19
TINJAUAN PUSTAKA
Industri Kayu
Industri kayu merupakan badan usaha yang mengelola kayu dan
menghasilkan suatu produk kayu sebagai objek dari seluruh rangkaian proses
produksi. Kayu merupakan salah satu produk alam selain minyak mentah, ikan,
biji besi, dan lain-lain sehingga dapat dikatakan sebagai produk alam yang sangat
terbatas pasokannya. Menurut Dumanaw (1999), kayu didefenisikan sebagai suatu
bahan yang diperoleh dari hasil pemungutan pohon-pohon di hutan sebagai bagian
dari suatu pohon. Dalam hal pengelolaannya lebih lanjut perlu diperhitungkan
secara cermat bagian-bagian kayu manakah yang dapat lebih banyak
dimanfaatkan untuk tujuan tertentu.
Menurut Risnasari (2001) industri pengolahan kayu di Sumatera Utara
mencakup industri kayu gergajian (sawmill), kayu lapis (plywood) dan pulp.
Industri sawmill, plywood dan pulp merupakan industri kayu hulu.
Industri-industri tersebut tidak hanya mengolah produk-produk yang siap dipasarkan,
tetapi juga mengolah kayu bulat menjadi produk yang dibutuhkan sebagai bahan
baku bagi industri-industri hilir seperti moulding dan meubel. Industri hilir ini
mengolah bahan baku tersebut menjadi barang jadi. Hasil terbaru mengenai
industri perkayuan menurut buku Statistik Kehutanan (2012) Rekapitulasi
IUPHHK kapasitas izin 6000m3 tahun 2011 di Provinsi Sumatera Utara disajikan
Tabel 1. Rekapitulasi jumlah IUPHHK kapasitas izin 6000m3 pengolahan kayu di Provinsi Sumatera Utara
No .
Jenis industri Jumlah unit usaha (buah) tahun 2011
1. Kayu lapis 0
Sumber : Buku Statistik Kehutanan (2012)
Sedangkan kapasitas produksi hasil hutan berdasarkan sumber produksi
kapasitas dia atas 6000m3 tahun 2011 di Provinsi Sumatera Utara disajikan pada
Tabel 2.
Tabel 2. Kapasitas produksi kayu di atas 6000m3 di Provinsi Sumatera Utara No
.
Jenis industri Kapasitas produksi (m3) tahun 2011
1. Kayu lapis (termasuk LVL)
60.427,34
2. Kayugergajian 110.828,00
3. Veener 2.653,00
4. Woodchips 0
5. Pulp 185.404,00
6. Kayu bulat 1.257.997,00
Jumlah 1.617.309,34
Sumber : Buku Statistik Kehutanan(2012)
Menurut Buku Statistik Kehutanan (2012) industri kayu gergajian
memiliki kapasitas produksi lebih banyak 110.828,00 dari industri kayu lapis
60.427,34 sedangkan menurut penelitian Risnasari (2001) pada tahun 1998
kapasitas produksi kayu gergajian lebih sedikit 666.800,00 daripada industri kayu
lapis 832.473,00. Hal ini disebabkan pada tahun 1998 adannya kebijakan
21
Industri pengolahan kayu di Provinsi Sumatera Utara tidak lepas dari
tenaga kerja yang dibutuhkan setiap perusahaan. Menurut Buku Statistik
Kehutanan (2012) tenaga kerja dibagi berdasarkan status kerja tenaga kerja
(harian, bulanan dan borongan). seperti disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. jumlah tenaga kerja industri pengolahan kayu di Provinsi Sumatera Utara No
.
Status tenaga kerja Jumlah tenaga kerja (orang)
1. Bulanan 347
2. Harian 257
3. Borongan 0
Jumlah 604
Sumber : Buku Statistik Kehutanan (2012)
Industri pengolahan kayu yang membutuhkan pasokan kayu bulat adalah
industri yang langsung mengolah kayu (industri pengoalahan kayu hulu) seperti
kayu industri penggergajian, pulp dan kayu lapis. Sedangkan industri pengolahan
kayu hilir seperti moulding dan meubel (furniture) mengolah bahan baku yang
berasal dari industri kayu gergajian. Dengan demikian berkembangnya industri
hilir sangat ditentukan oleh industri kayu hulu sebagai pemasok bahan baku. Jenis
kayu yang banyak digunakan adalah kayu meranti, pinus, dan karet (Risnasari,
2001).
Panglong menurut Alwi (2008) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
edisi ketiga memiliki definisi : perusahaan kayu yang diusahakan orang cina dan
kilang kayu (tempat penggergajian kayu). Panglong merupakan salah satu industri
pengolahan kayu yang termasuk dalam industri sekunder.
Jual beli kayu yang terus meningkat member peluang untuk pengusaha
dalam menciptakan badan usaha yang berbeda-beda sehingga mampu
menghasilkan keuntungan ekonomi bagi pendapatan daerah maupun pendapatan
Indonesia terdiri dari perusahaan perorangan, firma (FA), perseroan komanditer/
commanditer vennotschap (CV), perseroan terbatas (PT), badan usaha milik
Negara (BUMN) dan koperasi.
Dephutbun Provinsi Sumatera Utara dan Lembaga Pengabdian pada
Masyarakat USU (2000), menjelaskan bahwa ada beberapa faktor-faktor yang
berpengaruh dalam tumbuh dan berkembangnya suatu jenis industri adalah :
1. Faktor pendorong, yaitu faktor yang mampu merangsang dilakukannya
kegiatan industri oleh pihak–pihak tertentu (investor) sehubungan dengan
tersedianya sarana dan prasarana yang memungkinkan kegiatan tersebut
secara normal. Faktor-faktor tersebut antara lain: sumber bahan baku yang
terjamin, teknologi yang tersedia, tenaga kerja dan iklim berusaha yang
menunjang
2. Faktor-faktor yang mampu memacu pertumbuhan industri tersebut untuk
berkembang terus di masa yang akan datang, yaitu permintaan pasar dan
nilai tambah.
Industri Primer, Sekunder dan Tersier
Menurut Suryana (2012) berdasarkan sifat bahan mentah dan sifat
produksinya, industri dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
1. Industri primer adalah industri yang langsung mengolah bahan mentah
hasil sektor primer, baik dari sektor pertanian, peternakan, kehutanan,
perikanan, maupun pertambangan, tanpa perlu adanya pengolahan lebih
lanjut. Contohnya adalah hasil produksi pertanian, peternakan,
23
2. Industri sekunder adalah industri yang mengolah lebih lanjut hasil-hasil
industri lain (industri primer), bahan bakunya adalah barang setengah jadi
atau barang jadi yang diproduksi industri lain.
3. Industri tersier adalah industri yang hasilnya berupa layanan jasa yang
dapat mempermudah atau membantu kebutuhan masyarakat. Contohnya
seperti telekomunikasi, transportasi, perawatan kesehatan, pariwisata, dan
sebagainya.
Berdasarkan klasifikasi diatas industri panglong termasuk kedalam
industri sekunder. Panglong termasuk industri sekunder yang biasanya
memproduksi kayu gergajian hingga produk-produk yang terbuat dari kayu.
Industri sekunder ini dapat berada jauh dari sumber bahan baku. Misalnya saja
terdapat di perkotaan dan kayu gergajian yang biasa ditemui dan dikonsumsi
masyarakat misalnya dalam bentuk kaso, reng, papan, broti dan lain–lain. Industri
primer cenderung jauh dari perkotaan dan dekat dengan bahan baku. Hasil dari
industri primer berupa log kayu yang akan diolah untuk produk lanjutan (Suryana,
2012).
Profil Wilayah Kota Padangsidimpuan
Kota Padangsidimpuan merupakan salah satu kotamadya di Provinsi
Sumatera Utara. Memiliki penduduk 191.531 jiwa dengan areal seluas 146,86 km2
yang secara administratif dibagi atas 6 Kecamatan, seperti disajikan pada tabel 4.
Padangsidimpuan secara geografis terletak 1º08’-1º28’ Lintang Utara
99º13’-99º20’ Bujur Timur. Batas wilayah Kota Padangsidimpuan adalah sebelah
utara, berbatasan dengan Kecamatan Angkola Timur, Kabupaten Tapanuli
Kecamatan Angkola Selatan, Kabupaten Tapanuli Selatan. Sebelah barat,
berbatasan dengan Kecamatan Angkola Barat dan Kecamatan Angkola,
Kabupaten Tapanuli Selatan. Sebelah timur, berbatasan dengan Kecamatan
Angkola Timur, Kabupaten Tapanuli Selatan (BPS Padangsidimpuan, 2010).
Tabel 4. Luas wilayah kecamatan di Kota Padangsidimpuan
No. Kecamatan Luas (km2)
1. Padangsidimpuan Angkola Julu 28,18 2. Padangsidimpuan Batunadua 37,74 3. Padangsidimpuan Hutaimbaru 22,34
4. Padangsidimpuan Selatan 15,81
5. Padangsidimpuan Tenggara 27,69
6. Padangsidimpuan Utara 14,09
Total 146,86
Sumber BPS Kota Padangsidimpuan (2010)
Kebutuhan Masyarakat Terhadap Kayu
Produk dapat didefenisikan sebagai : Suatu sifat yang kompleks baik dapat
diraba maupun tidak dapat diraba, bungkus, warna, harga, nama perusahaan, jasa
perusahaan, yang diterima oleh pembeli untuk memuaskan keinginan atau
kebutuhannya. Barang industri merupakan barang yang memiliki sifat yang
berbeda dengan barang konsumsi. Barang industri dibutuhkan dan dibeli oleh
konsumen tidak untuk konsumsi sendiri, akan tetapi barang tersebut dibeli untuk
dipergunakannya sebagai alat usaha atau alat berproduksi lagi ataupun dijual
kembali dalam menjalankan usaha bisnisnya, baik bisnis yang
mempertimbangkan untung rugi atau pertimbangan biaya (Indriyo, 2001).
Penggunaan kayu dalam kehidupan manusia telah ada sejak dahulu, fungsi
kayu sangat beragam dan digunakan untuk berbagai keperluan dalam kehidupan
sehari-hari. Sehingga kayu masih dikonsumsi hingga saat ini. Kayu merupakan
komponen terpenting dalam pembangunan perumahan dan bangunan gedung
25
seperti perumahan atau struktur bangunan komersil berbahan dasar kayu (Sitorus,
2009).
Kayu sebagai Bahan Konstruksi
Menurut Wirjomartono (1977) dalam Sitorus (2009) bahan konstruksi
adalah bahan yang dipergunakan untuk mendukung beban dalam arti memerlukan
analisis perhitungan yang cukup cermat dan untuk kayu mencakup bahan-bahan
untuk kuda-kuda, jembatan, tiang pancang dan sebagainya. Sebagai bahan
konstruksi bangunan, kayu sudah dikenal dan banyak dipakai sebelum orang
memakai beton dan baja. Kayu tersebut harus memenuhi syarat:
1. Mampu menahan bermacam-macam beban yang bekerja dengan aman
dalam jangka waktu yang direncanakan.
2. Mempunyai ketahanan dan keawetan yang memadai.
3. Serta mempunyai ukuran penampang dan panjang yang sesuai dengan
pemakaianya dalam konstruksi.
Wirjomartono (1977) dalam Sitorus (2009) menunjukkan bahwa
penggunaan kuda-kuda kayu dapat menghemat biaya sekitar 10-50%
dibandingkan dengan menggunakan baja. Jika membicarakan tentang kayu
sebagai struktur bangunan, maka yang harus diperhatikan antara lain adalah
kekuatan dan keawetan kayu. Karena tujuan umum para pemilik bangunan
maupun perencanaan adalah membangun/ mempunyai gedung yang aman dan
kuat konstruksinya, biaya konstruksinya murah, umur bangunan cukup lama serta
biaya pemeliharaannya ringan.
Menurut Indriyo (2001) jumlah permintaan akan sangat tergantung dari
tinggi rendahnya harga pasar yang berlaku. Apabila harga yang berlaku itu rendah
maka tentu saja jumlah yang diminta masyarakat akan lebih banyak. Karena
dengan harga yang lebih rendah tentulah akan lebih banyak orang yang dapat
menjangkau harga tersebut.
Menurut Fuat et. al., (2005) harga adalah sejumlah kompensasi (uang atau
barang kalau mungkin) yang dibutuhkan untuk mendapatkan sejumlah kombinasi
barang dan jasa. Bagi masyarakat harga masih menduduki tempat teratas dalam
keputusan untuk membeli suatu barang dan jasa.
Mutu dan Kualitas Kayu
Mutu dan kualitas kayu perlu diperhatikan juga sebelum membeli dan
menggunakan kayu untuk berbagai keperluan. Menurut Wirjomantoro (1977)
dalam Sitorus (2008) mutu atau kualitas kayu secara umum dapat didefenisikan
sebagai suatu ukuran ciri-ciri yang mempengaruhi sifat produk-produk yang
dibuat dari kayu tersebut. Defenisi kualitas yang lebih tepat mungkin sukar
dipahami karena sifat penting kayu yang digunakan untuk suatu produk sering
berbeda dengan sifat penting untuk produk lain.
Menurut Wirjomantoro (1977) dalam Sitorus (2008) mutu dari suatu jenis
kayu ditentukan oleh sifat fisiknya seperti warna, tekstur, serat, kesan raba, bau,
nilai dekoratif dan sifat-sifat pengerjaan, seperti sifat pengetaman, pembubutan,
pemboran dan pengampelasan. Dalam satu hal, kualitas mungkin ditentukan dari
kerapatan, kenampakan, cacat kayu yang terkandung seperti mata kayu, serat
27
Kebutuhan masyarakat akan kayu di Indonesia menurut data statistik
dalam satu tahun tercatat tidak kurang dari 2 juta m3 kayu gergajian yang
diproduksi untuk memenuhi kebutuhan pembangunan perumahan dan
pemukiman. Pada kenyataanya, jumlah kayu gergajian yang diperlukan jauh dari
atas angka tersebut karena banyak sekali kayu-kayu yang digunakan sebagai
bahan konstruksi bangunan yang dihasilkan dari industri kecil rakyat yang tidak
tercatat (Greenomics, 2004).
Jumlah Penduduk Terhadap Kebutuhan Masyarakat Terhadap Kayu
Jumlah penduduk serta banyaknya pembangunan membuat konsumsi kayu
semakin meningkat setiap tahunnya. Hal ini terlihat dari pemasaran produk kayu
olahan yang berupa kayu gergajian di wilayah provinsi Sumatera Utara. volume
yang dipasarkannya mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun (Dephutbun dan
LPPM USU, 2000).
Jenis Kayu yang Diperdagangkan di Indonesia
Beberapa jenis kayu yang sering dipakai di industri-industri penggergajian
dan pengerjaan kayu adalah damar (Agathis alba), meranti merah (Shorea
leprosula) dan durian (Durio zibethinus). Sifat pemesinan kayu yang baik dan
mudah diolah serta kualitas hasil pengolahan yang baik adalah alasan banyak
pengusaha indutri dan masyarakat gemar memakai jenis kayu ini. Sebagaimana
diketahui bahan ketersediaan kayu semakin menurun baik dari sisi kuantitas
maupun kualitas. Pada tahun 1980-an kayu bangunan didominasi jenis-jenis kayu
tertentu seperti kapur, kempas, jati, merbau, ulin yang termasuk jenis-jenis kayu
Menurut Benny (1992), dalam perdagangan kayu umumnya mempunyai
ukuran-ukuran tertentu yang biasanya banyak dipakai untuk bangunan rumah.
Masing-masing bentuk dan ukuran dikenal dengan nama-nama sebagai berikut :
1. Balok : mempunyai ukuran tinggi lebih besar dari lebarnya, biasanya
terbentuk empat persegi panjang atau bujur sangkar, misalnya (cm) 6 x
12, 6 x 15, 8 x 12, 8 x 14, 10 x 10, 12 x 12.
2. Papan : berupa lembaran tipis yang lebarnya jauh lebih besar dari tebalnya
misalnya (cm) 2 x 20, 3 x 20, 3 x 35.
3. Ram : yaitu papan untuk membuat rangka daun pintu dengan ukuran (cm)
3 x 10, 3 x 12.
4. Kaso/usuk : yaitu balok kecil dengan ukuran (cm) 4 x 6, 5 x 7.
5. Reng : yaitu kecil dengan ukuran (cm) 2 x 3.
6. Plepet : kayu kecil dengan ukuran (cm) 1 x 3, 1 x 5, biasanya untuk klem
kaca pada kusen jendela atau lis penutup sambungan langit-langit/ plafoon.
Panjang dari ukuran di atas sudah tertentu, yang banyak dijumpai adalah 1 sampai
3 meter, 3 sampai 4 meter sudah jarang, lebih dari 4 meter sudah sulit dicari dan
seandainya ada biasanya harganya mahal.
Menurut Benny (1992) berbagai jenis kayu yang banyak dipakai sebagai
bahan bangunan, diantaranya:
1. Kayu jati: cocok untuk pintu dan jendela, mebel, konstruksi berat terutama
yang tidak terlindungi.
2. Kayu kalimantan: jenisnya: kamper, kruing, bangkirai, meranti, laban dan
sebagainya. Cocok untuk segala macam konstruksi bangunan terutama
29
3. Kayu glugur (kelapa): masih banyak dipakai untuk membuat kuda-kuda
rumah, terutama pohonnya yang sudah benar-benar tua.
4. Kayu nangka, sawo, mahoni, rasamala: masih banyak digunakan
rumah-rumah di desa.
Menurut Martawijaya, et. al., (1995) ada 30 jenis kayu perdagangan
diantaranya agathis (Agathis spp.), balam (Shorea spp., dan Hopea spp.),
bangkirai (Shorea leavis Ridi), bintangur (Calophylium spp.), durian (Durio spp.)
eboni (Diospyros celebica), gerunggang (Cratoxylon arbosences BI), jati (Tectona
grandis L.F.), jelutung (Dyera spp.), kapur (Dryobalanops spp.), kruing
(Dipterogarpus spp.), mahoni (Swietenia spp.), matoa (Bonietia spp.), medang
(semua family Lauraceae kecuali genus Eusideroxylon), mentibu (Dactylocdalus
stenotachys Oliv), meranti kuning (Shorea spp.), meranti putih (Shorea spp.),
merawan (Hopea spp.), mersawa (Anisoptera spp.), nyantoh (Ganua sp.,
Plaquium spp.), pulai (Alstonis spp.), ramin (Gonystylus spp.), rengas (Gluta
spp.), resak (Vatica spp.), sonokeling (Dalbergia latifolia Roxb), sonokembang
(Ptrecarpus indicus Willd), sungkai (Peronenomons canescens Jack).
Keawetan dan Kekuatan Kayu
Kelas kuat kayu di Indonesia dibagi ke dalam 5 kelas (seperti disajikan
pada Tabel 5) yang diterapkan menurut berat jenisnya. Berat jenis dalam hal ini
adalah perbandingan berat dan volume kayu dalam keadaan kering udara dengan
Tabel 5. Kelas kuat kayu menurut berat jenis kayu (BJ)
Kelas awet Berat jenis Contoh kayu
I 2 – 0,90 bangkirai (Shorea leavis), eboni (Dyospiros celebica), merbau (Intsia spp.) ulin (Euderoxylon zwagerii), dll
II 0,90 – 0,60 rengas (Gluta rengas), meranti (Shorea spp.), dll III 0,60 – 0,40 durian (Durio zibethinus), ramin (Gonystilus
bancanus)
IV 0,40 – 0,30 kemiri (Aleuyitus mollucana), perupuk (Lophopetahan spp.)
V ≤ 0,30 pulai (Alstonia scholaris) Sumber : Martawijaya, at. al., (1995)
Tingkat Keawetan
Pemakaian kayu tidak lepas dari kualitas kayu dalam hal ini kekuatan dan
keawetanya yaitu kelas kuat dan kelas awet kayu. Wiryamartono (1976) dalam
Sitorus (2009) menyebutkan bahwa yang menentukan tingkat keawetan kayu
adalah daya tahan kayu terhadap pengaruh perusakan oleh rayap-rayap, serangga
dan binatang-binatang kecil lainnya. Kelas awet kayu dibagi kedalam 5 kelas
seperti disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Tingkat kelas keawetan kayu Tingkat kelas A
(Tectona grandis L.F.) II 5 15 Tak
A. : Kayu ditempatkan di tanah lembab
B. :aKayu ditempatkan ditempat yang tidak terlindungi tetapi dicegah
cimasuk air ke dalam
31
Tingkat Pemakaian
Menurut Martawijaya, at. al., (1995) tingkat pemakaian sesuatu kayu
menyatakan kecakapan kayu untuk suatu macam konstruksi. Dalam menentukan
tingkat pemakaian tidak dipandang soal mengerjakan kayu serta mudah atau
sukarnya pengolahan kayu itu. Kayu yang digunakan adalah kayu biasa atau
dalam keadaan tidak diawetkan. Ada 5 macam tingkat pemakaian kayu yaitu :
1. Tingkat I dan II untuk keperluan konstruksi-konstruksi berat tidak
terlindung dan terkena tanah lembab. Tingkat I diantanya adalah kayu jati,
merbau, bangkirai. Tingkat II diantanya adalah merawan, rasamala dan
sebagainya.
2. Tingkat III untuk keperluan konstruksi-konstruksi berat terlindung
diantaranya adalah kruing, kamper, meranti.
3. Tingkat IV untuk keperluan konstruksi-konstruksi ringan yang terlindung
yang termsuk dalam tingkat ini adalah suren, jerujing dan lain-lain.
4. Tingkat V untuk keperluan pekerjaan sementara.
Analisis Ekonomi
Analisis ekonomi adalah proses kekuatan dan kelemahan suatu ekonomi
dianalisis. Analisis ekonomi adalah penting untuk memahami kondisi ekonomi
yang tepat (Alam et. al., 2009).
Menurut Aziz (2003) untuk mengetahui tingkat kelayakan dari berbagai
produk hal yang dilakukan adalah menganalisis biaya dan pendapatan. Setelah
mengetahui biaya dan pendapatan dilanjutkan dengan pemakaian metode R/C
a. Analisis biaya dan pendapatan
Dalam analisis biaya dan pendapatan dilakukan perhitungan biaya
produksi total (biaya tetap total dan biaya variabel total). Setelah mengetahui
biaya produksi dihitung penerimaan dan keuntungan.
Menurut Aziz (2003) rumus perhitungan biaya produksi, penerimaan dan
keuntungan adalah sebagai berikut:
a. Biaya produksi: TC = TFC + TVC
Penerimaan: TR = P.Q
Keuntungan = TR – TC
Keterangan:
TC = total cost (biaya total)
TFC = total fixed cost (biaya tetap total )
TVC = total variabel cost (biaya tidak tetap total) TR = total revenue (penerimaan total)
P = price per unit (harga jual per unit) Q = quantity (jumlah produksi)
b. Revenue Cost Ratio (R/C)
Metode R/C merupakan perbandingan penerimaan dengan biaya yang
dikeluarkan. Menurut Kuswadi (2006) untuk menghitung R/C dapat dirumuskan
sebagai berikut.
RC =
TC TR
Keterangan:
TR = total revenue (penerimaan total) TC = total cost (biaya total)
Kriteria penilaian R/C:
R/C < 1 = produk tidak layak secara ekonomi
33
c. Pendekatan Break Event Point (BEP)
Analisis break event point adalah suatu analisis yang bertujuan untuk
menemukan satu titik, dalam unit atau rupiah, yang menunjukkan biaya sama
dengan pendapatan. Menurut Aziz (2003) perhitungan BEP (konsep titik impas)
dapat dilakukan dengan dua rumus yaitu:
BEP Biaya Produksi =
roduk P rga Ha
Total Biaya
BEP Harga Produksi =
roduksi P
Total