• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi Lisan Cenggok-Cenggok Pada Upacara Adat Perkawinan Melayu Panai Labuhanbatu-Sumatera Utara Chapter III IX

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tradisi Lisan Cenggok-Cenggok Pada Upacara Adat Perkawinan Melayu Panai Labuhanbatu-Sumatera Utara Chapter III IX"

Copied!
213
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Paradigma Penelitian

Tujuan penelitian tradisi adalah untuk dan mengangkat nilai, norma, dan budaya tradisi lisan cenggok-cenggok. Selanjutnya menggali potensi kearifan lokal dalam upaya revitalisasi terhadap tradisi tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan etnografi. Penggunaan metode dan pendekatan ini dapat mengkaji tradisi lisan cenggok-cenggok dengan analisis kajian tradisi lisan.

Paradigma1 didefinisikan oleh Harmon (dalam Moleong, 2004: 49), sebagai cara mendasar untuk mempersepsi, berpikir, menilai dan melakukan yang berkaitan dengan sesuatu secara khusus tentang realitas. Lebih lanjut Baker (dalam Moleong, 2004: 49) juga mengatakan paradigma sebagai seperangkat aturan yang (1) membangun atau mendefinisikan batas-batas; dan (2) menjelaskan bagaimana sesuatu harus dilakukan dalam batas-batas itu agar berhasil. Cohenn & Manion (dalam Mackenzie & Knipe, 2006) membatasi paradigma sebagai tujuan atau motif filsofis pelaksanaan suatu penelitian.Berdasarkan paparan definisi di atas , kesimpulannya paradigma adalah seperangkat konsep, keyakinan, asumsi, nilai, metode, atau aturan yang membentuk kerangka kerja pelaksanaan sebuah penelitian.

1

(2)

Tradisi lisan cenggok-cenggok dalam keberadaannya pada penelitan ini sebagai teks yang digunakan secara lisan dan tertulis.Teks disini adalah wacana tidak bersifat naratif dapat juga dianggap sebagai pantun, pantun dalam bentuk syair, dan seni tari yang terdapat unsur-unsur lisan.

Metodologi2 penelitian merupakan sekumpulan peraturan, kegiatan, dan prosedur yang digunakan oleh pelaku suatu disiplin ilmu. Landasan metodologi muncul sebagai acuan di dalam mengamati, menafsirkan dan mengkontruksikan, dan menyikapi berbagai hal yang mereka hadapai dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini akan tampak bila dicermati berbagai ungkapan serta percakapan mereka sehari-hari.

Suatu isyarat bahwa siapapun termasuk orang awam sekalipun, sesungguhnya memiliki perbedaharaan metodologi termasuk pola pikir beserta asumsi-asumsi yang sehari-hari digunakan untuk memahami hal dalam kehidupan keseharian mereka. Karena itu realitas sosial sesungguhnya bersifat konstruksi sosial (socially constructed). Berbagai fenomena sosial yang tampak dipermukaan dalam kehidupan sehari-hari tentunya suatu pancaran dari pola pikir, jalan pemikiran, dalil, teori serta anggapan-anggapan yang tersimpan di dunia kesadaran sang manusia sebagai pelaku.

Dari anggapan tersebut penelitian ini tentunya mementingkan teks, ekspresi-ekspresi dan symbol atau koteks dan konteks. Teks, koteks dan konteks dimaksud untuk memahami berbagai makna dan kerangka berfikir yang menjadi landasan ekspresi para pelaku. Tentunya diperlukan proses observasi dalam percakapan

2

(3)

sehari-hari di tingkat pelaku sehingga dapat dipahami bagaimana sesungguhnya struktur dalam (depth structure) yang menjadi kerangka berpikir, teori, anggapan pelaku tradisi untuk memahami, membangun konstruksi pemikiran dalam menyikapi tradisi mereka. Hal yang menuntut kegiatan lapangan yang berjalan panjang agar proses tersebut berlangsung secara alamiah dan peneliti dapat berinteraksi intens dengan objek penelitiannya sesuai dengan karateristik rancangan kualitatif. Penelitian tradisi lisan cenggok-cenggok ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan etnografi3, untuk itu dilakukan observasi terhadap masyarakat Melayu Labuhanbatu guna memahami tradisi dari sudut bentuk (teks, koteks dan konteks), isi (makna, fungsi, nilai, norma dan kearifan lokal). Observasi terhadap masyarakat pemilik tradisi dimaksud untuk memahami masyarakat pemilik tradisi yang nantinya digunakan untuk mengkontruksi tradisi tersebut. Percakapan yang berkaitan dengan tradisi diobservasi baik percakapan para pelaku, penonton maupun pemerhati tradisi . Peneliti berupaya mengungkapkan makna, nilai, norma, dan simbol dalam tradisi berpantun dengan interaksi secara intens dengan tradisi tersebut.

3

(4)

3.2 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif4. Peneliti melakukan penelitian seobjektif mungkin terhadap hal-hal yang menjadi pusat perhatian dan mendukung objek penelitanberdasarkan pada data yang ada dalam karya bahasa dalam hal ini tradisi lisan. Penggunaan metode kualitatif dan pemanfaatan teori tuturan lisan dijelaskan oleh Held (2005: 136) sebagai fokus utama metode empiris.

“The main focus of empirical methods is beginning to move in a qualitative direction: together with the criteria of speech-act theory this seems to guarantee the greatest success in researching politeness”

Pendekatan kualitatif5 sangat tepat dilakukan untuk penelitian tradisi cenggok-cenggok dengan melakukan beberapa prosedur metode.Untuk mendapatkan informasi secara emik dari informan akan dilakukan dengan metode wawancara dan pengamatan. Selain itu dilakukan juga pengumpulan data pantun. Pendekatan ini memandang bahwa realitas sosial yang tampak sebagai suatu fenomena dianggap sesuatu yang ganda (jamak).

Artinya realitas yang tampak memiliki makna ganda, yang menyebabkan terjadinya realitas tadi. McMillan dan Schumacher (2001:396) menyebut realitas sosial dalam penelitian kualitatif ini sebagai:

“…reality as multilayer, interactive, and a shared social experience interpreted by indviduals”.

4

Hakekat metode deskriptif kualitatif sebagaimana yang dikatakan Surahmad (1982 :139) adalah metode penelitian ini dilakukan pengumpulan data kemudian data yang terkumpul akan diinventarisasi, diseleksi, dikelompokkan,dianalisis, diinterpretasi dan disimpulkan.

5

(5)

Dengan demikian dalam penelitian kualitatif, realitas sosial yang terjadi atau tampak, jawabannya tidak cukup dicari sampai apa yang menyebabkan realitas tadi, tetapi dicari sampai kepada makna dibalik terjadinya realitas sosial yang tampak. Oleh karena itu, untuk dapat memperoleh makna dari realitas sosial yang terjadi, pada tahap pengumpulan data perlu dilakukan secara tatap muka langsung dengan individu atau kelompok yang dipilih sebagai responden atau informan yang dianggap mengetahui atau pahami tentang entitas tertentu seperti: kejadian, orang, proses, atau objek, berdasarkan cara pandang, persepsi, dan sistem keyakinan yang mereka miliki. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh McMillan dan Schumacher (2001:395), bahwa:

Interactive qualitative research is inquary in which researhers collect data face to face situations by interacting with selected persons in their settings (field research). Qualitative research describes and analyzes people’s individual and collective social actions, beliefs, thoughts, and perceptions. The researcher interprets phenomena in term of meanings people bring to them”.

3.3 Metode Penelitian Etnografi

(6)

Mad (1973:246) mengatakan :

“Anthropology as a science is entirely dependent upon field work records made by individuals within living societies”

(Antropologi sebagai sebuah ilmu pengetahuan secara keseluruhan tergantung pada laporan-laporan kajian lapangan yang dilakukan oleh individu-individu dalam masyarakat-masyarakat yang nyata hidup)

Geertz (1973) mengemukakan lebih lanjut :

If you want to understand what a science is, you should look in the first instance not at its theories or its findings, and certainly not at what is apologist say about it; you should look at what the practioners of it do….Inanthropology; or anyway social anthropology, what the practioners do is ethnograpy”

(Jika anda ingin mengerti satu ilmu pengetahuan, pertama-tama anda seharusnya tidak melihat pada teori-teori atau penemuan-penemuannya, dan tentu saja tidak pada apa yang dikatakan oleh anthroplogisnya tentang ilmu pengetahuan tersebut. Anda seharusnya melihat pada apa yang dilakukan oleh para praktisi… Dalam antropologi, atau khususnya antropologi sosial, apa yang dilakukan para praktisi adalah etnografi)

Winnick (1915:193) mendefinisikan etnogarafi sebagai the study of individual cultures, it is primarily adescriptvie and non interpretative study. Adam E. Hoebal (1966:8) etnografi adalah to erite about peoples as we use the term if refers to descriptive study of human society, menulis tentang masyarakat. Penulisannya mengacu pada penulisan deskriptif. Keesing (1989:250) mendefinisikan etnogarafi sebagai pembuatan dokumentasi dan analisis budaya tertentu dengan mengadakan penelitian lapangan.Artinya dalam mendefinisikan suatu kebudayaan seorang etnografer6 (peneliti etnografi) juga menganalisis.

6

(7)

Etnografi7 mengkaji kehidupan dan kebudayaan dalam masyarakat dan suku bangsa atau etnik yang mencakup adat-istiadat, seni, hukum, agama, bahasa dan kebiasaan.Kajian yang relevan dengan etnografi adalah etnologi8 .Istilah etnografi merupakan istilah antropologi yang merupakan embrio antropologi tahapan pertama yang lahir pad a tahun 1800 an. Etnografi merupakan hasil pencatatan penjelajah dari Eropa ketika mencari rempah-rempah ke Indonesia. Hal ini dikemukakan Koentjaraningrat (1990:1)

“Mereka mencatat semua fenomena menarik yang dijumpainya selama perjalanan, yakni mengenai adat – istiadat, susunan masyarakat, bahasa dan ciri-ciri fisik dari suku-suku bangsa tersebut

Subjek kajian dalam penelitian ini adalah etnis Melayu yang memiliki lingkungan tradisi sendiri dari hal yang paling sederhana sampai dalam cara hidup bermasyarakat, adat-istiadat, dan pola pikir. Dalam pandangan masyarakat umum cara hidup adalah bagaimana prilaku manusia sebagai mahluk hidup, individu dan sosial dalam mempertahankan eksistensi kehidupan di lingkungannya.

Cara hidup menjadi tolak ukur dalam pengembangan tradisi dari masa nenek moyang sampai generasi sekarang. Dalam hal ini tradisi diumpamakan sebagai komunitas lokal yang membangun kehidupan. Lokalitas menjadi penentu kebhinekaan antar suatu tradisi dengan tradisi lainnya dimana tradisi itu akan

7

Etnografi merupakan kegiatan peneliti untuk memahami cara orang-orang berinteraksi dan bekerjasama melalui fenomena yang diamati dari kehidupan sehari-hari yang dianalogikan sebagai lukisan sistematis dan analisis dari kebudayaan suatu kelompok, masyarakat atau suku bangsa yang dihimpun dari lapangan dalam kurun waktu yang sama.Masyarakat tradisi adalah objek kajian etografi yang hidup sejak zaman dahulu sampai saat ini yang bergerak sesuai dengan perkembangan zamannya.

8

(8)

berkembang karena adanya pengaruh global dari perkembangan informasi dan teknologi. Masyarakat tradisi9 hidup dalam kesadaran warna lokal (lokalitas).

Peneliti dalam penelitian ini harus dapat menangkap sudut pandang (emic view)dari penutur asli (native view) masyarakat tradisi sebagaimana yang peneliti temukan pada tradisi lisan cenggok-cenggok pada masyarakat Melayu Labuhanbatu, Labuhan Bilik merupakan lokasi masyarakat etnografi Melayu Labuhanbatu yang terdapat di desa Telaga Suka dan Sungai Merdeka. Peneliti berada ditengah masyarakat penutur beberapa waktu, untuk memperoleh sudut pandang daan kebudayaan mereka. Dalam metode etnografi analisis berlangsung saat dilapangan.

3.4. Prosedur Penelitian

Spradley dalam Sugiyono (2010: 254) mengemukakan prosedur penelitian yang memiliki 12 tahapan: 1. memilih situasi sosial (tempat, aktor, aktifitas), 2. melaksanakan observasi partisipan, 3. mencatat hasil observasi dan wawancara, 4. melakukan observasi deskriptif, 5. melakukan analisis domain, 6. melakukan observasi terfokus, 7. melaksanakan analisis taksonomi, 8. melakukan observasi terseleksi, 9. melakukan analisis komponensial, 10. melakukan analisis tema, 11. temuan budaya, 12. menulis laporan penelitian kualitatif.

Tahapan dari langkah-langkah penelitian Spradley yang sudah dimodifikasi dapat dilihat dari gambar 3.1 berikut.

9

(9)

Gambar 3.1 Prosedur penelitian kualitatif Spradley (dalam Sugiyono, 2011:254) Dalam penelitian ini, situasi sosial yang dimaksud adalah tradisi cenggok-cenggok yang dipentaskan pada hajatan perkawinan di desa Telaga Suka, Kecamatan Panai Tengah Labuhan Bilik. Para partisipan (actors) yang terlibat di dalamnya adalah para undangan, kerabat, pemilik hajatan, dan pelaku tradisi. Tradisi ini memiliki aktivitas utama pementasan seni tradisi pada ritual adat perkawinan.

•1. memilih situasi sosial (tempat, aktor, aktifitas) •2. melaksanakan observasi partisipan

•3. mencatat hasil observasi dan wawancara •4. melakukan observasi deskriptif

Prosedur Penelitian

•5. melakukan analisis domain •6. melakukan observasi terfokus •7. melaksanakan analisis taksonomi •8. melakukan observasi terseleksi,

•9. melakukan analisis komponensial •10. melakukan analisis tema

•11. temuan budaya

(10)

Gambar 3.2 Prosedur penelitian

3.5 TeknikPengumpulan Data

Penelitian ini termasuk penelitian pustaka dan lapangan. Metode pengumpulan data10 dalam penelitian ini meliputi data pustaka yang dikumpulkan terutama dalam melakukan kajian pustaka, sehingga ditemukan teori yang relevan dalam melakukan penelitian lapangan. Penelitian pustaka dilakukan untuk mendapatkan berbagai informasi yang berhubungan dengan tradisi lisan

10Metode pengumpulan data

merupakan cara kerja yang berkaitan dengan apa yang harus diperbuat dan bagaimana berbuat dalam mencapai tujuan dalam suatu penelitian .Tahap pertama , peneliti melakukan penelitian lapangan (field research) dalam penelitian lapangan, ada beberapa langkah yang harus dilakukan oleh peneliti , sehubungan dengan hal tersebut maka teknik yang digunakan dalam pengumpulan data terdiri atas : 1) observasi partisipasi (participant observation), 2) wawancara mendalam (depth interview), 3) studi dokumen dan pustaka.

(11)

cenggok. Teknik yang digunakan dalam penelitian pustaka ini adalah teknik baca, catat.

Data-data yang didapat dari lapangan selanjutnya dikumpulkan dengan melakukan pengamatan, observasi, wawancara, perekaman audio, dan pengambilan gambar dalam bentuk film untuk mendapatkan berbagai bentuk performansi tradisi lisan cenggok-cenggok di lapangan. Selain itu, keterlibatan langsung peneliti ke dalam konteks performansi , dan dalam kehidupan masyarakat desa Telaga Suka dan Sei Merdeka kecamatan Panai Tengah Labuhan Bilik juga diperlukan. Untuk melakukan penelitian ini diperlukan pendekatan etnografi guna mendekati konteks pementasan tradisi tersebut dalam konteksnya secara natural.

Adanya keterbatasan peneliti dalam proses pengumpulan data di lapangan, maka dibutuhkan beberapa alat antara lain adalah, tape recorder, handy cam, buku, dan kamera digital yang digunakan untuk mendapatkan berbagai aspek kelisanan. Penggunaan alat-alat dapat membantu dalam mengumpulkan data di lapangan, sehingga terkumpul data-data lapangan yang cukup. Pemikiran ini didasarkan pada fenomena yang dihadapi dapat diamati berulang kali dan bahkan dapat diamati oleh peneliti berikutnya. Moleong (2002: 130) mengemukakan penggunaan alat elektronik juga harus diikuti dengan pencatatan secara manual.

(12)

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan dan wawancara yang dilakukan secara holistis sebagaimana yang dikemukakan Danandjaja (1994: 10), teknik pengumpulan data dengan pengamatan dilakukan dengan cara mengamati suatu fenomena secara lebih mendalam.

Dalam penelitian ini langkah-langkah pengumpulan data dilakukan dengan cara, 1. Melakukan perjanjian dengan informan, kapan pementasan tradisi

cenggok-cenggok dilaksanakan.

2. Mendatangi informan untuk melakukan perekaman dalam konteks aslinya; 3. Melakukan perekaman dan pencatatan.

4. Selanjutnya diajukan wawancara mengenai latar belakang kehidupan pelaku tradisi lisan tersebut.

Untuk mendapatkan data sosial masyarakat Panai Tengah Labuhan Bilik dilakukan melalui pengamatan dan wawancara dengan mendatangi informan, untuk mengamati dan mewawancarai tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap mengetahui budaya dan adat istiadat masyarakat tersebut.

3.5.1 Observasi Partisipatoris (participant observation)

(13)

Peneliti tradisi lisan harus mengenal dan mengamati tradisi lisan yang akan ditelitinya secara empiris dengan menggunakan emperia (pancaindera), observasi dengan pancaindera untuk mengamati deskripsi kegiatan, tingkah laku, tindakan, interaksi sosial, dan proses sosial masyarakat setempat (Sibarani 2012:279). Observasi ini dimaksudkan untuk pengumpulan data melalui observasi terhadap objek penelitian melalui pengamatan dengan terlibat secara langsung dan menjadi anggota kelompok yang diteliti.

Namun keterlibatan peneliti hanya sebatas pada kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan fokus kajian atau masalah penelitian (Bungin, 2010:116; Ratna, 2010: 218-219). Berkaitan dengan hal tersebut peneliti berupaya untuk tinggal di lokasi penelitian dan membaur dengan masyarakat tradisi, tujuannya untuk dapat mengikuti rangkaian kegiatan dan melakukan perekaman secara langsung untuk dapat memahami fenomena kehidupan dan aktivitas hidup masyarakat Labuhan Bilik.

(14)

3.5.2 Wawancara Mendalam (depth interview)

Wawancara mendalam dilakukan dengan informan terpilih yang paham terhadap masalah penelitian. Pemilihan informan sesuai dengan konsep Spradley (2007:69) yang menuntut pemahaman seorang informan terhadap budaya yang dibutuhkan peneliti. Informan yang dapat menjelaskan tujuan penelitian dapat menjadi pertimbangan.Informan tersebut antara lain pelaku-pelaku budaya (tokoh adat), dari kalangan pemerintahan, akademisi, dan seniman tradisi itu sendiri dapat dijadikan informan kunci dalam penelitian.

Lebih lanjut Bogdan dan Taylor (Endaswara, 2005: 214) mengemukakan bahwa dengan wawancara mendalam peneliti akan membentuk dua jenis pertanyaan yakni pertanyaan substantif dan pertanyaan teoritik. Pertanyaan substantif berkaitan dengan aktivitas kultural budaya masyarakat Labuhan Bilik dalam kaitannya dengan tradisi lisan cenggok-cenggok dan pertanyaan teoritik menyangkut bentuk, makna, dan fungsi tradisi lisan itu. Wawancara dilakukan dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan. Persyaratan utama seseorang dijadikan informan adalah mengerti tradisi yang dijadikan objek penelitan.Informan dalam penelitian ini mempunyai kisaran umur 30 thn sampai 79 tahun.

3.5.3 Studi Pustaka dan Dokumen

(15)

Studi pustaka antara lain dilakukan pada saat mengikuti sandwich program di perpustakaan Univesitas Leiden Belanda dan perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde/Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies (KITLV) Belanda , selanjutnya studi pustaka juga dilakukan di perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU), perpustakaan daerah Sumatera Utara, perpustakaan kota Medan dan perpustakaan daerah Labuhan Batu.

Peneliti juga melakukan studi dokumen guna mencari data yang berkaitan erat dan relevan bahasannya dengan tradisi lisan cenggok-cenggok.Tambahan sumber data sekunder sangat penting selain data yang didapatkan melalui informan.Studi dokumen merupakan teknik pengumpulan data yang berfungsi menunjang pelaksanaan penelitian. Dalam studi dokumen pengumpulan data dapat berupa bacaan dan teks yang berupa rekaman audio-visual sesuai dengan fokus permasalahan yang digarap (Maryaeni, 2005:73). Ada dua jenis perekaman ; (1) perekaman dalam konteks asli dan (2) perekaman dalam konteks tidak asli, yaitu perekaman yang sengaja dilakukan (Hutomo,, 1991: 77).

3.6 Pendekatan Penelitian dan Kedudukan Peneliti

Penelitian ini menggunakan teori utama tradisi lisan Sibarani (2012: 266) mengemukakan paradigma penelitian tradisi lisan lebih mengutamakan penelitian kualiatif karena tradisi lisan berusaha menggali, menemukan, mengungkapkan, dan menjelaskan ”meaning” (makna) dan “pattern” (pola) tradisi lisan yang diteliti secara

(16)

Makna dan pola merupakan tujuan akhir dari penelitian kualitatif.Melalui penelitian tradisi lisan seorang peneliti harus dapat memahami hakikat dari realitas tradisi lisan sebagai individu secara mendalam dan berbagai faktor yang mempengaruhi tradisi lisan tersebut. Penelitian tradisi cenggok-cenggok dipahami lewat teks pantun dan syair melalui analisis teks sedangkan penafsiran di luar teks dilakukan dengan menghubungkan teks dengan konteks sosial, konteks budaya yang ada dalam masyarakat Melayu Panai Labuhan Batu.

Peneliti melakukan observasi data secara berulang dengan menggunakan metode wawancara yang diinterpretasi dan dianalisis melalui teori tradisi lisan dengan pendekatan etnografi. Hasil analisis teks dan hasil wawancara mendalam dengan informan kunci dan data pendukung. Selanjutnya hasil analisis diinterpretasi dan diperiksa silang oleh promotor peneliti kepada ahli yang kompeten dan relevan bidang ilmunya dengan penelitian ini.

Hal ini dilakukan untuk menguji kebenaran hasil analisis tradisi lisan masyarakat Melayu Panai Labuhanbatu.Tahap akhir dari penelitian ini peneliti menyimpulkan hasil analisis kualitatif tradisi lisan.

3.7 Lokasi Penelitian

(17)

Dalam penentuan lokasi penelitian Moleong (2004:86) mengemukakan cara terbaik dengan mempertimbangkan teori substantif dan menjajaki lapangan untuk mencari kesesuaian dengan kenyataan yang ada di lapangan sementara itu keterbatasan geografi dan praktis perlu juga dijadikan pertimbangan, dalam penentuan lokasi penelitian.

(18)

Gambar 3.3

Peta Kabupaten Labuhanbatu Sumatera Utara

(19)

3.8 Data dan Sumber Data

3.8.1 Data

Data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer adalah syair dan pantun yang disampaikan secara lisan saat tradisi cenggok-cenggok dipentaskan, sedangkan data sekunder berkaitan dengan sosiobudaya masyarakat Melayu Panai di Labuhanbatu. Naskah deskripsi tradisi dan rekaman video kegiatan tradisi di Labuhan Bilik diambil dalam kurun waktu yang berbeda yakni rekaman pada tahun 2013 di desa Labuhan Bilik dan rekaman tahun 2015 di Desa Sei Merdeka dan Desa Telaga Suka.

Syair dan pantun dalam pertunjukan cenggok-cenggok direkam dengan menggunakan dua rekaman, yaitu (1) upacara adat perkawinan pasangan pengantin Dhika Pratiwi Tanjung, Am.Keb dan Julkifli Priansyah , SE., yang merupakan putri dari pasangan Sunarji Tanjung dan Juminah S.Pd, dan putra dari Satria dan Paradiba Juliani yang dilangsungkan pada 17 Oktober 2013 di jalan Sudirman, desa Telaga Suka kel. Labuhan Bilik kecamatan Panai Tengah. (2) Rekaman kedua adalah pada upacara adat perkawinan pasangan pengantin Zubaidah, S.Pd dan Sulaiman, putri dari pasangan Khairuddin dan Robsiah dan putra dari pasangan Hamran dan Masyiah yang dilaksanakan pada tanggal 15 Januari 2015 di desa Sei Merdeka, kelurahan Labuhan Bilik kecamatan Panai Tengah.

(20)

tradisi lisan cenggok-cenggok berupa genre pantun empat kerat, dan pantun dalam bentuk syair yang terdapat dalam syair. Sebagai data pendukung penelitian ini juga menggunakan data pendukung dari hasil wawancara dengan informan, dan juga berupa peralatan artefak budaya Melayu Panai Labuhanbatu yakni tepak dan balai.

Penelitian ini juga menggunakan instrumen penelitian, yaitu pedoman wawancara (interview guide) yang disusun berupa daftar pertanyaan yang disusun secara sistematik dan fokusnya pada wawancara mendalam (depth interview). Alat penunjang wawancara adalah berupa alat perekam, kamera digital dan alat tulis guna pencatatan hal-hal yang penting.

3.8.2 Sumber Data

(21)

dari pasangan Hamran dan Masyiah yang dilaksanakan pada tanggal 15 Januari 2015 di desa Sei Merdeka, kelurahan Labuhan Bilik kecamatan Panai Tengah.

Sumber data yang diperoleh dari hasil rekaman terdiri dari 35 bait pantun dan 10 buah syair yang dilantunkan oleh pelaku tradisi. Data juga berupa peralatan artefak budaya Melayu Panai Labuhanbatu (tepak, balai).

3.9 Penentuan Informan

Peneliti menerapkan metode kualitatif dalam penelitian ini dengan menentukan dan memilih informan sesuai dengan tujuan penelitian (purposive), yakni seorang informan yang dapat mengetahui dan memahami hal-hal yang berkaitan dengan tradisi lisan cenggok-cenggok. Kriteria informan11 dirujuk dari pendapat Spradley (1997). Berdasarkan penuturan para informan, peneliti mengumpulkan data dari subjek12 penelitian. Dengan rujukan-rujukan diatas ditentukan informan yang ada dalam penelitian ini antara lain para pelaku tradisi,

11

Informan menurut Spradley (1997:35) adalah seorang pembicara asli yang bebicara dengan mengulang kata-kata, frasa dan kalimat dalam bahasa atau dialeknya sebagai model imitasi dan sumber informasi. Informan adalah pembicara asli yang harus berbicara dalam bahasa atau dialeknya sendiri .Pengertian informan dapat dikembangkan sebagai pembicara asli (native speaker).Dimana seorang informan dapat menjadi model untuk dicontoh peneliti sebagai sumber informasi.Seorang informan diminta berbicara dalam bahasa atau dialeknya sendiri. Penentuan informan kunci menurut Sudikan (2001:91), didasari oleh beberapa pertimbangan, antara lain : (1) orang yang yang bersangkutan memiliki pengalaman pribadi sesuai dengan permasalahan yang diteliti (pelaku pertunjukan tradisi ); (2) orang yang bersangkutan bersifat netral, tidak memiliki kepentingan pribadi; (3) orang yang bersangkutan memiliki pengetahuan yang luas mengenai permasalahan yang diteliti. 12

(22)

penonton, tokoh masyarakat, tokoh adat, yang ada di desa Labuhan Bilik dengan menetapkan beberapa kriteria sebagai berikut:

a. Fasih berbahasa Melayu dialek Panai

b. Tokoh masyarakat yang memahami budaya dan tradisi masyarakat Melayu Panai khususnya tradisi dan budaya masyarakat desa Labuhan Bilik.

c. Mempunyai kemampuan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan pengalamannya melalui tradisi lisan cenggok-cenggok.

d. Penduduk asli masyarakat desa Labuhan Bilik kecamatan Panai Tengah Labuhanbatu yang memahami tentang masalah sosial budaya masyarakat Melayu khususnya masyarakat desa Labuhan Bilik.

e. Terlibat dalam berbagai performansi tradisi lisan cenggok-cenggok.

3.10 Teknik Analisis Data

Berdasarkan penentuan lokasi penelitian yang telah disebutkan di atas, maka data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah bentuk performansi tradisi lisan cenggok-cenggok yang dikumpulkan dari masyarakat desa Labuhan Bilik kecamatan Panai Tengah Labuhanbatu untuk merepresentasikan tradisi lisan cenggok-cenggok dalam masyarakat Melayu Panai. Secara umum dilakukan analisis data penelitian dengan langkah-langkah berikut.

(23)

2. Selanjutnya, setelah data di transkripsi, peneliti menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

3. Setelah itu, data dalam penelitian ini kemudian diklasifikasikan berdasarkan kebutuhan analisis penelitian.

Proses analisis data dilakukan secara berkelanjutan sejak pengumpulan data awal sampai dengan laporan hasil penelitian selesai ditulis, dengan tujuan untuk memperoleh pengertian komprehensif tentang karakteristik tradisi lisan cenggok-cenggok pada upacara adat perkawinan khususnya bentuk, kearifan lokal dan model revitalisasinya, guna memeperoleh pemahaman secara holistik. Hasil analisis data yang diperoleh didiskusikan dengan informan guna memperoleh kesesuaian dengan konseptualisasi mereka tentang tradisi lisan upacara adat perkawinan Melayu Panai. Selain sebagai bentuk triangulasi data dan sumber data, diskusi berkenaan dengan penerapan pendekatan etnografis dialogis berperspektif emik, yakni penafsiran makna data tradisi dari sudut pandang etnik Melayu Panai sebagai penutur asli.

3.11 Teknik Penyajian Analisis Data

Hasil penelitian ini disajikan dengan menggunakan teknik informal dan formal. Secara informal, hasil penelitian ini disajikan dalam bentuk narasi karena makna teks bersifat verbal dan memiliki struktur naratif dengan mengikuti kaidah penulisan ilmiah. Secara formal, hasil penelitian ini disajikan melalui gambar, foto, peta dan lain sebagainya. Penyajian hasil analisis data dituangkan ke dalam beberapa bab.

(24)
(25)

BAB IV

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN DI KABUPATEN LABUHANBATU

4.1 Kondisi Geografis Labuhanbatu

Secara astronomis posisi Kabupaten Labuhanbatu terletak pada 1041‟ –2050‟

Lintang Utara dan 990 33‟ – 1000 22‟ Bujur Timur. Lokasinya sangat strategis, yaitu berada pada jalur lintas timur Sumatra dan berada pada persimpangan menuju Provinsi Sumatra Barat dan Riau, yang menghubungkan pusat-pusat perkembangan wilayah di Sumatra dan Jawa serta mempunyai akses yang memadai keluar negeri karena berbatasan langsung dengan Selat Malaka. Selain itu, kawasan Kabupaten Labuhanbatu terdiri dari kawasan perkotaan, kawasan pedesaan, kawasan pesisir/ pantai dan kawasan perbatasan/pedalaman.

4.2 Asal Nama Labuhanbatu

(26)

menjadi nama wilayah Kabupaten Labuhanbatu.

4.2.1 Lambang, Makna dan Semboyan Kabupaten Labuhanbatu

Terdapat beberapa lambang dalam logo kabupaten Labuhanbatu yaitu: lambang perisai bersegi lima bermakna tetap menjiwai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, tepak sirih menunjukkan daerah kabupaten Labuhanbatu memiliki kebudayaan dan adat istiadat yang tinggi dan pohon karet, ikan terubuk, dan buah kelapa menggambarkan penghasilan utama daerah kabupaten Labuhanbatu dan kebanggaan daerah kabupaten Labuhanbatu dengan ikan terubuknya. Tujuh belas butir padi mengingatkan tanggal 17, delapan bunga kapas menunjukkan bulan 8, dan empat puluh lima rantai persatuan menunjukkan tahun 1945, yaitu hari proklamasi kemerdekaan republik Indonesia. Satu bintang bersinar lima, menunjukkan bahwa daerah kabupaten Labuhanbatu tetap berpegang pada kebijaksanaan musyawarah, pada undang-undang dasar 1945 yang berlandaskan Pancasila. Bambu runcing, menunjukkan bahwa daerah kabupaten Labuhanbatu merupakan daerah yang tidak pernah ketinggalan dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia.

(27)

masyarakat Labuhanbatu.

4.2.2 Wilayah Administratif

Luas, Batas dan Wilayah Administrasi kabupaten Labuhanbatu adalah 256.138 HA atau 2.561,38 KM² dengan batas-batas :

Utara : Kabupaten Labuhanbatu Utara dan Selat Malaka Timur : Provinsi Riau

Selatan : Kabupaten Labuhanbatu Selatan & Kabupaten Padang Lawas Utara Barat : Kabupaten Labuhanbatu Utara

Tabel 4.1 Luas Wilayah Per Kecamatan

Sumber : http://bappeda.labuhanbatukab.go.id

No No Kecamatan Luas

(HA) (%) 1 Bilah Hulu 29.323 11,45 2 Pangkatan 35.547 13,88 3 Bilah Barat 20.298 7,92 4 Bilah Hilir 40.083 16,82 5 Panai Hulu 27.691 10,79 6 Panai Tengah 48.374 18,89

7 Panai Hilir 34.203 13,35 8 Rantau Selatan 6,432 2,54

(28)

4.3 Sekilas tentang Etnis Melayu Panai

Penduduk asli di Labuhan Batu adalah etnis Melayu, etnik1 Melayu di Labuhanbatu sebagian mendiami daerah pesisir pantai yakni sebagian besar di daerah Labuhan Bilik yang merupakan salah satu kecamatan di Labuhanbatu. Labuhan Bilik merupakan tanah Melayu yang dibuktikan secara historis dengan adanya kerajaan Bilah dan Panai yang merupakan kerajaan Melayu di Labuhan batu. Sebagai salah satu kabupaten di Sumatera Utara, Kabupaten Labuhanbatu merupakan kabupaten yang didiami oleh berbagai etnis, yakni Melayu, Mandailing, Jawa, Batak Toba, Padang, Karo, Dairi, Nias , Aceh, Tionghoa, dan lain-lain. Corak heterogenitas ini melahirkan budaya yang juga berwarna.

Masyarakat Melayu menjalani kehidupan yang tidak terlepas dari struktur masyarakat yang berkaitan dengan adat kebiasaan yang sudah berjalan secara turun temurun. Struktur kehidupan masyarakat Melayu pada umumnya, dibagi

1

(29)

dalam dua golongan yakni golongan bangsawan dan golongan rakyat biasa. Pembagian dua golongan bangsawan dengan golongan rakyat telah dimulai sejak adanya kerajaan Panai dan Bilah.

Untuk melihat status seseorang yang berasal dari golongan bangsawan atau dari rakyat biasa dapat dilihat dari gelar yang dipakai di depan namanya. Masing-masing urutan gelar diberikan berdasarkan martabat dan kedudukannya dalam masyarakat seperti Tengku, Raja, Wan, Datuk, Orang Kaya (OK), Encek/Tuan. Yang berhak memakai Gelar Tengku adalah turunan Sultan dan kerabatnya, dan turunan yang kakek-neneknya dulunya mempunyai daerah otonomi sendiri, gelar tersebut biasa dipanggil dengan sebutan „tuanku‟. Pengertian Tengku dapat diartikan dengan berbagai arti seperti „pemimpin‟ atau „guru‟, baik dalam akhlak, agama serta adat. Dalam konteks kebangsawanan, gelar Tengku diwariskan berdasarkan hubungan darah atau keturunan walupun ibunya bukan seorang Tengku.

(30)

wilayah pemerintahan hukum yang luas ataupun hanya mengepalai sebuah kampung kecil saja, yang sebenarnya hanya kepala atau ketua saja.

Menurut keterangan Sultan Deli, Tengku Amaluddin II yang termaktub dalam suratnya yang ditujukan kepada Gubernur Sumatera Timur tahun 1933, bahwa kalau seorang perempuan dengan gelar Tengku menikah dengan seorang bergelar Raden dari tanah Jawa atau seorang yang bergelar Sutan dari Pagaruyung Sumatera Barat, maka gelar Raja berhak dipakai bagi keturunan atau anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut.

(31)

4.4 Sejarah Singkat Kerajaan Bilah dan Panai

4.4.1 Sejarah Kerajaan Bilah

Almarhum Raja Azman Syarif bin Raja Ongah Syarif merupakan Tambo Kerajaan Bilah ke 10 sebagai sosok yang paling banyak memberikan kontribusi terbesar dalam penyusunan kembali Sejarah Kerajaan Bilah. Hampir sepanjang hayatnya hidup dalam pergolakan di daerah Bilah, terjadi pertentangan dengan pihak penguasa (Kerajaan Bilah) yang sama-sama berasal dari satu jalur keturunan.

Raja Ongah Syarif banyak mengetahui sejarah karena kedukannya pada masa dahulu sebagai Pokrol atau Pengacara sehingga mempunyai catatan lengkap dan daya ingat yang cukup kuat. Ia lahir pada tahun 1897 di Labuhanbilik, dan wafat pada tanggal 25 Oktober 1988 (91 tahun) di Negerilama.

(32)

Di masa Sutan Tahir Indera Alam menjadi Raja Kerajaan Bilah yang pertama (sekitar tahun 1623), dengan wilayah kekuasaan meliputi daerah Raja-raja kecil, yaitu: Kerajaan Rantau Prapat, Siringo-ringo, Sihare-hare (Sigambal), Gunung Maria, Bandar Kumbol, Sibargot, Tanjung Medan (hulu sungai Bilah),Kuala Pinarik, Merbau, dan lain-lain.

Walaupun menjadi raja, tetapi Sutan Tahir Indera Alam tidak mempunyai wilayah kekuasaan yang luas, sebagaimana seharusnya seorang raja yang berkuasa. Wilayahnya hanya terbatas di daerah Kumbol yang juga sebagiannya dikuasai oleh Raja kecil Bandar Kumbol. Sutan Tahir Indera Alam adalah Raja yang dirajakan oleh para raja-raja kecil di daerah itu yang wajib membayar upeti setiap tahun.

Walaupun Sutan Tahir mempunyai wilayah kekuasaan, tetapi hak tanah diusahai oleh masing-masing raja-raja kecil daerah itu, sementara dia hanya merupakan Raja Yang Dipertuan. Sebagai bukti daerah ini di bawah naungannya, ketika Belanda memasuki daerah ini pada tahun 1865, maupun kedatangan Maskapai Asing untuk mengambil tanah konsesi dari pihak kerajaan, terjadilah tuntutan dari raja-raja kecil tersebut untuk meminta bagian dari hasil tanah.

(33)

pada saat ditemui, wafat pada tanggal 17 Mei 1983 di Kampung Janji, Rantau Prapat) mengatakan bahwa perselisihan kedua kerajaan ini tidak melibatkan orang lain (rakyat) melainkan hanya perselisihan mereka berdua saja karena Raja Belimbing tidak ingin diperintah di wilayahnya sendiri. Jika saja perselisihan ini melibatkan rakyat, sudah tentu akan terjadi pertumpahan darah, namun hal ini tidak pernah terjadi.

Pihak Kerajaan Gunung Maria mengatakan Sutan Tahir Indera Alam memiliki kesaktian yang luar biasa pada masa itu, sebagai contoh ia dapat terbunuh hari ini, akan hidup lagi esok harinya bahkan pernah terjadi tubuhnya terpotong-potong bercerai berai, tetapi dia tetap hidup dan tubuhnya utuh kembali.

Raja Belimbing juga memiliki kesaktian yang tak kalah hebatnya. Akhirnya persoalan diantara mereka berdua semakin berlarut-larut. Mereka akhirnya selalu adu kekuatan, namun tak seorangpun yang kalah. Cerita adu kekuatan ini sudah menjadi legenda di daerah hulu sungai bilah, walaupun mungkin pada masa sekarang sudah tidak banyak yang mengetahui.

(34)

Kepada Sutan Yunus, Sutan Tahir juga meninggalkan amanat yaitu apabila dia telah tiada maka anaknya yang bernama Maharaja Nulong tersebut harus diangkat menjadi penerus Kerajaan Bilah, yaitu menjadi raja Bilah. Adanya amanat ini pun juga diakui oleh pihak Kerajaan Gunung Maria. Menurut mereka, hal ini dilakukan Sutan Tahir karena dia merasa takut anaknya akan dibunuh juga.

Kembali ke kisah pertarungan Sutan Tahir dan Raja Belimbing yang tak kunjung selesai, akhirnya Raja Belimbing mendapatkan sebuah ide yaitu dengan cara mendekati salah satu istri Sutan Tahir untuk mencari informasi tentang kelemahan Sutan Tahir. Raja Belimbing akhirnya mengetahui titik kelemahan kekuatan Sutan Tahir.

Pada esok harinya kembali terjadi pertarungan, Sutan Tahir akhirnya bisa dikalahkan dan ditangkap. Sesuai petunjuk yang diperoleh, tubuh Sutan Tahir dipotong menjadua bagian. Kemudian Raja Belimbing memotong akar kayu yang tumbuh di tepi sungai, yang ujungnya sampai keseberang.

Demikianlah kisah wafatnya Sutan Tahir Indera Alam yang terjadi sekitar tahun 1650 akibat penghianatan salah seorang istrinya.

(35)

Demikianlah riwayat Sutan Tahir, raja Kerajaan bilah yang pertama, yang berhasil dikumpulkan. Wafatnya Sutan Tahir tidak mempengaruhi hubungan baik antara Kerajaan Bilah dan Gunung Maria.

Tiga tahun kemudian, setelah kepergian Sutan Tahir, wafat pulalah Sutan Yunus, raja Gunung Suasa. Maharaja Nulong, walaupun masih dalam keadaan remaja, terpaksa naik menjadi raja Kerajaan Bilah yang kedua, sekaligus pemegang kekuasaan Kerajaan Gunung Suasa. Perlu diketahui, Sutan Yunus tidak mempunyai keturunan, oleh sebab itulah maka Maharaja Nulong menjadi pewarisnya.

Gambar 4.1 Istana Sultan Bilah

(Sumber: dok : http// sejarah-labuhanbatu.blogspot.com)

4.4.2 Sejarah Kerajaan Panai

(36)

Pada masa kolonial, daerah Panai / Labuhan Bilik merupakan pelabuhan ketiga terbesar setelah pelabuhan Belawan dan Tanjung Balai. Begitu pesatnya, akhirnya terdapat perwakilan dagang asing di daerah ini seperti : Guntzel Schumacher ( Jerman ), Herrison ( Inggris ), Vanni dan Deli Aceh ( Belanda ). Selain itu terdapat juga sarana angkutan antar pulau / pelayaran asing seperti kapal “SS Ayutia” milik

Jerman, K.P.M ( Belanda ).

Kapal pelayaran ini bergerak menuju Singapura, Malaysia, bahkan menuju Eropa. Saat pecah perang dunia pertama (1914-1918), kapal “SS Ayutia” berlabuh selama 4 tahun di Labuhan Bilik. Labuhanbilik atau Panai didirikan oleh Sutan Kaharuddin ( Marhum Kaharuddin ), Raja Kerajaan Panai ke 4, disekitar tahun 1815. Sebelumnya pusat kerajaan masih berada di hulu sungai. Sementara itu, Kerajaan Panai dibentuk oleh Raja Murai Perkasa Alam.

Asal nama Panai hingga saat ini belum ada yang pasti. Ada yang mengatakan nama Panai berasal dari bahasa Minangkabau (Paneh) yang artinya Panas. Hal ini ada juga benarnya mengingat daerah Panai merupakan daerah yang agak panas udaranya. Juga adanya petunjuk dari barang-barang peti kemas yang dibawa oleh kapal pengangkutan yang menujukan ke Paneh Labuhan Bilik.

(37)

Inggris. Prasasti ini merupakan peninggalan Raja Rayendra Cola I, Kerajaan Tanjore (India Selatan), yang mana pernah melakukan penyerangan ke beberapa wilayah, termasuk wilayah Pulau Sumatera. Daerah yang menjadi tempat penyerangan di Pulau Sumatera antara lain Kerajaan Lamuri (Aceh), Pannai (Sumatera Timur), dan Sriwijaya (Sumatera Selatan).

Salah satu isi atau nukilan dari prasasti tersebut adalah : "Pannai with water in its bathing ghats".

Pannai yang dimaksud disini terletak di daerah sungai Barumun (Panai), wilayah Sumatera Timur. Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya berupa patung-patung tembaga di Padang Lawas oleh Prof. Schnitger, sarjana Belanda, pada tahun 1936. Salah satu diantaranya yaitu Candi Bahal I, merupakan bukti peninggalan raja Rayendra Cola I yang pernah memasuki wilayah Sumatera Timur (Panai).

Namun, ada yang sangat berbeda dari isi prasasti tersebut (yang menyebut nama Pannai). Isi prasati yang menyebut nama Pannai terlalu sangat sederhana, sangat berbeda dengan isi prasasti yang menyebutkan nama daerah lain yang menunjukkan kedahsyatan penyerangan (pertempuran) yang dilakukan oleh Raja Rayendra Cola I. Sebagai contoh yaitu :

(38)

Dari nukilan prasasti tersebut dapat diketahui betapa dahsyatnya penyerangan yang dilakukan oleh Raja Rayendra Cola I hingga akhirnya Raja Kadaram (Sang Rama Wijayatunggawarman) dapat ditawan. Hal ini sangat berbeda dengan nama Pannai, sepertinya tidak terjadi pertempuran.

Dapat ditarik kesimpulan yaitu, masuknya Raja Rayendra Cola I ke wilayah Pannai sepuluh abad yang lalu, mereka hanya menemukan daerah itu (Padang Lawas) masih sedikit penghuninya, belum ada kesatuan hukum, ataupun belum ada ikatan kelompok yang dapat dikatakan sebagai sebuah Kerajaan.

Dari keterangan diatas, adanya nama Panai tentu setidaknya melibatkan nama sungai Panai (Barumun) ataupun sungai Batang Pane, anak cabang sungai Barumun. Diduga, nama sungai-sungai ini telah ada sebelum datangnya Raja Rayendra Cola I, kemudian dengan nama sungai inilah mereka gunakan untuk dituliskan dalam prasati. Raja Murai Perkasa Alam juga ada kemungkinan menamakan daerah kerajaannya (Kerajaan Panai) bersumber dari nama sungai.

4.5 Sistem Religi

(39)

tahun 1292 di Sumatera telah berdiri kerajaan Islam yang bernama Perlak (Hill 1963:8). Dalam abad-abad ini Islam menyebar ke daerah lainnya. Pada awal abad kelima belas, kerajaan Aru di Peseisir Timur Sumatera Utara merupakan suatu kerajaan yang rakyatnya sebagian besar beragama Islam (Coedes 1968:235), sehingga Islam berpengaruh kuat selama abad ini. Bandar Melaka menjadi pusat perdagangan maritim, sekaligus menjadi pusat persebaran agama Islam ke seluruh kepulauan di Nusantara ini. Melaka merupakan kota yang letaknya strategis dan tidak memiliki saingan sehingga ia begitu maju (Sheppard 1972:14). Penguasa Melaka menganut Islam pada awal dasawarsa abad ke lima belas, sejak abad ini Melaka menjadi pusat dan persebaran Islam ke seluruh Asia Tenggara (Hill 1968:213-214).

Pulau Sumatera adalah pulau yang diperkirakan pertama menerima kedatangan agama Islam di Indonesia. Dalam kaitan kedatangan Islam ini, ada dua pendapat ahli sejarah Islam tentang masuknya Islam di pulau Sumatera , yaitu: 1. Daerah Aceh ( Pasai ) Agama Islam telah masuk sekitar tahun 1200 Masehi, di masa kerajaan Samudera Pasai.

2. Daerah Barus, Pesisir tapanuli Tengah, Agama Islam telah masuk kedaerah tersebut lebih kurang sekitar tahun 900 atau 1050 Masehi. (Hill 1968:214).

(40)

hakikat, yaitu suatu ajaran untuk mengetahui adanya kebenaran utama dan mengenai Allah. Agama Islam ini masuk secara berangsur-angsur yang dibawa oleh saudagar-sauadagar yang datang langsung dari Arab atau melalui Hindia Muka atau Gujarat pada mulanya.

Agama Islam ini memiliki pengaruh yang sangat besar sekali khususnya pada suku Melayu. Dari situlah timbul perubahan secara besar-besaran dalam sosial masyarakat Melayu. Adat budayanya juga banyak disesuaikan dengan kaedah-kaedah Islam. Hampir seluruh ajaran Islam itu diambil alih dan diterapkan dalam pertumbuhan sosial ekonomi dan budayanya. Maka berkaitan dengan hal ini, timbullah suatu pepatah Melayu: “ Masuk Melayu berarti masuk Islam.”

Pepatah ini sampai saat ini masih di gunakan di Alam Melayu ini.

Seperti apa yang telah dikemukakan di atas, bahwa pertumbuhan adat dan budaya Melayu di daerah ini adalah disesuaikan dengan kaedah-kaedah agama Islam tersebut, sehingga timbullah suatu falsafah: “Adat bersendikan agama,

agama bersendikan syara‟, dan syara‟ bersendikan Kitabullah yaitu Al-Qur‟an dan Hadits Rasulullah Muhammad SAW.

(41)

Selain konsep di atas terdapat juga konsep kebudayaan dalam Islam, bahwa kebudayaan wajib berdasar kepada ajaran-ajaran agama Islam. Agama Islam agama wahyu yang diturunkan Allah kepada umat manusia melalui perantara Malaikat Jibril dan tugas kerasulan yang diemban Nabi Muhammad. Islam sebagai wahyu adalah bukan bagian dari kebudayaan tetapi sebagai pendorong terbitnya kebudayaan yang diridhai Allah. Kebudayaan sebagai hasil umat manusia, dalam rangka pemenuhan keperluan hidupnya, wajib berdasar kepada ajaran-ajaran Islam.

(42)

4.6 Penduduk, Bahasa, dan Sistem Kekerabatan

Berdasarkan catatan John Anderson dalam perjalananya ke Sumatera Timur pada tahun 1823 menyebutkan jumlah penduduk untuk kerajaan Panai berkisar 1000 orang1. Bahasa yang digunakan penduduk asli Melayu Labuhan Batu adalah bahasa Melayu dengan dialek Panai.

Setiap keluarga inti berdiam di rumah sendiri, kecuali pasangan baru menikah yang biasanya lebih suka menumpang di rumah pihak isteri sampai mereka punya anak pertama. Karena itu pola menetap mereka boleh dikatakan neolokal. Keluarga inti yang mereka sebut kelamin umumnya mendirikan rumah di lingkungan tempat tinggal pihak isteri. Prinsip garis keturunan atau kekerabatan lebih cenderung parental atau bilateral.

(43)

sebagainya. Tetapi terkadang bila menyapa orang yang tidak dikenal atau yang baru mereka kenal, mereka cukup memanggil dengan sapaan abang, akak, dek, atau nak. Pada masa dulu orang Melayu juga hidup mengelompok menurut asal keturunan yang mereka sebut suku. Kelompok keturunan ini memakai garis hubungan kekerabatan yang patrilineal sifatnya. Tetapi orang Melayu tinggal di daratan Sumatera sebagian menganut faham suku yang matrilineal. Ada pula yang menyebut suku dengan hinduk atau cikal bakal. Setiap suku dipimpin oleh seorang penghulu. Kalau suku itu berdiam di sebuah kampung maka penghulu langsung pula menjadi Datuk Penghulu Kampung atau Kepala Kampung. Setiap penghulu dibantu pula oleh beberapa tokoh seperti batin, jenang, tua-tua dan monti. Di bidang keagamaan dikenal pemimpin seperti imam dan khotib.

Masyarakat Labuhan Batu mempunyai tradisi yang menggambarkan lingkungan kehidupannya yang tertuang dalam tradisi lisan. Tradisi ini mengambarkan kearifan-kearifan lokal masyarakat dalam berinteraksi dengan lingkungannya yang dituangkan dalam bait-bait yang terintegrasi dengan seluruh aspek kehidupan.

(44)

pertunjukan dalam berbagai upacara adat sudah mulai jarang disajikan secara utuh. Tengku Admansyah mengemukakan keberadaan etnik Melayu di daerah Sumatera Timur ini tidak terlepas kaitannya dengan perpindahan penduduk tempo dulu ke wilayah Indonesia pada umumnya dan ke wilayah Sumatera khususnya, ada beberapa pendapat mengenai asal usul suku Melayu. Melayu berasal dari kerajaan Haru yang rakyatnya telah memeluk agama Islam, seperti yang dikemukakan Tengku Admansyah bahwa Melayu ini berasal dari Malaysia (Malaya) yang menyatakan dirinya menjadi suku pesisir Sumatera Timur, yang datang sebagian dalam masa kejatuhan kerajaan Malaka tahun 1511, ini disebabkan karena kekejaman serdadu Portugis merampok, membunuh secara membabi buta, sehingga sebagian besar rakyat Malaka yang menyingkir keluar dari Malaka. Sebagian diantaranya ada yang sampai dari Sumatera Timur, lalu menetap didaerah ini dan menyatakan sebagai suku Melayu pesisir Sumatera Timur.

(45)

daerah seperti morfologi muka bumi, letak, bentuk dan keadaan tanah menimbulkan suatu kebudayaan yang becorak tersendiri pada suatu masyarakat dan masyarakat yang demikian disebut masyarakat Melieau.

Sinar (1990: 2), mengatakan secara teoritis orang Melayu bisa saja berasal dari setiap suku bangsa, asalkan ia menganut agama Islam, berbahasa Melayu dan hidup dengan adat istiadat Melayu dalam kehidupan sehari-hari dan juga memenuhi syarat-syarat setempat. Dasar adatnya ialah adat parental yaitu sistem kekerabatan yang berdasarkan pada garis keturunan ayah maupun ibu. Dasar adat ini selaras dengan ajaran agama Islam yaitu hak kaum wanita ada didalamnya. Pada umumnya kehidupan adat istiadat dan kebudayaan masyarakat Melayu berdasarkan atas ajaran agama Islam.

Admansyah (1991: 11) mengatakan bahwa adat dan kebudayaan Melayu pada dasarnya adalah sama, kalaupun terdapat beberapa perbedaan itu hanya sekedar variasi-variasi akibat pengaruh alam dan lingkungan daerah setempat, namun pokok dasarnya sama. Agar arah budaya Melayu sesuai dengan ajaran-ajaran agama Islam dalam perkembangannya selanjutnya atas adat dan budya maka lahirlah konsep adat : adat bersendikan agama, agama bersendikan syara‟ dan

syara‟ bersendikan Kitabullah yaitu Al-Qur‟an dan hadits Rasulullah. Konsep adat tersebut bermakna bahwa adat itu hanya bersifat mengisi atau melengkapi secara tertentu saja bagian-bagian yang tidak ada rinciannya dalam hukum agama.

(46)

adat itu terbagi empat bagian yaitu:

1. Adat sebenar adat

Ini merupakan pokok adat, tidak boleh dirubah atau dihapuskan sebab di dalamnya terkandung suatu sistem sosial yang menyangkut kepada keseluruhan hajat hidup manusia yang berhubungan dengan kemasyarakatan, berhubungan tata hidup berbangsa dan bernegara karena apabila adat ini ditinggallkan atau dirobah maka hilanglah batas yang kuat untuk memisahkan pegertian manusia dengan hewan. Yang termaksud kedalam bagian adat ini seperti, yang lemah dilindunginya, yang kecil disayangi, yang susah ditolong, yang bodoh diajari, dan lain-lain.

2. Adat yang teradat

Suatu kebiasaan yang berbeda karena ada pertumbuhan variasinya dalam suatu daerah disebabkan pengaruh alam dan lingkungan atau dari etnik lain karena adanya pembauran yang berbeda dalam suatu daerah seperti cara mengayunkan anak, acara penabalan, acara memberi gelar dan sebagainya.

3. Adat yang diadatkan

(47)

4. Adat-istiadat

Yang termaksud kedalam bagian ini sangat banyak termasuk adat perkawinan, adat keluarga, adat mendirikan rumah, adat bertani/bersawah, adat memberi gelar, dan lain sebagainya.

(48)

BAB V

PERFORMANSI TRADISI LISAN CENGGOK - CENGGOK PADA

MASYARAKAT MELAYU PANAI

5.1 Hakikat Tradisi Lisan Cenggok-cenggok dalam Masyarakat Melayu Panai

Secara hakiki, beberapa pandangan mengenai tradisi masyarakat Panai perlu dijelaskan dalam bab ini. Penjelasan-penjelasan ini digali dan diperoleh dari hasil wawancara dengan masyarakat pendukung tradisi ini. Mengutip hasil wawancara dengan Lokot alias Syamsul Bahri (48 thn) seniman kesenian bordah, “tradisi cenggok-cenggok” adalah tradisi masyarakat Labuhan Bilik di kabupaten Labuhanbatu yang dilaksanakan untuk acara penyambutan tamu, hajatan pernikahan, sunat rasul, mengayun anak, akikah, dan khataman Al‟Qur‟an”. Sementara itu, menurut datuk Filyansyah atau Buyung tradisi ini merupakan sebuah bentuk kesenian yang bermula di lingkungan kerajaan Bilah disajikan oleh kerajaan sebagai hiburan untuk menyambut tamu yang datang pada masa itu mengunjungi kerajaan Bilah yang dipimpin Sutan Takdir Indera Alam sebagai raja pertamanya berdiri sekitar tahun 1623.

Hasbullah seorang informan lain lebih lanjut menjelaskan tradisi lisan ini biasanya disajikan pada acara pernikahan pementasan dilakukan pada malam hari pada saat malam berinai1. Cenggok-cenggok juga dapat dilakukan pada siang

1

(49)

hari untuk acara penyambutan tamu di tempat berlangsungnya acara. Selain itu, masyarakat menggelar tradisi lisan cenggok-cenggok pada pesta khitanan (sunat rasul), akikah, mengayun anak, di Labuhan Bilik. Malam sebelum digelarnya pesta besar, biasanya pemilik hajatan mengundang warga sekampung untuk melakukan kenduri untuk menyampaikan doa-doa dan pujian kepada nabi besar Muhammad SAW dengan menjamu warga se kampung khususnya kaum pria dan orang-orang tua untuk bersantap malam di rumah pemilik hajatan. Setelah makan malam digelar di rumah atau pekarangan , para tetua adat, pemuka agama atau ustadz membacakan doa dan Al Barzanji serta wiritan. Selepas itu, pemilik hajatan biasanya mengundang hiburan yakni seni tarian cenggok-cenggok diselingi musik bordah berupa syair, berbalas pantun, dan pencak silat. Tujuan hiburan ini untuk menghibur sang pengantin dan berjaga-jaga di rumah pengantin sampai pagi menjelang digelarnya pesta besar.

(50)

upacara peralihan, upacara peralihan seperti kelahiran, kehidupan dan kematian dan juga berkaitan dengan kualitas manusia contohnya dari kegagalan menuju sukses, bertambahnya usia, kenaikan pangkat, dari sakit menjadi sehat.

Masyarakat Labuhan Batu sampai saat ini kerap menyelenggarakan acara penabalan bayi yang baru lahir, gunting rambut atau akikah, acara perkawinan, selamatan atas kesuksesan seseorang yang khatam Qur‟an kesemuanya ditandai

dengan menyelenggarakan tradisi lisan cenggok-cenggok sebagai bentuk perayaan dalam konteks upacara seni pertunjukan dengan melakonkan tema-tema yang menjadi fenomena dalam masyarakat ini.

Performansi tradisi ini dilakukan oleh dua belas orang pemain yakni penabuh gendang, pemain pencak silat, pemantun, pemain biola, pemain bangsi (seruling) dan 6 enam orang penari laki-laki. Pementasan dimulai dengan kata sambutan dari ketua sanggar himpunan kesenian dilanjutkan dengan syair lagu Melayu.

(51)

5.2 Sejarah Pementasan Tradisi Lisan cenggok-cenggok

Tradisi cenggok-cenggok merupakan tradisi yang berkaitan dengan siklus kehidupan atau upacara peralihan yang didalamnya terdapat ritual keagamaan, nyanyian, pantun dan tarian. Dalam pertunjukkannya tradisi ini penutur pantun, penari dan audiens dipertemukan dalam ruang, tempat dan waktu yang sama.

Secara historis, tradisi cenggok-cenggok (menurut seorang informan yang telah disebutkan sebelumnya) berasal dari kesenian kerajaan yang berfungsi sebagai hiburan untuk menghibur tamu yang datang pada saat itu ke kerajaan Bilah. Raja Azman Syarif pada tahun menulis tentang Bilah dan Panai dalam lintasan sejarah, bahwa dalam masa pemerintahan Panai dipimpin oleh Raja Bilah I yaitu Raja Tahir gelar Indera Alam, kerajaan pada waktu itu berkedudukan di Bandar Kumbol daerah hulu sungai Bilah yang merupakan anak cabang sungai Barumun (Panai), sekarang terdapat di dalam lingkungan daerah kecamatan Bilah Hulu kabupaten Labuhanbatu.

Sutan Tahir Indera Alam memerintah Kerajaan Bilah sekitar tahun 1623 dengan wilayah kekuasaannya meliputi daerah raja-raja kecil antara lain : Kerajaan Rantau Prapat, Siringo-ringo, Sihare-hare (Sigambal), Gunung Maria, Bandar Kumbol, Sibargot, Tanjung Medan (hulu sungai Bilah), Kuala Pinarik, Merbau, dan lain-lain.

(52)

masyarakat berbagai suku diantaranya Melayu, Mandailing, Batak Toba, Simalungun, Karo, Dairi, Nias juga etnis Tionghoa dan Jawa. Heterogenitas etnis ini membaur menjadi satu dengan menghadirkan tradisi tersendiri, namun etnis yang dominan di Labuhanbatu induk adalah etnis Melayu.

Etnis Melayu di daerah Labuhabatu saat ini sebagian besar dapat dijumpai di daerah pesisir pantai yakni daerah Labuhan Bilik yang merupakan tanah Melayu bekas tapak kerajaan Bilah. Di kerajaan inilah lahir kesenian cenggok-cenggok yang pada saat bukan lagi secara inklusif berada di lingkungan kerajaan tapi bentuk kesenian tradisi ini sudah berkembang menjadi kesenian rakyat.

Penyajian tari cenggok-cenggok dijelaskan lebih lanjut oleh Rishan (2013;3) gerakannya berasal dari perpaduan seni tari dan pencak silat dimana tarian ditarikan oleh pria dengan pola lantai yang sederhana biasanya berbentuk segi empat dan garis lurus. Alat musik yang mengiringi tarian etnis Melayu terdiri atas gendang pak-pung, rebana, biola dan seruling. Pertunjukan biasanya dilaksanakan pada malam hari yang dipentaskan di atas panggung yang ada dipelataran rumah pemilik hajatan. Setiap daerah Melayu memiliki tradisi yang berupa syair, sinandong, dan pantun dengan keunikan mereka masing-masing sebagai lokalitas daerah. Tradisi berpantun pada masyarakat Melayu Labuhanbatu merupakan tradisi yang turun temurun yang diwarisi oleh masyarakatnya.

(53)

Merujuk pernyataan Murgiyanto (2004:2) tradisi berasal dari kata traditium yang berarti segala sesuatu yang diwarisi dari masa lalu. Tradisi dipahami sebagai milik masyarakat sebagai kebiasaan yang turun temurun yang diatur oleh nilai-nilai atau norma-norma yang ada dalam masyarakat.

Cenggok-cenggok disebut sebagai tradisi lisan karena penyampaiannya secara adat dan kebiasaan dalam bentuk komunikasi verbal dilantunkan secara turun temurun dari mulut ke mulut. Seorang pemantun atau pepantun (penutur pantun) mewariskan tradisi lisan pantun kepada penutur yang muda melalui tradisi kelisanan, gerakan, gestur, dan kostum yang terdapat dalam pertunjukan cenggok-cenggok yang sudah ada sejak zaman dahulu sampai sekarang.

(54)

Pantun merupakan bagian dari konsepsi sastra etnik yang artinya sebagai sastra utuh yang memuat nilai-nilai budaya etnik (ethnic of culture values).

Pesan-pesan verbal yang disampaikan dalam tradisi ini mengandung nilai moral yang sangat bermanfaat bagi masyarakat pemilik tradisi ini. Pada saat pemantun yang lebih tua menyampaikan tradisi berpantun pada generasi yang lebih muda tidak hanya dilakukan sebagai bentuk teks yang harus diingat, tapi juga menyampaikan pesan yang berkesinambungan dalam tradisi tersebut.

5.3 Performansi Tradisi Cenggok-cenggok pada Upacara Adat Perkawinan Melayu Panai

(55)

Tradisi ini adalah tradisi yang berasal dari Labuhan Bilik, juga berkembang di wilayah Labuhanbatu lainnya seperti Kotapinang dan Kualuh. Tapi pada saat ini sudah sulit di jumpai, hanya tersisa di Labuhan Bilik saja yang merupakan tempat asal dari tradisi ini. Tradisi lisan ini sebagai hasil dari budaya lokal mempunyai fungsi yang ditujukan untuk membentuk wacana kebersamaan yang akan berdampak baik bagi hubungan antara masyarakat pemilik tradisi tersebut. Dalam pertunjukan tradisi lisan dimana merupakan wujud dari sistem budaya yang melekat pada masyarakat tradisional diharapkan terciptanya sebuah keseimbangan sosial (social equilibrium) melalui upaya-upaya pengendalian sosial (social control) yang antara keduanya saling mempengaruhi.

Pertunjukan tradisi lisan tidak akan terlepas dari aturan-aturan kultural, nilai-nilai tradisional dan norma kehidupan sosial yang telah disepakati oleh masyarakatnya secara kolektif. Hal ini tentu berlaku dalam tradisi berpantun cenggok-cenggok, dalam pertunjukannya tentu akan mengikuti kaidah-kaidah dan tata nilai tradisional budayanya yang sudah disepakati oleh anggota masyarakatnya.

(56)

Pertunjukan tradisi lisan berpantun tidak akan terlepas dari kehadiran konteks , yakni pelaku tradisi, penonton (audience), tempat dan waktu pertunjukan ini berarti tanpa konteks sebuah pertunjukan tradisi lisan cenggok-cenggok tidak dapat terlaksana. Berikut adalah upacara adat mengayun yang dirangkaikan pelaksanaannya dengan upacara adat perkawinan dari si pemilik hajatan dengan alasan efisiensi waktu dan dana . Upacara adat mengayun ini juga merupakan rangkaian dari upacara akikah2 yang biasanya diawali kegiatan menggunting rambut bayi dan menepung tawari, yang menjadi konteks pertunjukan tradisi lisan cenggok-cenggok. Pada saat upacara mengayun anak ini maka pemantun dalam tradisi lisan cenggok-cenggok yang melantunkan bait-bait syair pantun, sudah mengetahui konteks pantun yang akan dilantunkan disesuaikan dengan latar belakang acara pemilik hajatan.

Gambar 5.1 Seorang anak yang sedang diayun “mengayun anak”,di desa Sungai Merdeka (Sumber dok: T.Winona)

2

(57)

Bait pantun yang dilantunkan disesuaikan komposisinya dan penciptaannya ketika pertunjukan berlangsung secara spontan. Hal ini bisa dikatakan penggubahan atau penciptaan tradisi lisan dilakukan dalam pertunjukan. Kendala lain yang muncul dalam menggunakan sumber lisan adalah kreatifitas penutur. Di dalam setiap pertunjukan terkandung makna penciptaan sebuah karya atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa setiap penuturan atau setiap pertunjukan adalah sebuah kreasi atau komposisi (Pudentia. 2005:53). Lord menegaskan hakekat pertunjukan merupakan tuturan kelisanan sebagai proses penciptaan sebuah komposisi kelisanan , “the moment of composition is the

performance” (Lord, 1964:13). Dengan kata lain, setiap pertunjukan merupakan

sebuah karya seni yang mengalami proses penciptaan tertentu. Berikut ini adalah gambar pernikahan yang merupakan salah satu konteks terselenggaranya pertunjukan cenggok-cenggok.

(58)

Tindakan pertunjukan dalam tradisi lisan merupakan bagian dari peristiwa sosial tertentu yang turut menentukan makna pertunjukan (Sulkarnaen, 2010:90). Hal ini disebabkan sebuah pertunjukan tradisi lisan berada dalam ruang sosial budaya yang keduanya saling mempengaruhi. Pertunjukan tercipta dalam sebuah ruang budaya, sehingga kaidah-kaidah budaya ikut mempengaruhi kaidah-kaidah pertunjukan. Sifat dan pertunjukan lisan tidak dapat dipisahkan dengan konteks pertunjukan. Konteks pertunjukan yang dimaksudkan meliputi masyarakat pemilik pertunjukan itu sendiri, penonton atau audiens, pendengar, waktu pertunjukan, dan tempat pertunjukan.

Pemahaman tentang konteks pertunjukan telah dikemukakan oleh berbagai ahli. Ben-Amos yang dikutip oleh Sulkarnaen (2010:90) memberikan batasan konteks pertunjukan

The nature of oral narrative performance is context dependent. Context consists of such variable as the listening community and the occasion or narratie”.

Sedangkan Bauman yang juga dikutip oleh Sulkarnaen (2010:27) mengemukakan bahwa sebuah pertunjukan hendaknya kita pandang sebagai perilaku yang disituasikan yang maknanya itu sangat ditentukan oleh konteks yaitu konteks budaya dan konteks situasi.

(59)

Melayu Panai di Labuhan Bilik kabupaten Labuhanbatu yang didalamnya terdapat ritual, nyanyian, musik, dan tarian, dan pencak silat kesemuanya memiliki makna yang dalam apabila dikaitkan dengan konteks. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Finnegan.

Konteks pertunjukan merupakan situasi yang ada hubungannya dengan suatu peristiwa atau keseluruhan yang membangun pertunjukan di mana pertunjukan itu ditampilkan . Tradisi lisan cenggok-cenggok sudah tentu memiliki konteks tersendiri yang turut memberikan makna dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Konteks kemudian dimaknai sehingga nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam tradisi berpantundapat disimpulkan dan menjadi pedoman bagi masyarakatnya.

5.3.1 Bahan atau Alat yang digunakan

a. Kostum

Kostum atau pakaian yang dikenakan penari dan pemusik adalah teluk belanga dengan tata rias yang sederhana. Pada umumnya pakaian antara penari dan pemusik dibedakan berdasarkan warnanya saja. Teluk belanga merupakan pakaian adat tertinggi dalam susunan adat Melayu . Baju ini memiliki motif polos, biasanya berwarna tidak terlalu mencolok, meskipun terkadang berwarna kuat seperti merah, kuning, hijau, atau biru.

(60)

lutut. Terkadang kain sarung difungsikan seperti semacam selendang.Pada bagian kepala awalnya kaum lelaki Melayu mengenakan ikat kepala yang terbuat dari kain persegi empat yang diikat sedemikian rupa, ikat kepala tersebut disebut tanjak, yangbiasanya terbuat dari kain songket.

Penggunaan tanjak pada masa ini hanya dipakai ketika menghadiri acara-acara resmi seperti kenduri pernikahan atau acara adat lainnya. Untuk pemakaian sehari-sehari, kaum lelaki lebih memilih menggunakan songkok atau peci sebagai penutup kepala.

b. Pelantang suara (sound system)

Pementasan tradisi lisan cenggok-cenggok pada upacara adat perkawinan juga ditunjang oleh pelantang suara, alat ini digunakan untuk membantu para pemain terutama pelantun syair dalam hal kekuatan suara. Dengan penggunaan pelantang suara yang baik, para pemain lebih terbantu saat pementasan tradisi, tanpa harus memaksa pita suara, terutama guna melantangkan suara agar dapat didengar penonton. Penggunaan pelantang suara sebagai salah satu properti dalam tradisi lisan masyarakat Melayu Panai sekaligus memperlihatkan bagaimana kesenian tradisional ini hadir diera teknologi saat ini.

5.3.2 Pemain/Pelaku

(61)

tanpa adanya pelaku atau pemain. Tanpa adanya pelaku atau pemain sebuah acara tidak mungkin dapat dilaksanakan dan dikatakan sebagai sebuah pertunjukan.

Tradisi lisan berpantun untuk terselenggaranya tentu membutuhkan peran pelaku atau pemain sebagai bagian dari konteks pertunjukan.

Gambar 5.3 Performansi tradisi lisan cenggok-cenggok di desa Sei Merdeka (sumber dok: T.Winona).

5.3.3 Penonton/Audiens

Pertunjukan tradisi lisan harus memperhatikan keberadaan audiens. Audiens saat menyaksikan sebuah pertunjukan akan memunculkan reaksi sebagai efek dari pertunjukan yang disaksikan. Reaksi audiens itu sengaja ditimbulkan atau merupakan rangsangan dari penggubah cerita atau nyanyian. Sweeney (1987:2) berpandangan bahwa pencerita sering secara sengaja merangsang audiens agar memberikan reaksi tertentu. Hal ini sesuai dengan tujuan pencerita dalam pertunjukan adalah menghibur dan menyampaikan pesan kepada audiens.

(62)

berperan dalam proses penciptaan sebuah cerita atau sebuah pertunjukan. Hal ini dapat diartikan disamping pelaku atau pemain yang menentukan adanya pertunjukan yang berhasil dipentaskan tanpa penonton (audience) juga mustahil untuk terciptanya sebuah pertunjukan.

Hal ini disebabkan sebuah pertunjukan tentunya membutuhkan kehadiran para penonton karena tanpa adanya kehadiran penonton acara tidak bisa berjalan baik. Demikian juga dalam pertunjukan tradisi cenggok-cenggok karena penonton juga termasuk pelaku pertunjukan. Dalam tradisi lisan hidupnya sebuah pertunjukan juga ditentukan oleh jumlah penonton dalam pertunjukan tersebut.

Gambar

Gambar 3.1 Prosedur penelitian kualitatif Spradley (dalam Sugiyono, 2011:254)
Gambar 3.2 Prosedur penelitian
Gambar 3.3 Peta Kabupaten Labuhanbatu Sumatera Utara
Tabel 4.1 Luas Wilayah Per Kecamatan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Gelas yang berisikan nasi putih atau kuning dalam tradisi nasi hadap- hadapan pada upacara adat Perkawinan Melayu Kecamatan Kualuh Hilir Kabupaten Labuhanbatu Utara