TRADISI RUWATAN BULAN PURNAMA DI CANDI BRAHU TROWULAN MOJOKERTO
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syatrat Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Program Strata Satu (S-1) Pada Jurusan Sejarah Dan Kebudayaan Islam (SKI)
Oleh: Agus Lutfiadin NIM : A0.22.12.032.
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
ABSTRAK
Skripsi ini yang berjudul “Tradisi Ruwatan Bulan Purnama Di Candi
Brahu Trowulan Mojokerto”. Adapun permasalahan yang dibahas dalam
penelitian ini meliputi; 1). Bagaimana asal-usul Tradisi Ruwatan Bulan Purnama di Candi Brahu Trowulan Mojokerto, 2). Bagaimana prosesi Tradisi Ruwatan Bulan Purnama di Candi Brahu Trowulan Mojokerto, 3). Bagaimana Respon Masyarakat Muslim dalam Tradisi Ruwatan Bulan Purnama.
Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis menggunakan metodologi Antropologi dengan pendekatan adaptasi kultural yang menggunakan metode Etnografi; 1). Observasi, melakukan pengamatan secara langsung di tempat pelaksanaan tradisi ruwatan bulan purnama, 2). Interview, melakukan wawancara secara langsung dengan pelaku upacara, pemuka agama, dan sesepuh desa, 3). Dokumentasi, melakukan pencatatan dan pengambilan gambar-gambar, 4). Menganilisis unsur lokal dan unsur islam dalam tradisi ruwatan bulan purnama dan menunjukan nilai-nilai Islam dalam tradisi ruwatan bulan purnama kemudian menginterpretasikannya. Penelitian ini menggunakan teori evolusi kebudayaan oleh David Kaplan dan teori fungsionalisme struktural oleh George Ritzer.
Berdasarkan pendekatan adaptasi kultural yang diteliti penulis terhadap tradisi ruwatan bulan purnama, dapat dipahami bahwa 1). Tradisi ruwatan bulan purnama dilaksanakan secara turun-temurun dan sudah ada semenjak masa kerajaan Majapahit sampai saat ini, yang telah mengalami akulturasi budaya baru yaitu agama Islam. 2). Dalam hal pakaian dahulu sangat bertentangan dengan ajaran Islam, karena harus telanjang bagi perempuan dan laki-laki hanya bercawat. Namun setelah Islam masuk semua di ubah berpakaian lengkap menutupi aurat. Perlengkapan ritual antara lain; kinangan, dupa, kembang tujuh rupa, air dan bejana, kain kuning, dan pakaian serba berwarna hitam. 3). Mayoritas masyarakat mengannut agama Islam, meski terdapat organisasi Islam yang berbeda pendapat akan tetapi tidak ada konflik yang serius diantara masyarakat dalam menyikapi tradisi ruwatan bulan purnama. Adapun tujuan melaksanakan tradisi ruwatan bulan purnama ini adalah untuk penghapusan dan merenungi setiap dosa-dosa yang dilakukan oleh setiap individu dan memohon ampunan dari Tuhan Yang Maha Esa (Allah SWT). Namun yang ditekankan dalam tradisi ini adalah para pelaku upacara hanya memohon ampunan dari Tuhan atas segala perbuatan yang dilakukannya, bukan untuk meminta apapun dari Tuhan selain pengampunan.
ABSTRACT
This thesis entitled "Tradition Ruwatan Full Moon In Brahu Temple Trowulan Mojokerto". The issues addressed in this study include; 1). How the origins of Tradition Ruwatan Full Moon in Brahu Trowulan, 2). How procession tradition Ruwatan Full Moon in Brahu Trowulan, 3). How Muslim Community Response in the Tradition Ruwatan Full Moon.
To answer these problems, the authors use the methodology Anthropology with cultural adaptation approach that uses Ethnographic methods; 1). Observation, observation in directly at the place of tradition ruwatan full moon, 2). Interview, conducted interviews with actors directly in ceremonies, religious leaders and village elders, 3). Documentation, taking notes and taking pictures, 4). Analyze local elements and elements of Islamic tradition and shows the full moon ruwatan Islamic values in the tradition ruwatan full moon and then interpreting it. This study uses the theory of cultural evolution by David Kaplan and structural functionalism theory by George Ritzer.
Based on the studied approach the cultural adaptation of the tradition ruwatan author a full moon, it is understood that one). Tradition ruwatan full moon held by generations and have existed since the era of the Majapahit kingdom until today, which has undergone acculturation new culture of Islam. 2). In terms of clothing is very contradiction advance with the teachings of Islam, because they have naked women and men just use cawat. But after Islam was all in full dress revealing change. Supplies ritual among others; kinangan, incense, flower seven-way, water and vessels, yellow cloth, and wore black. 3). The majority of people follow Islam religion, although there are Islamic organizations have different opinions but there is no serious conflict between communities in the tradition responding ruwatan full moon. As for the purpose of carrying out this full moon ruwatan tradition is for the removal and contemplate every sin committed by each individual and asking forgiveness from the Almighty God (Allah). However, the emphasis in this tradition are actors only ceremony asking forgiveness from God for all he has done, not to ask anything from God but,forgiveness.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv
TABEL TRANSLITRASI ... v
MOTTO ... vi
PERSEMBAHAN ... vii
ABSTRAK ... viii
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
A.Latar Belakang Masalah ... 1
B.Rumusan Masalah ... 6
C.Tujuan Penelitian ... 7
D.Kegunaan Penelitian ... 7
E.Pendekatan dan Kerangka Teoritik ... 7
F.Penelitian Terdahulu ... 12
G.Metode Penelitian ... 13
BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA BEJIJONG DAN
KEBERADAAN CANDI BRAHU ... 19
A.Letak Geografis ... 19
B.Demografi ... 22
C.Kondisi Sosial Masyarakat ... 25
D.Keberadaan Candi Brahu... 30
BAB III DESKRIPSI TRADISI RUWATAN BULAN PURNAMA DI CANDI BRAHU TROWULAN MOJOKERTO ... 37
A.Asal-Usul Tradisi Ruwatan Bulan Purnama ... 37
B.Prosesi Tradisi Ruwatan Bulan Purnama ... 40
C.Situs-situs Yang Ada di Trowulan ... 47
BAB IV RESPON MASYARAKAT MUSLIM TERHADAP TRADISI RUWATAN BULAN PURNAMA ... 54
A.Masyarakat Umum di Candi Brahu ... 54
B.Masyarakat Muslim... 56
1. Warga Nahdlotul ‘Ulama ... 56
2. Warga Muhammadiyah ... 58
BAB V PENUTUP... 62
A.Kesimpulan... 62
B.Saran... 63
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan bangsa yang memiliki corak kebudayaan daerah
yang hidup dan berkembang di seluruh pelosok tanah air. Kebudayaan
yang satu berbeda dengan kebudayaan yang lain, karena setiap
kebudayaan memiliki corak tersendiri. Menurut Koentjaraningrat
kebudayaan manusia terdiri atas tujuh unsur universal, yaitu; sistem religi
dan upara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sitem
pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup dan sistem
teknologi serta peralatan.1
Dalam masyarakat Jawa terdapat suatu pola tindakan atau tingkah
laku dan cara berfikir warganya yang dikaitkan dengan adanya
kepercayaan dan keyakianan dengan kekuatan gaib yang ada di alam
semesta.2 Sistem kepercayaan biasanya erat berhubungan dengan sistem
upacara-upacara keagamaan dan menentukan tata cara dari unsur-unsur,
acara, serta keyakinan kepada alat-alat yang dipakai dalam upacara.
Tujuan sistem upacara keagamaan ini adalah sebagai media penghubung
antara manusia dengan Tuhan, dewa-dewa atau makhluk-makhluk yang
mendiami alam gaib. Seluruh sistem upacara keagamaan terdiri dari
1 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), 202.
2 Ridi Sofyan, et all, Merumuskan Kembali Interelasi Islam Jawa, Dalam Islam Dan Budaya Jawa
2
bermacam-macam upacara, yakni kombinasi dari berbagai macam unsur
upacara seperti berdoa, bersujud, sesaji, berkurban dan sebagainya.3
Manusia adalah makhluk berbudaya yang mampu mengembangkan
ide-ide atau gagasan dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang menghasilkan
“Benda-benda” kebudayaan. Namun sebaliknya manusia sangat
dipengaruhi atau ditentukan dengan kebudayaan yang ada di lingkupnya.
Sebagai makhluk sosial, dalam hidupnya manusia selalu berusaha
menyesuaikan diri dengan manusia lain, demi kelestarian, keamanan dan
ketentraman.4
Kebudayaan dapat menunjukan derajat tingkat peradaban manusia.
Kecuali itu juga bisa menunjukan ciri kepribadian manusia dan
masyarakat pendukungnya. Kebudayaan yang merupakan ciri pribadi
manusia, di dalamnya tekandung norma-norma, tatanan nilai-nilai yang
perlu di miliki dan dihayati oleh setiap manusia atau masyarakat
pendukungnya. Penghayatan terhadap kebudayaan dapat dilakukan dengan
proses sosialisasi.5
Suatu kebudayaan dapat dirumuskan sebagai seperangkat nilai-nilai
dan cara berlaku (kebiasaan) yang dipelajari yang pada umumnya dimiliki
oleh warga dari suatu masyarakat.6 Jadi, kebudayaan menunjukan kepada
beberapa aspek kehidupan. Yang meliputi cara-cara berlaku,
3 Ibnu Rochman. Simbolisme Agama Dan Politik Islam, Dalam Jurnal Filsafat (UGM
Yogyakarta, 2003), 100.
4 Mulyadi Dkk, Upacara Tradisional Sebagai Kegiatan Sosialisasi Daerah Istimewa Yogyakarta
(DEPDIKBUD. Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1982-1983), 1.
5 Koentjoroningrat, Metode-Metode Antropologi Dan Penyelidikan Masayrakat Dan Kebudayaan
Di Indonesia (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1980), 243.
3
kepercayaan dan sikap-sikap, serta hasil darikegiatan manusia yang khas
untuk suatu masyarakat atau kelompok tertentu.7 Suatu unsur kebudayaan
akan tetap bertahan apabila memiliki fungsi atau peranan dalam kehidupan
masyarakatnya, sebaliknya unsur itu akan punah apabila tidak brfungsi
lagi. Demikian pula upacara tradisional sebagai unsur kebudayaan tidak
mungkin kita pertahankan apabila masyarakat pendukungnya sudah tidak
merasakan manfaatnya lagi.8 Dan dalam suatu tradisi selalu ada
hubungannya dengan upacara tradisional.9
Seperti halnya yang terjadi di desa Bejijong kecamatan Trowulan
Mojokerto yang menarik untuk diteliti. Masyarakat Trowulan secara turun
temurun berpegang teguh pada adat dan budaya Jawa. Hal ini tidak lepas
dari pengaruh adat dan budaya pada masa kejayaan Majapahit yang masih
melekat kuat di masyarakat. Diberbagai wilayah di Trowulan terdapat
tradisi yang sampai saat ini masih dilestarikan yakni upacara tradisional
Ruwatan Bulan Purnama, adalah sebagai sarana untuk merenungi segala perbuatan manusia baik itu tingkah laku maupun perkataan dan meminta
ampunan dari Tuhan Yang Maha Esa.10
Candi Brahu merupakan salah satu situs peninggalan Majapahit yang
bernuansa Buddha. Penggunaan Candi Brahu sebagai tempat pelaksanaan
perayaan ritual merupakan sebuah sarana untuk memanfaatkan kembali
situs Candi Brahu sebagai salah satu peninggalan agama Buddha di masa
7 Mulyadi Dkk..., 4. 8 Ibid, 18.
9 Isyanti, Tradisi Merti Bumi Suatu Refleksi Masyarakat Agraris (Dalam Jurnal Sejarah Dan
Budaya, Jantra Volume II Nomer 3, Juni 2007. ISBN 1907-9605), 131.
4
lalu. Pelaksanaan perayaan ritual keagamaan di Candi Brahu dapat
memberikan suasana sakral yang berpadu dengan kemegahan candi yang
berasal dari masa silam.11
Namun pada saat ini candi Brahu hanya digunakan sebagai tempat
sembahyang bagi umat Budha. Waktu sembahyang pun tidak menentu
kapan saja, ujar Suryono sebagai juru kunci candi. Meskipun masyarakat
sekitar Brahu sebagian besar memeluk agama islam mereka tetap
menghargai ritual-ritual yang ada di candi Brahu dan senantiasa menjaga,
serta melestarikannya. Hampir semua ahli sejarah sependapat bahwa
konsep dan arsitek candi berasal dari pengaruh Hindu dari India yang
menyebar pengaruhnya hingga ke Nusantara sekitar abad ke 4 hingga abad
ke 15. Pengertian pengaruh Hindu di sini adalah untuk menyebut semua
bentuk pengaruh yang berasal dari India yang masuk ke nusantara pada
periode yang disebutkan di atas. Pengaruh-pengaruh itu diantaranya agama
atau kepercayaan Hindu dan Budha dengan tata cara ritualnya, bahasa dan
tulisan, konsep kasta dalam masyarakat, sistem pemerintahan feudal (pemerintahan yang dikuasai kaum bangsawan) dan arsitektur bangunan.
Dalam hal ini kita ingat akan kenyataan bahwa sebagian besar dari
candi-candi telah dibongkar pondasinya dan hilang peti pripihnya,
sehingga jelas bahwa setelah rakyat berganti agama mereka masih tahu
benar apa yang menjadi inti dan yang paling penting berharga dari suatu
11 Tjokro Soejono, Trowulan Bekas Ibukota Majapahit (Dinukil Tim Pustaka Jawatimuran Dari
5
candi. Begitu pula sama yang terjadi dengan Candi Brahu, menurut cerita
rakyat bahwa Candi Brahu adalah tempat penyimpana abu jenazah Raja
Brawijaya.12
Aktifitas di Candi Brahu tidak meneninggalkan aktifitas ritual.
Aktifitas ritual setelah pemugaran justru diperlihatkan oleh umat Budha.
Pada Bulan Agustus tahun 2010 diadakan peringatan Hari Besar Asadha.
Setelah itu, pada pada bulan Mei tahun 2011 diadakan peringatan Hari
Raya Waisak secara besar-besaran yang dihadiri kurang lebih oleh 5000
umat Buddha dari berbagai daerah di Indonesia. Dalam perayaan tersebut,
para penganut Buddha melakukan ritual dengan membawa beberapa
perlengkapan upacara, misalnya sesaji, benda-benda ritual, dan alat-alat
ritual untuk melaksanakan ritual oleh segenap umat Buddha yang hadir.
Kalau sekarang ternyata bahwa cerita itu bersumber kepada ketidaktahuan
dan salah pengertian, maka jelas pula mengapa penafsiran candi sebagai
makam tidak mendapat dukungan, apalagi pembuktian, dari bahan-bahan
serta keterangan authentik.
Mereka melakukan upacara-upacara tertentu untuk mengawali,
dalam melakukan kegiatan, dan sesudah melakukan kegiatan keseharian,
kegiatan-kegiatan musiman, atau upacara-upacara ritual keagamaan.
Mereka mempercayai upacara-upacara itu sebagai suatu yang sakral dan
merupakan suatu keharusan atau kewajiban yang apabila tidak mereka
6
lakukan, maka akan menimbulkan terjadinya hal-hal atau sesuatu yang
tidak mereka harapkan yang akan merugikan mereka sendiri.
Selain itu yang menarik bagi penulis adalah dari dulu hingga saat ini
Candi Brahu masih tetap digunakan oleh masyarakat sekitar candi. Dari
situlah penulis ingin meneliti candi tersebut. Penulis dalam kegunaan
proposal skripsi ingin meneliti : “Tradisi Ruwatan Bulan Purnama di
Candi Brahu Trowulan Mojokerto”.
Tetap berlangsung dan lestarinya kegiatan religi tentunya tak bisa
terlepas dari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Hal tersebutlah yang
melatarbelakangi untuk dilakukan penelitian ini.
B. Rumusan Masalah
Dari gambaran umum latar belakang masalah diatas, agar tidak
terjadi pelebaran pembahasan. Penulis akan lebih menekankan penelitian
tersebut terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam Tradisi Ruwatan
Bulan Purnama di Candi Brahu Trowulan. Maka penelitian disusun
berdasarkan rumusan masalah berikut:
1. Bagaimana asal-usul terciptanya Tradisi Ruwatan Bulan Purnama di
Candi Brahu?
2. Bagaimana prosesi Tradisi Ruwatan Bulan Purnama di Candi Brahu?
3. Bagaimana respon umat muslim terhadap Tradisi Ruwatan Bulan
7
C. Tujuan Penelitian
Setiap kegiatan yang dilakukan oleh manusia tentu memiliki tujuan
yang ingin dicapai. Begitupun dengan penelitian ini yang mempunyai
beberapa tujuan sebagai berikut:
1. Untuk memahami latar belakang munculnya tradisi Ruwatan Bulan
Purnama di Candi Brahu.
2. Untuk memahami nilai-nilai Islam yang terkandung dalam Tradisi
Ruwatan Bulan Purnama di candi Brahu.
3. Untuk memenuhi persyaratan kelulusan menempuh Strara satu (S1)
jurusan Sejarah Kebudayaan Islam tahun 2016.
D. Kegunaan Penelitian
Adapun penelitian ini juga memiliki beberapa kegunaan, kegunaan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Memberikan informasi kepada masyarakat tenteng tradisi Ruwatan
Bulan Purnama. Sebagai acuan atau bahan pertimbangan bagi
penelitian-penelitian berikutnya dalam kajian yang sama.
2. Sebagai sumbangsih bagi pengetahuan, terutama dibidang Sejarah dan
Kebudayaan Islam.
E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik
Kebudayaan adalah hasil cipta, karsa, dan rasa manusia yang
mengandung dan mengungkapkan serta merupakan ekspresi jiwa dan
budaya masyarakatnya, dengan demikian sebuah mengandung nilai-nilai
8
mengajarkan dan mengarahkan manusia kepada kegiatan-kegiatan yang
baik. Dengan demikian tradisi dapat dikatakan bahwa disamping
melestarikan warisan budaya juga memberi kebanggaan bagi para
pelaku.13
1. Pendekatan Antropologi
Dalam pembahasan ini penulis akan menggunakan pendekatan
antropologi budaya, yaitu proses pengumpulan data dan mencatat
bahan-bahan guna mengetahui keadaan masyarakat (kelompok etnik)
yang bersangkutan dalam keadaan sekarang tanpa melupakan masa
lampau.14 Dengan pendekatan ini penulis mencoba memaparkan situasi
dan kondisi masyarakat. Antropologi juga memberikan konsep-konsep
tentang kehidupan masyarakat yang akan dikembangkan oleh
kebudayaan dan akan memberikan suatu pemahaman untuk mengisi
latar belakang dari pokok permasalahan yang akan dibahas.
2. Pendekatan Etno-Arkeologi
Dalam penelitian ini pendekatan yang dilakukan peneliti adalah
melalui pendekatan kualitatif Etnoarkeologi, yaitu dengan cara
mengumpulkan data melalui naskah wawancara, media elektrik, dan
buku. Sehingga dapat menjadi suatu kesimpulan atau tujuan dari
peneliti kualitatif yaitu dapat menggambarkan realita dibalik fenomena
secara lebih mendalam, rinci, dan akurat.
13Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam: Pokok-pokok Pikiran Tentang Islam dan Umatnya
(Jakarta: Rajawali, 1986), 97.
9
Menurut Wattimena, Etno-Arkeologi adalah perpaduan atau
gabungan dari ilmu etnografi dan arkeologi yang merupakan salah
satu kajian dalam ilmu arkeologi yang mempelajari dan menggunakan
data etnografi untuk membantu atau menangani pemecahan
masalah-masalah arkeologi. Dengan demikian metode etnografi sangat
dibutuhkan dalam arkeologi, seperti memahami bagaimana suatu
benda memiliki makna dan nilai di mata masyarakat, dan bagaimana
sebuah benda itu berfungsi15.
Menurut Koentjaraningrat, Etnografi secara bahasa berarti tulisan
atau laporan tentang sebuah kebudayaan, yang ditulis oleh peneliti
berdasarkan catatan lapangan. Etnografi merupakan metode penelitian
yang sifatnya holistik-integratif, deskrisi yang dalam, dan analisis
kualitatif dalam rangka mendapatkan pandangan-pandangan
masyarakat yang teliti. Metode ini dapat dilakukan dengan cara
pengumpulan data dalam bentuk wawancara dan observasi
partisipatisi, yang dilakukan dalam jangka waktu yang relative lama16.
Menurut Mundardjito, Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari
budaya manusia melalui jejak peninggalannya (budaya materi).
Budaya materi dipandang sebagai satu bagian yang terorganisir dalam
tubuh budaya, yang mempunyai makna dan nilai karna pernah hidup di tengah masyarakat lampau dan setelah ditinggalkan dia hidup kembali
di tengah masyarakat sekarang. Oleh karena itu, budaya adalah sistem
15Wattimena, Rumah Adat Pesisir Laut Pulau Seram: Tinjauan Awal Etnoarkeologi, Dalam
Jurnal Humaniora Volume 6 (Yogyakarta: FIB UGM, 2014), 266-267.
10
yang komplek, yang melibatkan hubungan antara manusia, benda, dan
lingkungannya17.
Menurut Koentjaraningrat nilai budaya terdiri dari
konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga
masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap mulia. Sistem nilai
yang ada dalam suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan
dalam bertindak. Oleh karena itu, nilai budaya yang dimiliki seseorang
mempengaruhinya dalam menentukan alternatif, cara-cara, alat-alat,
dan tujuan-tujuan pembuatan yang tersedia.18
3. Kerangka Teori
Teori adalah kreasi intelektual, penjelasan beberapa fakta yang
telah diteliti dan telah diambil prinsip umumnya.19 Dalam
Poerwadaminta teori adalah asas-asas dan hukum-hukum yang
menjadi dasar sesuatu kesenian atau ilmu pengetahuan.20
a. Teori Evolusi-Kebudayaan
Evolusi adalah perubahan sifat-sifat terwariskan suatu populasi
organisme dari suatu generasi ke generasi berikutnya yang
berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam teori evolusi disebabkan oleh tiga
proses utama yang paling berkaitan: variasi, reproduksi, dan
17Mundardjito, Hakikat Local Genius Dan Hakikat Data Arkeologi: Dalam Ayatrohaedi,
Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), (Jakarta: Pustaka Jaya,1986), 39.
18Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi (Jakarta: UI Press, 1987), 85.
19Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, Wacana Pergerakan Islam Di Indonesia
(Bandung: Mizan,1996), 63.
11
seleksi. Sifat-sifat yang menjadi dasar evolusi ini dibawa oleh gen
suatu organisme atau makhluk hidup yang diwariskan kepada
keturunannya dan menjadi bervariasi dalam suatu populasi.
Sedangkan kata kebudayaan berasal dari bahasansansekerta
buddhayah yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “akal”. Dengan demikian, kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang
bersangkutan dengan akal.21 Menurut Antropologi, pengertian
kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan manusia yang dijadikan
milik manusia dengan belajar.22
Adapun evolusi kebudayaan terjadi karena proses adaptasi
masyarakat yang hidup di suatu daerah akan menyesuaikan dirinya
dengan keadaan dan kondisi lingkungannya. Menurut para
ekolog-budaya, yang mempengarui adaptasi adalah unsur teknologi dan
ekonomi, kemudian muncul argumen dari beberapa para
ekolog-budaya, bahwa adaptasi juga dipengaruhi oleh psikologis sosial
masyarakat, politik, kegiatan-kegiatan religi dan upacara-upacara.23
b. Teori Fungsionalisme struktural
Teori yang digunakan penulis sebagai alat bantu adalah teori
fungsionalisme struktural, dimana masyarakat merupakan suatu
sistem sosial yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam
21Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), 181. 22Ibid, 180.
12
keseimbangan.24 Dengan demikian, penulis mencoba menganilisa
data yang telah dihimpun untuk menjelaskan Tradisi Ruwatan Bulan Purnama Di Candi Brahu dan penulis mencoba memaparkan latar belakang pelaksanaan Tradisi Ruwatan Bulan Purnama yang dihubungkan dengan teori antropologi dan etnoarkeologi, yaitu penulis menganilisa dapatkah nilai-nilai di atas
mendasari perilaku keagamaan penganut tradisi tersebut.
F. Penelitian Terdahulu
Sebagaimana bahan rujukan dari penelusuran yang terkait dengan
tema yang diteliti, peneliti berusaha untuk mencari referensi hasil
penelitian yang dikaji oleh peneliti terdahulu sehingga dapat membantu
peneliti dalam mengkaji tema yang diteliti. Diantara hasik penelitian yang
telah dilakukan oleh beberapa peneliti yaitu:
1. Skripsi yang ditulis oleh Ninda Ayu Sinaningrum yang berjudul Studi Tentang Candi Brahu: Kajian Terhadap Fungsi Candi tahun 2015.
Skripsi ini menjelaskan tentang fungsi bangunan Candi Brahu yang
digunakan sebagai tempat pembakaran dan penyimpaanan jenazah para
raja Brawijaya I-IV.
2. Skripsi yang di tulis oleh Naning Silvina Abadiyah yang berjudul
Pemanfaatan Situs Candi Brahu Sebagai Tempat Ritual Agama Buddha Setelah Tahap Pemugaran Tahun 1995-2011. Skripsi ini menjelaskan tentang fungsi Candi Brahu sebagai tempat ritual
24Goerge Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda (Jakata: Raja Grafindo
13
pemujaan umat Buddha pada hari-hari besar atau hari penting agama
Buddha.
3. Skripsi yang ditulis oleh Dewi Zulaikah yang berjudul Nilai Islam Dalam Tradisi Baritan Di Desa Wringinpitu Kabupaten Banyuwangi Tahun 2015. Skripsi ini menjelaskan tentang tradisi baritan untuk meminta turunya hujan dan kesuburan tanah.
4. Skripsi yang ditulis oleh Atik Chafidatul Ilmi yang berjudul Upacara Wiwit Di Desa Ngagrok Kecamatan Krian Kabupaten Sidoarjo Tahun 2005. Skripsi ini menjelaskan tentang upacara atau tradisi wiwitan yaitu pemujaan terhadap roh-roh nenek moyang yang bersemayam di
wiwitan (pohon) yang sangat besar, rimbun, dan telah berusia puluhan
tahun dan tumbuhnya di tengah pesawahan.
Dari hasil referensi yang ditemukan oleh penulis diatas, belum ada
penelitian yang mendalam terkait dengan “Tradisi Ruwatan Bulan Purnama Di Candi Brahu Trowulan Mojokerto” ditinjau dari sudut pandang sejarah kebudayaan islam. Oleh karena itu, penulis mencoba
meneliti “Tradisi Ruwatan Bulan Purnama Di Candi Brahu Trowulan Mojokerto” secara mendalam dengan upaya untuk kelanjutan dan pelengkap bagi beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.
G. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah strategi umum yang dianut dalam
pengumpulan data yang diperlukan, guna untuk menjawab persoalan yang
14
yaitu penelitian yang dilakukan karena adanya hasrat keinginan manusia
untuk mengetahui, yang berawal dari kekaguman manusia akan alam yang
dihadapi, baik alam semesta ataupun sekitar.25
Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan jenis penelitian
lapangan (field research). Penelitian ini pada hakikatnya untuk menemukan secara spesifik tentang tradisi Ruwatan Bulan Purnama.
Untuk mendapatkan hasil penelitian yang sesuai dengan harapan, maka
penelitian dilakukan dengan metode pengumpulan data dan metode
analisis data.
1. Metode Pengumpulan Data
Adapun metode pengumpulan data yang penulis gunakan dalam
penelitian ini adalah:
a. Metode Observasi (Pengamatan)
Metode ini diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan
dengan sistemati fenomena-fenomena yang sedang di selidiki.26
Metode observasi adalah metode pengumpulan data dengan
menggunakan indra, terutama indra penglihatan dan pendengaran.
Observasi sendiri dapat diartikan pengamatan secara sistematis
terhadap gejala-gejala yang diamati. Metode ini disamping untuk
melengkapi data yang penulis perlukan juga penulis gunakan untuk
menguji kebenaran data yang diperoleh dari interview.
15
b. Metode Interview
Yaitu wawancara dengan cara mengadakan tanya jawab
secara terarah guna mendapatkan keterangan yang aktual dan
positif dari responden sesuai dengan yang diteliti.27 Interview atau
wawancara adalah suatu bentuk komunikasi verbal, jadi semacam
percakapan yang bertujuan untuk memperoleh informasi. Penulis
melakukan tanya jawab dengan pihak-pihak yang mengetahui dan
juga para pelaku tradisi Ruwatan Bulan Purnama dapat
menjelaskan secara panjang lebar mengenai makna tradisi ini.
c. Metode Dokumentasi
Dalam metode dokumentasi ini penulis mengumpulkan data
yang bersifat primer. Penulis menggunakan data ini, berupa
foto-foto tentang tradisi Ruwatan Bulan Purnama, hasil wawancara atau
cerita lisan dari narasumber, adapun narasumber tersebut adalah
pencipta tradisi Ruwatan Bulan Purnama dan para tokoh-tokoh
masyarakat dan kemudian didukung dengan data-data sumber
tertulis, seperti buku, majalah, monografi serta sumber lain yang
penulis peroleh dari dari lapangan mengenai topik yang sesuai
dengan pembahasan.
16
2. Metode Analisis Data
a. Deskriptik-analitik
Yaitu menguraikan data-data yang ada atau
menterjemahkan sehingga menjadi jelas dan konkret. Dari
pembahasan yang sifatnya deskripsi ini, penulis memberikan
gambaran mengenai data-data yang termaksuk seputar nilai Islam
dan budaya lokal yang terkandung dalam tradisi Ruwatan Bulan
Purnama.
b. Interpretasi
Metode interpretasi digunakan untuk mengungkap makna
terhadap bermacam-macam fakta. Yaitu memahami dan
menyelami data yang terkumpul lalu menangkap arti dan nuansa
yang dimaksud atau menerjemah makna simbol-simbol yang
terkandung didalamnya. Dengan metode interpretasi ini
dimaksudkan untuk dapat menterjemahkan makna filosofis yang
terdapat dalam tradisi Ruwatan Bulan Purnama sehingga dapat
diketahui maksud dan makna yang terkandung didalamnya.
c. Penulisan
Setelah melewati beberapa tahap diatas, dalam tahap ini
penulis menguraikan data yang diperoleh secara deskriptif dengan
cara menuliskannya dalam kata-kata, kalimat dalam bentuk narasi
17
berkaitan, sehingga menghasilkan karya ilmiah yang dapat dibaca
dan dapat memberikan manfaat pada para pembacanya.
H. Sistematika Pembahasan
Dalam suatu pembahasan diperlukan suatu rangkaian yang
sistematis dan saling berkaitan antara satu dengan yang lain, sehingga
dapat menyajikan suatu hasil yang maksimal. Untuk itu diperlukan
sistematika pembahasan dari bab perbab. Adapun sistematika pembahasan
tersebut adalah sebagai berikut:
Bab I adalah pendahuluan yang terdiri dari latarbelakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, tinjauan pustaka,
landasan teori, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Isi pokok
dari bab ini merupakan gambaran umum dari keseluruhan penelitian yang
akan dilakukan, sedangkan uraian yang lebih rinci akan dijelaskan pada
bab-bab berikutnya.
Bab II membahas tentang gambaran umum dari kecamatan
Trowulan dan desa Bejijong selaku daerah yang melatarbelakangi tradisi
Ruwatan Bulan Purnama, baik dari segi geografis dan demografis yang
meliputi kondisi sosial buadaya, ekonomi, keagamaan, dan pendidikan.
Pembahasan ini sangat penting karena untuk mengetahui kondisi dan
situasi secara umum daerah dan gambaran tentang pembahasan yang akan
dikaji.
Bab III membahas tentang deskripsi tradisi Ruwatan Bulan
18
meliputi; pelaku, acara, dan nilai norma. Pembahasan ini dimaksudkan
untuk memberikan gambaran tentang tradisi Ruwatan Bulan Purnam dan
unsur-unsur yang terdapat di dalamnya.
Bab IV membahas tentang yang respon masyarakat muslim dalam
tradisi Ruwatan Bulan Purnama. Bab ini bertujuan untuk menjelaskan
tentang nilai-nilai keislaman serta nilai budaya lokal pada tradisi Ruwatan
Bulan Purnama.
Bab V atau penutup, bab ini meliputi kesimpulan dari pembahasan
secara keseluruhan dan saran-saran. Dalam bab ini akan diambil suatu
kesimpulan hasil pembahasan untuk menjelaskan dan menjawab
permasalahan yang ada, serta memberikan kesimpulan yang bertitik tolak
19
BAB II
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA BEJIJONG KECAMATAN
TROWULAN MOJOKERTO DAN KEBEBERDAAN CANDI BRAHU
A. Letak Geografis
Kondisi umum daerah penelitian di deskripsikan bertujuan untuk
memberikan gambaran yang jelas mengenai keadaan penelitian dan objek
penelitian yang berhubungan dengan masalah penelitian. Latar belakang
yang di deskripsikan meliputi kondisi fisik dan kondisi sosial daerah
penelitian. Trowulan merupakan wilayah yang banyak dengan nilai-nilai
historis yang meliputinya, hal ini dapat kita lihat dari perjalanan Trowulan
sebagai sebuah pemukiman. Pada masa Majapahit, Trowulan disebut
dengan Wilwatikta atau yang terkenal dengan ibukotanya kerajaan Majapahit.
Trowulan adalah sebuah kecamatan yang ada di kabupaten
Mojokerto, Jaawa Timur, Indonesia. Kecamatan ini terletak di bagian barat
kabupaten Mojokerto yang berbatasan dengan wilayah kabupaten
Jombang. Trowulan sendiri terletak di jalan nasional yang
menghubungkan Surabaya-Solo.28 Dengan luas wilayah 3.704.320 Ha
[image:30.595.140.508.110.644.2]
20
Gambar 2.1. Peta kecamatan Trowulan.
1. Letak Geografis Desa Bejijong
Desa Bejijong adalah satu desa yang paling barat dan desa yang
paling dekat dengan kantor Kecamatan Trowulan ± 0 Km, desa ini
letaknya berbatasan dengan Kecamatan wilayah Kabupaten Jombang,
dengan batas-batas :
a) Perbatasan sebelah timur : Desa Trowulan
b) Perbatasan sebelah barat : Kecamatan Mojoagung–Jombang
c) Perbatasan sebelah selatan : Desa Trowulan
d) Perbatasan sebelah utara : Desa Kejagan
2. Luas Wilayah
Luas keseluruhan wilayah desa Bejijong ini ± 195,185 Ha
dengan penggunaan lahan 127 Ha sebagai tanah sawah dan 68,185 Ha
sebagai tanah darat, sedangkan secara adminstratif Desa Bejijong
21
a) Dusun Bejijong : ± 116.848 Ha
b) Dusun Kedungwulan : ± 78.337 Ha
3. Topografi dan Klimatologi
Secara topografi jenis tanah di Desa Bejijong adalah tanah
regesol dengan perbandingan struktur tanah 60% pasir dan 40% tanah
lumpur. Dalam mencukupi kebutuhan air untuk pengairan sawah Desa
Bejijong dari saluran Candi Limo Kecamatan Jatirejo dan Sumur Bor
Bampres di Dukuh Kedungwulan yang dapat mengairi sawah ±
127.023 Ha, baik dimusim hujan maupun musim kemarau.
Desa Bejijong secara umum beriklim tropis dengan suhu
rata-rata berkisar antara 240-290C sedangkan curah hujan menunjukkan
bulan basah selama 6 bulan rata-rata ± 1508 mm. Desa Bejijong bila
musim penghujan merupakan tumpuan/buangan air dari atas,
sedangkan pada musim kemarau air sulit didapat.29
Secara umum wilayah kota mojokerto dibagi menjadi 2
kecamatan, 18 kelurahan, 661 rukun tetangga (RT), 177 rukun warga
(RW) dan 70 dusun atau lingkungan. Kota mojokerto merupakan
satu-satunya daerah di Jawa Timur, bahakan di Indonesia yang memiliki
satuan wilayah maupun luas wilayah terkecil dengan kepadatan
penduduk yang tinggi.30
29Data, Profil Desa Bejijong Tahun 2015
22
B. Demografi
1. Jumlah Penduduk Desa Bejijong
Menurut data jumlah penduduk Desa Bejijong tahun 2015,
jumlah penduduk keseluruhan sebanyak 3.874 jiwa yang terdiri dari
1.208 kepala keluarga. Penduduk dengan usia 4 tahun memiliki
jumlah terbanyak dibandingkan dengan penduduk usia yang lain yaitu
sebanyak 90 jiwa. Jumlah penduduk berdasarkan umur dapat dilihat
[image:32.595.138.519.203.756.2]pada tabel sebagai berikut:
Tabel 2.1. Jumlah Penduduk Desa Bejijong Menurut Umur Tahun
2015.
No. Umur Penduduk Jumlah No. Umur Jumlah Penduduk
1 < 1 tahun 62 jiwa 31 30 tahun 46 jiwa
2 1 tahun 64 jiwa 32 31 tahun 44 jiwa
3 2 tahun 85 jiwa 33 32 tahun 43 jiwa
4 3 tahun 78 jiwa 34 33 tahun 39 jiwa
5 4 tahun 90 jiwa 35 34 tahun 46 jiwa
6 5 tahun 88 jiwa 36 35 tahun 50 jiwa
7 6 tahun 87 jiwa 37 36 tahun 68 jiwa
8 7 tahun 88 jiwa 38 37 tahun 47 jiwa
9 8 tahun 65 jiwa 39 38 tahun 37 jiwa
10 9 tahun 78 jiwa 40 39 tahun 32 jiwa
11 10 tahun 61 jiwa 41 40 tahun 29 jiwa
12 11 tahun 69 jiwa 42 41 tahun 29 jiwa
13 12 tahun 49 jiwa 43 42 tahun 21 jiwa
14 13 tahun 42 jiwa 44 43 tahun 31 jiwa
15 14 tahun 59 jiwa 45 44 tahun 32 jiwa
16 15 tahun 59 jiwa 46 45 tahun 32 jiwa
17 16 tahun 88 jiwa 47 46 tahun 78 jiwa
18 17 tahun 80 jiwa 48 47 tahun 41 jiwa
19 18 tahun 72 jiwa 49 48 tahun 27 jiwa
23
21 20 tahun 75 jiwa 51 50 tahun 26 jiwa
22 21 tahun 75 jiwa 52 51 tahun 26 jiwa
23 22 tahun 45 jiwa 53 52 tahun 28 jiwa
24 23 tahun 74 jiwa 54 53 tahun 28 jiwa
25 24 tahun 74 jiwa 55 54 tahun 23 jiwa
26 25 tahun 73 jiwa 56 55 tahun 20 jiwa
27 26 tahun 77 jiwa 57 56 tahun 21 jiwa
28 27 tahun 43 jiwa 58 57 tahun 34 jiwa
29 28 tahun 45 jiwa 59 58 tahun 47 jiwa
30 29 tahun 44 jiwa 60 tahun > 59 79 jiwa Sumber : Profil Desa Bejijong Tahun 2015.
2. Kepadatan Penduduk Desa Bejijong
Menurut data jumlah penduduk Desa Bejijong tahun 2015, Desa
Bejijong memiliki jumlah penduduk sebanyak 3.874 jiwa sedangkan
luas wilayahnya adalah 195,185 Ha atau 1,95 km2 sehingga dapat
diketahui kepadatan penduduk Desa Bejijong sebagai berikut:
Kepadatan Penduduk = Jumlah PendudukLuas Wilayah
= ,
= 1987 jiwa/km2
Hal ini berarti kepadatan penduduk di Desa Bejijong secara
umum adalah 1987 jiwa/ km2 atau setiap 1 km2 wilayah Desa Bejijong
dihuni oleh 1987 jiwa.
3. Sex Ratio Penduduk Desa Bejijong
Sex ratio adalah perbandingan banyaknya penduduk laki-laki
per 100 penduduk perempuan. Menurut data jumlah penduduk Desa
24
terdiri dari 1.913 jiwa penduduk laki-laki dan 1.961 jiwa penduduk
perempuan. Berdasarkan data tersebut dapat dihitung sex ratio Desa
Bejijong adalah sebagai berikut:
Sex Ratio = ∑Penduduk Perempuan ∑Penduduk Laki−laki × 100
= × 100
= 98
Desa Bejijong memiliki angka sex ratio sebesar 98 dengan
demikian berarti bahwa setiap 100 penduduk perempuan terdapat 98
penduduk laki-laki. Hal ini berarti populasi laki-laki di desa Bejijong
lebih sedikit dibandingkan populasi penduduk perempuan.31
4. Mata Pencaharian
Berikut adalah komposisi penduduk menurut mata pencaharian
untuk menggambarkan kondisi sosial penduduk Desa Bejijong:
Tabel 2.2. Jumlah Penduduk Desa Bejijong Menurut Mata
PencaharianTahun 2015.
No. Jenis Mata Pencaharian
Jumlah
(jiwa)
Persentase
(%)
1 Petani 179 15,26
2 Buruh tani 252 21,48
3 Karyawan 105 8,95
[image:34.595.131.512.188.717.2]
25
Swasta
4 Pengrajin 412 35,12
5 PNS 88 7,50
6 Pedagang 38 3,24
7 Montir 5 0,43
8 TNI/POLRI 8 0,68
9 Dokter 2 0,17
10 Perawat/bidan 6 0,51
11 Lain-lain 78 6,65
Sumber : Profil Desa Bejijong Tahun 2015.
Berdasarkan tabel jumlah penduduk menurut mata pencaharian
tahun 2015 bahwa penduduk Desa Bejijong pekerjaan yang paling
banyak digeluti adalah sebagai pengrajin dengan jumlah 412 jiwa atau
sebesar 35,12%. Jenis kerajinan yang ditekuni masyarakat desa
Bejijong adalah sebagai pengrajin cor kuningan yang kegiatannya
tersebar di desa Bejijong khususnya di dusun Kedungwulan.32
C. Kondisi Sosial Masyarakat
1. Pendidikan
Ciri khas manusia adalah kemampuannya dalam mendidik dan
dididik melalui aktivitas pendidikan. Dalam masyarakat unsur
pendidikan dan kebudayaan merupakan dua hal yang tidak terpisahkan
dan saling berkaitan. Pendidikan adalah aktivitas dari kebudayaan dan
26
merupakan aktivitas pembudayaan, disisi lain kebudayaan
menjelmakan aktivitas, sistem, dan struktur pendidikan. Oleh karena
itu masyarakat tradisional meupun modern selalu mengandung unsur
pendidikan yang berusaha memperkenalkan dan membawa
masyarakat kearah kebudayaannya.33
Kondisi pendidikan masyarakat desa Bejijong dapat dikatakan
masih rendah, hal ini dikarenakan sebagian besar penduduknya
merupakan tamatan SD sederajat dengan jumlah 1.206 jiwa atau
sebesar 40,61% dari keseluruhan penduduknya. Sedangkan pada
urutan yang kedua adalah penduduk dengan tamatan SLTP sederajat
dengan jumlah 804 jiwa atau 27,07 %.34 Data kondisi pendidikan
[image:36.595.134.520.273.706.2]penduduk Desa Bejijong dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.3. Kondisi Pendidikan Penduduk Desa Bejijong
Tahun 2015.
No. Pendidikan Jumlah
(jiwa)
Persentase
(%)
1 Belum sekolah 125 4,21
2 Tidak pernah sekolah 46 1,55
3 Tidak tamat SD 34 1,14
4 Tamat SD sederajat 1206 40,61
33Oemar Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), 88.
27
5 Tamat SLTP sederajat 804 27,07
6 Tamat SLTA sederajat 664 22,36
7 Program Diploma D1,D2,D3 39 1,31
8 Program Sarjana S1,S2,S3 52 1,75
Sumber : Profil Desa Bejijong Tahun 2015.
2. Agama dan Kepercayaan
Pada masa Majapahit, masyarakat trowulan menganut agama
Hindu, buddha. Kepercayaan lokal dan agam Islam juga berkembang
pada masa itu. Raja atau pemimpin masyaraakat memeluk satu agama,
tapi juga menjadi pelindung bagi para pemeluk agama lain.
Kehidupan beragam masyarakat Trowulan saat ini tidak jauh
berbeda dengan masyarakat pada zaman Majapahit. Semua agama
yang ada di Indonesia juga berkembang di Trowulan. Meskipun
pemeluk agama yang beragam, masyarakat Trowulan bisa hidup
damai dan penuh dengan kerukunan serta saling menghargai.
Pada hakikatnya agama berfungsi melayani kebutuhan individu
dan kelompok karena agama membantu individu memahami dirinya,
sekitarnya dan kehidupan sesudah mati, dan nilai-nilai agama
mendasari hidup juga tingkah laku manusia dalam hidup
bermasyarakat, sehingga masyarakat mengetahui segala hal yang
benar dan diridhoi oleh Tuhan, dan segala yang melanggar ajarannya.
28
manusia yang berbudaya.35 Berikut ini data agama yang dianut
[image:38.595.138.513.239.535.2]penduduk Desa Bejijong:
Tabel 2.4. Jumlah Penduduk menurut Agama yang Dianut Tahun
2015.
No. Agama Jumlah (jiwa) Persentase (%)
1 Islam 3849 99,35
2 Kristen 17 0,44
3 Katholik - -
4 Budha 8 0,21
5 Hindu - -
Sumber : Profil Desa Bejijong Tahun 2015.
Berdasarkan data jumlah penduduk menurut agama, dapat
diketahui bahwa sebagian besar atau hampir seluruh penduduk Desa
Bejijong menganut agama Islam dengan jumlah 3.849 jiwa atau
sebesar 99,35%. Penduduk dengan penganut agama Kristen sebanyak
17 jiwa, Budha sebanyak 8 orang, sedangkan untuk agama Katholik
dan Hindu tidak ada.36
35Oemar Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008) 92.
29
3. Kondisi Sosial Budaya
Sebagaimana layaknya sebuah desa, watak penduduk masih
nampak sebagai warga pedesaan. Dalam hal ini adalah rasa
membedakannya dengan masyarakat perkotaan yang individualisme
dan selalu mementingkan kepentingan sendiri. Kehidupan sosial
mayarakat Trowulan menggambarkan suasana yang harmonis, tidak
ada perbedaan yang mencolok dalam tingkat status sosial maupun
dalam derajat serta hubungan darah. Hal ini menunjukan suasana
kehidupan masyarakat Trowulan penuh sifat kekeluargaan dan juga
saling gotong-royong. Hal ini disebabkan karena tempat tinggal yang
memiliki ikatan kekeluargaan dan adat-istiadat yang sama, serta rasa
solidaritas yang tinggi dalam masyarakat.
Bentuk dari gotong-royong dapat dilihat ketika salah satu warga
ada meninggal dunia, maka yang lainnya datang dan membantu
mempersiapkan memandikan jenazah dan kebutuhan pemakaman.
Sedangkan yang ibu-ibu yang datang untuk melayat (ta’ziyah) dengan
membawa beras yang akan diberikan kepada keluarga yang terkena
musibah. Begitu pula jika ada salah satu penduduk membangun
rumah, maka warga lainya akan membantu pada hari pertama
membangun atau biasa disebut dalam bahasa Jawa dengan istilah
30
D.Keberadaan Candi Brahu
Candi Brahu didirikan oleh Mpu Sindok yang sebelumnya ia
merupakan raja dari Kerajaan Mataram Kuno yang ada di Jawa Tengah.
Hal ini dijelaskan dari nama Brahu dihubungkan diperkirakan berasal dari
kata 'Wanaru' atau 'Warahu', yaitu nama sebuah bangunan suci keagamaan yang disebutkan di dalam prasasti tembaga 'Alasantan'.
Struktur bangunan candi Brahu terdiri dari kaki candi, tubuh candi
dan atap candi. Kaki candi terdiri dari bingkai bawah, tubuh candi serta
bingkai atas. Bingkai tersebut terdiri dari pelipit rata, sisi genta dan
setengah lingkaran. Dari penelitian yang terdapat pada kaki candi
diketahui terdapat susunan bata yang strukturnya terpisah, diduga sebagai
kaki candi yang dibangun pada masa sebelumnya. Ukuran kaki candi lama
ini 17,5 x 17 m. Dengan demikian struktur kaki yang sekarang merupakan
tambahan dari bangunan sebelumnya. Kaki candi Brahu terdiri dari dua
tingkat dengan selasarnya serta tangga di sisi barat yang belum diketahui
bentuknya dengan jelas.
Candi Brahu berdenah bujur sangkar, menghadap ke barat. Pada
keempat sisinya terdapat penampil (bagian yang menjorok keluar). Ruang
yang menghadap ke barat merupakan ruang utama, disini terdapat altar
(tempat sesaji) tetapi dinding temboknya sudah runtuh. Menurut cerita
rakyat candi Brahu adalah makam dari raja Brawijaya I sampai dengan IV.
Menurut cerita rakyat, Candi Brahu berfungsi sebagai perabuhan atau
31
rakyat tersebut. Bilik Candi saat ini telah kosong, tetapi didinding timur
bilik masih terdapat Altar tempat sesaji. Namun saat ini setelah banyak
sejarawan yang meneliti tidak ditemukan sisa-sisa abu ataupun bekas abu
[image:41.595.136.510.226.546.2]di dalam Candi.
Gambar 2.2. Candi Brahu.
Selain itu Candi Brahu merupakan salah satu candi yang
mempunyai gaya candi yang berbeda dengan yang lainnya, sebab
berdasarkan wujud arsitektur yang masi bertahan hingga koni. Bangunan
Hindu-Budha di wilayah Jawa Timur yang berkembang antara abad ke-13
dan abad-16 dapat dibagi ke dalam lima gaya, yaitu gaya Singhasari, gaya
candi Brahu, gaya candi Jago, candi Batur, dan Punden Berundak.37
32
Candi Brahu merupakan salah satu situs peninggalan Majapahit
yang bernuansa Buddha. Penggunaan Candi Brahu sebagai tempat
pelaksanaan perayaan ritual merupakan sebuah sarana untuk
memanfaatkan kembali situs Candi Brahu sebagai salah satu peninggalan
agama Buddha di masa lalu. Pelaksanaan perayaan ritual keagamaan di
Candi Brahu dapat memberikan suasana sakral yang berpadu dengan
kemegahan candi yang berasal dari masa silam. Hal ini juga diperjelas oleh
salah satu Bhiksu yang pada waktu itu ikut serta dalam melaksanakan
kegiatan ritual tersebut.
Bentuk tubuh candi Brahu tidak tegas persegi, melainkan bersudut
banyak, tumpul dan berlekuk. Bagian tengah tubuhnya melekuk ke dalam
seperti pinggang. Lekukan tersebut dipertegas dengan pola susunan batu
bata pada dinding barat atau dinding depan candi. Atap candi juga tidak
berbentuk prisma bersusun atau segi empat, melainkan bersudut banyak
dengan puncak datar. Candi Brahu dibangun dari bata yang direkatkan satu
sama lain dengan sistem gosok. Bagian tubuh candi Brahu sebagian besar
merupakan susunan batu bata baru yang dipasang pada masa pemerintahan
Belanda. Sebagian besar candi-candi di Trowulan dibangun menggunakan
batu bata merah, karena mengandung unsur religi atau kepercayaan.
Berdasarkan gaya bangunan serta profil sisa hiasan yang berdenah
lingkaran pada atap candi yang diduga sebagai bentuk stupa, para ahli
menduga bahwa candi Brahu bersifat Budhis. Selain itu diperkirakan candi
33
situs Trowulan bahkan lebih tua dari kerajaan Majapahit itu sendiri. Dasar
dugaan ini adalah prasasti tembaga Alasantan yang ditemukan kira-kira
sekitar 45 m di sebelah barat candi Brahu. Prasasti tersebut dikeluarkan
oleh raja Empu Sendok dari Kahuripan pada tahun 861 Saka atau 9
September 939 M. Diantara isinya menyebutkan nama sebuah bangunan
suci yaitu wanaru atau warahu. Nama istilah inilah yang diduga sebagai
asal nama candi Brahu sekarang.38
Candi ini adalah gambaran percampuran tradisi keagamaan antara
agama Hindu dan agama Budha, Awalnya candi ini berfungsi sebagai
tempat pembakaran raja-raja Majapahit . Namun asumsi tersebut tidak
terbukti. Dan dengan gambaran percampuran tradisi tersebut, hingga saat
ini pemeliharaan candi Brahu dilakukan oleh kedua agama tersebut.
Berbeda dengan ritual pemujaan pada situs pemujaan lainnya, di sini
aktifitas tersebut dilakukan hanya dengan cara meletakkan sesaji pada
bagian depan dan pintu candi yang menghadap ke arah barat.
Namun pada saat ini candi Brahu hanya digunakan sebagai tempat
sembahyang bagi umat Budha. Waktu sembahyang pun tidak menentu
kapan saja, ujar Suryono sebagai juru kunci candi. Meskipun masyarakat
sekitar Brahu sebagian besar memeluk agama islam mereka tetap
menghargai ritual-ritual yang ada di candi Brahu dan senantiasa menjaga,
serta melestarikannya. Hampir semua ahli sejarah sependapat bahwa
34
konsep dan arsitek candi berasal dari pengaruh Hindu dari India yang
menyebar pengaruhnya hingga ke Nusantara sekitar abad ke 4 hingga abad
ke 15. Pengertian pengaruh Hindu di sini adalah untuk menyebut semua
bentuk pengaruh yang berasal dari India yang masuk ke nusantara pada
periode yang disebutkan di atas. Pengaruh-pengaruh itu diantaranya agama
atau kepercayaan Hindu dan Budha dengan tata cara ritualnya, bahasa dan
tulisan, konsep kasta dalam masyarakat, sistem pemerintahan feudal (pemerintahan yang dikuasai kaum bangsawan) dan arsitektur bangunan.
Dalam hal ini kita ingat akan kenyataan bahwa sebagian besar dari
candi-candi telah dibongkar pondasinya dan hilang peti pripihnya,
sehingga jelas bahwa setelah rakyat berganti agama mereka masih tahu
benar apa yang menjadi inti dan yang paling penting berharga dari suatu
candi. Begitu pula sama yang terjadi dengan Candi Brahu, menurut cerita
rakyat bahwa Candi Brahu adalah tempat penyimpanan abu jenazah Raja
Brawijaya.39
Aktifitas di Candi Brahu tidak meneninggalkan aktifitas ritual.
Aktifitas ritual setelah pemugaran justru diperlihatkan oleh umat Budha.
Pada Bulan Agustus tahun 2010 diadakan peringatan Hari Besar Asadha.
Setelah itu, pada pada bulan Mei tahun 2011 diadakan peringatan Hari
Raya Waisak secara besar-besaran yang dihadiri kurang lebih oleh 5000
umat Buddha dari berbagai daerah di Indonesia. Dalam perayaan tersebut,
para penganut Buddha melakukan ritual dengan membawa beberapa
35
perlengkapan upacara, misalnya sesaji, benda-benda ritual, dan alat-alat
ritual untuk melaksanakan ritual oleh segenap umat Buddha yang hadir.
Kalau sekarang ternyata bahwa cerita itu bersumber kepada ketidaktahuan
dan salah pengertian, maka jelas pula mengapa penafsiran candi sebagai
makam tidak mendapat dukungan, apalagi pembuktian, dari bahan-bahan
serta keterangan authentik.
Perekonomian masyarakat sekitar candi Brahu sangat terbantu
dengan keberadaan candi Brahu tersebut. Masyarakat skitar candi Brahu
juga mengenal dan mempercayai adanya hal-hal yang bersifat ghaib.
Kepercayaan yang bersifat ghaib tersebut merupakan hal yang mereka
anggap penting untuk dilakukan demi kepentingan mereka. Masyarakat
sekitar candi Brahu memiliki keahlian, mereka hidup dengan bertani. Hal
ini terlihat seperti terlintas sewaktu hampir sampai di lokasi candi Brahu
yaitu lading-ladang yang sangat luas dan siap memanen (pada waktu
observasi). Jadi dapat dikatakan kehidupan sosial mereka juga
terpengaruhi oleh kehidupan sosial kehidupan leluhur mereka. Seperti
upacara-upacara dalam hal pembangunan bangunan, pembuatan kesenian,
dan lain sebagainya. Hal ini tidak hanya dapat ditemikan di
Trowulan,melainkan dapat ditemukan hampir di seluruh wilayah Jawa,
kehidupan sosial masyarakat Jawa tidak jauh-jauh dari hal-hal klenik atau
mistis.
Mereka melakukan upacara-upacara tertentu untuk mengawali,
36
kegiatan-kegiatan musiman, atau upacara-upacara ritual keagamaan.
Mereka mempercayai upacara-upacara itu sebagai suatu yang sakral dan
merupakan suatu keharusan atau kewajiban yang apabila tidak mereka
lakukan, maka akan menimbulkan terjadinya hal-hal atau sesuatu yang
37
BAB III
VESKRIPSI TRAVISI RUWATAN BULAN PURNAMA
VI CANVI BRAHU TROWULAN
A. Asal-Usul Tradisi Ruwatan Bulan Purnama
Masyarakat Jawa banyak melahirkan tradisi yang masih
dilaksanakan sampai saat ini. Menurur Warner, masyarakat adalah suatu
kelompok perorangan yang berinteraksi timbal balik, dimana
konsekuensinya adalah jika hubungan manapun dari konfigurasi sosial
tertentu dirangsang, maka akan mempengaruhi semua bagian lain dan
sebaliknya akan dipengaruhi oleh bagian-bagian.40
Kebudayaan yang paling banyak ditemukan yaitu kebudayaan
Jawa. Awalnya agama yang dianut oleh masyarakat di pulau Jawa yaitu
Animisme dan Dinamisme yang kemudian dimasuki oleh agama lain
seperti Hindu-Buddha. Menurut Soerjono Soekanto, masyarakat adalah
jalinan hubungan sosial dan masyarakat selalu berubah.41
Seperti tradisi yang masih dilestarikan dan dilaksanakan oleh orang
Jawa khususnya masyarakat desa Bejijong kecamatan Trowulan
Mojokerto, yaitu tradisi ruwatan bulan purnama. Dimana pada saat bulan
purnama masyarakat melaksanakan tradisi ritual pensucian atau
pembersihan diri atau biasa disebut dengan ruwatan. Tradisi ini dinamakan
tradisi ruwatan bulan purnama karena prosesinya dilaksanakan ketika tiba
waktu bulan purnama. Dan tempat prosesi dilaksanakan di candi Brahu,
38
karena candi Brahu merupakan satu-satunya candi di Trowulan dan sejak
dahulu ritual yang dilakukan di candi Brahu.42
Ruwatan adalah tradisi Jawa sebagai sarana pembebasan dan
pensucian atas dosa-dosa atau kesalahan yang diperkirakan bisa
berdampak kesialan di dalam hidupnya. Ruwatan berasal dari kata ruwat
yang berarti; 1) luar saka panenung (wewujudan sing salah kedaden), 2)
luar saka ing beban lan paukumaning dewa; ruwatan berarti selametan.43
Tujuan diadakannya ruwatan adalah agar manusia selamat, terhirdar dari
bahaya, kesialan, bebas dari kutukan jahat sehingga dapat hidup dengan
aman, nyaman dan tentram.
Secara umum arti ruwatan adalah merawat atau memelihara,
namun tidak diartikan merawat atau memelihara lahirnya saja akan tetapi
juga batin atau jiwanya juga. Disamping itu makna ruwatan sendiri bagi
masyarakat Jawa yaitu meng hilangkan bala atau kala yang artinya
kesialan dan bahaya dalam cerita perwayangan. Dan setidaknya acara
ritual ini secara tidak langsung menjadi suatu kebutuhan yang harus
dipenuhi bagi masyarakat Jawa. Karena jika diartikan sebagai kewajian
maka masyarakat akan bermalas-malasan utuk melakukannya. Berbeda
halnya jika di hukumi sebagai kebutuhan, bagaimanapun dan apapun
kondisinya pasti akan tetap dilakukan karena hal itu menjadi suatu
kebutuhan bagi mereka.
42Yudha, Wawancara, 24 Mei 2016 Di Candi Brahu Trowulan.
43Poerwadarminta. W.J.S., Baoesastra Djawa (Batavia: J.B. Wolters Uitgevers-Maatschappij N.V.
39
Pada jaman kerajaan Majapahit tradisi Ruwatan Bulan Purnama
digunakan juga untuk penobatan suatu jabatan yang melibat semua elemen
masyarakat dan juga para petinggi kerajaan. Namun ada perbedaan untuk
tradisi ini yang masih dilakukan sampai sekarang. Dari pakaian yang
dipakai pada saat ritual pada jaman dulu bagi perempuan harus telanjang
bulat dan yang laki-laki hanya memakai cawat. Namun seiiring
berkembangnya jaman dan masuknya ajaran Islam di Jawa, hal itu dirasa
menyinggung kepada etitude dan bertentangan dengan aturan agama
Islam. Dengan alasan itulah untuk sekarang semua pelaku ritual memakai
pakaian lengkap yang menutupi aurat.44
Ketika terjadi bulan purnama semua unsur bumi seperti air, udara
akan tertarik ke bulan. Hal ini menciptakan sejenis sabuk tak kasat mata
dengan tekan yang sangat tinggi. Dalam proses ini pada tingkatan fisik
ketika air tertarik ke arah bulan, bukan airnya yang tertarik melainkan
unsur-unsur gas dalam air (uap air) yang naik diatas air dan masuk ke
sabuk tak kasat mata yang bertekanan tinggi tersebut. Karena energi-energi
negatif sebagian besar berada dalam bentuk gas dan mereka ditarik ke arah
sabuk tak kasat mata bertekanan tinggi tadi.
Air laut akan mengalami pasang tinggi pada saat bulan purnama.
Hal ini dikarenakan pengaruh dari gravitasi bulan yang menarik air laut ke
arah bulan sehingga memengaruhi ketinggian ombak dan permukaan laut.
Bagian bumi yang dekat dengan bulan inilah yang megalami air laut
40
pasang, sedangkan di bagian bumi yang jauh dari bulan akam mengalami
air laut surut.45
B. Prosesi Tradisi Ruwatan Bulan Purnama
1. Pelaku
Dalam tradisi Ruwatan Bulan Purnama para peserta yang ikut
dalam ritual terdiri dari berbagai kelompok dan paguyuban seni
budaya yang ada di Trowulan. Namun yang menjadi pilar adalah para
aktivis dari Save Trowulan yang sangat antusias dalam melestarikan
budaya yang sudah ada sejak dahulu. Disamping itu mereka juga
sangat terbuka apabila kedatangan tamu dari luar kota bahkan yang
belum tahu sama sekali ritual ini akan disambut dengan senang hati.
2. Waktu
Tradisi Ruwatan Bulan Purnama dilaksanakan malam hari pada
waktu bulan purnama. Karena pada saat bulan purnama dipercaya
dapat menghilangkan energi-energi negatif di bumi dan manusia.
Dalam penanggalan Jawa bulan purnama tepatnya jatuh pada tanggal
15 bulan Jawa. Dan dimulainya acara ritual pukul 21.00.WIB dengan
mempersiapkan segala sesuatu yang di butuhkan untuk perlengkapan
acara ritual.46
3. Tempat
Tempat pelaksanaan Tradisi Ruwatan Bulan Purnama
dilaksanakan di candi Brahu tepatnya di desa Bejijong kecamatan
45http://myscienceblogs.com/kids/2007/09/28/Gravitasi-Bulan/. Diakses Pada 9 Mei 2016.
41
Trowulan Mojokerto. Sebenarnya untuk tempat lebih di utamakan di
daerah yang terkena air laut, karena laut dipercaya sebagai tempat
segala macam peleburan energi negatif. Selain itu, pada saat bulan
purnama air laut akan tertarik oleh gravitasi bulan yang besar. Dan
disitulah inti dari ritual tersebut agar energi negatif dapat dilebur dan
dihilangkan.
Namun karena keistimewaan candi Brahu yang sejak dulu
digunakan juga oleh kerajaan Majapahit dalam ritual apapun, seakan
warga tidak ingin memupus sejarah panjang dari candi Brahu yang
merupakan tempat suci pada jaman dahulu. Dan candi Brahu
merupakan satu-satunya candi sebenarnya yang ada di Trowulan.
Selain candi Brahu ada gapura Wringin Lawang dan petilasan
Tribuana Tungga Dewi yang digunakan untuk Tradisi Ruwatan Bulan
Purnama ini.47
4. Prosesi Acara
a. Persiapan
Disini penulis akan memaparkan prosesi tradisi Ruwatan
Bulan Purnama. Pada dasarnya semua pelaksanaan suau ritual
atau upacara dibutuhkan persiapan sebelum memulainya. Dalam
tradisi Ruwatan Bulan Purnama ada beberapa persiapan yang
harus di penuhi sebagai syarat ritual tersebut, diantaranya;
42
1. Kinangan, dalam bahasa Jawa adalah kebiasaan mengunyah
ramuan daun sirih, kapur sirih (enjet), gambir, dan buah
pinang. Kebiassan nginang ini dilakukan oleh orang-orang
pada jaman dahulu yang memiliki banyak manfaat kebaikan
bagi yang melakukan.
2. Dupa, dupa yang dibakar akan menghasilkan harum wangi di
sekitar tempat ritual. Dan berfungsi sebagai pembawa
energi-energi positif dari alam.
3. Kembang Tujuh Rupa, yaitu terdiri dari mawar, cempaka,
kantil, kenanga, sedap malam, melati, dan melati gambir.
Biasannya bunga sedap malam dan melati gambir jaramg
digunakan.
4. Air Putih, sebagai sarana pensucian selesai ritual, dan di
campur dengan kembang tujuh rupa.
5. Bejana, digunakan untuk tempat kembang tujuh rupa dan air
untuk ritual pensucian.
6. Kain Kuning, kain taplak atau udeng yang berwarna kuning
yang melambangkan kemakmuran bagi manusia.
7. Serba Ireng, pakaian yang dipakai dalam ritual serba hitam,
karena warna hitam adalah warna netral yang ditujukan untuk
43
konsep Majapahit warna hitam adalah wisnu sang pemelihara
dunia.48
b. Inti
Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwasannya
perlengkapan untuk ritual diatas khusus untuk di Candi Brahu.
Sekiranya ritual dilakukan di tempat lain, maka perlengkapan
juga ada sedikit perbedaan. Karena ritual Bulan Purnamaan ini
juga dilakukan di tempat lain selain candi Brahu. Namun disini
penulis akan memaparkan keistimewaan ritual Bulan Punamaan
di candi Brahu di bandingkan dengan di situs-situs lainnya yang
ada di Trowulan.
Seperti ritual kali ini ada koin kuno yang dibawa untuk
disucikan. Koin tersebut nantinya bukan diartikan atau digunakan
sebagai jimat atau benda keberuntungan, melainkan hanya
sebagai suatu identitas semata. Menurut Pak Poh Nanang, benda
yang sudah disucikan dan kemudian dipakai akan terasa beda
rasanya dan nyaman. Karena koin tersebut sudah suci dan
energi-energi positif dari alam dapat masuk dan menempati koin
tersebut. Koin tersebut pernah dipakaikan kepada orang yang
kerasukan dan kemudian orang tersebut bisa tenang. Intinya
44
benda apapun itu asalkan suci pasti energi positif dari alam akan
dapat masuk dan menepatinya.49
Dalam pelaksanaan ritual yang pertama adalah menaruh
dupa di tempat sesaji di bilik candi Brahu. Hal ini bertujuan untuk
meminta izin atau dalam istilah Jawa kolonuwun yang artinya
permisi kepada para leluhur yang ada di sekitar candi. Selain itu
aroma wewangian yang di keluarkan dupa tadi juga bertujuan
untuk mengusir energi negatif yang ada di sekitar candi. Intinya
bila suatu tempat atau ruangan yang ada aroma wewangian maka
energi positif alam akan mudah untuk masuk atau menempati
tempat tersebut.50
Kedua, yaitu menaruh perlengkapan sesaji yang telah
disiapkan dan di letakan di samping dupa yang pertama kali di
tempatkan tadi. Hal ini juga ditujukan agar semua energi positif
alam bisa masuk kedalam semua persajian tersebut. Selain itu
juga difungsikan agar sesaji tadi dapat suci dengan aroma
wewangian dari bakaran dupa.
Ketiga, para peserta ritual naik ke serambi candi Brahu
lengkap dengan pakaian serba hitam dan setiap orang membawa
dupa yang dibakar. Kemudian duduk bersila di depan sesaji dan
membaca doa-doa. Dalam doanya sendiri tidak ada patokan atau
45
keharusan untuk memanjatkan suatu doa khusus. Jadi
doa-doa yang dipanjatkan sesuai kebutuhan masing-masing peserta.
Namun yang perlu dijadikan catatan dari doa yang dipanjatakan
adalah tidak untuk meminta apapun yang diinginkan oleh peserta
ritual, akan tetapi murni ditujukan untuk jiwa pribadi
masing-masing agar diberikan pengampunan atas dosa-dosa yang
dilakukan setiap hari dan keselamatan untuk kedepannya.
Keempat, setelah pemanjatan doa dilakukan Pak Poh atau
pemimpin ritual mengambil air kembang yang telah di sucikan
dengan asap dupa dan para peserta ritual berbaris untuk bersiap di
mandikan dengan air kembang tadi. Satu persatu peserta
dimandikan dengan air kembang dan di minum air kembang tadi
sebanyak tiga kali tegukan. Setelah itu masing-masing peserta
diberi wejangan oleh Pak Poh dan turun dari serambi candi
sambil berdoa.
Kelima, penutup yaitu pamitan kepada para leluhur yang
ada di candi Brahu. Dengan menaruuh bakaran dupa sebanyak 14
masing-masing tujuh diposisikan silang dan ditaruh di pijakan
tangga pertama dari candi Brahu. Sebenarnya jumlah dupa yang
di letakkan tidak pakem atau tidak menentu, tergantung tempat
dan situasi yang ditangkap dari energi alam.51
46
c. Penutup dan Sarahsehan
Setelah prosesi ritual selesai dilaksanakan biasanya
dilanjutkan dengan pertunjukan-pertunjukan seni baik itu seni tari,
seni drama dan lain sebagainya dari paguyupan seni yang ada di
Trowulan. Dalam pertunjukan yang di tampilkan ini sebenarnya
sudah ada sejak jaman dulu hanya saja untuk jaman sekarang lebih
ditujukan untuk hiburan saja.
Sedangkan pada jaman dahulu pada saat bulan purnama
masyarakat tetap melakukan aktivitas seperti bekerja dan lainnya.
Hal ini dikarenakan kepercayaan masyarakat bahwa pada saat
bulan purnama energi yang ada di alam akan tertarik gravit