BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah pendekatan
deskriptif kualitatif, yaitu data diperoleh dengan pengamatan secara alamiah
seluruh aktifitas tradisi lisan upacara
mangupa
adat Angkola, sehingga diperoleh
pendeskripsian upacara
mangupa
adat Angkola yang sebenarnya.
Penelitian
deskriptif
adalah
penelitian
yang
bertujuan
untuk
mengumpulkan informasi mengenai gejala sosial, yaitu keadaan atau fenomena
secara alamiah dan apa adanya ketika penelitian dilakukan. Penelitian deskriptif
mengacu kepada makna konsep, definisi, ciri-ciri bahasa metafor, simbol, dan
pendeskripsian sesuatu menurut Berg (1989:2).
Pendekatan kualitatif yang dilakukan pada penelitian ini, bertujuan untuk
mendapatkan informasi secara emik dari data lapangan dari informan kunci
dengan menggunakan metode wawancara dan pengamatan, mengumpulkan data
primer dan data skunder.
Rumusan masalah yang telah ditetapkan akan dijawab dalam penelitian ini
dengan menggunakan dua teori yang ditetapkan sebagai pisau potong untuk
mengolah data lapangan pada penelitian ini, yaitu: kajian teori antropolinguistik
sebagai jalan masuk, mendeskripsikan pelaksanaan tradisi lisan
mangupa
adat
Angkola, mengetahui bentuk dengan mengkaji teks, ko-teks, dan konteks,
mengetahui teks akan dikaji struktur makro, struktur alur, dan struktur mikro,
menjabarkan ko-teks akan mengkaji paralinguistik proksemik, kinetik, dan unsur
material lainnya, mengkaji konteks dengan
kajian konteks budaya, sosial,
situasi, dan ideologi
dengan menggunakan teori
upacara sesaji Smith
,
mengetahui isi yang akan dikaji yaitu nilai dan norma, pengkajian nilai akan
mengkaji nilai-nilai tradisi lisan
mangupa
adat Angkola dengan menggunakan
kajian nilai
yang dikemukakan oleh
Roland Barthes dan Kluckhohn,
kemudian
norma akan dikaji fungsi dan makna dengan menggunakan kajian semiotik
Charles Sanders Peirce, mengetahui nilai-nilai kearifan lokal (Barthes dan
Kluckhohn
)
apakah yang terdapat pada tradisi lisan upacara
mangupa
adat
Angkola, dan
upaya merevitalisasi
pelaksanaan prosesi
mangupa
adat Angkola
sebagai model pelestarian yang akan membantu dalam penelitian ini.
Metode penelitian deskriptif, akan mendeskripsikan tradisi lisan
mangupa
adat Angkola yang akan menjawab rumusan masalah pertama yaitu: pelaksanaan
upacara
mangupa
adat Angkola menggunakan teori antropolinguistik dan
semiotik digunakan untuk menjawab rumusan masalah kedua yaitu:
Bagaimanakah tradisi
mangupa
adat Angkola dalam kajian antropolinguistik,
semiotik, dan tradisi lisan.
Yang akan menjawab rumusan masalah ke tiga yaitu tentang: nilai-nilai
kearifan lokal apakah yang terdapat pada tradisi lisan
mangupa
adat Angkola
maka digunakan teori yang dikemukakan oleh Barthes (1957: 140-142) dan
Kluckhohn. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Smith dan
Cormaek dalam Moleong (2005:239) memaparkan penelitian kaji tindak sebagai
proses untuk memperoleh hasil perubahan dan memanfaatkan hasil penelitian ini.
Hasil analisis data dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan kualitatif
yang dilakukan sejalan dengan Sudaryanto (1993), dengan menggunakan
teknik-teknik survey sosial seperti: wawancara terstruktur dan wawancara takterstruktur
dan daftar pertanyaan yang tersusun, observasi terstruktur, analisis isi, dan analisis
data formal dan sebagainya.
Penelitian kualitatif juga berkaitan dengan pengamatan berpartisipasi
secara emik, wawancara terstruktur dan wawancara takterstruktur,
kelompok-kelompok fokus, telaah teks kualitatif, dan teknik analisis kegiatan tradisi lisan
yang dituliskan dalam bentuk teks.
Kerangka model penelitian yang digunakan untuk memenuhi kriteria
descriptive adequacy
dan
explanatory adequacy
dirancang berdasarkan
kerangka model yang dikembangkan Watts yakni dengan melalui prosedur
sebagai berikut:
1)
Performasi tradisi lisan
mangupa
adat Angkola.
4)
Mengidentifikasi masalah tradisi lisan upacara
mangupa
adat Angkola.
5)
Menganalisis performansi dengan melakukan analisis teks, koteks, konteks
untuk dapat melihat bentuk dan fungsi yang terdapat pada tradisi lisan
mangupa
adat Angkola.
6)
Menemukan nilai-nilai kearifan lokal tradisi lisan yang terkandung pada
tradisi lisan
mangupa
adat Angkola.
7)
Mengetahui pelaksanaan performansi
mangupa
adat Angkola dan
perubahan performansi adat Angkola pada masa kini.
8)
Upaya revitalisasi tradisi
mangupa
adat Angkola sebagai model yang dapat
didokumentasikan sebagai upaya pelestarian.
9)
Upaya pembuatan model penelitian tradisi lisan
mangupa
adat Angkola
sebagai model penelitian dan
10)
Menyimpulkan hasil penelitian.
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1 Wilayah Kota Padangsidimpuan
Awal Pemerintahan Kabupaten Tapanuli Selatan sebelum pemekaran
merupakan daerah yang terluas di Sumatera Utara yaitu 18.896,50 kilometer atau
1.889.650
hektar atau
26.36%
dari
seluruh
luas
Sumatera
utara.
Padangsidimpuan sebagai ibukota Kabupaten berjarak 550 km ke Medan,
merupakan terjauh dari pusat pemerintahan provinsi.
dan Mandailing (setelah otonomi daerah/ pemekaran berdiri sendiri) disebut
dengan wilayah budaya
Dalihan Na Tolu.
Sekitar tahun 1700 Kota Padangsidimpuan yang sekarang adalah lokasi
dusun kecil yang diseb
ut “
padang na dimpu
” oleh para pedagang sebagai tempat
peristirahatan, yang artinya suatu daratan di ketinggian yang ditumbuhi ilalang
yang berlokasi di Kampung Bukit Kelurahan Wek II, di pinggiran sungai
Sangkumpal Bonang.
Melalui
Trakrtat Hamdan
tanggal 17 Maret 1824, kekuasaan Inggris di
Sumatera diserahkan kepada Belanda, termasuk
Recidency Tappanooli
yang
dibentuk Inggris Tahun 1771. Setelah menumpas gerakan Kaum Paderi Tahun
1830, Belanda membentuk
district
(setingkat kewedanan) Mandailing,
District
Angkola, dan
District
Teluk Tapanuli di bawah kekuasaan
Government Sumatras
West Kust
yang berkedudukan di Padang.
Pada Tahun 1838 dibentuk dengan
asisten residen-
nya berkedudukan di
Padangsidimpuan. Setelah terbentuknya
Residente Tapanuli
melalui
Besluit
Gubernur Jenderal tanggal 7 Desember 1824, antara Tahun 1885 sampai dengan
1906, Padangsidimpuan pernah menjadi ibu kota
Residen Tapanuli
.
Ringkasan sejarah Tahun 1879 di Padangsidimpuan didirikan
Kweek
School
(Sekolah Guru) yang dipimpin oleh Ch. A Van Ophuysen yang di kenal
sebagai penggagas ejaan bahasa Indonesia.
Lulusan sekolah ini banyak dikirim untuk menjadi guru di Aceh. salah
seorang lulusan ini adalah Rajiun Harahap gelar Sutan Hasayangan, penggagas
berdirinya
Indische Veergining
sebagai cikal bakal berdirinya Perhimpunan
Indonesia di negeri Belanda dan merupakan organisasi pertama yang
berwawasan nasional 1879 juga penggagas pengumpulan dana studi bagi
guru-guru yang akan di sekolahkan ke Negeri Belanda.
3.2.2 Peta Wilayah Kebudayaan Angkola
Masyarakat Angkola-Mandailing mendiami wilayah yang dialiri dua sungai
besar dan bertemu di Muara Batang Gadis menuju Samudra Hindia. Kedua sungai
itu adalah Sungai Batang Angkola dari Gunung Lubuk Raya dan Sungai Batang
Gadis dari Gunung Kulabu. Budaya etnik Angkola-Mandailing memadukan
tradisi dan agama Islam : “
Hombar do adat dohot ugamo
” (
custom alongside
religion
). Adakalanya diungkapkan juga dengan kata-
kata: “
Hombar do adat
dohot ibadat
” (adat berdampingan dengan i
badat/ agama).
Penduduk yang mendiami wilayah Angkola diperkirakan 9000 SM yang
disebut etnik Angkola (asli Angkola bukan pecahan atau yang memisahkan diri
sdari etnik lain). Wilayah Angkola merupakan luhak bermarga Harahap, sehingga
marga selain Harahap apabila ingin mengadakan upacara adat di
Luhak
Angkola
harus menggunakan
rompayan
untuk menyembelih hewan adat, karena ada
asumsi selain marga Harahap apabila menyelenggarakan upacara adat hewan adat
tidak diperkenankan menyentuh tanah adat marga Harahap.
Pada masa penjajahan Belanda, Kabupaten Tapanuli Selatan disebut
afdeeling
(daerah) Padangsidimpuan yang dikepalai oleh seorang
Residen
(kepala
daerah)
yang
berkedudukan
di
Padangsidimpuan.
Afdeeling
(daerah)
Padangsidimpuan dibagi atas 3
onder afdeling
, masing-masing dikepalai oleh
seorang
Contreleur
dibantu oleh masing-masing
Demang
,
onder distrik
membawahi
luhak/ kuria
yang dipegang oleh kepala kuria. meliputi kawasan
Angkola dan Sipirok yang berpusat di Padangsidimpuan, Angkola membawahi
tiga distrik masing-masing Angkola, Batang Toru, dan Sipirok yang dipimpin oleh
bupati, namun setelah pemulihan pada tahun 1949, ketiga distrik itu digabung
1)
Onder Afdeeling
Angkola dan Sipirok, berkedudukan di Padangsidimpuan.
2)
Onder Afdeeling
Padang Lawas, berkedudukan di Sibuhuan.
3)
Onder Afdeeling
Mandailing dan Natal, berkedudukan di Kota Nopan.
Melalui
Trakrtat Hamdan
tanggal 17 Maret 1824, kekuasaan Inggris di
Sumatera diserahkan kepada Belanda, termasuk
Recidency Tappanooli
yang
dibentuk Inggris Tahun 1771. Setelah menumpas gerakan Kaum Padri Tahun
1830, Belanda membentuk
district
(setingkat kewedanan) Mandailing,
District
Angkola, dan
District
Teluk Tapanuli di bawah kekuasaan
Government Sumatras
West Kust
yang berkedudukan di Padang.
Pada Tahun 1838 dibentuk dengan
asisten residen-
nya berkedudukan di
Padangsidimpuan. Setelah terbentuknya
Residente Tapanuli
melalui
Besluit
Gubernur Jenderal tanggal 7 Desember 1824, antara Tahun 1885 sampai dengan
1906, Padangsidimpuan pernah menjadi ibu kota
Residen Tapanuli
.
Sejalan dengan pembentukan
onder afdeeling
berdasarkan daerah budaya
yang dikenal dengan
luat
atau
ulayat
Angkola berada di daerah induk Tapanuli
Selatan, daerah kebudayaan atau
ulayat
terbagi atas empat daerah seperti:
Ulayat
Angkola,
Ulayat
Padang Lawas
, Ulayat
Mandailing
,
dan
Ulayat
Pesisir.
Angkola tersebut ada anjung-anjung daerah yang cukup dikenal sejak dahulu
seperti: Marancar, Batang Toru, Sangkunur, Angkola Jae, Angkola Julu,
Simarpinggan, Siondop, Sayur Matinggi, Sipirok, Saipar Dolok Hole, dan
Sipiongot.
Daerah
Padang Lawas terdiri dari: a) Kecamatan Padangbolak, b)
Kecamatan Sosopan, c) Kecamatan Barumun Tengah, d) Kecamatan Barumun,
dan e) Kecamatan Sosa. Begitu pula anjung-anjung daerah yang cukup dikenal
pada
Ulayat
Padang Lawas seperti: Barumun atau Sibuhuan, Sosa, Pinarik,
Binanga, Huristak, Portibi, Padang Bolak, dan Sosopan.
Kemudian Daerah
Mandailing
terdiri dari: Kecamatan Panyabungan,
Kecamatan Siabu, Kecamatan, Kotanopan, Kecamatan, Muarasipongi. Pada
kecamatan ini dikenal juga anjung-anjung Mandailing Godang, Mandailing Julu,
Siabu, Huta Bargot, Muarasipongi.
Ulayat
Pesisir memiliki dua Kecamatan yaitu:
Kecamatan Batng Natal dan Kecamatan Natal. Pada kecamatan ini juga memiliki
anjung-anjung yaitu: Batang Natal, Muarasoma, Tarlola, Parlampungan,
Simpanggambir, Kun-kun, Singkuang, Siulang-aling, dan Natal.
Sebelum pemekaran Kabupaten Tapanuli Selatan merupakan daerah yang
terluas di Sumatera Utara yaitu 18.896,50 Kilometer atau 1.889.650 Hektar atau
26.36% dari seluruh luas Sumatera utara. Tapanuli Selatan dibagi atas lima
wilayah budaya yaitu: Angkola-Sipirok, Padang Lawas, Mandailing, Ulu dan
Pesisir. Tiga wilayah yang disebutkan seperti: Angkola-Sipirok, Padang Lawas,
dan Mandailing (setelah otonomi daerah (pemekaran) masing-masing Kabupaten/
kota berdiri sendiri) daerah tersebut lebih dikenal sebagai wilayah budaya
Dalihan
Na Tolu.
Setelah otonomi dan pemekaran daerah budaya Angkola-Sipirok (
luat/
Kuria
Angkola) kini berada di Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kota
Padangsidimpuan. Seluruh Daerah Kota Padangsidimpuan mulai dari Kecamatan
Padangsidimpuan Angkola Hutaimbaru, Kecamatan Padangsidimpuan Angkola
Julu
, Kecamatan Padangsidimpuan Utara, Kecamatan Padangsidimpuan Selatan,
Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara, dan Kecamatan Padangsidimpuan
Batunadua.
KABUPATEN TAPANULI SELATAN
Gambar 5. Wilayah Kebudayaan Angkola
pada daerah Marancar, Batang Toru, Sangkunur, Simarpinggan, Siondop,
Sipirok, Saipar Dolok Hole, Arse, Batang Angkola, Angkola Sayurmatinggi,
Angkola Tana Tombangan (Tantom), Batang Pane, dan Simangambat.
Kabupaten Padang Lawas Utara yang beribu kota kabupaten Gunung Tua,
dan Kabupeten Padang Lawas pada anjungan-anjungan: Sipiongot, Padang Bolak,
Aek Godang, Poken Salasa, Hutaimbaru, portibi Barumun atau Sibuhuan, Sosa,
Pinarik, Binanga, Huristak, Portibi, Padang Bolak, dan Sosopan. Kedua kabupaten
tersebut enggan disebut memiliki Adat Angkola karena pemahaman adat mereka
dengan Angkola berbeda pada gerakan tarian adat tortor, upacara adat dan bahan
adat sehingga komunitas adat Padang Bolak dan Padang Lawas tidak berada pada
luhat adat Angkola.
Natal
menjadi, 18) Lingga Bayu, 19 Kecamatan Ranto Baek, 20)
Kecamatan
Natal
menjadi, 21) Kecamatan Muara Batang Gadis, 22) Kecamatan Sinunukan,
dan 23) Kecamatan Batahan. sedangkan Kabupaten Mandailing Natal, yang
berada pada anjung-anjung daerah Mandailing Natal memiliki daerah budaya
Mandailing yang berbeda dengan adat Angkola begitu pula dengan Muarasipongi
sebagai daerah yang berbatas dengan daerah Sumatera Barat memiliki bahasa
yang berbeda yang dikenal dengan bahasa Muarasipongi terjadi akulturasi bahasa
dan budaya antara bahasa Mandailing dengan bahasa Minang dari Sumatera Barat,
begitu pula dengan adat dan budaya yang dipakai terjadi percampuran budaya.
Daerah budaya Batang Natal dan Kecamatan Natal, pada kecamatan ini juga
memiliki anjung-anjung yaitu: Batang Natal, Muarasoma, Tarlola, Parlampungan,
Simpanggambir, Kun-kun, Singkuang, Siulang-aling, dan Natal.
Ulayat
Pesisir
yang lebih mendekati budaya campuran antara budaya Mandailing, Melayu
Pesisir, dan Minang Kabau memiliki akulturasi budaya pesisir dan Minang Kabau,
sehingga pada upacara adat dominan menggunakan adat Minang Kabau dan
pesisir sehingga dikenal nilai budaya melayu pesisir dalam
tetrapartit
adat yaitu:
adat yang sebenar adat, adat yang diadatkan, adat yang teradat,
dan
adat istiadat
.
Sayurmatinggi, Tana Tombangan (Tantom), Batang Pane, dan Simangambat
Sipirok.
3.2.3 Bahasa dan Kesenian Masyarakat Angkola
1) Bahasa Masyarakat Angkola
Luhak Angkola yang berada di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan dan
Kota Padangsidimpuan dihuni oleh suku Angkola-Sipirok-Madailing, sehingga
masyarakat di wilalayah tersebut menggunakan bahasa Angkola yang berbeda
pada dialek dan ideolek pada suku Mandailing yang lebih lembut. Tetapi, Bahasa
Angkola bila dibandingkan dengan penggunaan bahasa di Daerah Gunung Tua
yang tinggal di Padang Bolak cenderung penggunaan bahasanya lebih keras dan
pada pengucapan suku kata-suku kata tertentu, sehingga apabila dibandingkan
dengan ketiga wilayah tadi bahasa pada Suku Angkola berada di tengah dalam
penggunaan kkeras lembutnya intonasi suara. Sedangkan apabila dibandingkan
antara bahasa Batak Toba dengan bahasa Padang Bolak tentunya bahasa Batak
Toba lebih keras Intonasinya dibandingkan dengan Bahasa di Padang Bolak.
Intensitas pemakaian bahasa Angkola-Mandailing dipakai pada semua
lapisan masyarakat, baik itu untuk kalangan orang tua maupun di kalangan
anak-anak dan remaja. Pada aktifitas formalpun tak jarang digunakan bahasa
Angkola-Mandailing, bahkan bila ada penggunaan bahasa di luar bahasa Angkola (Bahasa
Indonesia) akan mendapatkan kritikan dari sesama komunitas suku Angkola.
Begitu kentalnya loyalitas pemakaian bahasa Angkola bagi penutur di Kedua
wilayah pengguna bahasa Angkola tersebut.
Penggunaan bahasa Angkola-Mandailing oleh bahasa penduduk asli atau
pendatang yang sudah menetap cukup lama di Kota Padangsidimpuan dan
Tapanuli Selatan. Di samping itu penduduk asli suku Angkola di Tapanuli Selatan
ada juga pendatang yang bersuku
Jawa, Minang, Batak Toba, dan lain-lain.
Bahasa Jawa, Minang, bahasa Batak Toba, bahasa Minangkabau, bahasa
Palembang, bahasa Aceh, bahasa Melayu, bahasa Pesisir, bahasa Cina, bahasa
Tamil dan lainnya. Penduduk pendatang pada umumnya yang sudah lama
menetap di Tapanuli Selatan dan Kota Padangsidimpuan..
Ada satu hal yang unik di Kota Padangsidimpuan dan Kabupaten Tapanuli
Selatan, yang penggunaan bahasa Jawa oleh penduduk yang dulunya
ekstransmigrasi yang bekerja di perkebunan, atau pelarian pada masa penjajahan
Belanda yang kini menetap di Kota Padangsidimpuan. Jumlah penduduk kedua
terbanyak adalah suku Jawa, sehingga di kantong-kantong wilayah tertentu di
Tapanuli Selatan dan Kota Padangsidimpuan di huni oleh suku Jawa. Oleh karena
itu bahasa Jawa bukan lagi bahasa asing apabila kita mendengar sesama
komunitas suku Jawa berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Jawa di
daerah Tapanuli Selatan dan Kota Padangsidimpuan.
Penggunaan beberapa bahasa daerah yang digunakan oleh pendatang juga
dipakai sebagai bahasa komunikasi, yakni bahasa Mandailing, bahasa Angkola,
bahasa Batak Toba, bahasa Minang, bahasa Jawa, bahasa suku yang lain yaitu
Cina, bahasa ini hanya dipakai ditingkat kelompok orang-orang yang telah dewasa,
namun dalam pergaulan sehari-hari pada kalangan usia sekolah menggunakan
bahasa Mandailing dalam berkomunikasi. Hal ini disebabkan pengaruh dominasi
penduduk yang bersuku Angkola-Mandailing dan yang secara demografi bersuku
Angkola-Mandailing menyebar di seluruh tanah Tapanuli Selatan. Hal inilah yang
menyebabkan menggunakan bahasa Angkola-Mandailing sebagai bahasa
pergaulan dan bahasa pengantar sehari-hari sangat besar.
2) Kesenian
Masyarakat Angkola
Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kota Padangsidimpuan yang mendominasi
penduduk berkebudayaan Angkola. Suku Angkola yang mendiami wilayah
tersebut tidak mengalami perubahan setelah terjadinya pemekaran, hal yang
mengalami pemekaran pada pemerintahan, tetapi pada wilayah budaya tetap
karena tidak mempengaruhi hal tersebut.
Wilayah kebudayaan Angkola-Sipirok di Kabupaten Tapanuli Selatan dan
Kota Padangsidimpuan dalam berkesenian masih yang pada umumnya tetapi
mengalami penurunan intensitas dan pengetahuan bagi generasi muda, hal ini
seriring dengan perkembangan zaman dan teknologi yang berdampak pada
semakin termarginalnya kesenian tradisional. Hal ini karena, anak-anak lebih
banyak menghabiskan waktunya dengan ber-
gadget
dan dengan menjamurnya
jasa warnet yang dapat digunakan oleh anak-anak untuk bermain
game online
atau
dengan aktifitas internet atau bermedia sosial.
Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terus
menggerus budaya dan kesenian di daerah sehingga perkembangan kebudayaan
semakin kecil. Gaya hidup hedonis, kapitalis dan materialis dan instan merubah
paradigm masyarakat di wilayah budaya, padahal budaya dan kesenian-kesenian
Angkola bila dikajidan diretas mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang dapat
mencerminkan karakteistik budaya kerja sama, gotong royong, tenggang rasa.
Padahal budaya dan kesenian Angkola sebegai perekat persatuan dan kesatuan
untuk saling menghargai perbedaan pendapat dengan beragam strata sosial.
Barat memberikan pengaruh bagi penduduk penganut kepercayaan arwah nenek
moyang atau benda yang dikeramatkan atau
pelebegu
, yaitu kepercayaan yang
intinya memuja roh nenek moyang. Penghubungnya disebut
sibaso,
orang
(mediasi atau perantara) yang dapat berhubungan dengan roh nenek moyang
dalam bentuk upacara ritual. kepercayaan Pelebegu ini tidak lagi dianut oleh
masyarakatnya. Dengan masuknya agama Islam tentu hal itu berpengaruh
terhadap kesenian yang sebelumnya digunakan sebagai pelipur lara masyarakat
Angkola.
Kesenian-kesenian yang masih bertahan di tengah derasnya arus budaya
Islam dan pengaruh kesenian asing berpengaruh kepada kesenian lokal tersebut
yaitu:
ende
(bernyanyi),
Gondang, hapantunan
(berbalas pantun),
marmoncak
(pencak silat), tarian
tortor
,
gorga-ganaganaan
(seni rupa). Di samping itu, ada
bagian budaya dan kesenian yang penting dari kebudayaan Angkola- Sipirok,
Tapanuli Selatan yang punah sama sekali, misalnya
hata andung, hata sibaso,
hata parkapur,
dan
hata teas dohot jampolak,
yang masih dipakai
hata somal,
demikian juga
gordang sambilan, gordang dua
, dan juga sastra lisan.
Gorga-ganaganaan
ini merupakan peninggalan seni Angkola-Mandailing. Keberadaanya
juga sudah mengkhawatirkan sebab para pembina
gorga-ganaganaan
sendiri telah
dimakan usia, bahkan sudah banyak yang meninggal dunia. Sedangkan generasi
muda sebagai penerus kurang begitu menjiwai atau bahkan sistem penerusannya
secara estafet terhenti.
upacara-(
siriaon
) maupun untuk upacara duka cita (
siluluton
). Alat musik yang digunakan
biasanya disebut
gondang
atau gendang
Gendang atau
gondang
adalah salah satu jenis musik yang terdapat di
daerah Angkola, Sipirok, dan Mandailing yang digunakan pada pelaksanaan
upacara adat
na godang
(tingkatan upacara adat yang paling besar). Kata
gondang
mempunyai tiga macam pengetian. Pertama, gondang berarti alat musik yaitu
gendang yang terdiri dari
gondang inang
atau
gondang siayakkon
dan
gondang
pangayakon
. Kedua,
gondang
bisa berarti lagu, misalnya lagu untuk
suhut
sihabolonan
maka disebut dengan
gondang suhut sihabolonan
, lagu untuk
mora
disebut dengan
gondang mora
. Ketiga,
gondang
dapat juga berarti ensambel
musik, yakni alat-alat musik yang tergabung dalam satu unit. Ensambel musik
tradisional Angkola, Sipirok, dan Mandailing dikenal dalam tiga klasifikasi: (1)
gondang dua
, (2)
gondang lima
, dan (3)
gordang sambilan
.
Sehingga jika orang mengatakan main
gondang
, yang dimaksud bukan
hanya memainkan instrumen gendang, tetapi memainkan satu ansambel musik
yang terdiri dari 2 buah
gondang
(
gondang inang
dan
gondang pangayakon
), 2
buah
ogung
, 1 buah suling, 1 buah
doal
, sepasang
tali sasayat
(simbal), 7 buah
salempong, dan
onang-onang
(nyanyian), juga
tortor
.
Gondang
menurut tradisi
hanya dapat ditampilkan dalam konteks upacara adat
nagodang
dalam suasana
siriaon
(suka cita) saja, oleh karena itu pula disebut dengan
gondang maradat
.
konteks adat. Oleh karena itu, musik ini biasanya ditampilkan di luar
perkampungan yakni saat di sawah atau saat menggembalakan ternak atau boleh
juga dalam perkampungan pada saat malam hari. Alat musik terebut antara lain
adalah sebagai berikut. (1)
Ole-ole
atau
uyup-uyup
, adalah alat musik aerofon
yang bahannya terbuat dari batang padi. Cara memainkannya adalah dengan ditiup
dan dimainkan biasanya di sawah atau di ladang sebagai hiburan. (2)
Nung-neng
adalah idiophone yang bahannya terbuat dari bambu.
Cara memainkannya adalah dengan memukul badan bambu tersebut.
Fungsinya adalah untuk belajar bermain gondang dan hiburan, biasanya
dimainkan pada malam hari oleh pemuda-pemudi di halaman
bagas godang
. (3)
Suling, adalah aerofon yang bahannya terbuat dari bambu. Cara memainkannya
adalah dengan ditiup, biasanya dimainkan di luar kampung atau pada malam hari
di halaman
bagas godang
. (4)
Tulila
, adalah aerofon yang bahannya terbuat dari
bambu, bentuk atau besar badannya lebih kecil dari bentuk suling. Cara
memainkannya adalah dengan cara ditiup (Takari dkk, 2008:122-123).
melepaskan rasa rindu dan kekecewaannya tersebut muncullah kata
onang-onang
dalam bentuk nyanyian.
Pada awalnya
onang-onang
adalah nyanyian yang berfungsi sebagai
ungkapan pelepas rasa rindu kepada orang yang dikasihinya. (2)
Turke-turke
adalah nyanyin rakyat (
lullaby song
) masyarakat Angkola yang dinyanyikan oleh
orang tua (ayah atau ibu) untuk si buah hati (anak) 6 sampai 10 bulan.
Turke-turke
dinyanyikan sebagai ungkapan perasaan suka cita orang tua terhadap kesehatan
dan pertumbuhan sang anak yang semakin bijak. (3)
Ungut-ungut
, nyanyian
rakyat yang mengisahkan suasana kampung Sipirok atau Bunga Bondar.
Ungut-ungut
dinyanyikan oleh seorang pria sebagai ungkapan keluh
kesahnya karena akan pergi merantau jauh dari kampung halaman untuk mencari
pekerjaan yang lebih layak derni masa depan. Berpisah dengan sang kekasih
menyebabkan munculnya perasaan sedih dan terharu; namun tetap berharap dan
berpesan kiranya sang kekasih tetap setia menunggu kepulangannya dengan
keberhasilan. (4)
Ile Onang Baya
, nyanyian pelepas rindu dimana bila kita
mendengarnya akan terobati rasa rindu kepada orang yang kita cintai dan sayangi.
Nyanyian ini dinyanyikan oleh pemuda/i untuk mengungkapkan perasaan hatinya.
Biasanya nyanyian ini dinyanyikan oleh seseorang di tempat tertentu (tidak di
tempat umum, masih banyak lagi musik vokal Angkola, Sipirok, dan Mandailing.
biasanya dilaksanakan pada malam hari setelah berakhimya acara perkawinan
oleh anak muda dan gadis dengan bimbingan pengetua adat. Tetapi dapat juga
dilaksanakan pada siang hari tergantung persiapan .
Tempat pertunjukan kesenian
bondong
di dalam ruangan rumah yang lebih
dahulu dipersiapkan khusus dengan beberapa hiasan terutama alat yang bernama
bondong, serta tempat duduk para pernain di atas tikar dan perlengkapan lainnya
yang diperlukan. Dengan demikian kesenian
bondong
belum dilaksanakan di atas
pentas yang dibuat secara khusus. Kesenian
bondong
disajikan dengan cara yang
sederhana, biasanya ditampilkan bersamaan dengan upacara pernikahan dalam,
bentuk dialog yang dirangkaikan dengan berbagai pantun.
Para pemain kesenian
bondong
bermain secara spontan sesuai dengan
kemampuan masing-masing dengan naskah cerita tidak ada, maka dialog tersusun
dalam bentuk pantun yang timbul secara spontan dan alamiah. Urutan adegannya
adalah diawali dengan keberangkatan sekumpulan anak muda dari sebuah rumah
ke rumah lain tempat anak gadis berada. Diperdengarkan lagu
sitogol
secara
bersahut-sahutan di antara anak gadis dan anak muda (
na poso
dan
nauli bulung
)
yang sedang menunggu di halaman.
berbalas pantun dan diawasi seorang ibu dan seorang bapak sekaligus menjadi
pengarah acara. Dialog pertama dimulai oleh pria isinya mohon persetujuan anak
gadis untuk memasuki ruangan yang disampatkan dalam bentuk pantun (Takari
dkk, 2008:123-124).
Kemudian selain itu, di Angkola, Sipirok, dan Tapanuli Selatan juga
terdapat seni bela diri yakni
moncak
(Pencak Silat), pencak silat ini lebih dikenal
dengan nama
tarlak
, seni bela diri
tarlak
merupakan seni asli tanah
Angkola-Mandailing, tetapi
marmoncak
yang masih dimiliki oleh masyarakat
Angkola-Mandailing. Seni
moncak
(pencak silat) ini pada masyarakat Kabupaten Tapanuli
Selatan dapat berpungsi ganda, yakni satu sisi dapat menjadi hiburan pada acara
pelengkap dalam hajatan perkawinan.
Marmoncak
(pencak silat). ini dihadirkan
untuk seni ketika mempelai pria sudah sampai ke rumah calon istri. Untuk
hari-hari tertentu silat ini juga digunakan untuk olah raga ataupun sebagai seni bela diri.
Seni pencak silat ini jika dipakai pada acara perkawinan biasanya menggunakan
pedang/ golok dan tombak pada saat mengiringi rombongan pengantin diringi
musik
gondang
yang digunakan untuk mengiringi gerakan silat tersebut.
3.2.4
Lokasi Penelitian
Setelah dibentuknya Kabupaten Mandailing Natal, maka melalui:
1.
Surat Bupati Tapanuli Selatan Nomor 135/1078/2000 tanggal 30
Nopember 2000, dan
2.
Keputusan DPRD Tapanuli Selatan Nomor 01/PIMP/2001 tanggal 25
Januari 2001, serta
3.
Surat Gubernur Sumatera Utara Nomor 135/1595/2001 tanggal 5 Februari
2001.
Maka
diusulkan
pembentukan
Kota
Padangsidimpuan
dengan
diterbitkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2001 tentang pembentukan Kota
Padangsidimpuan.
Pada tanggal 17 Oktober Tahun 2001 oleh Menteri Dalam Negeri, atas
nama Presiden Republik Indonesia, diresmikan Padangsidimpuan menjadi kota
dan pada tanggal 9 November 2001 Gubernur Sumatera Utara melantik Drs.
Zulkarnain Nasution,MM sebagai pejabat (Pj) Walikota Padangsidimpuan, dan
memenangkan pemilihan walikota dua periode. Yang kini dijabat oleh Bapak
Andar Amin Harahap, SST.,M.Si. sebagai Walikota Padangsidimpuan yang
kedua.
Pemerintah Kota Padangsidimpuan pada saat ini dibagi menjadi 6 (enam)
wilayah kecamatan, masing-masing: 1) Kecamatan Padangsidimpuan Utara; 2)
Kecamatan Padangsidimpuan Selatan; 3) Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara;
4) Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua; 5) Kecamatan Padangsidimpuan
Hutaimbaru; 6) Kecamatan Padangsidimpuan Angkola Julu. Hal ini karena
umumnya penduduk di Kota Padangsidimpuan menggunakan bahasa
Angkola-Tapanuli Selatan (Mandailing) sebagai bahasa pengantar, sehingga upacara
perkawinan adat Angkola
nagodang
yang pada upacara perkawinan adat Angkola
yang salah satu puncak mata acara tersebut dilakukan upacara
mangupa
adat
Angkola.
3.2.5 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Padangsidimpuan yang bertempat di
Jalan Sudirman Gang PUD Sadabuan Padangsidimpuan Utara, Provinsi Sumatetra
Utara, penelitian awal pada bulan Januari 2013 sampai dengan November 2014.
Pengambilan data upacara perkawinan adat
nagodang
yang pada upacara
perkawinan adat Angkola yang salah satu puncak mata acara tersebut dilakukan
upacara adat
mangupa
Angkola yang dilaksanakan pada tanggal 10 Februari 2013
sampai dengan tanggal 11 Februari 2013, Data kedua waktu upacara perkawinan
adat Angkola Perkawinan ini berlangsung di Jalan MT Haryoni No. 56 Kampung
Marancar Kota Padangsidimpuan pada tanggal 17-18 Oktober 2014.
Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini dengan mengumpulkan data
primer dan data skunder, data primer penelitian ini yang diperoleh langsung ketika
upacara perkawinan adat
nagodang
yang pada upacara perkawinan adat Angkola
yang salah satu mata acara tersebut dilakukan upacara
mangupa
adat Angkola,
sehingga tradisi lisan sebagai wadah berlangsungnya tradisi
mangupa
adat
Angkola tersebut. Data primer juga didapat dengan mengambil data dari informan
kunci yaitu pelaku adat dan raja-raja yang memahami tradisi
mangupa
adat
Angkola.
Data skunder adalah hasil wawancara terstruktur dan takterstruktur. Hal ini
sesuai dengan yang disebutkan oleh Lofland dan Lofland (1984) dalam Moleong
(2005:157) menyebutkan, sumber data utama dalam penelitian kualitatif, ialah
kata-kata dan tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan
lain-lain. Sejalan dengan pendapat di atas
Heritage
(1988) kajian analisis
percakapan memerlukan data yang muncul secara alamiah, dalam hal ini sumber
data utama adalah tradisi lisan upacara adat
mangupa
adat Angkola yang direkam
dengan
handycam
dan dicatat.
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Hutchby dan Woffit (1994)
data yang dianalisis adalah data tradisi lisan yang direkam dan ditranskripsikan,
kemudian dilengkapi dengan pengambilan foto. Data yang dikumpulkan dari
mulai bulan Januari 2013 sampai dengan November 2015.
mengamati sebuah fenomena dengan menggunakan instrumen dan rekaman untuk
tujuan ilmiah. Observasi bertujuan untuk mengumpulkan data dan bahan-bahan
dari upacara
mangupa
adat Angkola yang berkaitan dengan objek yang diteliti. Di
dalam observasi data tidak dilakukan manipulasi data dan juga menstimulasi
subjeknya, sehingga seluruh tradisi lisan
mangupa
adat Angkola berlangsung
sesuai dengan yang semestinya, sehingga berjalan secara alami.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik dokumentasi
instrumen pengumpulan data terdiri dari dua: a) lembar dokumentasi untuk data
tertulis; dan b) teknik rekam untuk data tradisi lisan. Sumber data primer
penelitian ini terdiri dari dua jenis yakni data yang diperoleh ketika upacara adat
mangupa
berlangsung dalam bentuk tradisi lisan dan wawancara dengan informan
kunci yaitu dengan raja-raja adat, pelaku adat, tokoh masyarakat sedangkan untuk
memahami antropolinguistik sebagai jalan masuk mengkaji tradisi lisan
mangupa
,
sedangkan semiotik untuk mengkaji makna dan fungsi upacara
mangupa
adat
Angkola dikumpulkan dari hasil rekaman dan wawancara terstruktur dan
takterstruktur.
Sumber data primer yaitu upacara
mengupa
adat Angkola yang merupakan
acara puncak perkawinan, yaitu performansi upacara
mangupa
adat Angkola. Data
sekunder yaitu dengan mengumpulkan data observasi lapangan, wawancara
dengan narasumber, dan menganalisis data dokumentasi dan referensi buku.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini,
pertama
, metode survey
yaitu mengumpulkan informasi yang sesuai dengan judul yang telah ditetapkan
yaitu tradisi lisan yang digunakan pada upacara
mangupa
adat Angkola.
Kedua
,
melakukan wawancara yang dalam (
depth interview
) terstruktur dan takterstruktur
dengan informan kunci untuk menggali informasi yang berhubungan dengan
tradisi
mangupa
adat Angkola, sehingga didapat tradisi
mangupa
adat Angkola
yang cukup akurat untuk memperoleh data.
Ketiga
, mengumpulkan data-data
yang digunakan pada tradisi lisan
mangupa
adat Angkola.
Sumber data
Dokumentasi Rekaman/ Foto Wawancara mendalam
terstruktur dan takterstruktur
Reduksi Data Observasi Non
Partisipan
Observasi Partisipan
Pengklasifikasian Data
Pengujian Data
Gambar 6. Pengumpulan Data
Keempat
, melakukan pengecekan keabsahan hasil penelitian yang
dilakukan
serta
membahasnya
dengan
informan
kunci.
Kelima
mengkonsultasikannya dengan promotor/ co-promotor disertasi. Apabila ada
prosedur dan langkah-langkah penelitian yang tidak sesuai, sehingga dapat
dilakukan revisi dan mengambil data yang belum sesuai (lihat gambar 4 di atas).
3.5 Metode Analisis Data
Menganalisis data kualitatif menurut Bodgan dan Biklen (1982) dalam
Moelong (2005:248) mengatakan bahwa analisis data kualitatif adalah upaya yang
dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data,
memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari,
menemukan apa yang penting, apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang
dapat diceritakan kepada orang lain. Proses menganalisis dan mengorganisasikan
data ke dalam suatu pola, mengkategorikan agar menjadi uraian dasar, sehingga
dapat dikategorikan ke dalam hipotesis kerja, dengan menggunakan metode
deskriptif dilakukan analisis dan interpretasi secara menyeluruh pada data
performansi
mangupa
adat Angkola yang telah dikumpulkan.
1.
Membaca dan mempelajari data, menandai kata-kata kunci dan gagasan
yang ada pada data upacara adat Angkola.
2.
Mempelajari kata-kata kunci itu, berupaya menemukan tema-tema yang
berasal dari data.
3.
Menuliskan model yang ditemukan.
4.
Koding yang telah dilakukan.
5.
Merevitalisasi proses
mangupa
adat Angkola.
Lebih jauh Saidel menjelaskan dalam Moleong (2005:248), proses
penganalisisan yaitu:
1.
Mencatat yang menghasilkan catatan lapangan, dengan hal yang diberi
kode agar sumber datanya tetap ditelusuri;
2.
Mengumpulkan dan memilah-milah data, mengklasifikasikan data,
mensintesiskan, membuat ikhtiar dan membuat indeksnya;
3.
Berpikir dengan jalan membuat kategori data itu mempunyai makna,
mencari dan menemukan pola dan hubungan-hubungan, dan membuat
temuan umum.
Data yang diperoleh dari hasil pengumpulan dokumen dianalisis dengan
teknik analisis dokumen atau analisis isi. Hal ini disebabkan penelitian ini untuk
mengumpulkan informasi kemudian melakukan pengujian data tradisi lisan
upacara
mangupa
adat Angkola. Menurut Sigit (2003:240) analisis dokumen ialah
mempelajari apa yang tertulis dan dapat dilihat dari dokumen-dokumen. Analisis
dalam penelitian tradisi lisan
mangupa
adat Angkola meliputi tahap:
5.
Mendeskripsikan data performansi tradisi lisan
mangupa
adat Angkola.
6.
Menganalisis data performansi, mengklasifikasikan data, dan menafsirkan
data atas bentuk dan fungsi melalui performansi, indeksikalitas, dan
partisipan, analisis teks, koteks, dan konteks tradisi lisan
mangupa
adat
Angkola dengan informan kunci.
7.
Hasil akhir yang terdapat pada performansi tradisi lisan
mangupa
adat
Angkola dan dikonsultasikan dengan pembimbing.
Gambar 7. Analisis Data
Mengumpulkan data dengan Wawancara kepada informankunci
Hasil Data diklasifikasikan
Hasil perolehan data ditafsirkan dengan wawancara kepada
informan kunci Hasil Data
dianalisis
Hasil akhir data dikonsultasikan kepada pembimbing
Temuan penelitian
Membuat Model Penelitian Tradisi Mangupa Adat Angkola
BAB IV
PETA WILAYAH KEBUDAYAAN ANGKOLA
DAN PERFORMANSI TRADISI LISAN
MANGUPA HORJA GODANG ADAT ANGKOLA
4.1 Hakikat Mangupa Horja Godang
Sebelum masuknya agama ke daerah Angkola-Sipirok, Batak, Mandailing, dan Tapanuli Selatan, masyarakat belum memiliki kepercayaan terhadap agama, sehingga beragam kepercayaan seperti: animisme, dinamisme, dan percaya kepada sipelebegu menyembah pepohonan, batu-batu, atau apa saja yang dianggap keramat. Kepercayaan masyarakat selain makhluk kasar (manusia) setiap orang memiliki roh dan kepercayaan pada zat yang gaib, sehingga dalam keyakinan masyarakat adat setiap orang tidak bisa sembarangan melakukan sesuatu karena hal tersebut tabu (pamali atau pantang). Setiap orang atau makhluk hidup memiliki tondi karena orang yang sudah meninggal dunia tidak memiliki tondi atau tidak lagi marsumangat. Kepercayaan kepada leluhur dengan meyakini kata-kata yang dianggap bertuah atau marsahala karena pesan leluhur disampaikan dari satu generasi ke generasi berikut secara estafet.
Petuah-petuah leluhur „sahala‟ melahirkan semangat hidup dan tondi merupakan
„core‟ inti kehidupan. Dengan menghormati dan melaksanakan petuah leluhur dianggap menghargai roh nenek moyang. Jadi tondi itu merupakan kekuatan semangat, tenaga
Tondi tersebut diyakini sebagai aspek kejiwaan manusia yang mempengaruhi semangat dan kematangan psikologis individu. Tondi itu merupakan kekuatan yang memberi hidup pada bayi. Tondi merupakan kekuatan, tenaga, semangat jiwa yang memelihara ketegaran rohani dan jasmani agar tetap seimbang, kukuh, keras dan menjaga harmoni kehidupan setiap individu. Dalam keadaan ketakutan yang mendadak misalnya diserang harimau di hutan, tondi juga bisa meninggalkan badan, tondi dapat mengembara sesukanya dan bahkan boleh jadi bertemu dan bergabung dengan roh jahat.
Kepercayaan masyarakat setiap orang memiliki roh, roh tersebut memiliki tondi atau spirit. Karenanya tondi manusia dapat pergi atau meninggalkan roh, bila tondi meninggalkan raga, manusia tersebut akan sakit atau dikenal mago tondi atau kehilangan semangat. Kehilangan semangat (mago tondi) atau pergi tondi meninggalkan roh disebabkan oleh berbagai sebab seperti: gangguan makhluk gaib, ditegur oleh leluhur karena berbuat salah, buang air atau berbicara kasar (tabu) di tempat-tempat angker
(hutan, kayu, gua, sungai, gunung, ngarai, mata air „mual‟, bermain pada tempat-tempat terlarang, sangat menginginkan sesuatu (tarhirim), mencuri ikan di lubuk larangan, mendapat musibah (tabrakan, jatuh, kecelakaan, kebakaran, sakit, terkejut, ketakutan,
diganggu makhluk halus „tarsapo‟) dan lain-lain.
Tondi
Jasad Ruh
Gambar 2. Setiap manusia memiliki hubungan antara jasad, ruh, dan tondi
Agar dapat mengembalikan semangat ke dalam tubuh dikenal dengan istilah paulak tondi tu badan, hal itu dilakukan dengan upacara adat mangupa. Kepercayaan agar tondi kembali ke roh dilakukan dengan upacara adat mangupa dengan melengkapi persyaratan-persyaratan dan bahan-bahan pangupa, dengan demikian tondi tersebut dibujuk (dielek) untuk kembali ke badan. Leluhur suku Angkola dan Tapanuli dianggap memiliki sahala raja yang dapat memberi pengarahan pada tondi yang masih hidup. Tokoh-tokoh sebagai perwakilan untuk melakukan upacara adat mangupa dengan melengkapi bahan-bahan pangupa sebagai persyaratan agar arwah leluhur tidak murka dengan mengganggu turunannya yang telah melanggar aturan adat atau hal-hal yang dianggap tabu menurut keyakinan komunitas adat Angkola.
Upacara mangupa atau upah-upah merupakan upacara adat di Angkola, Sipirok, dan Mandailing yang bertujuan untuk mengembalikan tondi ke dalam badan. Tondi atau semangat atau jiwa kematangan secara psikologis individu mempengaruhi manusianya. Tondi sebagai kekuatan (tenaga, semangat jiwa) yang memelihara ketegaran rohani dan jasmani agar tetap seimbang, kukuh, keras dan menjaga harmoni kehidupan setiap individu. Tondi dapat mengembara sesukanya dan bahkan boleh jadi bertemu dan bergabung dengan roh jahat.. Upacara mangupa bertujuan untuk mengembalikan tondi (semangat, spirit, tenaga, kekuatan) ke badan seseorang atau beberapa orang melalui kalimat-kalimat yang berfungsi untuk memberi semangat dalam bentuk kalimat-kalimat bermakna nasihat.
dan kalimat nasihat penutup pada upacara adat mangupa pun disampaikan sesuai dengan norma-norma agama Islam dan kristen.
Upacara mangupa lebih dikenal dengan sebutan mangupa atau upah-upah sebagai upacara adat di Tapanuli Selatan begitu pula halnya di luhak Angkola. Tradisi mangupa bertujuan untuk mengembalikan semangat (spirit) ke dalam tubuh atau yang lebih dikenal dengan istilah paulak tondi tu badan. Tradisi mangupa bermaksud mememohon berkah dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa agar selalu selamat, sehat, dan murah rezeki dalam kehidupan. Disamping itu, tradisi lisan mangupa dipercaya masyarakat Angkola agar terhindar dari marabahaya, karena tercapainya suatu maksud (karena tercapainya cita-cita, karena berhasilnya pendidikan, karena menduduki jabatan, keluar sebagai juara, naik haji, selamat sampai ke tujuan). Upacara mangupa
dilaksanakan supaya “Horas tondi madingin, pir tondi matogu” yang bermakna
“Selamatlah tondi dalam keadaan dingin/ sejuk/ nyaman, keraslah tondi semakin teguh bersatu dengan badan sehingga mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan yang
dijalani.”
Pada tradisi lisan mangupa adat berfungsi sebagai sarana memberikan kata-kata nasihat, tuntunan hidup bermasyarakat dan hidup berumah tangga. Tradisi lisan mangupa sudah ada sejak zaman dahulu, walaupun keyakinan masyarakat sudah mengalami pelunturan yang diakibatkan oleh paradigma masyarakat yang telah mendapat pendidikan formal, masuknya ajaran agama Islam, dan adanya faktor-faktor lain, sehingga tradisi lisan mangupa sudah mulai mengalami dekadensi performansinya di masyarakat Angkola.
Hal itu terjadi sejak masuknya agama Islam yang pada umumnya dianut oleh masyarakat etnik Angkola, sehingga performansi tradisi lisan mangupa disesuaikan dengan norma-norma agama Islam. Oleh karena itu, kata-kata nasihat lebih diutamakan dengan menggunakan ajaran agama Islam yang disertai dengan bahasa-bahasa adat.
Tradisi lisan mangupa sebagai peristiwa komunikasi yang memiliki dimensi proses komunikasi yang bermuatan sosial, budaya, dan estetik sebagai bentuk aktifitas tindakan yang ditafsirkan melalui tindakan komunikasi dapat dipahami. Performansi tradisi tuturan yang diperagakan sebagai objek kajian sesuai kontekstual dengan menonjolkan suasana adat yang diwarnai dengan kasih sayang orang tua, sanak keluarga, tokoh adat, dan masyarakat adat. Performansi tradisi lisan mangupa adat
Angkola menggunakan teori upacara „mangupa‟ yang dikemukakan terbagi atas empat komponen yaitu: a) tempat upacara, b) saat/ waktu upacara, c) benda-benda dan alat upacara, d) pemimpin dan peserta upacara.
Berdasarkan penelusuran data di lapangan ditemukan data dengan menambahi paparan di atas dengan e) jenis-jenis upacara mangupa, dan f) bahan-bahan pangupa sebagai indikator yang menentukan besar kecilnya upacara mangupa.
Kehidupan masyarakat adat di Luhat Angkola yang relegius yang pada umumnya beragama Islam, tetapi masih sangat peka terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya sehari-hari. Fenomena yang terjadi itu berupa peruntungan upacara naik pangkat, upacara lulus ujian, mendapat gelar akademis, upacara naik haji, upacara mendirikan dan memasuki rumah baru, upacara kelahiran. Begitu pula kejadian-kejadian berupa musibah seperti, upacara lolos dari marabahaya, upacara sembuh dari sakit, sehingga dengan peristiwa-peristiwa itu masyarakat adat akan merasa terhindar dari mara bahaya dan merasa bersyukur atas tercapainya suatu maksud yang diinginkan.
Pada masa kini, ada beberapa pembagian performansi upacara mangupa dilaksanakan oleh masyarakat adat, yaitu: (1) hasosorang ni daganak atau kelahiran anak (2) haroan boru atau sering dikenal juga sebagai patobang anak atau mangupa anak laki-laki, dan (3) marmasuk bagas na imbaru atau memasuki rumah baru, (4) mendapat jabatan (anggota DPR, bupati, walikota, gubernur dan lain-lain), (5) menyelesaikan pendidikan (naik kelas, diterima di perguruan tinggi, sarjana, dan pascasarjana, (6) terhindar dari bahaya, sembuh dari penyakit, dan (7) naik haji.
Pada saat ini, perkembangan tradisi Mangupa telah disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Angkola sehingga terdapat banyak jenis mangupa sesuai dengan niat dan hajat tuan rumah (suhut sihabolonan).
4.2.2 Tingkatan Tradisi MangupaAdat Angkola
Upacara perkawinan adat Angkola memiliki bagian upacara adat yang cukup penting yaitu mangupa, karena mangupa bertujuan untuk memberikan upah-upah kepada kedua mempelai setelah pulang dari upacara to tapian raya bangunan2 (ke pinggir sungai), sehingga upacara mangupa tersebut akan diberi nasihat-nasihat tentang hidup
2
berkeluarga dan bermasyarakat. Pada tradisi mangupa memiliki tingkatan-tingkatan sesuai dengan besar kecilnya lahanan (bahan pangupa) adat.
Tradisi mangupa adat Angkola merupakan serangkaian upacara mangupa (seremonial) mempelai yang terikat pada aturan tertentu menurut adat atau agama yang lazim dituruti atau dilakukan sejak dahulu kala yang dipimpin oleh pengetua adat atau pemuka agama.
Pada upacara mangupa sesungguhnya memiliki tingkatan-tingkatan sesuai dengan besar kecilnya performansi upacara adat mangupa, penetuan besar kecilnya upacara mangupa disebut dengan tingkatan mangupa. Tingkatan mangupa ditentukan oleh bahan-bahan pangupa sebagai indikator yang mendasari upacara mangupa. Tingkatan upacara mangupa yang paling kecil sedikitnya harus dipenuhi bahan pangupa yaitu sebutir telur ayam. Tingkatan upacara mangupa yang kedua yaitu seekor ayam, dan tingkatan ketiga yaitu seekor kambing, dan tingkatan yang keempat atau tingkatan yang tertinggi yaitu seekor kerbau.
Setiap mempersiapkan bahan-bahan mangupa yang tertinggi harus tetap mempersiapkan bahan pangupa hewan adat pada tingkatan yang di bawahnya yang lebih kecil. Contoh ketika mangupa dengan menggunakan bahan (lahananna) kerbau atau mangupa dengan tingkatan tertinggi dengan menggunakan hewan kerbau karena kerbau-lah dianggap hewan adat. Begitu pulakerbau-lah kambing selalu disebut dengan istilah horbo janggut atau pangkupange atau na di pagodang ni sirandorung atau na ditambat di taruma (kambing). Hal itu karena, hanya kerbaulah dianggap hewan adat, walaupun sebutannya kambing istilah adat menyebutnya horbo janggut (kerbau berjanggut).
(kerbau „na bontar‟ yang putih). Jadi tingkatan mangupa tertinggi menggunakan hewan adat kerbau, tingkatan mangupa yang kedua menggunakan hewan kambing, tingkatan mangupa ketiga menggunakan hewan ayam sebagai bahannya, dan tingkatan mangupa yang terkecil (keempat) menggunakan bahan telur ayam rebus.
Tingkatan mangupa adat yang terkecil yaitu dengan bahan (lahananna) menggunakan telur ayam rebus dengan jumlah bahan pangupa dengan telur ayam (yang direbus yang sudah dikupas) dengan hitungan ganjil, jumlah telur rebusnya
minimal satu butir, tiga butir, lima butir, dan tujuh butir (berjumlah ganjil).
Perangkat pangupa dengan telur sebagai tingkatan terendah, dengan menggunakan piring yang berisi nasi putih yang di atasnya diletakkan telur ayam (pira manuk na ni hobolon) minimal satu butir. Di atas telur ayam rebus diletakkan garam atau garam diletakkan di pinggir piring atau garam dibungkus terbuka dengan daun pisang berbentuk kerucut atau garam diletakkan pada piring kaca didekat telur ayam rebus.
Tingkatan pangupa yang kedua yaitu berupa bahan pangupa dengan ayam yang telah dimasak diletakkan di atas nasi putih yang di atasnya diletakkan telur ayam rebus (pira manuk na ni hobolon) minimal satu butir, di atas telur ayam rebus tersebut diletakkan garam atau garam diletakkan di pinggir piring atau garam dibungkus terbuka dengan daun pisang berbentuk kerucut. Di sebelah telur ayam rebus diletakkan dua paha ayam, semua hidangan diletakkan di atas piring kaca.
diletakkan masing-masing seekor ikan, e) di bagian belakang ditaruh parmiakan ni manuk (bagian punggung ayam), f) di bagian kiri dan kanan dalam diletakkan paha kambing, g) di samping paha kambing diletakkan dua paha ayam, h) di depan paha kambing dan paha ayam diletakkan tiga pira manuk na dihobolan (telur ayam yang direbus dan sudah dikupas), yang dibubuhi garam di atas tepat ditengah, i) bagian paling depan adalah kepala kerbau, mata, telinga, bibir dan dagunya, j) semua pangupa ditutupi dengan sehelai bulung ujung (ujung daun pisang), k) paling atas adalah sehelai kain adat, abit godang (selimut adat).
Tingkatan yang tertinggi mangupa atau mangupa yang keempat, dengan menyediakan hewan adat pangupa berupa kerbau (horbo na bontar) atau kerbau putih, yang disusun sebagai berikut: a) alas paling bawah adalah anduri (tampi), b) di atas anduri (tampi) ada tiga helai bulung ujung (daun pisang bagian ujung), c) di atas bulung ujung ditaruh indahan sibonang manita (nasi putih yang disebut siribu-ribu, d) di atas indahan sibonang manita diletakkan ikan-ikan kecil dari tujuh sungai, biasanya haporas dan incor, d) di kiri dan kanan, di atas nasi diletakkan masing-masing seekor ikan, e) di bagian belakang ditaruh parmiakan ni manuk (bagian punggung ayam), f) di bagian kiri dan kanan dalam diletakkan paha kerbau, g) di samping paha kerbau diletakkan dua paha ayam, h) di depan paha kerbau dan paha ayam diletakkan tiga pira manuk na dihobolan (telur ayam yang direbus dan sudah dikupas), yang dibubuhi garam di atas tepat ditengah, i) bagian paling depan adalah kepala kerbau, mata, telinga, bibir dan dagunya, j) semua pangupa ditutupi dengan sehelai bulung ujung (ujung daun pisang), k) paling atas adalah sehelai kain adat, abit godang (selimut adat).
setiap tingkatan dalam upacara mangupa yang lebih tinggi harus mengandung unsur bahan dan hewan yang ada dalam tingkatan yang lebih rendah. Misalnya, untuk tingkatan mangupa tertinggi, yang menyediakan hewan seperti kerbau, suhut sihabolon juga harus menyediakan hidangan pangupa yang lain yaitu kambing, ayam, dan telur, karena bahan pangupa hewan-hewan tersebut tentu saja harus dipadukan dengan berbagai hidangan dan perangkat pangupa yang lain.
Begitu pula untuk upacara adat mangupa yang kedua dengan hewan pangupa berupa kambing harus disediakan hewan yang ada dalam tingkatan yang lebih rendah. Misalnya, untuk tingkatan hewan pangupa berupa kambing suhut juga menyediakan hewan pangupa ayam, dan telur. Begitu pula untuk tingkatan upacara adat mangupa yang menyediakan ayam suhut sihabolon juga harus menyediakan hidangan pangupa yang lain seperti telur, karena bahan pangupa hewan-hewan tersebut tentu saja harus dipadukan dengan berbagai hidangan dan perangkat pangupa yang lain.
walaupun sudah disediakan kerbau bahan pangupa yang di bawahnya tetap harus disediakan yaitu hewan pangupa kambing, ayam, dan telur.
4.3 Persiapan Tradisi MangupaAdat Angkola
Tradisi lisan mangupa horja godang adat Angkola sebagai bagian dari upacara perkawinan adat Angkola (patobang Anak atau haroan boru), yang tradisi mangupa horja godang sebagai salah satu rangkaian mata upacara perkawinan adat Angkola. Tradisi mangupa horja godang sebagai puncak upacara adat, yang biasanya dilaksanakan pada pagi hari, yaitu sebelum matahari tepat di tengah (tengah hari), tetapi kini telah terjadi pergeseran waktu upacara mangupa horja godang yaitu dilakukan pada siang hari atau sore hari setelah kembali dari upacara adat to tapian raya bangunan (secara simbolik ke pinggir sungai
1) Mempersiapkan Bahan-bahan Pangupa
Bahan-bahan yang dipersiapkan oleh pemilik hajat mangupa horja godang (suhut sihabolonan) terdiri dari benda-benda adat yang juga sebagai perlengkapan mangupa horja godang . Bahan-bahan pangupa memiliki makna-makna yang diperlambangkan dengan makna yang dituju sesuai dengan hajatan yang akan di- upa-upa. Oleh karena itu, fungsi bahan-bahan yang dipilih dan disesuaikan dengan keinginan suhut bolon, sehingga pelaku adat dapat memberikan makna-makna sebagai perlambang dari bahan-bahan pangupa.
dan undangan. Dan, benda-benda sebagai pelengkap adat yang dibutuhkan untuk upacara mangupa horja godang , antara lain: a) Tampi, b) daun pisang, c) anak ikan jurung, d) nasi putih, e) air putih, f) telur rebus, d) garam, e) ulos/ kain hitam, f) udang, g) ikan mas, h). kepala kambing/ kerbau, i) burangir (daun sirih) dan perlengkapannya, soda (kapur sirih), gambir dan lainnya.
Perangkat mangupa horja godang berupa bahan-bahan makanan yang diletakkan di atas tampi (anduri) yang dilapisi daun pisang (bulung ujung) sebanyak tiga helai. Jenis bahan makanan yang diletakkan dalam mangupa horja godang menentukan besar-kecilnya pesta adat (horja). Makanan yang diolah dari hewan yang disajikan dalam perangkat tersebut menandakan tingkatan besar-kecilnya Mangupa horja godang yang sedang dilaksanakan. Ada empat jenis bahan dan hewan penting di dalam upacara mangupa horja godang , yaitu: a) pira manuk na nihobolan (telur ayam yang direbus), b) manuk (ayam), c) hambeng (kambing), d) horbo (kerbau), dalam pembicaraan adat dijuluki na bontar (yang putih).
2) Menentukan Urutan Pembicara
Pada performansi upacara mangupa horja godang ada tatanan yang telah diatur adat tentang urutan pembicara dalam upacara mangupa horja godang adat disesuaikan dengan posisi pada dalihan na tolu. Agar lebih jelas, akan dijabarkan satu persatu: 1) suhut 2)kahanggi), 3) Anak Boru, 3) Pisang Rahut, 4) Mora, dan 5) Mora ni Mora (hula dongan).
desa, 4) Harajaon, 5) orang kaya 6) Raja Pangundian (raja pamusuk), dan 7) Raja Panusunan bulung (hasil wawancara dengan Bapak Tinggi Barani Perkasa Alam).
Agar lebih jelas pada performansi upacara mangupa horja godang adat Angkola, alur berbicara pada waktu menyampaikan kata-kata nasihat adat, agar lebih jelas diuaraikan sebagai berikut: a) Orang kaya (MC, pembukaan), b) kahanggi ibu mempelai laki-laki dan barisan suhut perempuan ayah mempelai laki-laki dan kahanggi (suhut laki-laki), c) anak boru, d) mora (Pisang rahut), e) hatobangan, alim ulama, mewakili pemerintahan, f) harajaon, g) orang kaya, k Raja Pangundian (Raja Pamusuk), dan l) Raja Panusunan Bulung.
3) Menentukan Pemimpin Upacara Mangupa Horja Godang
Raja Panusunan Bulung memegang tampuk adat dalam upacara adat, Upacara adat biasanya dipimpin langsung oleh Raja Panusunan Bulung, begitu pula upacara adat mangupa horja godang . Raja Panusunan Bulung diangkat sebagai pemimpin adat di luhak, sesuai dengan luhak marga-marga, Raja Panusunan Bulung merupakan raja adat yang dianggap ahli tentang adat-istiadat. Raja Panusuan Bulung bertindak sebagai pemimpin yang merangkum semua hata pangupa dan menyampaikan kata-kata nasihat mangupa horja godang .
Setiap upacara mangupa horja godang harus dihadiri oleh dalihan na tolu, karena jika tidak dihadiri oleh salah satu unsur dalihan na tolu, maka upacara mangupa horja godang tidak bisa dilaksanakan karena struktur adat tidak terpenuhi. Ketiga unsur Dalihan na tolu itu adalah kahanggi, anak boru, dan mora. Adat istiadat mangupa horja godang dalam Masyarakat Angkola memberikan batasan terhadap ketiga unsur adat tersebut adalah: kahanggi, anak boru, dan mora. Di samping unsur dalihan na tolu, upacara mangupa horja godang dan upacara adat lainnya wajib dihadiri oleh unsur adat lainnya yang mencakup Pisang Rahut, Hatobangon, Raja Pamusuk, Raja Tording Balok, Raja Panusunan Bulung dan ulama (pemuka agama).
Pada tradisi mangupa horja godang yang merupakan bagian akhir pada upacara perkawinan adat Angkola tanggal 17 Oktober 2014 dan 18 Oktober 2014 bertempat di Kampung Marancar Kota Padangsidimpuan oleh Harajaon yang dipilih oleh 123 Harajaon yang hadir pada rapat raja-raja di Luat Tapanuli maka dipilihlah yang
menjadi Raja Panusunan Bulung Sutan Panangaran.
4.4 Performansi Tradisi MangupaAdat Angkola
dalihan natolu tidak hadir maka upacara mangupa tidak dapat dilaksanakan, tetapi walaupun begitu tokoh adat akan menempatkan salah satu komunitas adat untuk menempati posisi dalihan natolu agar upacara mangupa dapat terlaksana tanpa mengurangi nilai-nilai esensial prosesi mangupa tersebut.
Peran pelaku adat (performer) adalah orang yang jadi pembicara pada upacara mangupa, sehingga ia yang diberi kesempatan menyampaikan hata pangupa sesuai alur bicara pada upacara mangupa. Partisipan adalah orang yang berpartisipasi dalam upacara mangupa, dalam hal ini semua pelaku adat dan tokoh-tokoh adat dalihan na tolu yang belum mendapat gilir bicara inilah yang menjadi partisipan. Sedangkan audiens adalah orang yang terlibat dalam upacara mangupa tetapi kehadirannya memang diwajibkan hadir tetapi perannya dalam upacara mangupa hanya sebagai pelengkap, tetapi mereka tidak mendapat gilir bicara hanya sebagai pendengar. Untuk lebih jelas performer dalam upacara mangupa adat Angkola akan dipaparkan pada tebel berikut:
Tabel 3
Performansi Performer, Partisipan, dan Audiens dalam Menyampaikan Hata Pangupa Pada Upacara Mangupa Adat Angkola
NO Performer
Adat
Partisipan Audiens
1. Orang kaya
(MC),
Suhut sihabolonan dimulai dari ibu mempelai laki-laki, Ayah mempelai laki-laki dan, Kahanggi Hombar suhut, Anak boru, Mora dongan, Mora ni mora (pisang rahut), Ompu ni kotuk, Hatobangan, Harajaon ni huta, Harajaon torbing balok, Raja-raja luat, Raja pangundian (raja pamusuk),Orang kaya luat dan Raja Panusunan Bulung, pengantin dongan, Mora ni mora (pisang rahut), Ompu ni kotuk, Hatobangan, Harajaon ni huta,