• Tidak ada hasil yang ditemukan

Telah dijabarkan pada segitiga semiotik di atas (lihat gambar 3) lebih jelas Charles Sanders Peirce mengungkapkan bahwa ada tiga komponen tanda yaitu: 1) representemen, yaitu bentuk yang menyatakan tanda atau „kenderaan tanda‟ setara dengan penanda (signifier), 2) interpretant, yaitu makna yang didatangkan dari tanda itu atau „makna‟ yang dibuat seseorang; setara dengan signified, dan 3) object, yaitu sesuatu yang berada di luar tanda yang merupakan acuan.

Proses semiosis terjadi melalui proses “logical argumentation” dalam urutan abduksi, deduksi, dan induksi kemudian melalui “sistem triadic”, yakni relasi antar unsur tanda dengan mengkaji setiap tahap dan kaitan masing-masing dalam konsep semiosis secara langsung atau tidak langsung antara objek dan realitas (garis terputus pada gambar 1). Pada tahap semiosis Hubungan triadik semiosis antara tanda (ground/ representament), objek dan interpretant diperjelas dengan tiga trikotomi menurut Pierce seperti yang diuraikan pada bagan di bawah, Noth (1995:44-45), Susanto (2005:230-231), dan Sibarani (2012:255-256).

Tabel 2

Rangkuman Tiga Trikotomi Tanda Menurut Peirce 1. G R O U N D Qualisign

(suatu kualitas yang merupakan suatu tanda,

mis “keras” suara sebagai

tanda)

Sinsign

(sin = “hanya sekali”,

peristiwa yang merupakan sebuah

tanda, mis “keruh”

Legisign

(Hukum atau konvensi yang berupa tanda. Setiap tanda konvensional

pada sungai sebagai tanda hujan di hulu)

adalah legisign, mis rambu lalu lintas sebagai tanda) 2. O B J E K Ikon

(Tanda yang penanda dan petandanya ada kemiripan, mis potret, peta)

Index(petunjuk)

(Tanda yang penanda dan petandanya ada hubungan alamiah, mis asap)

Symbol

(Sebuah tanda yang penanda dan petandanya arbitrer konvensional, mis kata-kata) 3. I N T E R P R E T A N T Rheme (Tanda suatu kemungkinankualitatif, yaitu yang memungkinkan menafsirkan berdasarkan

pilihan, mis “mata merah”

bisa baru menangis, tapi bisa juga yang lain)

Dicent Sign

(Tanda eksistensi aktual suatu objek, mis. Tanda larangan parkir adalah

kenyataan tidak boleh parkir)

Argument

(Tanda suatu aturan, yang langsung memberikan alasan, mis. Gelang akar bahar dengan alasan kesehatan)

Penelitian tradisi lisan yang bertujuan untuk menggali nilai dan norma budaya perlu mempertimbangkan penerapan berbagai teori agar dapat mengangkat nilai dan norma budaya itu. Bungin (2006:7-8) menjelaskan ilmu sosial-budaya yang mengkaji penelitian kualitatif ada 4 (empat) “aliran teori” dalam yang meliputi: 1) teori tentang budaya, 2) teori tentang fenomenologi, 3) teori tentang etnometodologi, dan 4) teori tentang interaksionisme simbolik

Aliran pertama, yaitu teori-teori tentang budaya, dapat disederhanakan menjadi dua kelompok besar, yaitu (1) aliran teori yang memandang budaya sebagai suatu sistem atau organisasi makna. Budaya dianggap semacam pita kesadaran tempat tersimpan memori kolektif suatu kelompok masyarakat tentang mana yang dianggap benar dan mana yang dianggap salah, mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk, serta mana yang dianggap lebih berharga dan mana yang dianggap kurang berharga; (2) aliran teori yang memandang budaya sebagai sistem adaptasi suatu kelompok masyarakat terhadap lingkungannya. Budaya ditempatkan sebagai keseluruhan cara hidup suatu

masyarakat yang diwariskan, dipelihara, cara hidup suatu masyarakat yang diwariskan, dipelihara, dan dikembangkan secara turun menurun sesuai dengan tuntutan lingkungan yang dihadapi.

Sibarani (2012:260-266) menjelaskan teori budaya yang memandang budaya sebagai sistem atau organisasi makna tersebut, memahami tradisi lisan bukan hanya memahami bentuk (struktur teks, ko-teks, dan konteks) sebagai lapisan permukaan (surface behavior), tetapi harus sampai pada isi (makna dan fungsi, nilai dan norma budaya serta kearifan lokal) ke lapisan paling dalam (tacit knowledge). Tradisi lisan dan lapisan luar (outer layer) hanya memperlihatkan sesuatu yang dapat ditonton, didengar dan dinikmati secara empiris, tetapi lapisan tengah (middle layer) suatu tradisi lisan akan memperlihatkan makna, fungsi, nilai, dan norma tradisi lisan tersebut, sedangkan bagian inti (the core layer) akan memperlihatkan kearifan lokal yang menjadi keyakinan, kepercayaan dan asumsi dasar yang dapat menyelesaikan persoalan hidup yang dihadapi manusia dalam komunitasnya. Dalam uraian sebelumnya ketiga hal itu disebut dengan lapisan bentuk (teks, ko-teks, dan konteks), lapisan isi (makna dan nilai budaya), dan lapisan kearifan lokal. Lapisan bentuk itu dapat juga dinamai dengan lapisan permukaan (the surface layer), lapisan isi dinamai dengan lapisan tengah (the middle layer), sedangkan lapisan kearifan lokal dinamai dengan lapisan inti (the core layer).

Teori budaya yang memandang budaya sebagai sistem adaptasi menyiratkan bahwa tradisi lisan sebagai gambaran atau cerminan kehidupan komunitas yang harus diwariskan yang mengalami transformasi yang sesuai perkembangan zaman. Teori ini sangat penting untuk membicarakan bagaimana

model revitalisasi dan pengelolaan tradisi lisan dapat berterima dan hidup di tengah-tengah komunitasnya. Atas dasar teori adaptasi budaya ini, adalah sangat penting meneliti dan merumuskan model revitalisasi serta melakukan pengelolaan tradisi lisan sebagai bagian dari pewarisan budaya.

Aliran teori fenomenologi yang pada dasarnya berpandangan bahwa apa yang tampak di permukaan (surface behavior atau outer layer), termasuk pola perilaku manusia sehari-hari hanyalah suatu gejala atau fenomena dari apa yang tersembunyi di “kepala” sang pelaku. Perilaku apapun yang tampak di tingkat permukaan baru bisa dipahami atau dijelaskan manakala bisa mengungkap atau membongkar apa yang tersembunyi karena realitas itu bersifat subjektif dan maknawi. Sesuai pada persepsi, pemahaman, pengertian dan anggapan-anggapan seseorang.

Di situlah letak kunci jawaban terhadap apa yang terekspresi atau menggejala di tingkat perilaku. Tanpa memahami dunia konseptual para pelaku dipandang mustahil bisa memahami berbagai gejala yang muncul di tingkat permukaan. Karenanya, proses penghayatan (verstehen) menjadi sangat diperlukan untuk bisa memahami berbagai rupa fenomena sosial sehari-hari. Untuk itu, peneliti perlu membenamkan diri sedemikian rupa ke tengah situasi komunitas bersama-sama dengan orang-orang yang sedang diteliti sehingga diperoleh suatu tingkat penghayatan yang semendalam mungkin.

Sibarani (2012:258-259) oleh karena budaya seperti tradisi lisan yang dimiliki suatu kelompok menampakkan diri secara berlapis-lapis, maka lapisan demi lapisan perlu dibuka untuk dapat memahaminya. Untuk memahami budaya suatu kelompok masyarakat, tidak ada jalan lain terkecuali harus menghunjam

hingga ke lapisan inti (the core) karena lapisan inti itulah yang bisa menjelaskan bagaimana etos, jiwa atau watak khas suatu kelompok masyarakat. Oleh karena itu, pendekatan penelitian yang tidak hanya bergerak di tingkat permukaan (surface behavior), tetapi juga menghunjam hingga ke tingkat paling dalam (tacit knowledge). Karenanya, para peneliti budaya lazim menyatakan:

1) The ethnographer observes behavior, but gos beyond it to inquire about the meaning of that behavior “

Di kala peneliti etnografi mengobservasi perilaku, dia pergi lebih jauh ke seberangnya untuk menyelidiki makna perilaku itu”. 2) The ethnographer sees artifacts and natural objects, but goes

beyond them to discover what meaning assigned to those objects.„

Di kala peneliti etnografi melihat artefak dan benda-benda alam, dia pergi lebih jauh ke seberangnya untuk menemukan makna apa yang ada dalam benda-benda itu”.

3) The ethnographer observes and records emotional states, but goes beyond them to discover the meaning of fear, anxiety, anger, and other feelings.

“Di kala peneliti etnografi mengobservasi dan merekam keadaan-keadaan yang emosional, dia pergi lebih jauh ke seberangnya untuk menemukan makna ketakutan, kegelisahan, kemarahan atau perasaan-perasaan lain.”

Di kala peneliti etnografi mengobservasi perilaku, dia pergi lebih jauh ke seberangnya untuk menyelidiki makna perilaku itu.”

Paparan di atas dapat disimpulkan, peneliti etnografi dalam mengkaji objek penelitian harus lebih teliti mengamati untuk menemukan makna yang ada pada objek penelitian, ketika peneliti etnografi mengobservasi perilaku, harus lebih dalam menyelidiki makna perilaku, jika melihat objek kajian artefak dan benda-benda alam, benda budaya harus lebih jauh meretas makna sebab-sebab, manfaat dan makna yang ada pada benda-benda alam/ budaya. Jika peneliti etnografi mengobservasi dan merekam fenomena objek emosional, harus teliti menemukan dan menyingkap makna dari setiap fenomena dan strata emosional ketakutan, kegelisahan, kemarahan atau perasaan-perasaan lain

Menempatkan budaya sebagai suatu sistem adaptasi juga menuntut pendekatan penelitian yang tidak saja mendalam, tetapi harus holistik karena budaya dalam perspektif ini juga dipandang sebagai suatu kombinasi antara bias budaya (berupa norma, nilai, dan kepercayaan) dan preferensi di tingkat perilaku, suatu gabungan segi-segi bersifat kognitif dan segi-segi bersifat behavioral. Karenanya, untuk memahami budaya suatu kelompok masyarakat diperlukan suatu corak penelitian yang bersifat holistik, mementingkan perspektif emik, dan mendalam hingga ke inner behavior (perilaku bagian dalam).

Pengkajian tradisi lisan yang dikemukakan oleh Sibarani (2012:262-266) teori fenomenologi ini dapat diterapkan dengan memperlihatkan bahwa apa yang tampak dalam bentuk atau struktur permukaan (teks, ko-teks, dan konteks) hanyalah merupakan gejala atau fenomena yang terjadi karena adanya yang tersembunyi dari dalamnya, yang tersembunyi itu adalah isi (nilai, norma budaya atau kearifan lokal) sebagai kmangupa horja godang an tradisi lisan. Teori fenomenologi secara tidak langsung mensyaratkan bahwa nilai atau kearifan yang berada pada lapisan tengah dan lapisan inti itulah yang lebih dahulu dipahami untuk dapat memahami lapisan luarnya. Pemahaman terhadap isi tradisi lisan yang tersembunyi itu dengan cara proses penghayatan (verstehen) juga sangat diperlukan. Untuk itu, teori fenomenologi sejalan dengan paradigma penelitian kualitatif.

Pada aliran teori etnometodologi pada dasarnya relatif serupa dengan aliran fenomenologi karena kehadiran etnometodologi itu sendiri juga diilhami oleh fenomenologi. Keduanya bisa dikatakan semacam “saudara kandung”. Sebagai saudara muda yang datang lebih kemudian, etnometodologi secara lebih

cerdik berargumen bahwa ungkapan sehari-hari, isi percakapan sehari-hari di tengah masyarakat bisa dijadikan indikasi bagaimana kerangka berpikir beserta asumsi-asumsi mereka di dalam memahami, menafsirkan, dan menyikapi berbagai hal yang dihadapi. Diyakini bahwa “cara kerja” ilmuwan (melakukan observasi dan menafsirkan) juga berlangsung dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat, dan itu dilakukan oleh siapapun juga, termasuk orang awam sekalipun. Itu dimungkinkan oleh adanya basis perbendaharaan “metodologi” yang berupa kerangka pemikiran, asumsi, dalil dan teori sehari-hari.

Basis perbendaharaan “metodologi” dalam mengamati, menafsirkan, mengkonstruksikan, dan menyikapi berbagai hal sebagai bentuk ungkapan, percakapan sehari-hari. Oleh karena itu, realitas sosial sesungguhnya bersifat konstruksi sosial (sosially constructed). karena fenomena sosial dalam kehidupan merupakan suatu pancaran dari pola pikir, jalan pemikiran, dalil, teori, serta anggapan-anggapan yang tersimpan di dunia kesadaran sang manusia pelaku.

Pada etnometodologi yang analisis adalah performansi percakapan beserta ekspresi-ekspresi indeksikal yang muncul di tingkat interaksi, agar dapat memahami makna dan kerangka berpikir. Maka, diperlukan proses observasi terhadap percakapan sehari-hari di tingkat interaksi sehingga dipahami bagaimana sesungguhnya susunan “struktur dalam” yang menjadi kerangka berpikir, dalil, teori, serta asumsi-asumsi mereka dalam memahami, mengkonstruksi, dan menyikapi sesuatu hal. Jadi, teori etnometodologi membutuhkan peneliti berinteraksi secara terus-menerus dengan objek yang ditelitinya sesuai dengan karakteristik paradigma kualitatif.

Lebih jauh Sibarani (2012:265-266) menjelaskan aliran interaksionisme simbolik, memiliki tiga premis utama, yaitu:

1) Manusia bertindak terhadap sesuatu (benda, orang, atau ide) atas dasar makna yang diberikan kepada sesuatu itu,

2) Makna tentang sesuatu itu diperoleh, dibentuk dan direvisi melalui proses interaksi dalam kehidupan sehari-hari, dan

3) Pemaknaan terhadap sesuatu dalam bertindak atau berinteraksi tidaklah berlangsung melalui mekanisme tertentu, melainkan melibatkan proses interpretasi. Itu menunjukkan bahwa tindakan dan pemahaman manusia terhadap sesuatu kental bersifat situasional, yaitu bergantung pada definisi situasi yang dihadapi di tingkat interaksi itu sendiri.

Dengan teori interaksionisme simbolis, peneliti tradisi lisan berusaha mengungkapkan makna yang dikandung tradisi lisan dengan cara menginterpretasi segala simbol-simbol yang ada dalam tradisi lisan. Interpretasi terhadap simbol-simbol itu didapatkan melalui proses interaksi yang “akrab” dan “terus-menerus” dengan tradisi lisan. Melalui interaksinya yang “akrab” dan “terus-menerus” dengan tradisi lisan, peneliti tradisi lisan akan memahami makna, nilai dan norma simbol-simbol yang ada dalam tradisi lisan. Teori interaksionisme simbolis membutuhkan teknik interpretasi yang ditawarkan oleh semiotik.

Pendekatan etnografi dalam tradisi lisan mangupa horja godang adat Angkola masih relevan diterapkan untuk penelitian tradisi lisan atau tradisi budaya. Pendekatan etnografi melakukan penelitian dengan melakukan deskripsi secara etnik tentang tradisi mangupa horja godang dengan tujuan idealnya adalah membuat profiling dan pendeskripsian tentang objek penelitian dengan hasil

sebuah deskripsi informatif yang dapat dimanfaatkan untuk publikasi dan sumber rekomendasi tentang pengembangan objek penelitian. Dalam hal ini, pendekatan etnografi, jenis etnografi apa saja, dapat dimanfaatkan untuk penelitian tradisi lisan apabila penelitian itu bertujuan untuk membuat profiling dan pendeskripsian sebuah tradisi lisan. Sumber informasi awal penelitian tradisi mangupa horja godang adat Angkola dalam pendekatan etnografi berasal dari keadaan tradisi lisan itu sekarang ini di tengah-tengah komunitasnya. Berawal dari keadaan tradisi lisan sekarang ini, peneliti dapat menggali keadaan pewarisan masa lalu tradisi lisan dan kemudian pendeskripsian model pewarisan tradisi lisan itu ke masa depan.

Kajian berbagai perspektif kajian untuk mengurai objek tradisi lisan mangupa horja godang maka dilakukan pendekatan yang dipaparkan di atas dapat disimpulkan pengkajian ilmu sosial-budaya yang mengkaji suatu penelitian kualitatif ada 4 (empat) “aliran teori” dalam yang meliputi: 1) teori tentang budaya, 2) teori tentang fenomenologi, 3) teori tentang etnometodologi, dan 4) teori tentang interaksionisme simbolik.

Dokumen terkait