• Tidak ada hasil yang ditemukan

Indonesia Hingga Terbentuknya Pers Nasio

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Indonesia Hingga Terbentuknya Pers Nasio"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Indonesia Hingga Terbentuknya Pers Nasional

Komunikasi merupakan kebutuhan kodrati manusia, sehingga komunikasi cenderung menjadi persyaratan mutlak bagi kemajuannya, baik sebagai individu maupun sebagai anggota

masyarakat. Makin maju suatu masyarakat, makin berkembanglah lalu lintas

komunikasi.Tatap muka sebagai medium komunikasi tingkat rendah, dirasakan tidak lagi memadai akibat perkembangan masyarakat. Akibat perkembangan itu pula, masyarakat berusaha menemukan instrumen lain untuk media komunikasinya dan di antara media komunikasi itu adalah pers. Menurut Rachmadi bahwa pers lahir dari kebutuhan rohaniah manusia, produk dari kehidupan manusia, produk kebudayaan manusia, adalah hasil dari perkembangan manusia.Keberadaan pers di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari hubungan bangsa Indonesia dengan Eropa, khususnya dengan bangsa Belanda. Melalui hubungan itulah, berbagai anasir kebudayaan Barat dapat dikenal di Indonesia termasuk pers.

Pengiriman dan penyebaran informasi dalam bentuk jurnal awalnya digunakan oleh VOC untuk menyalurkan dan atau mendapat berita, baik dari Eropa maupun dari pos-pos

perdagangan Belanda yang tersebar di Nusantara yang menurut Von Veber telah berlangsung sejak tahun 1615.Hal ini dipertegas oleh Muhtar Lubis dengan mengatakan bahwa pada tahun 1615, J.P. Coen menerbitkan Memorie de Nouvelles, sebuah jurnal cetak yang pertama di Indonesia, memuat berita dan informasi tentang VOC.Sementara surat kabar pertama yang terbit di Indonesia adalah Bataviase Nouvelles tahun 1744 oleh J.E. Jordens.Perancis dan Inggris yang pernah menyelingi kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia, turut pula menerbitkan surat kabar. Perancis di bawah Daendels menerbitkanBataviasche Zoloniale Courant. Sementara pada masa kekuasaan Inggris menerbitkan surat kabar dengan nama The Java Government Gazette.Setelah kekuasaan Inggris berakhir (1816) di Indonesia, maka surat kabar yang terbit menjadi organ resmi pemerintah Belanda adalah Bataviasche Courant yang kemudian digantikan olehJavasche Courant.Sampai dengan terbitnya surat kabar ini ada kenampakan bahwa usaha penerbitan masih didominasi oleh pemerintah yang berkuasa. Isinya pun dapat diduga, yaitu hanya memuat berita mengenai kegiatan pemerintah.

Memasuki pertengahan abad ke-19, sudah semakin banyak surat kabar terbit di Indonesia. Bahkan kaum Indo-Belanda sudah mengusahakan penerbitan yang diperuntukkan buat kaum pribumi dan peranakan Tionghoa. Sehingga pada masyarakat kolonial sudah dikenal adanya pers yang berbahasa Melayu dan bahasa daerah. Surat kabar pertama berbahasa daerah adalahBromartani yang terbit di Surakarta pada tahun 1855. Selanjutnya surat kabar pertama berbahasa Melayu adalah Soerat Kabar Bahasa Melajoe yang terbit di Surabaya pada tahun 1856.8) Di samping itu, dikenal pula surat kabar yang berbahasa Tionghoa yang

menggunakan bahasa campuran antara bahasa Melayu rendahan dengan dialek

Hokkian.Seiring dengan pemberlakuan politik kolonial liberal atau dikenal sebagai politik pintu terbuka (open door policy) tahun 1970, maka dinamika persuratkabaran di Indonesia juga semakin kompleks. Kaum swasta asing Eropa (pengusaha-pengusaha penanam modal di Indonesia) semakin banyak menerbitkan surat kabar. Dalam dekade ini pula (menjelang berakhirnya abad ke-19), terdapat kemajuan di bidang jurnalistik. Kemajuan yang dimaksud adalah semakin banyaknya orang-orang pribumi dan orang-orang peranakan Tionghoa yang terlibat dalam penerbitan pers. Dengan demikian sudah lahir wartawan-wartawan pribumi (Indonesia) yang pertama. Kedudukan orang-orang ini kelak menjadi sangat penting terhadap kelahiran pers nasional.

Sementara itu, timbulnya kesadaran kebangsaan (nasionalisme) Indonesia yang dimanifestasikan melalui perjuangan pergerakan nasional, telah memperjelas dan

(2)

Didalam UU 1945 pasal 6 tahun 1999 tentang pers disebutkan bahwa :

1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi mendorong terwujudnya kebebasan dan hak asasi manusia serta menghormati ke bhinekaan. 2. Mengungkapkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar. 3. Melakukan kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal benar dengan kepentingan umum memperjuangkan keadilan

Perkembangan PERS di Indonesia

1. Masa Penjajahan

Pada masa penjajahan, surat kabar yang dikeluarkan oleh bangsa Indonesia berfungsi sebagai alat perjuangan pers yang menyuarakan kepedihan penderitaan dan merupakan refleksi dari isi hati bangsa yang terjajah.

a. Masa Pendudukan Belanda

Pada tahun 1615 atas perintah Jan Pieterzoon Coen, yang kemudian pada tahun 1619 menjadi Gubernur Jenderal VOC, diterbitkan “Memories der Nouvelles”, yang ditulis dengan tangan. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa “surat kabar” pertama di Indonesia ialah suatu penerbitan pemerintah VOC.

Pada Maret 1688, tiba mesin cetak pertama di Indonesia dari negeri Belanda. Atas intruksi pemerintah, diterbitkan surat kabar tercetak pertama dan dalam nomor perkenalannya dimuat ketentuan-ketentuan perjanjian antara Belanda dengan Sultan Makassar. Setelah surat kabar pertama kemudian terbitlah surat kabar yang diusahakan oleh pemilik percetakan-percetakan di beberapa tempat di Jawa. Surat kabar tersebut lebih berbentuk koran iklan

Ciri-Ciri pers pada masa belanda :

v Dibatasi dan Diancam dengan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana v Persbreidel Ordonantie

v Haatzai Artikelen

v Kontrol yang Keras Terhadap Pers b. Masa Pendudukan Jepang

Pada masa ini, surat kabar-surat kabar Indonesia yang semula berusaha dan berdiri sendiri dipaksa bergabung menjadi satu, dan segala bidang usahanya disesuaikan dengan rencana-rencana serta tujuan-tujuan tentara Jepang untuk memenangkan apa yang mereka namakan “Dai Toa Senso” atau Perang Asia Timur Raya. Dengan demikian, di zaman pendudukan Jepang pers merupakan alat Jepang. Kabar-kabar dan karangan-karangan yang dimuat hanyalah pro-Jepang semata.

Ciri-Ciri Pers pada Masa Jepang : v Penekanan Terhadap Pers Indonesia

v Bersifat fasis memanfaatkan instrumen untuk menegakan kekusaan pemerintahannya C. Masa Revolusi Fisik

Peranan yang telah dilakukan oleh pers kita di saat-saat proklamasi kemerdekaan dicetuskan, dengan sendirinya sejalan dengan perjuangan rakyat Indonesia. Bahkan tidak sedikit dari para wartawan yang langsung turut serta dalam usaha-usaha proklamasi. Semboyan “Sekali Merdeka Tetap Merdeka” menjadi pegangan teguh bagi para wartawan. Periode tahun 1945 sampai 1949 yang biasa dinamakan periode “revolusi fisik”, membawa coraknya tersendiri dalam sifat dan fungsi pers kita. Dalam periode ini pers kita dapat

digolongkan ke dalam dua kategori, yaitu pertama, pers yang terbit dan diusahakan di daerah yang dikuasai oleh pendudukan sekutu, kemudian Belanda, dan kedua pers yang terbit diusahakan di daerah yang dikuasai oleh RI yang kemudian turut bergerilya.

Ciri-Ciri Pers Masa Revolusi:

(3)

v Pers Harus Menjaga Kepentingan Publik v Pembatasan Pers

2. Masa Revolusi (17 Agustus 1945-1949)

Pada masa itu pers dibagi menjadi 2 golongan yaitu pers yang diterbitkan dan di usahakan oleh tentara pendudukan sekutu dan belanda yang selajutnya dinamakan Pers NIKA. Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh bangsa Indonesia yang dinamakan Pers Republik.

3. Masa Demokrasi Liberal (1949-1959)

Pers Nasional saat itu sesuai dengan alam liberal yang sangat menikmati kebebasan Pers. Fungsi Pers pada masa ini adalah sebagai perjuangan kelompok partai atau aliran politik. Dalam aksi-aksi ini peranan yang telah dilakukan oleh pers republik sangat besar. Republik Indonesia Serikat yang tidak sesuai dengan keinginan rakyat akhirnya bubar dengan

terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950. Pada masa ini untuk memperoleh pengaruh dan dukungan pendapat umum, pers kita yang pada umumnya mewakili aliran-aliran politik yang saling bertentangan, menyalahgunakan kebebasan pers (freedom of the press), yang kadang-kadang melampaui batas-batas kesopanan.

Ciri-Ciiri per Masa Demokrasi Liberal

v Memberi Perlindungan yang Keras Terhadap Pers Namun dalam Prakteknya Tidak v Pembatasan Terhadap Pers

v Adanya Tindakan Antipers

4. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966)

Pada masa ini, pers menganut konsep Otoriter Pers di beri tugas menggerakkan aksi-aksi masa yang revolusioner dengan jalan memberikan penerangan membangkitkan jiwa dan kehendak masa agar mendukung pelaksanaan manipol dan ketetapan pemerintah lainya. Periode yang terjadi pada masa demokrasi terpimpin sering disebut sebagai zaman Orde Lama. Periode ini terjadi saat terbentuknya Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Presiden Soekarno, sebagai tindak lanjut dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga

meletusnya Gerakan 30 September 1965. Ciri-Ciri Pers Masa Demokrasi Terpimpin v Tidak Adanya Kebebasan Pers

v Adanya Ketegasan Terhadap Pers

v Pemerintah Mengontrol Setiap Kegiatan Pers

5. Orde Baru (1966-21 Mei 1998)

Pers masa orde baru di kenal dengan istilah Pers Pancasila dan di tandai dengan di

keluarkannya undang-undang pokok Pers no 11 tahun 1966. Ketika alam Orde Baru ditandai dengan kegiatan pembangunan di segala bidang, kehidupan pers kita pun mengalami

perubahan dengan sendirinya karena pers mencerminkan situasi dan kondisi dari kehidupan masyarakat di mana pers itu bergerak. Pers sebagai sarana penerangan/komunikasi

merupakan salah satu alat yang vital dalam proses pembangunan.

(4)

hak-hak asasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ciri-Ciri Pers Masa Orde Baru

v Kebebasan Terhadap Pers v Pers Masa itu Sangat Buram v Berkembangnya Dunia Pers

6. Masa Reformasi (21 Mei 1998-sekarang)

Di Era Reformasi, pemerintah mengeluarkan berbagai undang-undang yang benar-benar menjamin kebebasan Pers. Salah satu jasa pemerintahan B.J. Habibie pasca Orde Baru yang harus disyukuri ialah pers yang bebas. Pemerintahan Presiden Habibie mempunyai andil besar dalam melepaskan kebebasan pers, sekalipun barangkali kebebasan pers ikut merugikan posisinya sebagai presiden.

Ciri-Ciri Pers Masa Reformasi

v Kebebasan Mengeluarkan Pendapat (Pers adalah Hak Asasi Manusia) v Wartawan Mempunyai Hak Tolak

v Penerbit Wajib Memiliki SIUPP

v Perusahaan Pers Tidak Lagi Melibatkan Diri ke Departemen Penerangan untuk Mendapat SIUPP

Kesimpulan:

Komunikasi merupakan kebutuhan kodrati manusia, sehingga komunikasi cenderung menjadi persyaratan mutlak bagi kemajuannya, baik sebagai individu maupun sebagai anggota

masyarakat. Makin maju suatu masyarakat, makin berkembanglah lalu lintas komunikasi. Akibat perkembangan itu pula, masyarakat berusaha menemukan instrumen lain untuk media komunikasinya dan di antara media komunikasi itu adalah pers. Dan perkembangan pers di Indonesia dibagi dalam 6 Masa, yaitu:

1. Masa penjajahan

2. Masa Revolusi

3. Masa Demokrasi Liberal

4. Masa Demokrasi Terpimpin

5. Masa Orde Baru

6. Masa reformasi

Dan dalam pelaksanaanya memiliki beberapa perbedaan yang disesuaikan dengan ketekntuan dan peraturan yang berlaku.

Negara penganut system pers demokrasi. Sebelum menganut system pers ini, Negara kita mengalami beberapa revolusi dalam bidang pers. Tidak bisa dipungkiri pengaruh pers di Negara kita sangat besar. Perkembangannya pun juga termasuk sangat kompleks, dalam arti pers Indonesia terbagi menjadi beberapa periode dimana satu periode mewakili satu era/masa dimulai dari pers di masa kolonial hingga pers di era reformasi. Berikut ialah perkembangan Pers di Indonesia :

1. Pers di masa kolonial ( tahun 1744 sampai awal abad 19)

(5)

berbahasa Belanda, Cina, dan bahasa daerah. Namun, diketahui tahun 1776 surat kabar pertama Indonesia telah dibredel oleh pemerintah Belanda. Sampai pada pertengahan abad 19, terdapat 30 surat kabar Belanda, dan 27 surat kabar bahasa Indonesia dan satu surat kabar berbahasa Jawa.

2. Pers di masa pergerakan (1908 - 1942)

Ketika awal berdirinya Boedi Oetomo, pers Indonesia bisa dibilang sebagai alat perjuangan bagi rakyat indonesia. Pers di Indonesia berfungsi untuk perjuangan dan alat penentu nasib (memperbaiki kedudukan dan nasib) anak bangsa. Hingga akhir masa

colonial , terdapat 33 surat kabar berbahasa Indonesia (47.000 eksemplar) dan 27 surat kabar yang dibredel. Beberapa surat kabar yang beredar saat itu ialah :

Harian Sedio Tomo sebagai kelanjutan harian Budi Utomo terbit di Yogyakarta didirikan bulan Juni 1920.

Harian Darmo Kondo terbit di Solo dipimpin Sudarya Cokrosisworo. Harian Utusan Hindia terbit di Surabaya dipimpin HOS Cokroaminoto. Harian Fadjar Asia terbit di Jakarta dipimpin Haji Agus Salim.

Majalah mingguan Pikiran Rakyat terbit di Bandung dipimpin Ir. Soekarno. Majalah berkala Daulah Rakyat dipimpin Mocb. Hatta dan Sutan Syahrir.

3. Pers di masa Penjajahan Jepang (1942 - 1945)

Pers Indonesia pada pemerintah jepang mengalami perkembangan, dengan belajar tentang kemampuan media massa dalam mobilisasi massa untuk tujuan tertentu berarti telah

memperluas wawasan rakyat Indonesia. Pada era ini pers Indonesia mengalami kemajuan dalam hal teknis namun juga mulai diberlakukannya izin penerbitan pers. Dalam masa ini surat kabar berbahasa Belanda diberangus dan beberapa surat kabar baru diterbitkan

meskipun dikontrol ketat oleh Jepang. Selain itu Jepang juga mendirikan Jawa Shinbun Kai dan cabang kantor berita Domei dengan menggabungkan dua kantor berita yang ada di Indonesia yakni Aneta dan Antara.

Selama masa ini, terbit beberapa media (harian), yaitu: Asia Raya di Jakarta

Sinar Baru di Semarang Suara Asia di Surabaya Tjahaya di Bandung

Pers nasional masa pendudukan Jepang mengalami penderitaan dan pengekangan lebih dari zaman Belanda. Namun begitu, hal ini justru memberikan banyak keuntungan bagi pers Indonesia, diantaranay adalah Pengalaman karyawan pers Indonesia bertambah. Adanya pengajaran bagi rakyat agar berpikir kritis terhadap berita yang disajikan oleh sumber resmi Jepang, serta meluasnya penggunaan bahasa Indonesia.

4. Pers di masa revolusi fisik (1945 - 1949)

Periode ini antara tahun 1945 sampai 1949 saat itu bangsa Indonesia berjuang

mempertahankan kemerdekaan yang baru diraih tanggal 17 Agustus 1945. Belanda ingin kembali menduduki sehingga terjadi perang mempertahankan kemerdekaan. Saat itu pers terbagi menjadi dua golongan yaitu:

 Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh tentara Sekutu dan Belanda yang dinamakan Pers

Nica (Belanda).

(6)

5. Era pers partisan

Era ini berlangsung dari 1945-1957. Setelah terkena euphoria kemerdekaan terjadilah

persaingan keras antara kekuatan politik sehingga pers Indonesia mengalami perubahan sifat dari pers perjuangan menjadi pers partisan. Pers pada era ini sekedar menjadi corong partai politik.

Ada tiga jenis suratkabar dalam era ini yakni, surat kabar republikein yang mengobarkan aksi kemerdekaan dan semangat anti Jepang, surat kabar belanda, dan surat kabar Cina.

6. Pers dimasa Orde Lama atau Pers Terpimpin (1957 - 1965)

Lebih kurang 10 hari setelah Dekrit Presiden RI menyatakan kembali ke UUD 1945, tindakan tekanan pers terus berlangsung, yaitu pembredelan terhadap kantor berita PIA dan surat kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po dilakukan oleh penguasa perang Jakarta. Hal ini tercermin dari pidato Menteri Muda Penerangan Maladi dalam menyambut HUT Proklamasi Kemerdckaan RI ke-14, antara lain: “Hak kebebasan individu disesuaikan dengan hak kolektif seluruh bangsa dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak berpikir,

menyatakan pendapat, dan memperoleh penghasilan sebagaimana dijamin UUD 1945 harus ada batasnya: keamanan negara, kepentingan bangsa, moral dan kepribadian Indonesia, serta tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa”.

Awal tahun 1960 penekanan kebebasan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda Maladi bahwa “langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat kabar, majalah-majalah, dan kantor-kantor berita yang tidak menaati peraturan yang diperlukan dalam usaha

menerbitkan pers nasional”. Masih tahun 1960 penguasa perang mulai mengenakan sanksi-sanksi perizinan terhadap pers.

Tahun 1964 kondisi kebebasan pers makin buruk: digambarkan oleh E.C. Smith dengan mengutip dari Army Handbook bahwa Kementerian Penerangan dan badan-badannya mengontrol semua kegiatan pers. Perubahan ada hampir tidak lebih sekedar perubahan sumber wewenang, karena sensor tetap ketat dan dilakukan secara sepihak.

7. Pers di era demokrasi Pancasila dan Orde lama

Awal masa kepemimpinan pemerintahan Orde Baru bahwa akan membuang jauh-jauh praktik demokrasi terpimpin dan mengganti demokrasi Pancasila. Pernyataan ini membuat semua tokoh bangsa Indonesia menyambut dengan antusias sehingga lahirlah istilah pers Pancasila. Pemerintah Orde Baru sangat menekankan pentingnya pemahaman tentang pers pancasila. Dalam rumusan Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984), pers pancasila adalah pers Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkab lakunya didasarkan nilai-nilai pancasila dan UUD’45 Hakikat pers pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif.

Masa “bulan madu” antara pers dan pemerintah ketika dipermanis dengan keluarnya Undang-Undang Pokok Pers (UUPP) Nomor II tahun 1966, yang dijamin tidak ada sensor dan

pembredelan, serta penegasan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menerbitkan pers yang bersifat kolektif dan tidak diperlukan surat ijin terbit. Kemesraan ini hanya

(7)

Lima Belas Januari 1974), kebebasan pers mengalami set-back (kembali seperti zaman Orde Lama).

8. Pers di masa Transisi (sebelum Reformasi)

Era ini terjadi pada akhir tahun 1980 an dimana situasi politik mulai berubah. Faktor yang melatarblekangi perubahan ini antara lain adalah kaenyataan bahwa Soeharto akan mencapai usia 70 tahun dalam 1991 sehingga muncul perkiraan bahwa perubahan di rezim orde baru hanya soal waktu. Namun tak ada yang berubah dalam kebijakan pers karean lembaga SIUPP yang mengontrol pers dengan ketat tidak dihapus.

Pers dimata negara memiliki peranan sebagai pendorong kesatuan nasional dan pembangunan sambil menrapkan system perijinan. Pemerintah juga tidak menjamin dengn tegas kebebasan pers di Indoensia, hal ini terbukti dengan kontrol ketat pemerintah dengan mendirikan dewan pers dan PWI, selain itu pemerintah juga ikut campur tangan dalam keredaksian.

Dalam pemerintahan Orde Baru ini setidaknya ada tiga macam cara yang digunakan wartawan untuk menghindari peringatan dan atau pembredeilan dari pemrintah, yakni eufimisme, jurnalisme rekaman dan jurnalisme amplop.

Teknik eufeumisme adalah teknik mengungkapkan fakta secara tersirat bukan tersurat. Penggunaan kata-kata ini adalah upaya meringankan akibat politik dari suatu pemberitaan. Fakta dalam sebuah berita berbahaya senantiasa ditup oleh pers dengan ungkapan yang sopan.

Jurnalisme rekaman adalah budaya wartawan untuk mentranskrip setepat-tepatnya apa yang dikatakan sumber berita dan tidak mengertikannya sendiri. Budaya ini tentu saja membuat wartwan Indonesia semakin malas.

Jurnalisme amplop adalah budaya pemberian amplop bagi wartawan oleh sumber berita. Meskipun pemberian ini dikecam dan berusah dihindari namun pada prakteknya tetap saja terjadi.

Pada masa orde baru ini juga diketemukan adanya monopoli media massa oleh keluraga para pejabat. Hal ini tentu saja membuat sudut pandang pemberitaan yang hampir sama dan sangat berhati-hati karena takut menyinggung pemilik saham.

Pada awal tahun 1990-an pemerintah mulai bersikap terbuka, begitupun dengan pers

meskipun tetap harus bersikap hati-hati. Keterbukaan ini merupakan pengaruh dari perubahan situasi politik di Indonesia dan juga tuntutan pembaca kelas menengah yang jumlahnya semkain banyak di Indonesia.

Pada 21 Juni 1994 pemerintah Indonesia membredel tiga mingguan terkemuka yaitu Tempo, Editor dan Detik. Ada tiga teori tentang pembredelan tersebut yakni teori permusuhan Habibie-Tempo, dalam kasus ini Tempo memberitakan rencana produksi pesawat terbang dan pembelian bekas kapal perang yang mengkritik habibie, teori intrik politik yang berspekulasi bahwa ketiga penerbitan itu bekerjasama dengan Benni Moerani dan

(8)

Indonesia.Sebagai penyelesaian kasus pembredelan ini menteri penerangan mengeluarkan dua izin penerbitan baru untuk menampung wartawan yang kehilangan pekerjaannya.

9. Pers di masa pasca Reformasi

Pada tanggal 21 Mei 1998 orde baru tumbang dan mulailah era reformasi. Tuntutan reformasi bergema ke semua sektor kehidupan, termasuk sektor kehidupan pers. Selama rezim orde lama dan ditambah dengan 32 tahun di bawah rezim orde baru, pers Indonesia tidak berdaya karena senantiasa ada di bawah bayang-bayang ancaman pencabutah surat izin terbit. Di awal reformasi banyak bermunculan penerbitan pers atau koran, majalah, atau tabloid baru. Di Era reformasi pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Hal ini disambut gembira dikalangan pers, karena tercatat beberapa kemajuan penting

dibanding dengan undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers (UUPP).

Dalam Undang-Undang ini, dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara (pasal 4). Itulah sebabnya mengapa tidak lagi disinggung perlu tidaknya surat ijin terbit, yaitu terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran sebagaimana tercantum dalam pasal 4 ayat 2.

Pada masa reformasi, Undang-Undang tentang pers No. 40 1999, maka pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:

 Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi.

 Menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi

manusia, serta menghormati kebhinekaan.

 Mengembangkan pendapat umum berdasar informasi yang tepat, akurat, dan benar.

 Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan

kepentingan umum.

 Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan

mempunyai hak tolak. Tujuannya agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hal ini digunakan jika wartawan dimintai keterangan pejabat penyidik atau dimintai mnejadi saksi di pengadilan.

Perkembangan Pers di Indonesia | Tak dapat dipungkiri, bahwa pers sangat berpengaruh

terhadap bangsa ini, mulai dari kemerdekaan, pengakuan kedaulatan, sampai kini msa

reformasi, semuanya dipengaruhi ole pers. maka tak heran jika dunia Pers memegang peranan penting dalam perjalanan bangsa ini.

Perkembangan Pers di indonesia pun bisa dibilang sebagai salah satu perkembangan pers paling kompleks, kenapa? karena perkembangan Pers di Indonesia terbagi menjadi beberapa periode, dimana setiap periodenya mewakili satu masa atau era.

1. Pers di Era Kolonial (tahun 1744 sampai awal abad 19)

(9)

Dalam era ini dapat diketahui bahwa Bataviasche Nuvelles en politique Raisonnementen yang terbit pada Agustus 1744 di Batavia (Jakarta) merupakan surat kabar pertama di Indonesia. Namun pada Juni 1776 surat kabar ini dibredel. Sampai pertengahan abad 19, setidaknya ada 30 surat kabar yang dterbitkan dalam bahasa Belanda, 27 suratkabar berbahasa Indonesia dan satu surat kabar berbahasa Jawa.

2. Pers di masa pergerakan (1908 - 1942)

Setelah muncul pergerakan modern Budi Utomo tanggal 20 Mei 1908, surat kabar yang dikeluarkan orang Indonesia lebih berfungsi sebagai alat perjuangan. Pers saat itu merupakan “terompet” dari organisasi pergerakan orang Indonesia. Pers menjadi pendorong bangsa Indonesia dalam perjuangan memperbaiki nasib dan kedudukan bangsa. Contoh harian yang terbit pada masa pergerakan, antara lain:

 Harian Sedio Tomo sebagai kelanjutan harian Budi Utomo terbit di Yogyakarta didirikan bulan Juni 1920.

 Harian Darmo Kondo terbit di Solo dipimpin Sudarya Cokrosisworo.

 Harian Utusan Hindia terbit di Surabaya dipimpin HOS Cokroaminoto.

 Harian Fadjar Asia terbit di Jakarta dipimpin Haji Agus Salim.

 Majalah mingguan Pikiran Rakyat terbit di Bandung dipimpin Ir. Soekarno.

 Majalah berkala Daulah Rakyat dipimpin Mocb. Hatta dan Sutan Syahrir.

Hingga menjelang berakhirnya masa kekuasaan kolonial, terdapat 33 suratkabar dan majalah berbahasa Indonesia dengan tiras keseluruhan sekitar 47.000 eksemplar.

Dalam era ini juga tercatat bahwa 27 surat kabar kaum nasionalis dibreidel pemerintah pada tahun 1936 karena adanya ordonansi pers untuk membatasi kebangkitan gerakan nasionalis.

3. Pers di masa Penjajahan Jepang (1942 - 1945)

Era ini berlangsung dari 1942 hingga 1945, yakni selama penjajahan Jepang. Selam periode ini situasi politik Indonesia mengalami perubahan yang radikal. Dalam era ini juga pers Indonesia belajar tentang kemapuan media massa sebagi alat mobilisasi massa untuk tujuan tertentu. Pada era ini pers Indonesia mengalami kemajuan dalam hal teknis namun juga mulai diberlakukannya izin penerbitan pers.

Dalam masa ini surat kabar berbahasa Belanda diberangus dan beberapa surat kabar baru diterbitkan meskipun dikontrol ketata oleh Jepang. Selain itu Jepang juga mendirikan Jawa Shinbun Kai dan cabang kantor berita Domei dengan menggabungkan dua kantor berita yang ada di Indonesia yakni Aneta dan Antara.

Selama masa ini, terbit beberapa media (harian), yaitu:

 Asia Raya di Jakarta

 Sinar Baru di Semarang

 Suara Asia di Surabaya

 Tjahaya di Bandung

(10)

Indonesia, diantaranay adalah Pengalaman karyawan pers Indonesia bertambah, Adanya pengajaran bagi rakyat agar berpikir kritis terhadap berita yang disajikan oleh sumber resmi Jepang, serta meluasnya penggunaan bahasa Indonesia.

4. Pers di masa revolusi fisik (1945 - 1949)

Periode ini antara tahun 1945 sampai 1949 saat itu bangsa Indonesia berjuang

mempertahankan kemerdekaan yang baru diraih tanggal 17 Agustus 1945. Belanda ingin kembali menduduki sehingga terjadi perang mempertahankan kemerdekaan. Saat itu pers terbagi menjadi dua golongan yaitu:

 Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh tentara Sekutu dan Belanda yang dinamakan Pers Nica (Belanda).

 Pers yang terbit dan diusahakan oleh orang Indonesia atau disebut Pers Republik. Kedua golongan pers ini sangat berlawanan. Pers Republik yang disuarakan kaum Republik berisi semangat mempertahankan kemerdekaan dan menentang usaha pendudukan sekutu. Pers Nica berusaha mempengaruhi rakyat agar menerima kembali Belanda.

5. Era pers partisan

Era ini berlangsung dari 1945-1957. Setelah terkena euphoria kemerdekaan terjadilah

persaingan keras antara kekuatan politik sehingga pers Indonesia mengalami perubahan sifat dari pers perjuangan menjadi pers partisan. Pers pada era ini sekedar menjadi corong partai politik.

Ada tiga jenis suratkabar dalam era ini yakni, surat kabar republikein yang mengobarkan aksi kemerdekaan dan semangat anti Jepang, surat kabar belanda, dan surat kabar Cina.

5. Pers dimasa Orde Lama atau Pers Terpimpin (1957 - 1965)

Lebih kurang 10 hari setelah Dekrit Presiden RI menyatakan kembali ke UUD 1945, tindakan tekanan pers terus berlangsung, yaitu pembredelan terhadap kantor berita PIA dan surat kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po dilakukan oleh penguasa perang Jakarta. Hal ini tercermin dari pidato Menteri Muda Penerangan Maladi dalam menyambut HUT Proklamasi Kemerdckaan RI ke-14, antara lain: “Hak kebebasan individu disesuaikan dengan hak kolektif seluruh bangsa dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak berpikir,

menyatakan pendapat, dan memperoleh penghasilan sebagaimana dijamin UUD 1945 harus ada batasnya: keamanan negara, kepentingan bangsa, moral dan kepribadian Indonesia, serta tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa”.

Awal tahun 1960 penekanan kebebasan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda Maladi bahwa “langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat kabar, majalah-majalah, dan kantor-kantor berita yang tidak menaati peraturan yang diperlukan dalam usaha

menerbitkan pers nasional”. Masih tahun 1960 penguasa perang mulai mengenakan sanksi-sanksi perizinan terhadap pers.

Tahun 1964 kondisi kebebasan pers makin buruk: digambarkan oleh E.C. Smith dengan mengutip dari Army Handbook bahwa Kementerian Penerangan dan badan-badannya mengontrol semua kegiatan pers. Perubahan ada hampir tidak lebih sekedar perubahan sumber wewenang, karena sensor tetap ketat dan dilakukan secara sepihak.

(11)

Awal masa kepemimpinan pemerintahan Orde Baru bahwa akan membuang jauh-jauh praktik demokrasi terpimpin dan mengganti demokrasi Pancasila. Pernyataan ini membuat semua tokoh bangsa Indonesia menyambut dengan antusias sehingga lahirlah istilah pers Pancasila. Pemerintah Orde Baru sangat menekankan pentingnya pemahaman tentang pers pancasila. Dalam rumusan Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984), pers pancasila adalah pers Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkab lakunya didasarkan nilai-nilai pancasila dan UUD’45 Hakikat pers pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif.

Masa “bulan madu” antara pers dan pemerintah ketika dipermanis dengan keluarnya Undang-Undang Pokok Pers (UUPP) Nomor II tahun 1966, yang dijamin tidak ada sensor dan

pembredelan, serta penegasan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menerbitkan pers yang bersifat kolektif dan tidak diperlukan surat ijin terbit. Kemesraan ini hanya

berlangsung kurang lebih delapan tahun karena sejak terjadinya “Peristiwa Malari” (Peristiwa Lima Belas Januari 1974), kebebasan pers mengalami set-back (kembali seperti zaman Orde Lama).

7. Pers di masa Transisi (sebelum Reformasi)

Era ini terjadi pada akhir tahun 1980 an dimana situasi politik mulai berubah. Faktor yang melatarblekangi perubahan ini antara lain adalah kaenyataan bahwa Soeharto akan mencapai usia 70 tahun dalam 1991 sehingga muncul perkiraan bahwa perubahan di rezim orde baru hanya soal waktu. Namun tak ada yang berubah dalam kebijakan pers karean lembaga SIUPP yang mengontrol pers dengan ketat tidak dihapus.

Pers dimata negara memiliki peranan sebagai pendorong kesatuan nasional dan pembangunan sambil menrapkan system perijinan. Pemerintah juga tidak menjamin dengn tegas kebebasan pers di Indoensia, hal ini terbukti dengan kontrol ketat pemerintah dengan mendirikan dewan pers dan PWI, selain itu pemerintah juga ikut campur tangan dalam keredaksian.

Dalam pemerintahan Orde Baru ini setidaknya ada tiga macam cara yang digunakan wartawan untuk menghindari peringatan dan atau pembredeilan dari pemrintah, yakni eufimisme, jurnalisme rekaman dan jurnalisme amplop.

Teknik eufeumisme adalah teknik mengungkapkan fakta secara tersirat bukan tersurat. Penggunaan kata-kata ini adalah upaya meringankan akibat politik dari suatu pemberitaan.. Fakta dalam sebuah berita berbahaya senantiasa ditup oleh pers dengan ungkapan yang sopan.

Jurnalisme rekaman adalah budaya wartawan untuk mentranskrip setepat-tepatnya apa yang dikatakan sumber berita dan tidak mengertikannya sendiri. Budaya ini tentu saja membuat wartwan Indonesia semakin malas.

Jurnalisme amplop adalah budaya pemberian amplop bagi wartawan oleh sumber berita. Meskipun pemberian ini dikecam dan berusah dihindari namun pada prakteknya tetap saja terjadi.

(12)

berhati-hati karena takut menyinggung pemilik saham.

Pada awal tahun 1990-an pemerintah mulai bersikap terbuka, begitupun dengan pers

meskipun tetap harus bersikap hati-hati. Keterbukaan ini merupakan pengaruh dari perubahan situasi politik di Indonesia dan juga tuntutan pembaca kelas menengah yang jumlahnya semkain banyak di Indonesia.

Pada 21 Juni 1994 pemerintah Indonesia membredel tiga mingguan terkemuka yaitu Tempo, Ediotr dan Detik. Ada tiga teori tentang pembreidelan tersebut yakni teori permusuhan Habibie-Tempo, dalam kasus ini Tempo memberitakan rencana produksi pesawat terbang dan pembelian bekas kapal perang yang mengkritik habibie, teori intrik politik yang

berspekulasi bahwa ketiga penerbitan itu bekerjasam dengan Benni Moerani dan pengikutnya di ABRI untuk menjatuhkan dan menyingkirkan Habibie dan teori Intimiasi yang

berspekulasi bahwa kepemimpinan nasional ingin memperlambat laju perubahan masayrakat dan media yang semkain bergerak menuju kebebasan yang lebih lebar. Pembreidelan ini mengakibatkan terjadinya protes dan demo di kalangan wartawan Indonesia.

Sebagai penyelesaian kasus pembreidelan ini menteri penerangan mengelurakan dua izin penrbitan baru untuk menmpung wartawan yang kehilangan pekerjaannya yakni mingguan Gtra untuk ex-Tempo dan Tiras untuk wartawan eks Editor.

Pasca pembreidelan inilah yang merupakan titik balik kondisi pers Indonesia karena wartawan-wartawannya mulai cenderung memberontak pada pemerintah meskipun dengan cara yang berbeda-beda. Meski demikian SIUPP tetap merupakan ganjalan terbesar dalam kehidupan pers Indonesia saat itu.

8. Pers di masa pasca Reformasi

Pada tanggal 21 Mei 1998 orde baru tumbang dan mulailah era reformasi. Tuntutan reformasi bergema ke semua sektor kehidupan, termasuk sektor kehidupan pers. Selama rezim orde lama dan ditambah dengan 32 tahun di bawah rezim orde baru, pers Indonesia tidak berdaya karena senantiasa ada di bawah bayang-bayang ancaman pencabutah surat izin terbit.

Sejak masa reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasan pers. Hal ini sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan, dan demokrasi yang diperjuangkan rakyat Indonesia. Akibatnya, awal reformasi banyak bermunculan penerbitan pers atau koran, majalah, atau tabloid baru. Di Era reformasi pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Hal ini disambut gembira dikalangan pers, karena tercatat beberapa kemajuan penting dibanding dengan undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers (UUPP).

Dalam Undang-Undang ini, dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara (pasal 4). Itulah sebabnya mengapa tidak lagi disinggung perlu tidaknya surat ijin terbit, yaitu terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran sebagaimana tercantum dalam pasal 4 ayat 2.

Pada masa reformasi, Undang-Undang tentang pers No. 40 1999, maka pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:

(13)

 Menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.

 Mengembangkan pendapat umum berdasar informasi yang tepat, akurat, dan benar.

 Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.

 Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak. Tujuannya agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hal ini digunakan jika wartawan dimintai

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis data dapat diketahui bahwa dari 12 saham perusahaan yang dijadikan sampel, terdapat 2 saham yang masuk dalam kandidat portofolio optimal dengan model

Kuesioner disusun menggunakan lima alternatif jawaban dengan alternatif jawaban yang tersedia adalah (1) Sangat tidak rinci, (2) Tidak rinci, (3) Netral, (4) Rinci, dan

Metode seleksi di rumah kaca pada bibit umur 10 hari dapat dijadikan sebagai metode uji cepat tanaman padi terhadap cekaman rendaman pada fase vegetatif

Indosat cabang arta graha dan untuk menentukan apakah dengan membuka 3 loket optimal yang harus dioperasikan pada sibuk dan hari Biasa dalam rangka meningkatkan kepuasan

Press.. Sejalan dengan tujuan otonomi daerah dan pemekaran Kabupaten Labuhanbatu Selatan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka menarik untuk dikaji kebijakan apa saja yang

Jakarta: Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

trated in the cross-country comparison work of Park 1993 , developed countries have to a large extent achieved the decoupling of industrial production and energy use, while

Konsep tentang tindak pidana perzinaan menurut Hukum Islam jauh berbeda dengan sistem Hukum Barat, karena dalam Hukum Islam, setiap hubungan seksual yang diharamkan itulah zina,