• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster : Studi pada Klaster Cor Logam Ceper-Klaten Jawa Tengah D 902005007 BAB V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster : Studi pada Klaster Cor Logam Ceper-Klaten Jawa Tengah D 902005007 BAB V"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

Perkembangan Klaster

Cor Logam

Pengantar

(2)

Perkembangan teknologi klaster meliputi jenis teknologi dan proses teknologi yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Teknologi pengecoran dibagi dalam teknologi sederhana yang dikenal dengan besalen, teknologi dapur tungkik, dapur kupola dan teknologi modern dalam bentuk dapur induksi.

Perkembangan Klaster Tahap Awal Pertumbuhan/Embrio (1918 – 1970)

Tahap awal tumbuh klaster Ceper Logam Klaten dalam uraian ini dibagi menjadi 3 (tiga) bagian yaitu pada jaman Belanda, jaman Jepang dan pada Jaman Kemerdekaan.

Jaman Kolonial Belanda

Klaten merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah, terletak di antara Yogyakarta dan Surakarta dan merupakan salah satu daerah pertanian di wilayah Jawa Tengah. Pada akhir abad 16, Klaten merupakan pusat produksi dan penghasil beras terbesar di Kerajaan Mataram, hasil berasnya dikirim ke daerah Jawa termasuk Batavia (Suwondo, 1997). Selama masa kekuasaan kolonial Belanda, pengelolaan hasil pertanian seperti gula tebu, tembakau dan nilam diproduksi di Klaten dalam jumlah besar. Untuk menangani proses ini dibangun perusahaan swasta yang mengendalikan dan mendorong perdagangan hasil pertanian di daerah itu (Schweizer, 1988).

(3)

penggilingan gula di Kabupaten Klaten. Jumlah tersebut berkisar lebih dari 40% dari total 53 penggilingan gula di Jawa Tengah dan 11% dari penggilingan gula di Jawa pada umumnya (Daldjoeni, 1972).

Klaten yang terletak di antara dua kota urbanisasi Yogyakarta dan Surakarta mempunyai reputasi pula sebagai pusat industri rumah tangga. Industri rumah tangga di Klaten, yaitu batik, tekstil, garmen, genteng, mebel dari kayu dan bambu, logam untuk kebutuhan rumah tangga dan tujuan tertentu, berbagai variasi pengolahan makanan. Usaha-usaha non pertanian tersebut berlokasi di daerah pinggiran kota dan sebagian besar terpusat di pedesaan dengan spesialisasi pada satu aktivitas tertentu (Ruteen, hal 151). Perkembangan perusahaan besar di Kecamatan Ceper ada 3 yaitu perusahaan gula Ceper Baru, perusahaan tekstile milik Pemerintah dan perusahaan swasta penggergajian kayu. Sedang perkembangan didominasi oleh industri kecil logam di Batur (Rutten, 152).

(4)

sama hingga ke desa-desa lain di Kecamatan Ceper yaitu desa Tegalrejo, Kurung, Ngawonggo dan Klepu.

Secara pasti tidak ditemukan bukti, kapan industri cor logam mulai ada di Ceper, namun ada yang memperkirakan dimulai pada akhir abad 17. Masa itu kerajaan Mataram berdiri dan para empu atau pandai besi harus memenuhi kebutuhan senjata (keris) untuk kepentingan kerajaan (Tjokrowinoto, 1987). Dengan awal perkembangan seperti itu, maka Dukuh Batur selanjutnya dikenal sebagai lokasi pandai besi di Klaten. Pada saat sektor pertanian berkembang maka permintaan alat-alat pertanian juga semakin berkembang sehingga permintaan terhadap produk pandai besi di Klaten juga meningkat. Pada akhirnya permintaan alat-alat perang kerajaan Mataram juga semakin meningkat (Kutanegara, 1994).

Perang Dunia I merupakan momentum penting bagi klaster cor logam. Pada waktu itu pabrik-pabrik gula mengalami kesulitan suku cadang dari Eropa, maka mereka mengalihkan perhatiannya ke industri tradisional ini. Tahun 1918, salah seorang pengusaha bernama Haji Royani menjawab tantangan tersebut dengan memproduksi kapak dari lori-lori dan suku cadang pabrik gula. Jalan yang dirintisnya itu merangsang sesamanya untuk menganekaragamkan dan memodernisasikan produk-produk mereka (Tjokrowinoto,1987). Keadaan ini dianggap sebagai tonggak perubahan orientasi masyarakat yang semula hanya memproduksi alat-alat pertanian kemudian beralih ke sektor industri besar.

(5)

pembuatan yang lebih cepat. Selanjutnya mereka terus mengembangkan usahanya dengan membuat alat-alat pertanian, seperti as roda, gigi roda persnelling serta katrol. Dengan semakin berkembangnya usaha para pengrajin di Batur, mereka juga mulai mengembangkan produknya dengan memasuki pasar untuk melayani pembuatan suku cadang pabrik tekstil seluruh Jawa (Broadbaart, 1994).

Berkembangnya usaha di Batur tentunya berperan dalam pertumbuhan ekonomi di Jawa khususnya Jawa Tengah, terutama dalam pembuatan suku cadang untuk pabrik gula di Kabupaten Klaten dan sekitarnya. Ketika terjadi krisis ekonomi di awal tahun 1930, tidak memberikan pengaruh yang besar pada industri di Batur, karena masyarakat mempunyai keuletan dalam menjalankan usahanya. Dampak ditutupnya beberapa pabrik gula di Indonesia membuat mereka mengganti produk yang semula harus diimpor sehingga mahal dengan menggunakan komponen produk lokal yang murah. Akibatnya pengrajin di Batur memperoleh banyak pesanan dan menghasilkan banyak keuntungan (Baharuddin, 2010).

(6)

Jaman Pendudukan Jepang

Pada jaman pendudukan Jepang di Indonesia, kebutuhan persenjataan memaksa para pengrajin besi di Batur memproduksi senjata. Tingginya kebutuhan persenjataan di masa pendudukan tersebut mendorong para pandai besi di Batur untuk memproduksi beberapa jenis peluru dan granat. Demikian pula pada jaman perang kemerdekaan melawan Belanda, para pejuang juga mendapatkan persenjataan dari pengrajin Ceper (Koperasi Batur Jaya, 2000).

Jaman Kemerdekaan

Pada awal masa kemerdekaan permintaan terhadap produk kerajinan besi mengalami penurunan yang drastis, tetapi mulai tahun 1953 ada pesanan alat-alat pertanian ke daerah Batur. Agar hasil produksi sesuai dengan pesanan, maka Dinas Perindustrian memberikan bimbingan modernisasi peralatan berupa blower dengan baling-baling yang digerakkan dengan menggunakan mesin diesel (Koperasi Batur Jaya, 2004). Pada tahun 1954 Pemerintah juga membangun Perusahaan Daerah (PERUSDA) untuk menyediakan bahan baku, pengecoran dan pembubutan. Selain berdirinya PERUSDA pengecoran tersebut, pemerintah juga mendirikan perusahaan

Initex yang merupakan perusahaan tekstil.

(7)

cukup pesat. Pada tahap selanjutnya, industri cor logam juga banyak memproduksi alat-alat kebutuhan rumah tangga seperti wajan ataupun komponen mesin jahit. Tetapi waktu itu pesanan yang datang belum begitu banyak, meskipun sudah cukup untuk menghidupkan beberapa perusahaan industri cor logam.

Kurang pesatnya industri cor logam ini membangkitkan pengusaha untuk mencari cara yang tepat untuk dapat memajukan industri cor logam. Akhirnya pengusaha tersebut mempelajari cara membuat pompa air. Pada waktu itu, pompa air yang sering digunakan merupakan pompa air impor. Setelah berhasil mempelajari cara membuat pompa air tersebut, akhirnya ia memproduksi pompa air sejenis dengan harga jual yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga pompa air impor. Pompa air tersebut diberi merk yang berbeda dengan aslinya supaya tidak ada tuduhan melanggar hak paten. Ternyata produk pompa air tersebut laku keras dan banyak sekali pesanan datang sehingga mampu menghidupkan banyak perusahaan cor logam. Produk cor logam ini selanjutnya menjadi produk primadona bagi beberapa perusahaan cor logam (Yuarsi, 1999).

Perkembangan Klaster Tahap Tumbuh dan Dewasa (1970 sampai 1990)

Pada masa pemerintahan Orde Baru, kebjakan pemerintah menekankan pada kebjakan substitusi impor. Kebjakan ini pada era

(8)

Pada masa itu order yang diterima, baik dari pemerintah, swasta maupun perseorangan, sangat banyak dan dalam jumlah besar, sehingga para pengusaha terpaksa menyalurkan atau membagi order-order tersebut ke perusahaan lainnya, baik yang lebih kecil maupun setaraf dengan perusahaannya. Bahkan banyak mantan buruh pekerja tenaga terampil mulai mendirikan perusahaan baru untuk membantu perusahaan induk mengerjakan pesanan akibat berlimpahnya order.

Lahirlah subkontrak baru yang berasal dari mantan buruh pekerja. Bilal, yang dulunya merupakan pengusaha sukses, menceritakan bahwa ia terpaksa menghubungi dan menyuruh saudara-saudaranya serta keponakannya mendirikan perusahaan cor logam karena order yang datang tidak sanggup diselesaikannya sendiri. Besarnya permintaan memungkinkan para pengusaha mengembangkan industri cor logam mereka dalam berbagai tingkat, baik dalam tingkat modal yang digunakan maupun tingkat produk yang dihasilkannya. Bilal juga mengatakan bahwa beberapa perusahaan telah melakukan kerjasama dengan perusahaan besar atau menjadi subkontrak. Tingkat teknologi perusahaan yang mengadakan subkontrak pada umumnya sudah lebih maju, bahkan beberapa diantaranya memiliki mesin impor dan telah berbadan hukum, seperti Perseroan Terbatas (PT).

Perusahaan yang memiliki modal besar menggunakan sebagian modalnya untuk mengembangkan usaha baru dengan menggunakan teknologi yang lebih modern dan menghasilkan produk yang lebih maju. Perusahaan semacam ini biasanya telah mengembangkan kerjasamanya dengan perusahaan multinasional. Hasil produksinya sebagian telah diekspor ke luar negeri. Sementara itu, perusahaan lain yang bersifat

(9)

menghasilkan barang kebutuhan konsumen yang dipesan secara langsung, seperti pompa tangan, asesori pagar dan pintu gerbang atau memproduksi barang yang menjadi kebutuhan masyarakat seperti wajan dan setrika (Yuarsi, 1999).

Damanik (1993) mencatat bahwa walaupun perusahaan-perusahaan cor logam cukup bervariasi, baik dari sudut permodalan dan teknologinya, ciri kepemilikan dan manajemen usaha antara perusahaan kecil dan besar tidak berbeda jauh. Ciri manajemen keluarga sangat menonjol karena setiap perusahaan biasanya dikendalikan sepenuhnya oleh salah seorang anggota keluarga. Ciri yang lain adalah adanya estafet bisnis antar keluarga, dimana pemilik cenderung mewariskan perusahaannya kepada salah seorang anaknya. Selain itu, juga memberikan modal kepada anak yang lain untuk mendirikan industri cor logam (sejenis). Dampak dari manajemen keluarga tersebut, jumlah industri cor logam semakin tahun semakin banyak. Selain itu, mudahnya buruh cor logam untuk beralih menjadi pengusaha cor logam juga memperbanyak jumlah industri cor logam. Pengusaha baru yang berasal dari buruh ini pada umumnya juga menerapkan konsep manajemen keluarga.

Perkembangan Klaster Tahap Penurunan dan Transformasi (1990 sampai sekarang)

(10)

1.900,00 per kilo menjadi Rp.6.000,00 per kilo. Lonjakan harga bahan bakar tersebut menyebabkan sebagian pengusaha pengecoran mengalami kerugian dan terpaksa menghentikan usahanya. Sebagian lagi berusaha tetap bertahan dengan mencari solusi melalui berbagai penelitian. Beberapa pengusaha kemudian berinisiatif dengan mengganti alat peleburan dengan teknologi yang lebih tinggi yaitu tanur induksi yang menggunakan tenaga listrik. Namun akhirnya juga terkendala dengan harga listrik PLN yang semakin naik, padahal tanur induksi tersebut membutuhkan daya listrik dalam jumlah yang sangat besar (Suara Merdeka, 5 juni 2010).

Tidak adanya kesesuaian antara harga jual dengan biaya produksi tersebut mengakibatkan beberapa perusahaan mengalami collapse. Selain harga bahan bakar, harga bahan baku cor logam yang berupa cash iron yang masih diimpor juga membumbung tinggi dari Rp. 3.500,00 per kg sebelum krisis, meningkat mencapai Rp. 5.500,00 per kg di tahun 2008. Briket batu bara mencapai Rp. 9.500,00 dari harga sebelum krisis Rp. 2.750,00-Rp. 3.000,00 per kg (Kompas, 14 Maret 2008). Naiknya harga bahan bakar dan bahan baku tersebut otomatis mengakibatkan harga jual produk juga menjadi berlipat ganda. Hal ini menjadikan konsumen memilih menunda pemesanan, apalagi produk cor logam bukanlah termasuk barang-barang kebutuhan utama.

(11)

Jadi, sebagian besar masih harus ditangani sendiri oleh industri penerima

order sehingga menjadi tidak eisien.

Karena kemampuannya yang terbatas, banyak pengusaha lebih senang mengambil order yang setengah jadi. Artinya, hasilnya masih kasar. Saat dikirimkan ke pabrik pemberi order, sebelum digunakan, masih harus disempurnakan. Jadi, butuh proses tambahan untuk bisa menjadi komponen yang siap pakai sehingga makin menambah biaya. Apabila pengusaha di Ceper mampu membuat produk yang presisi, pengiriman barangnya tepat waktu, siap pakai, dan mampu memproduksi dalam jumlah yang besar, pasti mereka akan kebanjiran order. Jadi, industri logam di Ceper sebenarnya mempunyai peluang yang baik, asalkan bisa menghasilkan produk yang presisi, tepat waktu dan dalam jumlah banyak. Oleh sebab itu, mereka harus menggandeng akademi untuk mengasistensi agar produknya layak pasar. Jika ini dilakukan, produk yang mereka hasilkan bukan hanya akan masuk ke pasar lokal saja tetapi juga masuk ke pasar global (Kompas, 28 Juni 2004).

Semakin menurunnya jumlah pesanan mengakibatkan sebagaian perusahaan gulung tikar. Agar usaha mereka tidak bangkrut total, pengusaha setidak-tidaknya harus mencari berbagai cara untuk bertahan. Setiap perusahaan pengecoran logam mempunyai pasar sendiri-sendiri. Ada perusahaan yang sebagian ordernya datang secara individu, ada yang dari pemerintah dan ada juga yang merupakan pesanan dari perusahaan swasta atau perusahaan yang bekerja sama dengan luar negeri. Perusahaan yang masih bisa bertahan umumnya adalah perusahaan yang terkait dengan perusahaan swasta atau yang melayani permintaan pesanan dari luar negeri.

(12)

untuk sementara harus gulung tikar karena program-program dari pemerintah, seperti pembangunan perumahan dan lain sebagainya, banyak yang ditunda bahkan berhenti. Krisis ekonomi yang berlarut-larut memaksa pemerintah untuk melakukan pengetatan anggaran untuk berbagai bidang, termasuk pembangunan perumahan. Sebelum krisis berlangsung, pembangunan perumahan begitu marak dan para kontraktor pun banyak memesan pompa air pada perusahaan cor logam di Ceper. Pesanan dalam skala besar yang datang dari pemerintah, seperti pemesanan pompa air yang biasanya digunakan di perumahan-perumahan, terhenti seiring dengan macetnya pembangunan perumahan. Padahal produksi pembuatan pompa air pernah menjadi produk andalan dan tumpuan bagi banyak perusahaan cor logam sekitar tahun 1990-an. Kini satu-satunya perusahaan pemerintah yang masih memberikan order adalah Perumka, yang memberikan order berupa blok rem kereta api kepada Koperasi Batur Jaya. Pesanan itulah yang sampai sekarang masih mampu menghidupkan beberapa perusahaan pengecoran logam (Yuarsi, 1999).

Sejak terjadinya reformasi pada sistim pemerintahan, yaitu dengan adanya otonomi daerah, lahirnya UU monopoli maupun globalisasi, Industri Cor Logam Klaten mempunyai permasalahan yang cukup serius, diantaranya adalah: a) dengan adanya otonomi daerah, pembinaan industri baik dari pusat, provinsi maupun kabupaten semakin mengendor, b) dengan adanya Kepres 80 tahun 2003, tentang pengadaan barang dan jasa, yang menentukan syarat keikutsertaan tender sangat mudah mengakibatkan keberadaan koperasi dalam keikutsertaan tender dikalahkan oleh ”Perusahaan Swasta” yang sebenarnya bukan perusahaan produsen barang Cor Logam, c) keberpihakan pemerintah terhadap industri kecil, baik

(13)

barang cor logam semakin tidak terlihat, d) dengan adanya persaingan yang cukup tajam, walaupun secara kapasitas produk cor logam Ceper di Klaten mengalami peningkatan, namun jumlah industri kecil yang ada semakin berkurang, e) koperasi yang dahulunya mendapatkan banyak pesanan dari pemerintah, saat sekarang hanya mendapatkan pesanan dari PT. KAI untuk produk blok rem kereta api. Itupun dalam tahun 2010 koperasi telah kalah dalam tender di PT. KAI. Sedang para anggota Koperasi dalam rangka menghadapi persaingan yang semakin tajam telah berpindah untuk menghasilkan peralatan otomotif dan pompa air.

Untuk mempertahankan usaha, beberapa perusahaan melakukan penghematan biaya produksi yang dilakukan dengan cara (Yuarsi, 1999): a) mendaur ulang bahan baku, misalnya mendaur ulang penggunaan pasir batu bara serta melakukan pengawasan ketat terhadap jalannya proses produksi agar sesuai dengan program yang sudah digariskan. Pengawasan ketat dilakukan untuk menghindari kegagalan produksi. Kadang kala jika pengawasan terhadap proses produksi kurang ketat, hasil produksinya banyak yang tidak sempurna sehingga tidak dapat dipasarkan. Konsekuensinya ialah harus dilebur kembali dan tentunya akan menambah biaya produksi lagi, b) mengurangi berat bahan baku namun berusaha kualitas barangnya tidak terlalu jauh berbeda. Terkadang bahan baku yang berasal dari Cina diganti dengan bahan lokal berupa besi rongsokan yang harganya lebih murah. Cara-cara ini ditempuh pengusaha dengan harapan agar harga jual tidak terlalu tinggi sehingga masyarakat masih mampu membelinya. Walaupun para pengusaha sudah berusaha sedemikian rupa untuk menekan biaya produksi, bila dibandingkan dengan

harga sebelum krisis, harga jual tetap jauh lebih tinggi, c) efisiensi kerja,

(14)

oleh beberapa perusahaan cor logam demi kelangsungan hidup perusahaan serta kesejahteraan para pekerjanya. Sebelum krisis berlangsung, perusahaan-perusahaan tersebut menerapkan cara pengupahan sistem harian, baik bagi pekerja bagian cetak, pengecoran maupun inishing. Sejak krisis berlangsung, perusahaan-perusahaan tersebut mengubah sistem pengupahan, terutama bagi pekerjaan bidang pengecoran dari sistem harian

menjadi sistem borongan yang dirasakan lebih eisien dan menghemat

biaya. Beberapa perusahaan khususnya perusahaan kecil juga menitipkan pengerjaan order pengecoran yang mereka dapat ke perusahaan lain yang melakukan pengecoran.

Pada saat mengalami masa-masa klaster tumbuh dan dewasa, saat terbentur dengan harga bahan bakar yang tinggi maka klaster mengupayakan pembaharuan teknologi. Dampak dari pembaharuan teknologi tersebut maka bagi pengusaha yang tidak mampu akan membuat jaringan usaha sendiri. Demikian pula dengan yang maju, mereka juga mulai membuat jaringan tersendiri. Maka terjadilah kelompok-kelompok kecil, atau dalam pertumbuhan klaster disebut dengan transformasi (terpecah). Kondisi transformasi menyebabkan klaster mengalami penurunan atau melahirkan klaster-klaster baru. Menurut Yuli, salah seorang informan, beberapa klaster baru seperti klaster otomotif sebenarnya sudah mulai terbentuk seiring dengan sulitnya bahan bakar kokas. Tetapi akibat peningkatan harga bahan bakar tersebut, jumlah pesanan cor logam juga mengalami penurunan sehingga juga berdampak pada penutupan usaha. Usaha cor logam tersebut mengalami pengurangan dan yang masih tetap jalan sekitar 35% dari seluruh usaha.

(15)

beralih ke produksi pembuatan mebel. Hal tersebut disebabkan adanya perusahaan eksportir mebel yang berada tidak jauh dari Kecamatan Batur. Menurut Bilal, perusahaan tersebut menawarkan order ke beberapa pengusaha cor logam dan order itu diterima karena hasilnya lumayan untuk menutup biaya perusahaan yang mesti dikeluarkan setiap bulan. Walaupun dibandingkan dengan masa kejayaan cor logam, pesanan dari industri mebel ini belum sebanding tetapi setidaknya mengurangi adanya pengangguran.

Suyitno, salah seorang informan, mengatakan bahwa saat ini banyak pengusaha telah mempersiapkan regenerasi perusahaannya kepada anaknya. Bentuk usahanya biasanya PT dengan kepemilikan saham dari anak-anaknya. Dahulu, pengusaha menjalankan usahanya sampai usia tua sekali, namun sekarang para pengusaha yang sudah mulai tua mulai “lengser” dan menyerahkan estafet kepemimpinan pada anaknya. Mereka

mulai berikir untuk pensiun dan menikmati masa tua dengan tidak

bekerja lagi.

(16)

Teknologi dan Proses Produksi Industri Cor Logam

Teknologi merupakan hasil dari proses historis, mencakup suatu tingkat tertentu yang melibatkan penggantian atau perubahan seperangkat ciri dari tahap pembangunan teknologi lain (Tjokrowinoto, 1987). Industri cor logam di Ceper tidak hanya dapat diukur dari segi aset dan manajemen perusahaan, melainkan juga dari segi teknologi. Dari usaha pandai besi dengan peralatan tradisional menjadi usaha pengecoran logam meski dengan alat sederhana. Dari pemakaian alat cor sederhana, meningkat menjadi pemakaian alat modern. Akhirnya sejak tahun 1972 terdapat 400 unit usaha yang telah mampu menggunakan tahap akhir/

inishing process (Purbasari, 1997).

Dalam proses pengecoran logam, tahapan peleburan untuk mendapatkan logam cair, akan dilakukan dengan menggunakan suatu tungku atau dapur peleburan. Yaitu sebuah peralatan yang digunakan untuk mencairkan logam pada proses pengecoran (casting) atau untuk memanaskan bahan dalam proses perlakuan panas (heat treatment). Idealnya tungku harus memanaskan bahan sebanyak mungkin sampai mencapai suhu yang seragam dengan bahan bakar dan tenaga kerja

sesedikit mungkin. Kunci dari operasi tungku yang eisien terletak pada

pembakaran bahan bakar yang sempurna dengan udara berlebih yang minimum (Abrianto Akuan, 2009).

(17)

Berikut adalah teknologi pengecoran logam fero dari dapur tradisional bernama besalen, sampai dengan teknologi modern dengan menggunakan dapur induksi yang menggunakan energi listrik.

Pengerjaan cor pertama kali dalam bentuk alat pertanian bernama

kejen (mata bajak) yang konon menurut cerita merupakan peninggalan dari Ki Ageng Serang. Dari memproduksi kejen berkembang lebih baik dan beralih menjadi alat angkut lori. Proses pengecoran yang dilakukan amat sederhana. Tungku peleburan besi tersebut bernama besalen. Besalen berwujud tobong batu bata yang berbentuk pipa. Pada dasarnya diberi

kowen yang berbentuk cangkir dari bahan tanah yang didatangkan khusus dari desa Bayat, Kabupaten Klaten, sebab pada waktu itu tanah dari daerah lain tidak bisa dipergunakan untuk membuat kowen (kowi) tersebut.

Sebagai bahan bakar pengecoran adalah arang kayu kesambi. Setelah dibakar kemudian dihembuskan dari ububan yang klepnya terbuat dari kulit kerbau. Bentuk ububan sama dengan ububan pandai besi biasa tetapi posisinya tidak berdiri melainkan mendatar (ditidurkan). Untuk mencairkan (melebur) besi cor diperlukan waktu + 7 jam secara terus menerus. Kapasitas pengecoran dalam satu hari adalah satu dacin atau 62,5 kg. Pengecoran dengan besalen berlangsung sangat lama. Masa-masa itu adalah masa dimana masyarakat desa masih saling membantu secara gotong-royong, tanpa meminta bayaran sama sekali (Koperasi Batur Jaya, 2004).

(18)

dan tingginya sekitar 2 m, kemudian tungku dan pengaduknya dari besi, serta blower dengan baling-baling digerakkan mesin diesel. Peleburan besi dilakukan dengan dapur tungkik, dengan cara besi dilebur pada suhu sekitar 110°C (derajad Celcius) dengan kapasitas maksimal 800 kg per jam. Setelah besi melebur corong dimiringkan untuk dituangkan ke dalam wadah yang kecil disebut cinthung. Kemudian dengan cinthung tersebut cairan besi dibawa sedikit menjauh dan diletakkan ke dalam cetakan

(tapel) yang biasanya dibuat dari pasir (Badaruddin, 2010).

Dapur Pelebur kapasitas 300kg Blower

(19)

Piranti pendukung (Irus, dst) Kowi khusus grait

Proses pemanasan kompor spiral dan tungku tungkik

Proses pengambilan dan pencetakan hasil lebur

(20)

Tahun 1983 beberapa pengusaha mulai menggunakan dapur kupola

dalam prosess pengecoran. Perbedaaan kupola dengan tungkik, kupola lebih besar, tungku kupola tidak diturunkan tetapi dialirkan. Kupola menggunakan lebih banyak bahan bakar, bahan mentah dan memerlukan tenaga yang besar dari mesin diesel untuk proses perputaran panas. Sedangkan untuk proses produksi dengan menggunakan dapur kupola tidak berbeda dengan dapur tungkik. Memiliki diameter yang sama dengan tungkik tetapi mempunyai tinggi sekitar 5m. Dapat mencapai suhu 1.400°C (derajat celcius) dan dapat menampung 1.500 kg cairan besi per jam atau 2 kali lebih besar dari produksi menggunakan tungkik (Badaruddin, 2010). Dapur kupola dibuat dari baja berbentuk silinder dengan posisi tegak, pada dinding bagian dalam dilapisi dengan bata tahan api. Sebagai bahan bakar yang diperlukan untuk peleburuan menggunakan kokas (batu bara).

(21)

Dapur kupola Kegiatan peleburan

Gambar kokas

(bahan bakar dapur kupola)

Seiring dengan tantangan yang dihadapi dan perkembangan teknologi, industri pengecoran logam yang awalnya menggunakan dapur tungkik atau dapur kupola, selanjutnya meningkat lagi menggunakan dapur induksi. Dapur induksi mulai digunakan pada tahun 1997 (Badaruddin, 2010). Dapur induksi digunakan pada proses peleburan besi, baja cor dan sedikit non fero. Energi peleburan diperoleh dari bahan bakar listrik. Secara umum terdiri dari 2 jenis, yaitu jenis saluran (untuk proses penahanan temperatur) dan jenis krus (untuk proses peleburan).

Dapur

kupola

Kegiatan peleburan

(22)

Ukuran bahan baku sangat ditentukan oleh frekuensi kerja dapur induksi. Kualitas peleburan sangat ditentukan oleh lining dapur induksi.

Kelebihan dari dapur induksi dibandingan dengan dapur yang lain adalah: hasil peleburan bersih, mudah dalam mengatur/ mengendalikan

temperatur, komposisi cairan homogen, eisien dalam penggunaan

energi panas tinggi, serta dapat digunakan untuk melebur berbagai jenis material. Frekuensi kerja yang digunakan: jenis induksi frekuensi jala-jala (50 Hz- 60 Hz) dengan kapasitas lebur di atas 1 ton/jam dan dapur induksi frekuensi menengah (150 Hz- 10.000 Hz) untuk pengecoran dengan kapasitas lebur rendah. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam penggunaan teknologi induksi adalah: investasi biaya tetap (ixed cost) yang cukup besar akan menuntut loading yang tinggi, biaya operasi yang besar menuntut tingkat kegagalan yang rendah, dibutuhkan operator maupun teknisi berpengalaman dalam mengoperasikannya, tingkat bahaya besar mengingat dapur ini menggunakan energi listrik yang sangat besar, serta biaya perawatan yang cukup besar.

Tuntutan modernisasi di berbagai aspek, mutu dan kualitas serta

produktiitas menjadi sangat penting kendati harus dibayar mahal. Hal ini

(23)

Terdapat 2 (dua) jenis dapur induksi yaitu : 1. Dapur Krus

Dapur krus ialah salah satu dari dapur listrik yang menggunakan induksi listrik sebagai sumber panasnya. Dapur ini disebut dapur krus atau dapur tak berinti karena tempat peleburannya berbentuk krus atau bak atau kubangan. Dapur ini dibentuk dari sistem pemanas listrik yang dilindungi oleh bahan tahan api dan dinding baja.

2. Dapur Induksi saluran

Dapur induksi saluran ini konstruksinya terbagi dalam dua bagian yakni bagian pemanasan dan bagian krus atau dapur berinti. Induksi listriknya diperolah dari dua bagian yakni bagian krus dan bagian saluran. Dapur induksi saluran ini konsumsi listriknya relatif kecil sehingga pemanasannya dilakukan pada kurang lebih 20 % sampai 30 % dari bahan yang akan dilebur kemudian ditambah setelah peleburan. Disamping itu, dapur jenis ini juga memerlukan bata tahan api yang bermutu tinggi dari berbagai jenis yang disesuaikan dengan kebutuhan.

(24)

pengarbonan dimasukkan dapur. Dan setelah itu ditambah besi kasar baru, sekrap besi dan potongan-potongan baja dimasukan dan kemudian paduan besi.

Tabel 5.1

Jumlah Dapur Induksi Terpasang di Ceper

No Perusahaan Kapasitas

1 PT. Aneka Adhilogam

Karya 1x1000 1993 1 685 685 2 PT. Itokoh Ceperindo 2x250 1997 1 250 250 3

CV. Sinar Super Baja 1x250 1997 1 200 200 1x500 1997 1 345 345 7 CV. Baja Tunggal 1x500 2003 3 345 1,035 8 PT. Kembar Jaya 1x500 2004 1 345 345

9

PT. Suyuti Sido Maju

1x1000 2004 1 500 500 1x500 2006 1 345 345 10 PT. Mitra Rekatama

Mandiri 2x500 2004 2 345 690 11 PT. Aneka Gajah

Tunggal 2x 1000 2005 2 600 1,200 12 PT. Sinar Semesta 1x500 2004 1 345 345 13 PT. Atmaja Jaya 2x500 2005 2 345 690 14 CV. Bahama Lasakka 1x500 2005 1 345 345 15 CV. Sari Geni 1x500 2005 1 555 555 16 CV. Roda Mas 1x500 2006 1 345 345 17 CV. Mitra Karya

Utama 1x500 2006 1 345 345

Kapasitas Induksi Terpasang 14.000 Jumlah

Tanur 26 Total Daya 9,660

(25)

Gambar 5.1 Dapur Induksi

Tabel 5.2

Penggunaan Dapur Pengecoran

No Nama Dapur Tahun Kapasitas Suhu Jangka

waktu

1 Tungkik 1960 800 kg 1100oC 1 jam

2 Kupola 1970 1500 kg 1400 oC 1 jam

3 Induksi 1997 500 kg 1500 oC 2 jam

Sumber: Laporan Koperasi Batur Jaya tahun 2006 (Badaruddin)

Tahapan Proses Pengecoran Logam

Proses pengecoran logam dengan menggunakan dapur tungkik dan kupola secara umum terdapat sekitar 15 tahap, yaitu (Purbasari, 1997): 1. Menyiapkan alat cetak,

2. Memasukkan arang ke dalam tungku,

3. Memasukkan bahan bakar ke dalam mesih diesel, 4. Membakar dan meniup arang dalam tungku, 5. Memasukkan batu arang kedalam tungku,

(26)

7. Menuangkan besi cair ke dalam ember baja, 8. Membawa ember ke bagian cetakan,

9. Mencetak besi cair, 10. Mendinginkan besi cair,

11. Memecahkan cetakan dan mengeluarkan hasilnya, 12. Membawa produk ke ruang penyelesaian,

13. Menyelesaikan produk (inishing process), 14. Melakukan pengecatan,

15. Menyimpan di gudang.

Sedang pengecoran dengan cetakan pasir salah satu teknik pembuatan produk, dilakukan dengan cara logam dicairkan dalam tungku peleburan. Kemudian dituangkan ke dalam rongga cetakan yang serupa dengan bentuk asli dari produk cor yang akan dibuat. Ada 4 faktor yang berpengaruh terhadap proses pengecoran, yaitu: a) adanya aliran logam cair ke dalam rongga cetak, b) terjadi perpindahan panas selama pembekuan dan pendinginan dari logam dalam cetakan, c) pengaruh material cetakan dan d) pembekuan logam dari kondisi cair.

Klasiikasi pengecoran berdasarkan umur cetakan terdiri dari pengecoran dengan sekali pakai (expendable mold) dan pengecoran dengan cetakan permanen (permanent mold). Cetakan pasir yang banyak ditemui di klaster cor logam Ceper termasuk expendable mold karena hanya bisa digunakan satu kali pengecoran saja, setelah itu cetakan dirusak saat pengambilan benda coran. Dalam pembuatan cetakan jenis-jenis pasir

yang digunakan adalah pasir silika, pasir zircon atau pasir hjau. Sedangkan

(27)

air gela. Pengecoran dengan cetakan pasir melibatkan kegiatan-kegiatan seperti menempatkan pola dalam kumpulan pasir untuk membentuk rongga cetak, membuat sistem saluran, mengisi rongga cetak dengan logam cair, membiarkan logam cair membeku, membongkar cetakan yang berisi produk cor dan membersihkan produk cor.

Material dan proses pengecoran dengan cetakan pasir, dapat diterangkan sebagaimana tersebut dibawah ini:

1. Pasir

Kebanyakan pasir yang digunakan dalam pengecoran adalah pasir silika (SiO2). Pasir merupakan produk dari hancurnya batu-batuan dalam jangka waktu lama. Alasan pemakaian pasir sebagai bahan cetakan adalah karena murah dan ketahanannya terhadap temperatur tinggi. Ada dua jenis pasir yang umum digunakan yaitu naturally bonded (banks sands) dan synthetic (lake sands). Karena komposisinya mudah diatur, pasir sinetik lebih disukai oleh banyak industri pengecoran.

Pemilihan jenis pasir untuk cetakan melibatkan beberapa faktor penting seperti bentuk dan ukuran pasir. Sebagai contoh, pasir halus dan bulat akan menghasilkan permukaan produk yang mulus/ halus. Untuk membuat pasir cetak selain dibutuhkan pasir juga pengikat (bentonit atau clay/ lempung) dan air. Ketiga bahan tersebut diaduk dengan komposisi tertentu dan siap dipakai sebagai bahan pembuat cetakan.

2. Jenis cetakan pasir

(28)

jenis green sand mold (cetakan pasir basah). Kata “basah” dalam cetakan pasir basah berarti pasir cetak itu masih cukup mengandung air atau lembab ketika logam cair dituangkan ke cetakan itu.

3. Pola

Pola merupakan gambaran dari bentuk produk yang akan dibuat. Pola dapat dibuat dari kayu, plastik/polimer atau logam. Pemilihan pola tergantung pada bentuk dan ukuran produk cor, akurasi dimensi, jumlah produk cor dan jenis proses pengecoran yang digunakan. Jenis-jenis pola: pola tunggal (one pice pattern/ solid pattern), dan pola terpisah (split pattern), match-piate pattern.

4. Inti

Untuk produk cor yang memiliki lubang/ rongga seperti pada blok mesin kendaraan atau katup-katup biasanya diperlukan inti. Inti ditempatkan dalam rongga cetak sebelum penuangan untuk membentuk permukaan bagian dalam produk dan akan dibongkar setelah cetakan membeku dan dingin. Seperti cetakan, inti harus kuat, permeabilitas baik, tahan panas dan tidak mudah hancur (tidak rapuh). Agar tidak mudah bergeser pada saat penuangan logam cair, diperlukan dudukan inti (core prints). Untuk membuat cetakan diperlukan pola sedangkan untuk membuat inti diperlukan kotak inti.

5. Operasi pengecoran cetakan pasir

(29)

dan baja skrap. Karena bahan baku skrap sulit diperoleh dan harganya terus meningkat, saat ini untuk substitusi bahan baku telah digunakan limbah permesinan (geram/chips) bagi yang memakai dapur induksi/ listrik. Tahapan lebih rinci terlihat pada gambar 5.2.

Gambar 5.2

Diagram Proses Pengecoran dengan Pasir Cetak

Keterangan Gambar:

a) Setelah proses perancangan produk cor yang mengasilkan teknik produk dilanjutkan dengan tahapan berikutnya,

b) Menyiapkan bidang dasar datar atau pelat datar dan meletakan pola, atas (cope) yang sudah ada dudukan inti di permukaan pelat datar tadi, c) Seperti pada langkah b, untuk cetakan bagian bawah (drag) beserta

sistem saluran,

d) Menyiapkan kotak inti (untuk pembuatan inti),

(30)

f) Pola atas yang ada dipermukaan pelat datar ditutupi oleh rangka cetak atas (cope) dan ditambahkan sistem saluran seperti saluran masuk dan saluran tambahan (riser). Selanjutnya diisi dengan pasir cetak,

g) Setelah diisi pasir cetak dan dipadatkan, pola dan system saluran dilepaskan dari cetakan,

h) Giliran drag diisi pasir cetak setelah menempatkan rangka cetak diatas pola dan pelat datar,

i) Setelah diisi pasir cetak dan dipadatkan, pola dilepaskan dari cetakan, j) Inti ditempatkan pada dudukan inti yang ada pada drag,

k) Cope dipasangkan pada drag dan dikunci kemudian dituangkan logam cair,

l) Setelah membeku dan dingin, cetakan dibongkar dan produk cor dibersihkan dari sisa-sisa pasir cetakan.

Kesimpulan

Perkembangan klaster cor logam dapat dibagi dalam 3 tahapan, yaitu tahap awal pertumbuhan/embrio tahap tumbuh dan dewasa serta tahap penurunan dan transformasi. Tahap embrio mengalami tiga masa, yaitu masa penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, dan jaman kemerdekaan. Pada masa awal, industri cor logam tumbuh karena adanya kebutuhan dari industri gula, baik di Klaten maupun seluruh Jawa, dan semakin mahalnya impor peralatan dari luar negeri. Pada saat penjajahan Jepang terpaksa memproduksi persenjataan. Perkembangan sektor pertanian di masa kemerdekaan juga mendorong kemajuan industri cor logam.

(31)
(32)

Gambar

Gambar kokas
Tabel 5.1
Gambar  5.1 Dapur Induksi
Gambar  5.2Diagram Proses Pengecoran dengan Pasir Cetak

Referensi

Dokumen terkait

menopang modal sosial itu sendiri agar lebih bersifat spesiik dan tidak ada tekanan yang diberikan untuk memperkuat kohesiitas kelompok... Parameter

pembentukan modal sosial, analisa tentang jenis modal sosial yang Kondisi Bisnis dan Teknologi kondisi Modal Sosial Pembentukan Modal Sosial Penggunaan Modal Sosial Upaya

Ceper, Kabupaten Klaten, yang meliputi : proil klaster cor logam Ceper, jenis industri.. yang ada di klaster cor logam Ceper, pihak-pihak yang terkait dengan

Modal sosial akan lebih dapat tumbuh pada kondisi perekonomian. yang tumbuh, karena pada perekonomian yang tumbuh

Break Even Point sebelumnya telah dikemukakan bahwa analisa Break Even Point adalah suatu cara atau tehnik untuk mengetahui hubungan antara penjualan, produksi, harga jual, biaya

PERANAN DAN PEMANFAATAN MODAL SOSIA DALAM PENGEMBANGAN KLASTER STUDI PADA KLASTER COR LOGAM CEPER-KLATEN JAWA TENGAH..