• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Pada masyarakat pedesaan, yang umumnya dalam suasana peradaban

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Pada masyarakat pedesaan, yang umumnya dalam suasana peradaban"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pada masyarakat pedesaan, yang umumnya dalam suasana peradaban masyarakat tradisional, terdapat berbagai media sosial dan budaya sebagai sarana efektif saling berinteraksi. Media ini telah sejak lama tumbuh dan berkembang bersama masyarakatnya dan menjadi media sosialisasi nilai-nilai antar warga masyarakat, bahkan dari generasi ke generasi. Media ini dikenal sebagai media rakyat.

Media sosial adalah wahana komunikasi atau pertukaran informasi yang telah terpola dalam kehidupan sosial suatu komunitas masyarakat. Media sosial menuntut keterlibatan secara fisik individu dalam proses komunikasi (Sigman, 1990:124). Media sosial menggunakan komunikasi tatap muka dalam bentuk komunikasi antarpersonal maupun komunikasi kelompok. Di sini proses keterlibatan anggota menjadi sangat penting. Media rakyat ini digambarkan sebagai media yang murah, mudah, bersifat sederajat, dialogis, sesuai, dan sah dari segi budaya, bersifat setempat, lentur menghibur dan sekaligus memasyarakat, juga sangat dipercaya oleh kalangan masyarakat pedesaan yang kebetulan menjadi kelompok sasaran utama (Oepen, 2007:88).

Media rakyat sering muncul dalam bentuk kesenian daerah atau kebudayaan tradisonal daerah. Kesenian atau budaya daerah digunakan sebagai wahana untuk memperkenalkan dan memberikan pesan-pesan pembangunan kepada masyarakat pedesaan. Karena warga masyarakat pedesaan masih

(2)

bentuk hiburan maka media ini juga menjadi sarana yang sangat tepat sebagai media tranformasi nilai-nilai, termasuk pesan-pesan pembangunan dari pemerintah. Pesan-pesan pembangunan disisipkan secara implisit dan kreatif sehingga terasa menyatu dengan media rakyat (Yuni Setyaningsih, 2000).

Ada banyak macam media rakyat yang selama ini tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat, namun banyak pula yang hilang karena ditinggalkan penggemarnya, dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Pemilihan media rakyat yang bisa digunakan untuk menyebarluaskan ide-ide pembangunan adalah sangat penting untuk mendukung efektivitas pesan. Pilihan hendaknya dijatuhkan pada media rakyat yang paling disukai oleh sebagian besar masayarakat setempat (Colleta dan Kayam, 2008:235). Media rakyat dalam bentuk seni rakyat (folk culture) diyakini dapat lebih mudah digunakan sebagai sarana menyebar luaskan informasi pembangunan karena media tersebut telah ada dan dekat dalam kehidupan masyarakat setempat. Dengan media rakyat, masyarakat akan ikut serta merasa memiliki atau terlibat dalam pembuatannya, sehingga memungkinkan tersampaikannya pesan-pesan kebudayaan secara lebih efektif. Induksi nilai-nilai yang sifatnya evolutif dan menyatu dengan masyarakat dapat membuat masyarakat merasa tidak dipaksa untuk mengadopsi nilai-nilai baru.

Upaya penyebaran informasi kebudayaan yang disampaikan melalui media melalui media yang ada bagi setiap masyarakat bangsa berbeda-beda disebabkan oleh struktur dan sistem masyarakat yang berbeda pula. Bagi masyarakat bangsa yang sudah linier dalam arti pengertian berbagai masalah sudah diketahui dan

(3)

dimiliki oleh bagian terbesar anggota masyarakat, komunikasi melalui media massa modern akan lebih menguntungkan, namun bagi masyarakat yang mempunyai struktur dan sistem sosial yang majemuk, penyebaran informasi melalui media massa masih memerlukan upaya dengan media tradisional yang ada dalam masyarakatnya (Rogers, 1971:165).

Dalam komunikasi tradisional di pedesaan, penggunaan pertunjukan rakyat sebagai media komunikasi mempunyai potensi besar untuk mencapai rakyat banyak, terutama sekali karena media tersebut memiliki daya tarik yang sangat kuat dan berakar di tengah-tengah masyarakat. Media tradisional merupakan alat komunikasi yang sudah lama digunakan di suatu tempat (bersifat lokal) yaitu sebelum kebudayaannya tersentuh oleh teknologi modern dan sampai sekarang masih digunakan di daerah itu. Media ini akrab dengan massa khalayak, kaya akan variasi, dengan segera tersedia, dan berbiaya rendah. Media ini dengan segala kelebihannya memiliki potensi yang dimiliki oleh pertunjukan rakyat dan sangat efektif untuk menyampaikan pesan-pesan komunikasi, apalagi ketika dikhususkan pada saat otonomi daerah seperti yang terjadi di Indonesia ini diberlakukan. Demikian pula yang terjadi di Desa Salur, Kabupaten Simeulue, Provinsi Aceh.

Kehidupan sehari-hari masyarakat di Desa Salur umumnya adalah bertani. Ada yang bercocok tanam di ladang, ada pula yang menjadi nelayan. Dalam kenyataannya sebagian besar masyarakat lebih memilih bertani di sawah. Pertanian padi menjadi salah satu mata pencaharian pokok masyarakat Simeulue. Sebagai mata pencaharian yang telah ada secara turun-temurun, penelusuran

(4)

kearifan masyarakat Simeulue juga dapat dilihat melalui aktivitas petani dalam membangun daerahnya. Kelompok petani Simeulue khususnya di Desa Salur menjadikan kesenian Nanga-nanga mehumasa sebagai media komunikasi sekaligus media hiburan.

1

Nanga-nanga mehumasa merupakan suatu genre nyanyian rakyat dalam hal ini berupa nyanyian ajakan bekerja kepada masyarakat yang umumnya bekerja sebagai petani atau bercocok tanam. Nyanyian ini teridiri dari syair pantun menggunakan bahasa daerah yang dapat disajikan secara solo hingga 20 orang pemain dengan menggunakan instrument kedang (gendang) sebagai pengring, nyanyian ini juga dapat disajikan daam berbagai tema salah satu tema yang sering diangkat dalam nyanyian ini yaitu mehumasa. Mehumasa dalam Simeulue berarti ―bekerja‖, ini merupakan salah satu tema pembangunan dalam karya satra lisan nanga-nanga, yaitu ajakan bekerja serta nasehat kepada masyarakat Simeulue yang umumnya bekerja sebagai petani atau bercocok tanam.

Menurut informan, dulunya nanga-nanga mehumasa ini sering dijumpai dikalangan para petani. biasanya pada saat waktu senggang sembari menjaga sawah, mereka saling bergantian bernanga-nanga untuk mengisi waktu santai, namun disisi lain nanga-nanga mehumasa ini juga disajikan pada suatu upacara kenduri padi atau yang dikenal oleh masyarakat Simeulue dengan sebutan upacara Mangan Ulun Tinafa, dipengehujung acara tersebut kemudian ditampilkan beberapa kesenian daerah baik itu nyanyian rakyat,maupun tari tarian, salah satunya nanga-nanga mehumasa yang merupakan sebuah genre nyanyian rakyat

1

(5)

simeulue berupa syair pantun yang berfungsi dan mennggunakan instrumen tradisonal kedang (gendang) sebagai pengiring.

Sehubungan dengan nyanyian rakyat Jan Harold Brunvand (Danandjaja, 2007:141) menyatakan bahwa nyanyian rakyat adalah salah satu genre folklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu yang beredar secara lisan di antara kolektif tertentu dalam bentuk tradisional serta banyak mempunyai varian. Nyanyian berasal dari bermacam-macam sumber dan timbul dalam berbagai macam media. Sering kali juga nyanyian rakyat ini kemudian dipinjam oleh penggubah nyanyian profesional untuk diolah lebih lanjut menjadi nyanyian pop atau klasik (seriosa). Walaupun demikian, identitas folkloritasnya masih dapat kita kenali karena masih ada varian folklornya yang beredar dalam peredaran lisan (oral transmission).

Setiap nyanyian rakyat, kata-kata dan lagu merupakan dwitunggal yang tidak dapat terpisahkan. Teks nyanyian rakyat selalu dinyanyikan oleh informan dan jarang sekali yang hanya disajakkan (recite). Namun, teks yang sama tidak selalu dinyanyikan dengan lagu yang sama. Sebaliknya, lagu yang sama sering digunakan untuk menyanyikan beberapa teks nyanyian rakyat yang berbeda.

Secara musikal, nanga-nanga mehumasa ini mengutamakan komunikasi tekstual dibandingkan musikalnya. Secara etnomusikologis, dapat dikategorikan sebagai musik yang logogenik,2 yakni lebih mengutamakan sajian teks

2

Logogenik adalah sebuah penajian music dalam konteks kebudayaan yang mengutamakan teks atau lirik, sehingga berkaitan erat dengan seni sastra dan bahasa. Di dalam kebudayaan masyarakat Sumatera Utara, sebagai contoh dalam budaya Angkola dan Mandailing dikenal musik onang-onang dan jeir, dalam kebudayaan Pesisir dikenal sikambang, di dalam masyarakat Melayu ditemukan syair, gurindam, nazam, sinandong, dan masih banyak lagi yang lainnya. Sebaliknya terdapat pula sajian musik melogenik, yaitu mengutamakan sajian musik itu sendiri dalam bentuk ritme, melodi, harmoni, atau gabungan keseluruhannya. Dalam tekik sajian

(6)

dibandingkan melodi atau ritmenya. Tujuan utama adalah memberikan nasehat serta ajakan dalam bekerja pada masyarakat yang umumnya berprofesi sebagai petani. Berikut adalah penggalan syair nanga-nanga mehumasa.

sira-sira oi sikandong sira-sira oi sikadung anyungkulan merafara-rafa pagi hari berkicau-kicau

bekame ata sao hampong berkemas orang suatu kampung Sumani mahea mebak tinafa segera pergi menuju sawah Angaya umela merafa-rafa jika kudengar berkicau-kicau umela tek detak bulung bano kudengar dari atas daun talas Summani mahea mehumasa segera kita pergi bekerja Aifak itanifuha lahal fano agar jangan datang sengsara Mangengkek bajak alek cangkur membuat bajak dengan cangkul Supayo mananam satiok tahun untuk ditanam setiap tahun Aifak Malibu ita basukur jangan lupa kita bersyukur mangafen doa rajaki toron sertakan doa rezekipun turun

Syair di atas berbentuk syair pantun berupa nasehat serta ajakan bekerja kepada masyarakat yang berprofesi sebagai petani atau bercocok tanam . Bila melihat tujuan komunikasi dalam syair diatas, terdapat nilai-nilai yang membangun semangat para petani untuk mewujudkan perekonomian yang lebih baik di daerahnya Apabila dikaitkan dengan konteks kebudayaan di mana ia hidup, maka nanga-nanga mehumasa memiliki guna dan fungsi. Di antara guna nanga-nanga mehumasa adalah belajar dapat pembelajaran serta nasehat-nasehat yang terkandung dalam syairnya. Lebih jauh, fungsi nanga-nanga mehumasa adalah sebagai ajakan dan semangat kepada masyarakat petani dalam bekerja dengan tujuan membangun perekonomi yang lebih baik di daerahnya, selain itu untuk menjaga kontinuitas generasi manusia, menjaga hubungan manusia dengan

Mandailing), ensambel genderang sipitu-pitu (Pakpak dan Dairi), gondang sabangunan (Batak Toba), dan lain-lainnya.

(7)

manusia, juga dengan alam, dan termasuk manusia dengan Tuhan, yang di dalam konsep masyarakat Simeulue yang berpegang kepada ajaran Islam adalah menjaga hubungan horizontal yang disebut hablum minannas dan hubungan vertikal yang diistilahkan dengan hablum minallah. Fungsi lainnya dari nanga-nanga mehumasa adalah melestarikan kebudayaan Simeulue, memperkuat identitas kebudayaan, sebagai sarana komunikasi, hiburan, dan lain-lainnya.

Selain itu tidak hanya sekedar terciptanya perubahan sikap, pendapat, atau perilaku individu atau kelompok, melainkan perubahan masyarakat atau perubahan sosial (A.S. Achmad, 1997). Untuk itu, diperlukan berbagai sarana yang bisa memerankan posisi yang sangat penting tersebut, termasuk penggunaan media rakyat tradisional seperti nanga-nanga mehumasa. Di sini, pemerintah diharapkan memiliki tanggapan yang positif untuk memelihara dan mempertahankan setiap media rakyat ini bukan sekadar digunakan untuk fungsi hiburan masyarakat saja, tetapi dapat dimanfaatkan secara lebih optimal dalam tujuan pembangunan nasional di negara kita.

Menurut pengalaman penulis Nanga-nanga Mehumasa ini pada tahun 2009 khususnya diajang Festival Nandong akbar disajikan dalam bentuk seni pertunjukan., pertunjukan budaya, dan sejenisnya. Para pelaku seni menyajikan nanga-nanga memakai pakaian adat Simeulu dan mengiringi nyanyian menggunakan instrumen kedang (gendang) Perkembangan ini adalah sebagai salah satu tujuan sosialisasi nanga-nanga Mehumasa di dalam masyarakat, memperkuat identitas kebudayaan Simeulue yang memiliki ciri khasnya, dan juga

(8)

berfungsi sebagai media rakyat dalam membangun perekonomian daerah yang lebih baik.

Berdasarkan pengalaman diatas penulis juga melihat pelaku kesenian nanga-nanga umumnya berumur 40 sampai 60 tahun. Hal ini menimbulkan asumsi bahwa kesenian tradisional nanga-nanga tidak banyak diminati oleh kalangan generasi muda DiSimeulue bahkan bisa hilang dari keberadaannya dan akan berdampak buruk pula pada pelestarian seni tradisional yang di miliki oleh kabupaten Simeulue.

Pemahaman akan aspek-aspek diatas akan memberikan suatu pemahaman makna yang terkandung dalam tradisi nanga-nanga mehumasa. makna-makna tersebut terpendam dalam masyarakat, seniman, adat-istiadatnya, dan kebudayaan musikalnya. Berdasarkan aspek-aspek yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang tradisi Nanga-nanga mehumasa pada masyarakat Desa Salur, Kecamatan Teupah Barat, Kabupaten Simeulue, Provinsi Aceh.

Hal ini juga sangat relevan untuk dikaji secara etnomusikologi sebagai bidang keilmuan yang penulis pelajari selama empat tahun terakhir ini di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan. Etnomusikologi adalah studi musik dalam konteks budayanya. Para etnomusikolog biasanya melakukan pendekatan musik sebagai proses sosial untuk memahami tidak hanya apa musik tapi mengapa: apa artinya praktik musik dan khalayak, dan bagaimana makna yang disampaikan musik tersebut. Etnomusikologi sangat interdispliner. Para ilmuwan yang bekerja di lapangan

(9)

etnomusikologi ini mungkin saja berasal dari pelatihan musik, kajian pertunjukan, cerita rakyat (folklor), tari, ilmuwan antropologi budaya, studi budaya, studi etnik, studi gender, studi kawasan, atau bidang lainnya di bidang ilmu-ilmu humaniora atau sosial. Namun para etnomusikolog memiliki landasan yang koheren dalam pendekatan dan metodenya, seperti berikut: (1) melakukan penelitian lapangan etnografi dan penelitian sejarah musik; (2) mengambil pendekatan global untuk musik (terlepas dari daerah asal, gaya, atau genre musik); (3) memahami musik sebagai praktik sosial (melihat musik sebagai aktivitas manusia yang dibentuk oleh konteks budayanya).

Etnomusikolog juga berperan dalam budaya masyarakat. Bermitra dengan komunitas musik yang mereka pelajari, etnomusikolog dapat mempromosikan dan mendokumentasikan musik tradisi atau berpartisipasi dalam proyek-proyek yang melibatkan kebijakan budaya, penyeselaian konflik, pengobatan, pemrograman seni, atau komunitas musik. Etnomusikolog juga dapat bekerja di museum, festival budaya, rekaman lebel, dan lembaga lain yang mempromosikan apresiasi musik dunia. Dengan demikian, kerja keilmuwan yang penulis lakukan adalah sesuai dengan uraian mengenai apa itu etnomusikologi.

Melalui hal-hal yang telah penulis fokuskan dalam penelitian tradisi nanga-nanga, maka akan dapat menjelaskan kepada kita tentang struktur melodi nanga-nanga dan makna teks nanga-nanga mehumasa Di Simeulue Desa Salur. Berdasarkan latar belakang masalah dan beberapa alasan yang menarik penulis di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: menganalisis fungsi, struktur musik

(10)

dan makna yang terkandung dalam syair nanga-nanga mehumasa pada masyarakat Simeulue Desa Salur.

Berdasarkan penelitian diatas maka penulisan memfokuskan dan menuliskannya dengan karya ilmiah etnomusikologis dengan 3 perhatian utama, yakni fungsi, tekstual dan musikal

Oleh karenanya, salah satu upaya untuk pelestarian kesenian, dalam hal ini penulis selaku putra daerah Simeulue dan mahasiswa etnomusikologi tingkat akhir membuat penelitian ini kedalam skripsi berjudul: Analisis Musikal,

Tekstual Dan Fungsi Nanga-nanga Mehumasa pada Masyarakat Simeulue, di Desa Salur, Kecamatan Teupah Barat, Kabupaten Simeulue Aceh.

1.2 Pokok Permasalahan

Banyak aspek keilmuan secara etnomusikologis yang dapat dikaji melalui keberadaan budaya nanga-nanga mehumasa ini. Untuk itu, perlu ditentukan pokok masalah agar lebih terfokusnya studi yang penulis lakukan. Adapun pokok permasalahan pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana struktur musikal nanga-nanga mehumasa di Desa Salur Kabupaten Simeullue, Aceh?

2. Bagaimana bentuk dan makna tekstual nanga-nanga mehumasa di Desa Salur kabupaten Simeulue, Aceh?

3. Bagaimana fungsi nanga-nanga mehumasa di Desa Salur kabupaten Simeulue, Aceh?

(11)

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian

Berikut tujuan yang ingin dicapai penulis, yaitu:

1. Mengetahui dan menganalisis struktur musikal nanga-nanga mehumasa ? 2. Mengetahui dan menganalisis bentuk serta makna tekstual nanga-nanga

Mehumasa?

3. Mengetahui fungsi dan menganalisis fungsi nanga-nanga mehumasa?

1.3.2 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pembaca pada umunya, yaitu:

1. Sebagai bahan dokumentasi terhadap kesenian di Kabupaten Simeulue. 2. Sebagai data yang memperkaya khasanah keilmuan tentang budaya Simeulue. 3. Sebagai bahan perbandingan dan masukan untuk penelitian yang berkaitan

selanjutnya.

4. Sebagai sarana memperluas pengetahuan tentang nanga-nanga di Simeulue. 5. Sebagai syarat ujian untuk mendapatkan gelar sarjana di Departemen

Etnomusikologi, FIB, USU.

1.4 Konsep dan teori 1.4.1 Konsep

Konsep merupakan rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret (KBBI, Balai Pustaka, 1991). Nanga-nanga mehumasa

(12)

merupakan nyanyian vokal yang isinya berbentuk syair pantun berupa nasehat dan ajakan bekerja pada masyarakat yang bekerja sebagai petani atau bercocok tanam, nyanyian ini menggunakan bahasa daerah dan iringi intrumen gendang tradisional Simeulue.

Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (KBBI, Balai Pustaka, 1991). Dengan demikian, kata analisis dalam tulisan ini berarti hasil penguraian objek penelitian. Melodi dan teks nanga-nanga mehumasa yang didapat akan diuraikan agar memperoleh pengertian dan pemahaman makna tentang

nanga-nanga mehumasa.

Tekstual adalah sesuatu yang berkaitan dengan isi karangan, menurut Echols dan Shadily (1986:380). Kemudian Christine Ammer (1973:369) mengemukakan tentang musik vokal, yakni sebagai berikut. "Text : In vocal music, the word. A text need not consist of whole words, it may consist of nonsense or other syllables (solmization, vocalization) also called lyrics. " Artinya: Teks khususnya dalam musik vokal berarti kata-kata. Sebuah teks tidak hanya terdiri dari kata-kata dalam susunan keseluruhannya, ia dapat saja terdiri dari suku kata yang tidak punya arti atau suku-suku kata lain (seperti solmisasi, vokalisasi), teks juga disebut dengan lirik.

Selanjutnya Merriam (1964:187) mengemukakan tentang salah satu sumber yang paling jelas untuk mempelajari tata tingkah laku manusia dalam salah satu kebudayaan yang berkaitan dengan musik adalah teks nyanyian. Dengan demikian yang dimaksud dengan tekstual adalah suatu lirik atau kata-kata

(13)

yang di dalamnya mempelajari tentang tata tingkah laku manusia yang berkaitan dengan musik.

Musikal merupakan segala hal yang mengandung unsur musik. Dan dalam penulisan ini pengertian musikal adalah segala hal di dalam nanga-nanga mehumasa yang mengandung unsur musik termasuk struktur musik nanga-nanga mehumasa.

Struktur adalah unsur serapan dari bahasa Inggris yaitu structure. Kata ini memiliki arti sebagai: susunan, bangunan dan kerangka (Echols dan Shadily 1978:563). Dalam kaitannya dengan tulisan ini, struktur musikal yang dimaksud adalah merujuk kepada dua aspek yaitu struktur melodi dan struktur teks atau lirik. Struktur melodi lebih khusus merujuk kepada melodi lagu yang dinyanyikan, yang terdiri dari unsur-unsur: tangga nada, nada dasar, formula melodi, interval yang digunakan, nada yang digunakan, pola-pola kadensa, dan kontur melodi. Sementara untuk teks atau lirik mencakup genre sastranya. Kemudian kata-kata ini disusun oleh baris, bait, rima atau sajak, makna-makna (denotatif dan konotatif), interyeksi, struktur intrinsik, dan lain-lainnya.

1.4.2 Teori

Teori merupakan asas-asas dan hukum-hukum umum yang menjadi dasar sesuatu kesenian atau ilmu pengetahuan. Teori juga merupakan pendapat-pendapat atau aturan-aturan untuk melakukan sesuatu (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1991:154-155).

(14)

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa teori yang sesuai dengan topik yang akan penulis angkat. Untuk melihat nanga-nanga tergolong ke dalam bagian nyanyian tradisional atau nyanyian rakyat yang bagaimana, penulis mengambil teori Brunvand. Ia membagi nyanyian rakyat menjadi tiga bagian, yakni:

1. Nyanyian rakyat yang berfungsi (functional folk song ) adalah nyanyian yang kata-kata dan lagunya memegang peranan yang sama penting dan cocok dengan irama di dalam aktivitas tertentu.

2. Nyanyian rakyat yang bersifat liris (lirycal folk song) adalah nyanyian rakyat yang teksnya bersifat liris, yang merupakan pencetusan rasa haru si penyanyi tanpa menceritakan kisah yang bersambung (koheren).

3. Nyanyian rakyat yang bersifat berkisah (narative folk song) adalah nyanyian rakyat yang menceritakan suatu kisah (Danandjaya, 1984:146-152).

Dari keterangan di atas, nanga-nanga Mehumasa dapat dikategorikan ke dalam nyanyian rakyat yang bersifat berfungsi. Secara khusus nyanyian ini dapat befungsi mewujudkan semangat mebangun perekonomian masyarakat Simeulue yang umumnya bekerja sebagai petani atau bercocok tanam.

Setiap kebudayaan musik dunia memiliki sistem-sistem musik yang berbeda. Karena kebudayaan musik dunia dikerjakan dengan cara yang tidak sama oleh setiap pendukung kebudayaan (Nettl, 1977:3). Sistem-sistem musik tersebut dapat berupa teori, penciptaan, pertunjukan, pendokumentasian, penggunaan, fungsi, pengajaran, estetika, kesejarahan, dan lain-lain.

(15)

Salah satu sistem yang terlihat jelas dalam suatu kebudayaan musik dunia adalah pengajarannya yang diwariskan dari mulut ke mulut (oral tradition) (Nettl 1973:3). Dengan demikian pewarisan kebudayaan melalui mulut ke mulut dapat menciptakan hasil kebudayaan musik yang berbeda dari setiap generasi. Hal ini tentu dapat dijadikan sebagai hal yang menarik untuk diteliti dan harus diketahui tentang materi-materi lisan dan variasi ragam musik yang menggunakan istilah-istilah ideal dari suatu kebudayaan musik itu sendiri.

1.4.2.1 Teori weighted scale

Untuk menganalisis melodi di dalam Nanga-nanga mehumasa, penulis menggunakan teori weightedscale oleh William P Malm. Teori weighted scale adalah sebuah teori yang mengkaji keberadaan melodi berdasarkan kepada delapan unsurnya. Kedelapan unsur melodi itu menurut Malm (1977:15), adalah: (1) tangga nada; (2) nada pusat atau nada dasar; (3) wilayah nada); (4) jumlah nada; (5) penggunaan interval; (6) pola cadensa; (7) formula melodi; dan (8) kontur.

Dalam menganalisis teks-teks yang dinyanyikan, penulis menggunakan teori William P. Malm. Ia menyatakan bahwa dalam musik vokal, hal yang sangat penting diperhatikan adalah hubungan antara musik dengan teksnya. Apabila setiap nada dipakai untuk setiap silabel atau suku kata, gaya ini disebut silabis. Sebaliknya, bila satu suku kata dinyanyikan dengan beberapa nada disebut melismatik. Studi tentang teks juga memberikan kesempatan untuk menemukan hubungan antara aksen dalam bahasa dengan aksen pada musik, serta sangat

(16)

membantu melihat reaksi musikal bagi sebuah kata yang dianggap penting dan pewarnaan kata-kata dalam puisi (Malm dalam terjemahan Takari 1993:15)

1.4.2.2 Teori Semiotik

Untuk mengetahui dan mendalami dari teks nanga-nanga mehumasa, penulis menggunakan teori semiotik. Istilah kata semiotik ini berasal dari bahasa Yunani, semeioni. Panuti Sudjiman dan van Zoest (bakar 2006:45-51) menyatakan bahwa semiotika berarti tanda atau isyarat dalam satu sistem lambang yang lebih besar. Teori semiotik adalah sebuah teori mengenai lambang yang dikomunikasikan.

Selain teori yang telah disebutkan di atas, penulis juga menggunakan pendekatan transkripsi yang mengacu pada Nettl yang mengatakan ada dua pendekatan utama untuk mendeskripsikan musik yaitu:

(1) Kita dapat menganalisis dan mendeskripsikan apa yang kita dengar, dan (2) Kita dapat menuliskan apa yang kita dengar tersebut ke atas kertas lalu

mendeskripsikan apa yang kita lihat.

Dalam penelitian ini, untuk dapat mentranskripsikan atau menuliskan sebuah musik dalam bentuk simbol-simbol notasi membutuhkan pengetahuan tentang beberapa hal, diantaranya ritem (organisasi musik di dalam waktu) dan meter (skema waktu dalam musik). Cara-cara yang akan digunakan untuk mentranskripsikan musik adalah sebagai berikut:

(1) Belajar memainkan alat musik yang akan ditranskripsikan.

(17)

1.4.2.3 Teori Fungsional

Sebagai tambahan penelitian ini, peneliti ingin melihat fungsi apa yang terdapat pada nanga-nanga mehumasa. Untuk itu digunakan teori fungsi, baik dalam antropologi maupun etnomusikologi.

Dalam disiplin antropologi Radcliffe-Brown mengemukakan bahwa fungsi sangat berkait erat dengan struktur sosial masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan individu-individu dapat berganti setiap masa. Dengan demikian, Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat, mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti yang diuraikannya berikut ini.

By the definition here offered ‗function‘ is the contribution which a partial activity makes of the total activity of which it is a part. The function of a perticular social usage is the contribution of it makes to the total social life as the functioning of the total social system. Such a view implies that a social system ... has a certain kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We may define it as a condition in which all parts of the social system work together with a sufficient degree of harmony or internal consistency, i.e., without producing persistent conflicts can neither be resolved not regulated (1952:181).

(18)

Selaras dengan pandangan Radcliffe-Brown, nanga-nanga Mehumasa ini bisa dianggap sebagai bahagian dari struktur sosial masyarakat Simeulue. Pertunjukan nanga-nanga mehumasa adalah salah satu bahagian aktivitas yang bisa menyumbang kepada keseluruhan aktivitas, yang pada saatnya akan berfungsi bagi kelangsungan kehidupan budaya masyarakat pengamalnya, yaitu masyarakat Simeulue. Fungsinya lebih jauh adalah untuk mencapai tingkat harmoni dan konsistensi internal. Pencapaian kondisi itu, dilatarbelakangi oleh berbagai kondisi sosial dan budaya dalam masyarakat Simeulue, misalnya lingkungan kepulauan dan maritim, daerah penerapan syariat Islam, masyarakat yang merujuk pada adat, dan lain-lainnya.

Secara etnomusikologis, kajian mengenai fungsi musik dalam masyarakat ini, selalu didekati dengan teori uses and functions dari Allan P. Merriam yang dalam bukunya The Anthropologhy of Music (1964:223-226) menguraiakan contoh sepuluh fungsi musik yaitu; (1) fungsi pengungkapan emosional, (2) fungsi pengungkapan estetika, (3) fungsi hiburan, (4) fungsi komunikasi, (5) fungsi perlambangan, (6) fungsi reaksi jasmani, (7) fungsi yang berkaitan dengan norma sosial, (8) fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara keagamaan, (9) fungsi kesinambungan kebudayaan, dan (10) fungsi pengintegrasian masyarakat.

Secara lugas, Merriam membedakan pengertian fungsi ini dalam dua istilah, yaitu penggunaan dan fungsi. Menurutnya, membedakan pengertian penggunaan dan fungsi adalah sangat penting. Para ahli etnomusikologi pada masa lampau tidak begitu teliti terhadap perbedaan ini. Jika kita berbicara tentang penggunaan musik, maka kita menunjuk kepada keebiasaan (the ways) musik

(19)

dipergunakan dalam masyarakat, sebagai praktik yang biasa dilakukan, atau sebagai bahagian daripada pelaksanaan adat istiadat, sama ada ditinjau dari aktivitas itu sendiri mahupun kaitannya dengan aktivitas-aktivitas lain (1964:210). Lebih jauh Merriam menjelaskan perbedaan pengertian antara penggunaan dan fungsi sebagai berikut.

Music is used in certain situations and becomes a part of them, but it may or may not also have a deeper function. If the lover uses song to w[h]o his love, the function of such music may be analyzed as the continuity and perpetuation of the biological group. When the supplicant uses music to the approach his god, he is employing a particular mechanism in conjunction with other mechanism as such as dance, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The function of music, on the other hand, is enseparable here from the function of religion which may perhaps be interpreted as the establishment of a sense of security vis-á-vis the universe. ―Use‖ them, refers to the situation in which music is employed in human action; ―function‖ concerns the reason for its employment and perticularly the broader purpose which it serves. (1964:210).

Dari kutipan di atas terlihat bahwa Merriam membedakan pengertian penggunaan dan fungsi musik berasaskan kepada tahap dan pengaruhnya dalam sebuah masyarakat. Musik dipergunakan dalam situasi tertentu dan menjadi bahagian dari situasi tersebut. Penggunaan bisa atau tidak bisa menjadi fungsi yang lebih dalam. Merriam memberikan contoh, jika seeorang menggunakan

(20)

nyanyian yang ditujukan untuk kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu bisa dianalisis sebagai perwujudan dari kontinuitas dan kesinambungan keturunan manusia yaitu untuk memenuhi kehendak biologis bercinta, kawin dan berumah tangga dan pada akhirnya menjaga kesinambungan keturunan manusia. Jika seseorang menggunakan musik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka mekanisme tersebut behubungan dengan mekanisme lain, seperti menari, berdoa, mengorganisasikan ritual dan kegiatan-kegiatan upacara. ―Penggunaan‖ menunjukkan situasi musik yang dipakai dalam kegiatan manusia; sedangkan ―fungsi‖ berkaitan dengan alasan mengapa si pemakai melakukan, dan terutama tujuan-tujuan yang lebih jauh dari sekedar apa yang dapat dilayaninya. Dengan demikian, selaras dengan Merriam, menurut penulis penggunaan lebih berkaitan dengan sisi praktis, sedangkan fungsi lebih berkaitan dengan sisi integrasi dan konsistensi internal budaya.

1.4.2.4 Teori Etnosains

Meneurut Ahimsa Putra (1985), etnosains dan/atau etnometodologi merupakan teori baru dalam dunia ilmu sosial, khususnya di Indonesia meskipun kedua pendekatan tersebut telah berkembang sejak dekade 1960-an. Perspektif etnosains ada di dalam antropologi, sedangkan etnometodologi berada dalam lingkup kajian sosiologi. Etnosains dan etnometodelogi mempunyai kesamaan dalam penggunaan prefiks etno, atau folk, yaitu pendekatan yang dilakukan peneliti dari kacamata orang-orang yang terlibat di dalamnya. Maka, sebenarnya

(21)

etnosains dan etnometodologi bukanlah barang baru bagi antropologi karena sudah sejak lama metode verstehen dikenal.

Etnosains muncul dan berangkat dari tradisi-tradisi antropologi yang mempunyai tujuan akhir ―to grasp the native‘s point of view, his relation to life to realize his vision of his world‖ (Malinowsky). Kemudian diikuti oleh Murdock yang menyusun suatu sistem data dari ratusan kebudayaan untuk memudahkan usaha tersebut yang disebut Human Relation Area Files, yang mana menurut Goodenough, di situ ada tiga masalah pokok, yaitu (1) ketidaksamaan data etnografi yang disebabkan oleh perbedaan minat di kalangan ahli antropologi sendiri. Akibatnya terjadi kepincangan data dalam etnogafi mereka sehingga menyulitkan usaha-usaha untuk menemukan prinsip-prinsip kebudayaan lewat studi perbandingan; (2) seberapa jauh data yang tersedia benar-benar dapat diperbandingkan, mengingat para antropolog menggunakan metode yang berbeda-beda dalam menempatkan data tersebut; (3) diperlukan kriteria lagi yang rupanya antara antropologi terdapat perbedaan. Pada masa berikutnya pemikiran Goodenough yang menekankan hakikat kebudayaan pada aspek – aspek pengetahuan kognitif manusia juga menjadi warna tersendiri dalam kajian antropologi kontemporer termasuk di dalamnya etnosains. Penekanan pengertian kebudayaan sebagai sistem pengetahuan, menurut penulis akan memudahkan antropologi dalam melukiskan kebudayaan, yaitu dengan memakai model dalam fonologi dalam ilmu linguistik. Di dalam fonologi dikenal istilah fonemik (penulisan bunyi bahasa dengan memakai cara si pemakai bahasa) dan fonetik (penulisan bunyi bahasa dengan simbol universal yang telah disepakati oleh ahli

(22)

bahasa). Analog dengan hal di atas kemudian dalam antropologi dikenal istilah emik dan etik yang akan memudahkan dalam pelukisan kebudayaan serta membuat kajian-kajian kebudayaan menjadi kompatible dengan studi komparasi. Dari hal-hal tersebutlah kemudian muncul studi-studi Etnosains. Etnosains sendiri oleh Sturtevant didefinisikan sebagai suatu ―system of knowledge and cognition typical of given cultures.‖

1.5 Metode Penelitian

Metode adalah cara atau jalan yang berhubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja yang akan penulis lakukkan, yaitu: cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan (Koentjaraningrat 1985:7). Dengan demikian dalam tulisan ini penulis menerapkan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Peneletian yang bersifat deskriptif akan menggambarkan secara tepat sifat suatu individu, keadaan, gejala atau frekwensi adanya hubungan tertentu antara satu gejala dengan gejala lainya dalam masyarakat. Sedangkan pendekatan yang bersifat kualitatif yaitu rangkaian kegiatan atau proses yang dilakukan peneliti dalam mendapatkan data dan informasi mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek kehidupan tertentu pada objeknya.

Menurut Bruno Nettl (1964: 62-64) dalam penelitian etnomusikologi terdapat dua cara kerja yaitu field work (kerja lapangan) dan desk work (kerja laboratorium). Dengan demekian untuk menjawab permasalahan dalam penelitian

(23)

serta untuk mendapat hasil akhir yang diinginkan, penulis menggunakan kedua cara kerja tersebut.

1.5.1 Kerja Lapangan (Field Work)

Kerja lapangan yang akan dilakukan oleh penulis adalah dengan cara turun langsung pada objek yang akan diteliti dan dalam mendapatkan informasi serta data-data yang berkaitan penulis melakukan berbagai macam cara sebagai berikut:

1.5.1.1 Studi Pustaka

Pada tahap ini penulis dituntut untuk mendapatkan konsep dan teori serta informasi yang dapat digunakan sebagai pendukung penelitian pada saat melakukaan penelitian dan penulisan skripsi nantinya. Sehingga diperlukan membaca tulisan-tulisan ilmiah, situs internet, buku, dan informasi lain yang berkatitan dengan objek yang akan diteliti.

1.5.1.2 Observasi

Nurkancana (1986:142) mengatakan, ―observasi adalah suatu cara untuk mengadakan penilaian dengan jalan mengadakan pengamatan secara langsung dan sistematis. Data-data yang dieperoleh dalam obsevasi itu dicatat dalam suatu catatan observasi. Kegiatan pencatatan hal ini adalah merupakan bagian dari pada kegiatan pengamatan‖.

Dalam tahap ini peneliti melakukan berbagai pengamatan pada saat proses kegiatan yang diteliti berlangsung. Sehingga peneliti belajar tentang prilaku dan

(24)

makna dari prilaku tersebut. Sebagaimana diungkapkan oleh Marshall (1995) ―through observation, the researcher learn about behavior and the meaning attached to those behavior.” Artinya melalui observasi atau pengamatan, seorang peneliti melihat langsung dan belajar mengenai prilaku dan makna-makna dari apa yang diamatinya tersebut.

1.5.1.3 Wawancara

Terdapat tiga jenis wawancara yaitu wawancara berfokus (focused interview), wawancara bebas (free interview), wawancara sambil lalu (casual interview) (koentjaraningrat, 1986:139). Sebelum melakukan ketiga cara dalam wawancara tersebut, tentu saja penulis harus menyiapkan daftar pertanyaan yang perlu ditanyakan pada saat mewawancarai informan sesuai dengan topik penelitian. Selain daftar pertanyaan keahlian dalam melakukan teknik wawancara agar informan menjawab dengan leluasa juga sangat diperlukan bagi seorang peneliti.

1.5.1.4 Dokumentasi

Untuk merekam data hasil penelitian dan wawancara penulis menggunakan Canon 600D dan smartphone Sony M2 dual dalam pengambilan gambar maupun perekaman video dan Audio.

(25)

1.5.2 Kerja Laboratorium (Desk Work)

Data-data yang telah terkumpul baik dalam bentuk rekaman, gambar dan catatan selanjutnya akan diolah kembali dalam tahap kerja laboratorium. Sehingga hasil kerja ini memperlihatkan apakah penulis mencari data tambahan atau justru sebaliknya membuang data yang tidak diperlukan.

1.6 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Salur, yang merupakan ibukota dari Kecamatan Teupah Barat Kabupaten Simeulue, Aceh. Pemilihan lokasi ini karena menimbang penyajian budaya Nanga-nanga mehumasa masih banyak diketahui dan dapat di sajikan oleh masyarakat didesa Salur, Kecamatan Teupah Barat, Simeulue, Aceh sehingga lebih memudahkan penulis untuk mendapatkan informasi dan data-data tekait kesenian Nanga-nanga.

Gambar 2.1 Peta Kabupaten Simeulue

Gambar

Gambar 2.1  Peta Kabupaten Simeulue

Referensi

Dokumen terkait

Praktek jual beli sayuran sistem golang yang dilakukan di Pasar Pratin merupakan salah satu proses jual beli sayuran yang sudah dikemas di dalam karung dengan ukuran 60

Berdasarkan analisis yang sudah penulis lakukan pada bab 3, penulis menyimpulkan bahwa dalam lagu Uzu terdapat makna tersirat yang menggambarkan konsep reinkarnasi

UPTD PUSKESMAS PANUMBANGAN UPTD PUSKESMAS

Diharapkan dengan adanya penelitian tentang minat siswa dalam mengikuti pembelajaran pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan ini, siswa dapat mengikuti mata pelajaran

Percepatan komunikasi begini tentu saja sangat membantu proses globalisasi budaya yang mendominasi teknologi komunikasi dan kapital ke bagian-bagian bumi yang belum mampu

Ya, perangkat keras dan lunak sudah tersedia dan pegawai sudah dilatih untuk mengoperasikan sistem pada tahun ini, namun hingga audit ini dilakukan sistem tersebut

Hasil penelitian dari sebelum dan sesudah dilaksanakan relaksasi otot progresif yakni p = 0,000 (α < 0,05) yang berarti ada pengaruh relaksasi otot progresif

Pada penelitian ini digunakan pelarut yang diperkirakan dapat meningkatkan kelarutan minyak dalam gliserol supaya reaksi gliserolisis bisa dilakukan pada suhu