Peranan Modal Sosial
Pada Klaster Cor Logam
Ceper-Klaten
Pengantar
Peranan modal sosial pada dasarnya selalu berubah-ubah sesuai dengan perkembangan jaman. Demikian pula, Peranan modal sosial pada klaster cor logam di Kabupaten Klaten juga berubah-ubah sesuai dengan perkembangan klaster itu sendiri. Perubahan modal sosial dipengaruhi antara lain oleh budaya, adat istiadat, teknologi, politik dan dukungan Pemerintah.
1918-dan Peranan modal sosial pada tahap penurunan 1918-dan transformasi tahun 1990 – sekarang. Pada alinea terakhir, disampaikan pula tentang kebangkitan modal sosial, yaitu tahapan setelah terjadinya penurunan dan transformasi.
Peranan Modal Sosial pada Tahap Klaster Awal Pertumbuhan/ Embrio
(1918-1970)
Sejak Jaman Hindia Belanda sampai dengan tahun 1950-an, kehidupan klaster diwarnai oleh adat dan budaya turun-temurun dari leluhur. Berdasarkan sejarah Ceper, keagamaan masyarakat Ceper sangat kuat. Kondisi ini berdampak pada kegiatan kebersamaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Pada kondisi tersebut, sebagian besar pengusaha cor logam memahami bahwa bekerja adalah sebagai ibadah dan sekaligus mencari berkah. Oleh karena itu, pembentukan modal sosial melalui faktor keagamaan inilah yang kemudian dominan berkembang. Hampir
semua pelaku usaha mempunyai ilsafat kerja berdasarkan agama Islam.
Dasar-dasar tersebut menyebabkan etika bisnis di Ceper relatif
tinggi, nilai-nilai kebersamaan, kepercayaan dan kejujuran djunjung
sangat tinggi oleh para pelaku usaha di Ceper (Baharudin, 2010). Margono (bekas pengusaha cor logam), menyampaikan tentang kondisi pengecoran logam pada masa embrio :
saling membantu yang didasarkan pada faktor keagamaan ini sangat tinggi. Unsur kebersamaan tersebut terasa sangat menonjol pada berbagai kegiatan yang dilaksanakan secara gotong-royong”.
Budaya gotong-royong merupakan salah satu bentuk kegiatan bersama dengan modal sosial yang tinggi. Dari budaya gotong royong tersebut lama-kelamaan terjadilah transfer pengetahuan ke tetangga dan kerabat yang tadinya hanya membantu pekerjaan cor logam. Ketika permintaan produk cor logam semakin tinggi maka mereka yang semula hanya membantu secara gotong-royong tersebut kemudian mulai mendirikan usaha-usaha baru. Demikian selanjutnya, apabila para pengusaha baru tersebut mempunyai pekerjaan pengecoran maka tetangga yang dulu dibantu juga ikut membantu. Modal sosial dalam bentuk kepercayaan, jaringan usaha, kebersamaan dan kepedulian telah tumbuh dalam bentuk kegiatan bersama atau gotong-royong tersebut.
Dengan bertambahnya usaha-usaha baru tersebut, lama kelamaan terjadi saling bekerjasama dan akhirnya menuju ke arah pembentukan klaster cor logam. Pada awal pertumbuhan klaster tersebut, pihak-pihak yang terlibat masih hanya sebatas dari kalangan internal. Sebagaimana disampaikan Margono:
“Pada waktu iturantai nilai yang terbentuk masih sederhana dan didominasi oleh hubungan kekeluargaan ataupun kekerabatan.
menjadi bahan jadi. Barang jadi tersebut kemudian oleh pedagang barang jadi dijual ke konsumen akhir melalui pasar tradisional dan ada yang disetorkan ke pabrik gula dan pabrik tekstil”.
Melihat dasar pembentukan modal sosial yang masih mendasarkan pada aspek kekeluargaan dan budaya tersebut maka jenis modal sosial yang terjadi pada waktu itu adalah modal sosial bonding (ikatan). Sifat-sifat budaya gotong-royong tersebut yang mengikat para pelaku usaha satu dengan yang lain untuk saling bekerjasama dan saling membantu.
Lahirnya masa modernisasi di Ceper pada tahun 1950-an, mula-mula dipicu oleh keberhasilan desa Pedan (yang berada di sebelah desa Ceper) dalam hal ekonomi. Sebagaimana yang disampaikan Bilal (bekas pengusaha cor logam):
“Desa Pedan, yang adalah penghasil kain lurik dan benang, merupakan daerah industri yang lebih maju dari desa-desa lainnya di Kabupaten Klaten. Pengaruh desa tersebut sangat kuat terhadap masyarakat Ceper yang kemudian mendorong perubahan dari pedesaan tradisional yang kental budaya gotong-royongnya beralih menjadi desa dengan budaya konsumerisme yang tinggi”.
pada akhirnya lebih memprioritaskan kepentingan pribadi untuk mendapatkan kekayaan daripada kepentingan sosial”.
Tingkat modal sosial berupa kebersamaan dan kepedulian yang didasarkan pada azas sukarela mulai luntur dan diwarnai dengan modal sosial yang tumbuh karena munculnya kepentingan individu. Perusahaan-perusahaan, yang semula tumbuh dengan azas kekeluargaan dan kebersamaan, kemudian mulai mengembangkan jaringan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kelompoknya sendiri. Jaringan usaha kemudian dibangun baik secara non formal maupun secara formal melalui lembaga formal.
Pada kondisi seperti itulah kemudian tumbuh adanya jaringan sosial pada tahun 1954 dalam bentuk koperasi GP3T. Koperasi ini merupakan gabungan pengusaha dan fungsi utamanya adalah untuk mengusahakan bahan baku bagi anggotanya. Kemudian untuk semakin meningkatkan nilai tambah para pengrajin cor logam di Klaten, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1954 telah mendirikan Perusda di Ceper yang mengusahakan peralatan permesinan bubut. Dengan keberadaan Perusda tersebut jaringan usaha yang ada semakin bertambah, bukan hanya kepada Pemerintah, namun juga pasar yang semakin luas. Tahun 1962 kemudian juga terbentuk koperasi “Prasodjo” yang telah berbadan hukum dengan fungsi yang sama (Koperasi Batur Jaya, 2004).
“Seiring dengan perkembangan politik yang terjadi maka kedua koperasi tersebut terkena dampak dan akhirnya dibubarkan. Bubarnya kedua koperasi tersebut jelas berdampak pada menurunnya modal sosial terutama kepercayaan terhadap lembaga koperasi. Para tokoh muda yang tidak tergabung dalam kedua koperasi tersebut kemudian melakukan pertemuan untuk menggalang kebersamaan dalam rangka mendapatkan order.
Mereka sepakat untuk membentuk satu organisasi usaha dengan beberapa pilihan sebagai wadah peningkatan modal sosial, antara lain koperasi atau perusahaan swasta. Pada saat yang sama ada seorang tokoh, yakni Ibu Rumini, yang berhasil mengembangkan jaringan ke Jakarta dan sekitarnya dengan didampingi oleh para pelaku usaha yang masih muda”.
Keberhasilan ini merupakan tonggak terbentuknya modal sosial
bridging, di samping tetap mempertahankan model kekeluargaan yang mengarah pada bonding.
Dari kondisi tersebut dapat disimpulkan bahwa tipe dinamika modal sosial yang terbentuk pada tahapan perkembangan klaster berada pada tahap klaster awal pertumbuhan/ embrio secara umum adalah bonding. Selain terbentuk secara alami, karena kuatnya unsur-unsur keagamaan yang mendorong kerjasama dalam bentuk gotong-royong, dinamika modal soaial juga dipenguruhi oleh berbagai pihak yang pada waktu itu berperan dalam periode awal pertumbuhan / embrio. Pihak-pihak tersebut diantaranya adalah:
pabrik gula,
b. Pengrajin kecil, mempunyai peranan untuk mensuplay kebutuhan dari pengrajin besar dan kebutuhan pasar tradisional di sekitar Klaten, c. Pedagang barang jadi, berperan untuk mengambil barang-barang dari
para pengrajin kecil untuk dipasarkan secara langsung kepada para konsumen, khususnya melalui pasar tradisional,
d. Pedagang bahan baku, baik dari dalam maupun dari luar Ceper, yang mempunyai peran untuk memenuhi kebutuhan bahan baku para pengrajin di Ceper,
e. Koperasi yang mempunyai fungsi untuk menyediakan bahan baku bagi para pengrajin,
f. Perusda Provinsi yang menyediakan peralatan bubut kepada para pengrajin, sehingga para pengrajin dapat memproduksi barang jadi secara lebih baik,
g. Pemerintah, baik dari Departemen Perindustrian pusat, provinsi maupun kabupaten yang mempunyai peran dalam pembinaan,
h. Para tokoh masyarakat yang mempunyai peran dalam mendorong kemajuan bersama, baik dalam membuka wawasan, pasar maupun pembentukan koperasi.
Peranan Modal Sosial pada Tahap Tumbuh dan Dewasa (1970–1990)
klaster pada tahapan tersebut dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu tahap tumbuh (1970-1980) dan tahap dewasa (1980-1990).
Perkembangan kondisi klaster di tahap tumbuh ini dimotori oleh seorang wanita bernama Ibu Rumini. Hasil dari upaya ibu Rumini dalam membangun kerja sama dengan pihak luar yang berada di Jakarta membuahkan kepercayaan dari pemerintah pusat kepada pelaku usaha cor logam. Kepercayaan tersebut diikuti dengan kepercayaan para pelaku usaha lainnya terhadap Ibu Rumini, sehingga menjadikan mereka juga mengikuti jejak usaha Ibu Rukmini dengan mengadakan hubungan ke luar Ceper. Beberapa orang yang mengikuti jejak Ibu Rumini, antara lain Margono, Bilal dan Khusnul, yang akhirnya menjadi tokoh dan pengurus Koperasi Batur Jaya.
Tahap tumbuh klaster tersebut pada tahun 1970 terjadi setelah bangkrutnya 2 koperasi dan tumbangnya para tokoh-tokoh tua yang banyak tersangkut politik. Sebagaimana disampaikan Margono :
”Dengan tutupnya koperasi dan pertentangan politik tahun 1965 maka kepercayaan masyarakat terhadap para tokoh tua tersebut menjadi luntur. Oleh karena itu, muncul beberapa tokoh muda yang melakukan pembaharuan melalui kerjasama dengan pihak di luar Ceper. Tokoh-tokoh muda tersebut, yang dimotori Ibu Rumini, pada dasarnya tidak sepaham dengan para tokoh tua sehingga melahirkan kelompok-kelompok baru yang aktif membina hubungan dengan pihak luar”.
menerangkan bahwa modal sosial bridging merupakan suatu ikatan sosial yang timbul sebagai reaksi atas berbagai macam perbedaan karateristik dalam kelompoknya. Sementara itu Korigna (2005) lebih menegaskan bahwa modal sosial bridging merupakan hubungan antara pelaku usaha internal dengan eksternal. Modal sosial bridging yang terbentuk adalah berupa hubungan dengan pihak luar, yang pertama kali dilakukan oleh Ibu Rumini. Modal sosial tersebut mendorong kepercayaan eksternal, khususnya kepercayaan pemerintah pusat, untuk mengembangkan usaha di Ceper.
Peranan tokoh Ibu Rumini, dalam perjalanan perkembangan klaster di Ceper selanjutnya, berangsur-angsur redup seiring dengan lahirnya Koperasi Batur Jaya pada tahun 1975. Berdasarkan cerita salah seorang tokoh pelaku sejarah cor logam Ceper (yang namanya minta dirahasiakan) menyatakan :
tokoh yang mempunyai kelebihan dari sisi kemampuan untuk memimpin, baik dari segi materi dan waktu. Dalam rangka peningkatan modal sosial, memang dibutuhkan pemimpin yang bukan hanya mempunyai visi pengembangan yang kuat namun juga mempunyai kelebihan materi dan waktu untuk membangun kepercayaan masyarakat”.
Pada tahun 1973, atas dorongan dari Departemen Perindustrian, masyarakat melakukan persiapan pendirian suatu badan usaha yang bertujuan untuk melakukan usaha bersama diantara para pengrajin. Pada waktu itu nuansa badan hukumnya adalah koperasi atau Perseroan Terbatas. Setelah melalui perdebatan panjang dan atas anjuran dari Departemen Perindustrian maka pada tahun 1976 terbentuklah Koperasi Batur Jaya. Pemerintah melalui Departemen Perindustrian memberikan bantuan berupa modal awal koperasi dan peralatan pengecoran. Dengan adanya koperasi, maka para pengrajin mulai melakukan pengecoran di Koperasi dan menjadi anggota koperasi (Koperasi Batur Jaya, 2004). Koperasi tersebut diharapkan akan memperkuat modal sosial berupa kebersamaan dan kepercayaan dalam rangka pengembangan bisnis bersama.
Pada tahap klaster dewasa, yaitu pada periode tahun 1980-1990, pengusaha di Ceper sering dibantu oleh pemerintah pusat, sebagaimana disampaikan oleh Suyitno (mantan Kepala Dinas Perindustrian Kabupaten Klaten) :
teknologi maupun akses pasar khususnya melalui perusahaan besar, pasar dari sektor pemerintah seperti Departemen Perhubungan, Kesehatan maupun Departemen PU serta bantuan suply bahan baku untuk cor melalui PT Krakatau Steel. Kepercayaan Pemerintah terhadap pelaku usaha cor logam di Klaten, tersebut membuahkan hasil berupa peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Masa-masa selama tahapan pertumbuhan tersebut merupakan masa keemasan bagi industri Cor logam di Ceper-Klaten. Selain koperasi Batur Jaya, Pemerintah juga membantu mendatangkan stakeholder eksternal yang lain”.
Kondisi modal sosial klaster yang baik telah mendorong masuknya pihak eksternal maupun internal dalam pengembangan klaster, diantaranya:
a. Pengusaha produk akhir, dimana perannya adalah memproduksi barang barang yang diminta oleh konsumen akhir, baik atas pesanan pemerintah maupun pihak swasta,
b. Pengrajin kecil, mempunyai peranan untuk mensuplay kebutuhan dari Pengrajin besar disamping juga untuk mensuplay kebutuhan di pasar,
c. Pedagang barang jadi, berperan untuk mengambil barang barang dari para pengrajin kecil untuk dipasarkan secara langsung kepada para konsumen, khususnya melalui pasar tradisional,
f. Koperasi Batur Jaya yang mempunyai fungsi untuk menyediakan peralatan permesinan bubut, bahan baku bagi para pengrajin serta untuk mencarikan pasar untuk order order tertentu,
g. Pemerintah, baik dari Departemen Perindustrian pusat, provinsi maupun kabupaten yang mempunyai peran dalam pembinaan,
h. Perusahaan swasta yang berperan melakukan sub kontrak kepada para pengusaha cor logam Ceper,
i. Pemerintah yang melakukan pembelian/order kepada Koperasi, j. UPT (Unit Pelaksana Tehnik) milik Departemen Perindustrian yang
akhirnya melebur ke dalam Politeknik Manufaktur (Polman), yang mempunyai peran dalam peningkatan kualitas produk cor logam.
Peranan Modal Sosial pada Tahap Penurunan dan Transformasi
(1990-sekarang)
Kondisi modal sosial pada masa penurunan dan transformasi, dimulai tahun 1990 sampai sekarang. Dilihat dari aspek kepercayaan dan kebersamaan kelompok, menurunnya modal sosial dari anggota pada akhirnya membuat kelompok terpecah belah (transformasi). Menjadi kelompok-kelompok lain yang lebih kecil, misal kelompok otomotif dan kelompok pompa air. Sebagaimana disampaikan oleh Suyitno :
Teknologi yang meningkat berdampak pada penurunan modal sosial, seperti yang disampaikan Bilal :
“Teknologi berupa dapur induksi yang modern tidak lagi membutuhkan tenaga kerja atau Institusi lain karena semua proses dapat dikerjasakan sendiri oleh satu perusahaan. Baik laboratorium, kualitas maupun jenis dapat dikerjakan sendiri dengan menggunakan teknologi tersebut. Hal tersebut berdampak pada ketergantungan pihak lain relatif rendah yang berakibat modal sosial mengalami penurunan”
Peran pemerintah pusat yang tidak lagi memfasilitasi pengembangan Ceper sebagai dampak desentralisasi berakibat pada menurunnya modal sosial masyarakat kepada pemerintah. Sebagaimana yang disampaikan Suyitno:
”Kepercayaan yang tinggi kepada Pemerintah pada saat kejayaan Ceper berubah menjadi ketidakpercayaan masyarakat terhadap Pemerintah. Modal sosial masyarakat yang tinggi terhadap Pemerintah lebih dipicu karena kepentingannya berupa peningkatan usaha cor logam terpenuhi. Ketika Pemerintah tidak lagi memberikan bantuan maka modal sosial menjadi rendah”.
Teori Bourdieu merupakan bentuk modal sosial pemerintah pusat pada waktu itu kepada masyarakat. Dengan bantuan-bantuan yang diberikan, maka Departemen Perindustrian Pusat menggunakan masyarakat untuk mempertahankan program-program industri dari Pemerintah Pusat agar dapat terus berjalan.
Hal tersebut juga berdampak pada kondisi modal sosial klaster cor logam bahwa kepercayaan mulai runtuh. Persaingan yang tajam mengakibatkan timbulnya kecurigaan diantara pengrajin. Kepercayaan terhadap pemerintah juga mulai berkurang bahkan timbul ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Hal ini terjadi bersamaan dengan keberadaan pemerintah pusat yang mulai meninggalkan Ceper karena alasan otonomi daerah. Dengan alasan otonomi daerah, maka Pemerintah Daerah sebenarnya mempunyai kewenangan otonom, namun dalam perkembangannya pemerintah daerah kurang memperhatikan klaster cor logam.
Pemerintah provinsi dan juga kabupaten Klaten, dengan pertimbangan adanya perubahan struktur organisasi pada awal otonomi dengan konsep miskin struktur dan kaya fungsi, mengakibatkan keterbatasan kemampuan organisasi dan sumber daya manusia di bidang industri serta minimnya dana yang ada untuk pembinaan. Kondisi ini menyebabkan prioritas pada pengembangan klaster logam menjadi terabaikan, walaupun klaster tersebut sangat strategis dalam pembangunan bidang industri.
klaster menurun seiring dengan menurunnya program Pemerintah yang tidak lagi memfokuskan Ceper sebagai pusat industri logam Nasional.
Pihak-pihak yang berperan dalam periode Pengembangan Klaster mengalami penurunan, terutama dari pihak eksternal diantaranya:
a. Pengusaha produk akhir, dimana perannya adalah memproduksi barang barang yang diminta oleh konsumen akhir, baik atas pesanan pemerintah maupun pihak swasta,
b. Pengrajin kecil, mempunyai peranan untuk mensuplai kebutuhan dari pengrajin besar disamping juga untuk mensuplai kebutuhan di pasar,
c. Pedagang barang jadi, berperan untuk mengambil barang barang dari para pengrajin kecil untuk dipasarkan secara langsung kepada para konsumen,
d. Pedagang bahan baku, khususnya dari bahan bekas (rongsokan) baik dari dalam maupun dari luar Ceper, yang mempunyai peran untuk memenuhi kebutuhan bahan baku para pengrajin di Ceper,
e. Koperasi Batur Jaya yang mempunyai fungsi untuk menyediakan peralatan permesinan bubut,bahan baku bagi para pengrajin serta untuk mencarikan pasar untuk order-order tertentu,
f. Pemerintah, baik dari Departemen Perindustrian pusat, provinsi maupun kabupaten yang mempunyai peran dalam pembinaan,
Kebangkitan Modal Sosial
Seiring dengan perkembangan jaman, dimana terjadi perubahan permintaan pasar, antara lain: 1) pasar cenderung menginginkan produk dengan kualitas bagus, 2) adanya transparansi dalam penentuan harga produk, 3) adanya permintaan pengiriman barang yang tepat waktu, menyebabkan modal sosial yang tadinya menurun dapat meningkat kembali. Permintaan pasar tersebut, telah mengeliminer persaingan yang tidak sehat. Sebagaimana pernyataan Didik (dosen POLMAN/direktur perusahaan):
”Dengan adanya permintaan pasar akan kualitas produk, transparansi harga dan pengiriman barang yang tepat waktu
menyebabkan pengusaha yang tidak mampu memproduksi barang sesuai dengan permintaan pasar tersebut akan menyerahkan kepada pengusaha lain yang dirasa mampu. Dari hasil berbagi informasi dengan pengusaha lain tersebut, biasanya akan mendapatkan fee dari bagian hasil tersebut. ”
Kebangkitan modal sosial juga disebabkan oleh adanya bantuan Pemerintah ke klaster yang berdampak pada tumbuhnya kembali kepercayaan pelaku usaha kepada pemerintah. Sebagaimana disampaikan oleh Husain :
baik dalam bentuk tambahan modal maupun tanur induksi akan meningkatkan modal sosial masyarakat, berupa kepercayaan terhadap Pemerintah dan modal sosial kebersamaan”.
”Apalagi pada tahun 2010 Koperasi telah memenangkan tender block rem kereta api, sehingga modal sosial di masyarakat kembali meningkat”.
Meskipun modal sosial mengalami penurunan dan bangkit kembali karena berbagai sebab tersebut, tetapi modal sosial dari para anggota koperasi tetap meningkat meskipun koperasi mengalami kekalahan tender. Sebagaimana yang diutarakan Anas Yusuf :
”Dalam keadaan susahpun modal sosial para anggota koperasi, yang juga merupakan pelaku usaha cor logam, masih ada dan semakin meningkat. Terbukti ketika terjadi kekalahan tender block rem kereta api pada tahun 2009, maka anggota dan pengurus bahu membahu bekerjasama agar dapat memenangkan tender pada tahun 2010, yang akhirnya terbukti menang”.
Kesimpulan
menjadi awal terbentuknya klaster cor logam.
Modal sosial yang dominan pada awal pertumbuhan/embrio klaster adalah bonding, tetapi semakin luntur ketika ekonomi semakin berkembang. Pada masa tumbuh dan dewasa, keberadaan klaster diformalkan dalam bentuk Koperasi Batur Jaya. Modal sosial yang kemudian berkembang adalah bridging dalam bentuk kerja sama dengan pihak luar. Pada masa
penurunan dan transformasi, aktiitas usaha semakin berkurang sehingga