• Tidak ada hasil yang ditemukan

4) Teori upacara sesaji Smith

2.2.7 Nilai-nilai dan Norma

Memahami nilai dengan baik, maka perlu dilakukan perbandingan dengan fakta pada konteks tradisi lisan agar unsur nilai tradisi yang ada pada tradisi tersebut dapat diretas, sehingga nilai tradisi lisan dapat diterima setiap orang walaupun menurut apresiasi setiap orang nilai tersebut dapat berbeda-beda (Sinar dan Takari, 2015:22).

Sejalan dengan pendapat di atas, Ndraha (2005:30) menjelaskan konsep nilai yang bersifat abstrak, nilai yang tidak dapat dipahami tanpa dikaitkan dengan tanda tertentu, misalnya nilai “hormat” yang terkandung dalam hati hanya bisa dilihat (kelihatan) jika diungkapkan melalui “anggukan kepala”. Sebaliknya anggukan kepala tidak hanya berfungsi sebagai tanda nilai “hormat” tetapi juga alat untuk menyatakan nilai “persetujuan”, “ya” atau “nilai gembira” mengikuti irama musik. Nilai menunjukkan arti atau guna. Jadi, setiap yang mengandung arti (dalam arti makna) atau guna (mannfaat, nikmat bagi pelaku budaya dan bagi lingkungannya tertentu disebut bernilai.

Memahami nilai dengan baik perlu dilakukan pengkajian serta perbandingan fakta pada objek tradisi lisan (teks, ko-teks, dan konteks) agar unsur nilai tradisi yang ada pada tradisi tersebut dapat diretas, sehingga nilai tradisi lisan dapat diterima setiap orang, walaupun apresiasi setiap orang tentang

nilai tersebut dapat berbeda-beda. Tradisi lisan merupakan produk kultural, memang berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya, misalnya sistem nilai, kepercayaan dan agama, kaidah-kaidah sosial, etos kerja, bahkan cara bagaimana dinamika sosial itu berlangsung (Pudentia, 2003:1).

Kata-kata nasihat yang disampaikan pada upacara mangupa horja godang inilah yang merupakan objek kajian, sehingga yang menjadi kajian adalah nilai- nilai yang telah tertanam dalam diri komunitas adat dan lingkungannya, melalui kata nasihat, cara, benda-benda yang diharuskan ada agar upacara mangupa horja godang dapat diselenggarakan (seperti sirih, telur, ayam, kambing, lembu dan lain-lain). Pada upacara mangupa horja godang akan dikaji transmisi nilai- nilai tradisi lisan upacara mangupa horja godang lebih berguna, lebih bermanfaat, dan memiliki nilai-nilai yang bermakna sehingga, upacara dapat menjadi perekat komunitas adat.

Oleh karena itu, transmisi nilai memerlukan cara dan alat atau media yang disertakan pada upacara adat mangupa horja godang agar dapat dinyatakan dalam bahasa, diamati, dirasakan, dan ditransmisikan menjadi nilai-nilai ko-teks (vehicle) menganggukkan kepala, memberikan beras kuning ke kepala, memberikan tepung tawar, menyerahkan daun sirih (manyurduon burangir), dan meletakkan perangkat upa-upa ke atas kepala. Dinamika kegiatan upacara mangupa horja godang akan dilihat kajian nilai yang telah tertanam pada kegiatan tersebut, sehingga semakin dalam mengkaji ko-teks (vehicle), akan semakin banyak pula nilai-nilai yang terbungkus pada upacara mangupa horja

godang akan dapat pula meretas nilai-nilai kearifan lokal yang tersembunyi dapat diungkap.

Penegasan pentingnya memahami tradisi lisan mangupa horja godang sebagai warisan budaya, disebabkan bahasa yang digunakan pada tradisi lisan mangupa horja godang mengandung nilai-nilai filosofis adat yang tercermin pada performansi nilai-nilai adat, nilai-nilai kekerabatan, norma-norma adat, nilai-nilai estetis serta nilai-nilai lainnya.

Barthes (1957:140-142) ada tiga ciri-ciri nilai, yaitu: 1) nilai yang berkaitan dengan subyek; 2) nilai tampil dalam konteks praktis, di mana subyek ingin membuat sesuatu; 3) nilai menyangkut sifat-sifat yang „ditambah‟ oleh subyek pada sifat-sifat yang dimiliki oleh obyek, nilai tidak dimiliki oleh obyek.

Barthes (1966:8) lebih jauh menjabarkan kajian semiotik ada tiga tataran yang perlu dikemukakan yaitu:

 Tataran peristiwa, yaitu hubungan unsur-unsur teks secara sintagmatik (bunyi, unsur suprasegmental, kalimat)

 Tataran tindakan, yaitu hubungan unsur-unsur teks secara paradigmatik. Aspek semantika yaitu aspek yang hadir yang memiliki hubungan dengan unsur yang dalam teks dengan acuannya (di luar dunia kebahasaan) atau disebut aspek in absentia, yaitu hubungan antara unsur yang hadir dalam teks yang tidak hadir dalam teks, ada dalam pemikiran pendengar/ pembaca seperti: semiotik, semantik,

 Tataran pengujaran (discours).

Sejalan dengan pendapat yang dikemukan Rolland Barthes, juga dikuatkan oleh Fortes dalam Tilaar (2000:54-55), dari pewarisan budaya sebagai

variabel-variabel yang perlu dicermati yakni: unsur-unsur yang ditransmisikan (diwariskan), proses pewarisan, dan cara pewarisannya. Yang ditransmisikan adalah unsur-unsur yang diwariskan sebagai nilai-nilai budaya, tradisi-tradisi masyarakat, filosofis dan pandangan hidup masyarakat yang mengandung kearifan lokal, kebenaran esensial, dan ide. Pengetahuan tradisional atau indigenous knowledge (IK) memungkinkan masyarakat pemilik dan atau pendukung sebagai kearifan lokal atau lokal wisdom dan menjadikan upacara mangupa horja godang adat sebagai elemen yang mempererat persaudaraan pada komunitas adat.

Peletak teori dasar nilai dirintis oleh Clyde Kluckhohn dan Florence Kluckhohn, mereka merupakan sepasang suami istri yang menguraikan berbagai tulisan tentang orientasi teori nilai (1951;1953;1956). Pengembangan konsep teori nilai jabarkan lebih mendalam oleh Florence Kluckhohn dan Strodtbeck dalam buku Variations in Value Orientation (1961) kelima bagian ini dianggap sebagai orientasi nilai budaya (value orientations) kelima nilai budaya tersebut menjabarkan tentang nilai-nilai yang paling tinggi dalam kebudayaan hidup manusia ada lima hal: a) human nature, atau makna hidup manusia; b) man nature, makna hubungan manusia dengan alam sekitarnya; c) time, persepsi manusia tentang waktu; d) activity, nilai pekerjaan, karya, dan amal perbuatan manusia; e) relational, hubungan manusia dengan sesama manusia. Lebih jauh pemahaman konsepsi pemaknaan nilai hidup manusia adalah penderitaan dan keprihatinan (evil) sebagai orientasi nilai budaya, di sisi yang lain kehidupan adalah sumber kesenangan, keindahan, kenyamanan (good).

Pemahaman kebudayaan tentang hubungan manusia dengan alam bervariasi, ada yang berasumsi bahwa alam itu ganas secara alami sehingga budaya tertentu perlu mengajarkan bagaimana meretas rahasia dan bagaimana dapat hidup dan berdampingan dengan alam. Sehingga, pemahaman konsepsi alam dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga terjadi keselarasan hidup dengan alam. Pengajaran budaya hidup berdampingan dengan alam telah ditanamkan kepada komunitas adat sejak masih kecil.

Dokumen terkait