PRAGMATISME PENGADAAN TANAH
UNTUK KEPENTINGAN UMUM
Amicus Curiae
Pihak Terkait Yang Berkepentingan Tidak Langsung Pada Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG
Gugatan Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (GEMPADEWA) Terhadap Cacat Prosedur dan Substansial Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor
590/20 Tahun 2021 tentang Pembaruan Atas Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan
Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah tertanggal 7 Juni 2021 kepada Ganjar Pranowo selaku Gubernur Jawa Tengah
Disusun Oleh:
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
Tim Penyusun:
Dewi Kartika Roni Septian Maulana
Linda Dewi Rahayu
Daftar Isi
Sebuah Pengantar ... 1
A. Identitas Konsorsium Pembaruan Agraria ... 1
B. Kepentingan Konsorsium Pembaruan Agraria Sebagai Amici ... 2
C. Jangkauan Pandangan Hukum Hak Atas Tanah Konsorsium Pembaruan Agraria 3 BAB I.Pendahuluan ……….4
1.1. Peran Peradilan Tata Usaha Negara dalam Perlindungan Hak Asasi Manusia ... 4
1.2. Hak Atas Tanah Sebagai Bagian dari Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya ... 5
1.3. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum ... 7
BAB II. Politik Hukum Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum ... 9
2.1. Perkembangan Hukum dan Kebijakan Pertanahan dalam Pembangunan ... 9
2.2. Perlindungan Hukum Pemegang Hak Atas Tanah dalam Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum ... 13
2.3. Pragmatisme Makna Keseimbangan dalam Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum ... 15
BAB III. Fakta Hukum dan Pendapat Amici ... 19
3.1. Fakta Hukum ... 19
a. Fakta Hukum di Lapangan ... 19
b. Fakta Hukum di Persidangan ... 22
3.2. Pendapat Amici ... 27
BAB IV. Penutup ... 30
4.1. Kesimpulan ... 30
4.2. Rekomendasi ... 31
SEBUAH PENGANTAR
A. IDENTITAS KONSORSIUM PEMBARUAN AGRARIA
Konsorsium Pembaruan Agraria (selanjutnya disebut KPA) merupakan organisasi gerakan petani, nelayan, masyarakat adat dan masyarakat pedesaan lainnya. KPA berbentuk perkumpulan yang bersifat terbuka dan independen. KPA dideklarasikan pada tanggal 24 September 1994 di Jakarta, dan disahkan pada tanggal 10 Desember 1995 dalam Musyawarah Nasional I di Bandung untuk waktu yang tidak terbatas.
Organisasi KPA terdaftar berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor: AHU-0000231.AH.01.08. Tahun 2017 tentang Persetujuan Perubahan Badan Hukum Perkumpulan atas nama Perkumpulan Konsorsium Pembaruan Agraria, berdasarkan Akta Notaris Nomor 01 Tanggal 21 April 2017 yang dibuat oleh Suwindarsih, S.H., M.KN yang berkedudukan di Jakarta Selatan.
Sebagai organisasi gerakan petani, nelayan, masyarakat adat dan masyarakat pedesaan lainnya, KPA memiliki tujuan organisasi sebagaimana termaktub pada Pasal 7 Anggaran Dasar KPA:
“KPA bertujuan memperjuangkan terciptanya sistem agraria yang adil, dan
menjamin pemerataan pengalokasian sumber-sumber agraria bagi seluruh rakyat Indonesia, jaminan penguasaan, pemilikan dan pengelolaan sumber-sumber agraria bagi petani, nelayan, buruh dan masyarakat adat, serta jaminan
kesejahteraan bagi rakyat miskin.”
Terkait fungsi organisasi KPA, diatur pada Pasal 9 Anggaran Dasar KPA, yaitu sebagai berikut:
1. Sebagai penguat, pemberdaya, pendukung dan pelaku perjuangan pembaruan agraria berdasarkan inisiatif rakyat.
2. Sebagai organisasi yang mendorong lahirnya berbagai kebijakan dan sistem
agraria yang berpihak kepada rakyat, serta melawan berbagai kebijakan yang anti pembaruan agraria.
3. Sebagai organisasi yang melahirkan, merumuskan dan menyebarkan gagasan,
ide, pengetahuan tentang pembaruan agraria sejati.
Bahwa untuk mencapai tujuan-tujuan dan melaksanakan fungsi organisi sebagaimana tersebut di atas, Pasal 11 Anggaran Dasar KPA menetapkan kegiatan yang dilakukan oleh KPA meliputi:
1. Memperjuangkan pemenuhan hak-hak rakyat miskin terutama petani, buruh
tani, nelayan, masyarakat adat, buruh dan masyarakat miskin kota.
2. Advokasi yang berupa upaya perubahan kesadaran rakyat (publik) melalui
penyebaran informasi, pembentukan opini publik, pembelaan kolektif, dan perubahan kebijakan dan strategi pembangunan yang berorientasi pada pemenuhan hak-hak rakyat.
3. Menyelenggarakan pendidikan dan pengkaderan pembaruan agraria.
4. Penguatan dan peningkatan jaringan gerakan dan penggalangan solidaritas untuk perjuangan pembaruan agraria baik di tingkat daerah, nasional maupun internasional.
5. Pengembangan kerjasama kegiatan, program, dan kelembagaan yang mengabdi pada pemenuhan tujuan-tujuan gerakan pembaruan agraria.
6. Secara aktif terlibat dalam perjuangan penggalangan solidaritas, dan front/aliansi
perjuangan nasional dan internasional untuk pembaruan agraria.
Berasaskan kedaulatan rakyat, KPA dijalankan dengan nilai-nilai hak asasi manusia, kelestarian lingkungan, kearifan nilai-nilai adat, demokrasi, keadilan sosial, keadilan dan kesetaraan gender, non-sektarian, non-partisan, perdamaian dan anti kekerasan, anti diskriminasi pada ras, suku, agama, aliran kepercayaan dan solidaritas. KPA berfungsi sebagai penguat, pemberdaya, pendukung, dan pelaku perjuangan pembaruan agraria berdasar inisiatif rakyat. Selain itu KPA mendorong lahirnya berbagai kebijakan dan sistem agraria yang berpihak kepada rakyat, serta melawan berbagai kebijakan yang anti-reforma agraria.
Struktur organisasi KPA terdiri dari Musyawarah Nasional, Dewan Nasional, Sekretaris Jenderal, KPA Wilayah (di tingkat provinsi), Anggota KPA, dan Majelis Pakar. Anggota KPA terdiri organisasi rakyat (serikat tani, serikat nelayan dan organisasi masyarakat adat) dan organisasi non-pemerintah (NGO/LSM). Berdasarkan hasil Musyawarah Nasional VII KPA tanggal 7-10 November 2016 di Makassar, Sulawesi Selatan, jumlah Anggota KPA yang ditetapkan sebanyak 153 (seratus lima puluh tiga) organisasi. Saat ini Sekretariat Nasional KPA berada di Jl. Pancoran Indah I, Komplek Liga Mas Indah, Pancoran, Jakarta Selatan.
B. KEPENTINGAN KONSORSIUM PEMBARUAN AGRARIA SEBAGAI AMICI
Amicus Curiae (friends of court atau sahabat peradilan) adalah opini atau saran
yang berasal dari individu maupun organisasi yang bukan bertindak sebagai pihak dalam perkara, tetapi menaruh perhatian atau berkepentingan terhadap suatu kasus. Amicus
Curiae awalnya dikenal pada sistem common law, namun belakangan telah diatur pula
oleh negara-negara dengan sistem civil law1.
Pada sistem hukum Indonesia, Amicus Curiae dapat dikaitkan dengan ketentuan pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masayarakat”2. Konsep
Amicus Curiae juga terdapat pada Pasal 14 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
06/PMK/2005, bahwa pihak terkait yang berkepentingan tidak langsung adalah “pihak
yang karena kedudukannya, tugas pokok, dan fungsinya perlu didengar keterangannya”
atau “pihak yang perlu didengar keterangannya sebagai ad informandum, yaitu pihak
yang hak dan/atau kewenangannya tidak secara langsung terpengaruh oleh pokok
permohonan tetapi karena kepeduliannya terhadap permohonan yang dimaksud”3.
Amicus Curiae dapat dijadikan pertimbangan Majelis Hakim dalam menggali
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat saat memeriksa, mempertimbangkan serta memutus perkara. Fungsi lain Amicus Curiae yaitu untuk memajukan perkembangan hukum. Sebab Amicus Curiae dapat memberikan gambaran
1 Soetanto Soepiadhhy, Undang-Undang Dasar 45 Kekosongan Politik Hukum Makro, Kepel Press, Jakarta,
2004, hlm. 68.
2 Lihat Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
hukum dan kasusnya khususnya dampaknya terhadap pihak lain di luar para pihak yang tidak ikut berperkara di pengadilan, juga menilai hukum dan kasusnya secara independen4.
Kepentingan KPA membuat Amicus Curiae yaitu sebagai salah satu bentuk partisipasi publik dalam membantu Majelis Hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang melalui pemberian pendapat hukum pada Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG, yang berdimensi kepentingan publik khususnya mengenai konflik agraria struktural. Amicus Curiae ini bertujuan untuk membangun kesepahaman mengenai konstruksi hukum pertanahan yang berkeadilan sosial dan lingkungan.
C. JANGKAUAN PANDANGAN HUKUM HAK ATAS TANAH KONSORSIUM PEMBARUAN AGRARIA
Tanah sebagai hak dasar setiap orang yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bersifat multidimensi dan sarat persoalan keadilan. Hal ini menempatkan untuk memahami hukum pertanahan di Indonesia tidak dapat dipahami hanya dari satu bagian yang rumpang saja.
Dinamika pembangunan dan perkembangan masyarakat membuat permasalahan pertanahan selalu mengalami perkembangan. Dalam penyusunan Amicus Curiae untuk perkara Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG, KPA sebagai amici hendak membatasi pandangan hukumnya sebagai berikut:
a. Peran Peradilan Tata Usaha Negara dalam Perlindungan Hak Asasi Manusia; b. Hak Atas Tanah Sebagai Bagian dari Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya; c. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum;
d. Politik Hukum Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum;
e. Perlindungan Hukum Pemegang Hak Atas Tanah dalam Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum;
f. Pragmatisme Makna Keseimbangan dalam Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum;
g. Fakta hukum; dan h. Pendapat Amici.
Lembaga peradilan di Indonesia, dalam hal ini terkhusus PTUN Semarang, penting untuk dapat memahami konteks historis dan sosial dari hukum dan kebijakan pertanahan dalam pembangunan. Hal tersebut dapat membantu Majelis Hakim PTUN Semarang untuk menganalisis konflik akibat pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang cacat prosedur yang dialami oleh masyarakat Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. Sehingga PTUN sebagaimana dasar filosofis pembentukannya, dapat melindungi rakyat dari tindakan maupun kebijakan pemerintah yang luput menerapkan tindakan maupun kebijakan yang berkeadilan sosial dan lingkungan, alih-alih sekadar berkutat pada permukaan permasalahan administratif tanpa melihat konflik agrarian struktural.
4 Siti Aminah, 2014, Menjadi Sahabat Keadilan Panduan Menyusun Amicus Brief, Jakarta, The Indonesia Legal
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. PERAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA
Indonesia sebagai negara hukum5 memiliki unsur-unsur penting, yaitu: (a)
pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan hukum atau peraturan perundang-undangan; (b) adanya jaminan terhadap hak asasi manusia; (c) adanya pembagian kekuasaan dalam negara; (d) adanya pengawasan dari badan-badan peradilan6. Dalam negara hukum terdapat pembatasan segala sikap, tingkah laku
dan perbuatan baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun para warga negaranya berdasarkan hukum positif. Terutama warga negaranya terbebas dari tindakan sewenang-wenang dari pemerintah7 maupun penegak hukum.
Untuk memberikan perlindungan hukum dan keadilan kepada warga negara yang telah dirugikan haknya, negara membentuk sistem dan Lembaga peradilan salah satunya Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kehadiran PTUN yaitu menjaga keseimbangan antara kepentingan umum dan kepentingan perseorangan, demi terciptanya keselasaran dan keadilan masyarakat serta meningkatkan pelayanan publik negara terhadap masyarakat8.
PTUN adalah bentuk jaminan perlindungan hak asasi manusia kepada warga negara agar tidak dirugikan oleh keputusan pejabat administrasi negara yang berwenang. Hal ini sama dengan dasar dibentuknya PTUN di Indonesia, yang dapat dilacak melalui historis pembentukan PTUN dan konsideran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Pertama atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Perdilan Tata Usaha Negara dan terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dan berbagai peraturan pelaksana yang tersebar dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung.
PTUN dimaksudkan untuk menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum, sehingga dapat memberikan pengayoman kepada masyarakat, khususnya dalam hubungan antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan masyarakat 9 . Selain memberikan pengayoman atau perlindungan hukum bagi
masyarakat, ditegaskan pula keberadaan PTUN untuk membina, menyempurnakan, dan menertibkan aparatur di bidang Tata Usaha Negara. Hal tersebut diharapkan agar PTUN mampu menjadi lembaga peradilan yang efisien, efektif, bersih, serta berwibawa, berlandaskan hukum dan keadilan untuk masyarakat.
5 Lihat Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6 Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara, Bandung, Alumni, 1992, hlm. 49.
7 Soehino, 1985, Hukum Tata Negara: Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, Yogyakarta, Liberty, 1985, hlm. 9
SF Marbun, Peradilan Tata Usaha Negara dalam Putera Astomo, Eksistensi Peradilan Administrasi, Jurnal MMH Vol. 1 Nomor 1 Juli 2014, hlm. 369.
Kendati PTUN di Indonesia tidak membentuk pengadilan khusus terkait sengketa terkait lingkungan hidup10 terlebih perlindungan hak atas tanah. Namun secara lebih luas
kewenangan untuk mengadili sengketa tata usaha negara yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan perlindungan hak atas tanah dimaknai sebagai kewenangan secara khusus yang dimiliki oleh PTUN. Lebih dari an sich PTUN serta majelis hakim dapat menjadi bagian dari upaya melindungi hak atas tanah masyarakat serta menjaga kelestarian lingkungan demi keberlanjutan hidup umat manusia11.
1.2. HAK ATAS TANAH SEBAGAI BAGIAN DARI HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA
Tanah merupakan hak asasi manusia sekaligus kebutuhan dasar manusia. Tanah sebagai faktor utama dalam menentukan produksi setiap fase peradaban, tidak hanya memiliki nilai ekonomis tinggi, tetapi juga filosofis, politik, sosial, dan kultural12. Tanah
yang bersifat multidimensional, yaitu sebagai ruang proses berbudaya masyarakat, ruang hidup masyarakat, dan memiliki fungsi sosial 13 , memegang peranan vital bagi
kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia yang bercorak agraris.
Jika dilihat dari fungsinya, tanah merupakan social asset dan capital asset. Social
asset yaitu sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat untuk hidup dan
kehidupan, dan sebagai capital asset yaitu faktor modal dalam pembangunan dan tumbuh sebagai benda ekonomi yang penting sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi14.
Notanogoro menjelaskan relasi tanah dengan kehidupan perorangan dan masyarakat, yaitu sebagai hubungan yang bersifat kedwitunggalan dan tidak dapat dipisahkan15. Sebab berdasar pandangan Gunawan Wiradi, seluruh bangunan pandangan
hidup yang memberi arah bagi proses kemasyarakatan, bertolak dari dialektika kesadaran manusiawi dengan tanahnya16. Hal tersebut kemudian menempakan tanah
sebagai basis bagi teraihnya kuasa-kuasa ekonomi, sosial dan politik17.
Sebagai hak dasar, hak atas tanah memiliki arti yang besar untuk eksistensi, kebebasan, dan harkat diri seseorang sebagai manusia terutama petani. Terpenuhinya hak dasar atas tanah merupakan syarat untuk tumbuh dan berkembangnya hak-hak
10 Indonesia tidak memiliki pengadilan lingkungan hidup, namun menurut UNEP Indonesia telah menganut
pendekatan alternatif yang didasarkan pada kemandirian putusan melalui pelatihan hakim lingkungan. Lihat George Pring dan Catherine Pring, Environmental Courts and Tribunal Study: A Guide for Policy Makers, UNEP, Kenya, 2016, hlm. 20.
11 Gina Sabrina, Menemukan Peran Peradilan Tata Usaha Negara dalam Pencegahan Kerusakan Lingkungan
atas Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Celukan Bawang 2x330 MW Berdasarkan Putusan MA Nomor 67/PK/TUN/LH/2020, Tesis, Magister Ilmu Hukum Kenegaraan, Universitas Indonesia, Jakarta, 2021, hlm. 15.
12 Bernhard Limbong, Politik Pertanahan, Jakarta, Margaretha Pustaka, hlm. 1.
13 Asas atau fungsi sosial pertama kali dkemukakan Leon Duguit pada tahun 1912, dimana Duguit,
sebagaimana dikutip Roscoe Pound, menyatakan “The Law of property is becoming socialized. But, this does not mean that property is becoming collective. It means that we are ceasing to think of property in term of private right and are thinking of it in term of social function”. Dalam Roscoe Pond, 1959 (a), Jurisprudence, Vol. 111, West Publishing Co., St. Paul Minnesota, dalam Rafael Edy Bosko, 1993, Fugsi Sosial: Konsepsi dan Implikasi Pengaturannya Terhadap Hak Milik Atas Tanah, Jurnal Mimbar Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 19
14 Maria S.W. Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Jakarta, Buku Kompas,
2008, hlm. vii.
15 Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi, Penerbit Buku Kompas,
Jakarta, 2007, hlm. 42.
16 Gunawan Wiradi, Seluk Beluk Masalah Agraria, STPN Press dan SAINS Institute, Yogyakarta, hlm.3.
politik, sebab demokrasi politik dapat berkembang lebih mudah jika memiliki akses pada sumber daya tanah18.
Tanah adalah soal hidup dan penghidupan manusia, karena tanah adalah sumber makanan dan tempat bertahan hidup manusia. Perebutan tanah berarti perebutan makanan, perebutan pegangan hidup manusia, hingga orang rela menumpahkan darah mengorbankan segalanya demi mempertahankan hidup selanjutnya19
Begitu pentingnya hak atas tanah bagi masyarakat bahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) telah memberikan jaminan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat20. Untuk mencapai
sebesar-besar kemakmuran rakyat maka hak ekonomi setiap warga negara harus dihormati, dilindungi dan dipenuhi oleh negara. Hak ekonomi tersebut termasuk di dalamnya yaitu kebutuhan dasar terhadap papan dan pangan. Konstitusi juga menjamin bahwa setiap orang berhak untuk mendapat perlindungan terhadap hak-hak atas tanah, dan hak tersebut tidak boleh diambil secara sewenang-wenang dan harus diimbangi dengan ganti kerugian21.
Lebih lanjut terkait kebijakan pertanahan di Indonesia termanifestasi dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Sebagai tonggak pembangunan dalam bidang pertanahan di Indonesia, UUPA memiliki tekad membongkar struktur penguasaan agraria yang bercorak kolonial yang menyengsarakan rakyat. UUPA merupakan kebijakan pertanahan nasional pertama Indonesia yang menjamin terwujudnya sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal tersebut merupakan pondasi yang terkandung dalam Pancasila selaku rumusan fundamental filsafat kebangsaan Indonesia, yang kemudian diamanatkan dalam Alinea IV Pembukaan UUD NRI 1945 dan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945.
Hak-hak atas tanah diatur pada Pasal 4 UUPA dan dijelaskan lebih lanjut pada Pasal 16 ayat (1) UUPA. Sesuai dengan Pasal 6 UUPA, semua Hak Atas Tanah mempunyai fungsi sosial, maknanya adalah: (1) hak atas tanah apapun harus digunakan sesuai dengan tujuan pemberian haknya; (2) hak atas tanah tidak boleh digunakan, atau sebaliknya tidak digunakan, jika hal itu menimbulkan kerugian bagi pihak lain; (3) untuk kepentingan umum, hak atas tanah wajib dilepaskan, dengan penghormatan kepada hak perseorangan; (4) antara kepentingan umum dan kepentingan perseorangan harus saling mengimbangi sehingga tercapai tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Hak-hak atas tanah dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA harus dipahami dan berkaitan dengan fungsi sosial atas tanah yang melekat pada semua hak atas tanah22. Oleh karena
itu, pengadaan tanah tidak bisa dilepaskan dari konsep fungsi sosial hak atas tanah, sebagaimana diatur pada Pasal 6 UUPA. Terbitnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun
18 Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan…. Op.cit, hlm. 182.
19 Mohchammad Tauhid, Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia,
Yogyakarta:STPN Pres, 2009, hlm. 3.
20 Lihat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
21 Lihat Pasal 28 H ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), menjadi landasan hukum atas jaminan keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum. Yang mana berkenaan dengan pengambilalihan hak atas tanah untuk kepentingan umum diatur pada Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2).
Hak atas tanah merupakan bagian dari hak ekonomi, sosial dan budaya, yang secara yuridis juga diatur dalam UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Perjanjian Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (selanjutnya disebut UU Ekosob)23. Pasal 11 UU Ekosob mengatur bahwa pemenuhan hak ekosob adalah hak atas
standar kehidupan yang memadai. Salah satu hak atas standar kehidupan yang dimaksud yaitu jaminan atas perlindungan atas penggusuran paksa.
Selain diatur oleh UUD NRI 1945 dan UUPA, jaminan terhadap perlindungan, pengakuan dan pemenuhan hak atas tanah diatur pula di peraturan perundang-undangan lainnya sebagaimana tersebut di atas. Seluruh peraturan perundang-perundang-undangan tersebut harus menjadi pedoman bagi majelis hakim PTUN, bahwasanya proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan dengan memakai pendekatan hak asasi manusia yang berkeadilan. Proses pembangunan seharusnya diarahkan pada musyawarah persetujuan pembangunan, menghindari tindakan kekerasan, intimidasi dan represifitas, pembangunan juga perlu memperhatikan proses ganti rugi yang layak dan berkeadilan bagi masyarakat terdampak. Serta harus mampu memperhitungkan dampak buruk perubahan ekonomi sosial dan budaya ke depan.
1.3. PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM
Pembangunan infrastruktur berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Namun pembangunan infrastruktur juga kerap berdampak buruk seperti; pertama, terjadi kesenjangan dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber agraria; kedua, realitas kemiskinan masih terjadi pada bangsa Indonesia; dan ketiga, berkembangnya konflik struktural yang dipicu kebijakan negara karena kesenjangan sosial ekonomi24.
Tanah sebagai kebutuhan dasar manusia merupakan perwujudan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Pembangunan mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap tanah, baik dari segi pemilikan, penguasaan maupun penggunaannya. Hal ini terlihat apabila dilakukan pengamatan terhadap perubahan masyarakat agraris menjadi masyarakat industri 25 . Semakin maju suatu masyarakat, maka semakin banyak
diperlukan tanah-tanah untuk tujuan bisnis juga kepentingan umum.
23 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional
tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya merupakan suatu komitmen pemerintah dalam mengakui, menghormati, dan melindung hak ekonomi, sosial, budaya, sebagai penerjemahan cita-cita dalam konstitusi, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk pemajuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
24 Nurhasan Ismail, Hukum Prismatik: Kebutuhan Masyarakat Majemuk Sebuah Pemikiran Awal, Pidato
Pengukuhan Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada tanggal 12 Desember 2011 di Yogyakarta, hlm. 3-4.
25 Di dalam masyarakat agraris hubungan antara manusia dan tanah bersifat religio- magis-kosmis, yaitu
hubungan antara manusia dan tanah yang menonjolkan penguasaan kolektif. Kemudian di dalam masyarakat yang mulai meninggalkan ketergantungan pada sektor agraris (menuju masyarakat industri), hubungan manusia dengan tanah mengacu kepada hubungan yang bersifat individualis dan berorientasi ekonomis. Dalam Muhammad Bakri, Hak
Pengadaan tanah sebagai cara untuk menyediakan tanah bagi pembangunan merupakan tuntutan yang tidak dapat dielakkan oleh pemerintah mana pun. Pengadaan tanah di Indonesia diatur melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (UU Pengadaan Tanah). Pada UU Pengadaan Tanah, pengadaan tanah adalah proses atau kegiatan penyediaan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak26.
Sebagai konsekuensi dari hidup bernegara dan bermasyarakat, jika hak milik individu (pribadi) berhadapan dengan kepentingan umum maka kepentingan umumlah yang harus didahulukan27. Fungsi sosial hak atas tanah menjadi salah satu dasar untuk
melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum.
Pada prinsipnya pengadaan tanah dilakukan dengan cara musyawarah antara pihak yang memerlukan tanah dengan pemegang hak atas tanah yang tanahnya diperlukan untuk kegiatan pembangunan28. Negara harus tetap menghormati hak-hak
warnanegaranya. Pemenuhan keadilan menjadi tanggung jawab Pemerintah dalam pelaksanaan pengadaan tanah, karena hal itu bertujuan untuk menjelaskan makna kata keseimbangan dalam pengadaan tanah yang pada tujuannya sendiri ialah dilakukan dengan cara menghormati hak asasi manusia.
Pengadaan tanah harus dilakukan melalui proses yang menjamin tidak adanya pemaksaan kehendak satu pihak dengan pihak lain. Di samping itu mengingat bahwa masyarakat harus merelakan tanahnya untuk suatu kegiatan pembangunan, maka harus dijamin bahwa kesejahteraan sosial ekonominya tidak akan lebih buruk dari keadaan sebelum tanahnya digunakan pihak lain29. Salah satunya ialah dengan menggunakan
mekanisme ganti kerugian, kemudian proses ganti kerugian ini haruslah dipahami bahwa mekanisme tidak memiskinkan pemegang hak, atau istilah lainnya pemberian ganti rugi bisa mensejahterakan pemegang hak30.
UU Pengadaan Tanah telah mengatur jenis dan mekanisme pemberian ganti kerugian, perlu diperhatikan majelis hakim bahwa ganti kerugian tidak terbatas dalam bentuk uang. Namun ada bentuk tanah pengganti, relokasi perumahan dan fasilitas umum-fasilitas sosial, pembagian saham dan bentuk lainnya yang disepakati. Oleh karena itu pendekatan ganti rugi uang yang dipaksakan atau konsinyasi merupakan pengabaian atas konstitusi, peraturan perundang-undangan dan hak atas tanah masyarakat.
Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria, Citra Media, Ctk.1, Yogyakarta, 2007, hlm. 217.
26 Lihat Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum.
27 Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2006. hlm. 265.
28 Maria S.W Sumardjono, Tanah dalam Perspektif… Op.cit, hlm. 280.
29 Ibid, hlm. 282.
30 Pendapat tersebut disampaiakan oleh Ahmad Sodiki pada saat wawancara pada tanggal 8 Mei 2017 pukul
16.30 WIB. Wawancara dilaksanakan dengan pertimbangan bahwa beliau merupakan mantan Hakim Mahkamah Konsitutisi, yang waktu masih bertugas menjadi pimpinan sidang dalam pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dalam Harvi Fikri Ramesa, Analisis Makna Kata Keseimbangan dalam Pasal 9 (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Skripsi, Ilmu Hukum Strata Satu, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2017, hlm. 4.
BAB II. POLITIK HUKUM PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM
Pengadaan tanah tidak dapat dilepaskan dari kewenangan konstitusional negara yang berasal dari Hak Menguasai Negara Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945, yang diterjemahkan Pasal 2 UUPA. Sebagai organisasi kekuasaan, Negara memiliki wewenang untuk membuat kebijakan atau berbagai peraturan dan tindakan di bidang agraria31.
Berdasar Putusan MK Nomor 22/PUU-I/2003, Mahkamah Konstitusi menafsirkan makna dikuasai negara untuk memberikan mandat kepada negara dalam melakukan fungsinya sebagai pembuat kebijakan (beleid) dan tindakan (besturdaad),pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) oleh negara32. Wewenang membuat kebijakan atau berbagai peraturan dan tindakan di
bidang agrarian, yaitu terdapat berbagai macam hak atas tanah yang dapat diberikan dan dipunyai secara individu baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan hukum33.
Politik hukum pengadaan tanah, seperti mengutip pendapat Nurus Zaman ialah arah kebijakan yang dibuat oleh pembentuk undang-undang dalam rangka menjembatani kepentingan kebutuhan tanah untuk kepentingan umum, kepentingan investor, dan terhadap perlindungan hak-hak masyarakat pemegang hak atas tanah34.
Proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah proses gesekan politik dalam aras kekuasaan negara yang harus dijalankan dengan prinsip keseimbangan antar kepentingan hak atas tanah, yaitu tidak luput dalam melihat dan menyeimbangkan posisi tawar pemegang hak dan relasi kuasa yang membutuhkan hak.
Daniel S. Lev berpendapat apabila hukum dikaitkan dengan gesekan politik dalam aras kekuasaan negara, maka yang paling menentukan dalam proses hukum ialah berkaitan dengan ikhwal konsepsi dan struktur kekuasaan politik35. Di mana tempat
hukum dalam negara tergantung pada keseimbangan politik, definisi kekuasaan, evolusi ideologi politik, ekonomi, sosial, dan lain sebagainya yang membuat hukum menjadi suatu entitas yang kompleks.
2.1. PERKEMBANGAN HUKUM DAN KEBIJAKAN PERTANAHAN DALAM PEMBANGUNAN
Peraturan perundang-undangan mengikuti dinamika politik hukum. Terlebih khususnya yang berkaitan dengan pembangunan dan pertanahan. Eric Henry Supit, menyatakan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum, tentunya dilandaskan pada politik hukum tertentu dalam pembentukannya.
Dinamika peraturan pengadaan tanah dapat dilacak dari zaman kolonial Belanda, yaitu sebagaimana diatur terkait pembelian tanah oleh Pemerintah untuk keperluan
31 Sudargo Gautama, Tafisran Undang-Undang Pokok Agraria dan Peraturan Pelaksanaannya, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1997, hlm. 89.
32 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 022/PUU-I/2003.
33 Lihat Penjelasan Umum Pasal 4 (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria.
34 Nurus Zaman, Politik Hukum Pengadaan Tanah: Antara Kepentingan Umum Dan Perlindungan Hak Asasi
Manusia, Refika Aditama, Bandung, 2016, hlm. 197.
dinas dalam Byblad No. 11372 jo No. 12746 (Gouvernmentsbelsuit No. 7 Tahun 1927 jo No. 23 Tahun 1932)36. Pasca kemerdekaan aturan pengadaan tanah diatur Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah. Bahwa perolehan tanah atau pengadaan tanah dalam Permendagri ini yang mempunyai dua ciri utama, yakni: musyawarah dan ganti kerugian. Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, menandai perubahan istilah “pembebasan tanah” ke “Pengadaan Tanah”. Pengadaan Tanah dalam Kepres 55/1993 adalah “setiap kegiatan mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah”.
Pembangunan berjalan semakin massif mengikuti gerak cepat globalisasi. Pada negara berkembang seperti halnya Indonesia, ketersediaan tanah sangat dibutuhkan untuk mendukung keterlaksanaan pembangunan. Gencarnya pembangunan berkolerasi erat pada penggunaan tanah yang semakin tinggi, sehingga terjadi bermacam-macam corak dan bentuk hubungan antara manusia dan tanah. Hal tersebut kemudian menjadi hal yang mempengaruhi lahirnya UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam UU Pengadaan tanah, tidak terlepas dari empat (4) tahapan, diantaranya yaitu Perencanaan; Persiapan; Pelaksanaan; dan Penyerahan hasil37. Keempat hal tersebut dapat dilaksanakan ketika
dasar pengadaan tanah tersebut, yakni musyawarah, dapat dilakukan dengan istilah Romo Sandyawan Sumardi, yakni “bertemu secara manusia dengan manusia”.
Perencanaan, adalah tahapan dalam suatu bentuk dokumen perencanaan yang
berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah dan prioritas pembangunan yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah, Rencana Strategis, dan Rencana Kerja Instansi Pemerintah yang bersangkutan38.
Persiapan, secara garis besar dapat dirangkum ke dalam 3 hal yakni
Pemberitahuan rencana pembangunan; Pendataan awal lokasi rencana pembangunan; dan Konsultasi Publik rencana pembangunan39. Ketiga tahapan dalam persiapan sangat
penting untuk landasan proses pelaksaan pengadaan tanah dapat berlanjut atau tidak. Khususnya terkait konsultasi publik yang menjadi tempat bertemunya antara kepentingan masyarakat dan kepentingan pembangunan, untuk mencari kesepakatan dan kesepahaman dalam pembangunan kepentingan umum.
36 Konsep Byblas adalah pembelian tanah yang dilakukan oleh suatu panitia untuk memperoleh kesepakatan
dengan pemegang hak atas tanah. Maksud dari pembelian ini karena memang perlu diketahui bahwa konsepsi hubungan hukum antara negara dengan tanah sebagai hubungan kepemilikan (Domein Verklaring). Dalam Maria SW Sumardjono, Dinamika Pengaturan Pengadaan Tanah di Indonesia: Dari Keputusan Presiden sampai Undang-Undang, UGM Press, Yogyakarta, Cetakan Pertama 2015, hlm. 2.
37 Lihat Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum.
38 Lihat pasal 14 dan 15 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
39 Lihat pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan, yaitu setelah terbitnya lokasi pembangunan untuk kepentingan
umum oleh Gubernur terhadap tanah yang telah melalui tahapan persiapan. Tahapan pelaksanaan ini meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Inventarisasi dan identifikasi pengusaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah;
b. Penilai Ganti Kerugian;
c. Musyawarah penetapan Ganti Kerugian; d. Pemberian Ganti Kerugian; dan
e. Pelepasan tanah Instansi.
Proses ganti kerugian adalah poin paling penting, karena merupakan tahapan paling sentral dari semua proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Ganti Kerugian harus berdasarkan kesepakatan dengan musyawarah yang demokratis, di mana tidak ada paksaan, ataupun tindakan-tindakan represif dari alat negara. Kesepakatan dalam ganti kerugian hanya akan dicapai ketika kedua belah pihak mau mendengarkan, dan saling menghormati, khususnya penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Pelepasan hak, yaitu adalah pintu terakhir sebelum pembangunan untuk
kepentingan umum itu benar-benar dapat dilaksanakan. Pelepasan hak sendiri diartikan sebagai kegiatan pemutusan hubungan hukum dari pihak yang berhak kepada negara melalui Lembaga pertanahan40.
Pada keseluruhan tahapan pengadaan tanah tersebut di atas, diperlukan kejelasan dan batasan makna kepentingan umum. Hal tersebut dikarenakan kepentingan umum dalam konteks pengadaan tanah merupakan tema sentral dan selalu mengalami perdebatan41. Kendati jika melihat dalam rumusan normatif makna dan pembatasan
kepentingan umum, sekilas tidak menimbulkan masalah. Pada praktiknya kepentingan umum dapat dijadikan alat merampas tanah masyarakat dan mengabaikan hak-hak dari pemilik tanah dengan tindakan represif aparat. Praktik-prakik tersebut dapat dilihat dari maraknya konflik agraria terkait pembangunan-pembangunan sekror infrastruktur yang berkelindan dengan pembangunan untuk kepentingan umum.
Kepentingan umum harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bahwa penyalahgunaan kepentingan umum untuk merampas tanah atau tidak menghormati hak atas tanah rakyat untuk kepentingan-kepentingan kapital tentu tidak sesuai dengan semangat atau dari tujuan pembangunan untuk kepentingan umum itu sendiri. Perlunya di sini ditegaskan mengenai batasan-batasan kepentingan umum dalam UU Pengadaan Tanah.
Akibat banyaknya hal yang belum diatur jelas dan tegas, adanya banyak kendala administratif yang menyulitkan pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, serta terhambatnya proyek strategis nasional karena belum termasuk jenis
40 Lihat pasal 1 angka 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
41 Maria SW Sumardjono menjelaskan bahwa pengertian dan pemahaman yang objektif-rasional tentang
kepentingan umum dari perspektif hukum sangat diperlukan karena hukum tersebut merupakan sarana utama untuk menjamin kepentingan umum, sekaligus kepentingan individu, dengan tujuan agar keadilan dapat terlaksana. Dalam Maria SW Sumardjono, Dinamika Pengaturan Pengadaan Tanah di Indonesia: Dari Keputusan Presiden sampai ke Undang-Undang, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2015, hlm. 8.
kepentingan umum, maka Pemerintah bersama DPR merevisi UU Pengadaan Tanah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Terdapat beberapa perubahan UU Pengadaan Tanah melalui UU Cipta Kerja.
Perubahan ketentuan terkait pengadaan tanah untuk kepentingan umum terdapat dalam bab VIII Pasal 123 UU Cipta Kerja. UU Cipta Kerja menambah dan mengubah beberapa pasal UU Pengadaan Tanah, sehingga UU Pengadaan Tanah tetap berlaku dan peraturan perundangan lain yang berkaitan dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum masih dinyatakan berlaku selama tidak bertentangan dengan UU Cipta Kerja. Hal yang ditambahkan dan diubah oleh UU Cipta Kerja yaitu berkaitan dengan penambahan jenis pembangunan untuk kepentingan umum42, penambahan jangka waktu penetapan
lokasi, Penitipan Ganti Kerugian, dan upaya percepatan pengadaan tanah yang berkaitan dengan proyek startegis nasional seperti penyelesaian status kawasan hutan, percepatan pengadaan tanah terkait dengan tanah kas desa, tanah wakaf, dan tanah aset. UU Cipta Kerja mencabut Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan menggantinya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagai peraturan pelaksana pengadaan tanah paska berlakunya UU Cipta Kerja.
Sebagai produk hukum yang cacat secara prosedural maupun secara substantif, terdapat persoalan yang sangat krusial mengenai pengaturan dan mekanisme pengadaan tanah yang diakibatkan kehadiran UU Cipta Kerja. Pemerintah menambahkan kepentingan investor tambang, pariwisata dan kawasan ekonomi khusus ke dalam kategori pembangunan infrastruktur untuk kepentingan umum, dengan tujuan agar proses pengadaan tanah semakin mudah.
Kemudian terkait ketentuan waktu penyelesaian permohonan penitipan ganti kerugian di pengadilan negeri (konsinyasi) dalam pengadaan tanah, membuat pengadaan tanah dapat dilaksanakan lebih pasti dan cepat serta menguntungkan pihak tertentu, di mana yang jelas pihak itu bukanlah masyarakat. Penambahan ayat terkait tenggat waktu konsinyanyi menimbulkan adanya unsur keterpaksaan dalam pengadaan tanah dan perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah.
Substansi UU Cipta Kerja menurunkan standar hak asasi manusia pada berbagai sektor, khususnya dalam hal ini ialah hak untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya seperti yang diamanatkan konstitusi dan diatur lebih lanjut melalui Pasal 9 ayat (1) UU HAM.
Pengadaan tanah tidak dapat dilihat hanya sebatas proses penyediaan tanah bagi pembangunan proyek infrastruktur semata, namun harus mempertimbangkan segala dampak ekonomi, sosial dan lingkungan pada lokasi dan masyarakat terdampak. Maka kebijakan berkaitan kepentingan umum khususnya pengadaan tanah, seharusnya dirumuskan dengan tidak hanya terfokus pada ambisius percepatan proses
42 Terdapat tambahan 6 (enam) sektor yang dikategorikan sebagai pembangunan untuk kepentingan umum
antara lain adalah kawasan hulu dan hilir minyak dan gas, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), kawasan industri, kawasan pariwisata, kawasan ketahanan pangan, dan kawasan pengembangan teknologi.
pembangunan infrastruktur semata. Melainkan juga harus mempertimbangkan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan masyarakat terdampak secara komprehensif dan berkeadilan, yaitu mengutamakan perlindungan terhadap masyarakat bukanlah sebaliknya.
2.2. PERLINDUNGAN HUKUM PEMEGANG HAK ATAS TANAH DALAM PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM
Perlindungan hukum berasal dari bahasa Belanda, yakni rechbescherming yang memiliki arti bahwa dalam kata perlindungan terdapat suatu usaha untuk memberikan hak-hak pihak yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang dilakukan. Perlindungan hukum dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, secara garis besar dapat diartikan sebagai penghormatan terhadap hak-hak perorangan atas tanah.
Konsekuensi pengakuan negara terhadap tanah seseorang atau suatu masyarakat hukum adat, maka negara wajib untuk memberi jaminan kepastian hukum terhadap hak atas tanah tersebut sehingga lebih mudah bagi seseorang untuk mempertahankan haknya terhadap gangguan-gangguan dari pihak lain43.
Pasal 28 H ayat (4) UUD NRI 1945 memberi perlindungan terhadap hak-hak atas tanah. Hak pribadi maupun hak bersama atas tanah diberi jaminan agar masing-masing dapat dipertahankan demi kelangsungan hidup umat manusia. Eksistensi hak pribadi diekspresikan dalam keselarasannya dengan hak bersama.
Hak pribadi atas tanah tidak bersifat mutlak, diatur pula adanya fungsi sosial pada tanah yang diatur pada Pasal 6 UUPA. Berdasar Penjelasan Umum angka II butir 4 UUPA bahwa “Hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan,
bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan negara”, maka tidak berarti bahwa
kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum. Kepentingan perseorangan dan kepentingan umum harus saling mengimbangi, hingga dapat tercapai tujuan pokok kemakmuran, keadilan, dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya sebagaimana diatur pada Pasal 2 ayat (3) UUPA.
Proses Pengadaan Tanah dalam UU Pengadaan Tanah, haruslah dilaksanakan dengan prinsip kemanusiaan, demokratis dan adil44. Sehingga konsekuensi dari dasar
filosofis tersebut bahwa pendekatan kemanusiaan menjadi pendekatan yang utama dalam proses pengadaan tanah. Berarti tindakan-tindakan yang mengingkari prinsip kemanusiaan dalam pengadaan tanah ini tidak diperkenankan. Lebih jauhnya proses pengadaan tanah ini harus ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Terkait perlindungan hukum kepada pemilik tanah dalam kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, menjadi kewajiban untuk memberikan ganti kerugian
43 Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan…. Op.cit, hlm. 159.
44 Lihat dasar menimbang huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi
yang layak, adil, dan berkelanjutan bagi pemilik tanah. Ketentuan Pasal 33 UU Pengadaan Tanah, telah menentukan penilaian terhadap besarnya nilai ganti kerugian dilakukan oleh penilai yang akan menilai bidang per bidang tanah, yang meliputi:
a. Tanah;
b. Ruang atas tanah dan bawah tanah; c. Bangunan;
d. Tanaman;
e. Benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau f. Kerugian lain yang dapat dinilai
UU HAM turut mengatur pula tentang perlindungan hak-hak masyarakat. Pasal 36 dan Pasal 37 UU HAM menjadi salah satu asas atau pedoman dalam melaksanakan pengadaan tanah yang menghormati hak asasi manusia.
Pasal 36 UU HAM
(1) Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum.
(2) Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum.
(3) Hak milik mempunyai fungsi sosial. Pasal 37 UU HAM
(1) Pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum, hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera serta pelaksanaanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Apabila sesuatu benda berdasarkan ketentuan hukum demi kepentingan
umum harus dimusnahkan atau tidak diberdayakan baik untuk selamanya maupun untuk sementara waktu maka hal itu dilakukan dengan mengganti kerugian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali ditentukan lain.
Sebagai dasar dari pengambilan tanah oleh negara sebagai organiasi tertinggi, untuk kepentingan umum harus didasari dengan prinsip musyawarah sebagai dasar pengambilan hak atas tanah. Prinsip musyawarah kemudian dijelaskan dengan rinci dalam tujuan dari pengadaan tanah untuk kegiatan kepentingan umum dan harus disertai ganti rugi yang layak dan adil.
Pelaksanaan pengadaan tanah harus dilaksanakan dengan mengacu kepada prinsip-prinsip atau asas-asas pengadaan tanah untuk mencapi cita ideal kemakmuran rakyat. Kurnia Warman menjelaskan ada 6 (enam) prinsip pengadaan tanah, sebagai berikut:45
a. Prinsip Musyawarah
b. Prinsip Kepentingan Umum
c. Prinsip Pelepasan Hak dan Penyerahan hak atas tanah d. Prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah
e. Prinsip Ganti Kerugian
45 Kurnia Warman dalam keterangan ahli hukum pemohon di Sidang Mahkamah Konstitusi tentang Pengujian
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
f. Prinsip Tata Ruang
Bahwa prinsip atau asas pengadaan tanah tersebut di atas bertujuan mewujudkan pengadaan tanah yang berkeadilan, kelayakan, dan kepantasan. Pengadaaan tanah juga harus menghormati prinsip hak asasi manusia, serta lebih jauhnya bahwa pengadaan tanah harus ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat – individu, tidak berkurang, atau tidak memiskin rakyat yang telah berkorban untuk proyek pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum.
2.3. PRAGMATISME MAKNA KESEIMBANGAN DALAM PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM
Pasca diundangkannya UU Pengadan Tanah, akses memperoleh dan memanfaatkan tanah untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya seperti yang diamanatkan oleh Pasal 9 ayat (1) UU HAM, belum dapat dinikmati oleh setiap orang.
Permasalahan terkait pengadaan tanah untuk kepentingan umum, berkisar pada tiga permasalahan pokok yaitu batasan kepentingan umum, mekanisme penaksiran harga tanah dan anti kerugian, serta tata cara pengadaan tanah46. Permasalahan pada
pengadaan tanah untuk kepentingan umum tersebut, dikarenakan oleh adanya kesumiran atau ketidakjelasan dan kerumitan hukum dalam merumuskan percepatan pembangunan dan penegakan hak asasi manusia secara bersamaan. Maka untuk membedah hambatan diperlukan kajian analisis terhadap penerapan kebijakan pengadaan tanah untuk kepentingan umum berdasar hak asasi manusia.
Kajian analisis terkait keberlakuan atau bekerjanya fungsi hukum yang dibentuk di tengah masyarakat, jika menggunakan hubungan pembuatan hukum dan masyarakat yang dijelaskan oleh Chambliss dan Seidmen 47 ,maka pengadaan tanah untuk
kepentingan umum perlu menciptakan keseimbangan secara objektif. Sehingga terdapat kesepakatan akan nilai-nilai masyarakat, atau dengan kata lain makna keseimbangan tidak hanya dari berasal dan ditentukan oleh pemerintah saja, melainkan juga menjadi hal yang diinginkan dan layak serta adil bagi masyarakat terdampak pembangunan.
Maria SW Sumardjono menjelaskan pengertian dan pemahaman yang objektif-rasional tentang kepentingan umum dari perspektif hukum sangat diperlukan karena hukum tersebut merupakan sarana utama untuk menjamin kepentingan umum, sekaligus kepentingan individu, dengan tujuan agar keadilan dapat terlaksana 48.
Pengadaan tanah sebagai bentuk dari kebijakan publik harus dijelaskan dalam relasinya dengan diskursus negara c.q pemerintah, dalam proses pengambilan tanah untuk kepentingan umum.
Terdapat hal-hal yang bersifat pragmatis pada UU Pengadaan Tanah terkait aspek keseimbangan pada Pasal 9 ayat (1) UU Pengadaan Tanah, yang menyatakan bahwa “Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum memperhatikan
46 Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif … Op.cit, hlm. 240
47 Chambliss and Seidmen, Law, Order, and Power, Reading, Massachusetts: Addison-Wesley Publishing
Company, hlm. 17-56, dalam Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Bandung, Penerbit Angkasa, 1986, hlm. 48-51.
keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat”49. Pasal 9
ayat (1) UU Pengadaan Tanah tidak mendefinisikan dengan jelas pengertian kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat sehingga tidak jelas yang akan diseimbangkan itu apa dan bagaimana.
Pasal 9 ayat (1) UU Pengadaan Tanah gagap dalam menerjemahkan keseimbangan antara kepentingan umum dan individu, atau antara kepentingan pembangunan dan masyarakat. Hal tersebut mengakibatkan timbulnya kesenjangan antara asas-asas dalam UUPA dan UU Pengadaan Tanah yang berakibat fatal. Apabila sudah mengatasnamakan kepentingan umum, maka kepentingan pembangunan akan menjadi acuan hingga kepentingan masyarakat dapat tidak lagi diperhatikan.
Aspek keseimbangan adalah aspek paling krusial dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Menurut Maria Sumardjono, keseimbangan harus tercermin antara keuntungan pembangunan bagi invenstor dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan, serta sesuai dengan prinsip kebersamaan dan prinsip efisiensi berkeadilan menurut pasal 33 ayat (4) UUD NRI 194550.
Kebijakan pengadaan tanah untuk pembangunan tidak untuk menurunkan ekonomi dari masyarakat terdampak yang harus melalui musyawarah yang setara dan adil, serta penghormatan atas hak rakyat akan tanah. Sehingga adanya keseimbangan, atau keadaan seimbang, bertujuan agar pembangunan untuk kepentingan umum ini bisa benar-benar ditujukan untuk kemakmuran rakyat. Namun adalah sebuah keniscayaan bahwa pembangunan dapat mencerminkan keseimbangan, sehingga titik temu keseimbangan harus dicari baik dari segi substansial maupun prosedural dalam rumusan pasal-pasal UU Pengadaan Tanah.
Ketidakberpihakan pemerintah terhadap kepentingan masyarakat, menyebabkan keseimbangan yang menjadi prinsip dalam pembangunan untuk kepentingan umum tidak tercapai. Sehingga pembangunan infrastruktur yang dilaksanakan dengan dalil kepentingan umum, pada tataran implementasi berada di persimpangan jalan. Satu sisi, pembangunan tersebut diklaim sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun di sisi yang lain justru meninggalkan konflik agraria yang tidak berkesudahan.
Pada tahun 2013, Pasal 9 ayat (1) UU Pengadaan Tanah menjadi salah satu pasal yang dimohonkan untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 oleh MK51.
Karena “keseimbangan” pada Pasal 9 ayat (1) UU Pengadaan Tanah tidak jelas dalam wujudnya, sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan rusaknya tatan negara hukum. Ketidakjelasan atau kesumiran dan ketidakpastian hukum tersebut, dapat membuat Pemerintah dapat secara sepihak menyatakan pengadaan tanah telah
49 Lihat Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum
50 Maria Sumardjono, Pragmatisme UU Pengadaan Tanah, Opini, Kompas, 7 Januari 2013, hlm. 6.
51 Permohonan Judicial Review (uji materiil) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum ke Mahkamah Konstitusi dilakukan oleh masyarakat bersama Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), ELSAM,, KIARA, dan lembaga non pemerintah lainnya, yang dalam hal ini yang merasa dirugikan atas ketentuan UU Pengadaan Tanah.
seimbang antara kepentingan pembangunan dan masyarakat52. Pengadaan tanah untuk
kepentingan umum pun akan memakai pendekatan top-down dan tidak berkeadilan. Melalui Putusan MK Nomor 50/PUU-1/2013, MK menolak permohonan pemohon secara seluruhnya, termasuk Pasal 9 ayat (1) UU Pengadaan Tanah. Makna “keseimbangan” pada Pasal 9 ayat (1) UU Pengadaan Tanah sudah dinilai cukup jelas. Sejalan dengan hal tersebut sejak tahun 2013, konflik-konflik agraria dalam bidang infrastruktur yang notabene diawali oleh proyek pengadaan tanah menjadi meningkat.
Catatan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) setiap tahunnya menunjukkan eskalasi sebaran konflik yang terus meningkat, disertai dengan kasus-kasus kekerasan. Pada tahun 2013 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat terdapat 105 konflik agraria yang disebabkan proyek infrastruktur. Tahun 2014, angkanya melonjak dua kali lipat yaitu menyentuh 215. Angka tersebut jika dibandingkan dengan tahun 2015 mengalami penurunan, akan tetapi menjadi penyumbang konflik nomor 2 (dua) setelah bidang perkebunan.
Letusan konflik agraria struktural akibat praktik perampasan tanah dan penggusuran di tahun 2016 meningkat 450 konflik, tahun 2017 mencuat hingga 659 konflik, tahun 2018 410 konflik, 2019 menjadi 279 konflik, dan pada tahun 2020 sedikitnya terjadi 241 konflik. Kendati angka konflik menunjukkan penurunan, namun faktanya kekerasan yang terjadi akibat konflik agrarian struktural pada petani, masyarakat adat, masyarakat pedesaan, nelayan, dan perempuan tetap tinggi.
Selain itu berdasar temuan Komnas HAM RI, peletakan standar hak asasi manusia dalam pembangunan infrastruktur dan proyek srategi nasional masih tergolong lemah. Dalam pembangunan infrastruktur, pengambil kebijakan menggunakan variabel ekonomi yang dikaitkan dengan investasi dan pertumbuhan ekonomi belaka53, tanpa
memperhitungkan skala pelanggaran hak atas tanah dan hak ekonomi, sosial dan budaya yang menyertai.
Terdapat perubahan sosial yang memaksa masyarakat terdampak pembangunan infrastruktur untuk bekerja dan hidup pada suatu tempat yang menawarkan hal baru dari sebelumnya, sehingga taraf perekonomian pun turut berubah secara signifikan. Hal ini diakibatkan konfigurasi kompleks berbagai kepentingan ekonomi, politik dan kultural. Masyarakat yang terkena langsung dampak rusaknya lingkungan (laut, hutan, lahan pertanian, bahkan daerah pemukiman) lebih diposisikan sebagai instrument untuk berputarnya roda pembangunan yang cenderung eksploitatif. Maka dibutuhkan suatu upaya meninjau ulang peraturan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Peninjauan ulang peraturan dan tata kelola sebagai upaya menyeimbangkan keseimbangan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan pembangunan dalam proses pengadaan tanah harus diberi bentuk ganti kerugian, baik segi fisik maupun non
52 Fakta atau Posita dari Pemohon dalam pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-1/2013.
53 Anonim, Telaah HAM dalam Pembangunan Infrastruktur. (Online:
https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2019/10/18/1214/telaah-ham-dalam-pembangunan-infrastruktur.html).
fisik54. Sehingga keberlanjutan hidup pemegang hak bisa diteruskan dengan tidak
mengakibatkan kesejahteraan sosialnya menurun akibat adanya proses pengadaan tanah untuk pembangunan.55
Salah satu upaya mewujudkan keseimbangan dalam pembangunan untuk kepentingan umum adalah memahami pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum sebagai bagian dari pembaruan agraria. TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam diartikan sebagai suatu proses kesinambungan berkenaan dengan penataan kembali pengusaaan, kepimilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia56 yang bertujuan untuk menampung peran serta masyarakat
dan menyelesaikan konflik.
Kemudian lebih dari an sich, pada dasarnya keseimbangan dalam pengadaan tanah bisa diwujudkan dengan dilandasi 3 (tiga) hal sebagaimana berikut:
1. Penghormatan terhadap hak asasi manusia, khususnya hak atas tanah masyarakat, 2. Partisipasi masyarakat, dan
3. Ganti rugi yang layak dan adil.
Dalam mewujudkan tiga hal tersebut di atas, harus didukung dalam kontruksi keseimbangan yang ideal. Dari segi substansial perlu diperkuat aturan hukumnya, melalui: 1) Penguatan legal substance pengadaan tanah untuk kepentingan umum; 2) Menjelaskan makna keseimbangan dan membuat tolok ukur keberhasilan keseimbangan pengadaan tanah; dan 3) Membuat aturan pelaksana tentang keseimbangan pengadaan tanah. Kemudian dari segi Prosedural, yaitu: 1) Pembenahan aparatur pelaksana pengadaan tanah; 2) Ganti kerugian yang layak dan adil; 3) Paradigma pendekatan partisipasi masyarakat dari represif ke persuasif; 4) Masyarakat terkena dampak bebas untuk menentukan pendapat.
Apabila makna keseimbangan dalam pembangunan untuk kepentingan umum pada UU Pengadaan Tanah telah menemukan bentuk idealnya, maka pemahaman dan pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum sebagai bagian dari pembaruan agraria dapat berjalan secara berkeadilan tanpa menegasi kepentingan salah satu pihak. Sehingga eskalasi konflik secara horizontal maupun vertikal pun menurun dan dapat sejalan dengan terpenuhinya ukuran kesejahteraan, yang berhubungan erat dengan kebutuhan ekonomi secara mendasar dan bersifat berkelanjutan.
54 Linda Dewi Rahayu, Pragmatisme Makna Keseimbangan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Tidak Diterbitkan, 2020, hlm. 4.
55 Maria S.W. Suwardjono, Op.cit, hlm. 98.
56 Lihat Pasal 2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan
BAB III. FAKTA HUKUM DAN PENDAPAT AMICI 3.1. FAKTA HUKUM
Selaku amici pada Perkara Nomor: 68/G/PU/2021/PTUN.SMG, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menggali fakta hukum di lapangan dan merangkum fakta hukum di persidangan. Hal ini bertujuan untuk membantu amici dalam mengkolerasikan teori, konsep dan peraturan perundang-undangan terkait pengadaan tanah dan perlindungan terhadap hak atas tanah.
A. FAKTA HUKUM DI LAPANGAN
Fakta hukum di lapangan disusun berdasar pendapat hukum (legal opinion) kuasa hukum Penggugat (masyarakat Desa Wadas), pemberitaan di media, dan investigasi KPA dari berbagai sumber lainnya. Berikut adalah uraian fakta hukum di lapangan: 1. Kegiatan tambang batu andesit di Desa Wadas menggunakan skema
pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum
Desa Wadas direncanakan sebagai wilayah tambang batu andesit untuk material Bendungan Bener, sebagaimana SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/41 Tahun 2018 tentang Persetujuan Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah (SK IPL 590/41 2018), SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 539/29 Tahun 2020 tentang Perpanjangan Atas Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah (SK IPL 539/29 2020), dan SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/20 Tahun 2021 tentang Pembaruan Atas Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah (SK IPL 590/20 2021).
Seluruh kegiatan atau aktivitas pertambangan dalam perkara a quo seharusnya mengacu pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta peraturan turunannya, bukan UU Pengadaan Tanah. Sebab, pengadaan tanah untuk kepentingan umum tidak termasuk di dalamnya adalah pertambangan, sebagaimana diatur pada Pasal 10 UU Cipta Kerja sebagaimana telah diubah dalam Pasal 123 Angka 2 UU Cipta Kerja jo. Pasal 2 PP 19/2021. Kendati pertambangan ini adalah hal yang dianggap mendukung pembangunan Bendungan Bener, Pejabat TUN tidak dapat sewenang-wenang menginterpretasikan sepihak kepentingan umum yang bersifat terbatas.
2. Terdapat cacat prosedural penerbitan SK IPL 590/20 2021
Gubernur Jawa Tengah gagal memahami prosedur penerbitan SK IPL 590/20 2021. KTUN diterbitkan tidak sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP), Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011), UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Bagi Kepentingan Umum (UU Pengadaan Tanah), Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (PP 19/2021).
Cacat prosedural penerbitan SK IPL 590/20 2021 terkait jangka waktu izin penetapan lokasi pengadaan tanah untuk kepentingan umum, ketiadaan proses ulang terhadap sisa tanah yang belum selesai pengadaannya. Selain itu juga karena absennya partisipasi masyarakat Desa Wadas pada proses penyusunan dokumen perencanaan dan tidak adanya pemberitahuan atau sosialisasi terkait rencana pembangunan.
UU Pengadaan Tanah tidak mengatur mengenai pembaruan izin penetapan lokasi pengadaan tanah untuk kepentingan umum, melainkan mengatur mengenai perpanjangan izin penetapan lokasi pengadaan tanah untuk kepentingan umum. SK IPL sebelumnya yaitu SK IPL 590/41 2018 telah selesai jangka waktunya selama 2 (dua) tahun yaitu pada tanggal 5 Juni 2021, kemudian terbit SK perpanjangan IPL 539/29 2020 untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. Hal tersebut sebagaimana diatur pada Pasal 68 ayat (1) UU AP mengatur bahwa keputusan berakhir apabila habis masa berlakunya, dicabut oleh pejabat berwenang, dibatalkan oleh pejabat yang berwenang atau berdasarkan putusan pengadilan, atau diatur dalam ketentuan perundang-undangan, dan Pasal 24 UU Pengadaan Tanah mengatur bahwa penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum diberikan dalam waktu dua tahun dan dapat diperpanjang paling lama satu tahun.
Kendati Pasal 24 ayat (1) UU Pengadaan Tanah sebagaimana telah diubah dalam Pasal 123 angka 6 ayat (1) UU Cipta Kerja jo. Pasal 46 (1) PP 19/2021, bahwa penetapan Lokasi pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 berlaku untuk jangka waktu tiga tahun dan dapat diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. UU Cipta Kerja tidak dapat mengubah ketentuan terkait waktu penambahan jangka waktu penetapan lokasi. UU Cipta Kerja tidak dapat serta merta mengkoreksi kecacatan penerbitan KTUN. Hal ini dikarenakan SK IPL 590/41 2018 dan SK IPL 539/29 2020 dibuat dengan mengikuti aturan pengadaan tanah di UU Pengadaan Tanah, bukan mengikuti ketentuan pengadaan tanah di UU Cipta Kerja. Selain itu SK IPL 590/20 2021 memiliki pertimbangan yang hanya berdasar pada surat permohonan pihak yang membutuhkan tanah, yaitu Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO), tanpa melihat kesenjangan sosial dan berbagai tindakan paksa yang sarat intimidatif dan represif di lapangan.
Kemudian berdasar Surat dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Nomor B-2299/MENKO/MARVES/IS.03.00/VI/2021 perihal Percepatan Pembaruan Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah tertanggal 5 Juni 2021 yang ditujukan kepada Gubernur Jawa Tengah, disebutkan, “.... saat ini sedang berlangsung proses pengadaan tanah di
area konstruksi dan Quarry Bendungan Bener, dengan kemajuan dan capaian sebesar 42,46% (2.234 bidang dari 5.261 bidang)”. Maka dapat diasumsikan
42,46% yang belum selesai proses pengadaan tanahnya ialah Desa Wadas. Prosedur hukum terhadap jangka waktu IPL yang telah habis masa berlakunya/ daluwarsa, maka sifat keberlakuan sudah tidak berlaku secara hukum. Untuk penerbitan IPL baru untuk menyelesaiakan proses pengadaan
tanah, tidak dapat menerapkan kembali aturan perpanjangan izin namun harus melewati proses pengadaan tanah dari awal lagi.
Berdasar Pasal 25 UU Pengadaan Tanah jo. Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) PP 19/2021 sebelum Tergugat menerbitkan izin penetapan lokasi baru, maka pihak yang membutuhkan tanah/ BBWSSO, harus melakukan proses ulang terhadap sisa tanah yang belum selesai pengadaannya. Proses ulang tersebut harus dilakukan dari tahap awal pengadaan tanah, yaitu tahap perencanaan. Namun hingga gugatan ini dilayangkan, tergugat tidak pernah melakukan proses ulang terhadap sisa tanah yang belum selesai pengadaannya.
Penerbitan KTUN yang tidak prosedural juga dapat dilihat dari peran masyarakat Desa Wadas pada proses penyusunan dokumen perencanaan, tidak adanya pemberitahuan atau sosialisasi dan tidak ada konsultasi publik terkait rencana pembangunan. Ketiadaan pengumuman resmi penerbitan KTUN merupakan cacat prosedural dengan melanggar ketentuan Pasal 26 ayat (1) UU Pengadaan Tanah jo. Pasal 48 ayat (1) PP 19/2021 jo. Pasal 61 ayat (1) UU AP jo. Pasal 7, 10, dan 11 UU KIP.
Tidak dipenuhinya prosedur pengadaan tanah sebagaimana diatur pada peraturan perundang-undangan, maka implikasinya adalah KTUN cacat prosedural. Jika secara prosedural penerbitan KTUN adalah cacat, dapat dipastikan secara substansial pun sama dan hal ini melanggar hak asasi masyarakat Desa Wadas sebagaimana diatur pada konstitusi dan UU HAM. 3. Penerbitan surat a quo yang cacat prosedural jelas mengabaikan dan
melanggar hak atas tanah masyarakat Desa Wadas
Penerbitan SK IPL 590/20 2021 mengabaikan prinsip-prinsip dan prosedural dalam memperpanjang SK IPL 539/29 2020 yang daluwarsa berdasar UU AP dan UU Pengadaan Tanah. Terlebih tidak adanya keterbukaan informasi terkait pembangunan Bendungan Bener yang berdampak pada masyarakat Wadas, maka hal ini berpotensi besar dalam menghilangkan hak-hak masyarakat Desa Wadas dalam proses perencanaan dan persiapan terbitnya IPL. Bahkan dengan hadirnya UU Cipta Kerja, juga semakin berpeluang hilangnya kesempatan masyarakat Desa Wadas menggugat Pejabat TUN untuk mempertahankan hak atas tanahnya sebagaimana dijamin oleh UUD NRI 1945, UUPA, UU HAM, UU Ekosob, dan UU Pengadaan Tanah.
4. Tidak ada cukup ruang masyarakat untuk bermusyawarah mufakat, serta diabaikannya penolakan masyarakat atas pertambangan quarry
Sebagai salah satu menjadi pertimbangan terbitnya SK Nomor 590/41 2018 adalah berita acara konsultasi public tertanggal 26 Desember 2018. Para penggugat bersama Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (GEMPADEWA) secara tegas menyampaikan secara langsung keberatannya dan memberikan aspirasi penolakan terhadap rencana pengadaan tanah untuk kebutuhan material pembangunan Bendungan Bener. Akan tetapi keberatan dihiraukan, namun tidak dilakukan konsultasi public ulang.
Justru terdapat manipulasi dokumen berita acara konsultasi publik yang dilaksanakan pada 26 April 2018 di Balai Desa Wadas, seakan masyarakat Desa Wadas menyetujui konsultasi publik. Manipulasi dokumen tersebut dapat dilihat pada Dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) Pembangunan Bendungan Bener, BAB II halaman 191 poin 6 tentang Tanggapan Masyarakat Terhadap Rencana Quarry Area disebutkan bahwa 86,05% masyarakat dianggap bersedia apabila lahannya dijadikan lokasi tambang Batuan Andesit. Sisanya