Lembar Kerja Ekonomi
dan Studi Pengembangan
No.
201409
Komoditas Harga Internasional dan
Kesenjangan di Indonesia
Arief
Anshory
Yusuf
Pusat Ekonomi dan Studi Pembangunan CEDS
June 2014
CenterforEconomicsandDevelopmentStudies,
DepartmentofEconomics,PadjadjaranUniversity
JalanCimandirino.6,Bandung,Indonesia.
Phone/Fax:+62-22-4204510
http://www.ceds.fe.unpad.ac.id
Formoretitlesonthisseries,visit:
Komoditas Harga Internasional dan
Kesenjangan di Indonesia
Arief Anshory Yusuf1
Universitas Padjadjaran
abstrak
booming komoditas tidak akan menguntungkan bagi agenda pengurangan kemiskinan, terutama di daerah pedesaan. Kata kunci: Harga komoditas, ketimpangan, Indonesia, General Equilibrium, CGE
1. Perkenalan Indonesia, dengan standar apapun, dapat dianggap sebagai telah berhasil meningkatkan GDP per kapita. Sejak awal dari "Orde Baru" pemerintah, sampai dengan sebelum 1997 Indonesia Krisis ekonomi, telah membawa
Sementara menghargai pencapaian pembangunan ekonomi Indonesia jangka panjang dijelaskan di atas, beberapa masalah dalam isu-isu sosial masih tetap. Salah satunya adalah bahwa peningkatan pesat dalam dengan pengurangan di ketimpangan pendapatan. Namun, ketimpangan pendapatan Indonesia yang diukur dengan koefisien Gini (salah satu ukuran yang paling umum dari ketidaksetaraan) belum begitu banyak dalam diskusi publik sampai saat ini. Alasannya adalah bahwa selama bertahun-tahun, koefisien Gini Indonesia telah relatif stabil dari waktu ke waktu, dengan besaran yang dianggap dalam literatur pembangunan ekonomi
koefisien Gini sebagai salah satu indikator yang ditargetkan tahunan sebagai bagian dari rencana.
3. anggaran tahunan ini akan terbukti menjadi permintaan yang sangat sulit karena ketidaksetaraan dapat dipengaruhi oleh banyak faktor dari kemiskinan. Sementara angka kemiskinan pasti bisa dikurangi dengan kebijakan yang ditargetkan atau program kesejahteraan sosial, program tersebut tidak akan menjamin pengurangan ketimpangan jika pendapatan orang kaya masih tumbuh jauh lebih cepat daripada pendapatan masyarakat miskin.
4. Melihat data pada distribution6 pendapatan selama sepuluh tahun terakhir, ketimpangan telah meningkat selama lima tahun terakhir 2008-2012, meskipun itu relatif stabil sebelum 2008. Gini Koefisien, misalnya meningkat dari 0,35 pada 2008-0,41 pada tahun 2012 (Gambar 1), yang tertinggi di History.7 direkam Indonesia Yusuf (2006b) menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang paling sama, termasuk dalam 30 negara dengan tertinggi kesetaraan (peringkat 26), bersama-sama dengan, antara lain, mantan ekonomi komunis (misalnya Slowakia, Belarusia, Hungaria), Negara-negara Skandinavia dan kesejahteraan Eropa Barat. Peringkat ini didasarkan pada koefisien Gini, indikator standar mengukur ketimpangan. Indonesia, sebenarnya adalah salah satu yang sangat sedikit dari negara-negara kurang berkembang dengan kesetaraan yang lebih tinggi. Namun, seperti Yusuf (2006b) menunjukkan, ini bisa menjadi agak menyesatkan untuk setidaknya dua alasan. Pertama, ketimpangan yang diukur dengan menggunakan Data pengeluaran daripada pendapatan cenderung lebih rendah, karena kelompok berpenghasilan tinggi biasanya menyimpan sebagian besar dari mereka pendapatan, distribusi pengeluaran konsumsi umumnya lebih merata dibanding distribusi pendapatan. Kedua, ketika data yang digunakan untuk menghitung ketimpangan bawah mewakili kelompok-kelompok tertentu dalam populasi yaitu kaya.
5. Biasanya, hanya insiden kemiskinan termasuk sebagai salah satu target tersebut, tetapi tidak ketimpangan indikator seperti koefisien Gini.
Sumber
http://m.bisnis.com/articles/indikator-kesejahteraan-rakyat-pemerintah-dan-dpr-belum-sepakat
6 Dengan distribusi pendapatan, artinya distribusi pengeluaran seperti yang diukur dari sisi pengeluaran daripada pendapatan.
7. Seperti tercantum dalam situs BPS, terjadi perubahan dalam metodologi perhitungan koefisien Gini pada tahun 2009. Sebelum tahun 2009, Koefisien Gini dihitung dari data dikelompokkan (data dikelompokkan berarti data survei rumah tangga (SUSENAS) dikelompokkan oleh beberapa kelas pendapatan dan koefisien Gini dihitung berdasarkan pengeluaran kelompok ini), tetapi mulai dari 2009, koefisien Gini dihitung menggunakan data individu (langsung menghitung koefisien Gini dari seluruh sampel data survei rumah tangga). Namun, tren peningkatan ini masih terlihat bahkan jika kita mulai pengamatan dari 2009 selanjutnya di mana metodologi telah konsisten (sumber:http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?
kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=05¬ab=8)
Gambar 1. Gini Indonesia Koefisien 2002-2012 (Sumber: BPS)
dalam pangsa pendapatanterkaya 20% rumah tangga termiskin dan 40% rumah tangga (Gambar 2). Bagian pendapatan terkaya 20%, misalnya, meningkat dari 41,2% pada 2009-48,6% pada tahun 2012 sedangkan pangsa pendapatan terendah 40% turun dari 21,2% pada tahun 2009 menjadi hanya 16,9% pada tahun 2012.