commit to user 1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Menyandang predikat sebagai Kota Layak Anak (KLA) merupakan suatu kebanggaan bagi Kota Solo, sekaligus menjadi tantangan bagi pemerintah Kota Solo. Hal ini karena permasalahan anak di Kota Solo masih cukup tinggi dan beragam. Salah satu permasalahan yang hingga kini belum terselesaikan adalah anak jalanan. Selama ini ada anggapan bahwa keberadaan anak jalanan merupakan masalah sosial yang sulit untuk dicari solusinya. Anak jalanan dianggap sebagai sampah masyarakat, yang sering menyebabkan keresahan terhadap siapa saja yang bersinggungan dengan mereka. Keresahan dari masyarakat itu karena banyak anak jalanan yang melakukan tindakan menyimpang, seperti mencuri, merampok, tawuran, minum-minuman keras, itu merupakan citra dari anak jalanan di mata masyarakat. Pada umumnya anak jalanan adalah anak yang berusia di bawah 18 tahun, pada periode ini perkembangan sosial anak remaja ditandai oleh usaha anak yang ingin memisahkan diri dari orang tua untuk menentukan dirinya atau mencari identitas ego. Sudah barang tentu pembentukan identitas, yaitu perkembangan ke arah individualitas yang mantap, merupakan aspek yang penting dalam perkembangan menjadi diri sendiri. Anak jalanan akan lebih memerlukan teman sebaya untuk berinteraksi, sehingga memerlukan bimbingan dari orang-orang dewasa dan lingkungan sekitarnya. Biasanya mereka tidak hidup bersama keluarganya, sebagian besar waktunya mereka habiskan di jalanan mencari uang dan berkeliaran di jalan dan di tempat-tempat umum lainnya.
Keberadaan anak jalanan di kota-kota besar bukan tanpa penyebab. Apabila ditelusuri, ada dua faktor penyebab timbulnya fenomena anak jalanan dalam struktur sosial ekonomi masyarakat. Pertama, persaingan ekonomi dalam masyarakat akan melahirkan golongan strata sosial: atas, tengah dan bawah. Agar tetap bertahan hidup, masyarakat strata sosial terbawah akan menggunakan sumber daya manusia yang ada termasuk mempekerjakan anak di bawah usia
commit to user
kerja untuk menopang dapur keluarga. Kedua, rendahnya keterampilan yang dimiliki serta adanya peraturan pemerintah yang melarang semua badan usaha resmi untuk mempekerjakan anak-anak di bawah usia kerja, semakin memicu anak-anak untuk lebih banyak bekerja di sektor informal. Sektor inilah yang di akrabi anak-anak untuk mencari nafkah sesuai dengan kemampuannya. Anak jalanan yang bekerja untuk sekedar bisa bertahan hidup untuk dirinya sendiri atau bahkan untuk mendukung ekonomi keluarganya memiliki rasa tanggung jawab tinggi terhadap diri sendiri maupun keluarganya. Kalaupun di antara mereka masih ada yang memiliki kesempatan untuk bersekolah, mereka bisa membagi waktu antara sekolah dan bekerja. Mereka menjadi anak yang memiliki harga diri, lebih mudah bergaul, luwes dan komunikatif dengan teman-teman senasib, karena hanya itulah modal mereka untuk hidup.
Berdasarkan hasil Susenas, diperkirakan jumlah anak (penduduk usia 5-18 tahun) di Indonesia pada tahun 2003 sekitar 61,05 juta anak. Dari keseluruhan jumlah anak di tahun 2003 diketahui bahwa sebesar 3,3 juta atau 5,42 persen merupakan anak dengan kategori terlantar. Sementara itu anak dengan kategori hampir terlantar jumlahnya sekitar 7,8 juta (12,79 persen) dan kategori tidak terlantar berjumlah sekitar 49,9 juta (81,79) persen. Pada tahun 2006 jumlah anak (penduduk berusia 5-18 tahun) di Indonesia diperkirakan sebesar 56,56 juta dan di tahun 2009 meningkat menjadi 58,17 juta anak. Dilihat pada kategori ketelantaran, pada tahun 2009 sekitar 3,1 juta anak (5,36 persen) termasuk kategori anak terlantar, sekitar 7,2 juta anak (12,33 persen) dikategorikan anak hampir terlantar dan 47,9 juta anak (82,31 persen) termasuk kategori anak tidak terlantar (Sumber: BPS RI – Susenas Modul 2003, 2006, dan 2009).
Khusus dalam kasus penanganan anak jalanan, sejak tahun 2006 hingga kini di Kota Solo tercatat masih terdapat anak jalanan dalam jumlah yang cukup tinggi yakni 1200 anak. Angka tersebut sangat mengkawatirkan apabila tidak segera dicari solusinya mengingat Kota Solo menjadi salah satu kota model percontohan pembangunan KLA. Peningkatan anak jalanan tidak hanya dipengaruhi oleh masalah ekonomi semata, namun juga adanya disfungsi keluarga, lingkungan dan kehidupan jalanan yang memberi kebebasan hidup juga
commit to user
merupakan faktor pendorong pesatnya populasi anak jalanan. Hal ini merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dunia jalanan adalah dunia yang penuh kekerasan dan eksploitasi. Suasana kehidupan di jalan yang keras penuh persaingan, ancaman, eksploitasi dan tindak kekerasan sangat tidak menguntungkan bagi perkembangan jiwa, moral, emosional dan sosial. Keadaan tersebut akan menyebabkan anak mengalami depresi dan kehilangan arah tujuan hidup (Januardi, Joglosemar, 20 Desember 2010).
Sudah selayaknya Pemkot Solo memberikan perhatian penuh terhadap perlindungan anak, yang termasuk di dalamnya adalah anak jalanan, karena dalam amanat UUD 1945 pasal 28b (2) disebutkan, “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Sedangkan pasal 34 (1) berbunyi, “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”, maka dari itu diharapkan kebijakan-kebijakan dari pemerintah, dalam hal ini adalah Pemkot Solo, semestinya memperhatikan masalah anak jalanan. Selain itu diharapkan pula implementasi dari perundang-undangan yang ada untuk memenuhi, memajukan dan melindungi hak-hak anak untuk mendapatkannya.
Namun dalam kenyataannya predikat Kota Solo sebagai KLA patut dipertanyakan realisasinya. Dalam alokasi anggaran misalnya, Forum Anak Surakarta (FAS) yang terbentuk dari tingkat kelurahan sampai ke tingkat kota, diberitakan belum diimbangi dengan pendanaan yang memadai. Selama ini untuk program KLA yang menjadi prioritas justru dananya diambil dari sisa Dana Pembangunan Kelurahan (DPK) (Joglosemar, 9 Desember 2010).
Sementara itu menurut Gading Persada dalam harian Suara Merdeka (2011):
Sembilan bulan terakhir, Berdasar data Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Bina Bakat Rumah Perlindungan Anak Kota Solo jumlah anak jalanan di Kota Solo bertambah sekitar 35 persen dari 125 anak menjadi 160 anak yang terdata di setiap perempatan, terminal dan tempat keramaian lain. Hampir 90 persen lebih dari anak jalanan itu adalah berasal dari Solo dan masih dalam status mengenyam pendidikan
commit to user
(sekolah). Sebagian besar aktivitas mereka di jalan berupa pengamen dan pengemis.
Dari lima kecamatan yang ada di Solo, seluruh tempat strategis telah dihuni oleh anak jalanan, mulai Kecamatan Serengan, Jebres, Pasar Kliwon, Banjarsari dan Laweyan. Ada anak punk, pengamen cilik hingga pengemis. Mereka antara lain berada di perempatan jalan, stasiun, terminal, dan pasar. Pemkot sendiri kewalahan menangani anak jalanan. Pemkot pun saat ini baru sebatas melakukan razia selanjutnya diserahkan ke Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) anak. Belum ada upaya pemerintah untuk mengurangi aksi anak jalanan (Joglosemar, 30 juni 2011).
Keberadaan anak jalanan merupakan salah satu permasalahan sosial yang kompleks dan bertalian dengan masalah sosial lain. Oleh karena itu, penanganannya pun tidak dapat disederhanakan. Strategi intervensi maupun indikator keberhasilan penanganan anak jalanan dilakukan secara holistik mengacu pada visi atau grand design pembangunan kesejahteraan dengan memperhatikan karakteristik anak jalanan, fungsi dan model penanganan yang diterapkan.
Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “REALITAS ANAK JALANAN DI KOTA LAYAK ANAK (Studi Kasus Tentang Penanganan Anak Jalanan di Kota Surakarta)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana bentuk program kegiatan yang dilakukan LSM dan pemerintah dalam penanganan anak jalanan di Kota Surakarta.
2. Bagaimana kendala LSM dan pemerintah dalam penanganan anak jalanan di Kota Surakarta.
3. Bagaimana persepsi anak jalanan terhadap upaya penanganan oleh LSM dan pemerintah di Kota Surakarta.
commit to user C. Tujuan Penelitian
Dari uraian latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian yang ingin dicapai adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui bentuk program kegiatan yang dilakukan LSM dan pemerintah dalam penanganan anak jalanan di Kota Surakarta.
2. Mengetahui kendala LSM dan pemerintah dalam penanganan anak jalanan di Kota Surakarta.
3. Mengetahui persepsi anak jalanan terhadap upaya penanganan oleh LSM dan pemerintah di Kota Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Nilai dari suatu penelitian adalah ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat diambil dari penelitian tersebut. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini mendukung salah satu teori sosiologi yang ada, yaitu Teori Aksi sehingga dapat memberikan pemahaman yang lebih tentang teori yang digunakan serta memperluas khasanah ilmu terutama Sosiologi serta penelitian sejenis.
2. Manfaat Praktis
a. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai program kegiatan yang dilakukan LSM dan pemerintah dalam melakukan penanganan terhadap anak jalanan di Kota Surakarta.
b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi LSM dan pemerintah untuk mengevaluasi kembali program penanganan yang telah dilakukan terhadap anak jalanan.
c. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang program-program serta kendala-kendala penanganan anak jalanan yang dilakukan LSM dan pemerintah, sehingga turut berpartisipasi mendukung program penanganan tersebut. Serta dapat dipakai sebagai acuan bagi penelitian-penelitian sejenis untuk tahap selanjutnya.