• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pohon buah tropis ini asli dari savana Afrika tetapi sekarang sudah banyak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pohon buah tropis ini asli dari savana Afrika tetapi sekarang sudah banyak"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

Asam jawa tergolong kedalam jenis pohon dan berumur panjang (menahun). Pohon buah tropis ini asli dari savana Afrika tetapi sekarang sudah banyak ditemukan di negara-negara tropis dan di Asia terdapat di Indonesia. Dapat hidup di tempat bersuhu sampai 47°C, tapi sangat sensitif terhadap es. Umumnya tumbuh di daerah bercurah hujan 500 – 1.500 mm/tahun, bahkan tetap hidup pada curah hujan 350 mm jika diberi irigasi saat penanaman.

2.1.1 Klasifikasi tanaman asam jawa

Klasifikasi taksonomi tanaman asam jawa (Bhadoriya, et al., 2011) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Fabales Suku : Leguminosae Genus : Tamarindus

Jenis : Tamarindus indica L.

(2)

2.1.2 Nama daerah

Nama daerah asam jawa: asam jawa, kayu asam (sumatera), tangkal asem,

wit asam (jawa), asam jawa (Kalimantan), celangi (nusa tenggara), asam jawi, camba (Sulawesi), asam jawaka (Maluku) (Nuraini, 2011).

2.1.3 Kandungan kimia tumbuhan

Biji asam jawa mengandung tanin dan senyawa polifenol seperti katekin dan banyak jenis procyanidin, terutama oligomer procyanidin tetramer sekitar 30,2%, procyanidin heksamer 23,8%, procyanidin trimer 18,1%, procyanidin pentamer 17,6%, procyanidin B2 5,5%, epikatekin 4,8%, taxifolin, apigenin, eriodictyol, luteolin dan naringenin (Sudjaroen, 2005; Deepti, et al., 2013). Daging buah asam jawa mengandung 8 - 14% asam tartarat, 30 - 40% gula serta sejumlah kecil asam sitrat dan kalium bitaetrat sehingga berasa sangat masam. Daun asam jawa mengandung erpenoid, saponin, flavonoid dan asam-asam organik

2.1.4 Morfologi tumbuhan

Asam jawa merupakan pohon dengan tinggi batang mencapai 15 - 25 m, bercabang banyak , berkayu keras. Daun majemuk menyirip genap, panjang 5 - 13 cm, terdapat 10 - 15 pasang anak daun yang duduknya berhadapan dan bertangkai sangat pendek, hamper duduk. Helaian anak daun bentuknya bulat panjang, ujung dan pangkal membulat, bagian tepi rata. Kedua permukaan daun halus dan licin, berwarna hijau dengan warna sisi bawah lebih muda, panjang 1 - 2,5 cm, lebar 0,5 - 1 cm. bunga dalam berbentuk tandan yang panjangnya 2 - 16 cm, terdiri atas 6 - 30 kuntum bunga yang letaknya hamper duduk, berwarna kuning berurat merahkeluar dari ketiak daun atau ujung percabangan. Buah polong, bertangkai, bulat panjang pipih, panjang 3,5 - 20 cm, lebar 2,5 - 4 cm, bagian ujung meruncing, diantara biji

(3)

kerap menyempit, kulit dinding luar rapuh dan berwarna coklat muda. Daging buah berwarna kuning sampai coklat kekuningan dan rasanya asam. Dalam satu buah terdapat 1 - 12 biji yang memiliki panjang sampai 18 mm, bentuk tidak teratur, warna kemerah-merahan, coklat tua atau hitam mengkilap. Inti biji :lurus ada putih lembaga (Nuraini, 2011).

2.2 Simplisia dan Ekstrak 2.2.1 Simplisia

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan menjadi simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan (mineral). Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan (Ditjen POM, 2000).

2.2.2 Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan masa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi standar yang telah ditetapkan (Ditjen POM, 1995).

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Menurut Ditjen POM (2000) metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dibagi kedalam dua cara, yaitu:

a. Cara dingin, yaitu:

1. Maserasi adalah proses pengekstraksian simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan

(4)

(kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetic berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya.

2. Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1 - 5 kali bahan.

b. Cara panas

1. Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3 - 5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna.

2. Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru, yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

3 Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40 - 50°C.

4 Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangans air mendidih, temperatur terukur 90°C) selama 15 menit.

(5)

5 Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥ 30 menit) dan temperatur sampai titik didih air.

2.3 Uraian Saluran Pencernaan

Sistem gastrointestinal merupakan pintu gerbang masuknya zat makanan, vitamin, mineral dan cairan ke dalam tubuh. Protein, lemak dan karbohidrat kompleks diuraikan menjadi unit-unit yang dapat diserap (dicerna), terutama di usus halus dan hasilnya menembus mukosa dan masuk ke dalam limfe atau darah (penyerapan). Pencernaan zat makanan melibatkan kerja sejumlah besar enzim pencernaan yang dibantu oleh asam klorida yang disekresi oleh lambung dan empedu yang disekresi oleh hepar (Ganong, 2008).

Saluran cerna berfungsi untuk menyerap zat makanan, zat-zat penting, garam dan air serta mengekskresi bagian makanan yang tak diserap dan sebagian hasil akhir metabolisme. Dengan proses pencernaan yaitu proses penguraian dengan bantuan enzim, diubah protein, karbohidrat dan lemak, menjadi bentuk yang dapat diserap (Mutschler, 1991).

Makanan dicerna menjadi bubur (chimus) di dalam lambung yang kemudian diteruskan ke usus halus untuk diuraikan lebih lanjut oleh enzim-enzim pencernaan. Setelah zat-zat gizi diabsorpsi oleh villi ke dalam darah, sisa chimus yang terdiri dari 90% air dan sisa makanan yang sukar dicernakan, diteruskan ke usus besar (kolon). Bakteri-bakteri yang biasanya selalu berada disini (flora) mencernakan lagi sisa-sisa (serat-serat) tersebut, sehingga sebagian besar dari padanya dapat diserap pula selama perjalanan melalui usus besar. Airnya juga diserap kembali, sehingga lambat

(6)

laun isi usus menjadi lebih padat dan dikeluarkan dari tubuh sebagai tinja (Tan dan Rahardja, 2007).

2.3.1 Rongga mulut

Rongga mulut merupakan awal dari saluran cerna dan tempat makanan (padat) dikunyah menjadi halus dan dicampur dengan ludah. Pada saat mengunyah yang berperan penting adalah gigi, otot pengunyah, lidah, pipi, dasar mulut dan langit-langit. Proses menelan dimulai secara sadar dan kemudian berlanjut secara reflex, makanan yang dilapisi ludah akan masuk melalui faring ke esofagus (Tan dan Rahardja, 2007).

2.3.2 Lambung

Anatomi lambung manusia dibedakan atas beberapa bagian yaitu bagian kardia (daerah bermuaranya esofagus), fundus, korpus, antrum (pembesaran sebelum akhir lambung) dan pylorus. Makanan dicerna dalam lambung, tercampur dengan asam, mukus dan pepsin, kemudian dikeluarkan ke dalam duodenum dengan kecepatan yang stabil dan terkendali. Mukosa lambung banyak mengandung kelenjar, di daerah pilorus dan kardia, kelenjar tersebut mensekresikan mukus. Di korpus lambung dan fundus, kelenjar juga mengandung sel parietal yang mensekresikan asam klorida dan sel peptik yang mensekresikan pepsinogen. Sekret-sekret ini bercampur dengan mukus (Ganong, 2008).

Apabila makanan masuk ke lambung, fundus dan bagian atas korpus akan melemas dan mengakomodasi makanan dengan sedikit peningkatan tekanan. Peristaltik kemudian dimulai di bawah korpus yang mencampur dan menghaluskan makanan serta memungkinkan makanan dalam bentuk setengah cair mengalir sedikit demi sedikit melalui pirolus dan memasuki duodenum (Ganong, 2008).

(7)

2.3.3 Usus halus

Di usus halus, isi usus tercampur dengan sekresi sel-sel mukosa, getah pancreas dan empedu. Pencernaan yang dimulai dari mulut dan lambung, diselesaikan di lumen dan sel-sel mukosa usus tempat produk pencernaan diserap, bersamaan dengan sebagian besar vitamin dan cairan. Dalam usus halus terdapat sekitar 9 liter air setiap hari yang terdiri dari 2 liter dari makanan dan 7 liter dari sekresi saluran cerna, tetapi hanya 1 - 2 liter yang sampai ke kolon. Sel mukosa di usus halus yang disebut dengan enterosit, memiliki sejumlah besar mikrovili yang menutupi permukaan apikalnya. Di dalam mikrovili ini banyak terdapat enzim (Ganong, 2008).

Usus halus terdiri atas duodenum, jejenum dan ileum. Bagian pertama duodenum terkadang disebut duodenal cup atau bulb, daerah ini menerima isi lambung yang bersifat asam yang mengalir melalui pilorus. Berdasarkan kesepakatan, 40% bagian atas usus halus sebelah distal duodenum disebut jejenum dan 60% sisanya disebut ileum walaupun tidak terdapat batasan anatomi yang jelas diantara keduanya. Katup ileosekum menandai titik berakhirnya ileum di kolon. Usus halus berukuran lebih pendek pada keadaan hidup dibandingkan pada keadaan mati karena setelah kematian, otot di sebagian besar saluran cerna melemas sehingga jarak yang diukur saat otopsi menjadi lebih panjang. Jarak dari pilorus ke katup ileosekum pada manusia hidup dikatakan sepanjang 285 cm (Ganong, 2008).

2.3.3.1 Gerak peristaltik usus

Usus halus mencerna dan menyerap kimus dari lambung melalui serangkaian kontraksi otot polos, yaitu peristaltik dan segmentasi. Pada peristaltik, kontraksi ini merupakan respon refleks yang timbul bila dinding saluran cerna teregang oleh isi

(8)

lumen (kimus) dan terjadi di semua bagian saluran cerna mulai dari esofagus sampai rektum. Kontraksi ini mendorong kimus ke arah usus besar. Aktivitas peristaltik dapat meningkat atau menurun melalui input autonom (Ganong, 2008).

Kontraksi segmentasi merupakan kontraksi berbentuk cincin yang muncul dalam interval yang relatif teratur di sepanjang usus lalu menghilang dan digantikan oleh serangkaian kontraksi cincin lain di segmen-segmen di antara kontraksi-kontraksi sebelumnya. Kontraksi ini mendorong kimus maju mundur dan meningkatkan pajanannya pada permukaan mukosa. Kontraksi segmentasi dipicu oleh peningkatan lokal influx Ca2+ disertai gelombang peningkatan konsentrasi Ca2+ yang menyebar (Ganong, 2008).

Pada kontraksi segmentasi, memperlambat waktu transit di usus halus sehingga waktu transit sebenarnya lebih lama pada keadaan kenyang daripada keadaan puasa. Hal ini memungkinkan kimus berkontak lebih lama dengan enterosit sehingga absorpsi meningkat. Gelombang peristaltik yang sangat kuat (peristaltic rush), tidak terjadi pada orang normal tetapi timbul pada usus yang mengalami obstruksi (Ganong, 2008).

2.3.4 Usus besar

Usus besar merupakan bagian akhir dari proses pencernaan yang dapat dibagi menjadi cecum (usus buntu sekum), colon dan rectum. Diusus besar dengan pengentalan isi usus terbentuk feses. Pada sisi sebelah atas bermuara ileum dan melalui katup ileosekal isi usus halus akan masuk sedikit demi sedikit kedalam usus besar (Mutschler, 1991).

(9)

2.3.5 Kolon

Fungsi utama kolon adalah penyerapan air, natrium dan mineral lainnya sehingga membuat tinja menjadi semi padat. Diameter kolon lebih besar daripada diameter usus halus dan panjangnya sekitar 100 cm pada orang dewasa hidup dan sekitar 150 cm pada saat otopsi. Bagian ileum yang terdapat katup ileosekum menonjol sedikit ke dalam sekum sehingga peningkatan tekanan kolon akan menutupnya sedangkan peningkatan tekanan ileum akan menyebabkan katup ileosekum terbuka. Jadi, katup ini mencegah refluks isi kolon ke dalam ileum. Katup ini tertutup dalam keadaan normal. Setiap kali gelombang peristaltik mencapainya, katup ini terbuka sebentar dan memungkinkan sebagian kimus ileum masuk ke dalam sekum (Ganong, 2008).

Kolon mengandung bakteri dalam jumlah besar meliputi Escherichia coli

(E.coli), Enterobacter aerogenes, Bacteriodes fragilis. Sejumlah besar bakteri keluar

melalui tinja (Ganong, 2008). E. coli adalah anggota flora normal usus yang berperan penting dalam sintesis vitamin K, konversi pigmen-pigmen empedu, asam-asam empedu dan penyerapan zat-zat makanan. Bakteri ini menguraikan zat organik dalam makanan menjadi zat anorganik, yaitu CO2, H2O, energi dan mineral (Ganiswarna,

1995).

E. coli menjadi patogen jika jumlah bakteri ini dalam saluran pencernaan

meningkat atau berada di luar usus. E. coli menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan beberapa kasus diare. E. coli berasosiasi dengan enteropatogenik menghasilkan enterotoksin pada sel epitel. Toksin yang dihasilkan oleh E. coli merangsang sekresi Na+ dan air di usus halus (Ganong, 2008).

(10)

2.4 Uraian Diare

Diare secara umum didefinisikan sebagai bentuk tinja abnormal (cair) yang disertai dengan peningkatan frekuensi buang air besar yakni lebih dari tiga kali per hari (Mutschler, 1991). Kandungan cairan merupakan penentu utama volume dan konsistensi feses dan air umumnya 70% sampai 85% dari berat feses total. Kandungan cairan feses menggambarkan keseimbangan antara sekresi air dan elektrolit dan absorpsi di sepanjang saluran gastrointestinal. Diare merupakan kondisi ketidak seimbangan absorpsi dan sekresi air dan elektrolit (Sukandar, dkk., 2008). Selama masa diare, terjadi peningkatan motilitas saluran cerna yang disertai peningkatan sekresi dan penurunan absorpsi cairan, yang mengakibatkan kehilangan elektrolit (khususnya Na+) dan air (Rang, et al., 2007).

Pada diare infeksi, umumnya infeksi terdapat pada usus besar dan ujung distal ileum, menyebabkan mukosa teriritasi dan kecepatan sekresinya bertambah dan pergerakan dinding usus biasanya meningkat (Guyton, 1990). Diare yang disebabkan oleh kolera, toksinnya langsung merangsang sekresi elektrolit dan cairan berlebihan pada ileum distalis dan kolon. Jika sejumlah besar Na+, K+ dan air keluar dari kolon dan usus halus ke dalam tinja diare, akan menyebabkan terjadinya dehidrasi, kolaps kardiovaskular, hipovalemia dan akhirnya syok. Oleh karena itu, dasar pengobatan yang penting adalah mengganti cairan elektrolit secepat kehilangannya (Guyton, 1990).

Terdapat 4 mekanisme patofisiologi yang mengganggu keseimbangan air dan elektrolit yang mengakibatkan terjadinya diare (Sukandar, dkk., 2008) yaitu:

1. Perubahan transport ion aktif yang disebabkan oleh penurunan absorpsi natrium atau peningkatan sekresi klorida

(11)

2. Perubahan motilitas usus

3. Peningkatan osmolaritas luminal

4. Peningkatan tekanan hidrostatik jaringan

2.4.1 Jenis-jenis diare

Berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan beberapa jenis diare sebagai berikut:

a. Diare akibat virus yang disebabkan antara lain oleh rotavirus dan adenovirus. Virus melekat pada sel mukosa usus dan menjadi rusak sehingga kapasitas absorpsi menurun dan sekresi air dan elektrolit memegang peranan. Diare yang terjadi dapat bertahan terus sampai beberapa hari setelah virus lenyap dengan sendirinya, biasanya dalam 3 - 6 hari.

b. Diare bakterial invasif (bersifat menyerbu). Kuman pada keadaan tertentu menjadi invasif ke dalam mukosa, dimana terjadi perbanyakan diri sambil membentuk toksin. Enterotoksin ini dapat diserap ke dalam darah dan menimbulkan gejala hebat, seperti demam tinggi, nyeri kepala dan kejang-kejang. Selain itu mukosa usus yang telah dirusak mengakibatkan mencret berdarah dan berlendir. Penyebab dari pembentuk enterotoksin ialah bakteri E. coli spec, Shigella, Salmonella dan

Campylobacter. Diare ini bersifat “self-limiting”, artinya akan sembuh dengan

sendirinya dalam ± 5 hari tanpa pengobatan, setelah sel-sel yang rusak diganti dengan sel-sel mukosa baru.

c. Diare parasit, akibat protozoa seperti Entamoeba hystolica dan Giardia lamblia, yang membentuk enterotoksin juga. Diare akibat parasit biasanya bercirikan mencret cairan yang intermiten bertahan labih lama dari satu minggu. Gejala

(12)

lainnya dapat berupa nyeri perut, demam, anoreksia, nausea, muntah-muntah dan rasa letih.

d. Akibat penyakit, misalnya colitis ulcerosa, p. Crohn, Irritable Bowel Syndrom (IBS), kanker kolon dan infeksi HIV. Juga akibat gangguan-gangguan seperti alergi terhadap makanan/minuman, protein susu sapi, serta intoleransi untuk laktosa karena defisiensi enzim laktase.

e. Akibat obat, yaitu digoksin, kinidin, garam-Mg, litium, sorbitol, β-bloker, ACE inhibitors, reserpin, sitostatik dan antibiotik berspektrum luas. Semua obat ini dapat menimbulkan diare “baik” tanpa kejang perut dan perdarahan. Adakalanya juga akibat penyalahgunaan laksansia dan penyinaran dengan sinar X (radioterapi).

f. Akibat keracunan makanan. Keracunan makanan didefinisikan sebagai penyakit yang bersifat infeksi atau toksis dan diperkirakan atau disebabkan oleh mengkonsumsi makanan tercemar. Penyebab utamanya adalah tidak memadainya kebersihan pada waktu pengolahan, penyimpanan dan distribusi dari makanan/minuman dengan akibat pencemaran meluas (Tan dan Rahardja, 2007).

Berdasarkan mekanisme patofisiologinya, pengelompokan diare secara klinis (Sukandar, dkk., 2008) yaitu:

a. Secretory diarrhea, terjadi ketika zat meningkatkan sekresi atau mengurangi penyerapan air dalam jumlah besar dan elektrolit. Zat yang menyebabkan kelebihan sekresi termasuk peptida intestinal vasoaktif (VIP) merangsang sekresi getah usus, tidak terserapnya lemak makanan, pencahar, hormon (seperti secretin), racun bakteri dan garam empedu yang berlebihan.

(13)

b. Osmotic diarrhea, disebabkan oleh absorpsi zat-zat yang mempertahankan cairan intestinal.

c. Exudative diarrhea, disebabkan oleh penyakit infeksi saluran pencernaan yang mengeluarkan mukus, protein atau darah ke dalam saluran pencernaan.

d. Motilitas usus dapat berubah dengan mengurangi waktu kontak di usus halus, pengosongan usus besar yang prematur dan pertumbuhan bakteri yang berlebihan.

Berdasarkan waktu terjadinya, pengelompokan diare (Navaneethan dan Giannella, 2011) antara lain:

a. Diare akut

Diare ini berlangsung selama kurang dari dua minggu. Penyebabnya adalah infeksi bakteri, virus, atau parasit, keracunan atau alergi terhadap makanan, reaksi obat seperti magnesium yang terdapat pada antasida, antibiotik, misoprostol, H2 reseptor bloker dan proton pum inhibitor.

b. Diare persisten

Diare ini berlangsung selama dua sampai empat minggu. Diare persisten merupakan kelanjutan dari diare akut, yang umumnya disebabkan karena infeksi bakteri, virus, atau parasite.

c. Diare kronik

Diare ini berlangsung selama lebih dari empat minggu. Penyebabnya adalah

irritable bowel syndrome (IBS), inflammatory bowel disease (IBD), kanker kolon,

malabsorpsi lemak atau karbohidrat. karena penyakit kanker kolon dan rektum atau penyakit yang berhubungan dengan gastrointestinal.

2.4.2 Obat antidiare

(14)

1. Kemoterapeutika untuk terapi kausal, yakni membrantas bakteri penyebab diare seperti antibiotika, sulfonamida dan senyawa kinolon (Tan dan rahardja, 2007). 2. Obtipansia untuk terapi simtomatis yang dapat menghentikan diare. Ada beberapa

cara antara lain: a. Obat antimotilitas

Dua obat yang dipakai secara luas untuk mengendalikan diare adalah difenoksilat dan loperamid. Keduanya merupakan analog meperidin dan memiliki efek seperti opioid pada usus, mengaktifkan reseptor opioid presinaptik di dalam sistem saraf enterik untuk menghambat pelepasan asetilkolin dan menurunkan peristaltik. Efek samping termasuk rasa mengantuk, kejang perut dan pusing. Karena obat ini dapat menyebakan megakolon yang toksik, maka tidak digunakan pada anak-anak atau pasien dengan kolitis berat (Mycek, 2001). Loperamid adalah opioid yang paling tepat untuk efek lokal pada usus karena tidak mudah menembus ke dalam otak. Oleh karena itu loperamid hanya mempunyai sedikit efek sentral dan tidak mungkin menyebabkan ketergantungan (Neal, 2006). Waktu paruhnya adalah 7 - 14 jam. Loperamid tidak diserap dengan baik melaui pemberian oral dan penetrasinya ke dalam otak tidak baik. Sifat ini menunjang selektivitas kerja loperamid. Sebagian obat diekskresikan bersama tinja. Loperamid tersedia dalam bentuk tablet 2 mg dan sirup 1 mg/5 ml dan digunakan dengan dosis 4 - 8 mg per hari (Dewoto, 2007).

b. Obat antikolinergik

Penggunaan agen antikolinergik untuk pengobatan diare didasarkan pada kemampuannya untuk mengurangi motilitas saluran usus. Dosis efektif yang digunakan untuk obat ini, setara dengan 0,6 sampai 1,0 mg atropin, terkait dengan

(15)

tingginya insiden efek samping. Agen antikolinergik memiliki margin sempit dari segi keamanan, terutama pada anak-anak. Donnagel merupakan produk antidiare yang banyak digunakan, yang mengandung campuran alkaloid belladonna dan adsorben kaolin dan pektin (Mycek, 2001).

c. Obat adsorben

Obat-obat adsorben seperti kaolin, pektin, norit yang diaktifkan (karbon aktif) dan atapulgit, digunakan secara luas untuk mengendalikan diare. Diduga obat-obat ini bekerja dengan mengabsorpsi toksin intestinal dan mikroorganisme, atau dengan melapisi atau melindungi mukosa intestinal. Obat-obat ini kurang efektif dibandingkan dengan obat-obat antimotilitas dan dapat mengganggu absorpsi obat lain (Mycek, 2001).

d. Adstringensia

Obat yang menciutkan selaput lendir usus, misalnya asam samak (tanin) dan tannalbumin, garam-garam bismuth dan aluminium (Tan dan Kirana, 2007).

3. Spasmolitika

Merupakan zat-zat yang dapat melepaskan kejang-kejang otot yang sering kali mengakibatkan nyeri perut pada diare, antara lain papaverin (Tan dan Rahardja, 2007).

2.5 Oleum Ricini

Oleum ricini atau castor oil atau minyak jarak, berasal dari Ricinus comunis, suatu trigliserida ricinoleat dan asam lemak tidak jenuh. Di dalam usus halus minyak lemak terhidrolisis oleh enzim lipase menjadi gliserin dan asam risinoleat. Asam risinoleat ini lah yang merupakan bahan aktif sebagai pencahar. Minyak jarak juga

(16)

sebagai emolien. Sebagai pencahar, obat ini tidak banyak digunakan lagi karena banyak obat yang lebih aman. Minyak jarak menyebabkan kolik, dehidrasi yang disertai gangguan elektrolit. Obat ini merupakan bahan penginduksi diare secara eksperimental pada hewan percobaan (Ganiswarna, 1995).

Referensi

Dokumen terkait

Tabel ini digunakan untuk menyimpan data hama/penyakit tanaman jahe petani dari hasil penelusuran sistem pengidentifikasi hama/penyakit. Nama Database

Candida albicans dianggap sebagai spesies yang paling patogen dan menjadi penyebab terbanyak kandidiasis, tetapi spesies lain ada juga yang dapat menyebabkan penyakit

Industri batik merupakan salah satu penghasil limbah cair tertinggi yang berasal dari proses pewarnaan atau pencelupan. Pada penelitian ini limbah batik artifisial

Saluran pencernaan makanan pada manusia terdiri dari beberapa organ berturut-turut dimulai dari mulut (cavum oris), kerongkongan (esofagus), lambung (ventrikulus), usus

Sebagaimana pada cacing tanah, serangga memiliki sistem pencernaan makanan yang sudah sempurna, mulai dari mulut, kerongkongan, lambung, usus sampai anus.Pencernaan pada

Jadi, kesimpulannya adalah ada perbedaan yang signifikan dalam kemampuan membaca Alquran antara siswa yang mengikuti Taman Pendidikan Alquran (TPA) dan siswa yang

Analisis jenis substrat yang telah dilakukan pada stasiun 1 dan stasiun 2 memiliki karakteristik jenis substrat yang berbeda, yaitu pada stasiun 1 dengan jenis substrat

Pelaksanaan kegiatan pemdampingan pendataan administrasi pertanahan di Desa Malei Tojo Kecamatan Tojo Barat Kabupaten Tojo Una Una, pada masyarakat dan aparatur pemerintah