• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Non Voting Behavior (Perilaku Tidak Memilih) Pada Pemilukada kota Pematang Siantar 2010 (Studi Kasus : Perilaku Tidak Memilih Masyarakat di Kecamatan Siantar Selatan pada Pemilukada Kota Pematangsiantar 2010)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Non Voting Behavior (Perilaku Tidak Memilih) Pada Pemilukada kota Pematang Siantar 2010 (Studi Kasus : Perilaku Tidak Memilih Masyarakat di Kecamatan Siantar Selatan pada Pemilukada Kota Pematangsiantar 2010)"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Berawal dari usaha pemerintah untuk merevisi UU No. 5/1974 di bawah kepemimpinan Presiden B.J Habibie, maka tercetuslah ide dengan menerbitkan UU No. 22/1999 sebagai landasan hukum pemerintahan daerah. UU ini tercipta

dilatarbelakangi oleh ketidakadilan dan ketimpangan hubungan yang terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan terciptanya UU No. 22/1999 diharapkan dapat mengakomodasi perubahan paradigma pemerintahan dan dapat mengedepankan prinsip – prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, memperhatikan perbedaan potensi dan keanekaragaman, serta dapat mencegah terjadinya disintegrasi bangsa.1

1

Dr. Agussalim Andi Gadjong, SH, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum. Bogor : Ghalia Indonesia, 2007, Hal. 161

(2)

Pada tahap selanjutnya, di bawah kepemimpinan Presiden Megawati yang telah melakukan evaluasi yang mendasar, maka lahirlah UU No. 32/2004 sebagai landasan hukum pemerintahan daerah yang menggantikan UU No. 22/1999 yang dianggap tidak lagi sesuai setelah amandemen UUD 1945.2

Demokrasi di tingkat lokal mulai mekar, dimana pada tahun 2005 untuk pertama kalinya dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia digelar perhelatan akbar “Pemilihan Umum Kepala Daerah Langsung”, baik gubernur dan wakil

gubernur, bupati dan wakil bupati maupun walikota dan wakil walikota. Pemilukada langsung merupakan hasil kerja keras dalam perwujudan demokrasi, walaupun banyak hal yang menjadi konsekuensinya seperti biaya yang besar, energi, waktu, pikiran dan lain sebagainya. Namun, keberhasilan pemilukada untuk melahirkan kepemimpinan daerah yang murni secara demokratis, sesuai kehendak dan tuntutan rakyat sangat tergantung pada sikap kritisme dan rasionalitas rakyat sendiri.

Tahun 2005, merupakan awal perubahan besar terjadi, dimana untuk pertamakalinya Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dipilih secara langsung oleh rakyat. Peristiwa ini menandai babakan baru dalam sejarah politik daerah di Indonesia. Adapun pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung diatur dalam UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 56. Dalam Pasal 56 ayai (1) dikatakan : “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.”

3

Berdasarkan UU No. 22/2007, pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (pemilukada) juga dimasukkan sebagai bagian dari kategori pemilu. Pemilihan umum Kepala Daerah langsung merupakan suatu capaian yang baik dalam proses demokrasi di Indonesia. Melalui pemilihan umum Kepala

2

Ibid Hal. 167 3

(3)

Daerah langsung berarti mengembalikan hak – hak masyarakat di daerah untuk berpartisipasi dalam proses politik dalam rangka rekrutmen politik lokal secara demokrasi.4

• Rakyat secara langsung dapat menggunakan hak – haknya secara utuh. Menjadi kewajiban Negara memberikan perlindungan terhadap hak pilih rakyat. Salah satu hak politik rakyat tersebut adalah hak memilih calon

pemimpin. Penundaan atau peniadaan hak pilih tidak hanya mengurangi secara signifikansi nilai – nilai demokrasi dalam pemilukada langsung namun bahkan setiap saat mengancam legitimasi pemimpin pemerintahan daerah.

Sehingga hal ini semakin memajukan demokrasi ditingkat lokal karena masyarakat lokal akan memilih sendiri siapakah calon pemimpinnya atau yang mewakilinya di daerah.

Adapun pemilukada terkait dengan kedaulatan rakyat, mencakup hal – hal sebagai berikut :

• Wujud nyata asas pertanggungjawaban dan akuntabilitas. Hal ini merupakan

suatu landasan yang sangat penting guna menjaga kelangsungan sebuah kepemimpinan politik. Melalui pemilukada langsung, maka seorang Kepala Daerah harus dapat mempertanggungjawabkan kepemimpinan kepada rakyat yang memilih. Tingkat penerimaan rakyat terhadap Kepala Daerah merupakan jaminan bagi peningkatan partisipasi politik rakyat yang akan menjaga kelanggengan sebuah kepemimpinan. Kepala Daerah yang tidak dapat memenuhi pertanggungjawaban dan akuntabilitasnya akan ditinggalkan oleh rakyat, bahkan rakyat akan memberikan sangsi dengan jalan tidak akan memilih kandidat tersebut pada pemilukada berikutnya. Karena itu dalam beberapa system pemilihan, calon Kepala Daerah harus memiliki trade merk,

yaitu ciri khas dan prioritas program kerja, yang dapat dipertanggungjawabkan.

4

(4)

• Menciptakan suasana kondusif bagi terciptanya hubungan sinergis antara

pemerintahan dan rakyat. Pemerintahan akan melaksanakan kehendaknya sesuai dengan kehendak rakyat. Keserasian dan keseimbangan hubungan antara keduanya akan membawa pengaruh yang sangat menguntungkan bagi tegaknya suatu pemerintahan yang demokratis. Oleh sebab itu, bilamana sebuah pemerintahan telah “ditinggalkan” rakyatnya, maka ambruknya pemerintahan tersebut tinggal menunggu waktu dalam hitungan yang tak lama.5

Perilaku pemilih masyarakat adalah aspek penting yang menunjang keberhasilan suatu pelaksanaan pemilukada. Dan perilaku pemilih yang dimaksud disini adalah antara lain pemberian suara atau proses voting, partai politik dan tidak memberikan suara atau non voting. Dimana pada kesempatan ini yang menjadi titik fokus adalah adanya perilaku tidak memilih atau non voting.

Perilaku tidak memilih atau non voting menurut Arbi Sanit adalah mereka secara sadar yang tidak puas dengan keadaan sekarang, karena aturan main demokrasi diinjak-injak partai politik dan juga tidak berfungsinya lembaga demokrasi (parpol) sebagaimana kehendak rakyat dalam sistem demokrasi. Perilaku tidak memilih atau non voting merupakan suatu tindakan dimana masyarakat yang namanya terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) secara sengaja maupun tidak sengaja tidak mau memberikan hak suaranya pada saat pemilu ataupun pemilukada yang dilatarbelakangi oleh suatu alasan tertentu. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk tidak memberikan suaranya saat pemilu ataupun pemilukada antara lain; faktor ekonomi, faktor pendidikan dan faktor kebudayaan.

Tingginya angka non voting pada setiap pemilu maupun pemilukada setidaknya akan berpengaruh terhadap validitas suara yang diberikan oleh masyarakat. Validitas suara adalah keabsahan atau keaslian suara yang diberikan

5

(5)

oleh seluruh masyarakat yang dapat menggambarkan pilihan masyarakat secara menyeluruh. Sehingga apabila banyak masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya akan menyebabkan suara yang terkumpul itu tidak murni keputusan masyarakat, sebab suara yang dihasilkan hanyalah suara sekelompok masyarakat yang menggunakan hak pilihnya, sementara yang tidak menggunakan hak pilihnya tidak memiliki keterkaitan terhadap hasil pemilu ataupun pemilukada yang ada. Sehingga hasil pemilu ataupun pemilukada yang memiliki kecenderungan masyarakat tidak memilih yang tinggi akan mempengaruhi tingkat validitas suara yang diberikan masyarakat.

Salah satu yang menjadi indikator terpenting dalam pemilihan yang berkualitas yaitu dilaksanakannya pemungutan suara oleh rakyat yang memiliki tingkat validitas suara yang tinggi, sebab benar – benar mencerminkan implementasi asas – asas pemilukada langsung, yakni ; langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pemungutan suara adalah proses pencurahan pikiran dan pertimbangan warga untuk memilih calon berdasarkan informasi dan data yang

diperoleh pada masa kampanye. Bagi pemilih, pemberian suara atau voting ini merupakan seleksi akhir dalam pemilihan, yang dikenal dengan seleksi politis. Tetapi bagi pemilih yang tidak memberikan hak suaranya dalam seleksi politis atau pada masa pemilihan, merupakan suatu tindakan yang kurang atau tidak mendukung terwujudnya pemilihan umum Kepala Daerah langsung yang benar – benar berkualitas.

(6)

demokrasi lokal tersebut. Karena guna menghindari semakin maraknya perilaku tidak memilih pada setiap pemilu maupun pemilukada, maka perlu diadakan kajian intensif terhadap perilaku tidak memilih, guna dapat mewujudkan cita – cita bersama yaitu pemilukada langsung yang benar – benar berkualitas.

Apabila kita amati, hingga saat ini belum terlalu banyak kalangan pemerhati politik Indonesia yang melakukan kajian intensif terhadap perilaku politik tidak memilih. Kebanyakan dari mereka hanya terfokus pada bagaimana proses pelaksanaan pemilukadanya, karakteristik pendukung, strategi pemenangan, serta faktor faktor apa yang membuat salah satu kandidat atau partai politik dapat memenangkan sebuah pemilukada. Padahal, tanpa kita sadari kajian tentang perilaku tidak memilih juga tidak kalah pentingnya dalam pemilukada, sebab saat ini hampir di semua daerah di Indonesia tercatat sangat tinggi angka DPT yang tidak menggunakan hak pilihnya.

Pemilukada merupakan salah satu bagian dari pemilihan umum, dimana pemilukada masih tergolong hal baru bagi masyarakat kita, sebab baru setidaknya

dua kali diadakan pemilukada diseluruh daerah di Indonesia. Adapun alasan saya mengkaji perilaku tidak memilih dalam pemilukada dan bukan dalam pemilu adalah karena penulis ingin mengetahui apakah yang mendasari masyarakat tidak mau berpartisipasi dalam pesta demokrasi daerah, padahal kegiatan tersebut menjadi penentu nasib tiap – tiap daerah untuk lima tahun kedepan. Sebab, melalui pesta demokrasi daerah atau sering disebut pemilukada terpilihlah orang nomor satu di daerah kita nantinya yang akan mengatur segala bentuk kegiatan yang ada di masing – masing daerah selama periode tertentu.

(7)

pertokoan dan pemukiman padat penduduk dan bersifat heterogen. Maka tentu saja terdapat variasi alasan masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilukada Kota Pematangsiantar Juni 2010 lalu.

Keterlibatan masyarakat Kecamatan Siantar Selatan dalam pemilukada perlu mendapat apresiasi yang positif, sebab mereka mau berpartisipasi dalam pesta demokrasi lokal yang merupakan suatu kegiatan terpenting di tiap – tiap daerah. Namun banyak juga terdapat kejanggalan, dimana kurang lebih 30% masyarakat Kecamatan Siantar Selatan tidak menggunakan hak pilihnya

Adapun terdapat sebuah fenomena yang cukup menarik di Kecamatan Siantar Selatan sehingga saya ingin melakukan penelitian di Kecamatan Siantar Selatan, yaitu : bahwa jumlah DPT Kecamatan Siantar Selatan tidaklah terbesar di Kota Pematangsiantar, tetapi angka non voting di kecamatan ini termasuk yang paling besar, selain itu komposisi masyarakat Siantar Selatan rata – rata tergolong dalam kelas menengah dan berpendidikan, sehingga menjadi penulis merasa perlu mengetahui apa alasan dari mereka untuk tidak memilih dalam Pemilihan Umum

Kepala Daerah Kota Pematangsiantar Juni 2010 lalu.

Maka berdasarkan hal – hal diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Perilaku Tidak Memilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Kota Pematangsiantar juni 2010 di Kecamatan Siantar Selatan, Kota Pematangsiantar.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka masalah yang ingin peneliti rumuskan adalah:

(8)

2. Hal – hal apa yang mempengaruhi masyarakat di Kecamatan Siantar Selatan untuk tidak memilih pada Pemilikada Kota Pematangsiantar pada Juni 2010.

1. 3 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1 Untuk mengetahui alasan pemilih terdaftar mengapa tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilukada Kota Pematang Siantar 2010.

2 Untuk mengetahui penyebab pemilih di Kecamatan Siantar Selatan tidak menggunakan hak pilihnya.

3 Untuk membuat klasifikasi pemilih terdaftar yang tidak menggunakan hak pilihnya berdasarkan jenis kelamin dan tingkat pendidikannya.

1.4. Manfaat Penelitian

1 Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan berfikir secara sistematis dalam melihat fenomena politik

yang terjadi di masyarakat.

2 Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan studi perilaku politik yang ada di Indonesia pada saat ini.

3 Secara akademis penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya kajian ilmu politik dan refrensi dalam konteks ilmu politik di Indonesia.

(9)

5 Bagi masyarakat penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sarana pendidikan politik.

1.5 Kerangka Teori

Guna mempermudah seorang peneliti dalam sebuah penelitian maka diperlukan sebuah pedoman sebagai landasan berpikir yaitu sebuah kerangka teori. Sebelum melakukan penelitian yang lebih lanjut, seorang peneliti perlu menyusun kerangka teori untuk dapat menggambarkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang telah ditiliti.6

Perilaku politik dapat diartikan sebagai keseluruhan tingkah laku aktor politik dan warga Negara yang telah saling memiliki hubungan antara pemerintah dan masyarakat, antara lembaga – lembaga pemerintah dan antara kelompok masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan keputusan politik.

Kerangka teori merupakan landasan untuk melakukan penelitian dan teori dipergunakan untuk menjelaskan fenomena sosial yang menjadi objek penelitian. Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, kontrak, defenisi dan proporsi yang menerangkan sesuatu fenomena sosial secara sistematik dengan cara merumuskan hubungan antara konsep.

1.5.1 Teori Perilaku Politik

Teori perilaku politik secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan

yang berkenaan dengan segala bentuk aktivitas atau proses pembuatan dan pelaksanaan pengambilan keputusan politik dan keikutsertaan seluruh elemen masyarakat.

7

6

Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, 1998, Hal. 37 7

(10)

Perilaku politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Yang melakukan kegiatan adalah pemerintah dan masyarakat, kegiatan yang dilakukan pada dasarnya dibagi menjadi dua, yaitu fungsi – fungsi pemerintahan yang dipegang oleh pemerintah dan fungsi – fungsi politik yang dipegang oleh masyarakat.8

1. Ramlan surbakti mengatakan bahwa perilaku politik dirumuskan “sebagai suatu kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik, keikutsertaan seseorang baik warga Negara biasa maupun sebagai pengambil keputusan.”

1.5.1.1 Defenisi Perilaku Politik

Berikut adalah beberapa pendapat para ahli berkenaan dengan perilaku politik :

9

2. Eulau mengatakan bahwa perilaku politik adalah “kegiatan yang secara aktual dilakukan oleh setiap individu dengan pola – pola pemikiran tertentu.”10

3. Jack C. Plano dalam Moh. Ridwan mengatakan bahwa perilaku politik adalah :

“Pikiran dan tindakan manusia yang berkaitan dengan proses memerintah. Yang termasuk perilaku politik adalah tanggapan – tanggapan internal (pikiran, persepsi, sikap dan keyakinan) dan juga tindakan – tindakan yang Nampak (pemungutan suara, gerak protes, lobbying, kaukus, kampanye dan demostrasi)”11

4. Antonius Sitepu mengatakan bahwa perilaku politik dirumuskan sebagai “kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan

8

Michael Rush dan Phillip Althoff. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta:CV, Rajawali. 2001. Hal 147

9

Ramlan Surbakti. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta; PT Gramedia, Hal. 131 10

Ibid hal 131 11

(11)

keputusan politik dan yang melakukan kegiatan politik tersebut adalah pemerintahan dan masyarakat.”12

5. David E Apter dalam Krishno Hadi dkk mengatakan perilaku politik adalah : “Perilaku politik adalah hubungan antara pengetahuan politik dan tindakan politik, termasuk bagaimana proses pembentukan pendapat politik, bagaimana kecakapan politik diperoleh, dan bagaimana cara orang menyadari peristiwa – peristiwa politik.”13

6. Almond dan Verba dalam Krishno Hadi dkk mengasumsikan perilaku politik adalah :

“perilaku politik merupakan suatu budaya politik yaitu bagaimana seseorang memiliki orientasi, sikap, dan nilai – nilai politik. Hal ini menunjuk kepada suatu sikap orientasi yang khas dari warga Negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya serta sikap terhadap peranan warga Negara di dalam sistem itu”14

12

Sitepu, Antonius. Teori Teori Politik, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2011, Hal 88 13

Hadi, Krishno dkk, Perilaku Partai Politik, Malang : UMM Press, 2006, Hal 8 14

Ibid hal 10

Interaksi antara pemerintah dengan masyarakat, antar lembaga pemerintah dan antar kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses

(12)

Perilaku politik dirumuskan sebagai kegiatan yang berkaitan dengan sikap politik, yakni yang berkaitan dengan kesiapan bereaksi terhadap objek lingkungan tertentu yang merupakan suatu penghayatan terhadap objek tersebut.15

Pertama, faktor kondisi historis. Dimana setiap sikap dan perilaku politik

masyarakat dipengaruhi oleh proses – proses dan peristiwa historis masa lalu. Hal ini disebabkan budaya politik tidak merupakan kenyataan yang statis melainkan berubah dan berkembang sepanjang masa.

Perilaku politik tidaklah sesuatu yang dapat berdiri sendiri, tetapi perilaku politik mengandung keterkaitan dengan hal yang lain. Salah satu siakp yang penting adalah sikap politik. Dimana antara sikap dengan perilaku memiliki tingkat keeratan yang sangat tinggi, namun keduanya dibedakan. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek lingkungan tertentu. Sikap belum merupakan tindakan tetapi masih berupa suatu kecenderungan.

1.5.1.2 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Politik

Adapun faktor – faktor yang mempengaruhi perilaku politik adalah:

Kedua, faktor kondisi geografis memberikan pengaruh dalam perilaku politik

masyarakat sebagai kawasan geostrategi, walaupun kemajemukan budaya Indonesia merupakan hal yang rawan bagi terciptanya disintegrasi. Kondisi ini mempegaruhi perbedaan tingkat partisipasi politik masyarakat, kesenjangan pemerataan pembangunan, kesenjangan informasi, komunikasi, teknologi mempengaruhi proses sosialisasi politik.

Ketiga, faktor budaya politik memiliki pengaruh dalam perilaku politik

masyarakat. Berfungsinya budaya politik ditentukan oleh tingkat keserasian antara tingkat kebudayaan bangsa dan struktur politiknya. Kemajuan budaya Indonesia mempengaruhi budaya budi bangsa. Berbagai budaya daerah pada masyarakat Indonesia berimplikasi pada terciptanya sebuah bentuk perilaku

15

(13)

politik dengan memahami budaya politik masyarakat yang dipandang penting untuk memahami perilaku politik.

Keempat, perilaku politik masyarakat dipengaruhi oleh agama dan keyakinan. Agama telah memberikan nilai etika dan moral politik yang memberikan pengaruh bagi masyarakat dalam perilaku politiknya. Keyakinan merupakan acuan yang penuh dengan norma – norma dan kaidah yang dapat mendorong dan mengarahkan perilaku politik sesuai dengan agama dan keyakinannya, proses politik dan partisipasi warga Negara paling tidak dapat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya pemahaman agama seseorang.

Kelima, faktor pendidikan dan komunikasi juga mempengaruhi perilaku

politik seseorang. Semakin tinggi pendidikan masyarakat maka semakin tinggi tingkat kesadaran politiknya. Komunikasi yang intens akan mempengaruhi perilaku politik seseorang dalam kegiatan politiknya.

Keenam, faktor kepribadian juga mempengaruhi perilaku politik.

Ketujuh, faktor lingkungan sosial politik mempengaruhi actor politik secara

langsung seperti keadaan keluarga. Lingkungan sosial politik saling mempengaruhi dan berhubungan satu dengan yang lain dan bukannya sebagai faktor yang berdiri sendiri.16

Selain faktor – faktor diatas, ada beberapa faktor lain yang juga memainkan peranan penting dalam menentukan pilihan rakyat, yaitu; standar kehidupan, faktor penghasilan atau gaji, kelompok umur, dan jenis kelamin.

1.5.1.3 Bentuk – Bentuk Perilaku Politik

Perilaku politik dilihat sebagai sebuah alat analisis untuk melihat bagaimana masyarakat ikut berpartisipasi di dalam pemilihan umum, baik itu melalui pemberian suara (voting) maupun tidak memberikan suara (non voting).

16

(14)

1. Perilaku Pemilih

Perilaku pemilih dapat didefenisikan sebagai suatu studi yang memusatkan diri pada bidang yang menggeluti kebiasaan atau kecenderungan pilihan rakyat dalam pemilihan umum, serta latar belakang mengapa mereka melakukan pemilihan itu.17

a. Pendekatan Sosiologis

Secara teoritis ada dua penjelasan teori mengapa seseorang tidak ikut memilih dalam pemilihan. Penjelasan pertama bersumber dari teori – teori mengenai perilaku memilih (Vote behavior). Penjelasan ini memusatkan perhatian pada individu. Besar kecilnya partisipasi pemilih (Voting turnout) dilacak pada sebab – sebab dari individu memilih.

Secara umum analisa – analisa mengenai “Voting Behaviour” atau perilaku pemilih didasarkan pada empat pendekatan model yaitu;

Pendekatan sosiologis berasal dari Eropa Barat yang dikembangkan oleh ahli ilmu politik dan sosiologi. Mereka memandang bahwa masyarakat sebagai

sesuatu yang bersifat hierarkis terutama berdasarkan status, karena masyarakat secara keseluruhan merupakan kelompok yang mempunyai kesadaran status yang kuat. Para pendukung mazhab ini percaya bahwa masyarakat telah tersusun sedemikian rupa sesuai dengan latar belakang dan karakteristik sosial tersebut merupakan sesuatu yang penting dalam memahami perilaku individu.

Pendekatan sosiologis, yang sering disebut Mazhab Columbia (The Columbia School Of Elektoral Behaviour), merupakan pendekatan yang

menekankan pada peran faktor – faktor sosiologis dalam membentuk perilaku politik seseorang. Pendekatan ini menjelaskan bahwa karakteristik social dan pengelompokan – pengelompokan social seperti umur (tua/muda), jenis kelamin

17

(15)

(pria/wanita), agama dan semacamnya dianggap mempunyai peranan yang cukup menentukan dalam membentuk perilaku pemilih.

Dari berbagai ragam perbedaan dalam struktur sosial, faktor sosial merupakan unsur yang juga berpengaruh terhadap pemilih politik seseorang, terutama dihampir semua negara – negara industri. Di Eropa, kelompok berpenghasilan rendah dan kelas pekerja cenderung memberikan suara kepada partai sosialis atau komunis, sedangkan kelas menengah dan atas biasanya menjadi pendukung partai konservatif.

b. Pendekatan Psikologis

Munculnya pendekatan psikologis merupakan sebuah reaksi terhadap ketidakpuasan terhadap pendekatan sosiologis. Pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologis terutama konsep sikap dan sosialisasi untuk menjelaskan prilaku pemilih. Pendekatan ini menjelaskan bahwa sikap seseorang merupakan sebagai refleksi dari kepribadian seseorang yang merupakan variable yang menentukan dalam mempengaruhi prilaku politiknya.

Pendekatan psikologis, yang sering disebut Mazhab Michigan (The Michigan Survey Reseach Center) lebih menekankan pada faktor psikologis

seseorang dalam menentukan perilaku atau pilihan politik. Menurut penganut pendekatan psikologis, secara metodologis pendekatan sosiologis dianggap sulit diukur, seperti bagaimana mengukur secara tepat sejumlah indicator kelas sosial, tingkat pendidikan, agama, dan sebagainya.

(16)

Artinya seseorang bersikap tertentu sesuai dengan keinginan orang itu untuk sama atau tidak sama dengan tokoh atau kelompok yang dikaguminya. Ketiga, sikap merupakan sikap eksternalisasi dan pertahanan diri. Artinya, sikap seseorang itu merupakan upaya untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis, yang mungkin berujud mekanisme pertahanan (Defensce Mechanisme)

Dalam pendekatan ini juga terdapat tiga faktor yang berpengaruh terhadap perilaku pemilih. Tiga faktor itu adalah ; identifikasi partai, orientasi isu atau tema, dan orientasi kandidat. Identifikasi partai dalam hal ini bukan sekedar partai apa yang dipilih tetapi juga tingkat identifikasi individu terhadap partai politik tersebut. Kemudian yang dimaksud dengan orientasi isu atau tema adalah tema atau isu apa saja yang diangkat dan dijadikan acuan bagi partai politik atau kandidat tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan orientasi kandidat siapa yang akan mewakili partai politik tersebut.18

c. Pendekatan Rasional

Dengan demikian, konsep identifikasi partai merupakan variable sentral dalam menjelaskan perilaku pemilih dalam penekatan psikologis ini. Dalam hal

ini, hubungan pengaruh antara identifikasi partai dengan perilaku pemilih sudah menjadi aksioma.

Munculnya pendekatan rasional disebabkan karena dua pendekatan terdahulu hanya menempatkan pemilih pada ruang dan waktu yang kosong baik secara eksplisit maupun implicit. Dalam hal ini pemilih diibaratkan sebagai wayang yang tidak mempunyai kehendak bebas kecuali atas perintah atau kendali dalangnya. Dimana karakteristik sosiologis, latar belakang keluarga, pembelahan kultural atau identifikasi partai dan pengalaman hidup pada karakteristik psikologis, merupakan variabel yang dengan sendirinya maupun komplomenter mempengaruhi perilaku atau pilihan politik seseorang.

18

(17)

Dalam teori rasional (Rational Choise Theory) bahwa ketika seseorang dhadapkan pada beberapa jenis tindakan, maka orang biasanya akan melakukan apa yang mereka yakini berkemungkinan memberikan hasil yang terbaik. Pilihan rasional muncul sebagai revolusi pendekatan dalam ilmu politik.19

Dan pada akhirnya pendekatan rasional mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa para pemilih benar – benar rasional. Para pemilih melakukan penilaian yang valid terhadap visi, misi, program kerja pasangan calon atau kandidat dan partai politik. Pemilih rasional memiliki motivasi, prinsip, pengetahuan dan informasi yang cukup. Perbedaan antara pendekatan rasional dengan lainnya bahwa pemilih rasional adalah pemberi suara yang responsitif dan tidak permanen.

Dengan kemunculan teori rasional ini, maka ada sebagian pemilih yang mengubah pilihan politiknya. Hal ini disebabkan oleh adanya ketergantungan pada peristiwa politik tertentu yang bisa saja mengubah preferensi pilihan politik seseorang.

Dalam pendekatan rasional terdapat dua orientasi yang menjadi daya tarik pemilih, yaitu; orientasi isu dan orientasi kandidat. Dimana orientasi isu fokus pada pertanyaan : apa yang seharusnya dilakukan dalam memecahkan persoalan – persoalan yang dihadapi masyarakat, bangsa, dan negara. Sementara orientasi kandidat berpusat kepada sikap pemilih terhadap pribadi kandidat tanpa memperdulikan label partainya. Him Melweit mengatakan bahwa perilaku pemilih merupakan pengambilan keputusan cepat dan pengambilan keputusan tersebut tergantung pada situasi sosial politik tertentu yang tidak beda dengan

pengambilan keputusan lainnya.

20

d. Pendekatan Kepercayaan Politik

Penggunaan variabel kepercayaan politik untuk menjelaskan perilaku politik nonvoting, sebenarnya diadopsi dari variabel kepercayaan untuk

19

Ibid. Hal.77 20

(18)

menjelaskan keaktifan atau ketidak aktifan seseorang dalam kegiatan politik. Ketidak aktifan dalam konsep ketidak percayaan politik sendiri selalu mengandung pengertian ganda. Pertama, ketidak aktifan dapat diinterpretasikan sebagai ekspresi atas kepercayaan yang rendah terhadap sistem politik atau sebagai suatu ekspresi atas perasaan keterasingan (alienasi). Kedua, ketidak aktifan juga dapat diinterpretasikan sebagai ekspresi kepercayaan yang tinggi, di mana ketidak aktifan seseorang dalam bilik suara menandakan bahwa mereka puas terhadap sistem politik yang ada, atau tidak khawatir dengan keadaan politik yang ada.21

2. Pemberian Suara (Voting)

Richard G. Niemi dan Herbrt F.Weisberg yang dikutip dalam komunitas embun pagi, berpendapat bahwa, “faktor sosialisasilah sebenarnya yang menentukan perilaku memilih seseorang, bukan karena karakteristik sosiologis.”22

Maka kesadaran politik warga Negara menjadi faktor determinan dalam partisipasi politik masyarakat, artinya berbagai hal yang berhubungan dengan pengetahuan dan kesadaran akan hak dan kewajiban yang berkaitan dengan Pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologis (terutama konsep sosialisasi dan sikap) untuk menjelaskan perilaku seseorang. Pendekatan ini berkeyakinan bahwa pemilih menentukan pilihannya karena pengaruh

kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya sebagai produk dari sosialisasi yang mereka terima. Maka dalam hal ini diperlukan “kurikulum sosialisasi politik”. Ini penting terutama bagi pemilih pemula yang cenderung belum pernah memilih. Harus dilakukan sosialisasi yang sistematis agar pemilih pemula ini dapat mengerti dan tidak menunjukkan karakter yang apatis (tidak adanya minat terhadap persoalan – persoalan politik), anomi (perasaan tidak berguna)

21

Asfar Muhammad, Presiden Golput, Surabaya : Jawa Pos Press 2004, Hal.41 – 45 22

(19)

lingkungan masyarakat dan kegiatan politik menjadi tolok ukur seseorang terlibat dalam proses partisipasi politik.

3. Tidak Memberikan Suara (Non Voting)

Tidak memberikan suara (non voting) atau sering juga disebut golput. Arbi Sanit (1992) mengidentifikasi bahwa non voting atau golput adalah mereka secara sadar yang tidak puas dengan keadaan sekarang, karena aturan main demokrasi diinjak-injak partai politik dan juga tidak berfungsinya lembaga demokrasi (parpol) sebagaimana kehendak rakyat dalam sistem demokrasi. Sedangkan “Riswandha Imawan menilai,” non voting adalah keputusan rasional untuk memperlihatkan adanya ketidaksesuaian antara preferensi kelompok elit politik dengan publiknya di bawah. Pilihan untuk menekan golput berada di tangan para elit dengan kesadaran mereka untuk mendeteksi dan mengakomodasikan keinginan yang tumbuh di lapisan sebab dasar dalam politik adalah kepercayaan.”23

“Louis Desipio, Natalie Masuoka dan Christopher Stout (2007) mengkategorikan Non–Voter tersebut menjadi tiga ketegori yakni ; (a) Registered Not Voted ; yaitu kalangan warga negara yang memiliki hak pilih dan telah terdaftar namun tidak menggunakan hak pilih, (b) Citizen not Registered ; yaitu kalangan warga negara yang memiliki hak pilih namun tidak terdaftar sehingga tidak memiliki hak pilih dan (c) Non Citizen ; mereka yang dianggap bukan warga negara (penduduk suatu daerah) sehingga tidak memiliki hak pilih.”24

1. Adanya pemilih yang terdaftar lebih dari sekali di tempat yang berbeda, terdaftar lebih dari sekali di tempat yang sama,

Menurut KPU sejumlah faktor yang menyebabkan tingginya jumlah pemilih terdaftar yang tidak menggunakan haknya faktor-faktor itu adalah :

23

Kompas, 19 Juni 2005 24

(20)

2. Adanya kartu pemilih yang tidak dapat dibagikan karena pemiliknya tidak dikenali

3. Adanya warga yang belum berhak memilih tetapi diberi kartu pemilih 4. Adanya pemilih yang meninggal dunia

5. Adanya pemilih terdaftar yang tidak menerima kartu pemilih 6. Tidak datang ke tempat pemungutan suara (TPS)

7. Serta pemilih yang memang sengaja tidak menggunakan haknya.25

Dalam konteks pilkada di beberapa daerah, kemungkinan tidak memberikan suara disebabkan oleh:

1. Banyaknya perantau yang tidak bisa pulang di berbagai daerah ketika ada jadwal pemilu dilakukan, sehingga banyak dari warga yang bekerja di luar kota malas untuk meninggalkan pekerjaannya.

2. Kejenuhan dari rutinitas mencoblos dalam pemilu, kecenderungan terjadinya penggelembungan pemilih golput bisa terkondisikan mengingat rangkaian acara politik terlalu padat sepanjang tahun. Situasi ini membuat

publik jenuh dan memilih melakukan aktivitas rutinnya.

3. Tidak mau menggunakan hak pilihnya, warga yang secara sadar tidak mau menggunakan hak pilihnya memang tidak bisa dikaji secara kualitatif, namun secara riil mereka tidak menggunakan haknya.26

Faktor lokal lain seperti mobilitas masyarakat di kota besar dan buruknya cuaca pada sejumlah tempat, juga sempat disebut sebagai penyebab penurunan tingkat partisipasi itu. Di samping itu, ketidakpedulian masyarakat terhadap keberlangsungan pemilu ditenggarai sebagai salah satu faktor signifikan dalam

25

26

(21)

pemilukada. Bisa juga disebabkan oleh sosialisasi yang tidak tuntas atau mengenai sasaran.27

4. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Masyarakat Untuk Tidak

Memilih.

a. Faktor Ekonomi

Perekonomian merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi setiap pergerakan kehidupan setiap orang, kondisi ekonomi seseorang sangat mempengaruhi tingkat kebutuhannya. Artinya terdapat perbedaan tingkat kebutuhan orang yang memerlukan kebutuhan tinggi (kaya) dengan orang yang tingkat ekonomi rendah (miskin). Dimana orang kaya cenderung lebih banyak kebetuhannya dari orang miskin, misalnya dalam hal melengkapi kebutuhan keluarganya.

Kebutuhan manusia relatif tidak terbatas, tetapi disisi lain jumlah alat pemuas kebutuhan itu terbatas. Apabila relasinya mencukupi, dalam hal ini ilmu ekonomi mengajarkan bagaimana manusia atau sekelompok manusia mampu membuat pilihan – pilihannya dengan baik sebagaimana di kemukakan Paul

Samuelson bahwa studi mengenai bagaimana orang dan masyarakat memilih dengan tanpa menggunakan uang untuk mendapatkan sumber – sumber daya produktif yang langka demi memproduksi berbagai komoditi dari waktu ke waktu dan mendistribusikannya untuk dikonsumsi.28

b. Faktor Psikologis

Adapun penjelasan tentang tidak memilih dari faktor psikologis pada dasarnya dikelompokkan dalam dua katagori, Pertama, berkaitan dengan ciri – ciri kepribadian seseorang. Dimana bahwa perilaku tidak memilih disebabkan oleh kepribadian yang tidak toleran, otoriter, tak acuh, perasaan tidak aman,

27

Kompas, 10 Mei 2004 28

(22)

perasaan khawatir, kurang mempunyai tanggungjawab secara pribadi dan semacamnya. Dimana orang yang memiliki kepribadian tidak toleran cenderung tidak akan memilih karena hal tersebut menurutnya tidak berhubungan dengan kepentingannya. Kedua, berkaitan dengan orientasi kepribadian seseorang. Dimana perilaku tidak memilih disebabkan oleh orientasi kepribadian seseorang, yang secara konseptual dapat menunjukkan karakteristik apatis, anomi, dan alienasi. Apatis merupakan jelmaan atau pengembangan lebih jauh dari kepribadian otoriter, ditandai dengan tidak adanya minat terhadap persoalan – persoalan politik. Hal tersebut dapat disebabkan oleh rendahnya sosialisasi politik maupun rendahnya proses transformasi budaya politik dari generasi sebelumnya serta adanya anggapan bahwa aktifitas politik itu merupakan kegiatan tidak berguna dan cenderung sia – sia. Anomi merupakan suatu sikap tidak mampu menerima keputusan – keputusan yang dapat diantisipasi. Dimana setiap individu mengakui kegiatan politik sebagai kegiatan yang berguna, namun ia merasa benar – benar tidak dapat mempengaruhi peristiwa – peristiwa dan kekuatan – kekuatan politik sehingga hal tersebut menimbulkan rasa tidak peduli terhadap kegiatan

politik yang pada akhirnya menyebabkan ia tidak mau ikut berpartisipasi dalam kegiatan politik. Sedangkan alienasi adalah perasaan keterasingan secara aktif dan merupakan perasaan tidak percaya terhadap pemerintah. Dimana seseorang merasa bahwa dirinya tidak terlibat dalam urusan politik, dan pemerintah dianggap tidak memiliki pengaruh baik terhadap kehidupan seseorang.

c. Faktor Pendidikan

(23)

Pendidikan politik merupakan suatu proses yang mempengaruhi setiap individu agar dapat memperoleh informasi lebih lengkap, wawasan yang lebih luas dan keterampilan yang baik.29

Dimana secara umum adanya terlihat hubungan yang cukup erat antara perilaku nonvoting dengan tingkat pendidikan seseorang. Seseorang yang tingkat pendidikannya tinggi cenderung aktif berpolitik, cenderung pula hadir dalam pemilu. Begitu pula sebaliknya, dimana seseorang yang tingkat pendidikannya rendah, cenderung tidak aktif berpolitik, maka cenderung pula tidak hadir dalam pemilu.30 Pendapat ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan terhadap responden yang terlibat aktif dalam berbagai kegiatan politik, dimana hasilnya menunjukkan responden yang menempuh pendidikan 13 tahun ke atas 70 persen diantarnya ikut hadir dalam memberikan suara, sementara responden yang hanya menempuh pendidikan 8 tahun ke bawah hanya 29 persen yang hadir dalam memberikan suara.31

d. Faktor Sistem Politik

Dalam hal ini, sistem yang dimaksudkan bukan sekedar prosedur dan

aturan semata, tetapi lebih terfokus kepada kebijakan pemerintah dan kinerjanya didalam mengimplementasikan setiap kebijakan yang ada. Salah satunya adalah sistem politik yang saat ini sedang dikembangkan oleh rezim penguasa yang dinilai tidak berhasil membangun demokrasi yang sehat, baik ditingkat elite maupun massa. Ketidakpercayaan pada sistem politik yang ada setidaknya dapat mempengaruhi tingginya angka ketidakhadiran pada saat pemilu maupun pemilukada merupakan pertanda rendahnya kepercayaan pada sistem politik. Adapun faktor yang mempengaruhi atau penyebab rendahnya kepercayaan politik ialah : Pertama, kurang maksimalnya fungsi yang dijalankan lembaga perwakilan

29

DR. Kartini Kartono, Pendidikan Politik, Bandung : LIPI 2006. Hal. 64 – 67 30

Asfar Muhammad, Op. Cit, Hal.260 31

(24)

rakyat. Kedua, lembaga peradilan yang tidak dapat berfungsi secara maksimal, Ketiga, tingginya angka praktek – praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang dilakukan oleh pemerintah. Kelima, banyaknya kebijakan politik pemerintah yang tidak kondusif dan kurang membangun dan lain – lain.

e. Faktor Sistem Pemilihan Umum

Keputusan seseorang untuk tidak memilih dapat juga dipengaruhi oleh persepsi dan evaluasi terhadap sistem dan penyelenggaraan pemilu ataupun pemilukada. Dengan sistem pemilu ataupun pemilukada yang dinilai tidak jelas dan tidak akan menjanjikan perubahan apapun. Pemilu maupun pemilukada hanyalah sebagai simbol demokrasi semata, namun pemilu maupun pemilukada itu sendiri tidak dijalankan dengan semangat dan cara – cara demokratis. Dimana pada saat ini fungsi pemilu maupun pemilukada cenderung sebagai alat yang memproduksi kekuasaan dari pada implementasi kehidupan berdemokrasi. Yang dapat diartikan bahwa pemilu maupun pemilukada lebih dimaknai sebagai sarana untuk mempertahankan status quo penguasa dibandimgkan sebagai sarana untuk

melakukan perubahan maupun perbaikan politik.32

f. Faktor Budaya

Almond dan Verba mendefenisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas dari setiap warga Negara terhadap system politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga Negara yang ada didalam sistem itu.33

32

Muhammad Asfar, Op. Cit, Hal.42 33

Leo Suryadinata, Golkar dan Militer, Study tentang Ilmu Politik, Jakarta : LP3ES. 1992, Hal. 4 - 5

(25)

masyarakat memiliki peranan penting dalam system politik suatu Negara. Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial senantiasa akan berinteraksi dengan manusia lain untuk berinteraksi dalam upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya.

Selain faktor – faktor diatas, Lipset membagi faktor – faktor yang mempengaruhi kehadiran dan ketidakhadiran pemilih ke dalam empat katagori, yaitu :

1. Berkaitan dengan kebijakan pemerintah

Kelompok yang mempunyai kepentingan secara langsung dengan kebijakan pemerintah, seperti pegawai negeri, para pensiunan, petani dan semacamnya, menunjukkan tingkat kehadiran yang lebih tinggi dibandingkan kelompok yang tidak mempunyai kepentingan secara langsung dengan kebijakan pemerintah, seperti kaum buruh, buruh tani, buruh bangunan dan lain – lain.

2. Akses terhadap informasi

Seseorang yang mempunyai akses terhadap informasi yang lebih lengkap akan

cenderung tinggi tingkat kehadirannya. Akses informasi ini biasanya berkaitan dengan tingkat pendidikan, disamping keterlibatannya dalam organisasi – organisasi sosial kemasyarakatan.

3. Berkaitan dengan tekanan kelompok tertentu

Jika tekanan yang berasal dari kelompok tertentu untuk tidak memilih begitu kuat dan calon pemilih terpengaruh, maka hal ini akan disikapi dengan tidak hadir dalam pemilu maupun pemilukada.

(26)

Ketika seseorang ditekan untuk memilih partai yang berbeda, mereka mungkin menyelesaikan konflik ini dengan menarik diri sama sekali dalam pemilihan umum maupun pemilihan umum kepala daerah.

5. Bentuk – Bentuk Perilaku Tidak Memilih atau Golongan Putih

Ada beberapa katagori disebut pemilih resmi yang ditentukan oleh pemerintah. Diantaranya ada dua kategori yang relevan, yaitu katagori suara tidak sah dan katagori yang tidak menggunakan hak pilihnya. Dalam banyak media massa dua katagori ini dijadikan satu, dan tidak memilih atau golput dinyatakan termasuk didalamnya34

Pemilihan umum maupun pemilihan umum kepada daerah merupakan suatu proses dalam mencari pemimpin baru yang berkualitas dan sesuai dengan pilihan rakyat yang menjadi terdelegitimasikan oleh aksi mogok dan aksi apatis masyarakat untuk tidak memilih. Artinya, siapapun calon pemimpin pilihan rakyat belum menunjukkan keinginan mayoritas warga. Pada umumnya perilaku tidak memilih seperti ini disebut dengan perilaku tidak memilih pasif atau golput pasif, yaitu tidak dating ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) karena dorongan pribadi dan untuk diri sendiri tanpa berusaha mempengaruhi orang lain.

. Sehingga saya dapat menyimpulkan bahwa ada dua jenis perilaku orang yang tidak menggunakan hak pilihnya atau golput, yaitu: Pertama orang yang tidak menggunakan hak pilih suaranya secara tidak sengaja, yang terdiri dari suara tidak sah. Kedua, orang yang tidak menggunakan hak pilih suaranya secara sengaja, yaitu pemilih yang sengaja secara sadar tidak ingin menggunakan hak pilih suaranya.

Dibalik dari tindakan atau sikap seseorang untuk tidak memilih, setidaknya

terdapat dua kecenderungan, yaitu:

a. Bentuk Penolakan Politik

34

(27)

b. Bentuk Pembangkangan Sipil

Motif tidak memilih katagori ini bukan sekedar apatisme, melainkan sebuah kritik. Reproduksi wacana untuk tidak menggunakan hak pilih atau golput menjadi sarana kritik dan ruang koreksi bagi laju demokrasi bangsa. Hal ini karena suatu tindakan yang memutuskan untuk tidak memilih didasarkan pada penilaian – penilaian terhadap para elite politik.35

Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan

1.5.2 Partai Politik

Banyak dafenisi tentang partai politik, berikut adalah beberapa defenisi partai politik menurut para ahli:

1. Menurut Miriam Budhiarjo

Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota – anggotanya mempunyai orientasi, nilai – nilai dan cita – cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik melalui cara konstitusional untuk melaksanakan kebijaksanaan yang mereka miliki.

2. Menurut R.H. Soltau

Partai politik adalah sekelompok warga yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka.

3. Menurut Carl J. Friedrich

35

(28)

bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil.36

Pemilihan umum adalah pasar politik tempat individu / masyarakat berinteraksi untuk melakukan kontrak soasial (perjanjian masyarakat) antara peserta pemilihan umum (partai politik) dengan pemilih (rakyat) yang memiliki hak pilih setelah terlebih dahulu melakukan serangkaian aktivitas politik yang meliputi kampanye, propaganda, iklan politik melalui media massa cetak, audio (radio) maupun audio visual (televisi) serta media lainnya seperti; spanduk, pamflet, selebaran bahkan komunikasi antara pribadi yang berbentuk face to face (tatap muka) atau lobby yang berisi penyampaian pesan mengenai program, platform, asas, ideology serta janji politik lainnya guna meyakinkan pemilih

sehingga pada waktu dilaksanakannya pemilihan umum dapat menentukan pilihannya terhadap salah satu partai politik yang menjadi peserta pemilihan umum untuk mewakilinya dalam badan legislative maupun eksekutif.

1.5.3 Pemilihan Umum

37

36

A. Rahman H. I, Sistem Politik Indonesia, Yongyakarta, Graha Ilmu 2007, Hal.102 37

Ibid Hal 147

1.5.3.1 Pemilihan umum kepala daerah

Pemilihan umum kepala daerah langsung (pemilukada langsung) merupakan salah satu jalan keluar terbaik untuk mencairkan kebekuan demokrasi. Kekuatan pemilukada langsung terletak pada pembentukan dan implikasi legitimasi tersendiri sehingga harus dipilih sendiri oleh rakyat. Mereka juga wajib bertanggungjawab kepada rakyat. Dengan pemilihan terpisah dari DPRD, kepala daerah memiliki kekuatan yang seimbang dengan DPRD sehingga mekanisme check and balance niscaya akan dapat bekerja dengan baik. Kepala daerah

(29)

Pemilukada langsung tidak dengan sendirinya menjamin (taken for granted) peningkatan kualitas demokrasi itu sendiri tetapi jelas membuka akses

terhadap peningkatan kualitas demokrasi tersebut. Akses itu berarti berfungsinya mekanisme check and balance. Dimensi check and balance meliputi hubungan kepala daerah dengan rakyat, DPRD dengan rakyat, kepala daerah dengan DPRD, DPRD dengan kepala daerah tetapi juga kepala daerah dan DPRD dengan lembaga yudikatif dan Pemerintah daerah dengan Pemerintah Pusat.38

Pemilihan umum kepala daerah langsung merupakan pemilihan Kepala Daerah Wakil Kepala Daerah secara langsung oleh masyarakat yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil melalui pemungutan suara. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah memiliki peran yang sangat strategis dalam rangka pengembangan kehidupan demokratis,

keadilan, pemerataan, kesejahteraan masyarakat, memelihara hubungan yang serasi antara pemerintahan dan Daerah serta antar daerah untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Gubernur dan Wakil Gubernur untuk Provinsi, Bupati dan Wakil Bupati untuk Kabupaten, serta Walikota dan Wakil Walikota untuk kota.

39

David Easton menyatakan bahwa suatu sistem selalu memiliki sekurangnya tiga sifat. Ketiga sifat itu adalah (1) terdiri dari banyak bagian – bagian ; (2) bagian – bagian itu saling berinteraksi dan saling tergantung; dan (3)

1.5.3.2 Sistem dan Mekanisme Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah

Langsung

38

Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005164-165. 39

(30)

mempunyai perbatasan (boundaries) yang memisahkannya dari ligkungannya yang juga terdiri dari system – system lain.40

a. First Past The Post System

Sebagai suatu sistem, sistem pemilukada langsung mempunyai bagian – bagian yang merupakan sistem sekunder (secondary system) atau sub – sub sistem (subsystems). Bagian – bagian tersebut adalah electoral regulation, electoral process, dan electoral law enforcement. Electoral regulation adalah segala

ketentuan atau aturan mengenai pemilukada langsung yang berlaku, bersifat mengikat dan menjadi pedoman bagi penyelenggara, calon dan pemilih dalam melaksanakan peran dan fungsi masing – masing. Electoral process merupakan seluruh kegiatan yang terkait secara langsung dengan pilkada yang merujuk pada ketentuan perundang – undangan baik yang bersifat legal maupun teknikal. Electoral law enforcement yaitu penegakan hokum terhadap aturan – aturan

pemilukada baik politis, administratif atau pidana. Ketiga bagian pemilikada langsung tersebut sangat menentukan sejauh mana kapasitas system dapat menjembatani pencapaian tujuan dari proses awalnya. Masing – masing bagian

tidak dapat dipisah – pisahkan karena merupakan satu kesatuan utuh yang komplementer.

System pemilihan adalah suatu mekanisme atau tata cara untuk menentukan pasangan calon yang berhak menduduki jabatan kepala daerah / wakil kepala daerah. Kualitas kompetisi dalam pemilukada langsung dapat dilihat dari system pemilihan yang digunakan. Ada 5 (lima) sistem dalam pemilihan umum kepala daerah langsung, yaitu;

System first past the post ini dikenal sebagai system yang sederhana dan efisien. Calon Kepala Daerah yang memperoleh suara terbanyak otomatis memenangkan pilkada dan menduduki kursi Kepala daerah. Karenanya system ini

40

(31)

dikenal juga dengan sistem mayoritas sederhana (simple majority). Konsekuensinya, calon Kepala Daerah dapat memenangkan pemilukada walaupun hanya meraih kurang dari setengah suara jumlah pemilih sehingga legitimasinya sering dipersoalkan.

b. Preferantial Voting System atau Aprroval Voting System

Cara kerja system Preferantial Voting System atau Aprroval Voting System adalah pemilih memberikan peringkat pertama, kedua, ketiga dan seterusnya terhadap calon – calon kepala daerah yang ada pada saat pemilihan. Seorang calon akan otomatis memenangkan pemilukada langsung dan terpilih menjadi Kepala Daerah jika perolehan suaranya mencapai peringkat pertama terbesar. Sistem ini merupakan alat pengakomodasian dari sistem mayoritas sedehana (simple majority) namun dapat membingungkan proses penghitungan suara di setiap

tempat pemungutan suara (TPS) sehingga proses penghitungan suara di tempat pemungutan suara mungkin harus dilakukan secara terpusat.

c. Two Round System atau Run-Off System

Cara kerja system two round ini, pemilihan dilakukan dengan dua putaran (run off) dengan catatan jika tidak ada calon yang memperoleh mayoritas absolute

(lebih dari 50%) dari keseluruhan suara dalam pemilihan putaran pertama, maka dua pasangan calon Kepala Daerah dengan perolehan suara terbanyak harus melalui putaran kedua yang biasanya dilaksanakan beberapa waktu setelah pemilihan putaran pertama. Lazimnya, jumlah suara minimum yang harus diperoleh para calon pada pemilihan putaran pertama agar dapat melanjutkan pertarungan pada putaran kedua bervariasi, dari 20% sampai 30%. Sistem ini paling popular dinegara – Negara demokrasi presidensial.

d. Electoral College System

(32)

kabupaten/kota untuk Gubernur) diberikan alokasi atau bobot suara Dewan Pemilih (electoral college) sesuai dengan jumlah penduduk. Setelah pemilukada, keseluruhan jumlah suara yang diperoleh tiap calon di setiap daerah pemilihan dihitung. Pemenang di setiap daerah pemilihan berhak memperoleh keseluruhan suara Dewan Pemilih di daerah pemilihan yang bersangkutan. Calon yang memperoleh suara Dewan Pemilih terbesar akan memenangkan pemilukada langsung. Umumnya, calon yang berhasil memenangkan suara di daerah – daerah pemilihan dengan jumlah penduduk padat terpilih menjadi Kepala Daerah.

e. Sistem (Pemilihan Presiden) Nigeria

Seorang calon Kepala Daerah dinyatakan sebagai pemenang dalam pemilukada apabila calon bersangkutan dapat meraih suara mayoritas sederhana (suara terbanyak di antara calon – calon yang ada) dan minimum 25% dari sedikitnya 2/3 (dua pertiga) dari daerah pemilihan. System ini ditetapkan untuk menjamin bahwa Kepala Daerah terpilih memperoleh dukungan dari mayoritas penduduk yang tersebar di berbagai daerah pemilihan.41

• Menggunakan mekanisme pemilihan umum yang teratur

1.5.3.3 Mekanisme Pemilihan Kepala Daerah

Mekanisme pemilihan kepala daerah disebut demokratis apabila memenuhi beberapa parameter. Mengutip pendapat Robert Dahl, Samuel Huntington (1993) dan Bingham Powel (1978), Afan Gaffar dan kawan – kawan mengatakan, parameter untuk mengamati terwujudnya demokrasi antara lain:

• Memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan • Mekanisme rekrutmen dilakukan secara terbuka

41

(33)

• Akuntabilitas publik.42

Dibawah ini adalah penjelasan masing – masing parameter tersebut;

• Pemilihan Umum

Rekrutmen jabatan politik atau publik harus dilakukan dengan pemilihan umum yang diselenggarakan secara teratur dengan tenggang waktu yang jelas, kompetitif, jujur dan adil. Pemilihan umum merupakan gerbang pertama yang harus dilewati karena dengan pemilu, lembaga demokrasi dapat dibentuk. Kemudian setelah pemilihan biasanya orang akan melihat dan menilai seberapa besar pejabat publik terpilih memenuhi janji – janjinya. Penilaian terhadap kinerja pejabat politik itu akan digunakan sebagai bekal untuk memberikan ganjaran atau hukuman dalam pemilihan mendatang. Pejabat yang tidak dapat memenuhi janji – janjinya dan tidak menjaga moralitasnya akan dihukum dengan cara tidak dipilih, sebaliknya pejabat yang berkenaan dihati rakyat akan dipilih kembali oleh rakyat. • Rotasi Kekuasaan

Rotasi kekuasaan juga merupakan parameter demokratis setidaknya suatu rekrutmen pejabat politik. Rotasi kekuasaan mengandalkan bahwa

kekuasaan atau jabatan politik tidak boleh dan tidak bisa dipegang terus menerus oleh seseorang, seperti dalam sistem monarkhi. Artinya, kalau seseorang yang berkuasa terus menerus atau satu partai politik yang mengendalikan roda pemerintahan secara dominan dari waktu ke waktu, maka sistem itu kurang layak disebut demokratis. Dengan kata lain, demokrasi memberi peluang rotasi kekuasaan atau rotasi pejabat politik secara teratur dan damai dari seorang Kepala Daerah satu ke Kepala Daerah lain, dari satu partai politik ke partai politik lainnya.

42

(34)

• Rekrutmen Terbuka

Demokrasi membuka peluang untuk mengadakan kompetisi karena semua orang atau sekelompok mempunyai hak dan peluang yang sama. Oleh karena itu, dalam mengisi jabatan politik, seperti Kepala Daerah, sudah seharusnya peluang terbuka untuk semua orang yang memenuhi syarat, dengan kompetisi yang wajar sesuai dengan aturan yang telah disepakati. Di Negara – Negara totaliter dan otoriter, rekrutmen politik hanyalah merupakan domain dari seseorang atau sekelompok kecil orang.

• Akuntabilitas Publik

Para pemegang jabatan publik harus dapat mempertanggungjawaban kepada publik apa yang dilakukan baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat publik. Seorang Kepala Daerah atau pejabat politik lainnya harus dapat menjelaskan kepada publik mengapa memilih kebijakan A, bukannya kebijakan B, mengapa menaikkan pajak dari pada melakukan efisiensi dalam pemerintahan dan melakukan pemberatasan KKN. Apa yang mereka lakukan terbuka untuk dipertanyakan kepada publik. Demikian pula yang keluarga terdekatnya, sanak saudaranya, dan bahkan temen dekatnya seringkali dikaitkan dengan kedudukan atau posisi pejabat tersebut. Hal itu karena pejabat publik merupakan amanah dari masyarakat, maka ia harus dapat menjaga, memelihara dan bertanggungjawab dengan amanah tersebut.43

Selain itu pemilukada langsung dapat disebut praktik politik demokratis apabila memenuhi beberapa prinsifil, yakni menggunakan azas – azas yang

berlaku dalam rekrutment politik yang terbuka, seperti pemilu legisliatif (DPR, DPD, DPRD) dan pemilihan presiden dan wakil presiden, yakni azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Luber dan Jurdil):

43

(35)

• Langsung

Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. • Umum

Pada dasarnya semua warga Negara yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan perundangan berhak mengikuti pemilukada. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna yang menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga Negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial.

• Bebas

Setiap warga Negara yang berhak bebas memilih, menentukan pilihan tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Dalam melaksanakan haknya, setiap warga Negara dijamin keamanannya sehingga dapat memilih sesuai kehendak hati nurani dan kepentingannya.

• Rahasia

Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin dan pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dengan jalan apapun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapapun suaranya diberikan.

• Jujur

(36)

• Adil

Dalam penyelenggaraan pemilukada, setiap pemilih dan calon / peserta pemilukada mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecenderungan pihak manapun.44

Berangkat dari uraian serta tujuan penelitian maupun kerangka teori diatas, maka jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif dengan format deskriptif. Dengan maksud untuk menggambarkan,

menjelaskan berbagai kondisi dan situasi yang terjadi antara variable yang ada. Adapun penelitian deskriptif meliputi pengumpulan data untuk di uji kebenarannya atau menjawab pertanyaan mengenai status terakhir dari subjek penelitian. Tipe yang paling umum dari penelitian ini adalah penelitian sikap, atau pendapat individu, organisasi, keadaan ataupun prosedur yang dikumpulkan melalui daftar pertanyaan, survei, wawancara atau observasi.

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Jenis Penelitian

45

Populasi adalah seluruh objek yang terdiri dari manusia, benda, hewan, tumbu – tumbuhan, gejala, nilai, atau peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu dalam penelitian.

1.6.2 Lokasi Penelitian

Adapun yang menjadi lokasi penelitian ini adalah berada dikecamatan Siantar Selatan, kota Pematangsiantar.

1.6.3 Populasi dan Sampel

1.6.3.1 Populasi

46

44

Joko J. Prihatmoko, log,Cit., Hal.110-111 45

Mudrajad Kuncoro, Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi, Jakarta; Erlangga, 2003, Hal 8 46

(37)

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang ada di Kecamatan Siantar Selatan yang terdaftar sebagai pemilih, tetapi tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilukada Kota Pematangsiantar 2010 yaitu sebanyak 3.421 orang dari keseluruhan jumlah populasi 13.251 orang.

1.6.3.2 Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi dengan menggunakan cara tertentu. Dalam penelitian ini sampel yang diambil adalah masyarakat Kecamatan Siantar Selatan yang terdaftar sebagai pemilih tetap tetapi tidak menggunakan hak pilihnya. Dalam menentukan jumlah sampel untuk kuesioner, penulis menggunakan rumus Taro Yamane47

n =

N (d)2 +1 Keterangan :

n : Jumlah sampel

N: Jumlah populasi (DPT yang tidak menggunakan hak pilih)

d: Presisi 10% dengan tingkat kepercayaan 90%

Tingkat presisi yang dimaksud disini adalah rentang di mana nilai sebenarnya dari populasi yang diperkirakan. Sering juga disebut kesalahan sampling. Semakin besar tingkat kesalahan yang ditoleransi maka semakin kecil jumlah sampel yang diambil. Dan sebaliknya semakin kecil tingkat kesalahan yang ditoleransi, maka semakin besar mendekati populasi sampel yang harus diambil.

Dari rumus diatas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : , sebagai berikut;

N

47

(38)

3421

n =

3421(0.01)+1

3421

n =

35,21

n = 97,15 orang

maka jumlah sampel yang digunakan adalah 97orang

Sedangkan untuk menentukan responden yang berhak dijadikan sampel digunakan proporsional sampling. Penggunaan teknik ini dilakukan dengan menyeleksi setiap unit sampel yang sesuai dengan ukuran unit sampel dan untuk memungkinkan member peluang kepada populasi yang lebih kecil untuk tetap dipilih sebagai sampel.48

48

Jonathan, Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta : Graha Ilmu, 2006, Hal.115

Maka digunakanlah rumus N= n1(n)/n

Keterangan :

N: jumlah populasi

n1: jumlah DPT yang tidak menggunakan hak pilih/kelurahan

(39)

Table 1.1:

Jumlah Responden dari Seluruh Kelurahan

No Kelurahan

Masyarakat

yang terdaftar dalam DPT

Masyarakat yang menggunakan

hak pilihnya

Masyarakat yang tidak menggunakan

hak pilihnya

1 Toba 1742 1295 447

2 Karo 2518 1885 633

3 Simalungun 2439 1550 889

4 Kristen 1602 1139 463

5 Martimbang 2373 2001 372

6 Aek Nauli 2577 1960 617

Jumlah 13251 9830 3421

Sumber : KPU Kota Pematang Siantar

Dari rumus diatas, maka dapat diperoleh jumlah sampel per kelurahan yaitu :

1. Kelurahan Toba : (447 x 100) / 3421 = 13 orang

2. Kelurahan Karo : (633 x 100) / 3421 = 18 orang

3. Kelurahan Simalungun : (889 x 100) / 3421 = 25 orang

4. Kelurahan Kristen : (463 x 100) / 3421 = 13 orang

5. Kelurahan Martimbang : (372 x 100) / 3421 = 10 orang

6. Kelurahan Aek Nauli : (617 x 100) / 3421 = 18 orang

(40)

Keuntungan dalam menggunakan proporsional sampling ini adalah aspek representatifnya lebih meyakinkan sesuai sifat – sifat yang membentuk dasar unit – unit yang mengklasifikasikannya, sehingga mengurangi keanekaragaman.

1.6.4 Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data, ataupun informasi – informasi, keterangan dan fakta – fakta yang diperlukan untuk proses penelitian, peneliti menggunakan teknik penelitian data sebagai berikut :

• Penelitian kepustakaan, yaitu dengan mempelajari buku – buku, peraturan – peraturan, laporan – laporan, dokumen – dokumen serta bahan – bahan

terkait lainnya yang berhubungan dan dapat membantu dalam proses penyelesaian penelitian ini.

• Penelitian lapangan, yaitu pengumpulan data dengan terjun langsung ke

lokasi tempat penelitian dilaksanakan, dengan menggunakan metode kuesioner tertutup (angket) dan wawancara apabila diperlukan.

1.6.5 Teknik analisis Data

Teknik yang digunakan untuk menganalisa dalam penelitian ini adalah dengan analisa deskriptif kualitatif. Data yang telah diperoleh sebelumnya dilapangan, baik data primer maupun data sekunder akan dikaji dalam bentuk table dan uraian dengan menggunakan teori – teori yang berhubungan dengan masing – masing variabel, yang kemudian akan diperoleh suatu kesimpulan yang mampu menjawab pertanyaan penelitian ini.

1.6.6 Defenisi Konsep

Konsep adalah unsur penelitian yang penting dalam penelitian dan merupakan defenisi yang dipakai para peneliti untuk menggambarkan secara

(41)

Berdasarkan judul penelitian dan rumusan masalah yang telah dipilih oleh peneliti, maka yang menjadi defenisi konsep dalam penelitian ini adalah:

1. Perilaku Tidak Memilih

Perilaku tidak memilih adalah suatu sikap politik yang tidak menggunakan hak pilihnya pada saat hari H pemilihan umum karena dipengaruhi beberapa faktor.

2. Pemilihan Umum Kepala Daerah

Pemilihan mum kepala daerah merupakan salah satu sarana atau alat bagi masyarakat untuk memberikan dukungan dengan menempatkan orang – orang yang memiliki kemampuan untuk dapat duduk di pemerintahan sebagai wakil dari masyarakat.

1.6.7 Defenisi Operasional

Pada dasarnya adalah bagaimana mengukur suatu variabel, sehingga dapat diketahui indicator apa saja yang melekat dalam variabel sebagai pendukung untuk dianalisis ke dalam variabel tersebut

Berikut ini dapat diuraikan variabel yang diteliti beserta indikator – indikator yang dipakai sebagai alat pengukurnya:

1. Perilaku Tidak Memilih

- Faktor Psikologis, dengan indikatornya ciri – ciri kepribadian seseorang dan orientasi kepribadian seseorang terhadap pemilu umum kepala daerah.

- Faktor Latar Belakang Status Sosial-Ekonomi, dengan indikatornya: tingkat pekerjaan, tingkat pemdapatan.

a. Tingkat pendidikan, dengan indikatornya:

(42)

1. Jenjang pendidikan dasar meliputi sekolah dasar (SD), sekolah luar biasa (SLB) tingkat dasar, dan sekolah menengah pertama (SMP)

2. Jenjang pendidikan menengah meliputi sekolah menengah atas (SMA) sederajat

3. Jenjang pendidikan tinggi meliputi program gelar mencakup pendidikan sarjana dan pendidikan diploma.

b. Tingkat Pekerjaan

Pekerjaan adalah kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat sebagai mata pencaharian hidupnya, baik itu pekerjaan tetap maupun pekerjaan sampingan.

- Faktor kepercayaan politik, dengan indikatornya tidak mempunyai pilihan dalam pemilu, bentuk protes kepada pemerintah, kekecewaan terhadap kinerja pemerintah, kepercayaan terhadap pemerintah. Berkaitan dengan kebijakan pemerintah, dengan indikatornya individu memiliki kepentingan langsung dengan kebijakan yang dibuat

pemerintah.

- Faktor sistem politik, dengan indikatornya tidak adanya kebebasan bagi masyarakat untuk menentukan sendiri pilihan politik.

- Sistem Pemilihan Umum, dengan indikator : intensitas megikuti kempanye

1.6.8 Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini akan disajikan penulis kedalam IV Bab, dengan sistematika penulisan sebagai berikut ;

BAB I : PENDAHULUAN

(43)

BAB II : DESKRIPSI DAN LOKASI PENELITIAN

Akan menggambarkan segala sesuatu mengenai objek penelitian yaitu gambaran umum wilayah Kecamatan Siantar Selatan yang dilihat dari geografis dan luas wilayah, komposisi kependudukan, perekonomian masyarakat, sarana dan prasarana serta struktur organisasi dan personalia.

BAB III : PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS

Bab ini akan berisikan tentang penyajian data dan fakta yang didapat dari lapangan yang diperoleh dari kuesioner yang telah diberikan kepada responden serta pembahasan dan analisis dari fakta dan data tersebut.

BAB IV ; PENUTUP

Gambar

Table 1.1:

Referensi

Dokumen terkait

Atribut-atribut yang berada pada kuadran II merupakan atribut-atribut yang dianggap penting oleh konsumen madu di Kota Bengkulu, serta secara umum telah memiliki kinerja

individu dalam perekonomian, 3) Berfungsi sebagai yang mengatur pembagian.. hasil dari produksi pada seluruh masyarakat agar dapat berjalan sesuai dengan. harapan,

Namun pada pernyataan saya menyadari kekurangan saya di sekolah tetapi tidak berusaha mengimbanginya dengan belajar lebih giat memperoleh persentase terendah 72,50%

Dengan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif ini sebagaimana yang dijelaskan di atas, bahwa metode ini menafsirkan fenomena-fenomena secara

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena berkat dan kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul : “ STUDI PENGARUH

Kelemahan di dalam perusahaan Tahubaxo Ibu Pudji sebagai berikut: Pembeli menilai harga yang di tawarkan untuk produk cukup mahal , selain itu tahu bakso ibu pudji

Tidak ada jawaban yang dianggap salah, semua jawaban adalah benar jika diisi dengan jujur sesuai dengan keadaan saat ini7. Pilih salah satu dari empat jawaban yang ada dan yang

5 di atas hasil jawaban responden mengenai indikator keempat pertanyaan pertama yaitu : Pendapat tidak wajar diberikan apabila auditor tidak dapat memberikan laporan keuangan