FENOMENA UMAR KAYAM
Mustofa W Hasyim
Prof Dr Umar Kayam meninggal dalam usia mendekati 70 tahun. Para kolega, sahabat, murid dan mereka yang mengenal sosok pribadi Umar Kayam, mengenang. Menyelenggarakan berbagai kegiatan untuk mengenang
keberadaannya di masa lalu. Untuk apa? Untuk menghormati jasa-jasanya. Juga untuk mencoba menelusuri kembali jejak-jejak intelektual dan jejak-jejak kultural yang ditinggalkan. Ada juga yang mencoba mencari alamat Umar Kayam dalam peta kebudayaan Indonesia dan dunia. Di kordinat yang mana professor yang suka guyon dan punya referensi aneka makanan enak di berbagai tempat ini berada? Secara sederhana dapat disimpulkan, Umar Kayam adalah sebuah fenomena. Fenomena manusia Indonesia yang tengah mencari dirinya sendiri sambil mencari orang lain yang mampu disapa dan dapat diajak berdialog. Memang banyak orang lain yang berbicara tentang perlunya mencari jati diri, termasuk jati diri bangsa, lalu mereka kembali membaca ‘kitab-kitab’ klasik yang telah ada di masa silam, sehingga kebanyakan mereka malahan kemudian tenggelam dalam kuburan waktu bernama masa silam itu sendiri.
Umar Kayam tidak demikian. Ia memang pernah menelusuri pelosok-pelosok Indonesia dalam upaya mencari spirit budaya Indonesia itu, termasuk menelusuri pelosok Jogja dan Solo tetapi kalau disimak pemikiran yang dihasilkan dari penelusuran itu tampak sekali kalau yang sedang dibicarakan adalah Indonesia hari ini dan Indonesia hari depan. Bukan Indonesia masa silam. Maka dengan enak ia mengupas tentang spirit para pelukis Kamasan Balai, juga dengan enak ia membandingkan dengan metode paralelisme mungkin, antara popularitas
Superman dengan Gatotkaca. Sebab pada saat yang sama, dalam suatu malam Ahad, banyak anak muda berbondong-bondong nonton film Superman, tetapi ada juga anak muda yang dengan tekun nonton wayang kulit dengan rol atau tokoh utama Gatotkaca di Sasono Hinggil Alun-alun Selatan Jogjakarta.
Ketika menjadi Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM, dengan alamat kantor yang kemudian ‘legendaris’ Bulaksumur E 12, berbagai acara, termasuk ceramah, seminar, penelitian, juga kegiatan yang betul-betul eksploratif berupa Pasar Seni diadakan. Anak-anak muda yang menjadi kolega atau muridnya yang termasuk angkatan pertama dan kedua sering bekumpul di tempat itu. Karena akrabnya, ada koleganya yang berani menjuluki Umar Kayam dengan Batara Narada, karena sebagai dewa budaya dair Kayangan memang aspiratif terhadap suara dari bumi. Pasar Seni yang menggali dan menampilkan kembali apa yang disebut sebagai seni pertunjukan rakyat, makanan rakyat dan seni kerajinan rakyat merupakan salah satu upaya untuk mencari dan mengenali jati diri itu. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh anak muda yang menjadi kader-kadernya. Pada saat yang hampir sama Umat Kayam pun sanggup keliling dunia untuk ketemu dengan para pemikir dan aktivis budaya kaliber dunia, dan menyapa serta bedialog dengan mereka secara akrab.
kembali ke Jogja. Dan untuk menambah ramai dan heboh (bahasa sekarang) Umar Kayam tidak jarang mengundang para sastrawan atau penulis dan budayawan kelas dunia untuk mampir dan berbicara di kantornya. Kemudian, pada waktu yang lain diundanglah tokoh gerakan Dipa Krama Dipa, yaitu gerakan budaya yang berani melakukan pembrontakan budaya terhadap hegemoni dandominasi secara hierakhis yang dilakukan oleh budaya Jawa. Gerakan ini menentang dipraktikannya bahasa karma dan karma inggil dalam berbahasa Jawa. Mereka memperjuangkan bahasa ngoko sebagai bahasa pergaulan orang Jawa, agar orang bisa sama tegak dan sama berdiri secara setara. Termasuk dalam berbahasa. Dari berbagai fakta pergaulannya, tampak kalau seorang Umat Kayam merupakan fenomena sebuah simpul. Simpul budaya, disitulah titik koorinatnya. Ia berada di titik tengah dari berbagai titik, membentuk sebuah titik di tengah persilangan-persilangan budaya yang unik. Oleh karena itu kelihatan ia tidak pernah ekstrim, cednerng toleran dan memang mengajarkan untuk bertoleransi.
Tentu saja ini tidak berarti Umar Kayam tidak tidak pernah marah. Melihatan kondisi Orde Baru yang keterlaluan pun Umar Kayam seringkali marah. Tentunya marah secara pemikiran dan secara ide. Meski waktu mjalah Tempo, Editor dan Detik dibredel Umar Kayam bersama ‘gengnya’ turun ke jalan. Berdemonstrasi di boulevard UGM dan beteriak,” Pemerintah tidak menepati janji !” Ya, kebanyakan pemerintah di dunia ini memang tidak menepati janji. Mungkin sampai hari ini, ketika Umar Kayam telah berbaring tenang di pemakakamannya.
Sumber: