commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Konsumsi energi listrik dunia dari tahun ke tahun terus meningkat. Dalam
hal ini industri memegang peranan penting dalam kenaikan konsumsi listrik dunia.
Di Indonesia, pada tahun 2003 konsumsi listrik nasional sebesar 69,96 TWh
dengan pertumbuhan sekitar 6,5% per tahun, maka dapat diperkirakan konsumsi
listrik nasional tahun 2020 mencapai 272,34 TWh (Muchlis dan Permana, 2013).
Konsumsi listrik tahun 2012 sudah mencapai 173,99 TWh (Pusdatin ESDM,
2012). Hal ini mendorong pemerintah untuk segera menyediakan sumber energi
tambahan guna memenuhi kebutuhan konsumsi listrik nasional yang kian
meningkat.
PLTU batubara dan minyak bumi rupanya masih menjadi prioritas
pembangkit listrik di Indonesia. Namun masalah yang ditimbulkan pembangkit
listrik ini menjadi dilema yang harus dipikirkan kembali oleh pemerintah bahkan
dunia. Pada pertemuan di Kyoto tahun 1992, emisi gas CO2 dan gas rumah kaca
lainnya mencapai 10% pada tahun 1990. Namun kenyataannya 10 tahun
setelahnya gas ini justru malah semakin bertambah lebih dari 10% (Kadak, 2005).
Sehingga pemerintah perlu memikirkan pembangkit listrik yang tidak hanya dapat
menghasilkan energi yang besar namun tetap ramah bagi lingkungan.
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) merupakan solusi alternatif dari
dilema yang sedang dihadapi pemerintah. Oleh karena luaran energi yang begitu
besar, PLTN haruslah memiliki tingkat keamanan yang sangat tinggi. Sehingga
masyarakat tidak perlu khawatir dengan adanya reaktor nuklir di lingkungan
mereka. Selain menyediakan tenaga yang besar, PLTN juga ramah lingkungan
karena tidak mengeluarkan residu berupa CO2 ataupun gas asam lainnya.
Berbagai jenis teknologi reaktor nuklir telah dikembangkan. Salah satunya
adalah High Temperature Reactor (HTR) jenis Pebble-bed Modular Reactor
(PBMR) yang diklasifikasikan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA)
commit to user
sebelumnya (generasi I, II, dan III) adalah reaktor tidak hanya memiliki
keselamatan pasif, namun juga keselamatan inheren (inhern safety). Keselamatan
inheren merupakan teknologi baru yang memanfaatkan bahan yang dapat
menanggulangi. Namun reaktor ini masih dalam skala riset. Realisasi secara
komersial baru akan dilaksanakan tahun 2030 mendatang (Abdullah dan Su’ud,
2012).
Kriteria reaktor yang baik haruslah memiliki faktor multiplikasi efektif sama
dengan 1. Faktor multiplikasi efektif (keff) merupakan perbandingan jumlah
mula-mula neuton sebelum terjadi siklus terhadap jumlah netron setelah terjadi siklus
netron dalam satu generasi. Artinya, jika nilai keff lebih dari 1, maka reaktor dalam
keadaan super kritis. Keadaan ini berbahaya bagi kelangsungan reaktor, karena
akan menyebabkan teras reaktor meleleh dan terjadi kebocoran. Jika nilai keff
kurang dari 1, maka reaktor akan shutdown karena kehabisan netron. Untuk itulah
dibutuhkan reaktor nuklir yang dapat menjaga populasi netron agar reaksi berantai
fisi tetap terkendali (Serway and Jewett, 2010).
Berkaca pada kecelakaan yang menimpa reaktor terdahulu, yaitu reaktor di
Chernobyl, IAEA terus melakukan pembenahan terutama dalam sistem keamanan
reaktor baik sebelum terjadi kecelakaan maupun setelah terjadi kecelakaan.
Reaktor Chernobyl menggunakan pendingin air yang lebih berperan sebagai
penyerap netron daripada sebagai moderator netron. Ketika panas bahan bakar
merubah air menjadi uap, reaktor akan kekurangan bahan penyerap netron yang
mengakibatkan naiknya populasi netron dalam reaktor (Septilarso, 2011). Laju
reaksi fisi (reaktivitas) reaktor yang bernilai positif juga mendukung
meningkatnya jumlah netron di dalam teras reaktor. Ketika reaktor mengalami
kecelakaan yang mengakibatkan terlepasnya bahan bakar dalam jumlah besar ke
lingkungan, bahan bakar terus melakukan reaksi fisi karena nilai reaktivitas yang
positif. Oleh karena itu, untuk meningkatkan sistem keamanan, reaktor harus
memiliki sistem keamanan pasif yang salah satunya adalah mendesain reaktor
yang memiliki reaktivitas bernilai negatif.
PBMR merupakan reaktor berbahan bakar UO2 berbentuk pebble atau bola
commit to user
ribuan merupakan partikel berlapis TRISO yang tersebar di dalam bola berbahan
grafit. Partikel TRISO terdiri dari bahan bakar kernel UO2 yang dibungkus
lapisaan pyro karbon dan silikon karbida (Zuhair, 2012).
HTR PROTEUS merupakan salah satu fasilitas reaktor pebble bed yang
dikembangkan di Paul Scherrer Institute, Switzerland. Fasilitas ini dibangun
sebagai penelitian dan pengembangan reaktor temperatur tinggi berpendingin gas.
HTR PROTEUS termasuk jenis reaktor yang direkomendasikan IAEA sebagai
reaktor generasi ke IV dengan tingkat keamanan yang tinggi (IAEA, 2001),
karena keselamatan inheren dan keselamatan pasif telah di desain agar melekat
pada reaktor.
HTR PROTEUS memiliki 11 benchmark eksperimen dengan kondisi teras
yang beda-beda. Salah satunya adalah jenis teras 4. Jenis teras ini memiliki ciri
dalam penyusunan pebble yang random serta jumlah rasio bahan bakarnya dan
moderator (F:M) 1:1. Berdasarkan tinggi kritis, teras 4 dibagi menjadi 3 keadaan,
yakni teras 4.1, 4.2 dan 4.3 (Gougar, 2009). Tinggi kritis merupakan tinggi
muatan bahan bakar yang mengisi teras reaktor.
Untuk menjadi reaktor dengan kriteria keselamatan inheren, penentuan
kadar uranium-235 optimum dalam bahan bakar perlu dilakukan untuk mendesain
bahan bakar yang dapat mencapai tingkat kritis namun reaktivitas tetap negatif.
Pengayaan uranium yang digunakan dalam model awal penelitian secara
eksperimen adalah 16,7% dengan menggunakan pendingin udara. Pada keadaan
tersebut nilai keff yang dihasilkan pada eksperimen adalah 1,0134 ± 0,0001 (IAEA,
2001). Jenis bahan pendingin yang telah digunakan pada reaktor diseluruh dunia
diantaranya: H2O, D2O, udara, helium, molten salt, dan lain-lain. Pada jenis
reaktor pebble bed yang lain, yaitu HTR10, pendingin yang digunakan adalah
helium. Helium digunakan karena sifatnya yang inert dan sulit bereaksi dengan
netron (Terry et.al., 2006).
Investigasi kekritisan HTR PROTEUS teras 4.1 terhadap pengayaan bahan
bakar dan variasi gas pendingin telah dilakukan menggunakan kode komputer
MCNP5. Kode komputer ini dapat digunakan untuk menghitung eigenvaluaes
commit to user
Monte Carlo Team, 2003). Dari variasi pengayaan bahan bakar yang dilakukan
akan diperoleh nilai faktor multiplikasi dan reaktivitas reaktor HTR PROTEUS.
Dengan demikian dapat diketahui komposisi pengayaan bahan bakar dan
pendingin yang tepat agar reaktor dapat bekerja secara optimum namun faktor
keselamatan tetap terjaga. Hasil perhitungan MCNP5 juga dapat dibandingkan
dengan benchmark eksperimen (IAEA, 2001) dan perhitungan dengan MCNP4B
(Labenhaft, 2001) yang telah dilakukan pada teras 4.1.
Pada penelitian HTR PROTEUS sebelumnya, yang telah dilakukan
Labenhaft (2001), menggunakan 3 variasi ketinggian teras (teras 4.1, 4.2, dan 4.3)
dengan pengayaan uranium yang digunakan adalah 16,7% dan pendingin reaktor
berupa udara. Perbedaan dari penelitian sebelumnya adalah pada penelitian ini
teras yang digunakan hanya teras 4.1 dengan ketinggian 1,58 m, namun variasi
pengayaan yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 25 pengayaan dan
pendingin yang digunakan berupa helium dan udara.
1.2. Batasan Masalah
Pengayaan bahan bakar yang direkomendasikan IAEA untuk jenis Low
Enrichment Uranium (LEU) pada HTR PROTEUS adalah maksimum 20%.
Secara teori dimungkinkan untuk menghitung nilai keff dengan pengayaan hampir
100% sekalipun. Namun pada penelitian ini variasi pengayaan yang digunakan
dibatasi dari 3% sampai 49,5%, untuk masing-masing pendingin yang digunakan
(udara dan helium).
Pada perhitungan benchmark eksperimen, HTR PROTEUS, udara
digunakan sebagai pendingin reaktor. Pemilihan variasi pendingin, yakni helium,
sebagai pendingin mengacu pada jenis PBMR lainnya yang juga menggunakan
helium sebagai pendingin (IAEA, 2003). Dengan demikian, dalam penelitian ini
dilakukan simulasi tidak hanya menggunakan udara sebagai pendingin, namun
juga menggunakan gas helium.
Investigasi daerah interest pada data yang mendekati daerah kritis setiap
penambahan 0,2%, serta menentukan nilai reaktivitas bahan bakar HTR
commit to user
dibatasi pada jenis teras 4.1. Semua perhitungan nilai keff pada penelitian ini
menggunakan software MCNP5.
1.3. Perumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah yang telah dipaparkan diatas, perumusan
masalah yang diajukan adalah:
1. Bagaimanakah modifikasi reaktor HTR PROTEUS dalam MCNP5?
2. Berapakah komposisi pengayaan bahan bakar yang optimum untuk HTR
PROTEUS?
3. Bagaimana perbedaan pendingin yang digunakan pada HTR PROTEUS
terhadap nilai keff?
1.4.Tujuan Masalah
a. Memodifikasi model reaktor HTR PROTEUS menggunakan kode komputer
MCNP5.
b. Mendapatkan nilai komposisi pengayaan bahan bakar yang optimum pada
HTR PROTEUS.
c. Mendapatkan informasi perbandingan pendingin udara dan helium pada HTR
commit to user
1.5.Manfaat Penelitian
Hasil perhitungan ini akan dipublikasikan sehingga dapat menjadi acuan
bagi peneliti lain di bidang fisika reaktor untuk mengembangkan HTR PROTEUS.
Dapat juga dijadikan acuan perbandingan perhitungan menggunakan software