• Tidak ada hasil yang ditemukan

speech bm dialogrisk 100609

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "speech bm dialogrisk 100609"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1 Keynote Speech

MANAJEMEN RISIKO DI LINGKUNGAN YANG SEMAKIN DINAMIS1

BUDI MULYA

Deputi Gubernur Bank Indonesia

Hadirin sekalian yang saya hormati,

Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Thomson Reuters, sebagai penyelenggara diskusi hari ini, yang telah mengundang saya untuk ikut berdialog dengan para pelaku pasar finansial Indonesia. Ke depan diskusi seperti ini akan semakin penting bagi kita semua, agar kita dapat memperoleh pemahaman yang sama terhadap beberapa aspek di pasar keuangan meskipun kita memiliki kepentingan yang berbeda. Dengan demikian, perekonomian dan masyarakat luas akan semakin merasakan manfaat keberadaan pasar keuangan Indonesia. Khususnya, dalam menghadapi kondisi yang berubah secara signifikan pasca krisis pasar keuangan global yang baru saja terjadi.

Krisis pasar keuangan global yang baru saja terjadi telah memberikan beberapa pelajaran penting bagi kita semua. Sebagaimana yang terjadi dengan tragedi kemanusiaan, penyebabnya beragam dan saling terkait. Namun demikian, semua penyebab yang mungkin pada akhirnya berawal dari atau terkait dengan sifat dan perilaku manusia. Secara spesifik, kita mencermati bahwa semuanya berawal dari bagaimana pelaku pasar dan juga pihak otoritas menilai dan menyikapi risiko. Hal yang dalam praktiknya ternyata kontras dengan diskusi mengenai manajemen risiko yang telah menajdi bahan diskusi utama dalam satu dekade terakhir. Hal yang paling menonjol adalah bagaimana pelaku pasar cenderung dihinggapi semacam ‘ilusi keuntungan’ yaitu, perilaku yang cenderung mengesampingkan aspek risikonya karena terlalu fokus pada potensi keuntungan. Perilaku yang menunjukkan betapa mudahnya kita terjebak pada rasa puas diri dan mengabaikan kemungkinan kondisi yang berubah.

Di sisi lain, otoritas juga cenderung terjebak pada perilaku yang sama. Mereka cenderung terlalu berasumsi bahwa disiplin pasar akan selalu berjalan dengan baik. Hal ini terlihat khususnya dalam mengatur dan mengawasi transaksi yang sifatnya ‘over-the counter’.Terkait hal ini, otoritas harus kembali mennegok nilai-nilai tradisional umum bahwa kewajaran harus melandasi bisnis di pasar keuangan.

Sejalan dengan tendensi yang berkambang pasca krisis, yaitu meningkatnya tuntutan akan kewajaran dan transparansi maka adopsi dari suatu standar internasional atas laporan keuangan, seperti PSAK 50 dan 55 menjadi hal yang tidak bisa kita hindari. Terlebih

1

(2)

2 bila mengingat bahwa dari krisis yang baru lalu, kita melihat bahwa kurangnya transparansi telah berperan memperparah gejolak yang terjadi di pasar keuangan global.

Saya berharap bahwa kita semua siap dan mendukung diberlakukannya PSAK 50 dan 55 sesuai dengan jadual, yaitu mulai Januari 2010. Meskipun demikian, hari ini saya tidak ingin terlalu jauh mendiskusikan hal-hal detail menyangkut kedua standard akuntansi tersebut, melainkan akan lebih menyoroti aspek-aspek yang kita pelajari dari krisis keuangan global yang terjadi terakhir. Saya percaya bahwa hal-hal tersebut sejalan dan akan semakin memperkuat alasan perlunya kita mulai menerapkan standard akuntansi yang bersifat internasional.

Hadirin sekalian yang saya hormati,

Sengaja saya awali diskusi hari ini dengan mengingatkan kembali betapa pentingnya menjaga kewajaran para pelaku di pasar keuangan, termasuk para bankir mengingat kegagalan yang terjadi di pasar keuangan akan selalu membebani perekonomian dan masyarakat luas serta akan memakan waktu yang lama untuk menyembuhkannya. Sebagaimana yang pernah kita alami di tahun 1997/98 yang lalu.

Selanjutnya saya akan memaparkan secara singkat dampak dari krisis global kali ini ke dalam perekonomian kita sebagai latar belakang untuk menggarisbawahi hal-hal yang harus menjadi agenda kita bersama. Hal ini agar ke depan kita memiliki sistem perbankan dan pasar keuangan yang paling cocok dan sesuai dengan kebutuhan perekonomian domestik.

Sebagaimana telah kita ketahui bersama, dampak krisis pasar keuangan yang bermula sekitar dua tahun yang lalu, khususnya pasca bangkrutnya Lehman Brother bulan September tahun lalu telah menyebar ke hampir seluruh dunia. Dalam perkembangannya hamper tidak ada lagi pembicaraan mengenai ‘decoupling’ mengingat perekonomian, perdagangan dan pasar keuangan telah sedimikian teritengrasinya secara global.

Secara global, perekonomian mengalami koreksi yang tajam. Beberapa negara maju bahkan telah mengalami pertumbuhan yang negatif. Hal yang juga terjadi di beberapa negara Asia. Sebagai respon atas perkembangan ini dan untuk mencegah dampak yang lebih parah bagi perekonomian, otoritas secara global telah melakukan ekspansi besar-besaran yang tentunya berimplikasi pada meningkatnya defisit anggaran pemerintah. Langkah ini diikuti dengan beberapa negara mengeluarkan blanket guarantee. Langkah-langkah ini menunjukkan betapa seriusnya dampak krisis bagi pereknomian. Semua langkah yang secara politis feasible telah diambil oleh berbagai otoritas.

(3)

3 memperpanjang tenor transaksi OPT dan meningkatkan volume transaksi OPT hingga pembelian surat-surat berharga di pasar keuangan secara outright.

Langkah yang ditempuh berbagai bank sentral tersebut juga menunjukkan sedmikian parahnya gangguan yang terjadi di pasar uang dan pasar keuangan secara lebih luas. Hal yang paling menonjol adalah hilangnya kepercayaan diantara para pelaku pasar, sehingga likuiditas tidak mengalir di pasar uang antar bank. Hal yang tidak lain mencerminkan praktik manajemen risiko yang cenderung terlalu kontras dalam kondisi normal dan dalam kondisi krisis. Dalam kondisi krisis, bank cenderung terlalu rigid, bahkan terlihat cenderung berekasi berlebihan untuk menghindari dari risiko. Indikasi yang dalam kadar tertentu terlihat pula di pasar uang kita sejak beberapa bulan yang lalu.

Di sisi lain, kita juga melihat bahwa ekspansi fiskal besar-besaran yang dilakukan beberapa negara dilakukan bukan tanpa konsekuensi di kemudian hari. Bahkan sejak hal tersebut dilakukan, beberapa pihak sudah mulai mempertanyakan bagaimana nanti pemerintah memitigasi implikasinya pada meningkatnya potensi risiko inflasi dalam jangka panjang. Pertanyaan-pertanyaan mengenai ‘exit strategy’ tersebut terlihat semakin meningkat dewasa ini sebagaimana antara lain tercermin dari struktur suku bunga yang cenderung curam di berbagai negara.

Hadirin sekalian yang saya hormati,

Khusus dari sisi pasar keuangan, saya ingin memfokuskan pada salah satu aspek yang berkontribusi pada kedalaman krisis pasar keuangan, yaitu transaksi derivative. Transaksi derivative yang awalnya ditujukan untuk membantu manajemen risko telah berkembang terlalu jauh. Transaksi tersebut telah menjadi sedemikian kompleks dan cenderung tidak terkait dengan aktivitas ekonomi.

Transaksi derivative telah cenderung menjadi sarana untuk mengejar keuntungan semata, sehingga akhirnya terbukti justru menambah risiko. Beberapa pelaku pasar terlihat memanfaatkan karakteristik transaksi derivative yang cenderung bersifat ‘over-the counter’, kurang transparan dan tidak termonitor dengan memadai oleh otoritas. Namun demikian, kita melihat telah terjadi tendensi yang berubah terkait bagaimana otoritas mengatur dan menyikapi transaksi jenis ini yang cenderung bergeser ke arah penyederhanaan (flight to simplicity). Hal yang antara lain terlihat dari bagaimana otoritas di US meningkatkan efektifitas pengawasannya untuk jenis transaksi ini, termasuk penerapan centralized clearing and exchange trading for standardized derivative product.

(4)

4 Hadirin sekalian yang saya hormati,

Selanjutnya, izinkan saya untuk memaparkan perkembangan perekonomian Indonesia yang akhir-akhir ini menunjukkan kinerja yang menggembirakan. Sebagai konsekuensi logis dari perekonomian terbuka, perlambatan ekonomi sebagai bagian dari dampak krisis global tidak dapat kita hindari. Namun demikian, berbeda dengan perekonomian lain yang cenderung terkontraksi, ekonomi Indonesia masih sanggup tumbuh positif 4.4% di triwulan I-2009.

Bersama dengan China dan India yang juga merupakan negara dengan populasi penduduk yang besar, Indonesia merupakan salah satu perekonomian yang masih mencatat pertumbuhan positif di tengah gelombang krisis terberat yang pernah terjadi setelah era depresi ekonomi tahun 1930-an. Momentum pertumbuhan positif di ekonomi Indonesia sanggup dipertahakan karena rendahnya ketergantungan ekonomi terhadap ekspor, terutama bila dibandingkan dengan peran permintaan domestik yang lebih dari 60% terhadap PDB. Resiliensi permintaan domestik juga banyak terbantu oleh dampak dari belanja PEMILU yang cukup besar akhir-akhir ini. Berbagai perbaikan positif terhadap persepsi global terhadap perekonomian Indonesia juga mulai terlihat. Pada minggu lalu, IMF telah merevisi ke atas perkiraan mereka terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia dari sebelumnya 2.5% menjadi 3.0%-4.0%, yang juga sejalan dengan perkiraan kami atas pertumbuhan ekonomi di 2009.

Perlambatan ekonomi domestik berdampak langsung terhadap inflasi yang telah menurun cukup drastis dari sekitar 11% di 2008 menjadi 6.04% pada Mei 2009. Selain disebabkan oleh melemahnya sisi permintaan, meredanya tekanan inflasi juga disumbang oleh terjaganya pasokan barang, serta dampak dari penguatan nilai tukar rupiah. Kondisi ini kami perkirakan terus berlangsung di keseluruhan tahun 2009 sehingga inflasi dapat berada pada batas bawah kisaran 5.0%-7.0%.

Sementara itu, Neraca Pembayaran Indonesia di triwulan I-2009 mencatat surplus USD 4.2 milyar menyusul kontraksi yang cukup besar di sisi impor serta derasnya arus modal masuk, terutama dalam bentuk portfolio, yang dipicu oleh persepsi risiko yang membaik. Kondisi ini kami perkirakan terus bertahan di keseluruhan tahun 2009 sehingga sanggup mendukung perkiraan surplus transaksi berjalan sebesar USD 0.9 milyar dan surplus neraca modal dan finansial sebesar USD 5.8 milyar untuk menopang surplus neraca pembayaran sebesar USD 6.5 milyar. Prospek tersebut cukup memadai dalam menjaga kestabilan level cadangan devisa sekaligus stabilitas nilai tukar rupiah ke depan.

(5)

5 Hadirin sekalian yang saya hormati,

Pasar keuangan domestik juga mengalami volatilitas yang cukup tinggi di tengah krisis global beberapa waktu lalu. Dalam kaitan ini saya ingin menyoroti khususnya apa yang terjadi di pasar uang dan perbankan kita. Meskipun perbankan kita terbukti cukup tangguh dan dapat bertahan dari badai krisis global namun menunjukkan perilaku yang mirip dengan yang terjadi di perbankan internasional. Mereka cenderung terlalu mengindari risiko sehingga transaksi di pasar uang terganggu, likuiditas tidak mengalir di tengah menumpuknya stok likuditas perbankan.

Hal tersebut juga tercermin dari beberapa indikator di pasar uang yang menunjukkan pola yang sama dengan indikator pasar uang secara global. Misalnya meningkat tajamnya spread JIBOR I bulan dengan BI Rate, yang lazimnya hanya dalam kisaran 20 bps menjadi sekitar 225 bps pada periode pertengahan September hingga awal Januari 2009 lalu. Juga spread antara suku bunga dasar kredit (SBDK) dengan BI Rate yang menunjukkan trend yang terus meningkat di tengah trend BI Rate yang telah turun cukup besar. Spread SBDK, khususnya untuk kredit konsumsi, terhadap BI Rate bahkan kini mencapai 900 bps. SBDK mulai berada di level 16% sejak pertengahan September 2008.

Kedua indikator tersebut paling tidak menunjukkan meningkatnya persepsi risiko likuiditas yang cenderung berlebihan di tengah menumpuknya stok likuditas, sebagaimana tercermin dari penempatan dana perbankan di Bank Indonesia yang kini mencapai jumlah Rp 270 triliun. Terkait hal ini, saya ingin menggarisbawahi beberapa aspek di dalam sistem perbankan kita.

Pertama, paling tidak sejak tahun 1998 perbankan domestik berkembang dalam situasi pasar uang dengan likuiditas yang berlebih. Hal yang kontras dengan situasi yang dihadapi perbankan di negara-negara maju yang pasar uangnya cenderung ‘shortage’ sehingga setiap hari perbankan harus meminjam likuiditas dari bank sentral melalui transaksi OPT. Kondisi likuiditas di pasar uang yang berlebih setiap hari tersebut menyebabkan aspek manajemen risiko likuiditas perbankan cenderung terlalu longgar.

Kedua, adalah adanya ketergantungan yang berlebihan terhadap pemanfaatan transaksi pasar uang antar bank rangka manajemen likuiditas. Kondisi ini tidak dapat dilepakan dari faktor-faktor yang telah saya paparkan di atas. Pada saat counterparty risk meningkat, sebagaimana berlangsung saat puncak krisis tahun lalu, aliran dana di pasar uang antar bank turun secara signifikan aliran likuiditas di pasar keuangan terhenti. Di sisi lain, bank cenderung menahan excess reserve dalam jumlah besar dan menempatkannya pada instrumen OPT bank sentral. Fenomena ini, pada gilirannya, telah membatasi perkembangan transaksi antar-bank beragunan, seperti misalnya pasar repo. Terkait dengan pengembangan pasar repo, sejak tahun 2005 Bank Indonesia telah menginisiasi penyusunan standardisasi repo agreement yang juga turut melibatkan pelaku di pasar fixed

income. Namun demikian, respon pasar sejauh ini masih terbatas dalam mengoptimalkan

(6)

6 Ketiga, terkait dengan potensi risiko di dalam strategi pendanaan perbankan. Besarnya ketergantungan perbankan nasional atas pembiayaan melalui DPK, seperti giro, tabungan, dan deposito berjangka, memiliki tingkat kerentanan yang tinggi seiring dengan semakin bervariasinya instrumen di pasar keuangan yang pada gilirannya meningkatkan kompetisi antar pelaku perbankan. Dalam konteks tersebut, perbankan sudah seharusnya memperkuat ALMA mereka melalui akses yang terukur terhadap instrumen di pasar uang.

Ketiga aspek yang telah saya paparkan di atas menjadi agenda kita bersama dalam lingkup upaya penguatan industri perbankan nasional sekaligus meningkatkan ketahanan pasar keuangan. Secara lebih spesifik, agenda ini juga mengacu pada upaya peningkatan pemahaman pelaku pasar atas implementasi manajemen risiko di dalam bisnis mereka, khsusunya seiring dengan semakin rendahnya ekses likuiditas perbankan dari waktu ke waktu yang seiring dengan meningkatnya kegiatan ekonomi dan berbagai perubahan strategis di area debt dan cash management Pemerintah.

Aspek terakhir sekaligus menandakan besarnya kebutuhan atas penerapan standar internasional khususnya terkait dengan penguatan aspek transparansi. Hal ini termasuk pengadopsian standar internasional dalam Pelaporan Keuangan dan Standar Akuntansi Internasional, yang dalam konteks Indonesia terwujud di dalam PSAK 50 dan 55. Sebagaimana kita pahami, lemahnya aspek transparansi telah menjadi salah satu faktor penting yang memperdalam krisis dan memicu kepanikan yang berlebihan di pasar keuangan.

Hadirin sekalian yang saya hormati,

Sebelum saya mengakhiri sambutan saya, izinkan saya untuk sekali lagi mengingatkan kita semua untuk terus menempuh langkah yang wajar dan akurat dalam penerapan manajemen risiko.

Indikasi awal stabilisasi perekonomian global, termasuk di pasar keuangan memang mulai terlihat. Namun demikian, perlu diingat bahwa risiko ketidakpastian ke depan masih sangat besar sehingga sikap optimis yang berlebihan perlu dihindari. Tidak sedikit pelaku pasar yang belum mau mengubah tata caranya berbisnis di pasar keuangan. Indikasi ini mudah kita temui dari respon beberapa pelaku pasar yang cenderung terlampau optimis dan bereaksi secara berlebihan, khususnya terhadap informasi lebih baik ekspektasi mereka sebelumnya. Perbaikan suatu indikator ekonomi memang dapat mengangkat rasa percaya diri pelaku pasar. Namun, sejarah juga mengajari kita bahwa perbaikan yang dilandasi sentimen cenderung jauh dari aspek fundamental, serta hanya sebatas refleksi atas keuntungan dan kerugian yang bersifat temporer. Oleh karena itu, kita perlu lebih bijaksana dalam menyikapi berbagai indikasi perbaikan yang saat ini berlangsung. Optimisme yang terbentuk harus tetap dilandasi kehati-hatian sebagai dasar bagi pengambilan keputusan yang terukur.

(7)

7 ditengah berlangsungnya krisis, perlu disikapi secara tepat melalui penerapan ukuran-ukuran risiko yang lebih bijaksana. Terkait industri perbankan nasional, perlu kiranya saya tekankan bahwa upaya meminimalkan risiko tidak dapat diterjemahkan melalui pembatasan penyaluran kredit secara berlebihan. Dalam kondisi krisis, penerapan manajemen risiko terletak pada kemampuan bank dalam melakukan seleksi yang tepat atas bisnis-bisnis yang potensial. Bagaimanapun, perlu dipahami oleh kita semua bahwa hakikat keberadaan bank bagi perekonomian tidak dapat dilepaskan dari fungsinya sebagai lembaga penyalur kredit.

Akhirnya, besar harapan saya agar dialog ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kita semua sekaligus memberikan pamahaman baru bagi kita untuk menyiapkan dengan baik penerapan PSAK 50 dan 55, sejalan dengan perlunya penguatan praktek manajemen risiko dan disiplin pasar ditengah kondisi lingkungan global yang semakin dinamis ke depan.

Terima kasih.

Referensi

Dokumen terkait

Lingkungan kerja yang harus diperhatikan bukan hanya tentang lingkungan kerja fisik saja tetapi juga tentang lingkungan kerja non fisik yaitu hubungan antara satu karyawan

Menurut Farrell( 1982) rawatan yang diberi kepada pesakit ortopedik mengambil masa yang lama dan secara tidak langsung aktiviti mereka terhad, oleh sebab itu jururawat

Dari hasil penelitian di atas dapat dilihat bahwa ekstrak etanol buah Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa) efektif dalam menghambat pertumbuhan Salmonella Thypii,

(3) Iuran Penyiaran, sumbangan masyarakat, Siaran Iklan, dan/atau usaha lain yang sah yang terkait dengan penyelenggaraan Penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat

Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

Berdasarkan data yang di dapat Badan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Sleman telah mengacu pada dasar teori yang telah sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.71 Tahun 2010

Data diambil dari Dinas Kesehatan Kabupaten Gresik dengan variabel penelitian yang digunakan adalah data jumlah angka kesakitan penyakit menular di Kabupaten Gresik tahun 2013

Salah satunya adalah untuk menyampaikan Informasi seputar pembuatan KTP, Pada Pekon Sridadi, masyarakat yang hendak membuat KTP harus datang ke Balai Pekon untuk