• Tidak ada hasil yang ditemukan

J01033

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan " J01033"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Problematika Hukum Pilkada Kota Salatiga Periode 2011-2016

1

Oleh

Andre Sutantyo, Tri Budiyono,& Umbu Rauta

Abstrak

Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung oleh rakyat yang dilaksanakan sejak 2005 membawa sejumlah capaian positif maupun sejumlah problematika. Kota Salatiga pada tahun 2011 juga menyelenggarakan Pilkada. Tulisan ini menguraikan sejumlah problematika hukum yang terjadi dalam Pilkada Kota Salatiga, maupun faktor penyebab dan upaya penyelesaian problematika dimaksud di waktu yang akan datang.

Dari hasil kajian ditemukan ada sejumlah problematika hukum, baik dalam tahap persiapan maupun tahap pelaksanaan Pilkada tersebut. Oleh karenanya, di waktu yang akan datang semua pihak terkait (penyelenggara, partai politik, pemilih, PNS dan pasangan calon) perlu melakukan aktivitas yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

A. Pengantar

Pada tahun 2011 Kota Salatiga menyelenggarakan salah satu event

ketatanegaraan yaitu pemilihan umum walikota dan wakil walikota

(selanjutnya disebut pilkada) periode 2011 – 2016. Pilkada tersebut

merupakan instrumen pengisian kepala daerah (KDH) dan wakil kepala

daerah (WKDH) di Indonesia, yang secara konstitusional diperintahkan

dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945, yang kemudian dielaborasi

dalam UU No. 32 Tahun 2004 (terakhir diubah dengan UU No. 12 Tahun

2008) tentang Pemerintahan Daerah serta peraturan pelaksanaan lainnya.2

1 Tulisan ini bersumber dari Tesis Andre Sutanto di Program Magister Ilmu Hukum Fakultas

Hukum UKSW, dibawah bimbingan Dr. Tri Budiyono, SH.M.Hum & Umbu Rauta, SH.M.Hum. Untuk kepentingan publikasi, telah dilakukan modifikasi oleh ketiga penulis tersebut, agar lebih komunikatif di hadapan pembaca.

2 Peraturan pelaksanaan lainya seperti PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan,

(2)

Secara teoretik, pengisian jabatan KDH dan WKDH merupakan salah

satu perwujudan dianutnya prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan

pemerintahan Indonesia, dimana rakyat terlibat secara langsung dalam

penentuan pemimpin baik di daerah dan di pusat. Dalam pengertian yang

lebih partisipatif, demokrasi merupakan konsep kekuasaan dari, oleh,

untuk dan bersama rakyat. Artinya, kekuasaan itu pada pokoknya diakui

berasal dari rakyat, dan karena itu rakyatlah yang memberikan dan

menentukan arah serta yang sesungguhnya menyelenggarakan kehidupan

bernegara.3

Secara normatif, tahapan pemilihan KDH dan WKDH dibagi dalam

dua tahap yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. 4 Tahap persiapan

meliputi pemberitahuan oleh DPRD kepada KDH dan KPUD mengenai

berakhirnya masa jabatan KDH bersangkutan, penetapan tata cara dan

jadwal pelaksanaan Pemilihan Umum KDH dan WKDH, pembentukan

perangkat Pemilihan Umum KDH dan WKDH (Panitia pengawas, PPK, PPS

dan KPPS),pemberitahuan dan pendaftaran pemantau. Sedangkan tahap

pelaksanaan meliputi penetapan daftar pemilih (DPT), pendaftaran dan

penetapan calon KDH dan WKDH, kampanye, pemungutan suara,

penghitungan suara dan penetapan, pengesahan serta pelantikan calon

KDH dan WKDH terpilih.

Pemilihan Umum KDH dan WKDH secara langsung telah berlangsung

sejak tahun 2005, di mana dalam prakteknya telah membawa dampak

positif bagi perkembangan dan kedewasaan kehidupan berdemokrasi di

Indonesia. Namun, tak terelakan pula adanya problematika hukum dalam

penyelenggaraan pilkada, antara lain : pragmatisme partai politik dalam

rekrutmen pasangan calon yang mana lebih mengedepankan kepemilikan

Pemilihan Kecamatan, Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, dan Komisi Pemilihan Umum Provinsi, serta Penetapan Calon Terpilih, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pelantikan.

3 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar Pilar Demokrasi, Sekjen dan kepaniteraan

MK RI, Jakarta: 2006.

4 UU No 32 Tahun 2004, maupun peraturan pelaksanaan sebagaimana disebutkan

(3)

modal,5 kemunculan program-program dari calon petahana (incumbent)

menjelang pilkada, banyaknya realisasi program pemerintah menjelang

pilkada,6 penggunaan dana APBD oleh pasangan calon petahana

(incumbent) untuk pembiayaan kampanye, politik uang (money politic)

dengan biaya sendiri oleh pasangan calon bukan incumbent;7 Daftar Pemilih

Tetap (DPT) yang bermasalah oleh KPU, rendahnya netralitas Pegawai

Negeri Sipil,8 rendahnya tingkat partisipasi pemilih, serta penggunaan hak

pilih berkali-kali.9

Problematika hukum pada tataran nasional berpeluang muncul

dalam pilkada Kota Salatiga tahun 2011, antara lain : penolakan oleh DPP

PDIP atas usulan pasangan calon dari DPC PDIP,10 pencalonan salah satu

kader senior GOLKAR yaitu Rosa Maria Delima Sri Darwanti, SH, M. Si

oleh partai politik lain, pelanggaran terhadap ketentuan teknis penyusunan

DPT, pelanggaran terhadap ketentuan kampanye, laporan dugaan money

politic, laporan dugaan pelanggaran tata cara pemungutan suara, serta

rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pengawasan proses

pelaksanaan Pemilihan KDH dan WKDH.11

Beranjak dari berbagai problematika nasional dan lokal tersebut,

mendorong untuk dilakukan kajian lebih mendalam terhadap problematika

hukum dalam pilkada Kota Salatiga, termasuk anasir-anasir penyebabnya

dan upaya penyelesaiannya.

B. Permasalahan

Rumusan permasalahan memumpun pada hal-hal berikut : (1) Apa

problematika hukum yang muncul dalam Pilkada Kota Salatiga periode

5 Tujuh Rekomendasi RAKORNAS PDIP, Vivanews.com, 6 Agustus 2010 6 Awasi Pilkada, Bawaslu gandeng KPK, Vivanews.com, 18 Februari 2010. 7 MK:Sistem Pilkada Suburkan Money Politic, Vivanews.com, 3 Feb 2012 8 Ini Biang Semua Sengketa Pemilu dan Pilkada, Vivanews.com, 21 Feb 2012 9 Kalah, Enam Kandidat Minta Pilkada Ulang, Vivanews.com, 29 Oktober 2008

10 DPC PDIP Usulkan Bambang Riantoko-Teddy Sulistio. Semarang metro. 7 Januari 2011

11 Tim Panwaslu, Laporan Penyelenggaraan Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Salatiga

(4)

2011 – 2016; (2) Apa faktor-faktor yang menyebabkan terjadi problematika

hukum dalam Pilkada Kota Salatiga periode 2011 – 2016 ? dan (3) Apa

solusi pemikiran untuk mengatasi problematika hukum dalam Pilkada Kota

Salatiga periode 2011 – 2016 ?

C. Pembahasan

C.1. Identifikasi Problematika Hukum Pemilihan KDH dan WKDH Kota

Salatiga Tahun 2011.

Sesuai urutan tahapan Pemilihan KDH dan WKDH, berikut

diidentifikasi setiap problematika hukum yang muncul saat Pilkada Kota

Salatiga. Pada Tahap Persiapan, problematika hukum berupa :

a. Terdapat laporan dari masyarakat dan Panwaslu, bahwa ada 2

(dua) anggota PPS yang tidak memenuhi syarat dikarenakan masih

menjadi anggota partai politik.12 Hal ini melanggar Pasal 11 Ayat

(3) PP No. 6 tahun 2005, yang berbunyi: “Anggota PPS ... berasal

dari tokoh masyarakat yang independen ”. Hal ini diperkuat

dengan Pasal 13 huruf (e) PP yang sama yaitu; “ Syarat untuk

menjadi PPS, PPK dan KPPS adalah : (e) Tidak menjadi anggota

Partai Politik”. Oleh karena itu, kemudian diambil tindakan dengan

pemberhentian yang bersangkutan dari keanggotaan.

b. Adanya kebijakan Walikota Salatiga tentang mutasi dan promosi

kepegawaian di lingkungan Pemerintah Kota Salatiga yang

berakibat pergantian antar waktu pada sekretariat di tingkat PPK

maupun di tingkat PPS. Kebijakan dimaksud dimuat dalam

Keputusan Walikota Salatiga No. 274-05/193/2011 tentang

Susunan Keanggotaan PAW Sekretariat Panitia Pemilihan

12 Tim KPU, Laporan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Walikota dan Wakil Walikota Salatiga

(5)

Kecamatan(PPK) pada Pemilu Walikota dan Wakil Walikota

Salatiga Tahun 2011.13

Kemudian pada tahap pelaksanaan, beberapa problematika hukum yang

muncul yaitu :

a. Dalam proses penetapan pasangan calon yang mendaftarkan diri

melalui partai politik terjadi beberapa problematika hukum.

Pertama, Pasangan calon Bambang Soetopo dan Rosa Darwanti

Manoppo yang merupakan kader partai Golkar justru tidak

didukung oleh Partai Golkar. Berdasarkan penjaringan aspirasi di

tingkatan kecamatan diusulkan pengajuan calon dari partai

Golkar atas nama Rosa Darwanti akan tetapi hal ini tidak disetujui

oleh DPD II. Kedua, pasangan calon atas nama Teddy Sulistio dan

Bambang Riantoko yang diajukan lewat rapat PAC hingga Dewan

Pimpinan Cabang (DPC) PDI-Perjuangan Kota Salatiga untuk

diusulkan Ke Dewan Pimpinan Pusat (DPP) ternyata tidak

disetujui. Dengan alasan hasil survei independen yang dilakukan

DPP PDI-Perjuangan, maka dikeluarkan rekomendasi untuk Diah

Sunarsasi (sebagai calon walikota) berpasangan dengan Teddy

Sulisto (sebagai calon wakil walikota). Hal ini melanggar prinsip

demokrasi dan transparansi dalam penjaringan pasangan calon

lewat partai politik seperti tertuang dalam Pasal 29 ayat (2) UU No.

2 Tahun 2011 tentang Partai Politik :

Ayat (1) Partai Politik melakukan rekrutmen terhadap warga negara Indonesia untuk menjadi:

c. bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah; dan (2) Rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan AD dan ART serta peraturan perundang undangan.”

13 Tim KPU, Laporan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Walikota dan Wakil Walikota Salatiga

(6)

Selain itu, penetapan pasangan calon ini juga melanggar Pasal 59

Ayat (3) dan (4) UU No. 32 tahun 2004 :

Ayat (3) Partai politik atau gabungan partai politik wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud melalui mekanisme yang demokratis dan transparan.

Ayat (4) Dalam proses penetapan pasangan calon, partai politik atau gabungan partai politik memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat.”

b. Semua pasangan calon melakukan kampanye dengan arak-arakan

dan pengumpulan massa sehingga mengganggu pengendara jalan

serta pemasangan alat peraga kampanye tidak pada tempatnya.

Ini bertentangan dengan Pasal 78 huruf (e) dan huruf (j) UU No. 32

tahun 2004 yaitu:

“(e). mengganggu keamanan, ketenteraman, dan ketertiban umum” dan huruf;

(j) melakukan pawai atau arak-arakan yang dilakukan dengan berjalan kaki dan/atau dengan kendaraan di jalan raya.”

c. Keikutsertaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam tim pemenangan

salah satu calon secara langsung maupun tidak langsung, bahkan

melibatkan salah satu pejabat eselon II, dalam hal ini Kepala

Dinas.14 Penuturan salah satu PNS Dishubkombudpar yang baru

saja purna tugas (Juni 2012): ”dukungan PNS terhadap salah satu

calon merupakan suatu kewajaran sebagai bagian dari

masyarakat, meskipun ada yang secara langsung (vulgar), namun

ada pula yang secara diam-diam mempengaruhi pemilih lainnya.15

Jika ditinjau dari prinsip netralitas aparatur negara, hal ini sangat

bertentangan dengan larangan bagi PNS seperti tertuang dalam

14 Dinilai Berpihak, Panwas Tegur 5 PNS. Jawa Pos. Published: 19 April 2011.

15 Wawancara dengan PNS Dishubkombudpar yang kini terlibat dalam kepengurusan partai

(7)

Pasal 4 PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri

Sipil yaitu:

Setiap PNS dilarang memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara:

a. Terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah;

b. Menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye;

c. Membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau

d.Mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.

d. Politik uang yang terjadi di sebagian besar daerah di Salatiga,

bahkan di salah satu TPS di wilayah Tingkir sangat terencana dan

sistemik. Tim Sukses menunggu para pemilih agak jauh dari TPS

sambil menunggu bukti rekaman foto handphone untuk kemudian

diberikan imbalan uang. Praktik semacam ini merupakan

pelanggaran terhadap Pasal 117 Ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004

yang berbunyi :

“ Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). “

Meskipun demikian, money politics sulit untuk dibuktikan karena

(8)

penindakannya sebatas teguran lisan dari saksi lainnya dan dari

panitia pengawas Pemilu, namun tidak dapat dilakukan

penegakan secara hukum.

C.2. Analisa Faktor Penyebab Terjadinya Problematika Dalam Pilkada

Kota Salatiga Tahun 2011

Hasil penelitian menunjukkan proses demokrasi yang berlangsung

melalui mekanisme Pilkada Kota Salatiga menunjukkan hasil yang

signifikan dengan tingkat partisipasi pemilih mencapai 82,16 %. Presentase

partisipasi pemilih ini dapat menjadi indikator keberhasilan proses

demokrasi secara prosedural dimana pelibatan masyarakat (pemilih) sangat

tinggi, meski secara substansial proses demokrasi tersebut belum

menunjukkan hasil yang memuaskan, hal ini tampak pada beberapa

fenomena yang muncul dalam proses persiapan hingga pelaksanaan

Pilkada Kota Salatiga (lihat uraian pada C.1.). Pemberlakuan hukum dalam

Pilkada tidak absolut dapat dilaksanakan, sebagaimana telah diprediksi

oleh William Chambliss dengan teori keberlakuan hukum yang dipengaruhi

faktor-faktor eksternal dari hukum itu sendiri. Terlebih, proses Pilkada

merupakan proses pengisian jabatan politik, sehingga faktor-faktor politik

tidak dapat dinihilkan.

Berikut ini merupakan analisa persoalan yang muncul berdasarkan

tahapan Pilkada Kota Salatiga.

1. Tahapan Persiapan

a. Syarat keanggotaan serta tugas pokok dan fungsi dari PPK, PPS, KPPS

sebagai bagian sistem penyelenggaraan Pemilihan KDH dan WKDH

diatur dalam PP No. 6 Tahun 2005. Dalam Pasal 11 Ayat (2a) PP a quo

diatur fungsi krusial dan strategis dari PPS yakni “melakukan

rekapitulasi hasil penghitungan suara dari seluruh TPS dalam wilayah

(9)

melakukan kecurangan-kecurangan dengan manipulasi data,

dikarenakan rekapitulasi sepenuhnya ada pada PPS tanpa pengawasan

yang maksimal.

Berkaitan tugas dan fungsi krusial dan strategis dari PPS, posisi ini

banyak diperebutkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Salah

satunya adalah partai politik yang ikut serta dalam Pilkada. Partai

politik sengaja menempatkan kadernya sebagai PPS untuk

mempermudah koordinasi serta melakukan kecurangan dalam

pemungutan suara.

b. Kebijakan mutasi dan promosi kepegawaian di lingkungan Pemerintah

Kota Salatiga merupakan wewenang penuh dari seorang Walikota

dengan mendasarkan pada pertimbangan Badan Pertimbangan Jabatan

dan Kepangkatan. Meskipun demikian, mutasi dan rotasi tersebut

seharusnya tidak mengganggu jalannya proses demokrasi yang sedang

berlangsung melalui Pilkada. Utamanya bila rotasi dan promosi tersebut

berakibat pada pergantian antar waktu yang terjadi pada sekretariat di

tingkat PPK maupun di tingkat PPS, sehingga mengubah susunan

keanggotaan Sekretariat Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) pada

Pilkada Kota Salatiga tahun 2011.16

Perubahan yang terjadi ditengah proses Pilkada tentu akan

mengacaukan pengadministrasian yang telah dilakukan sebelumnya,

mengingat tugas pokok dan fungsi sekretariat PPK dan PPS yang krusial

untuk pendataan hingga memunculkan Daftar Pemilih Tetap. Celah ini

dapat digunakan untuk menggelembungkan suara ataupun

penghilangan suara dengan alasan tenaga administrasi baru sehingga

banyak data yang hilang dan tidak dipahami. Terlebih salah satu

pasangan calon merupakan istri dari walikota yang saat itu menjabat.

16 Tim KPU, Laporan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Walikota dan Wakil Walikota Salatiga

(10)

Bahkan, bukan tidak mungkin dalam keanggotaan KPU disusupi oleh

pihak-pihak yang berkepentingan seperti disampaikan oleh J.Kristiadi dengan melihat fenomena yang ada: “fenomena yang menyedihkan adalah politik uang dalam KPUD karena lebih mudah membeli suara dari

KPUD dari pada langsung dari rakyat.”17

2. Tahapan Pelaksanaan

a. Pasangan calon Bambang Soetopo dan Rosa Darwanti (yang merupakan

kader partai Golkar) justru tidak didukung oleh Partai Golkar.

Berdasarkan penjaringan aspirasi di tingkatan kecamatan diusulkan

pengajuan calon dari Partai Golkar atas nama Rosa Darwanti akan

tetapi hal ini tidak disetujui oleh DPD II Partai Golkar Salatiga.

Keputusan DPP Partai Golkar justru memberikan dukungan kepada Ir.

Hj. Diah Sunarsasi dan Milhous Teddy Sulistyo, SE sehingga menjadi

polemik diinternal Partai Golkar karena dianggap sebagai bentuk

pengingkaran terhadap demokrasi berdasarkan ketentuan UU No. 2

Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No 2 Tahun 2008 tentang

Partai Politik. Meskipun ada DPP Partai Golkar mendaku (mengklaim)

bahwa hal ini sesuai dengan Petunjuk Pelaksanaan DPP Partai GOLKAR

Bab III poin (1a) Nomor. JUKLAK-13/DPP/GOLKAR/XI/2011 tentang

Perubahan JUKLAK-02/DPP/GOLKAR/X/2009 tentang Pemilihan

Umum Kepala Daerah dari Partai Golongan Karya, namun para kader

Partai Golkar tetap kecewa dan mengajukan protes karena Partai Golkar

tak mengusung kader sendiri dalam Pilkada tersebut, dimana hal ini

sebelumnya telah diusulkan oleh DPD II Partai Golkar18.

Di lain pihak, menurut penuturan dari Ketua DPD II Partai Golkar

Salatiga, proses pencalonan Rosa Darwanti tidak melalui mekanisme

partai yang sah, yaitu melalui rapat luar biasa yang melibatkan

pengurus-pengurus kecamatan. Oleh karenanya, dakuan bahwa para

17 Wawancara Metro TV : genta demokrasi, 2 Oktober 2012, Pukul 23:29

(11)

pengurus kecamatan telah melakukan mekanisme yang demokratis

untuk mendukung Rosa Darwanti adalah tidak benar. Meski demikian,

Ketua DPD II Golkar mengakui mekanisme dalam partai Golkar

bergantung pada keputusan dari DPP dan mekanisme di tingkatan

bawah hanya memberi rekomendasi dan membuat urutan elektabilitas

sesuai hasil survei lokal.19

Kejadian yang sama terjadi dalam penetapan pasangan calon PDIP,

dimana berdasarkan keputusan DPC PDIP Kota Salatiga,

direkomendasikan pasangan calon atas nama Teddy Sulistiyo dan

Bambang Riantoko untuk diajukan ke DPP PDIP.

Secara prosedural, proses penjaringan bakal calon PDI-P telah sesuai

dengan amanat UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas

UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal

59 Ayat (4) dan UU No 2 tahun 2011 tentang Partai Politik.20 Hal ini

diperkuat dengan PP No. 6 tahun 200521 dimana usulan tersebut telah

disampaikan secara resmi kepada DPD PDI-P Jawa tengah di Semarang,

melalui surat bernomor 120/DPC.PDI-P/IN/I/2011 tertanggal Selasa

(4/1/2011). Surat usulan itu ditandatangani 11 pengurus teras DPC

dan 4 ketua Pengurus Anak Cabang (PAC). Ketua DPC PDI-P Kota

Salatiga M Teddy Sulistio mengatakan, usulan tersebut berdasarkan

hasil rapat pleno diperluas pengurus DPC, Senin (3/1/2011). Adapun

pertimbangan diusulkannya pasangan tersebut, kondisi politik Kota

Salatiga dan berdasarkan hasil survei dari lembaga independen yang

dilaksanakan Oktober dan Desember 201022. Namun, usulan DPC PDIP

Kota Salatiga, tidak memperoleh respon positif dari DPD PDIP, karena

19 Wawancara dengan Ketua DPD II partai Golkar sekaligus anggota DPRD Kota Salatiga

(Agung Setiyono), Senin 19 Juni 2012 di kediaman bersangkutan.

20 Pasal.29 ayat 1c “Partai Politik melakukan rekrutmen terhadap warga negara Indonesia

untuk menjadi: c. bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah”

21 Pasal 37 Ayat 5 yang menyatakan proses dalam penjaringan dilakukan secara demokratis

dan transparan dan mendapat masukan dari masyarakat, bukan sekedar keputusan dari DPP.

22 DPC PDIP Usulkan Bambang Riantoko-Teddy Sulistio. Semarang metro. Published: 7 Januari

(12)

DPP PDI-P secara sepihak memutuskan untuk mencalonkan Ir Hj Diah

Sunarsasi dan Milhous Teddy Sulistio SE23 sebagai pasangan calon

Walikota dan Wakil Walikota.

Hal ini bertentangan dengan fakta yang terjadi berkaitan dengan partai

politik dalam rezim pemilihan umum secara langsung. Sistem

kepartaian yang oligarkis24 dan cenderung bertumpu pada satu orang

mematahkan semangat demokrasi yang hendak dibangun melalui partai

politik. Berbeda dengan demokrasi yang berjalan di Amerika Serikat

misalnya, ada 4 fungsi partai politik yang dimaknai oleh orang awam

yaitu :25

1. Kesinambungan organisasi, suatu kelestarian yang jangka lebih panjang daripada masa hidup orang-orang yang sedang memegang pimpinan.

2. Struktur organisasi yang permanen dan menurun hingga tingkat lokal.

3. Kepemimpinan berniat merebut dan mempertahankan kekuasaan untuk membuat keputusan dan tidak hanya sekedar untuk mempengaruhi pelaksanaan dari kekuasaan semacam itu.

4. Usaha untuk meyakinkan pemilih agar memilih calon-calon mereka.

Adapun fungsi partai politik bertumpu pada kesinambungan organisasi

bukan pada kharisma pemimpin semata. Kembali pada partai politik

yang ada di Indonesia yang sebagian besar menyatakan diri sebagai

partai terbuka dan demokratis namun fakta berlainan dengan konsep

yang dibangun. Bahkan secara terang-terangan Ketua Umum DPP PDI-P

dalam orasinya di GOR Jatidiri Semarang baru-baru ini menyatakan, “segala keputusan menyangkut calon yang diusung merupakan

23 PDIP-PAN Gandeng PDS. Semarang metro. Published : 29 Januari 2011.

24 Menurut Airlangga P. K, oligarki dalam politik di Indonesia dimaknai sebagai kepentingan

elite ekonomi dalam kancah politik serta kekeluargaan dalam sistem kepartaian yang ada. Hal ini menyebabkan kader-kader politik yang bermunculan bukanlah orang yang memiliki kapabilitas serta pengalaman yang memadai, melainkan mereka yang dekat(keluarga) dengan ketua partai, selain keluarga dekat, akses bagi munculnnya seorang kader juga bergantung pada kepemilikan modal untuk maju dalam pemilihan legislatif maupun eksekutif yang ada. (Kompas, 6 Oktober 2012, hal 5)

(13)

kewenangan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.”26 Hal ini

disampaikan kaitannya dengan Pemilihan Gubernur Jawa Tengah yang

akan segera berlangsung bahkan seperti dikutip Suara Merdeka,

Megawati mengatakan: ”Ya (soal siapa yang mendapat rekomendasi) itu

kewenangan DPP partai. Urusan saya”.

Menyikapi hal tersebut Ketua DPC PDIP Kota Salatiga Teddy Sulistio

menanggapi bahwa ihwal yang terjadi dalam penetapan pasangan calon

dari PDI-P merupakan suatu proses demokrasi yang harus ditaati

sebagai kader partai. Rekomendasi apapun yang dikeluarkan oleh DPP

pusat merupakan perintah yang wajib dilaksanakan oleh kader

ditingkatan bawah, meski dalam proses tidak sesuai dengan demokrasi.

Apabila sebuah partai mengandalkan sebuah proses demokrasi dari “bawah” saja tentu akan merusak sistem kepartaian yang ada.27

b.Berkaitan pelanggaran kampanye, seluruh peserta melakukan

pelanggaran terhadap ketentuan kampanye yang diatur dalam Pasal 78

UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah

diubah terakhir kali dengan UU No. 12 Tahun 2008 dan melanggar Pasal

60 PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan

dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Hal ini

utamanya arak-arakan dan pengumpulan massa mengganggu

pengendara jalan serta pemasangan alat peraga kampanye tidak pada

tempatnya.

c. Keikutsertaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam tim pemenangan salah

satu calon secara langsung maupun tidak langsung, bahkan melibatkan

salah satu pejabat eselon II, dalam hal ini Kepala Dinas merupakan

sebuah pelanggaran disiplin Pegawai Negeri Sipil.28 Meski demikian, bila

dicermati alasan keterlibatan PNS aktif pada umumya, merupakan

26 Rekomendasi Bisa di Luar 20 Nama, Suara Merdeka. Published: 2 Oktober 2012.

27 Wawancara dengan Teddy Sulistio (Ketua DPC PDI-P), Rabu 18 Oktober 2011 di kantor

DPRD Kota Salatiga.

(14)

suatu fenomena pertahanan diri dan “cari aman” ketika salah satu

pasang calon yang diprediksi menang akan menajdi pemimpin mereka

secara birokratis, maka perlu pendekatan non-formal karena

kepentingan-kepentingan tertentu yang selama ini telah berjalan. Selain

itu, ada pula motif mencari peluang setelah pensiun kelak, sehingga

menjadi pendukung salah satu calon merupakan cara efektif untuk

mencari perlindungan setelah pensiun dalam kaitannya penempatan

sebagai pejabat BUMD ataupun jabatan lainnya.

d.Berkaitan dengan isu politik uang yang dilakukan secara massif,

terencana dan sistematis menjadi alasan yang sering dikemukakan

untuk pengajuan upaya hukum terhadap keputusan rekapitulasi hasil

pilkada. Beberapa pasangan calon yang di kemudian hari tidak puas

seringkali menggunakan alasan politik uang sebagai alasan untuk

memohon pemilihan umum ulang.

Kenyataannya, banyak dugaan pelanggaran politik uang yang sengaja

dilakukan oleh pihak pasangan calon lain yang mengatasnamakan calon

A yang diduga melakukan politik uang, sehingga ketika “makelar” uang

tersebut tertangkap akan menyebutkan bahwa dia merupakan orang

yang ditugaskan oleh calon A padahal si calon A tidak pernah

melakukan hal tersebut.29 Hal serupa terjadi dalam Pilkada Kotaa

Salatiga, dimana KPU Kota Salatiga mendapat tanggapan keberatan atas

rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara. Keberatan diajukan

oleh pasangan calon H. Diah Sunarsasi dan Milhous Teddy Sulistiyo,

sehingga selanjutnya mengajukan permohonan ke Mahkamah

Konstitusi30 pada tanggal 13 Juni 2011 atas perkara nomor

55/PHPU.D-IX/2011 dengan termohon KPU Kota Salatiga.,31

29 Wawancara dengan Siskawentar (Ketua DPC[kecamatan] PAN), Kamis 28 Juni 2011 di

kediaman bersabgkutan.

30 Tim KPU, Laporan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Walikota dan Wakil Walikota Salatiga

Tahun 2011, Salatiga : 2011. Bab II - Hal 99.

31 Risalah persidangan terkait gugatan ini dapat dilihat di situs resmi

(15)

Pada akhirnya dugaan politik uang ini tidak dapat dibuktikan sehingga

Mahkamah Konstitusi memutus perkara dengan menolak gugatan dari

pasangan calon H. Diah Sunarsasi dan Milhous Teddy Sulistio dan

memberikan wewenang kepada KPU untuk mensahkan hasil rekapitulasi

yang telah ada. Berdasarkan putusan MK, meskipun politik uang32

terjadi dalam Pilkada Kota Salatiga 2011, hakim MK memiliki

pertimbangan tersendiri mengenai hal ini. Sehingga hasil keputusan

KPU telah final dan bersifat tetap.

C.3. Upaya Perbaikan Pilkada Masa yang akan datang

Setelah mencermati problematika Pilkada Kota Salatiga tahun 2011,

maka dalam rangka mewujudkan Pilkada yang lebih demokratis secara

prosedural dan substansial33 di masa yang akan datang, ada beberapa

alternatif perbaikan, yaitu:

a. Berkenaan dengan penyelenggara Pilkada, selama ini pendanaan

bersumber dari APBN dan APBD sehingga dalam operasional terjadi

kendala dalam rekrutmen tokoh-tokoh masyarakat yang netral untuk

menjadi PPK, PPS, maupun KPPS serta kesekretariatan yang

menyertai. Hal ini pada akhirnya disiasati dengan melibatkan unsur

PNS dalam kesekretariatan sehingga rotasi kepegawaian dapat

mengganggu jalannya proses demokrasi. Sehingga perlu

dipertimbangkan untuk memperbesar porsi anggaran dari APBN

dibandingkan kemampuan APBD. Sekalipun tidak mampu

diakomodir, hal ini dapat dilakukan dengan menciptakan suatu

sistem pemilihan umum yang serentak sehingga akan sangat

32 Penuturan dari salah seorang petugas KPPS di daerah Tingkir memberikan gambaran

praktek politik uang yang terjadi sedemikian rupa sehingga mampu mempengaruhi pemilih secara signifikan. Oknum Tim pemenangan salah satu calon memeberikan sejumlah uang kepada pemilih dengan catatan mereka memberikan bukti berupa gambar dari telepon gengam bahwasanya yang bersangkutan telah memilih pasangan calon yang dimaksud.(wawancara dengan BS, 2 Juli 2012)

33 Soemantri, S , Bunga Rampai Hukum Tatanegara Indonesia, penerbit alumni, Bandung,

(16)

menghemat anggaran namun dapat maksimal melibatkan masyarakat

yang netral dalam tim penyelenggaranya.

b. Berkenaan dengan Partai Politik yang selama ini masih menganut

sistem oligarki ekonomi dan kekeluargaan dalam pengajuan pasangan

calon KDH dan WKDH, harus dilakukan suatu reformasi organisasi

dalam partai politik. Reformasi sistem kepartaian yang ada dapat

dilakukan dengan penjaringan kader yang memiliki kapabilitas serta

kemampuan intelektual dan aktif dimasyarakat sehingga dapat

mengembalikan fungi partai pada jalurnya yaitu sebagai wadah untuk

memberikan pendidikan politik kepada masyarakat serta sebagai

penyalur aspirasi masyarakat, bukan sekedar sebagai “kendaraan”

politik di masa pemilihan KDH dan WKDH. Terkait dengan hal ini,

dalam internal partai perlu dilakukan perombakan organisasi dan

pemantapan peran dan fungsi masing-masing organ maupun

pengurus sehingga dapat dilakukan check and balances dalam

keuangan partai, serta manajemen kerja partai politik. Sistem ini

nantinya akan menjadi penentu dalam pengambilan kebijakan

kepartaian khususnya berkaitan dengan pencalonan KDH dan WKDH.

c. Berkenaan dengan netralitas PNS, sanksi hukum yang selama ini

tidak pernah diterapkan di dalam Korps PNS (KORPRI) harus

diterapkan dengan tegas dan berimbang sesuai kadar pelanggaran

yang ada. Hal ini dapat dilakukan dengan penguatan fungsi penyidik

PNS yang berfungsi mengawasi kinerja dan pelanggaran PNS yang

terjadi. Ketegasan serta penegakan hukum bagi PNS yang melanggar

ketentuan akan memberikan efek jera, terlebih bila sanksi tersebut

dijatuhkan pada pejabat yang memiliki jabatan struktural cukup

tinggi akan berdampak signifikan pada jajaran dibawahnya.

d. Berkenaan dengan pemilih, pragmatisme pemilih dalam Pilkada

dengan anggapan sebagai suatu sistem politik semata dengan

meninggalkan perspektif demokrasi dan hukum harus diluruskan.

(17)

pendidikan politik yang benar dan tidak memihak. Dalam hal ini

peran KPU dan lembaga terkait lainnya menjadi penting dalam

memberikan pendidikan politik kepada masyarakat selama masa jeda

dari satu pemilu ke pemilu berikutnya. Pendidikan politik yang

dilakukan oleh KPU dan lembaga terkait utamanya berkaitan dengan

proses penyelenggaraan pemilu yang telah dan akan berlangsung

sehingga tercipta suatu pemikiran aktif dari masyarakat dalam

mengawasi dan menjalankan pemilu secara demokratis dan sesuai

dengan aturan hukum yang berlaku.

e. Berkenaan dengan Pasangan Calon, perlu peran serta aktif dari

masyarakat dalam menentukan pasangan calon dari partai maupun

perseorangan yang ikut serta dalam Pilkada. Partisipasi aktif dari

masyarakat ini dapat terbangun dengan adanya pendidikan politik

yang berkesinambungan. Upaya selektif masyarakat untuk

memberikan masukan kepada partai politik berkaitan dengan

pasangan yang dicalonkan akan menjadi penting dalam sebuah

Pilkada yang dijalankan secara demokratis dengan melakukan “Pemilihan internal partai” sebelum menentukan pasangan calon yang akan ditentukan.

D. Simpulan

Beranjak dari uraian sebelumnya, berikut disimpulkan beberapa hal :

1. Pilkada secara langsung yang diterapkan di Indonesia belumberjalan

sesuai konsep Demokrasi Pancasila. Ini berarti telah terjadi

pergeseran konsep Demokrasi Pancasila yang dalam perjalanan

sejarahnya terjadi penyimpangan-penyimpangan sehingga tidak

dijalankan sebagaimana dikonsepkan oleh para pendiri bangsa

Indonesia dan cenderung tidak melibatkan rakyat (dipilih langsung

oleh pemerintah pusat).

2. Pilkada Kota Salatiga tahun 2011 berlangsung demokratis secara

(18)

mengatur proses persiapan, pelaksanaan, hingga penentuan hasil

Pemilihan KDH dan WKDH. Sebagian besar dari 15 aspek pemilihan

umum demokratis pun telah terpenuhi, yaitu: penyusunan kerangka

hukum; pemilihan sistem pemilu; penetapan daerah pemilihan; hak

untuk memilih dan dipilih; badan penyelenggara pemilu; pendaftaran

pemilih dan daftar pemilih; akses kertas suara bagi partai politik dan

kandidat; kampanye pemilu yang demokratis; akses ke media dan

kebebasan berekspresi; pembiayaan dan pengeluaran; pemungutan

suara; penghitungan dan rekapitulasi suara; peranan wakil partai dan

kandidat; dan pemantauan pemilu. Indikator lain yang paling

signifikan adalah partisipasi pemilih mencapai 82,16 %, hasil ini

tertinggi di Jawa Tengah untuk tingkat kota/kabupaten.

3. Secara substansial, demokrasi dalam Pilkada Kota Salatiga tahun

2011 belum tercapai, karena munculnya problematika hukum berikut

yaitu:

a. Keikutsertaan pengurus partai politik dalam keanggotaan

penyelenggara Pemilihan Umum.

b. Adanya kebijakan mutasi dan promosi kepegawaian yang

berakibat pada pergantian antar waktu yang terjadi pada

sekretariat di tingkat PPK maupun di tingkat PPS.

c. Adanya pasangan calon yang diusulkan partai politik tingkat kota

(DPC atau DPD II), namun tidak direkomendir oleh DPP partai

politik yang bersangkutan, seperti kasus Rosa Darwanti di Partai

Golkar dan kasus di PDIP Kota Salatiga.

d. Pelanggaran terkait kampanye dengan arak-arakan dan

pengumpulan massa mengganggu pengendara jalan serta

pemasangan alat peraga kampanye tidak pada tempatnya..

e. Keikutsertaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam tim pemenangan

salah satu calon secara langsung maupun tidak langsung.

f. Politik uang yang terjadi di sebagian besar Kota Salatiga.

(19)

h. Tidak maksimalnya fungsi partai dalam menjaring kader dan

memberi ruang aspirasi bagi masyarakat.

Daftar Pustaka

Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar – Pilar Demokrasi, Sekjen dan kepaniteraan MK RI, Jakarta: 2006.

Robert P.Clark, Menguak Kekuasaan dan Politik di Dunia Ketiga, Erlangga, Jakarta : 1986

Soemantri, S , Bunga Rampai Hukum Tatanegara Indonesia, penerbit alumni, Bandung, 1992.

UU No 32 Tahun 2004 (terakhir diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008) tentang Pemerintahan Daerah.

UU No. 2 Tahun 2008 (diubah dengan UU No. 2 Tahun 2011) tentang Partai Politik

PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian KDH dan WKDH

Peraturan KPU No. 13 Tahun 2010 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pencalonan Pemilihan Umum KDH dan WKDH

Peraturan KPU No. 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Tata Cara Pelaksanaan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dalam Pemilihan Umum KDH dan WKDH oleh Panitia Pemilihan Kecamatan, Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, dan Komisi Pemilihan Umum Provinsi, serta Penetapan Calon Terpilih, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pelantikan.

Tim Panwaslu, Laporan Penyelenggaraan Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Salatiga tahun 2011,Panwaslu, Salatiga 2011.

(20)

Tujuh Rekomendasi RAKORNAS PDIP, Vivanews.com, 6 Agustus 2010

Awasi Pilkada, Bawaslu gandeng KPK, Vivanews.com, 18 Februari 2010.

MK:Sistem Pilkada Suburkan Money Politic, Vivanews.com, 3 Feb 2012

Ini Biang Semua Sengketa Pemilu dan Pilkada, Vivanews.com, 21 Feb 2012

Kalah, Enam Kandidat Minta Pilkada Ulang, Vivanews.com, 29 Oktober 2008

DPC PDIP Usulkan Bambang Riantoko-Teddy Sulistio. Semarang metro. 7 Januari 2011

Dinilai Berpihak, Panwas Tegur 5 PNS. Jawa Pos. Published: 19 April 2011.

Wawancara Metro TV : genta demokrasi, 2 Oktober 2012, Pukul 23:29

Fungsionaris Mundur dari Tim Sukses. Semarang Metro. Published : 11 Februari 2011.

PDIP-PAN Gandeng PDS. Semarang metro. Published : 29 Januari 2011.

Rekomendasi Bisa di Luar 20 Nama, Suara Merdeka. Published: 2 Oktober 2012.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Unit analisis yang digunakan adalah komunikasi personal berupa persepsi dan motivasi, dinamika kelompok berupa peranan, kekompakan dan kepemimpinan dalam program

Implikasi dari penelitian ini adalah bahwa Strategi Promosi menjadi salah satu strategi yang bisa dijadikan prediktor oleh pihak perusahaan untuk meningkatkan

Menurut Visser dan Hermes (1962) kerak kontinen Lempeng Australia yang berada di bawah laut Arafura dan meluas ke arah utara merupakan dasar bagian selatan dari Pegunungan Tengah

Penandatanganan pemberian izin cuti bagi pejabat struktural eselon IV dan jabatan fungsional umum di lingkup Sekretariat Daerah untuk semua jenis cuti meliputi cuti tahunan, cuti

Dengan demikian auditor dengan akreditasi FSC yang berasal dari pihak ke tiga dituntut untuk bertanggung jawab bahwa audit telah dilakukan sesuai dengan persyaratan yang ada,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Forward Chaining dalam meningkatkan kemampuan merawat diri materi makan pada anak tunagrahita sedang kelas III di

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Prevalensi

Hasil pengujian kuat tekan batako styro- foam komposit mortar semen baik yang memakai dan tidak memakai kawat ayam memperlihatkan semakin tebal lapisan yang diberikan pada batako