• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kitab Tadabbur al Quran karya Bachtiar Nasir dalam perspektif epistemologi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kitab Tadabbur al Quran karya Bachtiar Nasir dalam perspektif epistemologi."

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

KITAB TADABBUR AL-QUR’A>N KARYA BACHTIAR NASIR DALAM PERSPEKTIF EPISTEMOLOGI

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi

Ilmu Al-Qur’a>n dan Tafsir

Oleh Fathor Rosy NIM. F02515116

PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Kajian ini bertujuan untuk mengkaji epistemologi kitab tadabbur al-Qur’a>n karya Bahctiar Nasir. Kitab tadabbur al-Qur’a>n ini bisa katakan sebagai satu-satunya karya Ulama Indonesia. Kitab tadabbur al-Qur’a>n secara an sich hampir jarang ditemui dalam karya-karya Ulama dan pakar al-Qur’a>n baik klasik maupun modern, para ulama lebih sering menggunakan istilah kata tafsir, padahal yang banyak ditemukan dalam teks al-Qur’a>n adalah perintah untuk mentadabburi bukan menafsirkan.

Dari deskripsi singkat diatas, penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian terhadap kitab tadabbur al-Qur’a>n karya Bahctiar Nasir dari sudut epistemologi, yang dalam hal ini akan dirumuskan ke dalam dua pertanyaan, yakni: 1) Bagaimana konsep tadabbur al-Qur’a>n karya Bachtiar Nasir ?, 2) Bagaimana epistemologi penafsiran Bachtiar Nasir dalam kitab tadabbur al-Qur’a>n.

Penelitian dalam tesis ini adalah penelitian kepustakan (library research) dan Penelitian Lapangan (field research) dengan metode deskriptis-analitis untuk mengungkap epistemologi kitab tadabbur al-Qur’a>n karya Bachtiar Nasir.

Adapun kesimpulan dari penelitian ini, yaitu: pertama, konsep tadabbur al-Qur’an karya Bachtiar Nasir tidak jauh beda dengan kitab-kitab tafsir pada umumnya, yang membedakan hanyalah penambahan renungan atau tadabbur disetiap akhir penafsiran ayat. Kitab tadabbur al-Qur’an ini apabila mengacu kepada 10 langkah konsep tadabbur belum bisa dikategorikan sebagai kitab tadabbur al-Qur’a>n karena baik dari konten maupun sistematika penulisannya tidak jauh beda dengan tafsir-tafsir lainnya. Kedua, Epistemologi penafsiran Bachtiar Nasir dalam kitab tadabbur

al-qur’an jika dilihat dari sumber penafsiran Bachtiar Nasir menggunakan bentuk bi

al-Iqtira>ni> (perpaduan antara bi al-maqu>l dan bi al-ma’qu>l). Cara penjelasan yang digunakan dalam kitab ini adalah metode ijmali> (global). Jika dilihat dari segi sasaran dan tertib, Bachtiar Nasir menafsirkan al-Qur’a>n ayat per ayat yang diawali tafsir surat al-Fa<tih}ah}, al-Baqarah sampai al-Na>s sesuai al-tarti>b al-mus}hafi>. Namun demikian, dalam setiap pembahasan beliau seakan menafsirkan satu tema tertentu yang diangkat dari pemahaman beliau pada ayat tertentu. Maka secara substansi tafsir ini juga cenderung menggunakan metode semi tematik atau tafsi>r

al-maud}u’i>. Sedangkan corak penafsiran yang menjadi kecendrungan dan mewarnai

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PENYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PERSETUJUAN TIM PENGUJI ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 12

C. Rumusan Masalah ... 13

D. Tujuan Penelitian ... 13

E. Kegunaan Penelitian ... 13

F. Kerangka Teoritik ... 14

G. Penelitian Terdahulu ... 20

H. Metode Penelitian ... 22

(8)

BAB II EPISTEMOLOGI TAFSIR AL-QUR’A>N DAN TADABBUR AL-QUR’A>N

A. Pengertian Epistemologi ... 27

B. Macam-macam Metode Tafsir ... 31

1. Sumber Penafsiran …... 32

2. Cara Penjelasan ... 33

3. Keluasan Penjelasa ... 31

4. Sasaran dan Tertib ... 33

C. Kategori Pengelompokan Aneka Ragam Corak Tafsir ... 42

D. Tadabbur al-Qur’a>n ... 52

1. Pengertian Tadabbur ... 52

2. Tadabbur al-Qur’a>n di dalam al-Qur’a>n ... 56

3. Tadabbur al-Qur’a>n di dalam Sunnah ... 60

4. Tadabbur al-Qur’a>n di dalam Salaf al-S}a>lih ... 64

5. Keutamaan dan Pentingnya Tadabbur ... 69

6. Tujuan Tadabbur al-Qur’a>n ... 71

7. Syarat – syarat Tadabbur al-Qur’a>n ... 71

8. 10 Langkah Konsep Tadabbur al-Qur’a>n ... 73

BAB III BIOGRAFI BACHTIAR NASIR DAN KITAB TADABBUR AL-QUR’AN A. Biografi Bachtiar Nasir ... 75

1. Latar Belakang Keluarga ... 75

2. Pendidikan dan Karir Bachtiar Nasir ... 76

(9)

B. Kitab Tadabbur al-Qur’an ... 81

1. Latar Belakang Penulisan Kitab ... 81

2. Sistematika Penulisan Kitab Tadabbur al-Qur’a>n ... 83

BAB IV ANALISIS METODOLOGI PENAFSIRAN BACHTIAR NASIR DALAM KITAB TADABBUR AL-QUR’A>N A. Sumber Penafsiran Kitab Tadabbur al-Qur’a>n ... 87

B. Cara Penjelasan ... 90

C. Segi Sasaran dan Tertib ... 91

D. Corak dan Kecendrungan... 92

E. Posisi Kitab Tadabbur al-Qur’a>n Karya Bachtiar Nasir Diantara Kitab Tafsir ... 94

F. Keistimewaan dan Kekurangan Kitab Tadabbur al-Qur’a>n .. 101

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 103

B. Saran ... 104

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Al-Qur’a>n adalah kitab suci umat Islam yang merupakan kala>m Alla>h

yang diturunkan dengan berbahasa Arab kepada Nabi Muh}ammad saw. melalui

perantara malaikat Jibril yang ditulis dalam satu mus}h}af diawali dengan surah

al-Fa>tih}ah dan diakhiri dengan surah al-Na>s, serta dengan membacanya dapat

dinilai sebagai suatu ibadah.1 Ia diperuntukkan bagi penentu jalannya kehidupan

di dunia dan di akhirat, memberi petunjuk kepada manusia kearah tujuan yang

terang dan jalan lurus yang harus diimani dan diaplikasikan dalam kehidupan

yang menembus dimensi ruang dan waktu atau dengan kata lain al-Qur’a>n

merupakan ensiklopedi kehidupan dalam rangka untuk memperoleh kebaikan dan

kebaikan sejati.

Al-Qur’a>n adalah kitab suci yang mulia. Kesuciannya tidak tercemari

sedikit pun oleh campur tangan makhluk. Kemuliaannya tidak mampu ditandingi

oleh semua kitab dibumi ini, walaupun seluruh makhluk berkumpul dan membuat

rekayasa untuk membuat tandingannya terhadap al-Qur’a>n niscaya mereka tidak

akan bisa membuatnya walau satu ayat sekalipun.2

Al-Qur’a>n merupakan kalam Allah yang sudah terjamin keasliannya

hingga akhir zaman. Namun hal itu, tidak berlaku pada tafsir al-Qur’a>n.

1

‘At}a’illa>h, Sejarah al-Qur’a>n (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 15.

2Departemen Agama RI,

(11)

2

Penafsiran al-Qur’a>n melibatkan campur tangan manusia, dalam artian penafsiran

tidak lepas dari kepentingan dan tendensi dari individu atau kelompok. Otoritas

utama dan pertama yang menafsirkan al-Qur’a>n adalah Nabi Muhammad saw.

karena ia yang menerima langsung al-Qur’a>n. Sepeninggal Nabi, otoritas itu

dilanjutkan oleh sahabat-sahabatnya, tabi’in, dan mufassir-mufassir sesudahnya.

Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi> (1915-1977 M) membagi jenjang tafsir

berdasarkan zamannya menjadi tiga periode yaitu; periode pertama, masa

Rasulullah saw. periode kedua masa tabi’in, periode ketiga tafsir era kodifikasi.

Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi menjelaskan kekhususan-kekhususan

setiap periode dimana pada periode pertama, yaitu periode Rasulullah saw.

dimana ia memahami Al-Qur’a>n secara global maupun terperinci, sebagaimana

para sahabat juga memahami secara global, yakni z}ahirnya dan

hukum-hukumnya. Pasalnya memahami al-Qur’a>n secara detail (terperinci)

membutuhkan sebuah penelitian dan perenungan serta kembali bertanya kepada

Rasulullah saw.3

Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi lalu menyebutkan keistimewaan tafsir

pada zaman Rasulullah saw. dan para sahabat baik yang berhubungan dengan

kuantitas maupun yang berhubungan dengan karakteristik metodelogis dan

caranya, seperti berikut ini.

1. Al-Qur’a>n tidak ditafsirkan secara keseluruhan, tetapi hanya sebagian saja.

3Muh}ammad H{usain al-Dhahabi>,

(12)

3

2. Minimnya perbedaan pendapat diantara sahabat dalam memahami

makna-makna al-Qur’a>n.

3. Mereka merasa cukup puas dengan makna yang global.

4. Mencukupkan dengan penjelasan seputar makna kebahasaan.

5. Kelangkaan istinba>th penyimpulan ilmiah terhadap hukum-hukum fiqih dan

sama sekali tidak ada tafsir sekte/aliran.

6. Menjadikan tafsir sebagai bagian dari hadits.4

Penafsiran-penafsiran yang dilakukan para sahabat di atas dikenal dengan

tafsir bi al-ma’thu>r. Tafsir ini mendasari pembahasan dan sumbernya pada

riwayat. Cara ini kemudian dikenal dengan sebuah metode penafsiran al-Qur’a>n

yang disebut dengan metode riwayat.

Periode berikutnya adalah era tabi’in, dimana mereka adalah murid-murid

sahabat yang ikhlas, dan menukil sebagian besar riwayat tafsir dari para sahabat.

Dan keistimewaan yang paling penting tafsir era ini adalah tafsir di era itu mulai

mengalami perkembangan diantaranya: Mulai disusupi kisah-kisah isra’iliyyat,

menjadi bentuk ilmu yang diajarkan langsung dan diriwayatkan, tampak mulai

muncul bibit-bibit perbedaan mazhab dan mulai dikenal perbedaan-perbedaan

tafsir yang sebelumnya tidak dikenal di era sahabat.5

Adapun periode ketiga dimulai dengan kemunculan masa kodifikasi tafsir

seperti yang dikatan oleh al-Dhahabi>. Itu terjadi di akhir pemerintahan Bani

4

Ibid., 89.

5

(13)

4

Umayyah dan awal masa pemerintahan Abbasiyah.6 Pada periode ini meringkas

dua periode sebelumnya dan memiliki unsur-unsur baru yang menjadikan tafsir

mengalami langkah-langkah seni yang terbatas, yaitu sebagai berikut:

1. Langkah-langkah tafsir naqli secara keseluruhan dan pada saat itulah tafsir

terpisah dari hadits.

2. Langkas meringkas sanad-sanad hadits dengan tidak menisbatkan perkataan

kepada pengujarnya.

3. Langkah menafsirkan al-Qur’a>n secara rasional.

Al-Dhahabi> mengakhiri analisisnya dengan berkata: ‚Demikianlah tafsir berkembang dan kitab-kitab yang dikarang mulai menampakkan aliran-aliran yang berbeda-beda. Istilah-istilah ilmiah dan aqidah serta faham aliran

(madhh}abiyah) mulai terbakukan didalam ungkapan-ungkapan al-Qur’a>n,

sehingga akhirnya tampaklah kultur filsafat dan sains bagi umat Islam dalam tafsir al-Qur’a>n.7

Selama ini kajian al-Qur’a>n telah dilakukan dari berbagai segi, terutama

dari segi penafsirannya. Ini adalah konsekuensi logis mengingat tradisi penafsiran

al-Qur’a>n selalu menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan, bahkan

sejak al-Qur’a>n tersebut di turunkan hingga sekarang. Banyak literatur tafsir

yang telah diproduksi dan terdistribusi keruang public dengan dan dalam

berbagai gaya bahasa serta perspektif. Selain itu, tafsir al-Qur’a>n telah banyak

dikaji dengan beragam metode dan diajarkan dengan aneka acara.8

6

Ibid., 127.

7

Ibid., 132-133.

(14)

5

Keberagaman dalam tipologi penulisan litaratur tafsir tersebut pada titik

kulminasi telah melahirkan apa yang disebut dengan istilah ‚Madhhab-madhhab

Tafsir‛ dalam wacana studi al-Qur’a>n.9

Jika dicermati muncul dan berkembangnya literatur tafsir dari generasi

kegenerasi, tentu pada setiap karya tafsir memiliki karakteristik berbeda-beda.

Karena setiap karya tafsir dalam khazanah intelektual Islam tidak akan pernah

bisa dilepaskan dari realitas, tujuan, kepentingan, dan tendensi tertentu. Banyak

faktor yang mempengaruhinya. Salah satu diantaranya adalah adanya perbedaan

situasi sosio-historis dimana sang penafsir hidup. Ini artinya bahwa produk

penafsiran merupakan representasi dari semangat zaman di mana seorang

mufassir ‚menyejarah‛, sehingga pilihan metode, kecenderungan serta

pendekatan yang digunakan oleh mufassir sangat dipengaruhi oleh setting

sosio-kultur yang melingkupi, di samping penguasaannya terhadap diskursus keilmuan

yang berkembang saat itu. Sehingga keragaman dalam penafsiran al-Qur’a>n

adalah merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindarkan lagi. Dan

sebagai bentuk teks kedua setelah al-Qur’a>n, tafsir dipastikan akan terus

mengalami perkembangan. Sebab semua karya tafsir merupakan produk akal

manusia yang relatif, kontekstual, temporal, dan personal.10

9Banyak para pemerhati kajian tafsir al-Qur’a>n yang kemudian mengabadikan madhh}ab-madhh}ab dalam penafsiran al-Qur’a>n tersebut, misalnya Muh}ammad H{usain al-Dhah}abi>, Al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Da>r al-Kutb al-H{adithah, 1961), Ignaz Goldziher, MazhabTafsir: Dari Klasik Hingga Modern, terj. M. Alika Salamullah (dkk.) (Yogyakarta: eLSAQ, 2006), Abdul Mustaqim,

Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsinan al-Qur’a>n Periode Klasik Hingga Kontemporer

(Yogyakarta: Nun Pustaka Yogyakarta, 2003).

10Adian Husaini dan Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika danTafsir al-Qur’a>n (Jakarta:

(15)

6

Proses dalam menafsirkan al-Qur’a>n tidak lepas dari perangkat metodologi

yang digunakan untuk menafsirkan al-Qur’a>n. metodologi tafsir dalam

perkembangannya tidak hanya melalui kacamata kaidah tafsir konfensional yang

lebih menitik beratkan terhadap sumber riwayat dan ulum al-Qur’a>n, sebab

kamajuan ilmuan pengatuhuan menjadikan tafsir dapat dikaji dalam multi

interdisipliner secara proporsional.

Munculnya tafsir sebagai perkembangan sebuah disiplin ilmu juga banyak

dipengaruhi oleh perkembangan dan perubahan epistemologi keilmuan itu

sendiri. Perubahan dan perkembangan pengetahuan tafsir dalam kesejarahan

tertentuadalah historis, sebagai akaibat dari adanya pergeseran paradigm

didalam memahami al-Qur’a>n, dengan asumsi bahwa tuntutan manusia dan

masyarakat pasti menyesuaikan diri dengan perubahan sejarah.11Era Rasulullah

berbeda degan era Tabi’in, apalagi era Rasulullah dengan era globalisasi pada

saat ini. al-Qur’a>n bukan kitab ilmu penetahuan, namun al-Qur’a>n dapat

memberi landasan etis bagi perkembangan teori pengetahuan (epistemologi).12

Untuk menjawab tantangan masyarakat modern, terlebih dahulu untuk

menjawab problem-problem kemanusiaan saat ini dengan paradigma al-Qur’a>n

yang bertumpu pada teori pengetahuan atau epistemologi, karena dalam

11 Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Posmodernisasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994),

226

12 Ali Abdul Azhim, Eoistemilogi dan Aksiologi Ilmu Perspektif al-Qur’a>n, terj. Ahmas Maskus

(16)

7

Qur’a>n terdeapat 750 ayat lebih yag menunjukkan eksistensi ilmu

pengetahuan.13

Al-Qur’a>n secara eksplisit memeritahkan manusia untuk memperhatikan

tanda-tanda yang ada di alam semesta, di dalam sejarah, dan di dalam diri

manusia sendiri dengan semacam etos yang rasional dan empiris yang mengacu

pada kaidah-kaidah ilmu pengetahuan. Formulasi seperti ini harus dipegang

sebagai epistemologi islam dan menjawab tantangan mendatang.

Berbicara tentang upaya menjaga penafsiran al-Qur’a>n dari kekeliruan,

maka upaya yang patut dikaji adalah kebenaran metode penafsiran al-Qur’a>n

yang diterapkan oleh para mufassir dalam merespon gejala-gejala atau

problematika dalam kehidupan, karena perkembangan metode penafsiran

al-Qur’a>n dilatar belakangi oleh perbedaan kecendrungan, motivasi, keilmuan,

masa, lingkungan dari masing-masing mufassir yang bersangkuatan.14

Sifat dasar tafsir adalah menjelaskan atau menyingkap sesuatu yang masih

samar-samar dalam upaya memahami al-Qur’a>n.15 Kandungan al-Qur’a>n tidak

mungkin dapat dipahami tanpa adanya tafsir, sebab tafsir merupakan anak kunci

dalam memahami isi al-Qur’a>n.16 Upaya tafsir tersebut tidak bisa terlepas dari

kondisi sosial yang berkembang saat itu. Dalam artian munculnya upaya tafsir

karena desakan realitas sosial untuk mengungkap kandungan al-Qur’a>n. Oleh

13Mahdi hulsyani, Filsafat-Sains Menurut al-Qur’a>n, terj. Agus Effendi (Bandung: Mizan, 1998),

78-79.

14 Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’a>n: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehiduan

Masyarakat (Bandung: Mizan, 2002), 71

15

Manna>’ al-Qat}t}a>n, Maba>hithfi> Ulu>m al-Qur’a>n, (Beiru>t: Da>r al-Kitab al-Islamy, ttp), 313-314. 16 Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur’a>n Media-media Pokok dalam Menafsirkan al-Qur’a>n

(17)

8

sebab itu perhatian besar umat Islam terhadap al-Qur’a>n menjadikan kajian

tafsir sesuatu yang penting untuk dipelajari. Terbukti banyaknya Indonesia

melahirkan sejumlah tokoh mufassir lokal berikut karya-karya tafsirnya.

Berbeda dengan perkembangan kitab-kitab tafsir al-Qur’a>n, kitab Tadabbur

al-Qur’a>n secara an sich hampir jarang ditemui dalam karya-karya ulama dan

pakar al-Qur’a>n baik klasik maupun modern, para ulama lebih sering

menggunakan istilah kata tafsir. Padahal yang banyak ditemukan dalam teks

al-Qur’a>n perintah mentadabburi al-Qur’a>n lebih banyak kita temukan, dan umat

manusia diperintahkan oleh Allah SWT untuk memahami al-Qur’a>n dengan

mentadabburinya, sebagaimana dalam firmanNya:

ٌ َ ِ

ُ َ ۡ َن

َ

َ ۡ َ ِ

ٞ َ َ ُ

ْ٤ٓ ُ ܅ ܅ َ ِ

ّ

ِ ِ َا٤َ

ۦ

َ ܅ َ َ َ ِ َ

ْ٤ ُ ْ

ُ

ٱ

ِ َ

ۡ َ ۡ

Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.17

َ َ

َ

َو ُ ܅ َ َ َ

ٱ

َو٤َ ۡ ُ

ۡ

ۡ َ َ

َو َ

ۡ ِ

ِ ِ

ِۡ

َ

ٱ

ِ ܅

ْ

٤ ُ َ َ َ

ِ ِ

ٱ

اٗف َلِ ۡخ

اٗ ِث

َ

Maka apakah mereka tidak mentadabburi (memperhatikan) al-Qur’a>n? Kalau kiranya al-Qur’a>n itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.18

َ َ

َ

َو ُ ܅ َ َ َ

ٱ

َو٤َ ۡ ُ

ۡ

ۡ

َ

َ َ

ٍو

ُ ُ

ٓاَ ُ اَفۡ

َ

Maka apakah mereka tidak mentadabburi (memperhatikan) al-Qur’a>n ataukah hati mereka terkunci?19

17Departemen Agama RI,

Al-Qur’a>n dan Terjemahannya (Jakarta: al-Huda Kelompok Gema Insani, 2002), 455.

18Ibid., 91.

(18)

9

Secara bahasa tadabbur berarti melihat dan memperhatikan kesudahan

segala urusan dan bagaimana akhirnya. Al-Alusi> dalam tafsirnya Ruh al-Ma’a>ni>

menjelaskan bahwa pada dasarnya tadabbur itu berarti memikirkan secara

mendalam kesudahan sesuatu urusan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya.20

Ibnu al-Qayyim juga menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan

mentadabburi suatu perkataan adalah melihat dan memperhatikan perkataan itu

dari awal dan akhir perkataan kemudian mengulang-ngulangi hal itu.21

Dapat juga dikatakan bahwa tadabbur adalah proses berfikir mendalam dan

menyeluruh yang dapat menghubungkan ke pesan paling akhir sebuah perkataan,

dan mencapai tujuan maknanya yang terjauh.

Adapun yang dimaksud dengan tadabbur al-Qur’a>n adalah menggunakan

ketajaman mata hati lewat proses perenungan mendalam secara berulang-ulang

agar dapat menangkap pesan-pesan al-Qur’a>n yang terdalam dan mencapai tujuan

maknanya yang terjauh.

Ibnu al-Qayyim dalam kitabnya al-Fawaid mengatakan, ‚Jika engkau ingin

mengambil manfaat dari al-Qur`an maka pusatkanlah hatimu ketika membaca dan

mendengarkannya, fokuskanlah pendengaranmu dan hadirlah seperti seseorang

yang sedang diajak bicara oleh Allah SWT. dengan al-Qur’a>n itu karena ia

merupakan perkataan Allah SWT. kepadamu melalui lisan Rasul-Nya.

Dan tadabbur al-Qur’a>n itu haruslah mengandung tujuan untuk mengambil

manfaat dan mengikuti apa yang terkandung dalam al-Qur’a>n itu karena tujuan

20Al-Al

ūsī, Ru>h} al-Ma’a>ni (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Alamiyah, 2009), jilid XII/177.

(19)

10

dari membaca dan mentadabburi ayat-ayat al-Qur’a>n itu adalah untuk

mengamalkan dan berpegang pada isi kandungannya.

Syaikh Abdurrahman Habannakah menegaskan bahwa tujuan tadabbur

bukanlah sekedar kemewahan ilmu, atau bangga dengan pencapaian pengetahuan,

atau mampu untuk mengungkapkan makna untuk disombongkan, tetapi tujuan

dari pemahaman itu adalah untuk mengingatkan dan mendapat pelajaran serta

beramal sesuai dengan ilmu yang didapat, dan pelajaran inilah yang dimaksud

dalam ayat yang tidak akan didapat kecuali oleh ulul albab (orang-orang yang

mempunyai fikiran).

Ibnu taimiyyah mengatakan, ‚Barangsiapa yang mentadabburi al-Qur’a>n

demi untuk mendapatkan pentunjuk darinya, maka akan jelas baginya jalan

kebenaran‛.

Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menyebutkan perkataan Hasan al-Basri

tentang ayat ini, dimana beliau menegaskan, ‚Demi Allah! Tadabbur al-Qur’a>n

itu bukanlah dengan menghafal huruf-hurufnya, tetapi mengabaikan

batasan-batasan hukumnya, sehingga ada yang mengatakan, ‚Aku telah membaca al

-Qur`an seluruhnya, namun al-Qur’a>n itu tidak nampak dalam akhlak dan amal

perbuatannya.22

Setelah melakukan kajian terhadap berbagai literatur tafsir Al-Qur’a>n,

penulis menemukan karya dengan nama tadabbur Al-Qur’a>n karya Ulama

Indonesia, Bachtiar Nasir. Ketertarikan penulis untuk melakukan penelitian

(20)

11

terhadap karya ini karena dalam kajian-kajian tadabbur Al-Qur’a>n yang

dilakuakn Bachtiar Nasir dalam majelis-majelis ilmu bersama masyarakat mampu

membawa para audien dengan secara mudah memahami pesan-pesan Al-Qur’a>n

secara mendalam. Bahkan dengan fokus kajian tadabbur Al-Qur’a>n telah

mengantarkan Bachtiar Nasir menjadi salahsatu tokoh dan dai nasional bahkan

internasional. Hemat penulis, bila selama ini kajian-kajian dan penelitian tafsir

Al-Qur’a>n hanya menjadi konsumsi kalangan akademis, maka pendekatan

tadabbur telah mampu merekatkan Al-Qur’a>n dengan masyarakat secara lebih

luas. Oleh karenanya penulis merasa penting untuk menganalisa tentang kitab

tadabbur al-Qur’a>n karya Bachtiar Nasir dalam perspektif epistemologi.

Kitab tadabbur Al-Qur’a>n karya Bachtiar Nasir berkembang di Indonesia

sejak tahun 2013 oleh Gema Insani, Jakarta dengan berbahasa Indonesia dan

terjemah berbahasa Inggris.23 Berawal dari karya ini, Bachtiar Nasir mejadi

delegasi dari Indonesia sebagai ketua taddabbur Al-Qur’a>n Indonesia dalam

konfrensi tadabbur al-Qur’a>n Internasional. Bachtiar Nasir mengemukakan 10

langkah konsep tadabbur Al-Qur’a>n, sebagai berikut:

1. Bacalah ayat dengan bacaan tadabbur (sucikan diri, hadirkan qalbu,

perhatikan adab tilawah dan bacalah dengan tartil).

2. Hafalkan dengan hafalan yang benar.

3. Tuliskan ayat dengan tulisan kaidah imla’ dan rasm ustmani>.

4. Terjemahkan semua kosa kata ayat.

(21)

12

5. Terjemahkan makna secara keseluruhan ayat.

6. Terjemahkan semantika atau makna kebahasaan.

7. Bacalah tafsir ringkas ayat.

8. Tangkap pesan-pesan utama ayat.

9. Simpulkan inti pesan ayat.

10.Tafsir dan tadabbur ayat (tafsir pilihan, semantika, tafsir Al-Qur’a>n

dengan Al-Qur’a>n, tafsir Al-Qur’a>n dengan hadis, tafsir menurut pakar

atau ahli dalam bidangnya), serta hikmah dan pencerahan tiap kalimat

dalam ayat.

Dengan melihat 10 langkah konsep tadabbur Al-Qur’a>n yang diuraikan

Bachtiar Nasir dalam kitab tadabbur Al-Qur’a>n, penulis beranggapan bahwa

penelitian terhadap epistemologi tadabbur Al-Qur’a>n sebagai telaah terhadap

penafsiran Bachtiar Nasir akan menarik untuk dibahas dalam penelitian ilmiah

ini, sebagai bentuk metode penelitian kitab tafsir di Indonesia yang berkembang

saat ini.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Melalui penjelasan panjang lebar pada latar belakang masalah, penulis akan

mengindetifikasi masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, diantaranya :

1. Sumber penafsiran Bachtiar Nasir dalam kitab Tadabbur Al-Qur’a>n.

2. Pendekatan dan metode penafsiran Bachtiar Nasir dalam kitab Tadabbur

Al-Qur’a>n.

(22)

13

4. Kecenderungan penafsiran Bachtiar Nasir dalam kitab Tadabbur

Al-Qur’a>n.

5. Validitas penafsiran Bachtiar Nasir dalam kitab Tadabbur Al-Qur’a>n.

6. Konsep penafsiran Bachtiar Nasir dalam kitab Tadabbur Al-Qur’a>n.

7. Epistemologi penafsiran Bachtiar Nasir dalam kitab Tadabbur Al-Qur’a>n.

Dari uraian diatas penulis memfokuskan permasalahan secara spesifik dan

komperhensif, untuk mengetahui perangkat metodologi pada kitab Tadabbur

Al-Qur’a>n karya Bachtiar Nasir dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’a>n.

C. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini

berdasarkan identifikasi masalah, sebagaimana berikut :

1. Bagaimana konsep Tadabbur Al-Qur’a>n karya Bachtiar Nasir ?

2. Bagaimana epistemologi penafsiran Bachtiar Nasir dalam kitab tadabbur

Al-Qur’a>n?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan dari rumusan masalah, berikut penulis menjabarkan tujuan

dari penelitian ini untuk menjawab rumusan masalah, sebagaimana berikut:

1. Mendiskripsikan secara komprehensip konsep Tadabbur Al-Qur’a>n karya

Bachtiar Nasir.

2. Menjelaskan epistemologi penafsiran yang digunakan Bachtiar Nasir

(23)

14

E. Kegunaan Penelitian

Hasil dari penelitian ini, diharapkan dapat bermanfaat, sekurang kurangnya

dalam 2 (dua) hal di bawahini:

1. Aspek teoritis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan bagi peneliti selanjutnya dan

dapat dijadikan bahan untuk memperkaya wawasan ilmiah tentang konsep

metodologi tafsir di Indonesia.

2. Aspek praktis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi

para calon mufassir dan ulama’ kontemporer memperkaya kazanah ilmu untuk

memahami dan mengkaji maksud Allah pada setiap ayat dalam Al-Qur’a>n.

Dan mampu memberi motivasi untuk selalu ingin menjadi mufassir dan

ulama’ yang ideal sebagai mana para salafuna> al-s}a>lih.

F. Kerangka Teoretik

Kerangka teori merupakan landasan berpikir yang disusun untuk

menunjukkan dari sudut mana masalah yang telah dipilih akan disoroti.24

Menurut Snel becker, teori itu merupakan seperangkat proposisi yang

terintegrasi secara sintaksis (mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan

secara logis satu dengan lainnya dengan data dasar yang dapat diamati) dan

berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang

(24)

15

diamati.25 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan kerangka teori

epistemologi tafsir Al-Qur’a>n.

Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan kerangka teori

epistemologi tafsir Al-Qur’a>n. Kedaua terma tersebut merupakan gambaran dari

metedologi penafsiran, baik konvensional maupun kontemporer. Pengertian

epistemologi yang cukup beragam coraknya tetapi nampaknya tidak memiliki

perbedaan yang cukup berarti satu sama lain. Dalam tulisan ini, penulis lebih

sepakat untuk menggunakan rumusan A.H. Bakker, sebagaimana juga dinukilkan

Miska Muhammad Amin, yang mempersamakan pengertian epitemologi dengan

metodologi sebagaimana dalam kutipannya sebagai berikut:

‚Metodologi dapat dipahami sebagai filsafat ilmu pengetahuan (epistemologi). Filsafat ilmu pengetahuan yang dimaksud ini menguraikan metode ilmiah sesuai dengan hakekat pengertian manusia. Dapat ditemukan kategori-kategori umum

yang hakiki bagi segala pengertian, jadi berlaku bagi semua ilmu.‛26

Karena epistemologi memiliki pengertian yang sama dengan metodologi

dalam pandangan tersebut, maka ia dapat diartikan sebagai teori tentang metode

atau cara yang terencana untuk memperoleh hakekat kebenaran suatu

pengetahuan menurut aturan tertentu. Namun sebagai suatu pendekatatan dalam

ilmu tafsir, pemaknaan tentang metodologi lebih terhadap proses penafsiran yang

menghasilkan suatu produk tafsir.

25Lihat Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002),

34.

26 A.H. Bakker, Metode-metode Filsafat, Yayasan Pembinaan Fakultas Filsafat, Yogyakarta:

(25)

16

Tafsir sebagai bagian dari ilmu pengetahuan membatasi ruang lingkup

pembahasan yang hanya berkenaan tentang metode untuk memahami dan

mejelaskan makna al Qur’an.27 Namun dalam konteks keilmiahan perangkat

metodologis penafsiran al Qur’an tidak lagi hanya berkutan dengan kaidah

lingguitik tekstualitas normatif, namun juga pendekatan melalui kondisi sosial

kontekstulitas historis juga menjadi bagian dari pendeketan interdisipliner ilmu

pengetahuan untuk menafsirkan al Qur’an.

Epistemologi tafsir berkaitan dengan pemetaan terhadap sumber dan

metode kecenderungan penafsiran, sehingga perangakat metodologi tafsir dengan

berbagai pendekatan baik yang berupa semuah ideologi ataupun pemikiran adalah

bagian dari epistemologi penafsiran. Pemetaan al-Farmawi tentang metode dan

corak penafsiran, selama ini banyak dijadikan rujukan untuk mengkaji kitab

tafsir.

Namun, dinamika perkembangan tafsir tidak cukup mampu untuk

digambarkan dengan tegas antara sumber, metode dan pendekatan tafsir. Hanya

saja, al-Farmawi mampu memprakarsai lahirnya metode tafsir Maud}u’i secara

sistematis dengan mengahadirkan corak penafsiran yang berkembang selama ini,

riwayah, ijtihadi, fiqhi, sufi, falsafi, lughawi dan adab ijtima’i.28 Berbeda dengan

pemetaan metode tafsir jauh sebelumnya seperti yang digambarkan oleh Ali

27 Muhammad Husei>n Al-Dhaha>by, Ilmu al-Tafsir, (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, ttp), 6.

28 Abd Hayy al-Farmawi, Al-Bida>yah fi> at-Tafsir al-Maudhu’i, (Kairo: Maktabah al-Mishriyah,

(26)

17

Shabuny bahwa metode tafsir hanya diklasifikasikan menjadi ma’tsur/riwayah,

ra’y dan isyari.

Pemetaan tafsir secara epistemologis, pernah dilakukan oleh Ridlwan

Natsir dengan mengkalisifikasikan metode tafsir berdasarkan sumber penafsiran

(mas}a>dir at-tafsir), metode penafsiran (manhaj at-tafsir) dan corak atau

kecenderungan penafsiran (laun at-tafsir).29 sumber penafsiran menurut Natsir

dapat diklasifikasikan dalam bentuk ma’tsur/riwayah, ra’y, dan iqtirany

(perpaduan riwayat dan ijtihad). meskipun untuk menentukan sebuah ukuruan

ketiga sumber tersbut masih belum ditagaskan secara proporsional. kedua Natsir

memetakan metode penafsiran berdasarkan sistematika penulisan kitab tafsir,

dalam hal ini ia membagi dalam dua aspek tertib ayat, keluasan penjelasan dan

cara penyampaian tafsir.

Sistematika penulisan tafsir dari aspek tertibnya dapat dklasifikasikan

menjadi tertib tahlily/mushafi berdasarakan urutan mushaf dari surat al-Fatihah

sampai An-Na>s. tertib nuzuly sesuai turunnya Al-Qur’a>n dari surat al-Alaq ayat

1-7, seperti yang berkambang saat ini aplikasi Al-Qur’a>n nuzuly oleh Izzat

Darwajah, serta tertib Maudhu’I dengan menggabungkan beberapa ayat dalam

satu tema.

Untuk pembagian dari aspek keluasan terdiri dari Itnaby (detail/rinci) dan

Ijmaly (Global), selanjutnya ditinjau dari asspek cara penyampaian penafsiran

dapat digolongkan terhdap muqarin (perbandingan) dan maud}u’i (tematik).

29 Ridlwan Natsir, Memahami al-Qur’a>n; Perspektif Baru Tafsir Muqarin, (Surabay: CV. Indera

(27)

18

Perbandingan dalam tafsir dapat dilakukan baik antar ayat dengan ayat, ayat

dengan hadith dan antar penafsiran ulama’, sedangkan cara penafsiran maud}u’i

dilakukan dalam mengelompok ayat dalam satu tema tafsir.

Ketiga corak penafsiran berhubungan langsung keilmuan dan kepribadian

mufassir, baik dalam bentuk corak keilmuan (laun ilmy) dan corak ideologi (laun

I’tiqady). Corak penafsiran berdasarkan keilmuan mufassir tidak jauh berbeda

dengan yang dipetakan oleh al-Farmawi, namun Natsir juga mencoba untuk

masuk dalam corak ideologi yang tentunnya akan berpengaruh dalam penafsiran,

ia menggambarkan seperti corak syi’ah, sunny ideologi dalam masalah ayat

kalamiyah dan madzhab dalam kaitannya dengan ayat-ayat hukum dalam tafsir

fiqhy.

Namun, pemetaan tafsir Natsir tidak disertai dengan ukuran yang jelas

terkait sumber maupun sistematika penulisanya, seperti sumber iqtirany yang

tidak dijelaskan secara proporsional yang kitab tafsir yang dianggap memadukan

riwayat dengan ijtihad, selain itu ia juga seperti tumpang tindih ketika

menjelaskan sistematika penulisan kitab tafsir seperti pengkategorian tahlily

yang dikaitkan dengan tertib mushaf, padahal terma tahlily pada dasarnya

digunakan untuk menjelaskan keluasan penafsiran. Namun, terlepas dari istilah

yang digunakan, Natsir tampak mampu memetakan metodologi tafsir secara

epistemologi.

Kerancuan dalam metodologi pemetaan tafsir, berusaha dipertegas oleh

(28)

19

Qur’a>n di Indonesia mencakup aspek variabel teknis penulisan dan konstruksi

hermeneutika karya tafsir.30 pemetaan terhadap variabel teknis penulisan kitab

tafsir merupakan kajian terhadap bentuk literasi penulisan tafsir mencakup enam

aspek, diantaranya: sistematika penyajian, Bentuk penyajian dan gaya bahasa

dalam penulisan tafsir.

Aspek kedua yakni merupakan tela’ah terhdap kepribadian seorang

mufassir melalui triadic proces antara teks, penafsir dan audiens sasaran teks.

Hal ini adalah bagian dari konstruksi hermeneutik31 atau bangunan epistemologis

metodologi penafsiran dengan mengacu terhadap tiga aspek, pertama metode

penafsiran, berbeda dengan al-Farmawi dalam kacamata hermenutika metode

tafsir yang berkembang hingga saat ini meliputi, riwayat, pemikiran dan metode

interteks. Kedua nuansa penafsiran yang berkaitan dengan kecenderungan atau

maenstream yang terdapat dalam penafsiran mencakup, fiqhy, sufi, bahasa,

filsafat dan sosial kemasyarakatan.

Bagian terakhir yakni pendekatan tafsir, baik pendekatan yang memberi

porsi perhatian dominan pada teks, maupun dominan pada konteks. Dalam hal ini

Islah mengklasifikasi pendekatan tafsir berdasarkan gerak penafsiran dari teks

dan konteks. Model gerakan pertama berusaha merefleksikan teks ke ranah

praksis (konteks) sepertihalnya model tafsir konvensional, sedangkan gerakan

kedua menganggap teks yang terbatas tentunya dapat dipahami melalui konteks

(29)

20

yang kemudian direfleksikan pada teks seperti banyak dilakukan oleh para

mufassir kontemporer.

Sedangkan tadabbur menurut Ibnu Katsir adalah memahami makna

lafaz}-lafaz} al-Qur’a>n, dan memikirkan apa yang ayat-ayat al-Qur’a>n tunjukkan tatkala

tersusun, dan apa yang terkandung di dalamnya, serta apa yang menjadikan

makna-makna al-Qur’a>n itu sempurna, dari segala isyarat dan peringatan yang

tidak tampak dalam lafaz} al-Qur’a>n, serta pengambilan manfaat oleh hati

dengan tunduk di hadapan nasehat-nasehat al-Qur’a>n, patuh terhadap perintah

-perintahnya, serta pengambilan ibrah darinya.

G. Penelitian Terdahulu

Pembahasan tentang metodologi penafsiran Al-Qur’a>n bukanlah suatu hal

yang baru, karena banyak orang yang telah meneliti dan mengkaji tentang

metodologi penafsiran Al-Qur’a>n. Akan tetapi dari berbagai macam literatur atau

tulisan, peneliti belum menemukan karya yang mengkaji secara khusus tentang

konsep metodologi Kitab Tafsir tadabbur Al-Qur’a>n karya Bachtiar Nasir .

Adapun penelusuran kepustakaan dari berbagai literatur, ditemukan kajian

yang bersinggungan dengan tema yang dibahas. Diantaranya adalah:

1. Telaah Epistemologi Tafsir Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Kitab Tafsir

Al-Majied An-Nur, karya Sajida Putri, sebuah tesis prodi Tafsir

Hadith pada jurusan Agama dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta tahun 2015. Penelitian ini berusah melakukan telaah

(30)

21

penafsiran Hasbie Ash-Shiddiqie melalui sumber, metode dan

validitas penafsira tanpa menjelaskan terkait kecenderungan atau

corak penafsiran.

2. Ummi Rohti, juga pernah melakukan penelitian metodologi

penafsiran dalam bentuk tesis Pascasarjana IAIN Sunan Ampel 2010,

dengan Judul Metodologi Penafsiran Bintu Ash-Shat}i’. Tesis ini

berusaha menjelaskan tentang seumber, metode dan kecenderungan

penafsiran Bintu Ash-Shat}i’ yang merupakan obyek berbeda dengan

penelitian ini.

3. Metodologi Penafsiran Kontemporer, Karya Abdullah Mustaqim

merupakan sebuah disesrtasi pada pasca sarjana IAIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta, Kemudian berubah menjadi buku ilmiah cetakan 2009

Penerbit LKiS Yogyakarta dengan judul Epistemologi Tafsir

Kontemporer, populer dalam pembahasa dua tokoh mufassir

kontemporer Syahrur dan Fazlur Rahman. Buku ini juga memberi

gamabaran pemetaan epitemologi tafsir yang berbeda pula, selain

perbedaan priode penafsiran, berbeda pula kitab yang diteliti.

4. Moch. Nur Ihwan, Hermeneutika Al-Qur’a>n: Analisis Peta

Perkembangan Metodologi Tafsir Al-Qur’a>n Kontemporer, Skripsi

Jurusan Tafsir Hadis IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 1995.

(31)

22

hermeneutika Al-Qur’a>n dengan tela’ah epistemologi tafsir dengan

obyek yang lebih luas dari beberapa kitab tafsir di Indonesia.

H. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dan

Penelitian Lapangan (field research). Dalam penelitian kepustakaan,32

pengumpulan data-datanya diolah melalui penggalian dan penelusuran

terhadap kitab-kitab, buku-buku dan catatan lainnya yang memiliki hubungan

dan dapat mendukung penelitian.

Sedangkan penelitian lapangan merupakan penelitian yang dilakukan

dengan mengumpulkan data dan informasi yang diperoleh langsung dari

responden dengan melakukan langsung dengan penulis kitab tadabbur

Al-Qur’a>n yakni Bachtiar Nasir, dalam hal ini wawancara merupakan metode

pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh informasi langsung dari

sumbernya.

2. Data yang diperlukan

Data yang diperlukan dalam penelitian ini berupa data kepustakaan,

mencakup landasan teori dan obyek pembahasan, antara lain :

a. Beberapa karya tentang metodologi tafsir Al-Qur’a>n

b. Profil dan latar belakang Intelektual Bachtiar Nasir

c. Karya-karya intelektual Bachtiar Nasir

(32)

23

3. Sumber data

Data yang diambil dalam penelitian ini bersumber dari dokumen

perpustakaan yang terdiri dari dua jenis sumber yaitu primer dan sekunder:

Sumber pimer adalah rujukan utama yang akan dipakai yaitu kitab suci

Al-Quran dan terjemahannya antara lain :

a. Tafsir Tadabbur Al-Qur’a>n karya Bachtiar Nasir

b. Tadabbur dan Praktinya; Panduan Berinteraksi dengan Al-Qur’a>n

karya Bachtiar Nasir

Sumber sekunder sebagai rujukan pelengkap, antara lain:

a. At-Tafsir wa al-Mufassiru>n karya Muhammad Husayn

Adh-Dhahaby.

b. Al-Mufassir Haya>tuhum wa Manha>juhum karya Muhammad Ali

Ayazy.

c. Metode Tafsir mawd}hu>’I Suatu Pengantar karya Abd. Hayy al

-Farmawi.

d. Kaidah Tafsir karya Muhammad Quraish Shihab.

e. Memahami Al-Qur’a>n; Perspektif Baru Tafsir Muqarin, karya

Ridlwan Natsir

(33)

24

4. Teknik Pengumpulan Data

Adapun untuk memperoleh wacana tentang Epistemologi Tafsir

Tadabbur Al-Qur’a>n Penafsiran Bachtiar Nasir, dapat pula menggunakan

metode-metode penelitian sebagai berikut:

a. Interview atau wawancara, yaitu dengan melakukan dialog

langsung dengan penyusun kitab.

b. Observasi, adalah mendapatkan gambaran dan uraian sesuatu hal

menurut apa adanya atau karangan yang melukiskan sesuatu.

Observasi ini digunakan oleh penulis dalam mencari data-data yang

diperoleh dari literatur kepustakaan.

c. Analisa Komprasi, adalah membandingkan metodologi penafsiran

yang berimplikasi terhadap produk tafsir yang berbeda pula. Dalam

hal perbandingan metodologi mencakup metode, corak dan aliran.

5. Pengolahan data

a.Editing, yaitu memeriksa kembali secara cermat data-data yang diperoleh

terutama dari segi kelengkapan, kejelasan, kesesuaian, relevansi, dan

keragamannya.

b.Pengorganisasian data, yaitu menyusun dan mensistematikan data-data

yang diperoleh dalam kerangka paparan yang sudah direncanakan

(34)

25

6. Teknik analisis data

Dalam penelitian ini, teknik analisa data memakai pendekatan metode

deskriptif-analitis. Penelitian yang bersifat deskriptif-analitis memaparkan

data-data yang diperoleh dari kepustakaan.33

Dengan metode ini akan dideskripsikan metodologi tafsir Tadabbur

Al-Qur’a>ndengan beberapa pemetaan tafsir, sehingga dapat menjadi lebih jelas

dan lebih mendalam. Selanjutnya, setelah pendiskripsian tersebut, dianalisis

dengan menelaah terhadap bangunan metodologi penafsiran Bachtiar Nasir

dalam tafsirnya Tadabbur Al-Qur’a>n.

I. Sistematika Pembahasan

Untuk lebih memudahkan pembahasan dalam tesis ini, maka penulisan ini

disusun atas lima bab sebagai berikut :

Bab pertama berisikan pendahuluan yang meliputi; latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, kerangka teori,

penelitian terdahulu, metode penelitian, lalu kemudian dilanjutkan dengan

sistematika pembahasan.

Bab kedua secara umum berisikan tentang landasan teori, dalam hal ini

penulis akan menjelaskan tentang perkembangan tafsir Al-Qur’a>n, bentuk-bentuk

tafsir, metodologi penafsiran Al-Qur’a>n, dan corak tafsir Al-Qur’a>n serta

pengertian tadabbur, keutamaan dan pentingnya tadabbur, tujuan tadabbur, dan

langkah-langkah tadabbur Al-Qur’a>n.

33Ibnu Hajar, Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kuantitatif Dalam Pendidikan (Jakarta: PT Raja

(35)

26

Bab ketiga gambaran umum tentang riwayat hidup Bachtiar Nasir

meliputi, biografi, latar belakang intelektual dan karya-karyanya, sejarah

penulisan tafsir, dan sistematika penafsiran.

Bab keempat berisikan analisis tentang metodologi penafsiran Al-Qur’a>n

dalam tafsir tadabbur Al-Qur’a>n karya Bachtiar Nasir meliputi sumber penafsiran

tadabbur Al-Qur’a>n, corak penafsiran, posisi kitab tadabbur al-Qur’a>n diantara

kitab tafsir, dan kelebihan dan kekurangan tadabbur Al-Qur’a>n.

(36)

27

BAB II

EPISTEMOLOGI TAFSIR AL-QUR’A>N DAN TADABBUR AL-QUR’A>N

A. Pengertian Epistemologi

Epistemologi merupakan bagian dari pembahasan filsafat, namun kajian

ini menempati posisi sentral ilmu pengetahuan sebagai induk segala ilmu. Terma

Epistemologi berasal dari bahsa Yunani yakni episteme (pengetahuan) dan logos

(perkataan, pikiran dan ilmu). Kata ‚Episteme‛ dalam bahasa Yunani berasal dari

kata kerja epistamai yang memiliki arti mendudukkan, menempatkan, atau

meletakkan. Makna harfiah episteme berarti pengetahuan sebagai upaya

intelektual untuk ‚menempatkan sesuatu dalam kedudukan setepatnya.‛ Selain

kata ‚episteme‛ dalam bahasa Yunani juga dipakai kata ‚gnosis‛, maka istilah

‚epistemologi‛ dalam sejarah pernah juga disebut genosiologi. Sebagai kajian

filosofis yang membuat telaah kritis dan analitis tentang dasar-dasar teoritis

pengetahuan. Epistemologi kadang juga disebut teori pengetahuan (theory of

knowledge/Erkentnis theory). 34

Term epistemologi pertama kali dipopulerkan oleh J>.F. Ferrier (1854 M)

yang membedakan dua cabang filsafat epistemologi dan ontologi. Epistemologi

didefinisikan sebagai cara atau metode untuk mencari pengetahuan sedangkan

ontologi merupakan kajian terhadap hakikat pengetahuan itu sendiri.35 Gambaran

lebih spesifik, epistemologi menelusuri terhadap asal, struktur, metode dan

34 A.M.W Pranaka, Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar (Jakarta: CSIS, 1987), 3-5. 35 Ahmad Tafsir, Pengantar Filsafat Umum: Dari Thales Sampai Nietzhea ( Bandung:

(37)

28

validitas pengetahuan (the branch of philosophy wich investigates the origin,

stucture, methods and validity of knowledge).36 Hal inilah yang kemudian

menjadi pokok-pokok kajian dalam epistemologi.

Kajian epistemologi mencakup segala aspek proses pembentukan, hingga

melahirkan suatu produk pengetahuan yang dapat diperanggung jawabkan

melalui prosedur ilmiah. Sebagaimana telah disampaikan DW. Hamlyn, bahwa

epistemologi adalah cabang filsafat yang berurusan dengan hakekat dan lingkup

pegetahuan, pengandai-pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggung

jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.37 Lebih jelasnya

seperti kutipan berikut:

‚Epistemology or the theory of knowledge is that branch of philosophy which is concerned with the nature and scope of knowledge, its presuppositions and basis, and in the general reability of claim to

knowledge.‛ 38

Dengan demikian, pengertian tersebut menunjukkan bahwa epistemologi

adalah teori dan sistem pengetahuan yang berhubungan dengan the nature of

knowledge (hakekat pengetahuan)., the origin of knowledge (sumber

pengetahuan), dan validity of knowledge (validitas pengetahuan).

Pengertian epeistemologi yang begitu beragam coraknya tetapi nampaknya

tidak memiliki perbedaan yang cukup berarti satu sama lain, namun rumusan

pengertian epistemologi yang disampaikan A.H. bakker, cukup representatif

36.M.W Pranaka,

Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar (Jakarta: CSIS, 1987), 3. 37 DW. Hamlyn, History of Epistemology, dalam Paul Edwward, The Encyclopedia of

(38)

29

sebagai acuan, sebagaiman juga dinukil Miska Muhammad Amin, yang

menyamakan pengertian epistemologi degan metodologi sebagaimana dalam

kutipannya sebagai metodologi dapat dipahami sebagai filsafat ilmu pengetahuan

(epistemologi). Filsafat ilmu pengetahuan yang dimaksud ini menguraikan

metode ilmiah sesuai dengan hakikat pengertian manusia. Dapat ditemukan

kategori-kategori umum yang hakiki bagi segala pengertian, jadi berlaku bagi

semua ilmu.‛ 39

Karena epistemologi memiliki pengertian yang sama dengan metodologi

dalam pandangan tersebut, maka ia dapat diartikan sebagai teori tentang metode

atau cara yang terencana untuk memperoleh hakekat kebenaran suatu

pengetahuan menurut aturan tertentu. Namun sebagai suatu pendekatatan dalam

ilmu tafsir, pemaknaan tentang metodologi lebih terhadap proses penafsiran yang

menghasilkan suatu produk tafsir.

Tafsir sebagai bagian dari ilmu pengetahuan membatasi ruang lingkup

pembahasan yang hanya berkenaan tentang metode untuk memahami dan

mejelaskan makna al-Qur’a>n.40

Epistemologi tafsir berkaitan dengan pemetaan terhadap sumber dan

metode kecenderungan penafsiran, sehingga perangakat metodologi tafsir dengan

berbagai pendekatan baik yang berupa semuah ideologi ataupun pemikiran adalah

bagian dari epistemologi penafsiran. Pemetaan al-Farmawi tentang metode dan

39 A.H. Bakker, Metode-metode Filsafat, Yayasan Pembinaan Fakultas Filsafat, Yogyakarta:

(diktat), t.th., hlm. 3

(39)

30

corak penafsiran, selama ini banyak dijadikan rujukan untuk mengkaji kitab

tafsir.

Namun, dinamika perkembangan tafsir tidak cukup mampu untuk

digambarkan dengan tegas antara sumber, metode dan pendekatan tafsir. Hanya

saja, al-Farmawi mampu memprakarsai lahirnya metode tafsir Maud}u’i secara

sistematis dengan mengahadirkan corak penafsiran yang berkembang selama ini,

riwayah, ijtihadi, fiqhi, sufi, falsafi, lughawi dan adab ijtima’i.41 Berbeda dengan

pemetaan metode tafsir jauh sebelumnya seperti yang digambarkan oleh Ali

Ash-Shabuny bahwa metode tafsir hanya diklasifikasikan menjadi ma’tsur/riwayah,

ra’y dan isyari.

Pemetaan tafsir secara epistemologis, pernah dilakukan oleh Ridlwan

Natsir dengan mengkalisifikasikan metode tafsir berdasarkan sumber penafsiran

(mas}a>dir at-tafsir), metode penafsiran (manhaj at-tafsir) dan corak atau

kecenderungan penafsiran (laun at-tafsir).42 sumber penafsiran menurut Natsir

dapat diklasifikasikan dalam bentuk ma’tsur/riwayah, ra’y, dan iqtirany

(perpaduan riwayat dan ijtihad).

41 Abd Hayy al-Farmawi, Al-Bida>yah fi> at-Tafsir al-Maudhu’i, (Kairo: Maktabah al-Mishriyah,

1999), 20

42 Ridlwan Natsir, Memahami al-Qur’a>n; Perspektif Baru Tafsir Muqarin, (Surabay: CV. Indera

(40)

31

B. Macam-Macam Metode Tafsir

Kata ‚metode‛ berasal dari Bahasa Yunani methodos, yang berarti cara

atau jalan.43 Dalam Bahasa Inggris, kata ini ditulis method, dan dalam Bahasa

Arab diterjemahkan dengan t}ari>qah dan manhaj. Dalam Bahasa Indonesia, kata

tersebut mengandung arti ‚cara yang teratur yang digunakan untuk

melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki;

cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna

mencapai suatu yang ditentukan.44

Pengertian metode yang umum itu dapat digunakan pada berbagai obyek,

baik berhubungan dengan pemikiran maupun penalaran akal, atau menyangkut

pekerjaan fisik. Jadi dapat dikatakan, metode adalah salah satu sarana yang amat

penting untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dalam kaitan ini, maka

studi tafsir al-Qur’a>n tidak lepas dari metode, yakni suatu cara yang teratur dan

terpikir dengan baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang

dimaksud Allah di dalam ayat-ayat al-Qu’ra>n yang diturunkan kepada Nabi

Muhammad SAW.

Sedangkan yang dimaksud dengan metode penafsiran al-Qur’an ialah cara

menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, baik yang didasarkan ataspemakaian sumber

-sumber penafsirannya, atau system penjelasan tafsiran-tafsirannya, keluasan

43Fuad Hasan dan Koentjaraningrat, ‚Beberapa Asas Metodologi Ilmiah‛, dalam Koentjaraningrat (ed.), Metode-metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1977), 16.

44 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:Balai

(41)

32

penjelasan tafsirannya, maupun yang didasarkan atas sasaran dan tertib ayat-ayat

yang ditafsirkannya.

Metode tafsir secara klasik dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu: tafsir

bi al-matsu>r dan tafsir bi al-ra’yi. Prof. Dr. Quraish Shihab memaparkan tentang

cakupan metode-metode tafsir yang dikemukakan oleh ulama mutaqadimi>n

dengan ketiga coraknya, yaitu : al-ra’yu, al-ma’tsu>r , dan al-isyari> disertai pe

njelasan tentang syarat-syarat diterimanya suatu penafsiran serta metode

pengembangannya; dan mencakup juga metode-metode mutaakhir dengan

keempat macamnya: tahli>li>, ijma>li>, muqa>rin, dan mawdhu’i> sebagaimana

dipaparkan oleh al-Farmawi. Berbeda halnya dengan Prof. Dr. H. Abd. Djalal

yang membagi metode tafsir menjadi 4 bagian, yaitu: tinjauan dari segi sumber

penafsiran, cara penjelasan, dan keluasan penjelasannya serta sasaran dan tertib

ayat yang difasirkan.45

1. Metode tafsir al-Qur’an bila ditinjau dari segi sumber penasiran

a. Tafsir bi al-ma’tsu>r yaitu tata cara menafsirkan al-qur’an yang didasarkan

atas sumber penafsiran al-Qur’an dari al-Hadith, riwayat sahabat dan

tabi’in.

b. Tafsir bi al-ra’yi yaitu cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang

didasarkan atas sumber ijtihad dan pemikiran mufassir terhadap tuntutan

kaidah Bahasa Arab dan kesusasteraannya, teori ilmu pengetahuan setelah

dia menguasai sumber-sumber tadi.

(42)

33

c. Tafsir bi al-iqtirani> (perpaduan antara bi al-manqul dan bi al-ma’qu>l)

yaitu cara menafsirkan al-Qur’an yang didasarkan atas perpaduan antara

sumber tafsir riwayah yang kuat dan shahih dengan sumber hasil ijtihad

pikiran yang sehat.

2. Metode tafsir al-Qur’an bila ditinjau dari segi cara penjelasan

a. Bayani> yaitu penafsiran dengan cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an

hanya dengan membaerikan keterangan secara deskripsi tanpa

membandingkan riwayat/pendapat dan tanpa menilai

b. Muqa>rin yaitu membandingkan ayat dengan ayat yang berbicara dalam

masalah yang sama, ayat dengan hadith, antara pendapat mufassir dengan

mufassir lain dengan menonjolkan segi-segi perbedaan.

3. Metode tafsir al-Qur’a>n bila ditinjau dari segi keluasan penjelasan

c. Ijma>li> yaitu penafsiran dengan cara menafsirkan ayat al-Qur’a>n hanya

secara global saja yakni tidak mendalam dan tidak pula secara panjang

lebar, sehingga bagi orang awam akan lebih mudah untuk memahaminya.

d. Itnabi>/tafsili> yaitu penafsiran dengan cara menafsirkan ayat-ayat

al-Qur’a>n secara mendetail atau rinci, dengan uraian-urain yang panjang

lebar, sehingga cukup jelas dan terang yang banyak disenangi oleh para

cerdik pandai.

4. Metode tafsir al-Qur’a>n bila ditinjau dari segi sasaran dan tertib ayat yang

(43)

34

a. Tahli>li yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara urut dan tertib

sesuai dengan uraian ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf, dari awal

surat al-Fa>tih}ah hingga akhir surat al-Na>s.

b. Mawdhu’i> yaitu suatu penafsiran dengan cara mengumpulkan ayat

mengenai satu judul atau topik tertentu, dengan memperhatikan masa

turunnya dan asbabun nuzul ayat, serta dengan mempelajari ayat-ayat

tersebut secara cermat dan mendalam, dengan memperhatikan hubungan

ayat yang satu dengan yang lain di dalam menunjuk suatu permasalahan,

kemudian menyimpulkan masalah yang dibahas dari dilalah ayat-ayat

yang ditafsirkan secara terpadu.

c. Nuzuli> yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara urut tertib

sesuai dengan urutan turunnya ayat al-Qur’an.46

Sedangkan Tafsir al-Qur’a>n menurut al-Farmawy apabila ditinjau dari segi

metodenya dapat dikelompokkan dalam empat macam :

1. Metode Ijma>li>

Metode ijma>li (global) ialah menjelaskan ayat-ayat al-Qu’ra>n secara

ringkas tapi mencakup, dengan bahasa yang popular, mudah dimengerti, dan enak

dibaca. Sistematika penulisannya menurut susunan ayat-ayat di dalam mus}h}af.

Di samping itu, penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya Bahasa al-Qur’a>n,

sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar

46

(44)

35

Qur’a>n, padahal yang didengarnya itu adalah tafsirannya.47 Kitab Tafsi>r

al-Qur’a>n al-Kari>m karangan Muh}ammad Fari>d Wajdi, Tafsir al-Jala>layn karangan

Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}I dan al-Mah}alli>, dan Ta>j al-Tafa>si>r karya Muh}ammad

‘Uthma>n al-Mirgha>ni> masuk ke dalam kelompok ini.

Kelebihan metode ijma>li> diantaranya adalah lebih praktis dan mudah

dipahami, tanpa berbelit-belit, segera dapat diserap oleh pembacanya. Karena

singkatnya, tafsir ijma>li> lebih murni dan terbebas dari pemikiran-pemikiran

isra>ili>ya>t, dan akrab dengan Bahasa al-Qur’a>n, sehingga pembaca tidak

merasakan bahwa dia telah membaca kitab tafsir.

Kekurangan meode ijma>li> diantaranya adalah menjadikan petunjuk

al-Qur’a>n bersifat parsial, karena penjelasan singkat tidak ada peluang untuk

mengaitkan penafsiran suatu ayat dengan ayat lain. Padahal ayat yang samar atau

global kadang-kadang dijelaskan lebih rinci pada ayat yang lain. Disamping itu,

karena penafsiran sangat global, tidak ada ruangan untuk mengemukakan

analisis yang memadai, sesuai dengan keahlian para mufassir yang

bersangkutan.48

2. Metode Tah}li>li>

Metode tah}li>li> ialah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’a>n dengan memaparkan

segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu, serta

47 Abd al-Hayy al-Farma>wi>, al-Bidayah fi al-Tafsi>r al-Mawd}u>’I (Mesir : Matba’at al-H}ad}a>rah

al-‘Arabi>yah, 1977), 43-44. Lihat pula Z}a>hir bin Awwad} al-Alma>’I, Dira>sa>t fi al-Tafsi>r al-Mawd}u>’I

(t.tp.,pn 1405), 17-18.

48 Nahrudin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’a>n (Yogyakarta : Glagah UH IV 343, 1998),

(45)

36

menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian

dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.49

Dalam metode ini, biasanya mufassir menguraikan makna yang dikandung

oleh al-Qur’a>n, ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutannya di

dalam mus}h}af. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat

yang ditafsirkan seperti kosa kata, konotasi kalimatnya, latar belakang turun

ayat, kaitannya dengan ayat-ayat yang lain, baik sebelum maupun sesudahnya

(muna>sabah), dan pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan

tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, para

ta>bi’i>n maupun ahli tafsir lainnya.

Kelebihan metode tahli>li> di antaranya ialah mempunyai ruang lingkup yang

amat luas yang dapat digunakan oleh mufassir, baik dalam bentuk tafsi>r bi

al-ma’thu>r maupun tafsi>r bi al-ra’y. Bentuk tafsi>r bi al-ra’y dapat lagi

dikembangkan dalam berbagai corak penafsiran sesuai keahlian masing-masing

mufassir. Ahli Bahasa mendapat peluang yang luas untuk menafsirkan al-Qur’a>n

dari pemahaman kebahasaan. Di samping itu metode tahli>li> juga dapat

memberikan kesempatan yang amat luas kepada mufassir untuk mencurahkan

berbagai ide dan gagasannya dalam menafsirkan al-Qur’a>n.

Kekurangan metode tah}li>li> diantaranya ialah dapat membuat petunjuk

al-Qur’a>n bersifat parsial atau terpecah-pecah, sehingga seakan-akan al-Qur’a>n

memberikan pedoman secara tidak utuh dan konsisten, karena penafsiran yang

(46)

37

diberikan pada satu ayat, berbeda dari penafsiran yang diberikan pada ayat-ayat

lain yang sama dengannya. Demikian juga metode tah}li>li>, memberikan peluang

yang luas sekali kepada mufassir untuk mengemukakan ide-ide dan

pemikirannya, sehingga kadang-kadang mufassir tidak sadar bahwa dia telah

menafsirkan al-Qur’a>n secara subyektif, dan tidak mustahil pula ada di anatar

mereka yang menafsirkan al-Qur’a>n, sesuai dengan kemauan hawa nafsunya

tanpa mengindahkan kaidah-kaidah atau norma-norma yang berlaku.50

Metode tah}li>li> tidak membatasi mufassir dalam mengemukakan

pemikiran-pemikiran tafsirnya, maka berbagai pemikiran-pemikiran dapat masuk ke dalamnya, tidak

terkecali pemikiran isra>’iliya>t. Sepintas lalu sebenarnya kisah-kisah isra>’iliya>t

tidak ada persoalan, selama tidak dikaitkan dengan pemahaman al-Qur’a>n. Tapi

bila dihubungkan dengan pemahaman kiab suci, timbul problem firman Allah

karena akan terbentuk opini bahwa apa yang dikisahkan di dalam cerita itu,

merupakan maksud dari firman Allah, padahal belum tentu cocok dengan yang

dimaksud Allah dalam firman-Nya tersebut.

3. Metode Muqa>rin

Metode muqa>rin (komparatif) ialah membandingkan teks (nas}s}) ayat-ayat

al-Qur’a>n yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau

lebih, dan atau memiliki relaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama; atau

membandingkan ayat al-Qur’a>n dengan hadis yang pada lahirnya terlihat

bertentangan; dan membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam

(47)

38

menafsirkan al-Qur’a>n.51 Dari definisi itu terlihat jelas bahwa tafsir al-Qur’a>n

dengan menggunakan metode ini mempunyai cakupan yang amat luas, tidak

hanya membandingkan ayat dengan ayat melainkan juga membandingkan ayat

dengan hadis serta membandingkan pendapat para mufassir dalam menafsirkan

ayat al-Qur’a>n.

Diantara kelebihan metode ini ialah memberikan wawasan penafsiran yang

relative lebih luas kepada para pembaca bila dibandingkan dengan

metode-metode lain. Dalam penafsiran itu terlihat bahwa satu ayat al-Qur’a>n dapat

ditinjau dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan sesuai dengan keahlian mufassir.

Metode ini juga membuka pintu selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang

lain yang kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tidak mustahil ada

yang kontradiktif. Dengan demikian, hal ini dapat mengurangi fanatisme yang

berlebihan kepada suatu madzhab atau aliran tertentu, sehingga mereka yang

membaca tafsir komparatif, terhindar dari sikap ekstremistis yang dapat merusak

persatuan dan kesatuan umat.52 Tafsir dengan metode komparatif ini berguna

bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat. Oleh

sebab itu, penafsiran semacam ini cocok untuk mereka yang ingin memperluas

dan mendalami penafsiran al-Qur’a>n.

Mengenai kekuarangan metode komparatif ini, di anataranya ialah tidak

dapat diberikan kepada para pemula, seperti mereka yang sedang belajar pada

51 Al-Farma>wi>, al-Bida>yah, 45-46. Lihat pula M. Quraish Shihab, ‚Tafsir al-Qur’a>n dengan

Metode Mawd}u>’i‛, dalam Beberapa Aspek Ilmiah tentan al-Qur’a>n, 1986, 38. Lihat pula

al-Alma>’I, Dira>sa>t, 20-21.

(48)

39

tingkat sekolah, sebab pembahasan yang dikemukakan di dalamnya terlalu luas

dan kadang-kadang bisa ekstrem. Dalam kondisi ini, jelas anak didik belum siap

menerima berbagai pemikiran, dan tidak mustahil mereka akan kebingungan

menentukan pilihan. Metode komparatif juga kurang dapat diandalkan untuk

menjawab permasalahan social yang tumbuh di tengah masyarakat, sebab metode

ini lebih mengutamakan perbandingan daripada pemecahan masalah. disamping

itu, metode komparatif terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran

yang pernah diberikan oleh ulama daripada mengemukakan penafsiran-penafsiran

baru.

4. Metode Mawd}u>’i>

Metode maud}u’i> (tematik) ialah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’a>n

sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan

dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang

terkait dengannya, seperti asba>b al-nuzu>l, kosa kata, dan sebagainya. Semua

dijelaskan dengan rinci dan tuntas serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta

yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, baik argument itu berasal dari

al-Qur’a>n, hadis, maupun pemikiran rasional.53Diantara tafsir yang masuk

kategori ini, misalnya al-Insa>n fi al-Qur’a>n dan al-Mar’ah fi al-Qur’a>n, keduanya

karangan Mah}mu>d al-‘Aqqa>d, dan al-Riba> fi al-Qur’a>n karya al-Mawdu>di.

Dalam penerapan metode ini, ada beberapa langkah yang harus ditempuh

oleh mufassir, yaitu :

(49)

40

a. Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik).

b. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.

c. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya disertai pengetahuan

tentang asba>b al-nuzu>l.

d. Memahami kerelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing.

e. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out line).

f. Melengakapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok

bahasan.

g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun

ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan

anatara yang ‘a>m (umum) dan yang kha>s (khusus), m}utlak dan muqayyad

(terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya

bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan.54

Dianata kelebihan metode maud}u>’i> ini, ialah dapat disusun secara praktis

dan sistematis dalam memecahkan permasalahan yang timbul. Kondisi semacam

ini amat cocok dengan kehidupan umat semakin modern dengan mobilitas yang

tinggi, sehingga mereka seakan-akan tak punya waktu untuk membaca

ki

Referensi

Dokumen terkait

Fitur yang dimiliki dari website ini yaitu menampilkan barang, menampilkan info seputar perusahaan, form untuk pemesanan, mengelola data barang, mengelola

Behoa, dan To Bada. Hampir dalam percakapan dengan orang luar, mereka tidak pernah memanggil diri mereka sebagai To Lore. Sedangkan kelompok Palu Toraja, yang

Kemudian kitab al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an kitab ini membahas makna lafaz-lafaz yang terdapat dalam al-Qur‟an karya al-Raghib alAsfahani sebagai rujukan utama dalam

Artinya variable lingkungan kerja mempunyai pengaruh dominan terhadap prestasi kerja pegawai pada Kantor Kesekertariatan Pengurus Daerah Ikatan Bidan Indonesia

Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, Direktorat Jenderal Pajak mengatur bahwa Faktur Pajak ini telah ditandatangani secara elektronik sehingga tidak diperlukan tanda tangan basah

Adakah program sekolah yang sudah dicanangkan bersama antara sekolah, komite, dan orang tua tetapi tidak berjalan sesuai dengan harapan?. tidak berjalan sesuai

Orang tua peneliti, Mama Ipa dan Papa Mato tersayang, terima kasih atas kepercayaan yang mama dan papa berikan sehinga Nhu bisa berkuliah di Yogyakarta juga

Pengecualian dari instrumen ekuitas AFS, jika, pada periode berikutnya, jumlah penurunan nilai berkurang dan penurunan dapat dikaitkan secara obyektif dengan sebuah peristiwa