Bab II Tinjauan Teori
II.1 Transit Oriented Development
Lahirnya konsep TOD tidak dapat dipisahkan dari konteks historis perkembangan pola metropolitan yang menyangkut di dalamnya kota, suburban dan lingkungan ekologis sekitarnya dalam kaitannya dengan trend moda transportasi. Dialektika antara dinamika kota modern berbasis mobil, dan kendaraan publik di berbagai belahan dunia dan dalam berbagai periode memunculkan paradigma yang berbeda pula dalam memandang hubungan kota dengan kegiatan transit.
Sejak transportasi publik diperkenalkan pada awal abad ke 19, moda ini telah melayani kawasan pusat pertumbuhan. Kemudian penggunaannya secara massal mulai diperkenalkan di Amerika pada akhir abad ke 19 atau awal abad ke 20. Dittmar dan Ohland (2004) menamakan fase ini sebagai fase transit berorientasi pada pengembangan (development oriented transit). Fase ini ditandai dengan karakter adanya pola zona permukiman yang terpisah dari zona kerja dengan dihubungkan oleh transportasi massal seperti trem. Fasilitas transit datang kemudian dan dibuat untuk melayani masing-masing zona. Contoh kota yang sejak lama tumbuh dengan sistem ini adalah Chicago, dan New York.
Pada dekade selanjutnya, penemuan mobil (automobile) merubah gaya hidup masyarakat khususnya di Amerika yang sebelumnya menggunakan sistem transit (trem) menjadi menggunakan mobil dan memilih hunian pada daerah tepi kota. Fase ini disebut fase pasca perang dunia ke II atau disebut juga fase transit berorientasi pada kendaraan bermotor (auto oriented trasit) (Dittmar; Ohland, 2004). Fase ini ditandai dengan dijadikannya kendaraan bermotor menjadi pilihan utama moda transportasi, dan sistem rel dikesampingkan. Pola perkembangan permukiman mengarah semakin lebar ke daerah perifer urban, dan menyebabkan munculnya fenomena kota menggurita (sprawling). Dampak yang ditimbulkan adalah kemacetan akibat besarnya pergerakan kendaraan pribadi antara daerah
inefisiensi dalam pengeluaran masyarakat, dan lebih jauh lagi mengakibatkan hilangnya rasa berkomunitas (sense of community). Contoh kota yang telah tumbuh dengan pola ini adalah Los Angeles dan Salt Lake. Sejak Peter Calthorpe memperkenalkan Transit Oriented Development (TOD) di awal tahun 1990-an, konsep ini telah menjadi salah satu strategi yang paling banyak dikenali dan dipraktekkan dalam memecahkan permasalahan tersebut yakni dengan cara mengorganisasikan pola pengembangan dan menkoordinasikannya dengan sistem transit.
Pada dekade setelahnya, konsep TOD banyak diaplikasikan. Namun, seiring dengan makin banyaknya bentuk aplikasi TOD pada proyek-proyek rancang kota, berbagai kritik muncul berkaitan dengan kurang optimalnya penerapan konsep TOD sehingga tampak tidak memberi pengaruh apa-apa dalam mencapai apa yang dicita-citakannya. Sehingga berbagai istilah bagi dekade ini muncul diantaranya Dittmar dan Ohland (2004) yang menyebutnya sebagai dekade Transit Related Development (TRD), dan Dunphy (2004) yang menyebutnya sebagai Transit Adjacent Development (TAD). Bentuk dan karakteristik dari pola pengembangan baik TOD, maupun TOD semu (TRD atau TAD) ini akan dibahas selanjutnya.
II.1.1 Definisi Transit Oriented Development
Transit Oriented Development (TOD) sendiri sebagaimana didefinisikan oleh Calthorpe (1993) adalah,
“A mixed use community within an average 2000 foot walking distance of a transit stop and core commercial area. TOD mix residential, retail, perkantoran, open space, and public uses in a walkable environment, making it convenient for residents and employees to travel by transit, bicycle, foot or car”
Terdapat beberapa istilah yang dekat dengan konsep TOD dan sering dikaitkan satu sama lain seperti transit village, pedestrian pocket, dan new urbanism.
Sebenarnya keempat konsep tersebut memiliki persamaan dan perbedaan sesuai dengan konteks dan latar belakang kemunculannya.
Definisi terdekat adalah transit village yang didefinisikan sebagai,
a compact, mixed use community, centered around the transit station that, by design, invites residents, workers, and shoppers to drive their cars less and ride mass transit more.
Konsep ini datang jauh sebelum TOD yakni pada tahun 1966 oleh Michael Bernick dan Robert Cervero. Namun konsep transit village tidak distrukturkan menjadi zona-zona dan tidak dibatasi pada area, densitas, serta tidak secara langsung dijabarkan menjadi prinsip-prinsip panduan rancangan selayaknya konsep TOD.
Pedestrian pocket merupakan konsep terawal dari Peter Calthorpe yang melandasi munculnya TOD, konsep ini diperkenalkan pada tahun 1988 sebagai alternatif terhadap pola pembangunan berorientasi suburban. Dalam konsep ini penstrukturan zona dalam TOD juga belum diperkenalkan. Sedangkan new urbanism yang datang setelah munculnya konsep TOD, yakni antara tahun 1993 hingga 1996 merupakan gerakan dengan konsep yang lebih luas dan menempatkan TOD sebagai salah satu elemen dalam prinsip-prinsipnya. Gerakan ini lebih memfokuskan perhatiannya pada perbaikan daerah suburban.
Pada intinya, konsep-konsep tersebut bertujuan untuk memberi alternatif dan pemecahan bagi permasalahan pertumbuhan metropolitan yang cenderung pada pola auto oriented development. Dengan membuat fungsi campuran (mixed use) yang kompak dalam jangkauan lima hingga lima belas menit berjalan kaki pada area-area transit, diharapkan didapatkan beberapa manfaat. Diantaranya, terjadi internalisasi pergerakan antara hunian, perkantoran dan fungsi-fungsi lain dalam sebuah distrik yang tersentralisasi. Akumulasi pola ini pada level regional diharapkan dapat mendorong orang untuk menggunakan fasilitas transit ketimbang kendaraan pribadi. Dengan demikian dapat menyelesaikan
II.1.2 Prinsip Transit Oriented Development
Sebagai strategi untuk mencapai tujuan dari konsep TOD yakni memberi alternatif bagi pertumbuhan pembangunan kota, suburban, dan lingkungan ekologis di sekitarnya maka dirumuskan 7 prinsip urban desain dalam Transit Oriented Development. Pertama, mengorganisasi pertumbuhan pada level regional menjadi lebih kompak dan mendukung fungsi transit. Ke dua, menempatkan fungsi komersial, permukiman, pekerjaan, dan fungsi umum dalam jangkauan berjalan kaki dari fungsi transit. Ke tiga, menciptakan jaringan jalan yang ramah terhadap pejalan kaki yang secara langsung menghubungkan destinasi. Ke empat, menyediakan campuran jenis, segmen dan tipe permukiman. Ke lima, melestarikan ekologi, dan menciptakan ruang terbuka berkualitas tinggi. Ke enam, menjadikan ruang publik sebagai fokus dari orientasi bangunan. Terakhir adalah mendorong adanya pembangunan yang bersifat mengisi (infill) dan pembangunan kembali (redevelopment) pada area transit. Prinsip-prinsip tersebut kemudian diturunkan menjadi sebuah panduan perancangan yang diterapkan pada masing-masing area struktur TOD sebagaimana yang dijabarkan Calthorpe dalam bukunya The Next American Metropolis (lihat Tabel II.8).
II.1.3 Struktur Transit Oriented Development
Prinsip-prinsip yang telah dijabarkan sebelumnya akan berimplikasi pada desain stuktur TOD. Secara lebih detail, Struktur TOD dan daerah disekitarnya terbagi menjadi area-area sebagai berikut (lihat Tabel II.1):
(1) fungsi publik (public uses). Area fungsi publik dibutuhkan untuk memberi pelayanan bagi lingkungan kerja dan permukiman di dalam TOD dan kawasan disekitarnya. Lokasinya berada pada jarak yang terdekat dengan titik transit pada jangkauan 5 menit berjalan kaki.
(2) pusat area komersial (core commercial area). Adanya pusat area komersial sangat penting dalam TOD, area ini berada pada lokasi yang berada pada jangkauan 5 menit berjalan kaki. Ukuran dan lokasi sesuai dengan kondisi pasar, keterdekatan dengan titik transit dan pentahapan pengembangan.
Fasilitas yang ada umumnya berupa retail, perkantoran, supermarket, restoran, servis, dan hiburan
(3) area permukiman (residential area). Area permukiman termasuk permukiman yang berada pada jarak perjalanan pejalan kaki dari area pusat komersial dan titik transit. Kepadatan area permukiman harus sejalan dengan variasi tipe permukiman, termasuk single-family housing, townhouse, condominium, dan apartement
(4) Area sekunder (secondary area). Setiap TOD memiliki area sekunder yang berdekatan dengannya, termasuk area diseberang kawasan yang dipisahkan oleh jalan arteri. Area ini berjarak lebih dari 1 mil dari pusat area komersial. Jaringan area sekunder harus menyediakan beberapa jalan/akses langsung dan jalur sepeda menuju titik transit dan area komersial dengan seminimal mungkin terbelah oleh jalan arteri. Area ini memiliki densitas yang lebih rendah dengan fungsi single-family housing, sekolah umum, taman komunitas yang besar, fungsi pembangkit perkantoran dengan intensitas rendah, dan area parkir.
(5) fungsi-fungsi lain, yakni fungsi-fungsi yang secara ekstensif bergantung pada kendaraan bermotor, truk, atau intensitas perkantoran yang sangat rendah yang berada di luar kawasan TOD dan area sekunder.
Tabel II.1 Karakter setiap area dalam TOD
Area Gambar Lokasi Karakter Fasilitas
public uses Berada pada pusat area TOD.
Ukuran dan pilihan bergantung pada jenis TOD. Fungsi pendukung lingkungan. Titik fokal dengan visibilitas tinggi. Dekat dengan taman dan plaza Taman kota Plaza Fasilitas umum : perpustakaan, kantor polisi, pemadam kebakaran, kantor pemerintah dll
core commercial area
Area yang paling dekat dengan fungsi transit.
Ukuran dan lokasi sesuai pasar, keterdekatan dengan transit, dan pentahapan pengembangan.
Dilengkapi oleh ruang hijau
Retail, perkantoran, supermarket, restoran, servis Hiburan, industri ringan residential area Berada pada lokasi diluar core
commercial area.
Jangkauan 10 menit menit berjalan kaki
Menyediakan beragam tipe hunian tipe, harga, maupun densitas. Sgl family housing, townhouse/Soho Apartment, secondary area
Berada diluar area TOD
Jangkauan 20 menit berjalan kaki diseberang arteri. Auto
oriented
Kepadatan lebih rendah Memiliki banyak jalan menuju area transit
Sekolah umum Single family housing
fungsi-fungsi lain
Berada diluar area TOD
Dekat atau jauh dari jalan tol berdasarkan jenis fungsinya. daerah dekat transit mendukung fungsi transit
Rural residential, industrial uses, travel commercial complexes.
Sumber: The Next American Metropolis, 1993; Building Type Basics for Transit Facilities, 2004
II.1.4 Tipologi TOD
Tipologi TOD berbeda-beda berdasarkan lokasi penerapannya dan berdasarkan jenis pengembangannya. Berdasarkan konteks lokasinya TOD dapat dikembangkan baik pada darah metropolitan, maupun pada daerah yang belum berkembang dan sedang mengalami urbanisasi selama lokasi tersebut memiliki potensi untuk dikembangkan kembali (redevelopment, reuse, dan renewal). Sehingga terdapat dua model pengembangan dalam TOD yakni (Gambar II.1 dan Tabel II.2):
(1) Neighborhood TOD. Neighborhood TOD merupakan TOD yang berlokasi pada jalur bus feeder dengan jarak jangkauan 10 menit berjalan (tidak lebih dari 3 mil) dari titik transit. Neighborhood TOD harus berada pada lingkungan hunian dengan densitas menengah, fasilitas umum, servis, retail, dan rekreasi. Hunian dan pertokoan lokal harus disesuaikan dengan konteks lingkungan dan
tingkat pelayanan transit. Konsep ini juga membantu pengembangan hunian bagi masyarakat menengah ke bawah, dengan dimungkinkannya percampuran variasi hunian. Neighborhood TOD ini dirancang dengan fasilitas publik dan ruang terbuka hijau serta memberi kemudahan akses bagi pengguna moda pergerakan.
(2) Urban TOD. Urban TOD sendiri merupakan TOD dengan skala pelayanan kota berada pada jalur sirkulasi utama kota seperti halte bus antar kota dan stasiun kereta api baik light rail maupun heavy rail. Urban TOD harus dikembangkan bersama fungsi komersial yang memiliki intensitas tinggi, blok perkantoran, dan hunian dengan densitas menengah tinggi. Setiap TOD pada kota, memiliki karakter tersendiri sesuai dengan karakter lingkungannya. Pola pengembangan dengan urban TOD ini cocok untuk kawasan perkantoran, hunian, komersial yang memiliki densitas tinggi karena memungkinkan akses langsung ke titik transit tanpa harus melakukan pergantian moda lain. Urban TOD dan Urban TOD lain berada dalam radius ½ -1 mil untuk memenuhi persyaratan area transit.
Gambar II.1 Urban TOD (kiri) dan Neighborhood TOD (kanan) Sumber: Calthorpe, Peter. 1993. The Next American Metropolis.
Tabel II.2 Neighborhood TOD (kiri) dan Urban TOD (kanan)
Fungsi Neighborhood TOD Urban TOD
Publik 10%-15% 5%-15%
Pusat/perkantoran 10%-40% 30%-70%
permukiman 50%-80% 20%-60%
sumber: Calthorpe, Peter. 1993. The Next American Metropolis.
penerapannya. Berdasarkan peruntukan lahan, fungsi dan perannya yang berbeda dalam sistem regional (Tabel II.3) Dittmar dan Ohland (2004) membagi tipologi urban TOD menjadi urban downtown, dan urban neighborhood. Urban downtown muncul sebagai pusat pemerintahan dan pusat budaya dibanding sekedar persinggahan aktifitas bekerja. Sedangkan urban neighborhood merupakan lingkungan historis yang umumnya mengelilingi pusat kota (downtown) dan menyokong kehidupannya. Karena itu keduanya memiliki densitas, ukuran, dan jenis pelayanan transit yang berbeda. Dalam mengaplikasikan jenis tipologi tersebut harus dipahami bahwa pada dasarnya TOD adalah tentang menciptakan sinergi antara komunitas dan kawasan regional, antara pekerjaan dan permukiman, antara tingkat kepadatan dan tingkat pelayanan transit, antara manusia dan kualitas komunitas yang aktif dan dalam tingkat umur, tingkat pendapatan masyarakat yang berbeda (Dittmar, Ohland: 2004).
Tabel II.3 Karakter Urban Downtown dan Urban Neighborhood
Tipologi Densitas Fungsi Jenis Transit
Urban downtown
Minimal 60 unit/acre
Terspesialisasi sebagai sebuah distrik dengan fungsi dan kegunaan yang berbeda
Dilayani oleh beberapa jenis transit. Merupakan titik transit utama Urban neighborhood Minimal 20 unit/acre Permukiman kepadatan sedang hingga tinggi. Perbelanjaan pada jalur utama
Sekolah dan taman terintegrasi dengan area permukiman
Jalan didesain dengan beragam fungsi
Perpanjangan dari grid jalan dari pusat kota.
Dilayani oleh streetcar ataupun kereta.
Berada pada jarak 5-10 menit berjalan kaki
Sumber: Ohland. Dittmarr. 2004. The New Transit Town.
Berkaitan dengan tipologi yang di atas, Griffin (2004) mengaitkan fungsi transit di kawasan urban dan pengembangan di sekitarnya dengan mengkategorikan area pengembangan berbasis transit (transit area development) berdasarkan karakter, land use, jenis fasilitas transit, dan pendekatan pengembangan yang dikehendaki. Maka tipologi urban downtown yang dikategorikan oleh Dittmar dan Ohland dibagi kembali menjadi urban mixed use, dan specialty urban. Urban mixed use diidentifikasi dengan adanya campuran landuse dan berganda, dengan dominasi
lingkungan struktur, dan memiliki ketinggian lebih dari 3 lantai dan dilayani beragam mode transportasi dalam sebuah jaringan. Speciality Urban diidentifikasi dengan adanya landuse tematik, becampur, dan berganda. Kedua tipologi ini memiliki kecenderungan terhadap fungsi yang berbeda (lihat Tabel II.4).
Tabel II.4 Matrix Kesesuaian Land Use pada Area Transit
Urban Mixed Use Speciality Urban
Land Use
C R S C R S
Perkantoran berdensitas tinggi Perkantoran berdensitas menengah Perkanoran berdensitas rendah Perkantoran medical Pelayanan lokal Rumah sait Hotel/motel Bioskop Restoran
Perbelanjaan berskala lokal Perbelanjaan berskala regional Minimarket
Fitness center
Permukiman berkepadatan tinggi permukiman berkepadatan menengah Permukiman berkepadatan rendah Taman kota
Taman regional Fasilitas budaya Dinas pemerintahan Penitipan anak
Universitas dan perguruan tinggi Kantor pemerintahan
Sekolah dan berbagai institusi Penelitian dan pengembangan Industri ringan
Pemeliharaan dan perbaikan mobil
Keterangan
Penting Diharapkan
sumber: Griffin. 2004. Building Type Basics for Transit Facilities.
II.1.5 Keuntungan dari Diterapkannya TOD
Beberapa pihak masih meragukan keuntungan dari diterapkannya TOD dalam pemecahan permasalahan sprawl dan kemacetan. Hal ini dikarenakan pelaksanaan TOD masih belum dapat diaplikasikan secara menyeluruh dalam sebuah skala
sebuah TOD adalah manfaat-manfaat yang bersifat jangka pendek seperti perbaikan lingkungan dan komunitas. Perbaikan berupa berkurangnya pola sprawl dan kemacetan dinilai belum dapat dirasakan. Namun, jika TOD dilihat sebagai sebuah langkah awal dalam sebuah upaya jangka panjang yang bersifat menyeluruh dalam skala regional, maka berbagai studi telah membuktikan manfaat dari prinsip-prinsip TOD bagi kota. Diantara manfaat yang dibuktikan melalui studi-studi tersebut adalah:
(1) Penurunan penggunaan mobil dan mengurangi pengeluaran keluarga untuk akses. Penelitian untuk memprediksikan hubungan penggunaan mobil serta densitas pengeluaran rumah tangga untuk transportasi telah diadakan oleh tim gabungan dari Center of Neighborhood Technology, the Natural Resources Defense Concil dan the Surface Transportation Policy Project. Penelitian tersebut membuktikan bahwa perbedaan pada tingkat densitas dan transit dapat menjelaskan perbedaaan tingkat penggunaan kendaraan per rumah tangga yang signifikan yakni variasi 3:1 pada tingkat pendapatan yang sama dan jumlah anggota rumah tangga yang sama..
(2) Peningkatan pejalan kaki dan pengguna transit. Sebuah penelitian telah dilakukan Dittmar dan Poticha terhadap data perjalanan menuju lokasi kerja di kawasan-kawasan TOD yakni empat suburban center di Arlington County, dua urban station di San Francisco, dan tiga urban stations di Chicago. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pejalanan kaki dan penggunaan transit pada setiap area stasiun dengan kawasan TOD jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat pejalan kaki pada kawasan-kawasan lain di kota-kota tersebut secara keseluruhan.
(3) Menghidupkan kembali kawasan pusat kota dan meningkatkan instensitas serta densitas pembangunan di sekitas area transit. Sebagai contoh adalah keberhasilan pemerintah Arlington County dalam meningkatkan densitas dan nilai komersial area suburban Arlington County khususnya koridor Rosslyn-Ballston yang secara terus menerus mulai ditinggalkan 36,4% penduduknya tersebut. Dengan dukungan penuh terhadap penerapan TOD dan sistem Metrorail subway sebagai katalis pembangunan, pemeritah Arlington County dapat meningkatkan densitas area sekitar transit melalui proses design review
dan rezoning hingga Floor Area Ratio (Koefisien Lantai Bangunan) yang bervariasi dapat mencapai angka 10.
(4) Menurunkan pengeluaran konsorsium penyedia sistem transit dan developer untuk biaya akses. Pada proyek TOD di Arlington County, TOD secara dramatis menaikkan proporsi pengguna transit yang mengakses sistem dengan berjalan kaki. Hal ini menguntungkan karena dengan meningkatnya penggunaan transit dan menurunnya penggunaan mobil pribadi, konsorsium tidak lagi perlu menyediakan lahan luas bagi parkir ataupun feeder bus. Begitu pula developer yang dapat mengurangi volume pembangunan area parkir dari standar yang umumnya berlaku.
(5) Meningkatkan penjualan properti di sekitar transit. Pada kasus yang sama, tingkat penjualan properti pada proyek ini pada februari 2003 mencapai US$ 166 juta, yakni rekor nilai tertinggi di amerika selama beberapa tahun.
(6) Meningkatkan kesempatan bagi berbagai kegiatan dan fungsi di sekitar transit. Beberapa variasi fungsi muncul dengan aktifnya kegitan transit contohnya penitipan anak di Tamien Station di San Jose, rental dan parkir sepeda di Long Beach, Car Sharing Program and Rental di berbagai kota di Eropa dan Amerika seperti Chicago, Seattle, dan San Francisco.
II.1.6 Studi Kasus
Beberapa kasus yang menerapkan TOD pada kawasan transit telah memberikan pelajaran-pelajaran yang diambil mengenai penerapan teori TOD dalam kehidupan nyata, berupa kegagalan dan kendalanya, kesuksesan dan strateginya serta faktor-faktor berupa sirkulasi yang turut mensukseskan kawasan-kawasan tersebut.
TOD di Amerika
Sebagai negara dimana teori ini berlatar belakang dan muncul, Penerapan TOD di Amerika umumnya berhasil menerapkan sebagian besar dari prinsip TOD. Hal ini juga didukung oleh sistem kebijakan di negara tersebut. Dalam skala distrik,
kawasan yang sering diangkat diantaranya adalah yang sering diangkat adalah Mockingbird Station Dallas, Blok 17 Chicago, dan Lindbergh City Center Atlanta.
(1) Stasiun Mockingbird Dallas. Mockingbird termasuk pada tipologi TOD urban neighborhood yang berhasil menangkap pasar. TOD dikembangkan dengan 211 apartemen loft, 140000 sqf perkantoran, dan 180000 sqf area komersial. RTKL merencanakan kawasan ini dengan pertimbangan adanya pembiayaan sepenuhnya oleh swasta, kecuali pembiayaan infrastruktur. Diprediksikan pada tahun 2010, besar pergerakan kawasan ini akan mencapai 185 ribu penumpang/hari. Dalam mengolah elemen linkage, kawasan ini terhubung langsung dengan Stasiun DART (Dallas Area Rapid Transit) melalui jembatan penyeberangan, eskalator, lift (elevator) dan jembatan lansekap (landscape bridge/landscraper). Selain itu perencanaan mixed use dan marketing yang tepat, akses visual menuju stasiun pun mudah. Pelajaran yang dapat diambil dari kasus ini adalah bahwa perencanaan kombinasi mixed use yang tepat dengan densitas yang tepat akan membangkitkan keaktifan kawasan dan kecenderungan terhadap transit, begitu pula sebaliknya.
Gambar II.2 Stasiun Mockingbird.
sumber: Mocking Bird Station: www.mockingbirdstation.com
(2) Block 17 Chicago. Hingga dekade 1980-an block 17 Chicago merupakan kawasan transit yang sangat ramai. Dengan pengembangan 2-3 juta sqf mixed use perkantoran-retail yang sangat terintegrasi dengan infrastruktur transit. Namun perencanaan fase pengembangan yang tidak tepat dan tidak melihat pasar menyebabkan pembangunan tidak mungkin terlaksana, blok ini kemudian ditinggalkan dalam keadaan kosong. Perencanaan baru yang
dimulai kembali pada tahun 2002 mencoba mengembangkan kawasan secara bertahap dengan pembangunan infrastruktur penghubung (linkage) transit yang terintegrasi dengan podium komersial sebagai pembangunan tahap awal. Perencanaan linkage menerapkan amenitas yang lengkap, koneksi diagonal dan multilevel pedestrianway di setiap infrastruktur penting, Pelajaran dari kasus ini adalah diperlukannya analisis pasar bagi area-area yang terintegrasi dengan transit. Akses yang terintegrasi tidak cukup untuk mensukseskan TOD.
Gambar II.3 Block 17 Chicago. sumber: PARALLEL UNIVERSE: World’s Most Famous Vacant Lot Under Development in Chicago’s Loop, wordpress.com
(3) Lindbergh City Center Atlanta. Kawasan ini merupakan kawasan dengan penerapan TOD yang tidak terintegrasi dengan lingkungan di sekitarnya. Kawasan terpisahkan dengan lingkungan disekitarnya dengan adanya jalan arteri dan jalan tol. Fungsi dan transit tidak terintegrasi.
Gambar II.4 Lindberg City Center.
Sumber: Dittmar. Ohland. 2004. The New Transit Town
Dengan dengan koneksi terhadap lingkungan yang sangat kurang, pengembangan 2,4 juta sqf perkantoran, 225 ribu sqf retail, 700 unit residensial, 190 unit kamar hotel menjadi kurang diminati. Pelajaran yang diambil pada kasus ini adalah bahwa pada kawasan yang terpisah dengan area transit oleh jalan arteri cenderung pada transit adjacent development. Maka perlu adanya struktur (taksonomi) terintegrasi pada elemen penghubung (linkage)
TOD di Asia
Terdapat beberapa kasus menarik yang menunjukkan perbedaan dalam penerapan TOD di Asia Beberapa kasus tersebut diantaranya:
(1) Stasiun Hongkong, Wan Chai Dan Admiralty. Wanchai dan Admiralty merupakan kawasan komersial yang telah terbangun dengan vitalitas tinggi. Kebijakan transportasi memetakan adanya beberapa moda transportasi tersebar melingkupi kawasan tersebut. Dalam mempertahankan jarak ideal 10 menit perjalanan kaki dan mencegah adanya konflik orang dan kendaraan, linkage dibuat menembus bangunan pada level upperground (lantai dua). Dapat diambil pelajaran bahwa perencanaan kawasan transit pada daerah eksisting yang telah aktif tetap harus memudahkan akses akan dengan menghindari crossing. Salah satu caranya adalah dengan jalur pejalan kaki menerus di lantai 2 yang ikut mengaktifkan kegiatan komersial di lantai dua.
Gambar II.5 Stasiun Wanchai dan Admiralty. Sumber: www.mtr.com
(2) Stasiun Kyoto. Stasiun Kyoto adalah contoh penerapan TOD dalam bentuk megastruktur. Mixed use ditempatkan secara vertikal, horizontal dan diagonal dalam sebuah massa yang panjang dan membelah blok-blok kota. Fungsi-fungsi yang dikembangkan dalam mixed use ini antara lain hotel, department store, teater, supermarket, bioskop, gedung konser, dan plaza rekreasi.
Gambar II.6 Stasiun Kyoto. Sumber: The New Kyoto Station, 1997
Selain itu bangunan dilengkapi dengan public art yang menghiasi ruang publik, baik di dalam maupun di luar bangunan. Pelajaran yang dapat diambil dari kasus ini adalah bahwa pengembangan TOD dengan radius berjalan kaki tidak hanya berlaku horizontal, tapi juga dapat berlaku vertikal. Megastruktur memungkinkan munculnya ruang-ruang publik dalam bangunan dan akses yang mudah.
(3) Roppongi Hills, Tokyo. Roppongi Hills adalah sebuah kawasan elit di kota Tokyo. Kawasan ini sangat baik dalam merumuskan visinya yakni sebagai Art And Intelligent City. Penerapan mixed use dapat dilihat dari beragamnya jenis komersial, publik, dan hunian. Kawasan ini menyatukan fungsi publik, komersial, dan aktifitas dalam berbagai level bangunan. Penggunaan hasil karya seni dalam rancangan bangunan dan lansekap pun menghasilkan pengalaman yang menarik di seluruh kawasan. Pelajaran yang dapat diambil dari kasus ini antara lain perlu adanya visi yang tepat bagi kompetensi kawasan, perlu adanya pengolahan ruang-ruang luar yang menarik, atraksi,
dan taksonomi terintegrasi pada elemen pengubung landscapebridge pada lahan yang terpisah oleh jalan arteri, atau batas lainnya.
Gambar II.7 Roppongi Hills. Sumber: Roppongi Hills: www.jerde.com
Kesimpulan Studi Banding:
Penerapan TOD di Amerika memiliki kendala dalam kurangnya pemahaman akan integrasi transit–fungsi yang dikembangkan dan kawasan eksisting. Sehingga seringkali pengembangan cenderung kepada Transit Adjacent Development. Selain itu pada beberapa kasus ditemui pelajaran bahwa analisis pasar sangat penting. Begitu pula elemen linkage khususnya pada kasus titik transit terpisah oleh jalan-jalan arteri
Sebaliknya, TOD di Asia umumnya mengalami keterbatasan dalam mengaplikasikan teori. Hal ini umumnya diakibatkan oleh kecenderungan pasar, keterbatasan lahan, kondisi eksisting yang masih vital sehingga belum perlu adanya renewal, dan kebijakan negara tersebut. Dengan berbagai keterbatasan yang ada, intensitas menjadi lebih tinggi, dan rancangan menjadi lebih inovatif, yakni dengan digunakannya berbagai taksonomi intoermoda dalam skala kawasan distrik melalui penggunaan skybridge, elevated transit mall and plaza, megastructure dan sebagainya. Namun tetap ada kecenderungan pengembangan kepada Traffic Oriented Development dan Development Oriented Transit. Kasus studi banding di atas akan memberi kontribusi bagi kriteria perancangan sebuah kawasan TOD berdasarkan optimalisasi sirkulasi (lihat Tabel II.8).
II.1.7 Kritik terhadap Transit Oriented Development, Tanggapan, dan Pemecahannya
Perjalanan penerapan TOD dalam berbagai proyek menuai kritik baik dalam praktik penerapan TOD maupun dalam intisari teori TOD sendiri. Adapun beberapa kritik menggeneralisir kelemahan implementasi teori TOD dalam proyek seakan-akan merupakan kelemahan dari teori itu sendiri. Diantara kritik-kritik tersebut antara lain:
(1) Terlalu berorientasi terhadap fisik, ideal dan ambisius
Ide ini diibaratkan sebagai desain dan perencanaan ala butik (’boutique’ planning and design), karena ”...indah dan canik untuk dilihat, namun
sebenarnya tidak terlalu penting...”. Selain itu juga umumnya desain yang lahir berkiblat melulu pada keindahan, sehingga kadangkala tidak mampu menuntaskan permasalahan sosial urban yang ada, akibat bentukannya yang terlalu ideal, terlalu ambisius, dan jauh dari kenyataan yang ada. Seperti dinyatakan Katz (1998:12), ”...too idealized, too ambitious, or disconnected from place or reality...” (Katz, 1998:12). Menanggapi kritik tersebut, para perancang new urbanis bersikeras bahwa desain tidak hanya mengandalkan kecantikan fisik, melainkan juga pengolahan teori yang dalam dan cermat (Tinamei, 2002:36).
Pada dasarnya penerapan TOD tidak selalu jauh dari kenyataan. Dengan adanya analisis pasar dan finansial yang tepat TOD dapat menjadi suatu konsep yang dapat dipertanggung jawabkan. Usulan ini telah banyak diusulkan seperti oleh Griffin (2004) dan Dunphy (2004) dan telah diaplikasikan seperti dalam perencanaan Roppongi Hills dan Mockingbird
(2) Merupakan ide-ide lama
Dalam menyikapi kritik tersebut, para new urbanis berpendapat bahwa dalam TOD_dan new urbanisme sebagai induk semangnya_tidak ada teori-teori baru, karena diyakini menciptakan sesuatu yang baru dalam perencanaan kota tidak selamanya akan menghasilkan komunitas yang lebih baik. Justru yang dianggap hal baru adalah ide upaya menghimpun totalitas / kesatupaduan seluruh unsur perencanaan kota. Perencanaan yang dilakukan akan menyeluruh, yaitu perencanaan skala kecil (bangunan, blok, dan jalan), skala sedang (koridor, lingkungan, distrik), juga skala besar (infrastruktur regional dan ekologi alam).
Penghimpunan keunggulan dari beberapa teori dalam sebuah panduan rancang kota yang menyeluruh pun merupakan sebuah sumbangan intelektual yang selayaknya diapresiasi. Konsep radius pejalan kaki pun merupakan sebuah
terobosan yang bersumber dari Peter Calthorpe pada konsep pedestrian pocket (1989) yang telah ada sebelum TOD digagas.
(3) Tidak menyelesaikan permasalahan transportasi kota
Beberapa kritik terhadap strategi-strategi yang mendorong pembangunan di sekitar transit salah menyikapinya karena gagal menyelesaikan permasalahan sprawl. Contohnya ekonom Anthony Downs, berargumen bahwa meskipun pembangunan area transit akan memberi trend baru terhadap perkembangan kota yang berekspansi keluar, namun TOD tidak pernah menjadi obat bagi permasalahan mendasar dari sprawl (Dunphy, 2004).
Pada dasarnya menyelesaikan permasalahan transportasi kota memerlukan sebuah perencanaan yang bersifat makro yang harus diselesaikan dengan kebijakan yang bersifat makro pula. Meskipun TOD memiliki konsep regional, secara fisik TOD tetap merupakan penyelesaian dalam bentuk panduan rancang kota yang sangat terkait dengan konteks dan batasan lokasi. Dengan demikian kawasan TOD secara tersendiri dan permasalahan transportasi bukanlah sebuah aspek yang dapat disandingkan sebagai hubungan tesis-antitesis.s Dunphy (2004) menyatakan bahwa menyelesaikan sprawl memerlukan konsensus manfaat dari konsep-konsep yang menjadi alternarif dari sprawl dan kemauan untuk menyatakan ’tidak’ pada pembangunan yang tidak sesuai. Dengan tidak dapat ditemukannya konsensus tersebut di banyak tempat, maka TOD yang diterapkan di berbagai kawasan dalam sebuah wilayah akan menjadi sebuah langkah besar.
(4) Hanya menjangkau kelas tertentu
Bahwa TOD dan gerakan new urbanism bersifat elitis dan hanya untuk kalangan tertentu saja, sehingga membatasi tujan yang seharusnya mampu untuk rakyat banyak (Tinamei, 2002). Selain itu juga perencanaan selalu datangnya dari pihak atas (top-down), dan tidak berakar pada permasalahan konteks setempat. Bahwa tidak mudah untuk memperkenalkan sesuatu yang baru pada masyarakat yang belum bisa diprediksi struktur masyarakatnya.
Untuk itu, kemungkinan kegagalan bisa saja terjadi karena masyarakatnya yang belum siap atau adanya kemungkinan desain yang tidak disukai masyarakat. Tidak ada sanggahan dalam menanggapi kritik ini
Dengan adanya pengaturan keragaman densitas, jenis hunian dan perletakan fungsi-fungsi publik di dalam TOD dapat dilihat adanya usaha untuk memvariasikan segmen, meskipun memang tidak tidak secara eksplisit dapat dibaca sebagai variasi tingkat ekonomi. Sebagaimana hakikat sebuah panduan rancang kota, TOD merupakan kebijakan yang pada sejatinya bersifat top-down. Kebijakan dapat saja mengakar pada aspirasi masyarakat. Namun hal itu hanya dapat terjadi pada lokasi dan masyarakat yang spesifik.
(5) Hanya mengusulkan kehidupan suburban, bukan urban
Pendapat ini disanggah dengan pernyataan bahwa tidak selalu seperti demikian, karena selama ini hanya mengamati proyek-proyek yang kebetulan di daerah suburban, seperti Seaside, Laguna West, Kentland, dan Harbor Town (Tinamei, 2002). Kenyataannya gerakan ini juga menawarkan strategi ragional untuk pemecahan baik untuk daerah pusat kota (downtown) dan lingkungan permukiman tengah kota (inner city neighborhood).
Kasus-kasus penerpan urban TOD selayaknya menjadi rujukan bahwa TOD diaplikasikan pula pada kawasan urban. Hal ini dapat ditemukan misalnya pada Roppongi Hills
(6) Terlalu bersifat individual, terpecah-pecah
TOD memiliki ‘saudara jahat’ yang disebut TAD-Transt Adjacent Development (Dunphy, 2004). Meskipun berlokasi dekat transit, TAD gagal menyediakan linkage yang baik menuju transit dan merencanakan land use dan pola pembangunan yang tidak mendukung fungsi transit. Pengembangan klaster dekat transit tidak memiliki manfaat jika pengembangan dan transit
pengembangan yang sekedar dekat dengan area transit namun terpisah dengan pengembangan di sekitarnya baik itu berupa pola kota (urban fabrict) maupun penghubung (pengikat) kota (urban linkage). Diantara contoh jenis pengembangan ini adalah Lindbergh City Center. Kawasan yang dikembangkan dengan slogan TOD ini ternyata sulit diakses dari lingkungan sekitarnya diakibatkan terpisahnya kawasan dengan jalan arteri tanpa adanya jembantan penyeberangan.
Umumnya pengembangan dengan tipe ini terjadi pada lokasi-lokasi dengan titik transit yang telah ditetapkan, dimana developer tidak memiliki kewenangan untuk mengintegrasikannya pada lahannya. Selain itu dapat pula dipisahkan oleh pembatas berupa jalan arteri, ataupun batas alam. Pada kasus-kasus penerapan TOD yang berhasil menyelesaikan permasalahan tersebut, perencanaan terhadap linkage dan place making yang baik sangat dibutuhkan dan memiliki peran yang penting. Ini dapat ditemukan pada perencanaan Roppongi Hills.
(7) TOD tidak bersinergi dengan fungsi transit (Dittmar, Ohland, 2004)
Banyak dari proyek-proyek yang dikembangkan dengan slogan TOD menjadi sebuah problematika dengan menyempitkan hubungan antara pengembangan dan transit (Dittmar, 2004). Proyek-proyek ini murni hanya berlandaskan perhitungan finansial tanpa adanya visi besar mengenai bagaimana transit dan pengembangan kawasan dapat bekerja secara sinergis. Banyak praktek TOD tidak memanfaatkan potensi dan keuntungan yang diberikan TOD bagi pengembangan disamping kenaikan nilai lahan, yakni melalui berkurangnya pergerakan kendaraan, kenaikan investasi pada sistem transit, dan dapat dimaksimalkannya densitas dan land use. Sedangkan pertambahan nilai lahan merupakan sebuah keuntungan yang secara otomatis dimiliki oleh area transit tanpa harus menerapkan konsep TOD. Bentuk pengembangan seperti ini disebut oleh Dittmar dan Ohland (2004) dengan istilah pengembangan yang sekedar berkaitan dengan transit (Transit Related Development). Kritik ini
terbukti dengan tetap digunakannya standar parkir pada paradigma pengembangan berorientasi pada kendaraan pribadi bermotor (auto-oriented development). Juga terbukti dengan tidak proporsionalnya pembagian peruntukan lahan (land use) yang menunjukkan tidak berartinya fungsi transit dalam mengubah konfigurasi landuse. Fenomena ini juga menunjukkan kurang dimengertinya latar belakang TOD untuk mengurangi pergerakan kendaraan bermotor, dan keluasan keuntungan yang didapatkannya. Tidak ada sanggahan terhadap kritik ini.
Dalam penyelesaian permasalahan ini, dibutuhkan pengaplikasian tipologi TOD korelasi peningkatan densitas dan peningkatan frekuensi transit serta adanya studi lanjutan mengenai hubungan antara lingkungan pejalan kaki dan pembagian pergerakan oleh pejalan kaki, sepeda, kendaraan umum dan kendaraan pribadi (Dittmar, Ohland, 2004). Dengan demikian diperlukan pemahaman mengenai sirkulasi kendaraan dan orang, besar peralihan pengguna keandaraan pribadi ke moda transportasi massal serta pengaruhnya terhadap pengembangan kawasan seperti berkurangnya volume lalu lintas, jumlah parkir, kemungkinan penambahan intensitas dan densitas pengembangan, serta linkage pada elemen penghubung seperti jalur pejalan kaki yang memudahkan pencapaian pengguna.
Diantara kritik-kritik tersebut sebagian besar dapat terjawab, hingga menyisakan kritik ke enam dan ke tujuh untuk dijawab. Untuk itu, sebagaimana yang dikatakan oleh Dittmar dan Ohland bahwa diperlukan pemahaman bahwa pada dasarnya TOD adalah tentang menciptakan sinergi antara komunitas dan kawasan regional, antara pekerjaan dan permukiman, antara tingkat kepadatan dan tingkat pelayanan transit, antara manusia dan kualitas komunitas yang aktif dan dalam tingkat umur, tingkat pendapatan masyarakat yang berbeda. Dengan demikian, perlu dilakukan tahapan berikut:
(1) Dalam merencanakan densitas, tipologi harus diapikasikan secara regional terlebih dahulu dan memahami setiap bagian tapak secara khusus. Harus ada
korelasi antara peningkatan densitas dan peningkatan frekuensi pelayanan transit.
(2) penelitian lanjutan terhadap densitas, bangkitan pergerakan, kebutuhan parkir, hubungan antara lingkungan pejalan kaki dan pembagian perjalanan dengan pejalan kaki, sepeda, transit dan mobil akan dibutuhkan
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam mengaplikasikan TOD secara benar dan menghindari kesalahan-kesalahan serupa dibutuhkan pemahaman mengenai hubungan antara pengembangan dan transit. Oleh karena itu dibutuhkan studi lanjutan yang berkaitan dengan teori dan elemen sirkulasi dalam kaitannya dengan pengembangan kawasan.
II.2 Sirkulasi
Dalam American Architecture and Urban design, Friedmann telah mengungkapkan betapa pentingnya elemen sirkulasi. Ia menyatakan bahwa, dibandingkan sirkulasi beberapa elemen lain dari kehidupan kota seperti aktifitas dan fungsi memiliki pengaruh lebih besar terhadap pertumbuhan kota. Namun, pertumbuhan pusat perdagangan, kawasan permukiman, dan industri kesemuanya terjalin oleh sirkulasi antara dan di dalam kota. Bangunan pabrik, permukiman baru, penciptaan ruang terbuka, keseluruhannya merupakan penjelasan dari bentuk totalitas sebuah metropolis yang semua bergantung pada kebijaksanaan kita dalam mendesain jejaring sirkulasi.
II.2.1 Definisi Sirkulasi
Sirkulasi (circulation) didefinisikan sebagai,
free movement or passage through a circuit or series of vessel (wordnet.princeton.edu/perl/webwn).
That part of a room or building required for movement of people from place to place.
(www.affordablehouse.com/glo.html
Sehingga jelas bahwa sirkulasi menyangkut tidak hanya pergerakan namun juga elemen penghubung atau media dari pergerakan tersebut. Dapat disimpulkan
bahwa dalam tataran rancang kota, sirkulasi menyangkut 2 elemen yakni pergerakan (movement / traffic), dan elemen penghubung (linkage).
II.2.2 Elemen Sirkulasi : Pergerakan (movement/traffic)
Arti sesunguhnya.dari pergerakan urban sendiri memiliki makna yang sulit diterjemahkan . Traffic yang dalam kamus diartikan sebagai lalu lintas, maka dalam maknanya tidak saja diartikan pergerakan berbagai kendaraan sebagaimana lingkup definisi kata lalu lintas dalam disiplin ilmu transportasi biasa mengartikannya. Kata traffic sendiri menggambarkan kondisi lebih dari sekedar berkendaraan yang tengah bergerak. Dalam buku Traffic In Town, Buchanan mendefinisikan traffic dengan gambaran adanya kondisi bergerak dan berhenti (”...include the presence in towns of vehicles both moving and at rest....”). sehingga dapat disimpulkan pergerakan menyangkut elemen sebagai berikut:
(1) Kegiatan bergerak (move)
Pergerakan dalam kota adalah sutu representasi dinamika kehidupan masyarakat kota sehari-hari dalam melakukan aktifitasnya (Buchanan, 1963). Orang atau kendaraan berpindah tentu sehubungan dengan aktifitas yang tengah dilakukan. Terlebih lagi aktifitas ini terjadi dalam dua atau lebih lokasi yang berbeda. Maka dinilai orang perlu untuk bergerak dan berhenti. Itulah sebabnya Buchanan menyebutkan bahwa “traffic is therefore a function of activities”. Selain itu kegiatan bergerak melibatkan adanya interaksi abstrak (Tinamei, 2002). Interaksi abstrak yang terjadi menyangkut berbagai elemen yang ikut berinteraksi yaitu antar individu manusia, manusia dengan konteks ruang yang dilewatinya, manusia dengan aktifitas pergerakan kendaraan yang membawanya, dan manusia dengan aktifitas yang dijalaninya
Dengan demikian, kegiatan bergerak didasari oleh aktifitas, yang didalamnya terdapat interaksi abstrak antar pelaku, aktifitasnya dan ruang yang menyebabkan perpindahan tempat. Jika kita menerapkannya dalam sebuah kawasan TOD, maka kegiatan bergerak didasari oleh aktifitas dalam TOD, yakni interaksi abstrak antar pengguna kawasan, aktifitasnya dan ruang yang
Bentuknya dapat berupa adanya jalur sepeda, PKL, ruang-ruang duduk dan sebagainya.
Dalam perencanaan kota setiap aktifitas pasti membangkitkan pergerakan baik pergerakan orang maupun pergerakan kendaraan. Bangkitan ini bervariasi untuk setiap landuse. Bangkitan ini direpresentasikan dalam sebuah rasio besarnya volume kendaraan (V, dengan satuan smp (satuan mobil penumpang)) yang dibangkitkan oleh setiap meter persegi pengembangan. Bertambahnya bangkitan akan menurunkan tingkat pelayanan (level of service/LOS) jalan (lihat Tabel II.6). Dimana LOS adalah perbandingan volume kendaraan (V) terhadap kapasitas jalan (C) (lihat Tabel II.5). Namun, dalam sebuah TOD pergerakan erat kaitannya dengan fungsi transit dimana TOD mengurangi bangkitan pergerakan kendaraan bermotor, menggantinya dengan pergerakan transit (menggunakan kendaraan umum dan berjalan kaki), serta mensinergikan kepadatan dengan tingkat pelayanan transit. Dengan demikian, LOS jalan akan meningkat.
Tabel II.5 Besar Bangkitan Setiap Landuse untuk Kota Jakarta
Jenis Land Use Rasio Bangkitan
Retail 0,0145 Perkantoran 0,01 Hunian 0,083 Fasus Fasom 0,07 Ruko 0,013 Fasilitas Transit 0.01246
Sumber: RK 2004 ITB. 2005. Pengembangan Kawasan Gunung Sahari
Tabel II.6 Tingkat Pelayanan (Level of Service) Jalan
LOS Volume/Kapasitas Keterangan
A < 0,6 Keadaan pada tingkat ini adalah arus bebas, volume
rendah, dan kecepatan tinggi
B 0,6 < V/C < 0,7 Keadaan arus tabil, kecepatan sedikit terbatas oleh lalu
lintas, dipakai untuk jalan luar kota
C 0,7 < V/C < 0,8 Arus stabil, kecepatan terkontrol oleh lalu lintas,
dipakai untuk jalan perkotaan
rendah
E 0,9 < V/C < 1,0 Arus tidak stabil, kecepatan rendah dan berbeda-beda,
volume mendekati kapasitas
F V/C > 1,0 Arus terhambat, kecepatan rencah, volume di bawah
kapasitas, banyak berhenti.
Sumber: Darmoyono, Laksmi T. 2004. Analisis Intenitas Dampak Pembangunan di Jalan Dago.
Karakter bangkitan pergerakan dan parkir yang dibangkitkan oleh TOD memiliki dua komponen yakni (Daisa di Dittmar, Ohland, 2004):
a. pergerakan yang dibangkitkan oleh fasilitas transit secara mandiri terlepas dari land use kawasan TOD. Pergerakan ini adalah pergerakan pengguna transit yang turun pada kawasan TOD untuk beralih kepada moda transportasi lainnya.
b. pergerakan yang dibangkitkan oleh land use kawasan TOD. Pergerakan ini adalah jenis pergerakan yang dibangkitkan oleh besar pembangunan land-use tertentu pada TOD. Rasio bangkitan standar secara otomatis akan berkurang dengan adanya peralihan ke moda transportasi umum.
Kedua komponen ini pun akan memiliki bangkitan baik bagi kendaraan umum dan pejalan kaki maupun kendaraan pribadi. Hal ini dikarenakan peralihan penggunaan kendaraan pribadi menjadi moda transportasi umum akan meningkatkan volume pejalan kaki dan penggunaan jalur pejalan kaki.
Adapun besarnya pergerakan pejalan kaki juga akan mempengaruhi desain kawasan TOD yang berinti pada pedestrian. Jalur pejalan kaki akan dirancang dengan lebih lebar untuk menampung pergerakan pejalan kaki yang dibangkitkan oleh fungsi transit. Untuk itu, beberapa hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan pejalan kaki adalah:
a. Kebutuhan ruang. Kebutuhan ruang untuk masing-masing pejalan kaki secara normal adalah 0,5 m x 0,6 m atau 0,3 m2 (umumnya digunakan 0,32 m2) dan digunakan ruang bebas (buffer zone) selebar 0,75 m. (Gambar II.9)
Gambar II.9. Kebutuhan Ruang Pejalan Kaki. Sumber: Still. 2000. Crowd Dynamic.
b. Kecepatan pejalan kaki. Kecepatan pejalan kaki untuk kecepatan normal adalah sebesar 1,2 m/s atau 72 m/menit. Angka ini dapat bervariasi berdasarkan usia. Untuk kecepatan bebas digunakan angka 1,5 meter/detik atau 80 meter/menit.
c. Lebar efektif. Lebar efektif untuk menghindari adanya gangguan (konflik) dari pejalan kaki dari arah yang berlawanan digunakan lebar minimum perorang 0,8 m. Semakin kecil lebar efektif yang digunakan potensi konflik semakin besar.
d. Tingkat pelayanan (Level of Service). Tingkat pelayanan (LOS) jalur pejalan kaki (P, satuan PFM (pedestrian perfoot perminute)) adalah perbandingan kecepatan pejalan kaki rata-rata (S, satuan ft. per minute) terhadap area pejalan kaki rata-rata (M, satuan sq.ft.). LOS (P) juga merupakan perbandingan volume pejalan kaki (V) terhadap lebar jalur pejalan kaki (W, satuan foot) Untuk area transit, digunakan LOS C atau 10-15 pfm (lihat tabel II.7).
Tabel II.7. Tingkat Pelayanan (Level Of Service/Los) Jalur Pejalan Kaki
LOS Ilustrasi Modul
Pedestrian (ft2) Volume Pedestrian (PFM) Keterangan
A > 35 7 cerderung bebas pada
arusnya, pada arus berlawanan dan pada persimpangan, digunakan pada bangunan umum dan
plaza tanpa puncak kepadatan.
B 25-35 7-10 Cenderung bebas pada arusnya. Sedikit konflik pada
arus berlawanan dan persimpangan. Kualitas yang
baik untuk terminal transportasi dan bangunan
publik
C 15-25 10-15 Cenderung terbatas pada
arusnya. Banyak konflik dengan arus berlawanan dan
persimpangan. Digunakan pada terminal transportasi, bangunan publik, dan ruang
terbuka dengan banyak waktu puncak, pembatasan ruang, dan fleksibilitas desain
terbatas
D 10-15 15-20 Tebatas dan pada arusnya.
Sangat terbatas dan banyak sekali konflik pada arus
berlawanan dan persimpangan. Digunakan
pada ruang-ruang Publik yang sangat padat
E 5-10 20-25 Sangat terbatas pada arusnya.
Sagat terbatas dan Banyak sekali konflik dengan arus
berlawanan dan persimpangan. Digunakan pada stadion olah raga dan terminal dengan saat puncak
yang pendek.
F < 5 Bervariasi
hingga 25
Sangat terbatas pada arusnya. Tidak mungkin diaplikasikan
dengan arus berlawanan dan persimpangan. Tidak
merepresentasikan pergerakan. Cenderung pada
antrian.
Sumber: Fruin, 1971
Peralihan moda, berkurangnya bangkitan kendaraan pribadi, dan bertambahnya bangkitan pejalan kaki tersebut akan mempengaruhi densitas dan desain kawasan. Dalam kaitannya dengan pernyataan bahwa TOD mensinergikan pelayanan transit dengan densitas kawasan, telah terdapat kesepakaan umum bahwa dengan meningkatnya fungsi transit, penggunaan kendaraan pribadi menurun dan kepadatan hunian meningkat (Daisa di Dittmar, Ohland, 2004). Terkait pula dengan hal tersebut, pada perencanaan
transportasi ke transportasi umum adalah salah satu penyebab peningkatan intensitas kawasan. Peningkatan intensitas ini direpresentasikan melalui peningkatan Koefisien Lantai Bangunan (KLB) kawasan (lihat Gambar II.10). Dengan demikian perencanaan TOD tentunya akan meningkatkan intensitas kawasan yang secara langsung juga akan meningkatkan densitas kawasan. Dalam desain kawasan, jalur pejalan kaki pun akan menjadi semakin lebar karena perlu menampung pergerakan pejalan kaki yang menggunakan fasilitas transit.
Gambar II.10. Hubungan Perpindahan Penggunaan Moda Transportasi Dengan Peningkatan KLB. Sumber: Sumber: Darmoyono, Analisis Intenitas
Dampak Pembangunan di Jalan Dago, 2004
(2) kegiatan berhenti (rest)
Perhentian memiliki 2 karakter, yakni berhenti permanen dan berhenti sejenak. Kegiatan berhenti secara permanen menggambarkan lokasi perhentian sebagai sebuah destinasi (destination). Sedangkan kegiatan berhenti sejenak
Jalan
Dimensi
Kapasitas Rencana
Pengembangan
Volume Lalu Lintas Eksisting Trough traffic On-Site Traffic Mass-Public Transportation LOS Kesempatan penambahan pergerakan
Konversi dalam Jumlah Orang
KLB Maksimal Besar pengembangan
Maksimal
Luas Persil Komposisi Lalu Lintas
Trip Attraction
menggambarkan lokasi perhentian sebagai sebuah peralihan atau perlintasan (transit). Ketika pergerakan tengah berlangsung, maka timbul simpul perpindahan di beberapa tempat. Jika dalam kurun waktu ataupun kurun aktifitas yang sama maka beberapa individu akan memiliki beberapa simpul perpindahan pergerakan yang sama. Kejadian ini merujuk pada adanya suatu kegiatan transit, dan lahirnya apa yang disebut titik transit (Tinamei 2002).
Pada dasarnya fasilitas transit adalah tempat yang digunakan sebagai awal dan akhir pergerakan dengan angkutan umum, ataupun tempat berpindah dari satu moda ke moda lainnya. Jika kebutuhan perjalanan dipenuhi melalui dua atau lebih moda transportasi pada lokasi yang sama maka lahirlah konsep intermoda, dimana jaring moda transportasi berkoordinasi dalam menghubungkan satu lokasi dengan lokasi lain. Sebuah fasilitas transit intermoda menggabungkan berbagai moda transportasi secara strategis untuk meningkatkan alternatif tujuan dan memperbaiki mobilitas sebuah kota atau wilayah.
II.2.3 Elemen Sirkulasi : Elemen Penghubung (Linkage)
Penyatuan titik transit seringkali mengakibatkan konflik dalam sirkulasi sehingga dibutuhkan adanya taksonomi yang tepat dalam memisahkan dan menghubungkan titik-titik transit tersebut. Teori Linkage telah membahas secara mendalam mengenai pola hubungan ini dan memberi penekanan pada hubungan-hubungan dan gerakan-gerakan dalam kota dan bagaimana pola hubungan tersebut membentuk pola kota. Hal ini dapat dilihat dalam bagaimana Fumihiko Maki mendefinisikan linkage sebagai perekat kota berikut ini,
Linkage is simply the glue of the city. It is the act by which we unite all the layers of activity an resulting form in the city.
Dalam memahami elemen penghubung dalam kota, Roger Trancik merumuskan tiga buah pendekatan yakni penghubung visual (visual linkage), penghubung struktural (structural linkage) dan penghubung kolektif
intermoda, penghubung yang dimaksud adalah penghubung kolektif (colective linkage) (lihat Gambar II.11).
Gambar II.11. Linkage Kolektif
Penghubung kolektif terdiri dari tiga elemen pembentuk yaitu compositional form, mega form, dan group form (lihat Gambar II.11). Compositional Form hubungannya berbentuk abstrak, dan tidak memperhatikan fungsi open space serta adanya suatu penekanan dari hubungan individual pada bangunan. Megaform biasanya komponen-komponen individual dari bangunan menyatu (integrasi) dalam jaringan yang lebih besar sehingga dapat menghilangkan skala manusia. Struktur yang terbentuk dapat berupa integrasi dari bangunan megastruktur, hirarki, ruang terbuka, dan saling terkait.
Berdasarkan pengalaman kota-kota yang telah mengembangkan linkage kolektif pada area transit intermoda, Blow(2005) menyimpulkan bahwa perancangan kawasan intermoda memiliki beberapa kemungkinan stuktur/taksonomi intermoda yakni:
a. Vertical separation (stuktur pemisahan vertikal), Vertical separation adalah Taksonomi bentuk taksonomi dimana setiap moda transit ditempatkan pada level yang berbeda secara vertikal dan dihubungkan dengan elemen
penghubung seperti tangga, eskalator, dan elevator (lihat Gambar II.12). Contoh dari taksonomi ini adalah Kansai International Airport, Zurich International Airport, dan Waterloo International Terminal
Gambar II.12. Kiri: Taksonomi Tansit Intermoda Vertical Separation. Kanan: Waterloo International Terminal, London,
sumber: Railway Stations: Planning, design and management, 2000
b. Contiguous, setiap moda transit ditempatkan pada level yang sama dan umumnya dihubungkan dengan promenade, dan moving walkway (lihat Gambar II.13). Contoh dari taksonomi ini adalah Charles de Gaulle Airport, Paris dan Stratford Station London.
c. Link adjacent, Moda-moda transit ditempatkan secara terpisah pada lokasi yang berdekatan dan umumnya dihubungkan dengan promenade, moving walkway, ataupun moda transportasi lain seperti shuttle bus (lihat Gambar II.14). Contoh taksonomi ini adalah Birmingham Airport.
d. Remote. Moda-moda transit ditempatkan pada lokasi yang berjauhan bahkan dalam skala regional. Titik-titik transit ini dengan sebuah moda penghubung (lihat Gambar II.15). Contoh taksonomi ini adalah Luton Airport.
Gambar II.13. Taksonomi Intermoda Contiguous. Sumber: Transport Terminal and Modal Interchanges, 2005
Gambar II.14. Taksonomi Intermoda Linked Adjacent, Birmingham International Airport. Sumber: Transport Terminal and Modal Interchanges, 2005
Gambar II.15. Taksonomi Intermoda Remote, Luton Airport. Sumber: Transport Terminal and Modal Interchanges, 2005
II. 3 Kesimpulan Kajian Teori dan Studi Banding
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Dukuh Atas termasuk pada: (1) Tipologi Urban TOD
Persentase fasilitas komersial dan publik dibandingkan perumahan dapat mencapai 70%:10%:20%. Secara khusus, Dukuh Atas termasuk Urban Mixed Use dan Urban Downtown fungsi terspesialisasi dengan titik transit yang merupakan integrasi jaringan rel regional, bus dalam kota, bus cepat (busway), monorail, waterway, mobil travel, dan taxi. Fungsi yang memungkinkan untuk dikembangkan antara lain:
a. Fungsi esensial: perkantoran dengan densitas tinggi, pelayanan lokal, hotel, restoran, perbelanjaan berskala lokal, permukiman dengan densitas tinggi, taman kota, fasilitas budaya, dan dinas pemerintahan
b. Fungsi yang diharapkan: apotik, bioskop, departmentstore atau retail berskala regional, pusat kebugaran, penitipan anak, dan kantor pemerintahan.
(2) Beresiko menjadi Transit Adjacent Development, Transit Related Development ataupun Traffic Oriented Development.
Hal ini menjadi suatu ancaman mengingat adanya batas jalan arteri dan Kali Malang yang memisahkan titik-titik transit. Sehingga perlu ada rencana pengembangan yang menyeluruh dan tidak hanya menyelesaikan permasalahan pergerakan transit ke transit untuk dapat memenuhi persyaratan jangkauan area fungsi publik (public use) dalam TOD.
Sebagai penanganan terhadap tipologinya sebagai urban downtown, urban mixed use, dan kecenderungannya menjadi Transit Adjacent-Related Development ataupun Traffic Oriented Development, maka dibutuhkan pemahaman lebih terhadap hubungan sinergi antara pengembangan dan elemen sirkulasi berupa karakter pergerakan dan linkage.
Dalam menyelesaikan permasalahan tersebarnya titik transit di Kawasan Dukuh Atas, serta terfragmennya kawasan oleh jalan arteri dan sungai, Dukuh Atas harus dipahami sebagai sebuah kawasan transit yang utuh. Kawasan pengembangan harus dapat pula berperan sebagai fasilitas transit dengan segala kelengkapannya. Untuk itu perlu ada perencanaan kawasan transit yang matang dengan memadukan berbagai kriteria (Tabel II.8) yang berasal dari Transit Oriented Development, perencanaan pergerakan, linkage struktural, dan berbagai pelajaran yang dapat diambil dari berbagai kasus penerapan TOD.
4 9 T ab el I I. 8 K ri te ri a P er an ca n g a n T O D b er d as ar k a n O p ti m as i S ir k u la si K ri te r ia V a ri a b e l P ri n si p P e ra n c a n g a n T O D S ir k u la si S tu d i K a su s In d ik a to r T in d a k L a n ju t K e n y a m a n a n (R u b e n st e in : 1 9 7 8 ; U rb a n D e sa in C o m p e n d iu m ; Ja c o b s: 1 9 9 5 ) D e n si ta s D e n si ta s u rb a n T O D a n ta ra l a n d u se k o m e rs ia l: h u n ia n : p u b li k m a k si m a l = 7 0 :2 0 :1 0 √ √ K e p a d a ta n h u n ia n p a d a U rb a n T O D s e b a ik n y a m in im a l 1 2 u n it /a c re ( 3 0 u n it /h a ) d a n r a ta -r at a 1 5 u n it /a c re ( 3 7 ,5 u n it /h a ). D a n p a d a u rb a n d o w n to w n r a ta -r a ta 6 0 u n it /a c re . y a n g h a ru s d ih u b u n g k a n d e n g a n p e ra tu ra n se te m p a t − D ip ri o ri ta s k a n − A n a li si s ta p a k ( la n d u se ) − K o n se p p e ra n c a n g a n , la n d u se K e a m a n a n , (R u b e n st e in : 1 9 7 8 ) Je n is L a n d U se M e m p ro m o si k a n a k ti v it a s p a g i h in g g a m a la m h a ri d a n m e n in g k a tk a n k e a m a n a n √ √ m ix e d u se p a d a s e ti a p a re a p e n g e m b a n g a n d e n g a n j e n is fu n g si b e rd a sa rk a n a n a li si s p a sa r d a n a n a li si s ta p a k − D ip ri o ri ta s k a n − a n a li si s ta p a k ( la n d u se ) − K o n se p p e ra n c a n g a n , la n d u se d a n p e m b a n g ia n f u n g si A k se si b e l (a c c e ss ib il it y ) L o k a si m e n e m p a tk a n f u n g si k o m e rs ia l, p e rm u k im a n , p e k e rj a a n , d a n fu n g si u m u m d a la m j a n g k a u a n b e rj a la n k a k i d a ri f u n g si t ra n si t M e li b a tk a n o ri e n ta si k e g ia ta n b e rj a la n k a k i p a d a d a e ra h k o m e rs ia l, a re a se k u n d e r, d a n a re a p u b li k l a in n y a p a d a j a ra k 1 0 m e n it b e rj al a n k a k i √ √ − C o re a re a b e ra d a p a d a Ja n g k a u a n 5 m e n it b e rj al a n k a k i ( 3 8 0 m ) − A re a p u b li k b e ra d a p a d a j a n g k a u a n 5 m e n it b e rj al a n k a k i (3 8 0 m ) − R e si d e n ti al a re a b e ra d a p a d a ja n g k a u a n 1 0 m e n it b e rj a la n k a k i. ( 7 6 0 m ) − A re a s e k u n d e r b e ra d a p a d a ja n g k a u a n J a n g k a u a n le b ih d a ri 1 0 m e n it b e rj a la n k a k i − B a n g u n a n i n st it u si o n a l d a n b a n g u n a n k o m u n it a s li n g k u n g a n h a ru s d il et a k k a n d i te m p a t y a n g m u d a h d il ih a t b e rd e k at a n d e n g a n p e rh e n ti a n t ra n si t. − D ip ri o ri ta s k a n − A n a li si s ta p a k ( la n d u se ) b e rk e la n ju ta n (c o h e re n c e ) k o n fi g u ra si M e n g in te g ra si k a n p e ru n tu k a n y a n g s e c a ra m u tu a l √ √ k o n fi g u ra si l a n d u se s e su a i d e n g a n k o m p e te n si k a w a sa n y a n g d it e n tu k a n d a n p o te n si y a n g t e la h a d a b e rd a sa rk a n − D ip ri o ri ta s k a n − a n a li si s ta p a k ( la n d
5 0 b e rk e se su a ia n d a n m e n d u k u n g sa tu s a m a l a in a n a li si s p a sa r, t a p a k d a n t a k so n o m i in te rm o d a u se ) (R u b e n st e in : 1 9 7 8 ) L u a sa n L u a s m a si n g -m a si n g p e ru n tu k a n m e n d u k u n g f u n g si t ra n si t √ √ u k u ra n a re a t ra n si t se b a g a i p u sa t a re a k o m e rs ia l p a li n g se d ik it 1 0 % d a ri t o ta l d a e ra h p e ra n c a n g a n m o d u l T O D y a n g a d a . H a ru s m e m il ik i to ta l 1 0 .0 0 0 s q ft ( 9 2 6 m 2 ) a re a r et a il y a n g b e rb a ta sa n d e n g a n d a e ra h p e rh e n ti a n tr a n si t. − D ip ri o ri ta s k a n − K o n se p p e ra n c a n g a n , la n d u se k e a m a n a n ( se c u ri ty ), (R u b e n st e in : 1 9 7 8 ) P e n e ra n g a n P e n e ra n g a n d a ri m a ss a b a n g u n a n m e n ja m in k e a m a n a n p e n g g u n a d i d al a m d a n d il u a r b a n g u n a n √ p e n g g u n a a n l ig h ti n g y a n g m e n e m p e l p a d a m u k a b a n g u n a n a ta u d a ri d a la m b a n g u n a n m e la lu i b u k a a n − T id a k d ip ri o ri ta s k a n K e n ik m a ta n (c o n v en ie n c e ) (R u b e n st e in : 1 9 7 8 ; U rb a n D e sa in C o m p e n d iu m ; U n te rm a n : 1 9 8 4 ) S k a la r u a n g d a n G S B M e n d e k at k a n b a n g u n a n k e j a lu r p e ja la n k a k i / ja la n p a d a b a ta s G S B . Ja ra k G S B b a n g u n a n d a ri ja la n m e re fl e k si k a n k a ra k te r te rt e n tu k a w a sa n d a n m e n c ip ta k a n l in g k u n g a n b e rs k a la a k ra b . √ √ S k a la r u a n g t in g g i b a n d in g l e b a r m in im a l 1 :1 . G S B p a d a a re a k o m e rs ia l u m u m n y a a d a la h 0 d is e su a ik a n d e n g a n k e b u tu h a n p e ja la n k a k i. D a p a t d is ia sa ti m e la lu i p e n g g u n a a n a rc a d e , p o d iu m d a n m e n a ra − D ip ri o ri ta s k a n − K o n se p p e ra n c a n g a n In te n si ta s In te n si ta s m e n d u k u n g f u n g si tr a n si t In te n si ta s re ta il d a n p e rk a n to ra n d it e ra p k a n d e n g a n t e p a t u n tu k m e n d a p a tk a n l a h a n o p ti m a l √ √ √ Ju m la h l a n ta i d i a re a k o m e rs ia l b o le h m e le w a ti F A R st a n d a r a k ib a t p e n a m b a h a n i n te n si ta s, d e n g a n p e n a m b a h a n l a n ta i u n tu k f u n g si r u m a h s u su n . In te n si ta s re ta il & p e rk a n to ra n d i se k it a r ja la n b lo ra & k e n d al d a p at m e n g g u n a k a n T D R . D is e su a ik a n a tu ra n K L B r a ta -r a ta d it a m b a h p e n a m b a h a n i n te n si ta s − D ip ri o ri ta s k a n − K o n se p p e ra n c a n g a n , k e ti n g g ia n b a n g u n a n a ss a B e rk e la n ju ta n (c o h e re n c e ) (R u b e n st e in : 1 9 7 8 ) B a n g u n a n p a rk ir D is a ra n k a n p a rk ir o n s tr e e t, p a rk ir d a la m b a n g u n a n p a rk ir a ta u b a se m e n t √ √ M e n e m p a tk a n b a se m e n t p a d a a re a y a n g j a u h d a ri a li ra n a ir − D ip ri o ri ta s k a n − A n a li si s ta p a k