• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRADISI RUWATAN BULAN PURNAMA DI CANDI BRAHU TROWULAN MOJOKERTO.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TRADISI RUWATAN BULAN PURNAMA DI CANDI BRAHU TROWULAN MOJOKERTO."

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

TRADISI RUWATAN BULAN PURNAMA DI CANDI BRAHU TROWULAN MOJOKERTO

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syatrat Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Program Strata Satu (S-1) Pada Jurusan Sejarah Dan Kebudayaan Islam (SKI)

Oleh: Agus Lutfiadin NIM : A0.22.12.032.

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini yang berjudul “Tradisi Ruwatan Bulan Purnama Di Candi

Brahu Trowulan Mojokerto”. Adapun permasalahan yang dibahas dalam

penelitian ini meliputi; 1). Bagaimana asal-usul Tradisi Ruwatan Bulan Purnama di Candi Brahu Trowulan Mojokerto, 2). Bagaimana prosesi Tradisi Ruwatan Bulan Purnama di Candi Brahu Trowulan Mojokerto, 3). Bagaimana Respon Masyarakat Muslim dalam Tradisi Ruwatan Bulan Purnama.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis menggunakan metodologi Antropologi dengan pendekatan adaptasi kultural yang menggunakan metode Etnografi; 1). Observasi, melakukan pengamatan secara langsung di tempat pelaksanaan tradisi ruwatan bulan purnama, 2). Interview, melakukan wawancara secara langsung dengan pelaku upacara, pemuka agama, dan sesepuh desa, 3). Dokumentasi, melakukan pencatatan dan pengambilan gambar-gambar, 4). Menganilisis unsur lokal dan unsur islam dalam tradisi ruwatan bulan purnama dan menunjukan nilai-nilai Islam dalam tradisi ruwatan bulan purnama kemudian menginterpretasikannya. Penelitian ini menggunakan teori evolusi kebudayaan oleh David Kaplan dan teori fungsionalisme struktural oleh George Ritzer.

Berdasarkan pendekatan adaptasi kultural yang diteliti penulis terhadap tradisi ruwatan bulan purnama, dapat dipahami bahwa 1). Tradisi ruwatan bulan purnama dilaksanakan secara turun-temurun dan sudah ada semenjak masa kerajaan Majapahit sampai saat ini, yang telah mengalami akulturasi budaya baru yaitu agama Islam. 2). Dalam hal pakaian dahulu sangat bertentangan dengan ajaran Islam, karena harus telanjang bagi perempuan dan laki-laki hanya bercawat. Namun setelah Islam masuk semua di ubah berpakaian lengkap menutupi aurat. Perlengkapan ritual antara lain; kinangan, dupa, kembang tujuh rupa, air dan bejana, kain kuning, dan pakaian serba berwarna hitam. 3). Mayoritas masyarakat mengannut agama Islam, meski terdapat organisasi Islam yang berbeda pendapat akan tetapi tidak ada konflik yang serius diantara masyarakat dalam menyikapi tradisi ruwatan bulan purnama. Adapun tujuan melaksanakan tradisi ruwatan bulan purnama ini adalah untuk penghapusan dan merenungi setiap dosa-dosa yang dilakukan oleh setiap individu dan memohon ampunan dari Tuhan Yang Maha Esa (Allah SWT). Namun yang ditekankan dalam tradisi ini adalah para pelaku upacara hanya memohon ampunan dari Tuhan atas segala perbuatan yang dilakukannya, bukan untuk meminta apapun dari Tuhan selain pengampunan.

(7)

ABSTRACT

This thesis entitled "Tradition Ruwatan Full Moon In Brahu Temple Trowulan Mojokerto". The issues addressed in this study include; 1). How the origins of Tradition Ruwatan Full Moon in Brahu Trowulan, 2). How procession tradition Ruwatan Full Moon in Brahu Trowulan, 3). How Muslim Community Response in the Tradition Ruwatan Full Moon.

To answer these problems, the authors use the methodology Anthropology with cultural adaptation approach that uses Ethnographic methods; 1). Observation, observation in directly at the place of tradition ruwatan full moon, 2). Interview, conducted interviews with actors directly in ceremonies, religious leaders and village elders, 3). Documentation, taking notes and taking pictures, 4). Analyze local elements and elements of Islamic tradition and shows the full moon ruwatan Islamic values in the tradition ruwatan full moon and then interpreting it. This study uses the theory of cultural evolution by David Kaplan and structural functionalism theory by George Ritzer.

Based on the studied approach the cultural adaptation of the tradition ruwatan author a full moon, it is understood that one). Tradition ruwatan full moon held by generations and have existed since the era of the Majapahit kingdom until today, which has undergone acculturation new culture of Islam. 2). In terms of clothing is very contradiction advance with the teachings of Islam, because they have naked women and men just use cawat. But after Islam was all in full dress revealing change. Supplies ritual among others; kinangan, incense, flower seven-way, water and vessels, yellow cloth, and wore black. 3). The majority of people follow Islam religion, although there are Islamic organizations have different opinions but there is no serious conflict between communities in the tradition responding ruwatan full moon. As for the purpose of carrying out this full moon ruwatan tradition is for the removal and contemplate every sin committed by each individual and asking forgiveness from the Almighty God (Allah). However, the emphasis in this tradition are actors only ceremony asking forgiveness from God for all he has done, not to ask anything from God but,forgiveness.

(8)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

TABEL TRANSLITRASI ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

ABSTRAK ... viii

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Rumusan Masalah ... 6

C.Tujuan Penelitian ... 7

D.Kegunaan Penelitian ... 7

E.Pendekatan dan Kerangka Teoritik ... 7

F.Penelitian Terdahulu ... 12

G.Metode Penelitian ... 13

(9)

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA BEJIJONG DAN

KEBERADAAN CANDI BRAHU ... 19

A.Letak Geografis ... 19

B.Demografi ... 22

C.Kondisi Sosial Masyarakat ... 25

D.Keberadaan Candi Brahu... 30

BAB III DESKRIPSI TRADISI RUWATAN BULAN PURNAMA DI CANDI BRAHU TROWULAN MOJOKERTO ... 37

A.Asal-Usul Tradisi Ruwatan Bulan Purnama ... 37

B.Prosesi Tradisi Ruwatan Bulan Purnama ... 40

C.Situs-situs Yang Ada di Trowulan ... 47

BAB IV RESPON MASYARAKAT MUSLIM TERHADAP TRADISI RUWATAN BULAN PURNAMA ... 54

A.Masyarakat Umum di Candi Brahu ... 54

B.Masyarakat Muslim... 56

1. Warga Nahdlotul ‘Ulama ... 56

2. Warga Muhammadiyah ... 58

(10)

BAB V PENUTUP... 62

A.Kesimpulan... 62

B.Saran... 63

DAFTAR PUSTAKA

(11)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan bangsa yang memiliki corak kebudayaan daerah

yang hidup dan berkembang di seluruh pelosok tanah air. Kebudayaan

yang satu berbeda dengan kebudayaan yang lain, karena setiap

kebudayaan memiliki corak tersendiri. Menurut Koentjaraningrat

kebudayaan manusia terdiri atas tujuh unsur universal, yaitu; sistem religi

dan upara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sitem

pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup dan sistem

teknologi serta peralatan.1

Dalam masyarakat Jawa terdapat suatu pola tindakan atau tingkah

laku dan cara berfikir warganya yang dikaitkan dengan adanya

kepercayaan dan keyakianan dengan kekuatan gaib yang ada di alam

semesta.2 Sistem kepercayaan biasanya erat berhubungan dengan sistem

upacara-upacara keagamaan dan menentukan tata cara dari unsur-unsur,

acara, serta keyakinan kepada alat-alat yang dipakai dalam upacara.

Tujuan sistem upacara keagamaan ini adalah sebagai media penghubung

antara manusia dengan Tuhan, dewa-dewa atau makhluk-makhluk yang

mendiami alam gaib. Seluruh sistem upacara keagamaan terdiri dari

1 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), 202.

2 Ridi Sofyan, et all, Merumuskan Kembali Interelasi Islam Jawa, Dalam Islam Dan Budaya Jawa

(12)

2

bermacam-macam upacara, yakni kombinasi dari berbagai macam unsur

upacara seperti berdoa, bersujud, sesaji, berkurban dan sebagainya.3

Manusia adalah makhluk berbudaya yang mampu mengembangkan

ide-ide atau gagasan dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang menghasilkan

“Benda-benda” kebudayaan. Namun sebaliknya manusia sangat

dipengaruhi atau ditentukan dengan kebudayaan yang ada di lingkupnya.

Sebagai makhluk sosial, dalam hidupnya manusia selalu berusaha

menyesuaikan diri dengan manusia lain, demi kelestarian, keamanan dan

ketentraman.4

Kebudayaan dapat menunjukan derajat tingkat peradaban manusia.

Kecuali itu juga bisa menunjukan ciri kepribadian manusia dan

masyarakat pendukungnya. Kebudayaan yang merupakan ciri pribadi

manusia, di dalamnya tekandung norma-norma, tatanan nilai-nilai yang

perlu di miliki dan dihayati oleh setiap manusia atau masyarakat

pendukungnya. Penghayatan terhadap kebudayaan dapat dilakukan dengan

proses sosialisasi.5

Suatu kebudayaan dapat dirumuskan sebagai seperangkat nilai-nilai

dan cara berlaku (kebiasaan) yang dipelajari yang pada umumnya dimiliki

oleh warga dari suatu masyarakat.6 Jadi, kebudayaan menunjukan kepada

beberapa aspek kehidupan. Yang meliputi cara-cara berlaku,

3 Ibnu Rochman. Simbolisme Agama Dan Politik Islam, Dalam Jurnal Filsafat (UGM

Yogyakarta, 2003), 100.

4 Mulyadi Dkk, Upacara Tradisional Sebagai Kegiatan Sosialisasi Daerah Istimewa Yogyakarta

(DEPDIKBUD. Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1982-1983), 1.

5 Koentjoroningrat, Metode-Metode Antropologi Dan Penyelidikan Masayrakat Dan Kebudayaan

Di Indonesia (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1980), 243.

(13)

3

kepercayaan dan sikap-sikap, serta hasil darikegiatan manusia yang khas

untuk suatu masyarakat atau kelompok tertentu.7 Suatu unsur kebudayaan

akan tetap bertahan apabila memiliki fungsi atau peranan dalam kehidupan

masyarakatnya, sebaliknya unsur itu akan punah apabila tidak brfungsi

lagi. Demikian pula upacara tradisional sebagai unsur kebudayaan tidak

mungkin kita pertahankan apabila masyarakat pendukungnya sudah tidak

merasakan manfaatnya lagi.8 Dan dalam suatu tradisi selalu ada

hubungannya dengan upacara tradisional.9

Seperti halnya yang terjadi di desa Bejijong kecamatan Trowulan

Mojokerto yang menarik untuk diteliti. Masyarakat Trowulan secara turun

temurun berpegang teguh pada adat dan budaya Jawa. Hal ini tidak lepas

dari pengaruh adat dan budaya pada masa kejayaan Majapahit yang masih

melekat kuat di masyarakat. Diberbagai wilayah di Trowulan terdapat

tradisi yang sampai saat ini masih dilestarikan yakni upacara tradisional

Ruwatan Bulan Purnama, adalah sebagai sarana untuk merenungi segala perbuatan manusia baik itu tingkah laku maupun perkataan dan meminta

ampunan dari Tuhan Yang Maha Esa.10

Candi Brahu merupakan salah satu situs peninggalan Majapahit yang

bernuansa Buddha. Penggunaan Candi Brahu sebagai tempat pelaksanaan

perayaan ritual merupakan sebuah sarana untuk memanfaatkan kembali

situs Candi Brahu sebagai salah satu peninggalan agama Buddha di masa

7 Mulyadi Dkk..., 4. 8 Ibid, 18.

9 Isyanti, Tradisi Merti Bumi Suatu Refleksi Masyarakat Agraris (Dalam Jurnal Sejarah Dan

Budaya, Jantra Volume II Nomer 3, Juni 2007. ISBN 1907-9605), 131.

(14)

4

lalu. Pelaksanaan perayaan ritual keagamaan di Candi Brahu dapat

memberikan suasana sakral yang berpadu dengan kemegahan candi yang

berasal dari masa silam.11

Namun pada saat ini candi Brahu hanya digunakan sebagai tempat

sembahyang bagi umat Budha. Waktu sembahyang pun tidak menentu

kapan saja, ujar Suryono sebagai juru kunci candi. Meskipun masyarakat

sekitar Brahu sebagian besar memeluk agama islam mereka tetap

menghargai ritual-ritual yang ada di candi Brahu dan senantiasa menjaga,

serta melestarikannya. Hampir semua ahli sejarah sependapat bahwa

konsep dan arsitek candi berasal dari pengaruh Hindu dari India yang

menyebar pengaruhnya hingga ke Nusantara sekitar abad ke 4 hingga abad

ke 15. Pengertian pengaruh Hindu di sini adalah untuk menyebut semua

bentuk pengaruh yang berasal dari India yang masuk ke nusantara pada

periode yang disebutkan di atas. Pengaruh-pengaruh itu diantaranya agama

atau kepercayaan Hindu dan Budha dengan tata cara ritualnya, bahasa dan

tulisan, konsep kasta dalam masyarakat, sistem pemerintahan feudal (pemerintahan yang dikuasai kaum bangsawan) dan arsitektur bangunan.

Dalam hal ini kita ingat akan kenyataan bahwa sebagian besar dari

candi-candi telah dibongkar pondasinya dan hilang peti pripihnya,

sehingga jelas bahwa setelah rakyat berganti agama mereka masih tahu

benar apa yang menjadi inti dan yang paling penting berharga dari suatu

11 Tjokro Soejono, Trowulan Bekas Ibukota Majapahit (Dinukil Tim Pustaka Jawatimuran Dari

(15)

5

candi. Begitu pula sama yang terjadi dengan Candi Brahu, menurut cerita

rakyat bahwa Candi Brahu adalah tempat penyimpana abu jenazah Raja

Brawijaya.12

Aktifitas di Candi Brahu tidak meneninggalkan aktifitas ritual.

Aktifitas ritual setelah pemugaran justru diperlihatkan oleh umat Budha.

Pada Bulan Agustus tahun 2010 diadakan peringatan Hari Besar Asadha.

Setelah itu, pada pada bulan Mei tahun 2011 diadakan peringatan Hari

Raya Waisak secara besar-besaran yang dihadiri kurang lebih oleh 5000

umat Buddha dari berbagai daerah di Indonesia. Dalam perayaan tersebut,

para penganut Buddha melakukan ritual dengan membawa beberapa

perlengkapan upacara, misalnya sesaji, benda-benda ritual, dan alat-alat

ritual untuk melaksanakan ritual oleh segenap umat Buddha yang hadir.

Kalau sekarang ternyata bahwa cerita itu bersumber kepada ketidaktahuan

dan salah pengertian, maka jelas pula mengapa penafsiran candi sebagai

makam tidak mendapat dukungan, apalagi pembuktian, dari bahan-bahan

serta keterangan authentik.

Mereka melakukan upacara-upacara tertentu untuk mengawali,

dalam melakukan kegiatan, dan sesudah melakukan kegiatan keseharian,

kegiatan-kegiatan musiman, atau upacara-upacara ritual keagamaan.

Mereka mempercayai upacara-upacara itu sebagai suatu yang sakral dan

merupakan suatu keharusan atau kewajiban yang apabila tidak mereka

(16)

6

lakukan, maka akan menimbulkan terjadinya hal-hal atau sesuatu yang

tidak mereka harapkan yang akan merugikan mereka sendiri.

Selain itu yang menarik bagi penulis adalah dari dulu hingga saat ini

Candi Brahu masih tetap digunakan oleh masyarakat sekitar candi. Dari

situlah penulis ingin meneliti candi tersebut. Penulis dalam kegunaan

proposal skripsi ingin meneliti : “Tradisi Ruwatan Bulan Purnama di

Candi Brahu Trowulan Mojokerto”.

Tetap berlangsung dan lestarinya kegiatan religi tentunya tak bisa

terlepas dari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Hal tersebutlah yang

melatarbelakangi untuk dilakukan penelitian ini.

B. Rumusan Masalah

Dari gambaran umum latar belakang masalah diatas, agar tidak

terjadi pelebaran pembahasan. Penulis akan lebih menekankan penelitian

tersebut terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam Tradisi Ruwatan

Bulan Purnama di Candi Brahu Trowulan. Maka penelitian disusun

berdasarkan rumusan masalah berikut:

1. Bagaimana asal-usul terciptanya Tradisi Ruwatan Bulan Purnama di

Candi Brahu?

2. Bagaimana prosesi Tradisi Ruwatan Bulan Purnama di Candi Brahu?

3. Bagaimana respon umat muslim terhadap Tradisi Ruwatan Bulan

(17)

7

C. Tujuan Penelitian

Setiap kegiatan yang dilakukan oleh manusia tentu memiliki tujuan

yang ingin dicapai. Begitupun dengan penelitian ini yang mempunyai

beberapa tujuan sebagai berikut:

1. Untuk memahami latar belakang munculnya tradisi Ruwatan Bulan

Purnama di Candi Brahu.

2. Untuk memahami nilai-nilai Islam yang terkandung dalam Tradisi

Ruwatan Bulan Purnama di candi Brahu.

3. Untuk memenuhi persyaratan kelulusan menempuh Strara satu (S1)

jurusan Sejarah Kebudayaan Islam tahun 2016.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun penelitian ini juga memiliki beberapa kegunaan, kegunaan

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Memberikan informasi kepada masyarakat tenteng tradisi Ruwatan

Bulan Purnama. Sebagai acuan atau bahan pertimbangan bagi

penelitian-penelitian berikutnya dalam kajian yang sama.

2. Sebagai sumbangsih bagi pengetahuan, terutama dibidang Sejarah dan

Kebudayaan Islam.

E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik

Kebudayaan adalah hasil cipta, karsa, dan rasa manusia yang

mengandung dan mengungkapkan serta merupakan ekspresi jiwa dan

budaya masyarakatnya, dengan demikian sebuah mengandung nilai-nilai

(18)

8

mengajarkan dan mengarahkan manusia kepada kegiatan-kegiatan yang

baik. Dengan demikian tradisi dapat dikatakan bahwa disamping

melestarikan warisan budaya juga memberi kebanggaan bagi para

pelaku.13

1. Pendekatan Antropologi

Dalam pembahasan ini penulis akan menggunakan pendekatan

antropologi budaya, yaitu proses pengumpulan data dan mencatat

bahan-bahan guna mengetahui keadaan masyarakat (kelompok etnik)

yang bersangkutan dalam keadaan sekarang tanpa melupakan masa

lampau.14 Dengan pendekatan ini penulis mencoba memaparkan situasi

dan kondisi masyarakat. Antropologi juga memberikan konsep-konsep

tentang kehidupan masyarakat yang akan dikembangkan oleh

kebudayaan dan akan memberikan suatu pemahaman untuk mengisi

latar belakang dari pokok permasalahan yang akan dibahas.

2. Pendekatan Etno-Arkeologi

Dalam penelitian ini pendekatan yang dilakukan peneliti adalah

melalui pendekatan kualitatif Etnoarkeologi, yaitu dengan cara

mengumpulkan data melalui naskah wawancara, media elektrik, dan

buku. Sehingga dapat menjadi suatu kesimpulan atau tujuan dari

peneliti kualitatif yaitu dapat menggambarkan realita dibalik fenomena

secara lebih mendalam, rinci, dan akurat.

13Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam: Pokok-pokok Pikiran Tentang Islam dan Umatnya

(Jakarta: Rajawali, 1986), 97.

(19)

9

Menurut Wattimena, Etno-Arkeologi adalah perpaduan atau

gabungan dari ilmu etnografi dan arkeologi yang merupakan salah

satu kajian dalam ilmu arkeologi yang mempelajari dan menggunakan

data etnografi untuk membantu atau menangani pemecahan

masalah-masalah arkeologi. Dengan demikian metode etnografi sangat

dibutuhkan dalam arkeologi, seperti memahami bagaimana suatu

benda memiliki makna dan nilai di mata masyarakat, dan bagaimana

sebuah benda itu berfungsi15.

Menurut Koentjaraningrat, Etnografi secara bahasa berarti tulisan

atau laporan tentang sebuah kebudayaan, yang ditulis oleh peneliti

berdasarkan catatan lapangan. Etnografi merupakan metode penelitian

yang sifatnya holistik-integratif, deskrisi yang dalam, dan analisis

kualitatif dalam rangka mendapatkan pandangan-pandangan

masyarakat yang teliti. Metode ini dapat dilakukan dengan cara

pengumpulan data dalam bentuk wawancara dan observasi

partisipatisi, yang dilakukan dalam jangka waktu yang relative lama16.

Menurut Mundardjito, Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari

budaya manusia melalui jejak peninggalannya (budaya materi).

Budaya materi dipandang sebagai satu bagian yang terorganisir dalam

tubuh budaya, yang mempunyai makna dan nilai karna pernah hidup di tengah masyarakat lampau dan setelah ditinggalkan dia hidup kembali

di tengah masyarakat sekarang. Oleh karena itu, budaya adalah sistem

15Wattimena, Rumah Adat Pesisir Laut Pulau Seram: Tinjauan Awal Etnoarkeologi, Dalam

Jurnal Humaniora Volume 6 (Yogyakarta: FIB UGM, 2014), 266-267.

(20)

10

yang komplek, yang melibatkan hubungan antara manusia, benda, dan

lingkungannya17.

Menurut Koentjaraningrat nilai budaya terdiri dari

konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga

masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap mulia. Sistem nilai

yang ada dalam suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan

dalam bertindak. Oleh karena itu, nilai budaya yang dimiliki seseorang

mempengaruhinya dalam menentukan alternatif, cara-cara, alat-alat,

dan tujuan-tujuan pembuatan yang tersedia.18

3. Kerangka Teori

Teori adalah kreasi intelektual, penjelasan beberapa fakta yang

telah diteliti dan telah diambil prinsip umumnya.19 Dalam

Poerwadaminta teori adalah asas-asas dan hukum-hukum yang

menjadi dasar sesuatu kesenian atau ilmu pengetahuan.20

a. Teori Evolusi-Kebudayaan

Evolusi adalah perubahan sifat-sifat terwariskan suatu populasi

organisme dari suatu generasi ke generasi berikutnya yang

berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama.

Perubahan-perubahan yang terjadi dalam teori evolusi disebabkan oleh tiga

proses utama yang paling berkaitan: variasi, reproduksi, dan

17Mundardjito, Hakikat Local Genius Dan Hakikat Data Arkeologi: Dalam Ayatrohaedi,

Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), (Jakarta: Pustaka Jaya,1986), 39.

18Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi (Jakarta: UI Press, 1987), 85.

19Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, Wacana Pergerakan Islam Di Indonesia

(Bandung: Mizan,1996), 63.

(21)

11

seleksi. Sifat-sifat yang menjadi dasar evolusi ini dibawa oleh gen

suatu organisme atau makhluk hidup yang diwariskan kepada

keturunannya dan menjadi bervariasi dalam suatu populasi.

Sedangkan kata kebudayaan berasal dari bahasansansekerta

buddhayah yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “akal”. Dengan demikian, kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang

bersangkutan dengan akal.21 Menurut Antropologi, pengertian

kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil

karya manusia dalam rangka kehidupan manusia yang dijadikan

milik manusia dengan belajar.22

Adapun evolusi kebudayaan terjadi karena proses adaptasi

masyarakat yang hidup di suatu daerah akan menyesuaikan dirinya

dengan keadaan dan kondisi lingkungannya. Menurut para

ekolog-budaya, yang mempengarui adaptasi adalah unsur teknologi dan

ekonomi, kemudian muncul argumen dari beberapa para

ekolog-budaya, bahwa adaptasi juga dipengaruhi oleh psikologis sosial

masyarakat, politik, kegiatan-kegiatan religi dan upacara-upacara.23

b. Teori Fungsionalisme struktural

Teori yang digunakan penulis sebagai alat bantu adalah teori

fungsionalisme struktural, dimana masyarakat merupakan suatu

sistem sosial yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam

21Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), 181. 22Ibid, 180.

(22)

12

keseimbangan.24 Dengan demikian, penulis mencoba menganilisa

data yang telah dihimpun untuk menjelaskan Tradisi Ruwatan Bulan Purnama Di Candi Brahu dan penulis mencoba memaparkan latar belakang pelaksanaan Tradisi Ruwatan Bulan Purnama yang dihubungkan dengan teori antropologi dan etnoarkeologi, yaitu penulis menganilisa dapatkah nilai-nilai di atas

mendasari perilaku keagamaan penganut tradisi tersebut.

F. Penelitian Terdahulu

Sebagaimana bahan rujukan dari penelusuran yang terkait dengan

tema yang diteliti, peneliti berusaha untuk mencari referensi hasil

penelitian yang dikaji oleh peneliti terdahulu sehingga dapat membantu

peneliti dalam mengkaji tema yang diteliti. Diantara hasik penelitian yang

telah dilakukan oleh beberapa peneliti yaitu:

1. Skripsi yang ditulis oleh Ninda Ayu Sinaningrum yang berjudul Studi Tentang Candi Brahu: Kajian Terhadap Fungsi Candi tahun 2015.

Skripsi ini menjelaskan tentang fungsi bangunan Candi Brahu yang

digunakan sebagai tempat pembakaran dan penyimpaanan jenazah para

raja Brawijaya I-IV.

2. Skripsi yang di tulis oleh Naning Silvina Abadiyah yang berjudul

Pemanfaatan Situs Candi Brahu Sebagai Tempat Ritual Agama Buddha Setelah Tahap Pemugaran Tahun 1995-2011. Skripsi ini menjelaskan tentang fungsi Candi Brahu sebagai tempat ritual

24Goerge Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda (Jakata: Raja Grafindo

(23)

13

pemujaan umat Buddha pada hari-hari besar atau hari penting agama

Buddha.

3. Skripsi yang ditulis oleh Dewi Zulaikah yang berjudul Nilai Islam Dalam Tradisi Baritan Di Desa Wringinpitu Kabupaten Banyuwangi Tahun 2015. Skripsi ini menjelaskan tentang tradisi baritan untuk meminta turunya hujan dan kesuburan tanah.

4. Skripsi yang ditulis oleh Atik Chafidatul Ilmi yang berjudul Upacara Wiwit Di Desa Ngagrok Kecamatan Krian Kabupaten Sidoarjo Tahun 2005. Skripsi ini menjelaskan tentang upacara atau tradisi wiwitan yaitu pemujaan terhadap roh-roh nenek moyang yang bersemayam di

wiwitan (pohon) yang sangat besar, rimbun, dan telah berusia puluhan

tahun dan tumbuhnya di tengah pesawahan.

Dari hasil referensi yang ditemukan oleh penulis diatas, belum ada

penelitian yang mendalam terkait dengan “Tradisi Ruwatan Bulan Purnama Di Candi Brahu Trowulan Mojokerto” ditinjau dari sudut pandang sejarah kebudayaan islam. Oleh karena itu, penulis mencoba

meneliti “Tradisi Ruwatan Bulan Purnama Di Candi Brahu Trowulan Mojokerto” secara mendalam dengan upaya untuk kelanjutan dan pelengkap bagi beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah strategi umum yang dianut dalam

pengumpulan data yang diperlukan, guna untuk menjawab persoalan yang

(24)

14

yaitu penelitian yang dilakukan karena adanya hasrat keinginan manusia

untuk mengetahui, yang berawal dari kekaguman manusia akan alam yang

dihadapi, baik alam semesta ataupun sekitar.25

Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan jenis penelitian

lapangan (field research). Penelitian ini pada hakikatnya untuk menemukan secara spesifik tentang tradisi Ruwatan Bulan Purnama.

Untuk mendapatkan hasil penelitian yang sesuai dengan harapan, maka

penelitian dilakukan dengan metode pengumpulan data dan metode

analisis data.

1. Metode Pengumpulan Data

Adapun metode pengumpulan data yang penulis gunakan dalam

penelitian ini adalah:

a. Metode Observasi (Pengamatan)

Metode ini diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan

dengan sistemati fenomena-fenomena yang sedang di selidiki.26

Metode observasi adalah metode pengumpulan data dengan

menggunakan indra, terutama indra penglihatan dan pendengaran.

Observasi sendiri dapat diartikan pengamatan secara sistematis

terhadap gejala-gejala yang diamati. Metode ini disamping untuk

melengkapi data yang penulis perlukan juga penulis gunakan untuk

menguji kebenaran data yang diperoleh dari interview.

(25)

15

b. Metode Interview

Yaitu wawancara dengan cara mengadakan tanya jawab

secara terarah guna mendapatkan keterangan yang aktual dan

positif dari responden sesuai dengan yang diteliti.27 Interview atau

wawancara adalah suatu bentuk komunikasi verbal, jadi semacam

percakapan yang bertujuan untuk memperoleh informasi. Penulis

melakukan tanya jawab dengan pihak-pihak yang mengetahui dan

juga para pelaku tradisi Ruwatan Bulan Purnama dapat

menjelaskan secara panjang lebar mengenai makna tradisi ini.

c. Metode Dokumentasi

Dalam metode dokumentasi ini penulis mengumpulkan data

yang bersifat primer. Penulis menggunakan data ini, berupa

foto-foto tentang tradisi Ruwatan Bulan Purnama, hasil wawancara atau

cerita lisan dari narasumber, adapun narasumber tersebut adalah

pencipta tradisi Ruwatan Bulan Purnama dan para tokoh-tokoh

masyarakat dan kemudian didukung dengan data-data sumber

tertulis, seperti buku, majalah, monografi serta sumber lain yang

penulis peroleh dari dari lapangan mengenai topik yang sesuai

dengan pembahasan.

(26)

16

2. Metode Analisis Data

a. Deskriptik-analitik

Yaitu menguraikan data-data yang ada atau

menterjemahkan sehingga menjadi jelas dan konkret. Dari

pembahasan yang sifatnya deskripsi ini, penulis memberikan

gambaran mengenai data-data yang termaksuk seputar nilai Islam

dan budaya lokal yang terkandung dalam tradisi Ruwatan Bulan

Purnama.

b. Interpretasi

Metode interpretasi digunakan untuk mengungkap makna

terhadap bermacam-macam fakta. Yaitu memahami dan

menyelami data yang terkumpul lalu menangkap arti dan nuansa

yang dimaksud atau menerjemah makna simbol-simbol yang

terkandung didalamnya. Dengan metode interpretasi ini

dimaksudkan untuk dapat menterjemahkan makna filosofis yang

terdapat dalam tradisi Ruwatan Bulan Purnama sehingga dapat

diketahui maksud dan makna yang terkandung didalamnya.

c. Penulisan

Setelah melewati beberapa tahap diatas, dalam tahap ini

penulis menguraikan data yang diperoleh secara deskriptif dengan

cara menuliskannya dalam kata-kata, kalimat dalam bentuk narasi

(27)

17

berkaitan, sehingga menghasilkan karya ilmiah yang dapat dibaca

dan dapat memberikan manfaat pada para pembacanya.

H. Sistematika Pembahasan

Dalam suatu pembahasan diperlukan suatu rangkaian yang

sistematis dan saling berkaitan antara satu dengan yang lain, sehingga

dapat menyajikan suatu hasil yang maksimal. Untuk itu diperlukan

sistematika pembahasan dari bab perbab. Adapun sistematika pembahasan

tersebut adalah sebagai berikut:

Bab I adalah pendahuluan yang terdiri dari latarbelakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, tinjauan pustaka,

landasan teori, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Isi pokok

dari bab ini merupakan gambaran umum dari keseluruhan penelitian yang

akan dilakukan, sedangkan uraian yang lebih rinci akan dijelaskan pada

bab-bab berikutnya.

Bab II membahas tentang gambaran umum dari kecamatan

Trowulan dan desa Bejijong selaku daerah yang melatarbelakangi tradisi

Ruwatan Bulan Purnama, baik dari segi geografis dan demografis yang

meliputi kondisi sosial buadaya, ekonomi, keagamaan, dan pendidikan.

Pembahasan ini sangat penting karena untuk mengetahui kondisi dan

situasi secara umum daerah dan gambaran tentang pembahasan yang akan

dikaji.

Bab III membahas tentang deskripsi tradisi Ruwatan Bulan

(28)

18

meliputi; pelaku, acara, dan nilai norma. Pembahasan ini dimaksudkan

untuk memberikan gambaran tentang tradisi Ruwatan Bulan Purnam dan

unsur-unsur yang terdapat di dalamnya.

Bab IV membahas tentang yang respon masyarakat muslim dalam

tradisi Ruwatan Bulan Purnama. Bab ini bertujuan untuk menjelaskan

tentang nilai-nilai keislaman serta nilai budaya lokal pada tradisi Ruwatan

Bulan Purnama.

Bab V atau penutup, bab ini meliputi kesimpulan dari pembahasan

secara keseluruhan dan saran-saran. Dalam bab ini akan diambil suatu

kesimpulan hasil pembahasan untuk menjelaskan dan menjawab

permasalahan yang ada, serta memberikan kesimpulan yang bertitik tolak

(29)

19

BAB II

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA BEJIJONG KECAMATAN

TROWULAN MOJOKERTO DAN KEBEBERDAAN CANDI BRAHU

A. Letak Geografis

Kondisi umum daerah penelitian di deskripsikan bertujuan untuk

memberikan gambaran yang jelas mengenai keadaan penelitian dan objek

penelitian yang berhubungan dengan masalah penelitian. Latar belakang

yang di deskripsikan meliputi kondisi fisik dan kondisi sosial daerah

penelitian. Trowulan merupakan wilayah yang banyak dengan nilai-nilai

historis yang meliputinya, hal ini dapat kita lihat dari perjalanan Trowulan

sebagai sebuah pemukiman. Pada masa Majapahit, Trowulan disebut

dengan Wilwatikta atau yang terkenal dengan ibukotanya kerajaan Majapahit.

Trowulan adalah sebuah kecamatan yang ada di kabupaten

Mojokerto, Jaawa Timur, Indonesia. Kecamatan ini terletak di bagian barat

kabupaten Mojokerto yang berbatasan dengan wilayah kabupaten

Jombang. Trowulan sendiri terletak di jalan nasional yang

menghubungkan Surabaya-Solo.28 Dengan luas wilayah 3.704.320 Ha

(30)

[image:30.595.140.508.110.644.2]

20

Gambar 2.1. Peta kecamatan Trowulan.

1. Letak Geografis Desa Bejijong

Desa Bejijong adalah satu desa yang paling barat dan desa yang

paling dekat dengan kantor Kecamatan Trowulan ± 0 Km, desa ini

letaknya berbatasan dengan Kecamatan wilayah Kabupaten Jombang,

dengan batas-batas :

a) Perbatasan sebelah timur : Desa Trowulan

b) Perbatasan sebelah barat : Kecamatan Mojoagung–Jombang

c) Perbatasan sebelah selatan : Desa Trowulan

d) Perbatasan sebelah utara : Desa Kejagan

2. Luas Wilayah

Luas keseluruhan wilayah desa Bejijong ini ± 195,185 Ha

dengan penggunaan lahan 127 Ha sebagai tanah sawah dan 68,185 Ha

sebagai tanah darat, sedangkan secara adminstratif Desa Bejijong

(31)

21

a) Dusun Bejijong : ± 116.848 Ha

b) Dusun Kedungwulan : ± 78.337 Ha

3. Topografi dan Klimatologi

Secara topografi jenis tanah di Desa Bejijong adalah tanah

regesol dengan perbandingan struktur tanah 60% pasir dan 40% tanah

lumpur. Dalam mencukupi kebutuhan air untuk pengairan sawah Desa

Bejijong dari saluran Candi Limo Kecamatan Jatirejo dan Sumur Bor

Bampres di Dukuh Kedungwulan yang dapat mengairi sawah ±

127.023 Ha, baik dimusim hujan maupun musim kemarau.

Desa Bejijong secara umum beriklim tropis dengan suhu

rata-rata berkisar antara 240-290C sedangkan curah hujan menunjukkan

bulan basah selama 6 bulan rata-rata ± 1508 mm. Desa Bejijong bila

musim penghujan merupakan tumpuan/buangan air dari atas,

sedangkan pada musim kemarau air sulit didapat.29

Secara umum wilayah kota mojokerto dibagi menjadi 2

kecamatan, 18 kelurahan, 661 rukun tetangga (RT), 177 rukun warga

(RW) dan 70 dusun atau lingkungan. Kota mojokerto merupakan

satu-satunya daerah di Jawa Timur, bahakan di Indonesia yang memiliki

satuan wilayah maupun luas wilayah terkecil dengan kepadatan

penduduk yang tinggi.30

29Data, Profil Desa Bejijong Tahun 2015

(32)

22

B. Demografi

1. Jumlah Penduduk Desa Bejijong

Menurut data jumlah penduduk Desa Bejijong tahun 2015,

jumlah penduduk keseluruhan sebanyak 3.874 jiwa yang terdiri dari

1.208 kepala keluarga. Penduduk dengan usia 4 tahun memiliki

jumlah terbanyak dibandingkan dengan penduduk usia yang lain yaitu

sebanyak 90 jiwa. Jumlah penduduk berdasarkan umur dapat dilihat

[image:32.595.138.519.203.756.2]

pada tabel sebagai berikut:

Tabel 2.1. Jumlah Penduduk Desa Bejijong Menurut Umur Tahun

2015.

No. Umur Penduduk Jumlah No. Umur Jumlah Penduduk

1 < 1 tahun 62 jiwa 31 30 tahun 46 jiwa

2 1 tahun 64 jiwa 32 31 tahun 44 jiwa

3 2 tahun 85 jiwa 33 32 tahun 43 jiwa

4 3 tahun 78 jiwa 34 33 tahun 39 jiwa

5 4 tahun 90 jiwa 35 34 tahun 46 jiwa

6 5 tahun 88 jiwa 36 35 tahun 50 jiwa

7 6 tahun 87 jiwa 37 36 tahun 68 jiwa

8 7 tahun 88 jiwa 38 37 tahun 47 jiwa

9 8 tahun 65 jiwa 39 38 tahun 37 jiwa

10 9 tahun 78 jiwa 40 39 tahun 32 jiwa

11 10 tahun 61 jiwa 41 40 tahun 29 jiwa

12 11 tahun 69 jiwa 42 41 tahun 29 jiwa

13 12 tahun 49 jiwa 43 42 tahun 21 jiwa

14 13 tahun 42 jiwa 44 43 tahun 31 jiwa

15 14 tahun 59 jiwa 45 44 tahun 32 jiwa

16 15 tahun 59 jiwa 46 45 tahun 32 jiwa

17 16 tahun 88 jiwa 47 46 tahun 78 jiwa

18 17 tahun 80 jiwa 48 47 tahun 41 jiwa

19 18 tahun 72 jiwa 49 48 tahun 27 jiwa

(33)

23

21 20 tahun 75 jiwa 51 50 tahun 26 jiwa

22 21 tahun 75 jiwa 52 51 tahun 26 jiwa

23 22 tahun 45 jiwa 53 52 tahun 28 jiwa

24 23 tahun 74 jiwa 54 53 tahun 28 jiwa

25 24 tahun 74 jiwa 55 54 tahun 23 jiwa

26 25 tahun 73 jiwa 56 55 tahun 20 jiwa

27 26 tahun 77 jiwa 57 56 tahun 21 jiwa

28 27 tahun 43 jiwa 58 57 tahun 34 jiwa

29 28 tahun 45 jiwa 59 58 tahun 47 jiwa

30 29 tahun 44 jiwa 60 tahun > 59 79 jiwa Sumber : Profil Desa Bejijong Tahun 2015.

2. Kepadatan Penduduk Desa Bejijong

Menurut data jumlah penduduk Desa Bejijong tahun 2015, Desa

Bejijong memiliki jumlah penduduk sebanyak 3.874 jiwa sedangkan

luas wilayahnya adalah 195,185 Ha atau 1,95 km2 sehingga dapat

diketahui kepadatan penduduk Desa Bejijong sebagai berikut:

Kepadatan Penduduk = Jumlah PendudukLuas Wilayah

= ,

= 1987 jiwa/km2

Hal ini berarti kepadatan penduduk di Desa Bejijong secara

umum adalah 1987 jiwa/ km2 atau setiap 1 km2 wilayah Desa Bejijong

dihuni oleh 1987 jiwa.

3. Sex Ratio Penduduk Desa Bejijong

Sex ratio adalah perbandingan banyaknya penduduk laki-laki

per 100 penduduk perempuan. Menurut data jumlah penduduk Desa

(34)

24

terdiri dari 1.913 jiwa penduduk laki-laki dan 1.961 jiwa penduduk

perempuan. Berdasarkan data tersebut dapat dihitung sex ratio Desa

Bejijong adalah sebagai berikut:

Sex Ratio = ∑Penduduk Perempuan ∑Penduduk Laki−laki × 100

= × 100

= 98

Desa Bejijong memiliki angka sex ratio sebesar 98 dengan

demikian berarti bahwa setiap 100 penduduk perempuan terdapat 98

penduduk laki-laki. Hal ini berarti populasi laki-laki di desa Bejijong

lebih sedikit dibandingkan populasi penduduk perempuan.31

4. Mata Pencaharian

Berikut adalah komposisi penduduk menurut mata pencaharian

untuk menggambarkan kondisi sosial penduduk Desa Bejijong:

Tabel 2.2. Jumlah Penduduk Desa Bejijong Menurut Mata

PencaharianTahun 2015.

No. Jenis Mata Pencaharian

Jumlah

(jiwa)

Persentase

(%)

1 Petani 179 15,26

2 Buruh tani 252 21,48

3 Karyawan 105 8,95

[image:34.595.131.512.188.717.2]
(35)

25

Swasta

4 Pengrajin 412 35,12

5 PNS 88 7,50

6 Pedagang 38 3,24

7 Montir 5 0,43

8 TNI/POLRI 8 0,68

9 Dokter 2 0,17

10 Perawat/bidan 6 0,51

11 Lain-lain 78 6,65

Sumber : Profil Desa Bejijong Tahun 2015.

Berdasarkan tabel jumlah penduduk menurut mata pencaharian

tahun 2015 bahwa penduduk Desa Bejijong pekerjaan yang paling

banyak digeluti adalah sebagai pengrajin dengan jumlah 412 jiwa atau

sebesar 35,12%. Jenis kerajinan yang ditekuni masyarakat desa

Bejijong adalah sebagai pengrajin cor kuningan yang kegiatannya

tersebar di desa Bejijong khususnya di dusun Kedungwulan.32

C. Kondisi Sosial Masyarakat

1. Pendidikan

Ciri khas manusia adalah kemampuannya dalam mendidik dan

dididik melalui aktivitas pendidikan. Dalam masyarakat unsur

pendidikan dan kebudayaan merupakan dua hal yang tidak terpisahkan

dan saling berkaitan. Pendidikan adalah aktivitas dari kebudayaan dan

(36)

26

merupakan aktivitas pembudayaan, disisi lain kebudayaan

menjelmakan aktivitas, sistem, dan struktur pendidikan. Oleh karena

itu masyarakat tradisional meupun modern selalu mengandung unsur

pendidikan yang berusaha memperkenalkan dan membawa

masyarakat kearah kebudayaannya.33

Kondisi pendidikan masyarakat desa Bejijong dapat dikatakan

masih rendah, hal ini dikarenakan sebagian besar penduduknya

merupakan tamatan SD sederajat dengan jumlah 1.206 jiwa atau

sebesar 40,61% dari keseluruhan penduduknya. Sedangkan pada

urutan yang kedua adalah penduduk dengan tamatan SLTP sederajat

dengan jumlah 804 jiwa atau 27,07 %.34 Data kondisi pendidikan

[image:36.595.134.520.273.706.2]

penduduk Desa Bejijong dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.3. Kondisi Pendidikan Penduduk Desa Bejijong

Tahun 2015.

No. Pendidikan Jumlah

(jiwa)

Persentase

(%)

1 Belum sekolah 125 4,21

2 Tidak pernah sekolah 46 1,55

3 Tidak tamat SD 34 1,14

4 Tamat SD sederajat 1206 40,61

33Oemar Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), 88.

(37)

27

5 Tamat SLTP sederajat 804 27,07

6 Tamat SLTA sederajat 664 22,36

7 Program Diploma D1,D2,D3 39 1,31

8 Program Sarjana S1,S2,S3 52 1,75

Sumber : Profil Desa Bejijong Tahun 2015.

2. Agama dan Kepercayaan

Pada masa Majapahit, masyarakat trowulan menganut agama

Hindu, buddha. Kepercayaan lokal dan agam Islam juga berkembang

pada masa itu. Raja atau pemimpin masyaraakat memeluk satu agama,

tapi juga menjadi pelindung bagi para pemeluk agama lain.

Kehidupan beragam masyarakat Trowulan saat ini tidak jauh

berbeda dengan masyarakat pada zaman Majapahit. Semua agama

yang ada di Indonesia juga berkembang di Trowulan. Meskipun

pemeluk agama yang beragam, masyarakat Trowulan bisa hidup

damai dan penuh dengan kerukunan serta saling menghargai.

Pada hakikatnya agama berfungsi melayani kebutuhan individu

dan kelompok karena agama membantu individu memahami dirinya,

sekitarnya dan kehidupan sesudah mati, dan nilai-nilai agama

mendasari hidup juga tingkah laku manusia dalam hidup

bermasyarakat, sehingga masyarakat mengetahui segala hal yang

benar dan diridhoi oleh Tuhan, dan segala yang melanggar ajarannya.

(38)

28

manusia yang berbudaya.35 Berikut ini data agama yang dianut

[image:38.595.138.513.239.535.2]

penduduk Desa Bejijong:

Tabel 2.4. Jumlah Penduduk menurut Agama yang Dianut Tahun

2015.

No. Agama Jumlah (jiwa) Persentase (%)

1 Islam 3849 99,35

2 Kristen 17 0,44

3 Katholik - -

4 Budha 8 0,21

5 Hindu - -

Sumber : Profil Desa Bejijong Tahun 2015.

Berdasarkan data jumlah penduduk menurut agama, dapat

diketahui bahwa sebagian besar atau hampir seluruh penduduk Desa

Bejijong menganut agama Islam dengan jumlah 3.849 jiwa atau

sebesar 99,35%. Penduduk dengan penganut agama Kristen sebanyak

17 jiwa, Budha sebanyak 8 orang, sedangkan untuk agama Katholik

dan Hindu tidak ada.36

35Oemar Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008) 92.

(39)

29

3. Kondisi Sosial Budaya

Sebagaimana layaknya sebuah desa, watak penduduk masih

nampak sebagai warga pedesaan. Dalam hal ini adalah rasa

membedakannya dengan masyarakat perkotaan yang individualisme

dan selalu mementingkan kepentingan sendiri. Kehidupan sosial

mayarakat Trowulan menggambarkan suasana yang harmonis, tidak

ada perbedaan yang mencolok dalam tingkat status sosial maupun

dalam derajat serta hubungan darah. Hal ini menunjukan suasana

kehidupan masyarakat Trowulan penuh sifat kekeluargaan dan juga

saling gotong-royong. Hal ini disebabkan karena tempat tinggal yang

memiliki ikatan kekeluargaan dan adat-istiadat yang sama, serta rasa

solidaritas yang tinggi dalam masyarakat.

Bentuk dari gotong-royong dapat dilihat ketika salah satu warga

ada meninggal dunia, maka yang lainnya datang dan membantu

mempersiapkan memandikan jenazah dan kebutuhan pemakaman.

Sedangkan yang ibu-ibu yang datang untuk melayat (ta’ziyah) dengan

membawa beras yang akan diberikan kepada keluarga yang terkena

musibah. Begitu pula jika ada salah satu penduduk membangun

rumah, maka warga lainya akan membantu pada hari pertama

membangun atau biasa disebut dalam bahasa Jawa dengan istilah

(40)

30

D.Keberadaan Candi Brahu

Candi Brahu didirikan oleh Mpu Sindok yang sebelumnya ia

merupakan raja dari Kerajaan Mataram Kuno yang ada di Jawa Tengah.

Hal ini dijelaskan dari nama Brahu dihubungkan diperkirakan berasal dari

kata 'Wanaru' atau 'Warahu', yaitu nama sebuah bangunan suci keagamaan yang disebutkan di dalam prasasti tembaga 'Alasantan'.

Struktur bangunan candi Brahu terdiri dari kaki candi, tubuh candi

dan atap candi. Kaki candi terdiri dari bingkai bawah, tubuh candi serta

bingkai atas. Bingkai tersebut terdiri dari pelipit rata, sisi genta dan

setengah lingkaran. Dari penelitian yang terdapat pada kaki candi

diketahui terdapat susunan bata yang strukturnya terpisah, diduga sebagai

kaki candi yang dibangun pada masa sebelumnya. Ukuran kaki candi lama

ini 17,5 x 17 m. Dengan demikian struktur kaki yang sekarang merupakan

tambahan dari bangunan sebelumnya. Kaki candi Brahu terdiri dari dua

tingkat dengan selasarnya serta tangga di sisi barat yang belum diketahui

bentuknya dengan jelas.

Candi Brahu berdenah bujur sangkar, menghadap ke barat. Pada

keempat sisinya terdapat penampil (bagian yang menjorok keluar). Ruang

yang menghadap ke barat merupakan ruang utama, disini terdapat altar

(tempat sesaji) tetapi dinding temboknya sudah runtuh. Menurut cerita

rakyat candi Brahu adalah makam dari raja Brawijaya I sampai dengan IV.

Menurut cerita rakyat, Candi Brahu berfungsi sebagai perabuhan atau

(41)

31

rakyat tersebut. Bilik Candi saat ini telah kosong, tetapi didinding timur

bilik masih terdapat Altar tempat sesaji. Namun saat ini setelah banyak

sejarawan yang meneliti tidak ditemukan sisa-sisa abu ataupun bekas abu

[image:41.595.136.510.226.546.2]

di dalam Candi.

Gambar 2.2. Candi Brahu.

Selain itu Candi Brahu merupakan salah satu candi yang

mempunyai gaya candi yang berbeda dengan yang lainnya, sebab

berdasarkan wujud arsitektur yang masi bertahan hingga koni. Bangunan

Hindu-Budha di wilayah Jawa Timur yang berkembang antara abad ke-13

dan abad-16 dapat dibagi ke dalam lima gaya, yaitu gaya Singhasari, gaya

candi Brahu, gaya candi Jago, candi Batur, dan Punden Berundak.37

(42)

32

Candi Brahu merupakan salah satu situs peninggalan Majapahit

yang bernuansa Buddha. Penggunaan Candi Brahu sebagai tempat

pelaksanaan perayaan ritual merupakan sebuah sarana untuk

memanfaatkan kembali situs Candi Brahu sebagai salah satu peninggalan

agama Buddha di masa lalu. Pelaksanaan perayaan ritual keagamaan di

Candi Brahu dapat memberikan suasana sakral yang berpadu dengan

kemegahan candi yang berasal dari masa silam. Hal ini juga diperjelas oleh

salah satu Bhiksu yang pada waktu itu ikut serta dalam melaksanakan

kegiatan ritual tersebut.

Bentuk tubuh candi Brahu tidak tegas persegi, melainkan bersudut

banyak, tumpul dan berlekuk. Bagian tengah tubuhnya melekuk ke dalam

seperti pinggang. Lekukan tersebut dipertegas dengan pola susunan batu

bata pada dinding barat atau dinding depan candi. Atap candi juga tidak

berbentuk prisma bersusun atau segi empat, melainkan bersudut banyak

dengan puncak datar. Candi Brahu dibangun dari bata yang direkatkan satu

sama lain dengan sistem gosok. Bagian tubuh candi Brahu sebagian besar

merupakan susunan batu bata baru yang dipasang pada masa pemerintahan

Belanda. Sebagian besar candi-candi di Trowulan dibangun menggunakan

batu bata merah, karena mengandung unsur religi atau kepercayaan.

Berdasarkan gaya bangunan serta profil sisa hiasan yang berdenah

lingkaran pada atap candi yang diduga sebagai bentuk stupa, para ahli

menduga bahwa candi Brahu bersifat Budhis. Selain itu diperkirakan candi

(43)

33

situs Trowulan bahkan lebih tua dari kerajaan Majapahit itu sendiri. Dasar

dugaan ini adalah prasasti tembaga Alasantan yang ditemukan kira-kira

sekitar 45 m di sebelah barat candi Brahu. Prasasti tersebut dikeluarkan

oleh raja Empu Sendok dari Kahuripan pada tahun 861 Saka atau 9

September 939 M. Diantara isinya menyebutkan nama sebuah bangunan

suci yaitu wanaru atau warahu. Nama istilah inilah yang diduga sebagai

asal nama candi Brahu sekarang.38

Candi ini adalah gambaran percampuran tradisi keagamaan antara

agama Hindu dan agama Budha, Awalnya candi ini berfungsi sebagai

tempat pembakaran raja-raja Majapahit . Namun asumsi tersebut tidak

terbukti. Dan dengan gambaran percampuran tradisi tersebut, hingga saat

ini pemeliharaan candi Brahu dilakukan oleh kedua agama tersebut.

Berbeda dengan ritual pemujaan pada situs pemujaan lainnya, di sini

aktifitas tersebut dilakukan hanya dengan cara meletakkan sesaji pada

bagian depan dan pintu candi yang menghadap ke arah barat.

Namun pada saat ini candi Brahu hanya digunakan sebagai tempat

sembahyang bagi umat Budha. Waktu sembahyang pun tidak menentu

kapan saja, ujar Suryono sebagai juru kunci candi. Meskipun masyarakat

sekitar Brahu sebagian besar memeluk agama islam mereka tetap

menghargai ritual-ritual yang ada di candi Brahu dan senantiasa menjaga,

serta melestarikannya. Hampir semua ahli sejarah sependapat bahwa

(44)

34

konsep dan arsitek candi berasal dari pengaruh Hindu dari India yang

menyebar pengaruhnya hingga ke Nusantara sekitar abad ke 4 hingga abad

ke 15. Pengertian pengaruh Hindu di sini adalah untuk menyebut semua

bentuk pengaruh yang berasal dari India yang masuk ke nusantara pada

periode yang disebutkan di atas. Pengaruh-pengaruh itu diantaranya agama

atau kepercayaan Hindu dan Budha dengan tata cara ritualnya, bahasa dan

tulisan, konsep kasta dalam masyarakat, sistem pemerintahan feudal (pemerintahan yang dikuasai kaum bangsawan) dan arsitektur bangunan.

Dalam hal ini kita ingat akan kenyataan bahwa sebagian besar dari

candi-candi telah dibongkar pondasinya dan hilang peti pripihnya,

sehingga jelas bahwa setelah rakyat berganti agama mereka masih tahu

benar apa yang menjadi inti dan yang paling penting berharga dari suatu

candi. Begitu pula sama yang terjadi dengan Candi Brahu, menurut cerita

rakyat bahwa Candi Brahu adalah tempat penyimpanan abu jenazah Raja

Brawijaya.39

Aktifitas di Candi Brahu tidak meneninggalkan aktifitas ritual.

Aktifitas ritual setelah pemugaran justru diperlihatkan oleh umat Budha.

Pada Bulan Agustus tahun 2010 diadakan peringatan Hari Besar Asadha.

Setelah itu, pada pada bulan Mei tahun 2011 diadakan peringatan Hari

Raya Waisak secara besar-besaran yang dihadiri kurang lebih oleh 5000

umat Buddha dari berbagai daerah di Indonesia. Dalam perayaan tersebut,

para penganut Buddha melakukan ritual dengan membawa beberapa

(45)

35

perlengkapan upacara, misalnya sesaji, benda-benda ritual, dan alat-alat

ritual untuk melaksanakan ritual oleh segenap umat Buddha yang hadir.

Kalau sekarang ternyata bahwa cerita itu bersumber kepada ketidaktahuan

dan salah pengertian, maka jelas pula mengapa penafsiran candi sebagai

makam tidak mendapat dukungan, apalagi pembuktian, dari bahan-bahan

serta keterangan authentik.

Perekonomian masyarakat sekitar candi Brahu sangat terbantu

dengan keberadaan candi Brahu tersebut. Masyarakat skitar candi Brahu

juga mengenal dan mempercayai adanya hal-hal yang bersifat ghaib.

Kepercayaan yang bersifat ghaib tersebut merupakan hal yang mereka

anggap penting untuk dilakukan demi kepentingan mereka. Masyarakat

sekitar candi Brahu memiliki keahlian, mereka hidup dengan bertani. Hal

ini terlihat seperti terlintas sewaktu hampir sampai di lokasi candi Brahu

yaitu lading-ladang yang sangat luas dan siap memanen (pada waktu

observasi). Jadi dapat dikatakan kehidupan sosial mereka juga

terpengaruhi oleh kehidupan sosial kehidupan leluhur mereka. Seperti

upacara-upacara dalam hal pembangunan bangunan, pembuatan kesenian,

dan lain sebagainya. Hal ini tidak hanya dapat ditemikan di

Trowulan,melainkan dapat ditemukan hampir di seluruh wilayah Jawa,

kehidupan sosial masyarakat Jawa tidak jauh-jauh dari hal-hal klenik atau

mistis.

Mereka melakukan upacara-upacara tertentu untuk mengawali,

(46)

36

kegiatan-kegiatan musiman, atau upacara-upacara ritual keagamaan.

Mereka mempercayai upacara-upacara itu sebagai suatu yang sakral dan

merupakan suatu keharusan atau kewajiban yang apabila tidak mereka

lakukan, maka akan menimbulkan terjadinya hal-hal atau sesuatu yang

(47)

37

BAB III

VESKRIPSI TRAVISI RUWATAN BULAN PURNAMA

VI CANVI BRAHU TROWULAN

A. Asal-Usul Tradisi Ruwatan Bulan Purnama

Masyarakat Jawa banyak melahirkan tradisi yang masih

dilaksanakan sampai saat ini. Menurur Warner, masyarakat adalah suatu

kelompok perorangan yang berinteraksi timbal balik, dimana

konsekuensinya adalah jika hubungan manapun dari konfigurasi sosial

tertentu dirangsang, maka akan mempengaruhi semua bagian lain dan

sebaliknya akan dipengaruhi oleh bagian-bagian.40

Kebudayaan yang paling banyak ditemukan yaitu kebudayaan

Jawa. Awalnya agama yang dianut oleh masyarakat di pulau Jawa yaitu

Animisme dan Dinamisme yang kemudian dimasuki oleh agama lain

seperti Hindu-Buddha. Menurut Soerjono Soekanto, masyarakat adalah

jalinan hubungan sosial dan masyarakat selalu berubah.41

Seperti tradisi yang masih dilestarikan dan dilaksanakan oleh orang

Jawa khususnya masyarakat desa Bejijong kecamatan Trowulan

Mojokerto, yaitu tradisi ruwatan bulan purnama. Dimana pada saat bulan

purnama masyarakat melaksanakan tradisi ritual pensucian atau

pembersihan diri atau biasa disebut dengan ruwatan. Tradisi ini dinamakan

tradisi ruwatan bulan purnama karena prosesinya dilaksanakan ketika tiba

waktu bulan purnama. Dan tempat prosesi dilaksanakan di candi Brahu,

(48)

38

karena candi Brahu merupakan satu-satunya candi di Trowulan dan sejak

dahulu ritual yang dilakukan di candi Brahu.42

Ruwatan adalah tradisi Jawa sebagai sarana pembebasan dan

pensucian atas dosa-dosa atau kesalahan yang diperkirakan bisa

berdampak kesialan di dalam hidupnya. Ruwatan berasal dari kata ruwat

yang berarti; 1) luar saka panenung (wewujudan sing salah kedaden), 2)

luar saka ing beban lan paukumaning dewa; ruwatan berarti selametan.43

Tujuan diadakannya ruwatan adalah agar manusia selamat, terhirdar dari

bahaya, kesialan, bebas dari kutukan jahat sehingga dapat hidup dengan

aman, nyaman dan tentram.

Secara umum arti ruwatan adalah merawat atau memelihara,

namun tidak diartikan merawat atau memelihara lahirnya saja akan tetapi

juga batin atau jiwanya juga. Disamping itu makna ruwatan sendiri bagi

masyarakat Jawa yaitu meng hilangkan bala atau kala yang artinya

kesialan dan bahaya dalam cerita perwayangan. Dan setidaknya acara

ritual ini secara tidak langsung menjadi suatu kebutuhan yang harus

dipenuhi bagi masyarakat Jawa. Karena jika diartikan sebagai kewajian

maka masyarakat akan bermalas-malasan utuk melakukannya. Berbeda

halnya jika di hukumi sebagai kebutuhan, bagaimanapun dan apapun

kondisinya pasti akan tetap dilakukan karena hal itu menjadi suatu

kebutuhan bagi mereka.

42Yudha, Wawancara, 24 Mei 2016 Di Candi Brahu Trowulan.

43Poerwadarminta. W.J.S., Baoesastra Djawa (Batavia: J.B. Wolters Uitgevers-Maatschappij N.V.

(49)

39

Pada jaman kerajaan Majapahit tradisi Ruwatan Bulan Purnama

digunakan juga untuk penobatan suatu jabatan yang melibat semua elemen

masyarakat dan juga para petinggi kerajaan. Namun ada perbedaan untuk

tradisi ini yang masih dilakukan sampai sekarang. Dari pakaian yang

dipakai pada saat ritual pada jaman dulu bagi perempuan harus telanjang

bulat dan yang laki-laki hanya memakai cawat. Namun seiiring

berkembangnya jaman dan masuknya ajaran Islam di Jawa, hal itu dirasa

menyinggung kepada etitude dan bertentangan dengan aturan agama

Islam. Dengan alasan itulah untuk sekarang semua pelaku ritual memakai

pakaian lengkap yang menutupi aurat.44

Ketika terjadi bulan purnama semua unsur bumi seperti air, udara

akan tertarik ke bulan. Hal ini menciptakan sejenis sabuk tak kasat mata

dengan tekan yang sangat tinggi. Dalam proses ini pada tingkatan fisik

ketika air tertarik ke arah bulan, bukan airnya yang tertarik melainkan

unsur-unsur gas dalam air (uap air) yang naik diatas air dan masuk ke

sabuk tak kasat mata yang bertekanan tinggi tersebut. Karena energi-energi

negatif sebagian besar berada dalam bentuk gas dan mereka ditarik ke arah

sabuk tak kasat mata bertekanan tinggi tadi.

Air laut akan mengalami pasang tinggi pada saat bulan purnama.

Hal ini dikarenakan pengaruh dari gravitasi bulan yang menarik air laut ke

arah bulan sehingga memengaruhi ketinggian ombak dan permukaan laut.

Bagian bumi yang dekat dengan bulan inilah yang megalami air laut

(50)

40

pasang, sedangkan di bagian bumi yang jauh dari bulan akam mengalami

air laut surut.45

B. Prosesi Tradisi Ruwatan Bulan Purnama

1. Pelaku

Dalam tradisi Ruwatan Bulan Purnama para peserta yang ikut

dalam ritual terdiri dari berbagai kelompok dan paguyuban seni

budaya yang ada di Trowulan. Namun yang menjadi pilar adalah para

aktivis dari Save Trowulan yang sangat antusias dalam melestarikan

budaya yang sudah ada sejak dahulu. Disamping itu mereka juga

sangat terbuka apabila kedatangan tamu dari luar kota bahkan yang

belum tahu sama sekali ritual ini akan disambut dengan senang hati.

2. Waktu

Tradisi Ruwatan Bulan Purnama dilaksanakan malam hari pada

waktu bulan purnama. Karena pada saat bulan purnama dipercaya

dapat menghilangkan energi-energi negatif di bumi dan manusia.

Dalam penanggalan Jawa bulan purnama tepatnya jatuh pada tanggal

15 bulan Jawa. Dan dimulainya acara ritual pukul 21.00.WIB dengan

mempersiapkan segala sesuatu yang di butuhkan untuk perlengkapan

acara ritual.46

3. Tempat

Tempat pelaksanaan Tradisi Ruwatan Bulan Purnama

dilaksanakan di candi Brahu tepatnya di desa Bejijong kecamatan

45http://myscienceblogs.com/kids/2007/09/28/Gravitasi-Bulan/. Diakses Pada 9 Mei 2016.

(51)

41

Trowulan Mojokerto. Sebenarnya untuk tempat lebih di utamakan di

daerah yang terkena air laut, karena laut dipercaya sebagai tempat

segala macam peleburan energi negatif. Selain itu, pada saat bulan

purnama air laut akan tertarik oleh gravitasi bulan yang besar. Dan

disitulah inti dari ritual tersebut agar energi negatif dapat dilebur dan

dihilangkan.

Namun karena keistimewaan candi Brahu yang sejak dulu

digunakan juga oleh kerajaan Majapahit dalam ritual apapun, seakan

warga tidak ingin memupus sejarah panjang dari candi Brahu yang

merupakan tempat suci pada jaman dahulu. Dan candi Brahu

merupakan satu-satunya candi sebenarnya yang ada di Trowulan.

Selain candi Brahu ada gapura Wringin Lawang dan petilasan

Tribuana Tungga Dewi yang digunakan untuk Tradisi Ruwatan Bulan

Purnama ini.47

4. Prosesi Acara

a. Persiapan

Disini penulis akan memaparkan prosesi tradisi Ruwatan

Bulan Purnama. Pada dasarnya semua pelaksanaan suau ritual

atau upacara dibutuhkan persiapan sebelum memulainya. Dalam

tradisi Ruwatan Bulan Purnama ada beberapa persiapan yang

harus di penuhi sebagai syarat ritual tersebut, diantaranya;

(52)

42

1. Kinangan, dalam bahasa Jawa adalah kebiasaan mengunyah

ramuan daun sirih, kapur sirih (enjet), gambir, dan buah

pinang. Kebiassan nginang ini dilakukan oleh orang-orang

pada jaman dahulu yang memiliki banyak manfaat kebaikan

bagi yang melakukan.

2. Dupa, dupa yang dibakar akan menghasilkan harum wangi di

sekitar tempat ritual. Dan berfungsi sebagai pembawa

energi-energi positif dari alam.

3. Kembang Tujuh Rupa, yaitu terdiri dari mawar, cempaka,

kantil, kenanga, sedap malam, melati, dan melati gambir.

Biasannya bunga sedap malam dan melati gambir jaramg

digunakan.

4. Air Putih, sebagai sarana pensucian selesai ritual, dan di

campur dengan kembang tujuh rupa.

5. Bejana, digunakan untuk tempat kembang tujuh rupa dan air

untuk ritual pensucian.

6. Kain Kuning, kain taplak atau udeng yang berwarna kuning

yang melambangkan kemakmuran bagi manusia.

7. Serba Ireng, pakaian yang dipakai dalam ritual serba hitam,

karena warna hitam adalah warna netral yang ditujukan untuk

(53)

43

konsep Majapahit warna hitam adalah wisnu sang pemelihara

dunia.48

b. Inti

Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwasannya

perlengkapan untuk ritual diatas khusus untuk di Candi Brahu.

Sekiranya ritual dilakukan di tempat lain, maka perlengkapan

juga ada sedikit perbedaan. Karena ritual Bulan Purnamaan ini

juga dilakukan di tempat lain selain candi Brahu. Namun disini

penulis akan memaparkan keistimewaan ritual Bulan Punamaan

di candi Brahu di bandingkan dengan di situs-situs lainnya yang

ada di Trowulan.

Seperti ritual kali ini ada koin kuno yang dibawa untuk

disucikan. Koin tersebut nantinya bukan diartikan atau digunakan

sebagai jimat atau benda keberuntungan, melainkan hanya

sebagai suatu identitas semata. Menurut Pak Poh Nanang, benda

yang sudah disucikan dan kemudian dipakai akan terasa beda

rasanya dan nyaman. Karena koin tersebut sudah suci dan

energi-energi positif dari alam dapat masuk dan menempati koin

tersebut. Koin tersebut pernah dipakaikan kepada orang yang

kerasukan dan kemudian orang tersebut bisa tenang. Intinya

(54)

44

benda apapun itu asalkan suci pasti energi positif dari alam akan

dapat masuk dan menepatinya.49

Dalam pelaksanaan ritual yang pertama adalah menaruh

dupa di tempat sesaji di bilik candi Brahu. Hal ini bertujuan untuk

meminta izin atau dalam istilah Jawa kolonuwun yang artinya

permisi kepada para leluhur yang ada di sekitar candi. Selain itu

aroma wewangian yang di keluarkan dupa tadi juga bertujuan

untuk mengusir energi negatif yang ada di sekitar candi. Intinya

bila suatu tempat atau ruangan yang ada aroma wewangian maka

energi positif alam akan mudah untuk masuk atau menempati

tempat tersebut.50

Kedua, yaitu menaruh perlengkapan sesaji yang telah

disiapkan dan di letakan di samping dupa yang pertama kali di

tempatkan tadi. Hal ini juga ditujukan agar semua energi positif

alam bisa masuk kedalam semua persajian tersebut. Selain itu

juga difungsikan agar sesaji tadi dapat suci dengan aroma

wewangian dari bakaran dupa.

Ketiga, para peserta ritual naik ke serambi candi Brahu

lengkap dengan pakaian serba hitam dan setiap orang membawa

dupa yang dibakar. Kemudian duduk bersila di depan sesaji dan

membaca doa-doa. Dalam doanya sendiri tidak ada patokan atau

(55)

45

keharusan untuk memanjatkan suatu doa khusus. Jadi

doa-doa yang dipanjatkan sesuai kebutuhan masing-masing peserta.

Namun yang perlu dijadikan catatan dari doa yang dipanjatakan

adalah tidak untuk meminta apapun yang diinginkan oleh peserta

ritual, akan tetapi murni ditujukan untuk jiwa pribadi

masing-masing agar diberikan pengampunan atas dosa-dosa yang

dilakukan setiap hari dan keselamatan untuk kedepannya.

Keempat, setelah pemanjatan doa dilakukan Pak Poh atau

pemimpin ritual mengambil air kembang yang telah di sucikan

dengan asap dupa dan para peserta ritual berbaris untuk bersiap di

mandikan dengan air kembang tadi. Satu persatu peserta

dimandikan dengan air kembang dan di minum air kembang tadi

sebanyak tiga kali tegukan. Setelah itu masing-masing peserta

diberi wejangan oleh Pak Poh dan turun dari serambi candi

sambil berdoa.

Kelima, penutup yaitu pamitan kepada para leluhur yang

ada di candi Brahu. Dengan menaruuh bakaran dupa sebanyak 14

masing-masing tujuh diposisikan silang dan ditaruh di pijakan

tangga pertama dari candi Brahu. Sebenarnya jumlah dupa yang

di letakkan tidak pakem atau tidak menentu, tergantung tempat

dan situasi yang ditangkap dari energi alam.51

(56)

46

c. Penutup dan Sarahsehan

Setelah prosesi ritual selesai dilaksanakan biasanya

dilanjutkan dengan pertunjukan-pertunjukan seni baik itu seni tari,

seni drama dan lain sebagainya dari paguyupan seni yang ada di

Trowulan. Dalam pertunjukan yang di tampilkan ini sebenarnya

sudah ada sejak jaman dulu hanya saja untuk jaman sekarang lebih

ditujukan untuk hiburan saja.

Sedangkan pada jaman dahulu pada saat bulan purnama

masyarakat tetap melakukan aktivitas seperti bekerja dan lainnya.

Hal ini dikarenakan kepercayaan masyarakat bahwa pada saat

bulan purnama energi yang ada di alam akan tertarik gravit

Gambar

TABEL TRANSLITRASI ................................................................................
Gambar 2.1. Peta kecamatan Trowulan.
Tabel 2.1. Jumlah Penduduk Desa Bejijong Menurut Umur Tahun
Tabel 2.2. Jumlah Penduduk Desa Bejijong Menurut Mata
+7

Referensi

Dokumen terkait

Eksplan pada perlakuan memberikan respon pertumbuhan yang tidak berbeda nyata terhadap kontrol ada periode regenerasi sehingga dapat diduga bahwa P3 merupakan

Maka yang dimaksud dengan sosisalisasi politik adalah suatu proses seseorang mendapatkan penga- laman atau pendidikan politik dari orang lain, atau kelompok masyarakat,

Keterlaksanaan program praktek industri program keahlian teknik pemesinan di SMK Muhammadiyah 1 Kepanjen yang menggunakan evaluasi model Kirkpatrick adalah sebagai

Uji dan Analisis Kekuatan Double Profil Baja Ringan dengan Model Komposisi Toe To Toe dan Back To Back; Wahyu Adhie Martha, 071910301079; 51 halaman; Jurusan Teknik Sipil

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul “Nilai Moral dalam Kumpulan CerpenKa&gt;n Ya&gt;ma&gt; Ka&gt;n Karya Kha&gt;lid Abu&gt; Bakar dan

Setelah meneliti ada tidaknya hubungan atau pengaruh antara kegiatan pemasaran digital dan perilaku konsumen secara online secara parsial terhadap peningkatan

Penerapan model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) juga meningkatkan kualitas proses pembelajaran dimana hasil aktivitas guru dalam proses pembelajaran dari siklus I

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh deskripsi tentang 1 penyelenggaraan sentra industri tepung tapioka dalam meningkatkan pemberdayaan masyarakat 2 faktor yang