• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teks, Koteks, dan Konteks

1) Teks

Performansi teks tradisi lisan mangupa horja godang sebagai objek penelitian mengkaji bentuk dan isi, bentuk dikaji atas teks, koteks, dan konteks. Menurut Sibarani (2012:242) performansi teks merupakan unsur verbal yang memiliki struktur yang dapat dikaji dari struktur makro, struktur alur, dan struktur mikro. Performansi koteks memiliki elemen yang mendampingi teks seperti unsur: paralinguistik, proksemik, kinetik, dan unsur material lainnya. Dan

performansi konteks memiliki kondisi yang formulanya berkenaan dengan budaya, sosial, situasi, dan ideologi.

Teks, menurut Halliday dan Hasan (1985: 10), sebagai bahasa yang fungsional, bahasa yang melakukan tugas tertentu dalam konteks tertentu, yang berbeda dengan kata-kata atau kalimat-kalimat yang berdiri sendiri. Teks juga adalah unit dari pengguna bahasa (Halliday & Hasan 1978: 1). Teks itu dibatasi sebagai unit bahasa yang fungsional dalam konteks sosial (Halliday 1994). Semua teks merupakan penggunaan bahasa yang dihasilkan dengan maksud untuk menunjukkan sesuatu untuk beberapa tujuan. Teks merupakan suatu proses yang dapat dimengeri, tidak terbuka bagi persepsi yang langsung, dari menegosiasikan sebuah pesan. Teks kemudian akan menjadi penanda maknanya sendiri, apapun konteks atau tujuan dari produknya (Widdowson 2007: 6-8).

Bahasa, khususnya, bahasa evaluatif di dalam teks sangat tergantung pada konteks. Bagi Halliday dan Hasan (1985: 5), jalan menuju pemahaman tentang bahasa terletak dalam kajian teks. Teks terdiri atas makna-makna walaupun teks terdiri atas kata-kata dan kalimat. Teks pada dasarnya merupakan satuan makna. Teks harus dipandang dari dua sudut yang bersamaan yaitu sebagai produk dan sebagai proses karena sifatnya sebagai satuan makna. Sebagai produk, teks merupakan luaran, sesuatu yang dapat direkam dan dipelajari karena mempunyai susunan tertentu teks dan dapat dideskripsikan dengan peristilahan yang sistematik. Teks juga merupakan suatu proses dalam pengertian bahwa teks terbentuk melalui proses pemilihan makna terus menerus.

Performansi teks tradisi lisan yang ditafsirkan memerlukan ketelitian dan ketekunan agar teks tradisi lisan ditafsirkan secara detail (explication de texte),

karena dapat menguak umpan balik sehingga dapat mengungkapkan sesuatu yang tersirat dan tersembunyi pada teks mangupa horja godang yang dianalisis. Hal ini sesuai dengan pendapat Van Dijk dalam Sibarani (2012:312) agar dapat memahami teks mangupa horja godang diperlukan kerangka struktur teks makro, super struktur, dan struktur mikro, karena teks terbangun dari ketiga unsur tersebut.

Lebih jauh Halliday (1992:14) menyebutkan agar dapat lebih mudah dalam memahami teks alangkah baik dikodekan agar menghilangkan proses analisis dari unsur subjektifitas dalam pemaknaan teks mangupa horja godang karena pengkodean akan lebih mudah menelaah topik, tema, secara sistematis. Teks yang dianalisis dipadukan dengan ko-teks dan konteksnya agar tema dan gagasan mudah dipahami. Ada asumsi tema sebuah teks sering juga menjadi judul sebuah teks, tetapi sering juga tidak terlihat secara eksplisit di dalam teks, tetapi terintegrasi pada keseluruhan teks melalui jalinan kohesif yang padu.

Sibarani (2012:316) menyebutkan linguistik teoretis mencakup tataran bahasa seperti bunyi (Fonologis), makna (semantik), maksud (pragmatik), gaya bahasa (stilistik) dan bahasa kiasan (figuratif). Jadi, struktur makro digunakan juga dalam menganalisis teks tradisi lisan mangupa horja godang dengan melakukan beberapa tahapan seperti: membaca, mengamati, dan menghayati keseluruhan teks tradisi lisan mangupa horja godang agar diperoleh tema yang menjadi ide dasar teks mangupa horja godang , memahami topik sebagai konsep dasar yang membangun teks mangupa horja godang . Begitu pula memahami kerangka dasar teks mangupa horja godang dengan memahami struktur alur atau superstruktur teks mangupa horja godang . Dengan memahami anasir yang

membangun teks mangupa horja godang yang padu dan kohesif. Lebih jauh Sibarani (2012:315) menyebutkan sebuah teks tradisi lisan secara garis besar tersusun atas tiga elemen yaitu pendahuluan (Introduction), bagian tengah (body), dan penutup (conclusion) yang masing-masing harus saling mendukung secara koheren.

Paparan di atas dapat disimpulkan dalam memahami performansi teks tradisi lisan mangupa horja godang dikodekan agar objektif dalam proses analisis dari unsur pemaknaan teks mangupa horja godang agar lebih mudah menelaah topik, tema, secara sistematis. Performansi teks yang dianalisis dipadukan dengan ko-teks dan konteksnya agar tema dan gagasan mudah dipahami Kajian struktur mikro ini dapat dilaksanakan secara bersama-sama, tetapi dapat juga dipilih tataran tertentu sesuai kebutuhan analisi dan sesuai dengan karakteristik teks yang akan dikaji.

2) Ko-teks

Sibarani (2012:319) pemaknaan teks tradisi lisan mangupa horja godang sebagai tanda verbal harus digunakan secara serempak dengan tanda-tanda yang lain. Teks tradisi lisan Mangupa horja godang dapat dipahami dengan tanda- tanda seperti: ko-teks, ko-teks terdiri atas paralinguistik, kinetik, proksemik, dan unsur material lain, ko-teks berfungsi untuk mempejelas pesan atau makna sebuah teks. Di samping itu teks tradisi lisan mangupa horja godang perlu dianalisis dengan unsur-unsur suprasegmental seperti: intonasi, aksen, jeda, dan tekanan. Istilah lain untuk suprasegmental itu adalah paralinguistik. Paralinguistik selalu berdampingan dengan teks sebagai tanda verbal dan tidak dapat dipisahkan dari teks itu. fungsi paralinguistik hanya menjelaskan makna atau maksud unsur-unsur

segmental atau teks lisan dalam tindak komunikasi. Pada kajian koteks upacara mangupa horja godang akan mengkaji menurut teori yang dikemukakan Charles Sander Peirsce yaitu mengkaji ikon, indeks, dan simbol pada perangkat pangupa yang digunakan sebagai landasan/ dasar dilakukannnya upacara mangupa horja godang adat Angkola.

3) Konteks

Konteks bahasa hanya dapat dipahami dengan melihat cara bahasa itu digunakan dalam konteks tertentu, baik budaya maupun situasionalnya. Penulis atau penutur bahasa menggunakan konfigurasi sumber-sumber linguistik di dalam konteks tertentu. Konteks merupakan faktor kunci di dalam pemilihan bahasa, konteks merupakan teks yang menyertai konteks tersebut (Halliday & Hasan 1985:5) (Fowler & Kress, 1979:30). Eggins (1994,2004) menyatakan ini sebagai dimensi yang berpengaruh kuat dari konteks situasi langsung dari suatu peristiwa bahasa pada cara bahasa itu digunakan. Dengan demikian, konteks afek pilihan bahasa yang dibuat oleh seorang penutur atau penulis tergantung pada setting yang diberikan.

Antropolinguistik dalam menganalisis teks, koteks, dan konteks (bentuk) performansi tradisi lisan mangupa horja godang dalam kerangka kerja antropologi, mempelajari konteks budaya, konteks ideologi, konteks sosial, dan konteks situasi tradisi lisan dalam kerangka kerja linguistik. Penelitian tradisi lisan mangupa horja godang ini, serta menggali nilai, norma, kearifan lokal (isi) tradisi lisan mangupa horja godang dengan melihat konteks tradisi lisan mangupa horja godang , sehingga lebih dahulu perlu dijabarkan perspektif konteks tradisi lisan mangupa horja godang .

Menurut Malinowski konteks lisan berdasarkan situasi, karena kata-kata sebagai bagian tradisi lisan sebagai konteks situasi (context of situation). Antropolog Inggris ini menempatkan kata-kata dalam konteks ujaran pada situasi lingkungan sebagai bagian dari tradisi lisan sehingga dipahami dan diperhatikan konteks situasi. Fokus analisis konteks situasi dapat memecahkan aspek-aspek bermakna bahasa hingga aspek linguistik dan aspek nonlinguistik dapat dihubungkan.

Menurut Sperber dan Wilson (1998:15) konteks disebutkan seperangkat asumsi yang dibangun secara psikologis oleh penutur dan pendengar sesuai dengan pengetahuannya tentang dunia. Konteks ini tidak hanya terbatas pada ujaran saat ini dan ujaran sebelumya, tetapi menyangkut semua yang dapat terlibat dalam interpretasi. Sejalan dengan pendapat di atas Shiffrin (1994:367) menjabarkan, konteks merupakan latar belakang pengetahuan yang disebut “kaidah-kaidah konstitutif” merupakan pengetahuan mengenai kondisi- kondisi yang dipakai untuk memahami tradisi lisan sebagai sesuatu yang khusus namun berbeda dengan tuturan yang lain. Pemahaman tentang tradisi adat sudah melekat dan dimiliki komunitas adat dianggap sebagai latar belakang pengetahuan bersama yang dimiliki yang terbangunnya implikasi dalam tuturan untuk memaknai tradisi lisan mangupa horja godang .

Menurut Duranti (1997) bahasa (tradisi lisan) dan konteks saling mendukung satu sama lain. Tradisi lisan membutuhkan konteks dalam pemakaiannya, begitu pula sebaliknya, konteks baru memiliki makna jika di digunakan dalam tradisi lisan dalam upacara, sehingga bahasa tidak hanya berfungsi dalam interaksi adat, tetapi tradisi lisan juga membentuk tatanan

kegiatan pada konteks adat. Konteks pada tradisi lisan merupakan pengetahuan abstrak yang didasari oleh bentuk tindak tutur, lingkungan sosial komunitas adat yang dapat diinterpretasikan dalam realitas yang nyata (Sciffrin, 1994:371).

Pada sisi lain, Halliday dan Hasan (1992:16:62) membagi konteks situasi menjadi tiga; yaitu (1) sebagai medan wacana menunjuk pada sesuatu yang sedang terjadi pada sifat (keformalan) tindakan sosial yang sedang berlangsung, (2) sebagai pelibat wacana, dan (3) sebagai sarana wacana, yang merujuk kepada bagian yang diperankan oleh bahasa seperti, organisasi teks, kedudukan dan fungsi yang dimiliki, saluran yang digunakan, serta model retorikanya.

Oleh karena itu, tradisi lisan mangupa horja godang hanya memiliki makna jika berada dalam suatu konteks situasi. Kebermaknaan sebuah tradisi lisan diinterpretasikan melalui tradisi dengan memperhatikan konteks, sebab konteks akan memberikan makna tradisi berdasarkan situasi. Artinya, konteks situasi sangat berpengaruh dalam berinteraksi. Konteks tradisi lisan adalah konteks dalam semua aspek fisik atau setting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan. Konteks tuturan mencakupi aspek fisik atau latar sosial yang berupa ekspresi yang dapat mendukung kejelasan maksud disebut dengan ko-teks. Konteks merupakan situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian.

Pada hakikatnya konteks dalam tradisi lisan merupakan semua latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang dipahami bersama pada komunitas adat. Jadi, teori konteks antara lain:

a) Makna tidak terdapat pada unsur-unsur lepas yang berwujud kata adat, tetapi secara keseluruhan terpadu pada ujaran tradisi lisan.

b) Makna tidak boleh ditafsirkan secara dualis (kata dan acuan) atau secara trialis (kata, acuan, tafsiran), tetapi makna merupakan satu fungsi atau tugas yang terpadu dalam tutur yang dipengaruhi oleh situasi.

Lebih jauh Sibarani (2012:324) memaparkan performansi konteks itu sangat tergantung pada ragam ungkapan atau teks yang dikaji. Kajian tradisi lisan mangupa horja godang akan mengkaji konteks budaya, konteks sosial, konteks situasi, dan konteks ideologi agar dipahami makna, maksud, pesan, dan fungsi tradisi lisan, agar pengkajian nilai dan norma budaya dalam bingkai tradisi lisan mangupa horja godang sebagai objek, serta memahami kearifan lokal yang diterapkan untuk menata kehidupan sosialnya.

Pengkajian performansi upacara mangupa horja godang adat Angkola yang memiliki fungsi sosial yang membangun egaliter dan solidaritas sesama komunitas adat, memiliki ikatan batin yang kuat, hal tersebut terbangun menjadi tatanan adat cukup erat. Wujud upacara adat mangupa horja godang dengan tradisi lisan memiliki hubungan konteks sosial dengan bahasa sesama guyub tutur Angkola.

Gambar 1. bahasa dan konteks sosial sebagai semiotik konstrual Konteks sosial

Bahasa (teks)

Tradisi lisan mangupa horja godang adat Angkola selalu memperhatikan posisi pada dalihan na tolu. Sehingga menjadi sistem hubungan sosial masyarakat adat dengan menekankan perhatian pada realisasi fungsional. Upacara mangupa horja godang yang menunjukkan strata posisi adat pada konteks sosial yang dapat berganti-ganti sesuai hubungannya dengan suhut sihabolonan. Pemahaman strata posisi adat pada konteks sosial terbangun menjadi ideologi bagi masyarakat adat di Luhak Angkola. Sehingga, setiap orang tua yang belum melakukan upacara adat mangupa horja godang (diadati) maka, orang tua atau anak akan merasa berhutang secara adat.

Bahasa yang digunakan pada upacara adat mempengaruhi konteks situasi (register), budaya (culture), dan ideologi (ideologi). Sehingga, konteks sosial terjadi dari tiga unsur, yaitu konteks situasi, konteks sosial, konteks budaya, dan konteks ideologi. Konteks yang paling konkret adalah konteks situasi karena konteks ini langsung berhubungan tradisi lisan mangupa horja godang , konteks situasi mangupa horja godang merupakan pintu konteks sosial terhadap tradisi lisan mangupa horja godang.

Konteks Sosial

Konteks Bahasa

Gambar 2. Hubungan Konteks Sosial dengan Konteks Bahasa (Martin, 1993:494)

Ideologi Budaya

Situasi

Sementara itu, konteks yang sangat abstrak adalah konteks ideologi karena konteks ini paling jauh dari tradisi lisan mangupa horja godang karena yang dipakai adalah bahasa adat Angkola Konteks Sosial mengacu pada faktor-faktor sosial yang mempengaruhi atau menggunakan teks yang mengacu pada manfaat pemakaian teks pada tradisi lisan, dengan tujuan peristiwa budaya yang digunakan pada tradisi lisan mangupa horja godang . Faktor-faktor sosial seperti perbedaan: jenis kelamin, stratifikasi sosial, kelompok etnik, tempat, tingkat pendidikan, dan perbedaan usia. Sedangkan konteks situasi mengacu pada waktu, tempat, dan cara penggunaan teks tradisi lisan. Deskripsi konteks situasi waktu akan menghasilkan waktu pelaksanaan tradisi mangupa horja godang yaitu bila waktu mangupa horja godang dilaksanakan apakah pagi hari, siang hari, sore hari atau pada malam.

Deskripsi situasi tempat akan menghasilkan lokasi pelaksanaan tradisi lisan mangupa horja godang , di dalam rumah atau di luar rumah. Sedangkan konteks ideologi adalah pandangan masyarakat adat tentang ikatan kekuatan yang memengaruhi teks tradisi lisan, sejauh mana pandangan masyarakat, sehingga kepercayaan serta keyakinan akan nilai yang dianut bersama oleh komunitas adat yang berdampak pada pemertahanan tradisi lisan mangupa horja godang .

2.2.5 Semiotik

Secara etimologi semiotika berasal dari bahasa Yunani yaitu kata seme atau semeion, yang berarti penafsiran tanda, semiotika adalah ilmu tentang tanda- tanda. Teori semiotika mengulas tentang pengkajian yang sistematis tentang interpretasi tanda. Dengan mempelajari penafsiran tanda sehingga dimaknai

manfaatnya dalam kehidupan, sehingga cara kerjanya dipahami untuk bekerja sama sesama anggota masyarakat. sesamanya sekaligus mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia. Dengan demikian, manusia adalah homo semioticus.

Secara eksplisit, Winfried Noth mengungkapkan pandangan: semiologi adalah ilmu yang mempelajari sistem-sistem tanda: bahasa, kode, perangkat sinyal, dan lain-lain. Menurut definisi ini, bahasa merupakan bagian dari semiologi. Namun, secara umum bahasa memiliki status istimewa dan otonom, dan ini memungkinkan semiologi didefinisikan sebagai studi tentang sistem tanda non- linguistik. Semiology is the science which studies sign systems : language, codes, sets of signals, etc. According to this definition, language is part of semiology. However, it is generally accepted that language has a privileged and autonomous status, and this allows semiology to be defined as the study of non-linguistic sign systems (1971:229-239).

Jadi, ilmu yang mengkaji tanda lebih dikenal dengan semiotik yang mengkaji tanda-tanda sebagai gejala kebudayaan. Semiotik melihat kebudayaan sebagai suatu “sistem pemaknaan” (Danesi dan Perron 1999:23). Kemudian Eco (1976) menyatakan bahwa makna tanda adalah hasil suatu konvensi, suatu prinsip dalam kehidupan berkebudayaan. Semiotik (semiotika) adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda dalam kehidupan manusia (Hoed, 2007:3). Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/ masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi- konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.

Barthes declared that 'semiology aims to take in any system of signs, whatever their substance and limits; images, gestures, musical sounds, objects, and the complex associations of all of these, which form the content of ritual, convention or public entertainment: these constitute, if not languages, at least systems of signification' (Barthes, 1967:9).Barthes menyatakan bahwa 'semiologi bertujuan untuk mengambil dalam setiap sistem tanda-tanda, apa pun substansi dan batas mereka; gambar, gerakan, suara musik, benda, dan asosiasi kompleks semua ini, yang membentuk isi dari ritual, konvensi atau hiburan umum: ini merupakan, jika tidak bahasa, di sistem setidaknya signifikasi '(Barthes, 1967:9).

Pendekatan semiotik menggantikan tanda dengan kebudayaan dan memberikan tempat yang sentral kepada tanda. Teks dapat diteliti sebagai tanda. Apabila tanda itu, mengalami proses pemaknaan, manusia di lingkungan kultural yang memofuskan kajian pada analisis semiotik. Perangkat pengkajian semiotik (tanda pemaknaan, denotatum, interpretan) dapat diterapkan pada semua bidang kehidupan asalkan prasyaratnya dipenuhi yakni ada arti yang diberikan, ada pemaknaan, ada interpretasi (van Zoest 1993:54).

Menurut T. Christovmy (2004:80) dan van Zoest (1993:56) pada saat seseorang membahas manfaat semiotik maka mereka juga mengkaji pragmatik dengan mengetahui apa yang dilakukan dengan tanda, apa reaksi terhadap tanda, yang kesemuanya bermuara pada tanda yang dihasilkan dan arti yang dihasilkan oleh tanda tersebut. Oleh karena itu, semiotik akan membahas tanda sebagai hasil dari konvensi, prinsip dalam kehidupan berkebudayaan yang membahas tanda, penanda, dan petanda.

Dokumen terkait