dalam

mempersiapkan tradisi lisan mangupa horja godang tersebut. Hal itu karena tradisi lisan mangupa horja godang melibatkan berbagai pihak. Partisipan yang

terlibat dalam tradisi lisan mangupa horja godang , antara lain yang menyiapkan bahan pangupa, memasak, dan mereka turut bekerja dan menyiapkan tradisi lisan

mangupa horja godang. .

2.2.4 Teks, Koteks, dan Konteks

1) Teks

Performansi teks tradisi lisan mangupa horja godang sebagai objek penelitian mengkaji bentuk dan isi, bentuk dikaji atas teks, koteks, dan konteks.

Menurut Sibarani (2012:242) performansi teks merupakan unsur verbal yang

memiliki struktur yang dapat dikaji dari struktur makro, struktur alur, dan struktur

mikro. Performansi koteks memiliki elemen yang mendampingi teks seperti

(35)

performansi konteks memiliki kondisi yang formulanya berkenaan dengan budaya,

sosial, situasi, dan ideologi.

Teks, menurut Halliday dan Hasan (1985: 10), sebagai bahasa yang

fungsional, bahasa yang melakukan tugas tertentu dalam konteks tertentu, yang

berbeda dengan kata-kata atau kalimat-kalimat yang berdiri sendiri. Teks juga

adalah unit dari pengguna bahasa (Halliday & Hasan 1978: 1). Teks itu dibatasi

sebagai unit bahasa yang fungsional dalam konteks sosial (Halliday 1994). Semua

teks merupakan penggunaan bahasa yang dihasilkan dengan maksud untuk

menunjukkan sesuatu untuk beberapa tujuan. Teks merupakan suatu proses yang

dapat dimengeri, tidak terbuka bagi persepsi yang langsung, dari menegosiasikan

sebuah pesan. Teks kemudian akan menjadi penanda maknanya sendiri, apapun

konteks atau tujuan dari produknya (Widdowson 2007: 6-8).

Bahasa, khususnya, bahasa evaluatif di dalam teks sangat tergantung pada

konteks. Bagi Halliday dan Hasan (1985: 5), jalan menuju pemahaman tentang

bahasa terletak dalam kajian teks. Teks terdiri atas makna-makna walaupun teks

terdiri atas kata-kata dan kalimat. Teks pada dasarnya merupakan satuan makna.

Teks harus dipandang dari dua sudut yang bersamaan yaitu sebagai produk dan

sebagai proses karena sifatnya sebagai satuan makna. Sebagai produk, teks

merupakan luaran, sesuatu yang dapat direkam dan dipelajari karena mempunyai

susunan tertentu teks dan dapat dideskripsikan dengan peristilahan yang

sistematik. Teks juga merupakan suatu proses dalam pengertian bahwa teks

terbentuk melalui proses pemilihan makna terus menerus.

Performansi teks tradisi lisan yang ditafsirkan memerlukan ketelitian dan

(36)

karena dapat menguak umpan balik sehingga dapat mengungkapkan sesuatu

yang tersirat dan tersembunyi pada teks mangupa horja godang yang dianalisis.

Hal ini sesuai dengan pendapat Van Dijk dalam Sibarani (2012:312) agar dapat

memahami teks mangupa horja godang diperlukan kerangka struktur teks makro,

super struktur, dan struktur mikro, karena teks terbangun dari ketiga unsur

tersebut.

Lebih jauh Halliday (1992:14) menyebutkan agar dapat lebih mudah

dalam memahami teks alangkah baik dikodekan agar menghilangkan proses

analisis dari unsur subjektifitas dalam pemaknaan teks mangupa horja godang karena pengkodean akan lebih mudah menelaah topik, tema, secara sistematis.

Teks yang dianalisis dipadukan dengan ko-teks dan konteksnya agar tema dan

gagasan mudah dipahami. Ada asumsi tema sebuah teks sering juga menjadi judul

sebuah teks, tetapi sering juga tidak terlihat secara eksplisit di dalam teks, tetapi

terintegrasi pada keseluruhan teks melalui jalinan kohesif yang padu.

Sibarani (2012:316) menyebutkan linguistik teoretis mencakup tataran

bahasa seperti bunyi (Fonologis), makna (semantik), maksud (pragmatik), gaya

bahasa (stilistik) dan bahasa kiasan (figuratif). Jadi, struktur makro digunakan

juga dalam menganalisis teks tradisi lisan mangupa horja godang dengan

melakukan beberapa tahapan seperti: membaca, mengamati, dan menghayati

keseluruhan teks tradisi lisan mangupa horja godang agar diperoleh tema yang

menjadi ide dasar teks mangupa horja godang , memahami topik sebagai konsep dasar yang membangun teks mangupa horja godang . Begitu pula memahami

kerangka dasar teks mangupa horja godang dengan memahami struktur alur atau

(37)

membangun teks mangupa horja godang yang padu dan kohesif. Lebih jauh

Sibarani (2012:315) menyebutkan sebuah teks tradisi lisan secara garis besar

tersusun atas tiga elemen yaitu pendahuluan (Introduction), bagian tengah (body),

dan penutup (conclusion) yang masing-masing harus saling mendukung secara koheren.

Paparan di atas dapat disimpulkan dalam memahami performansi teks

tradisi lisan mangupa horja godang dikodekan agar objektif dalam proses analisis

dari unsur pemaknaan teks mangupa horja godang agar lebih mudah menelaah

topik, tema, secara sistematis. Performansi teks yang dianalisis dipadukan dengan

ko-teks dan konteksnya agar tema dan gagasan mudah dipahami Kajian struktur

mikro ini dapat dilaksanakan secara bersama-sama, tetapi dapat juga dipilih

tataran tertentu sesuai kebutuhan analisi dan sesuai dengan karakteristik teks yang

akan dikaji.

2) Ko-teks

Sibarani (2012:319) pemaknaan teks tradisi lisan mangupa horja godang

sebagai tanda verbal harus digunakan secara serempak dengan tanda-tanda yang

lain. Teks tradisi lisan Mangupa horja godang dapat dipahami dengan tanda-tanda seperti: ko-teks, ko-teks terdiri atas paralinguistik, kinetik, proksemik, dan

unsur material lain, ko-teks berfungsi untuk mempejelas pesan atau makna sebuah

teks. Di samping itu teks tradisi lisan mangupa horja godang perlu dianalisis

dengan unsur-unsur suprasegmental seperti: intonasi, aksen, jeda, dan tekanan.

Istilah lain untuk suprasegmental itu adalah paralinguistik. Paralinguistik selalu

berdampingan dengan teks sebagai tanda verbal dan tidak dapat dipisahkan dari

(38)

segmental atau teks lisan dalam tindak komunikasi. Pada kajian koteks upacara

mangupa horja godang akan mengkaji menurut teori yang dikemukakan Charles

Sander Peirsce yaitu mengkaji ikon, indeks, dan simbol pada perangkat pangupa

yang digunakan sebagai landasan/ dasar dilakukannnya upacara mangupa horja godang adat Angkola.

3) Konteks

Konteks bahasa hanya dapat dipahami dengan melihat cara bahasa itu

digunakan dalam konteks tertentu, baik budaya maupun situasionalnya. Penulis

atau penutur bahasa menggunakan konfigurasi sumber-sumber linguistik di dalam

konteks tertentu. Konteks merupakan faktor kunci di dalam pemilihan bahasa,

konteks merupakan teks yang menyertai konteks tersebut (Halliday & Hasan

1985:5) (Fowler & Kress, 1979:30). Eggins (1994,2004) menyatakan ini sebagai

dimensi yang berpengaruh kuat dari konteks situasi langsung dari suatu peristiwa

bahasa pada cara bahasa itu digunakan. Dengan demikian, konteks afek pilihan

bahasa yang dibuat oleh seorang penutur atau penulis tergantung pada setting yang diberikan.

Antropolinguistik dalam menganalisis teks, koteks, dan konteks (bentuk)

performansi tradisi lisan mangupa horja godang dalam kerangka kerja

antropologi, mempelajari konteks budaya, konteks ideologi, konteks sosial, dan

konteks situasi tradisi lisan dalam kerangka kerja linguistik. Penelitian tradisi

lisan mangupa horja godang ini, serta menggali nilai, norma, kearifan lokal (isi)

tradisi lisan mangupa horja godang dengan melihat konteks tradisi lisan

(39)

Menurut Malinowski konteks lisan berdasarkan situasi, karena kata-kata

sebagai bagian tradisi lisan sebagai konteks situasi (context of situation).

Antropolog Inggris ini menempatkan kata-kata dalam konteks ujaran pada situasi

lingkungan sebagai bagian dari tradisi lisan sehingga dipahami dan diperhatikan

konteks situasi. Fokus analisis konteks situasi dapat memecahkan aspek-aspek

bermakna bahasa hingga aspek linguistik dan aspek nonlinguistik dapat

dihubungkan.

Menurut Sperber dan Wilson (1998:15) konteks disebutkan seperangkat

asumsi yang dibangun secara psikologis oleh penutur dan pendengar sesuai

dengan pengetahuannya tentang dunia. Konteks ini tidak hanya terbatas pada

ujaran saat ini dan ujaran sebelumya, tetapi menyangkut semua yang dapat terlibat

dalam interpretasi. Sejalan dengan pendapat di atas Shiffrin (1994:367)

menjabarkan, konteks merupakan latar belakang pengetahuan yang disebut

“kaidah-kaidah konstitutif” merupakan pengetahuan mengenai kondisi

-kondisi yang dipakai untuk memahami tradisi lisan sebagai sesuatu yang khusus

namun berbeda dengan tuturan yang lain. Pemahaman tentang tradisi adat sudah

melekat dan dimiliki komunitas adat dianggap sebagai latar belakang pengetahuan

bersama yang dimiliki yang terbangunnya implikasi dalam tuturan untuk

memaknai tradisi lisan mangupa horja godang .

Menurut Duranti (1997) bahasa (tradisi lisan) dan konteks saling

mendukung satu sama lain. Tradisi lisan membutuhkan konteks dalam

pemakaiannya, begitu pula sebaliknya, konteks baru memiliki makna jika di

digunakan dalam tradisi lisan dalam upacara, sehingga bahasa tidak hanya

(40)

kegiatan pada konteks adat. Konteks pada tradisi lisan merupakan pengetahuan

abstrak yang didasari oleh bentuk tindak tutur, lingkungan sosial komunitas adat

yang dapat diinterpretasikan dalam realitas yang nyata (Sciffrin, 1994:371).

Pada sisi lain, Halliday dan Hasan (1992:16:62) membagi konteks situasi

menjadi tiga; yaitu (1) sebagai medan wacana menunjuk pada sesuatu yang

sedang terjadi pada sifat (keformalan) tindakan sosial yang sedang berlangsung,

(2) sebagai pelibat wacana, dan (3) sebagai sarana wacana, yang merujuk kepada

bagian yang diperankan oleh bahasa seperti, organisasi teks, kedudukan dan

fungsi yang dimiliki, saluran yang digunakan, serta model retorikanya.

Oleh karena itu, tradisi lisan mangupa horja godang hanya memiliki

makna jika berada dalam suatu konteks situasi. Kebermaknaan sebuah tradisi lisan

diinterpretasikan melalui tradisi dengan memperhatikan konteks, sebab konteks

akan memberikan makna tradisi berdasarkan situasi. Artinya, konteks situasi

sangat berpengaruh dalam berinteraksi. Konteks tradisi lisan adalah konteks

dalam semua aspek fisik atau setting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan.

Konteks tuturan mencakupi aspek fisik atau latar sosial yang berupa ekspresi yang

dapat mendukung kejelasan maksud disebut dengan ko-teks. Konteks merupakan

situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian.

Pada hakikatnya konteks dalam tradisi lisan merupakan semua latar

belakang pengetahuan (background knowledge) yang dipahami bersama pada

komunitas adat. Jadi, teori konteks antara lain:

a) Makna tidak terdapat pada unsur-unsur lepas yang berwujud kata adat,

Gambar

Gambar 1. bahasa dan konteks sosial sebagai semiotik konstrual
Gambar 2. Hubungan Konteks Sosial dengan Konteks Bahasa (Martin, 1993:494)
Tabel 1 Klasifikasi Sepuluh Tanda yang Utama dari Peirce
Gambar 4.  Alur Penelitian Tradisi Lisan

Referensi

Dokumen terkait

Ngoni Cangkingan atau yang disebut juga dengan istilah Juluk (pemberian gelar) adalah salah satu tradisi lisan yang menjadi salah satu rangkaian adat pernikahan yang dimiliki

Namun kesejarahan tradisi lisan barulah sebagian dari isi tradisi lisan itu sendiri, karena banyaknya peristiwa keseharian, nilai-nilai moral, keagamaan,

Selanjutnya Hoed mengemukakan bahwa tradisi lisan mencakup seperti apa yang dikemukakan oleh Roger Tol dan Pudentia (1995:2) bahwa tradisi lisan tidak hanya mencakup cerita

Bagaiman penentuan waktu pelaksanaan tradisi lisan pada upacara adat dalam masyarakat

sudah ada sejak zaman dahulu, walaupun keyakinan masyarakat sudah mengalami pelunturan yang diakibatkan oleh paradigma masyarakat yang telah mendapat pendidikan formal,

Pendahuluan Tradisi lisan sebagai bagian budaya lisan dan adat lisan adalah pesan atau kesaksian yang disampaikan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya secara

HASIL DAN PEMBAHASAN Kajian Estetika Timur Rumah Adat Sopo Godang Dari hasil penelitian yang dilaksakan pada bangunan Rumah Adat Sopo Godang Mandailing dalam kajian estetika timur,

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Identitas Masyarakat Desa Koto Majidin Identitas masyarakat Desa Koto Majidin tercapai dalam Tradisi Lisan parno adat beberapa tradisi lisan Parno