Pengukuran dan Pemetaan
Hutan : PrinsipAlat Ukur Tanah
KULIAH 5
Koreksi Boussole / Kompas pada
Theodolith
Digunakan untuk koreksi arah utara 0
oyang sebenarnya (bukan
utara magnetis). Ada beberapa metode :
Metode I : Pengukuran selisih sudut pada dua titik yang diketahui
koordinatnya
Koreksi Boussole : Metode I
Jika diketahui titik A (xa,ya) dan B(xb,yb) maka dengan rumus :
α = A + C atau C = α - A
dimana :
α = sudut AB dari tg α = (x
b-x
a)/(y
b-y
a)
A = sudut bacaan dari alat optis (theodolit)
C = nilai koreksi yang seharusnya (nilai koreksi boussol)
Catatan :
Titik A dan titik B dapat dibuat dengan alat bantu GPS
Koreksi Boussole : Metode II
Mengukur tinggi matahari (h) dengan cara menempatkan
teropong theodolith ke arah matahari. (h) diperoleh dengan hasil
koreksi refraksi dengan tanda minus (ba-bb)
Lihat tepi atas dan tepi bawah ada D=32’ maka (h) adalah
0,5D=16’
Beberapa Metode Perolehan Data
Spasial
Perolehan Metode Terestris
Pengukuran Jarak : pita meter, rantai ukur, meteran dll Alat ukur Optik : Theodolith
Alat ukur Elektronik : EDM
Peroleh Metode Non Terestris
Citra Foto Udara (Fotogrammetri)
Citra Satelit (SatelitGrammetri / Radargrammetri)
JARAK DAN BEDA TINGGI
JARAK ANTARA DUA TITIK DI LAPANGAN BISA DIUKUR SECARA LANGSUNG & TIDAK LANGSUNG.
PENGUKURAN JARAK SECARA LANGSUNG :
A. MENGGUNAKAN PITA UKUR B. RANTAI UKUR
C. METERAN
PENGUKURAN JARAK TIDAK LANGSUNG :
A. DILAKUKAN DENGAN ALAT EDM ATAU SUBSTENSE BAR B. DILAKUKAN DENGAN CARA TACHYMETRI (TACHEOMETRI).
TACHYMETRI :
MENGGUNAKAN ALAT PADA TEROPONG THEODOLIT ATAU SIPAT DATAR.
ALAT TERSEBUT BERUPA BENANG-BENANG MENDATAR YANG TERDAPAT PADA DIAFRAGMA, YAITU : BENANG ATAS, BENANG TENGAH DAN BENANG BAWAH. DISEBUT ALAT PENGUKUR JARAK OPTIS.
Alat Ukur Tanah
Alat Ukur Sederhana
Rol M eter / M eteran (Measuring Tape)
M eteran, sering disebut pita ukur atau tape
karena umumnya tersaji dalam bentuk pita
dengan panjang tertentu. Sering juga
disebut rol meter karena umumnya pita ukur
ini pada keadaan tidak dipakai atau
disimpan dalam bentuk gulungan atau rol.
PADA PENGUKURAN JARAK LANGSUNG KESALAHAN
SISTEMATIK YANG TERJADI :
PANJANG PITA UKUR YANG TDK STANDAR
PELURUSAN YANG TDK SEMPURNA
PITA UKUR YANG TDK SEMPURNA
KEMIRINGAN MEDAN LAPANGAN (SLOPE)
KELENTURAN PITA UKUR
VARIASI TEMPERATUR UDARA
8
2.1 KOREKSI STANDAR PITA UKUR
9
dar
s
ukur
pita
panjang
dipakai
yg
ukur
pita
panjang
ukuran
jarak
jarak
Koreksi
tan
.
.
.
.
.
.
.
DEMIKIAN JUGA KALAU ALAT DIPAKAI UT
MENGUKUR LUAS
2tan
.
.
.
.
.
.
.
.
dar
s
ukur
pita
panjang
dipakai
yg
ukur
pita
panjang
x
ukuran
hasil
Luas
10
2.2 PELURUSAN YANG KURANG SEMPURNA
2
2l
d
jarak
Kesalahan
DIMANA : d = PENYIMPANAGAN PITA UKUR DARI GARIS LURUS L = PANJANG PITA UKUR
APABILA PITA UKUR TDK MENDATAR TP TERJADI
MELENGKUNG DI TENGAH PENGUKURAN
AKAN LEBIH PANJANG. BILA d JARANG
LENGKUNG DARI PITA SEBENARNYA, MAKA
KESALAHAN JARAK YG TERJADI :
11
2.3 PENDATARAN YANG KURANG SEMPURNA
2
2
l
d
jarak
Kesalahan
12
2.5 KELENTURAN KARENA BERAT PITA
UKUR
2.6 VARIASI TEMPERATURE UDARA
2
.
.
.
.
ukur
pita
tegangan
ukur
pita
berat
Kesalahan
KESALAHAN AKIBAT VARIASI
TEMPERATURE :
lxcxt
L = jarak terukurC = koefisien muai panjang
3. KESALAHAN RANDOM / TAK TERDUGA
KESALAHAN RANDOM TERJADI KARENA
HAL-HAL YG TDK TERDUGA:
1.
GETARAN UDARA / UNDULASI
2.
KONDISI TANAH TEMPAT BERDIRI ALAT
3.
KECEPATAN UDARA ATAU KONDISI ATMOSFER
4.KONDISI PENGAMAT
BIASANYA KESALAHAN INI TERLIHAT BILA
SUATU BESARAN DIUKUR BERULANG ULANG
NILAINYA TIDAK SAMA ANTARA UKURAN SATU
DGN YANG LAIN.
13
BILA DILAKUKAN n KALI PENGAMATAN
DENGAN HASIL PENGUKURAN X1, X2, X3
………
MAKA BESAR PENGUKURAN YANG BENAR :
14
n
xn
x
x
x
x
1
2
3
...
...
CARA MENGHILANGKAN KESALAHAN INI
CARA MENGHILANGKAN KESALAHAN INI :
1.
MENGGUNAKAN ALAT PRESISI TINGGI
2.
WAKTU PENGAMBILAN DATA
PAGI 07.00-11.00,
SORE 14.00-17.00, ALAT UKUR DIPAYUNGI
3.
MENGGUNAKAN METODE PENGOLAHAN DATA
TERTENTU (GRAFIS, BOUWDITCH, PERATAAN,
KUADRAT TERKECIL, DLL)
15
DALAM IUT, HASIL PENGAMATAN DIKOREKSI
DENGAN METODE ILMU HITUNG PERATAAN
(ADJUSTMENT).
KESALAHAN SISTEMATIK TIDAK DAPAT
DIKOREKSI, MISAL: KESALAHAN SISTEMATIK “s”
MAKA DALAM “n” PENGAMATAN TERDAPAT
KESALAHAN “s.n”
HASIL KOREKSI RATA-RATA : (s.n/n) = n TETAP
ADA / TDK HILANG
Alat Ukur Tanah
Kompas (Compass)
Kompas adalah sebuah alat dengan
komponen utamanya jarum dan
lingkaran berskala.
Alidade
Mistar yang dipasang pada papan
gambar PlaneTable untuk menggambar
jarak hasil pengukuran.
Alat Ukur Tanah
Hand Level (Teropong Pendatar Tangan)
Bagian utama dari alat ini adalah
teropong sebagai alat pembidik dan nivo
sebagai alat yang menunjukkan kondisi
mendatar dan pada pengoperasian-nya
cukup dipegang dengan tangan.
Alat Ukur Tanah
Alat Ukur Sipat Datar
Waterpass
Alat ukur optis untuk mengukur beda
tinggi.
Alat Ukur Tanah
Alat Ukur Sudut
Theodolit
Theodolit merupakan alat ukur tanah
yang universal. Selain digunakan untuk
mengukur sudut horisontal dan sudut
vertikal, theodolit juga dapat digunakan
untuk mengukur jarak secara optis,
membuat garis lurus dan sipat datar orde
rendah.
MACAM-MACAM ALAT THEODOLIT
1. Theodolit Reiterasi
adalah alat pengukur sudut datar/lereng, jarak optik,
beda tinggi. Lingkaran skala mendatar menjadi satu
kiap, sehingga skala mendatar tidak dapat diputar.
Bacaan lingkaran mendatar untuk suatu target
tertentu tidak dapat di nolkan.
Besar sudut yang dibentuk garis bidik diarahkan dua
target, antara lain :
1. Sudut Atas ( M – B )
2. Sudut Bawah ( B – M )
BAGIAN-BAGIAN ALAT THEODOLIT REITERASI
Perhatikan konstruksi gambar dibawah ini :
TEROPONG SUMBU-I SUMBU-II PENYANGGA SUMBU MENDATAR KIAP LINGKARAN SKALA TEGAK NIVO INDEKS
1. Theodolit Repetisi
Kegunaan alat teodolit repetisi ini pada prinsipnya adalah sama
dengan alat theodolit reiterasi, bedanya adalah dalam hal
konstruksinya. Dimana lingkaran skala mendatar dapat diatur
(pada sudut nol derajat) dan juga mengelilingi sumbu tegak.
BAGIAN-BAGIAN ALAT THEODOLIT
REPETISI
Perhatikan konstruksi gambar dibawah ini :
TEROPONG SUMBU-I
SUMBU-II
PENYANGGA SUMBU MENDATAR
KIAP NIVO INDEKS
LINGKARAN TEGAK
GAMBAR 5 : ALAT TEODOLIT REPETISI LINGKARAN TEGAK SKALA TEGAK
SKRUP REPETISI
KIAP SKRUP KIAP
Bagian-bagian Theodolith
: T0
1. Plat dasar
2. Sekerup penyetel ABC 3. Tribrack
4. Klem penggerak halus (alhidade) Horisontal 5. Klem sumbu horisontal (II)
6. Klem penyeimbang nivo tabung 7. Nivo kotak
8. Lensa Okuler teropong 9. ronsel penjelas bayangan
Prinsip Kerja Theodolith : T0
Centering :
Sumbu I Vertikal
Sumbu II Tegak Lurus Sumbu I
Garis bidik tegak lurus Sumbu II
Kesalahan Indeks Vertikal = 0
Pembidikan teropong
Pembacaan rambu
bb = 100 cm ba = 108 cm bt = 104 cm
sebagai pengecekan : bt = (ba-bb)/2
Model-Model Alat Theodolit
Alat Teodolit ini adalah model Topcon
T.38 ATD fabrikasi Jepang.
Alat ini digunakan untuk pengukuran
sudut datar, sudut miring / zenith dan
pengukuran jarak optis.
Dalam pekerjaan bidang survei
pemetaan, alat ini banyak
dimanfaatkan pada pekerjaan
penentuan posisi horisontal, pemetaan
topografi, dan survei teknik sipil.
Model-Model Alat Theodolit
Alat Teodolit ini adalah model Topcon
T.20 DF fabrikasi Jepang.
Alat ini digunakan untuk pengukuran
sudut datar, sudut miring / zenith dan
pengukuran jarak optis.
Dalam pekerjaan bidang survei
pemetaan, alat ini banyak
dimanfaatkan pada pekerjaan
penentuan posisi horisontal, pemetaan
topografi, dan survei teknik sipil.
Model-Model Alat Theodolit
Alat Teodolit ini adalah model
Widheerburg T.0 fabrikasi Swizhertland.
Alat ini digunakan untuk pengukuran
sudut datar, sudut miring / zenith dan
pengukuran jarak optis.
Dalam pekerjaan bidang survei
pemetaan, alat ini banyak
dimanfaatkan pada pekerjaan
penentuan posisi horisontal, pemetaan
topografi, dan survei teknik sipil.
Model Alat Total Station
Alat ini adalah model digital Total
Station Sokkisa fabrikasi Jepang.
Alat ini digunakan untuk pengukuran
sudut datar, sudut miring / zenith dan
pengukuran jarak optis.
Dalam pekerjaan bidang survei
pemetaan, alat ini banyak
dimanfaatkan pada pekerjaan
penentuan posisi horisontal, pemetaan
topografi dan survei teknik sipil.
MENGUKUR JaraK
Jarak ( D ) = ( BA – BB ) x 100
Dimana :
BA = Benang Atas BB = Benang Bawah BT = Benang Tengah = BA + BB 2Tabel Beda tINGGI
Alat Ukur Tanah
Alat Penunjang
Tripod/Statif/Kaki Tiga
Kegunaan tripod adalah untuk
menunjang theodolit. Tripod dapat
teleskopi (Mempunyai kaki yang dapat
diubah-ubah panjangnya) atau tripod
dengan kaki yang tetap panjangnya.
Alat Ukur Tanah
Tripod
Rambu Ukur
U 90º B S 90º B U 90º T S 90º T U S T B
True Bearing
True bearing merupakan sudut lancip yang dibentuk oleh garis meridian bumi (bujur) dengan garis/arah bidik.
Besaran sudut ukurnya dihitung dari meridian Utara atau Selatan ke arah timur atau barat.
1. Sudut datar
Azimut
U
B T
S
Azimut merupakan sudut yang dibentuk antara garis Utara atau Selatan bumi dengan arah pengukuran ke Timur atau ke Barat sesuai dengan bousole (kompas) yang digunakan.
Kisaran besaran sudut 0º – 360º atau 0g– 400g.
Besaran sudut hasil pembacaan ada yang bersifat langsung dan tak langsung.
Kenyataannya bahwa jarum magnit tidak mengarah ke kutub Utara-Selatan bumi tetapi menyimpang ke Utara-Utara-Selatan kutub magnit bumi.
Kutub magnit merupakan daerah yang luas dan pada daerah tsb jarum magnit akan berdiri tegak. Tempat-tempat yang menjauh dari daerah magnit umumnya akan membentuk sudut deklinasi yang umumnya dengan besaran yang berlainan, namun ada pula yang mempunyai sudut deklinasi sama.
Penyimpangan terjadi karena posisi kutub magnit Utara-Selatan bumi tidak tepat berada di kutub Utara-Selatan bumi dan akibat pengaruh medan magnit besar yang merupakan gabungan semua gaya magnit dipermukaan bumi menarik jarum magnit untuk mengarah ke kutub magnit. Penyimpangan tsb dinyatakan sebagai deklinasi.
Alat Ukur Tanah
Sudut Horizontal
Sudut Vertikal
BM Sta A UB S
20º T
B T Deklinasi Timur UM UB S20º B
B T Deklinasi Barat UMDeklinasi (sudut penyimpangan)
merupakan sudut yang dibentuk dari arah jarum magnit terhadap Utara-Selatan bumi yang sesungguhnya.
Sudut arah tidak menentukan arah Utara, Timur, Selatan atau Barat. Sehingga dalam pengukuran diperlukan 2 titik yang telah diketahui azimutnya, agar dapat ditentukan posisi titik-titik atau garis berikutnya. Arah merupakan pandangan depan yang dibentuk dari pandang-an belakang (sebelumnya) sebagai garis patokan. Sudut yang dibentuk merupakan sudut arah.
α
AB
C
Katakan pengukuran bergerak
dari A ke B terus ke C, maka
- arah BA pandangan belakang
- arah BC pandangan muka
- ABC = α adalah sudut arah
Sudut arahKatakan saja pengukuran bergerak dari A – B – C.
- Titik A dan B membentuk garis yang diketahui asimutnya 1= 45º UB. (arah BA pandangan belakang).
- Selanjutnya arah pengukuran dari titik B ke titik C dengan membentuk sudut terhadap garis BA sebesar = 110º (sudut arah). Azimut BC
(pandangan muka) diperoleh dari (-1) = (110º – 45º) = 65º (2). B T U 1 2 A B C S
2. Sudut tegak Z N
ž
Sudut tegak dibentuk dari bidang tegak (vertikal).
Sudut ditentukan dari garis tegak yaitu berupa sudut zenit (ž) atau sudut nadir () dengan besaran maksimal sebesar 180º.
Besaran sudut elevasi () dan depresi () diperoleh dari :
= 90º – ž
= 90º –Sudut miring/lapangan dibentuk dari bidang datar (horizontal) terdiri dari sudut elevasi atau depresi. Bidang datar Bi d a ng te g a k 1. Sudut datar
Pengukuran azimut secara langsung
Bousole
2.1.2. Pembacaan Besaran Sudut
180 90 90 270 Ob
S
Ok 0 0 90 90 180 270 ObS
0 0 OkLangkah pengukuran/pembacaan :
1. Gambar di sebelah kiri menunjukkan kedudukan awal teropong, dimana skala piringan datar 00berimpit 00UMB
2. Arahkan teropong ke rambu (misal mengarah ke kanan/Timur). Setelah mengarah ke rambu tepat (untuk pembacaan), baca sudut melalui mikroskop dan terbaca (misalnya) 37º .
Besaran sudut yang terbaca merupakan azimut yang terbaca langsung didasarkan dari utara magnit bumi ke arah pembidikan rambu (37ºUTM)
Pengukuran azimut secara tak langsung
Bousole 0
S
90 270Ob
B
180 35Ok
Ob
62S
Ok
Langkah pengukuran/pembacaan :
1. Gambar di sebelah kiri menunjukkan kedudukan awal teropong, dimana skala piringan datar 350berimpit dengan 1800SMB = 00UMB 2. Arahkan teropong ke rambu (misal mengarah ke kanan/Timur).
Setelah mengarah ke rambu tepat (untuk pembacaan), baca sudut melalui mikroskop dan terbaca (misalnya) 97º .
Besaran sudut yang terbaca tidak merupakan azimut yang terbaca langsung.
Perhitungan hasil pembacaan : (970– 350) = 620UTM
2. Sudut tegak Z
ž
1
1 A1 A2 Bidang datar Ž=
sudut zenith
=
90
0~
ž
1=
1
=
sudut elevasi = sm +
Bila sebesar : (1) Z~
A1 =
Ž
1
2 (2) Z~
A2 =
Ž
2ž
2
=
90
0~
ž
2=
2
=
sudut depres =
sm –
=
90
0~ 50
0=
40
0
=
90
0~ 150
0=
- 60
0Tanda neg. = arah pengukuran menurun
2.2. PENGUKURAN JARAK
Jarak merupakan rentangan hubungan terpendek antara dua titik. Jauh rentangan antara dua titik dinyatakan dalam satuan ukuran panjang.
Kedudukan kedua titik tsb, bisa pada :
• posisi datar (sejajar dengan bidang datar), disebut jarak datar • posisi miring (membentuk sudut lancip dengan bidang datar),
disebut jarak miring (lapangan)
• posisi tegak (membentuk sudut 900terhadap bidang datar), disebut jarak tegak (beda tinggi)
Pengukuran jarak secara garis besar terbagi 2 jenis pengukur-an yaitu secara langsung dan tidak langsung
a. Pengukuran jarak secara langsung : pengukuran jarak antara dua titik tidak begitu jauh atau pada hamparan lahan yang tidak begitu luas. Pengukuran ini dilakukan dengan cara sederhana. Peralatan ukur yang digunakan berupa galah, pita ukur atau rantai ukur.
b. Pengukuran jarak secara tak langsung : pengukuran jarak antara dua titik cukup jauh atau pada hamparan lahan yang cukup luas. Pengukuran dilakukan secara optik atau elektronik. Peralatan ukur yang digunakan berupa alat optik (manual atau elektronik).
2.2.1. Jenis Pengukuran (Pengukuran Datar,
Pengukuran Miring & Beda Tinggi)
Pengertian pengukuran (jarak) datar bila kedudukan garis bidik teropong sejajar dengan bidang datar (sudut miring = 0°). Pengukuran datar ini lebih dikenal dengan “Menyipat Datar” (diuraikan tersendiri).
Pesawat ukur yang digunakan berupa Bousole Tranche Montagne (BTM) atau Theodolit.
1. Pengukuran datar
Pengukuran dengan alat (pesawat) optik dikenal 4 unsur utama yang berperanan yaitu benang silang (stadia), rambu ukur, sudut (sudut datar dan sudut tegak) dan nivo (gelembung pendatar).
B A T Ab Ba
b
p
Sumbu Va
f
c
D.
b
F
d
Ab T1 T2 Ba Sumbu H (Pesawat Bousole Tranche Montagne)
Rumus dasar perhitungan jarak : d = c + D.b
berarti :
D = ( d : b )
( f : p )
Tetapan c = jarak titik api F (focus) ke busur lensa sangat kecil (nol) sehingga diabaikan
Tetapan D = bilangan pengali dalam menentukan jarak dan besarannya telah ditetapkan (umumnya bernilai 100) Nilai b = selisih nilai antara dua pembacaan benang pada
rambu d = c + Db d = (100) (0,30) m = 30 m
½AB = AT = TB
A B T1,25 m
1,55 m
atau d = (100) (1,55 m – 1,25 m) = 30 m Perhitungan : b = 1,55 m – 1,25 m = 0,30 mb = Ba – Ab = B – A (selisih dua benang) Contoh : Tinggi pesawat setelah diukur setinggi 1,40 m.
Setelah teropong dibidikan ke rambu diperoleh pembacaan benang atas (Ab) dan benang bawah (Ba) adalah 1,25 m dan 1,55 m. Tetapan D sebesar 100.
( Pesawat Theodolit )
Jarak datar pada pengukuran datar
B A T Bb Aa
b
p
Sumbu Va
f
c
D.b
F
d
Bb T1 T2 Aa Sumbu H LPB Perhitungan : d = c + D.b d = (100) (0,40 m) = 40 m b = 1,55 m – 1,15 m = 0,40 m½AB = AT = TB
A B T1,55 m
1,15 m
atau d = (100) (1,55 m – 1,15 m) = 40 mb = Aa – Bb = A – B (selisih dua benang) Contoh : Tinggi pesawat setelah diukur setinggi 1,35 m.
Setelah teropong dibidikan ke rambu diperoleh
pembacaan benang atas (Aa) dan benang bawah (Bb) adalah 1,55 m dan 1,15 m. Tetapan D sebesar 100.
Bila tetapan D tidak diketahui, maka cara berikut dapat digunakan sebagai pegangan untuk menetapkan nilai D sebagai berikut :
1) Cari lokasi yang datar sepanjang 50 m atau 100 m.
2) Dirikan pesawat (posisi datar) dan usahakan tinggi pesawat bernilai genap; misal 1,30 m, 1,40 m.
3) Dirikan rambu ukur (posisi tegak) dengan jarak ke pesawat sesuai yang diinginkan.
4) Arahkan teropong ke rambu ukur dengan tinggi arah bidik sesuai dengan tinggi pesawat.
5) Baca kedua benang (benang atas dan benang bawah) pada bayangan rambu dalam teropong dan hitung selisihnya (b). 6) Tentukan tetapan D yaitu sebesar (d : b).
Contoh : Tinggi pesawat setelah diukur setinggi 1,40 m. Jarak antara pesawat ke rambu diukur sejauh 50 m. Hasil pembacaan benang atas (Aa) dan benang bawah (Bb) adalah 1,65 m dan 1,15 m.
Perhitungan : Selisih pembacaan benang :
D = d : b
= (50 m) : (0,50 m) = 100 Jadi tetapan D sebesar 100
A
B
T
1,65 m
1,15 m
½AB = AT = TB
= 1,65 m – 1,15 m = 0,50 m b = A – BPengertian pengukuran (jarak) miring (lapangan) bila kedudukan arah bidikan dari teropong tidak sejajar dengan bidang datar (sudut miring = °).
Pesawat ukur yang digunakan berupa BTM atau Theodolit.
Pengukuran cara ini lebih banyak digunakan pada daerah-daerah yang bergelombang, berbukit atau bergunung. Disamping itu cara ini lebih disukai karena kondisi medan tidak menjadi penghalang.
Bila kedudukan rambu miring sebesar (kedudukan rambu tegaklurus garis bidik) maka rumus jarak yang digunakan adalah d =
c + D.b.
Kenyataan di lapangan bahwa rambu ukur berdiri tegaklurus terhadap bidang datar, sehingga rumus tsb perlu dilakukan
penyesuaian. Karena jarak titik F cukup jauh dari rambu, maka dapat dianggap sudut FTA’ sebesar 90º.
2. Pengukuran miring
Jarak datar pada pengukuran miring
d = c cos
+ D.b cos²
P Tp A B F A’ B’
T b QPQ = jarak datar (d)
; c = 0
= D.b cos²
d = c sin
+ D.b sin²Ž; c = 0
= D.b sin²Ž
ŽContoh : Hasil pembacaan benang atas (A) 1,45 m dan benang bawah (B) 1,15 m dengan sudut tegak (Ž) sebesar 67º20’. Tetapan d = 100. Penyelesaian : = 1,45 m – 1,15 m b = A – B = 0,30 m Ž = 67º20’ = 90º –Ž = 90º – 67º20’ = 22º40’ d = D.b cos² = (100) (0,30 m) cos²(22º40’) = 25,55 m Ž = 67º20’ = (100) (0,30 m) sin²(67º20’) = 25,55 m d = D.b sin²Ž
Pengertian beda tinggi : selisih antara dua titik atau dua tempat yang tingginya berbeda.
3. Penentuan beda tinggi
Untuk mengetahui beda tinggi antara dua titik atau tempat dapat dilakukan dengan pengukuran datar atau miring.
Beda tinggi pada pengukuran datar
PP’
TT’
nilai P nilai TT’Q = PP’ – TT’
t = PP’ – TT’
P P’ T T’ Q t Beda tinggi pada pengukuran miring
PP’ = TT’
nilai P = nilai TT’Q = c sin
+ ½ D.b sin2
t = ½ D.b sin2
P T P’ T’ Q
t t = ½ D.b sin2 Penyelesaian : t = ½ (100) (0,30) sin 2(90 - 67º20’) = 10,67 m = 1,45 m – 1,15 m b = A – B = 0,30 mPada kondisi lapangan tertentu terkadang pembidikan ke rambu dengan tinggi pesawat samadengan tinggi rambu sulit dilakukan. Sehingga untuk menentukan beda tingginya perlu dilakukan perubahan arah bidik.
Contoh : Hasil pembacaan benang atas (A) 1,45 m dan benang bawah (B) 1,15 m dengan sudut tegak (Ž) sebesar 67º20’. Tetapan d = 100.
PP’ = TT’ T’Q = c sin+ ½ D.b sin2 T’S = TS – TT’ SQ = T’Q – T’S t = T’Q + PP’ - TS = c sin+ ½ D.b sin2+ PP’ - TS = ½ D.b sin2+ PP’ - TS P T P’ T’ Q
t nilai P ≠ nilai T S Beda tinggi dengan bidikan tidak setinggi pesawatContoh : Tinggi pesawat 1,30 m dengan tinggi bidikan pada rambu 1,60 m. Selisih pembacaan benang 0,45 m. Sudut miring () sebesar 15º10’.
Penyelesaian : ½ D.b sin2 = ½ (100) (0,45 m) sin 2(15º10’) = 11,36 m
PP’ = 1,30 m & TS = 1,60 m t = 11,63 m + 1,30 m – 1,60 m
2.2.2. Pengukuran dengan Titik Silang
Cara ini dilakukan bila terjadi kerusakan pada benang silang (stadia) sehingga hanya titik silang tengah yang tampak dalam lensa.
Agar pesawat dapat digunakan maka dapat dilakukan cara-cara sebagai berikut :
1) Setelah tinggi pesawat diukur, bidikan teropong ke
arah rambu (arahkan ke sebelah atas dari titik tengah
T; titik tengah T pada rambu sesuai dgn tinggi
pesawat), kemudian baca angka pada rambu dan
sudut tegaknya.
2) Ubah arah bidikan pada pembacaan lain (arahkan ke
sebelah bawah dari titik tengah T), kemudian baca
angka pada rambu dan sudut tegaknya.
3) Hitung masing-masing sudut miringnya yang diperoleh
dari masing-masing sudut tegaknya.
4) Hitung jarak datar dengan rumus d = b : (tg
±
tg
)
Garis datar berada di bawah kedua garis bidik
Garis datar berada di atas kedua garis bidik d = PQ = b : (tg – tg ) P A B Q b d = PQ = b : (tg – tg ) A B P Q b
Contoh : Pembacaan pertama (Ta) pada rambu setinggi 3,00 m dengan sudut miring () 3º15’. Pembacaan kedua (Tb) setinggi 0,25 m dengan sudut miring () -2º05’.
(3,00 m – 0,25 m) (tg 3º15’ – tg 2º05’
d = PQ = = 29,52 m
Contoh : Pembacaan pertama (Ta) pada rambu setinggi 2,60 m dengan sudut miring () 5º05’. Pembacaan kedua (Tb) setinggi 0,40 m dengan sudut miring () 2º10’.
(2,60 m – 0,40 m) (tg 5º05’ – tg 2º10’
d = PQ = = 43,04 m
Contoh : Pembacaan pertama (Ta) pada rambu setinggi 2,75 m dengan sudut miring () -5º15’. Pembacaan kedua (Tb) setinggi 0,25 m dengan sudut miring () -10º05’.
(2,75 m – 0,25 m) (tg 10º05’ – tg 5º15’
2.2.3. Rambu Ukur
Saat rambu akan dibaca melalui benang silang hendaknya berdiri tegaklurus pada bidang datar (permukaan bumi).
Perhatikan
selisih antar benang :
B – A = 1,515 – 1,365 = 0,15
B – T = 1,515 – 1,440 = 0,075
T – A = 1,440 – 1,365 = 0,075
½ (B + A) = ½ (1,515 + 1,365)
= 1,440
1,365
A B1,440
1,515
BTM TPerhatikan
selisih antar benang :
A – B = 1,535 – 1,385 = 0,15
A – T = 1,535 – 1,460 = 0,075
T – B = 1,460 – 1,385 = 0,075
½ (A + B) = ½ (1,535 + 1,385)
= 1,460
Theodolit (3 benang)1,535
1,460
1,385
A B TPerhatikan selisih antar benang :
(A
2– A
1) = (A
1– T) = (T – B
1)
= (B
1– B
2) = 0,045
(A
2– T) = (A
1– B
1) = (T – B
2)
= 0,09
(A
2– B
1) = (A
1– B
2) = 0,135
½ (A
2+ B
2) = 1,53
≈
½ (A
1+ B
1) = 1,53
½ (A
2+ T) = 1,575
½ (A
1+ B
1) = 1,53
½ (T + B
2) = 1,485
1,620
1,575
1,485
1,440
1,530
A2 B2 B1 A1 T Theodolit 5 benangPembacaan rambu dengan huruf E
Cara ini dengan menghitung banyaknya huruf E yang berada diantara 2 benang silang atau pada 3 benang silang. Satu huruf E menunjukkan perbandingan bahwa 5 cm dirambu adalah 5 m di lapangan
Banyaknya huruf E pada teropong BTM (A – B) diperoleh sebanyak 3E. Secara matematik diperoleh dari :
2E + {(3,4 + 1,5)E : 5} = 3E
Jarak yang diukur sepanjang 3E = 3 x 5 m = 15 m
Banyaknya huruf E pada teropong Theodolit diperoleh sebanyak 14/ 5E atau diperoleh jarak sepanjang 9 m.
E + {(2 + 2)E : 5} (A2 – T) E + {(2,5 + 1,5)E : 5} (A1 – B1) E + {(3 + 1)E : 5} (T – B2)
Pembacaan rambu dengan benang silang Rumus perhitungan jarak berdasarkan 3 benang
d = (B – A) m x 100 d = (B – T) m x 200 d = (T – A) m x 200 BTM (3 benang) Theodolit d = (A – B) m x 100 d = (A – T) m x 200 d = (T – B) m x 200 (3 benang)
Contoh : Perhitungan jarak dengan pembacaan 3 benang. Jarak ukur diperoleh sepanjang :
Pembacaan benang dalam satuan meter (1,515 – 1,365) m x 100 = 15 m
(1,515 – 1,440) m x 200 = 15 m (1,440 – 1,365) m x 200 = 15 m Pembacaan benang dalam satuan cm (151,5 – 136,5) cm x 100 = 15 m (151,5 – 144,0) cm x 200 = 15 m (144,0 – 136,5) cm x 200 = 15 m
d = (A2 – B2) m x 50 d = (A2 – T) m x 100 d = (A1 – B1) m x 100 d = (A2 – A1) m x 200 d = (A1 – T) m x 200 d = (T – B1) m x 200 d = (T – B2) m x 100 d = (B1 – B2) m x 200 Theodolit (5 benang)
Rumus perhitungan jarak berdasarkan 5 benang
Pembacaan benang dalam satuan meter
Contoh : Perhitungan jarak dengan pembacaan 5 benang. Jarak ukur diperoleh sepanjang : (1,620 – 1,440) m x 50 = 9 m (1,620 – 1,530) m x 100 = 9 m (1,575 – 1,485) m x 100 = 9 m (1,530 – 1,440) m x 100 = 9 m (1,620 – 1,575) m x 200 = 9 m (1,575 – 1,530) m x 200 = 9 m (1,530 – 1,485) m x 200 = 9 m (1,485 – 1,440) m x 200 = 9 m
Pembacaan benang dalam satuan cm (162,0 – 144,0) m x 50 = 9 m (162,0 – 153,0) m x 100 = 9 m (157,5 – 148,5) m x 100 = 9 m (153,0 – 144,0) m x 100 = 9 m (162,0 – 157,5) m x 200 = 9 m (157,5 – 153,0) m x 200 = 9 m (153,0 – 148,5) m x 200 = 9 m (148,5 – 144,0) m x 200 = 9 m