PENGARUH AFTA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA Oleh
Khairunnisa
Latar Belakang
Liberalisasi perdagangan sudah menjadi fenomena yang nyaris tidak dapat dihindari oleh semua Negara sebagai anggota masyarakat internasional dimana fenomena ini ditengarai oleh terbentuknya blok blok perdagangan bebas, salah satunya blok perdagangan bebas yang dibentuk secara regional seperti ASEAN Free Trade Area (AFTA).Ancaman dari pembentukan kerja sama ekonomi regional pada berbagai wilayah didunia mendorong ASEAN untuk maju pada langkah pembentukan AFTA1, dimana dalam hal ini ASEAN sebagai sebuah kelompok Negara berupaya
memperkuat posisinya dalam system perdagangan global melalui kerja sama yang baik dengan tujuan untuk menjadikan kawasan ASEAN sebagai tempat produksi yang kompetitif sehingga produk ASEAN memiliki daya saing yang kuat di pasar global.2
Bagi Indonesia, AFTA merupakan peluang pasar yang besar dan luas dengan penduduk yang beragam. Hal ini membuat para pelaku usaha tersebut berupaya mendapatkan pasar untuk mempromosikan produk-produknya selain di pasar dalam negeri. Selain itu,AFTA diharapkan juga dapat meningkatkan daya saing melalui produk-produk yang dihasilkanyang akan mendorong perekonomian Indonesia untuk semakin berkembang. Sebagai suatu system perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara, AFTA tentunyaakan menimbulkan hubungan interdependensi dan akan membawa pengaruh terhadap perekonomian Negara anggota khususnya Indonesia, dimana lalu lintas perdagangan akan bebas tanpa hambatan tarif bea masuk maupun nontariff. 3 Berkaitan dengan hal tersebut maka menjadi menarik untuk dibahas
mengenai pengaruh AFTA terhadap perekonomian Indonesia yang tentunya dengan perekonomian yang bersifat terbuka dan prinsip liberalisasi perdagangan maka menjadi suatu tantangan bagi Indonesia untuk dapat meningkatkan perekonomiannya melalui AFTA.
Landasan Konsep
Perspektif ekonomi liberal terikat pada prinsip pasar bebas dan intervensi negara yang minim (laissez faire; to leave it alone) meskipun hubungan antara negara dan pasar berbeda-beda bagi setiap pemikir liberal. Namun, bagaimanapun juga, peran negara sebagai pelindung sekaligus pengawas kinerja pasar tetap berlaku.4 Adam Smith melandaskan teorinya pada konsep
keunggulan absolut (absolute advantage) dengan pendekatan bahwa setiap negara harus memiliki spesialisasi mengenai produk apa yang mampu dilakukan dengan kualitas terbaik untuk dapat menjadi bangsa yang makmur dari sudut pandang ekonomi melalui penyaluran hasil produksi ke pasar bebas. Prinsip-prinsip inilah yang kemudian dikembangkan oleh Ricardo yang dikenal sebagai hukum keunggulan komparatif atau comparative advantage sebagai perpanjangan dari adanya spesialisasi produksi setiap negara. Ricardo mengemukakan pemikiran bahwa perdagangan internasional sangat dipengaruhi oleh hubungan relatif dengan harga barang dan jasa, yang memberikan implikasi bahwa setiap negara harus melakukan spesialisasi produksi terhadap produk barang yang bisa diciptakan dengan harga terendah dibandingkan dengan
1 Prabowo, D. et al, 2005, AFTASuatu Pengantar. Jakarta: BPFE, hal 197 2 Ibid hal 198
3 Bismar Nasution, 2003, Implikasi AFTA Terhadap Kegiatan Investasi dan Hukum Investasi Indonesia dalam
Jurnal Hukum Bisnis Volume 22, Jakarta, hal 1
4 John Gerar Ruggie, 1982, “International Regimes, Transactions, and Change : Embedded Liberalism in the
ongkos produksi yang harus dikeluarkan oleh negara lain.Dengan begitu, bukan hanya keunggulan absolut saja yang dibutuhkan negara untuk ikut terlibat langsung secara aktif dalam perdagangan internasional, melainkan juga harus diiringi dengan adanya keunggulan komparatif.5
Adapun teori Interdependensi atau saling ketergantungan merupakan sebuah teori yang lahir dari perspektif liberalis yang terdapat dalam hubungan internasional. Interdepedensi akan menciptakan dunia hubungan internasional yang jauh lebih kooperatif dan menguntungkan bagi pihak – pihak yang berinteraksi di dalamnya. Saling ketergantungan mengacu pada situasi yang dikarakteristikan dengan adanya efek resiprokal antara negara atau antara aktor negara yang berbeda, dimana efek ini sering kali merupakan hasil dari transaksi internasional, yaitu aliran arus barang, uang, manusia dan informasi yang melewati batas negara. Dalam interdependensi keberhasilan suatu negara dalam bekerjasama berpijak pada dua hal yakni power dan kemampuan tawar menawar (bargaining position), dan rezim internasional. Dalam hal ini,
power aktor dalam hubungan interdependensi akan beragam sesuai dengan isunya. Kemudian, rezim internasional akan bertumpu pada saling ketergantungan asimetris yang menyediakan setiap pihak untuk saling mempengaruhi melalui kebijakankebijakan ekonomi politiknya dalam mencapai kesepakatan di antara mereka.6
Pembahasan
Pembangunan kekuatan ekonomi regional dengan membuka pasar bebas oleh Negara anggota ASEAN melalui AFTA menunjukkan adanya hubungan asosiasi dengan perspektif liberal dimana perspektif liberalisme memandang bahwa individu atau pemilik usaha dalam kegiatan ekonomi sebagai aktor utama yang membuat keputusan baik dalam hal ekonomi maupun politik.7 Hal tersebut dapat terlihat pada sikap ASEAN dalam AFTA maupun
perjanjian-perjanjian sebelum AFTA yang bersifat membuka jalan bagi perdagangan bebas intra ASEAN. Walaupun ASEAN tetap mementingkan peran negara cukup besar namun ASEAN memastikan terbukanya jalan kerjasama ekonomi intra ASEAN yang diharapkan juga akan membuat perkembangan dan menyiapkan negara-negara anggota siap untuk melakukan kerjasama dengan negara non-ASEAN.
Pengaruh AFTA terhadap perekonomian Indonesia
Meskipun pemberlakuan AFTA berefek positif pada perdagangan di negara-negara Asia Tenggara tetapi hingga tahun 2004 iklim perdagangan intra ASEAN ternyata tidak juga mengalami peningkatan yang signifikan.8 Indonesia sebagai salah satu negara ASEAN yang
memiliki pasar yang luas, tentu menempati posisi strategis bagi para produsen. Posisi Indonesia sebagai salah satu negara yang masih dalam tahapan negara berkembang menjadikannya sebagai negara yang perlu mendapat perhatian. Pasalnya, sejak terkena krisis ekonomi tahun 1997, perekonomian Indonesia belum mengalami perbaikan signifikan. Publikasi tahunan statistik Indonesia memberikan bukti empiris bahwa sejak resesi ekonomi, semua pendapatan agregat dan per orang mengalami pertumbuhan negative.9
5 Robert Gilpin, 1987, The Political Economy of International Relations, Brighton: Princeton University Press, hal.
175
6Anak Agung B Perwita dan Yanyan M Yani, 2005, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, Bandung: Penerbit
Remaja Rosdakarya, hal 78
7 David N. Balaam dan Michael Beseth, 2008, Introduction to International Political Economy, Fourth Edition, New
Jersey: Pearson Prentice Hall, hal. 420
8http://www.us-asean.org/afta.asp diakses pada 20 Mei 2014
Hal tersebut ditunjukkan dengan kondisi Indonesia yang masih mengandalkan resource abundant dan ketergantungan pada sumber daya alam, adapun pada sektor industri, Indonesia masih sangat tergantung pada labour intensivedan tambah dengan kualitas sumber daya manusia yang kurang memadai dan ketersediaan infrastruktur yang belum merata di seluruh wilayah Indoneisia.10 Ditambah lagi ternyata perkembangan pangsa ekspor Indonesia ke ASEAN
dibandingkan dengan total ekspor tidak menunjukkan perkembangan berarti, yaitu dari 13,6 persen pada awal pembentukan AFTA 1993 menjadi 18,2 persen pada 2004 dengan rata-rata peningkatan 9,9 persen. Pada perkembangan investasi ke kawasan ASEAN pun Indonesia mengalami arus negatif. Selama lima tahun berturut-turut sejak 1999 hingga 2004, Indonesia menempati posisi ketujuh setelah enam negara ASEAN 6 dan Vietnam.11
Tantangan yang dihadapi Indonesia dalam AFTA
Terdapat beberapa tantangan yang dihadapi Indonesia dalam AFTA diantaranya: (a) laju inflasi, dimana laju inflasi Indonesia masih tinggi dibandingkan negara ASEAN lainnya; (b)laju peningkatan kkspor dan impor, dimana perdagangan Indonesia defisit terhadap beberapa negara ASEAN. Selain itu, juga terdapat ancaman lain dari China yang mempunyai daya saing dalam sektor industri petrokimia hulu, baja, tekstil dan produk tekstil, alas kaki serta elektronik yang harganya relatif lebih murah dibandingkan dengan produk Indonesia; (c) kesamaan produk, dimana Indonesia harus meningkatkan nilai tambah bagi produk ekspornya sehingga mempunyai karakteristik tersendiri dibandingkan negara ASEAN lainnya; (d) daya saing SDM, dimana Hard skill dan soft skill tenaga kerja Indonesia yang masih kurang dibandingkan negara ASEAN yang lain; (e) dampak negatif arus modal yang lebih bebas, dimana dampak negatif dari arus modal yang lebih bebas dapat mengakibatkan terjadinya konsentrasi aliran modal ke negara tertentu yang dianggap memberikan potensi keuntungan lebih menarik. Hal ini dapat menimbulkan resiko tersendiri bagi stabilitas makroekonomi Indonesia; (f) kedaulatan negara, dimana kewenangan suatu negara untuk menggunakan kebijakan fiskal, keuangan dan moneter untuk mendorong kinerja ekonomi dalam negeri akan dibatasi dengan adanya integrasi ekonomi ASEAN. Hal ini merupakan pengorbanan yang besar bagi bangsa Indonesia khususnya, karena bagaimana mungkin tidak menggunakan kebijakan fiskal padahal Indonesia menargetkan pendapatan terbesar bangsa Indonesia yaitu dari sektor perpajakan.12
Alternatif yang dilakukan Indonesia dalam menghadapi AFTA
Interdependensi kompleks dapat terlihat secara jelas dalam kerjasama ekonomi sekaligus perjanjian ekonomi dalam AFTA (Asean Free Trade Area) diantara negara anggota ASEAN. Dalam kerjasama di AFTA, negara-negara anggota ASEAN bekerjasama secara kooperatif untuk memenuhi kebutuhan perekonomian negara anggota ASEAN. Jadi, negara-negara yang memiliki komoditas unggulan akan mengembangkan komoditas unggulannya tersebut untuk memenuhi kebutuhan perekonomiaan negara anggota ASEAN. Adapun dalam menghadapi AFTA, Indonesia diharapkan mampu meningkatkan daya saing agar dapat berkompetisi dengan Negara ASEAN lain salah satunya dengan memperbaiki infrastruktur, selain itu perlu juga
10Ibid, hal 268
11 Dwisaputra, R, 2007, Kerjasama Perdagangan Internasional: Kerjasama Perdagangan Regional, Jakarta: PT.
Elex Media Komputindo, hal 185
memperhatikan struktur produksi dan ekspor mana yang berbeda dengan Negara ASEAN lainnya (kebijakan perdagangan yang saling melengkapi).
Kesimpulan dan Saran
Ancaman dari pembentukan kerja sama ekonomi regional pada berbagai wilayah didunia mendorong ASEAN untuk maju pada langkah pembentukan AFTABagi Indonesia, AFTA merupakan peluang pasar yang besar dan luas dengan penduduk yang beragam. Hal ini membuat para pelaku usaha tersebut berupaya mendapatkan pasar untuk mempromosikan produk-produknya selain di pasar dalam negeri. Meskipun pemberlakuan AFTA berefek positif pada perdagangan di negara-negara Asia Tenggara tetapi hingga tahun 2004 iklim perdagangan intra ASEAN ternyata tidak juga mengalami peningkatan yang signifikan. Pasalnya, sejak terkena krisis ekonomi tahun 1997, perekonomian Indonesia belum mengalami perbaikan signifikan.Ditambah lagi ternyata perkembangan pangsa ekspor Indonesia ke ASEAN dibandingkan dengan total ekspor tidak menunjukkan perkembangan berarti, yaitu dari 13,6 persen pada awal pembentukan AFTA 1993 menjadi 18,2 persen pada 2004 dengan rata-rata peningkatan 9,9 persen. Pada perkembangan investasi ke kawasan ASEAN pun Indonesia mengalami arus negatif.
Terdapat beberapa tantangan yang dihadapi Indonesia dalam AFTA diantaranya laju inflasi, dimana laju inflasi Indonesia masih tinggi dibandingkan negara ASEAN lainnya, laju peningkatan kkspor dan impor, dimana perdagangan Indonesia defisit terhadap beberapa negara ASEAN, kesamaan produk, dimana Indonesia harus meningkatkan nilai tambah bagi produk ekspornya sehingga mempunyai karakteristik tersendiri dibandingkan negara ASEAN lainnya serta daya saing SDM, dimana Hard skill dan soft skill tenaga kerja Indonesia yang masih kurang dibandingkan negara ASEAN yang lain.
Sehingga dalam menghadapi AFTA, Indonesia diharapkan mampu meningkatkan daya saing agar dapat berkompetisi dengan Negara ASEAN lain salah satunya dengan memperbaiki infrastruktur, selain itu perlu juga memperhatikan struktur produksi dan ekspor mana yang berbeda dengan Negara ASEAN lainnya (kebijakan perdagangan yang saling melengkapi).
Anak Agung B Perwita dan Yanyan M Yani, 2005, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional,
Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya
Bismar Nasution, 2003, Implikasi AFTA Terhadap Kegiatan Investasi dan Hukum Investasi Indonesia dalam Jurnal Hukum Bisnis Volume 22, Jakarta
David N. Balaam dan Michael Beseth, 2008, Introduction to International Political Economy, Fourth Edition, New Jersey: Pearson Prentice Hall
Dwisaputra, R, 2007, Kerjasama Perdagangan Internasional: Kerjasama Perdagangan Regional, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo
http://www.us-asean.org/afta.asp diakses pada 20 Mei 2014
John Gerar Ruggie, “International Regimes, Transactions, and Change: Embedded Liberalism in the Postwar Economic Order,” International Organization Journal (1982), 36:2
Nurhemi, 2007. Kerjasama Perdagangan Internasional: Peluang dan Tantangan dalam Kerjasama Perdagangan Internasional. Jakarta: PT.Elex Media Komputindo
Prabowo, D. et al, 2005, AFTASuatu Pengantar. Jakarta: BPFE
Robert Gilpin, 1987, The Political Economy of International Relations, Brighton: Princeton University Press