• Tidak ada hasil yang ditemukan

PETA WILAYAH KEBUDAYAAN ANGKOLA DAN PERFORMANSI TRADISI LISAN

4.1 Hakikat Mangupa Horja Godang

Sebelum masuknya agama ke daerah Angkola-Sipirok, Batak, Mandailing, dan Tapanuli Selatan, masyarakat belum memiliki kepercayaan terhadap agama, sehingga beragam kepercayaan seperti: animisme, dinamisme, dan percaya kepada sipelebegu

menyembah pepohonan, batu-batu, atau apa saja yang dianggap keramat. Kepercayaan masyarakat selain makhluk kasar (manusia) setiap orang memiliki roh dan kepercayaan pada zat yang gaib, sehingga dalam keyakinan masyarakat adat setiap orang tidak bisa sembarangan melakukan sesuatu karena hal tersebut tabu (pamali atau pantang). Setiap orang atau makhluk hidup memiliki tondi karena orang yang sudah meninggal dunia tidak memiliki tondi atau tidak lagi marsumangat. Kepercayaan kepada leluhur dengan meyakini kata-kata yang dianggap bertuah atau marsahala karena pesan leluhur disampaikan dari satu generasi ke generasi berikut secara estafet.

Petuah-petuah leluhur „sahala‟ melahirkan semangat hidup dan tondi merupakan

core‟ inti kehidupan. Dengan menghormati dan melaksanakan petuah leluhur dianggap

menghargai roh nenek moyang. Jadi tondi itu merupakan kekuatan semangat, tenaga

„power‟ yang memelihara dan menyeimbangkan kekuatan jasmani dan rohani. Oleh karena itu, bila tidak mengindahan petuah-petuah leluhur maka tondi akan meninggalkan jasad, sehingga ia akan jatuh sakit.

Tondi tersebut diyakini sebagai aspek kejiwaan manusia yang mempengaruhi semangat dan kematangan psikologis individu. Tondi itu merupakan kekuatan yang memberi hidup pada bayi. Tondi merupakan kekuatan, tenaga, semangat jiwa yang memelihara ketegaran rohani dan jasmani agar tetap seimbang, kukuh, keras dan menjaga harmoni kehidupan setiap individu. Dalam keadaan ketakutan yang mendadak misalnya diserang harimau di hutan, tondi juga bisa meninggalkan badan, tondi dapat mengembara sesukanya dan bahkan boleh jadi bertemu dan bergabung dengan roh jahat.

Kepercayaan masyarakat setiap orang memiliki roh, roh tersebut memiliki tondi

atau spirit. Karenanya tondi manusia dapat pergi atau meninggalkan roh, bila tondi meninggalkan raga, manusia tersebut akan sakit atau dikenal mago tondi atau kehilangan semangat. Kehilangan semangat (mago tondi) atau pergi tondi meninggalkan roh disebabkan oleh berbagai sebab seperti: gangguan makhluk gaib, ditegur oleh leluhur karena berbuat salah, buang air atau berbicara kasar (tabu) di tempat-tempat angker

(hutan, kayu, gua, sungai, gunung, ngarai, mata air „mual‟, bermain pada tempat-tempat terlarang, sangat menginginkan sesuatu (tarhirim), mencuri ikan di lubuk larangan, mendapat musibah (tabrakan, jatuh, kecelakaan, kebakaran, sakit, terkejut, ketakutan,

diganggu makhluk halus „tarsapo‟) dan lain-lain.

Tondi

Jasad Ruh

Manusia 127

Gambar 2. Setiap manusia memiliki hubungan antara jasad, ruh, dan tondi

Agar dapat mengembalikan semangat ke dalam tubuh dikenal dengan istilah

paulak tondi tu badan, hal itu dilakukan dengan upacara adat mangupa. Kepercayaan agar tondi kembali ke roh dilakukan dengan upacara adat mangupa dengan melengkapi persyaratan-persyaratan dan bahan-bahan pangupa, dengan demikian tondi tersebut dibujuk (dielek) untuk kembali ke badan. Leluhur suku Angkola dan Tapanuli dianggap memiliki sahala raja yang dapat memberi pengarahan pada tondi yang masih hidup. Tokoh-tokoh sebagai perwakilan untuk melakukan upacara adat mangupa dengan melengkapi bahan-bahan pangupa sebagai persyaratan agar arwah leluhur tidak murka dengan mengganggu turunannya yang telah melanggar aturan adat atau hal-hal yang dianggap tabu menurut keyakinan komunitas adat Angkola.

Upacara mangupa atau upah-upah merupakan upacara adat di Angkola, Sipirok, dan Mandailing yang bertujuan untuk mengembalikan tondi ke dalam badan. Tondi atau semangat atau jiwa kematangan secara psikologis individu mempengaruhi manusianya.

Tondi sebagai kekuatan (tenaga, semangat jiwa) yang memelihara ketegaran rohani dan jasmani agar tetap seimbang, kukuh, keras dan menjaga harmoni kehidupan setiap individu. Tondi dapat mengembara sesukanya dan bahkan boleh jadi bertemu dan bergabung dengan roh jahat.. Upacara mangupa bertujuan untuk mengembalikan tondi

(semangat, spirit, tenaga, kekuatan) ke badan seseorang atau beberapa orang melalui kalimat-kalimat yang berfungsi untuk memberi semangat dalam bentuk kalimat-kalimat bermakna nasihat.

Masuknya agama Islam dan Kristen ke luhat Angkola-Sipirok cukup signifikan mengubah upacara adat mangupa karena semua upacara mangupa selalu mengacu kepada ajaran agama Islam dan Kristen. Sehingga, kalimat nasihat pembuka, kalimat nasihat inti,

dan kalimat nasihat penutup pada upacara adat mangupa pun disampaikan sesuai dengan norma-norma agama Islam dan kristen.

Upacara mangupa lebih dikenal dengan sebutan mangupa atau upah-upah

sebagai upacara adat di Tapanuli Selatan begitu pula halnya di luhak Angkola. Tradisi

mangupa bertujuan untuk mengembalikan semangat (spirit) ke dalam tubuh atau yang lebih dikenal dengan istilah paulak tondi tu badan. Tradisi mangupa bermaksud mememohon berkah dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa agar selalu selamat, sehat, dan murah rezeki dalam kehidupan. Disamping itu, tradisi lisan mangupa dipercaya masyarakat Angkola agar terhindar dari marabahaya, karena tercapainya suatu maksud (karena tercapainya cita-cita, karena berhasilnya pendidikan, karena menduduki jabatan, keluar sebagai juara, naik haji, selamat sampai ke tujuan). Upacara mangupa

dilaksanakan supaya “Horas tondi madingin, pir tondi matogu” yang bermakna

“Selamatlah tondi dalam keadaan dingin/ sejuk/ nyaman, keraslah tondi semakin teguh bersatu dengan badan sehingga mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan yang

dijalani.”

Tradisi mangupa adat Angkola dilakukan dengan menghidangkan seperangkat bahan-bahan pangupa (telur ayam, garam, ayam, kambing, dan kerbau) di hadapan pengantin kemudian dibuka sidang adat mangupa oleh Orang Kaya dengan memberikan bahan adat (seperangkat bahan adat sirih, tembakau, pinang, gambir, soda, dan tembakau, dan pisau) kepada seluruh peserta upacara mangupa, setelah menerima sirih sebagai simbol dibuka sidang adat. Kemudian, orang tua pengantin memberikan sirih yang dilipat empat (burangir sampe-sampe) yang dilanjutkan dengan memberikan kata-kata nasihat

mangupa (hata pangupa; hata upa-upa) secara bergiliran oleh orang tua (suhut sihabolonan), nenek, harajaon, hatobangon dan tokoh-tokoh adat serta unsur dalihan na tolu (suhut,Anak boru, dan mora).

Pada tradisi lisan mangupa adat berfungsi sebagai sarana memberikan kata-kata nasihat, tuntunan hidup bermasyarakat dan hidup berumah tangga. Tradisi lisan mangupa

sudah ada sejak zaman dahulu, walaupun keyakinan masyarakat sudah mengalami pelunturan yang diakibatkan oleh paradigma masyarakat yang telah mendapat pendidikan formal, masuknya ajaran agama Islam, dan adanya faktor-faktor lain, sehingga tradisi lisan mangupa sudah mulai mengalami dekadensi performansinya di masyarakat Angkola.

Hal itu terjadi sejak masuknya agama Islam yang pada umumnya dianut oleh masyarakat etnik Angkola, sehingga performansi tradisi lisan mangupa disesuaikan dengan norma-norma agama Islam. Oleh karena itu, kata-kata nasihat lebih diutamakan dengan menggunakan ajaran agama Islam yang disertai dengan bahasa-bahasa adat.

Tradisi lisan mangupa sebagai peristiwa komunikasi yang memiliki dimensi proses komunikasi yang bermuatan sosial, budaya, dan estetik sebagai bentuk aktifitas tindakan yang ditafsirkan melalui tindakan komunikasi dapat dipahami. Performansi tradisi tuturan yang diperagakan sebagai objek kajian sesuai kontekstual dengan menonjolkan suasana adat yang diwarnai dengan kasih sayang orang tua, sanak keluarga, tokoh adat, dan masyarakat adat. Performansi tradisi lisan mangupa adat

Angkola menggunakan teori upacara „mangupa‟ yang dikemukakan terbagi atas empat komponen yaitu: a) tempat upacara, b) saat/ waktu upacara, c) benda-benda dan alat upacara, d) pemimpin dan peserta upacara.

Berdasarkan penelusuran data di lapangan ditemukan data dengan menambahi paparan di atas dengan e) jenis-jenis upacara mangupa, dan f) bahan-bahan

pangupa sebagai indikator yang menentukan besar kecilnya upacara mangupa.