• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

beberapa wilayah kerajaan yang berdiri sendiri dan didiami oleh empat etnis yaitu; suku Bugis, Makassar, Mandar, dan suku Toraja. Pada ke XVI dan XVII ada tiga kerajaan besar yang berpengaruh luas dan mencapai kejayaannya yaitu Kerajaan Luwu, Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone. Masing-masing kerajaan telah melakukan hubungan dagang dan persahabatan dengan bangsa-bangsa lain terutama bangsa Eropa, India, Cina, Melayu dan Arab.

Setelah kemerdekaan, Sulawesi Selatan menjadi Provinsi Administratif Sulawesi berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 1950. Status tersebut bertahan hingga akhir tahun 1959. Kemudian pada tahun 1960, Provinsi Administratif Sulawesi berubah menjadi daerah otonom Sulawesi Selatan dan Tenggara berdasarkan UU Nomor 47 Tahun 1960. Selanjutnya terjadi lagi perubahan yaitu pemisahan Sulawesi Selatan dari daerah otonom Sulawesi Selatan dan Tenggara yang ditetapkan dengan UU Nomor 13 Tahun 1964, sehingga menjadi daerah otonom Sulawesi Selatan. Kemudian, terjadi lagi pemekaran wilayah sejak dikeluarkan UU No. 11 Tahun 2004, Sulawesi Selatan dimekarkan menjadi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Secara administratif Sulawesi Selatan terdiri dari 20 Kabupaten dan 3 Kota, sedangkan Sulawesi Barat terdiri dari 5 Kabupaten.

Pada saat penelitian ini dilakukan, Provinsi Sulawesi Barat masih dalam proses pembentukan, dan data serta informasi yang tersedia umumnya masih merupakan data dan informasi gabungan dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan “Sulawesi Selatan” sebagai satu kesatuan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.

4.1. Letak Geografis, Kondisi Tanah dan Keadaan Iklim

Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat terletak di Jazirah Selatan Pulau Sulawesi diantara 0º 12′ LU dan 8º LS dan antara 116º 48′ BT - 122º 36′ BT. Luas wilayah ± 62.361,71 km² atau sekitar 33% dari luas Pulau Sulawesi, dengan batas-batas sebagai berikut (Gambar 5).

(2)

Sebelah Utara : dengan wilayah Sulawesi Tengah,

Sebelah Timur : dengan Teluk Bone dan Sulawesi Tenggara, Sebelah Selatan : dengan Laut Flores,

(3)

Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat terletak di posisi yang strategis berada ditengah-tengah Kepulauan Nusantara antara Kawasan Barat dan di Kawasan Timur Indonesia, sehingga memungkinkan Sulawesi Selatan berfungsi sebagai Pintu Gerbang ke dan dari Kawasan Timur Indonesia sekaligus sebagai pusat pelayanan, baik bagi Kawasan Timur Indonesia maupun untuk skala internasional. Pelayanan tersebut mencakup perdagangan, transportasi darat – laut – udara, pendidikan, pendayagunaan tenaga kerja, pelayanan dan pengembangan kesehatan, penelitian pertanian tanaman pangan, perkebunan, perikanan laut, air payau tambak, kepariwisataan bahkan potensial untuk pengembangan lembaga keuangan dan perbankan.

Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat mempunyai topografi dari datar, landai, berbukit dan bergunung-gunung. Daerah datar ditemui di wilayah pesisir pantai, sedangkan daerah berbukit dan pegunungan umumnya pada bagian tengah jazirah dan merupakan hulu-hulu sungai. Daerah yang datar dengan kemiringan 0-8 % relatif sempit yaitu sekitar 10% dari total wilayah dan umumnya digunakan untuk lahan persawahan dan tambak. Demikian pula halnya dengan daerah landai dengan kemiringan 8-15% hanya meliputi sekitar 8% dari total wilayah dan umumnya digunakan untuk usaha perkebunan, tanaman hortikultura dan tanaman pangan lainnya. Sementara wilayah yang dominan adalah daerah berbukit dan bergunung dengan kemiringan di atas 15% yaitu lebih dari 80% dari total wilayah (Tabel 5).

Tabel 5. Kondisi topografi wilayah Provinsi Sulawesi Selatan Kemiringan Luas wilayah

(%) (km²) (%) 0-8 6.093,93 9,77 8-15 5.070,78 8,13 15-25 9.170,29 14,71 25-40 10.362,62 16,62 40-60 22.918,25 36,75 >60 8.745,84 14,02 Total 62.361,71 100 Sumber: Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan, 2004°.

(4)

Dengan kondisi topografi yang didominasi oleh wilayah dengan kemiringan di atas 15 %, menyebabkan sebagian besar wilayah Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat sangat rawan erosi atau mempunyai tingkat bahaya erosi yang tergolong tinggi. Erosi tanah di sembilan belas Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Sub DAS tahun 2003 tercatat rata-rata cukup tinggi yaitu berkisar antara 45 ribu ton pada DAS Sanrego sampai 1,67 juta ton pada DAS Saddang (Tabel 6).

Tabel 6. Erosi tanah pada beberapa daerah aliran sungai (DAS)/sub DAS DAS/Sub DAS Nilai Erosi (ton/thn)

Saddang 1.672.850 Mamasa 543.789 Bila 81.408 Jeneberang 734.689 Tangka 54.766 Rongkong 389.765 Maros 436.322 Karama 677.237 Balease 264.768 Kelara 178.600 Mata Allo 68.655 Paremang 473.467 Lariang 55.487 Mandar 95.400 Mapili 154.878 Minraleng 56.889 Sanrego 45.673 Selayar 75.389 Calendu 67.809 Sumber: Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan, 2004a

Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat memiliki beberapa jenis tanah antara lain: Aluvial, Gley, Latosol, Regosol, Podsolik, Grumosol, Mediteran, Renzina, Lateritik dan Andosol. Sementara jenis batuannya meliputi: batuan Sedimen, Vulkan, Plasonik Masam dan Plasonik Basa (Dinas Perkebunan Propinsi Sulawesi Selatan, 2004). Menurut Natsir (2004), pengembangan komoditas di Sulawesi Selatan umumnya menyesuaikan dengan jenis dan kesuburan lahan. Jenis lahan Alluvial umumnya digunakan untuk pengembangan tanaman pangan dan sebagian

(5)

palawija serta hortikultura dan perikanan. Sedangkan jenis tanah Latosol, Mediterani dan Grumosol digunakan untuk pengembangan komoditas perkebunan, peternakan dan konservasi.

Jenis tanah Latosol, Mediterani dan Grumosol umumnya berada pada kawasan pengembangan tanaman perkebunan. Ke tiga jenis tanah tersebut mempunyai tingkat kepekaan terhadap erosi (erodibilitas = K) bervariasi mulai dari K=0,12-0,26 untuk jenis tanah Latoso, K= 0,13-0,22 untuk jenis tanah Mediteran dan K=0,25 untuk jenis tanah Grumosol (Rahim, 2000 dan Suripin, 2002).

Menurut klasifikasi Sehmidt dan Fergusson, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat memiliki lima tipe iklim meliputi: Tipe A, B, C, D, dan E dengan penyebaran seperti tertera pada Tabel 7.

Tabel 7. Tipe iklim, bulan kering dan penyebarannya

Tipe Iklim Bulan Kering Penyebaran Iklim

A 1-5 bulan Kabupaten Mamuju, sebagian Polmas, Luwu dan Enrekang.

B 1,5-3 bulan Kabupaten Tana Toraja, Wajo, Bone, sebagian Majene, Polmas, Enrekang, Luwu, Pinrang, Gowa, Soppeng dan Bantaeng.

C 3-4,5 bulan Kabupaten Sidrap, Barru, Pangkep, Selayar, sebagian Majene, Polmas, Pinrang, Maros,Sinjai, Gowa, Soppeng, Bantaeng dan Bulukumba, serta Kota Pare-Pare.

D 5-6 bulan Kota Makassar, Kabupaten Takalar, Maros, Gowa, Jeneponto, Bulukumba dan Bantaeng. E 9 bulan Sebagian Kabupaten Jeneponto, Bulukumba

dan Bantaeng. Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan, 2004.

(6)

4.2. Penduduk dan Matapencaharian

Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat dihuni oleh hampir semua etnis yang ada di Indonesia, tetapi yang dominan adalah penduduk asli yang terdiri dari empat etnis yaitu; suku Bugis, Makassar, Mandar, dan suku Toraja. Pada tahun 2003, jumlah penduduk Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat tercatat sebanyak 8.213.864 jiwa, terdiri dari 4.038.155 jiwa laki-laki dan 4.175.709 jiwa perempuan. Penduduk tersebut tersebar di 28 Kabupaten dan Kota dengan perincian seperti pada Tabel 8.

Tabel 8. Perkembangan penduduk kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Selatan, 1999-2003 Kabupaten/ Jumlah Penduduk (jiwa)

Kode Area Kota 1999 2000 2001 2002 2003 Prtbhn (%/thn) 1 Selayar 103 102 103 596 104 079 104 205 109 415 1,44 2 Bulukumba 350 830 352 419 353 970 354 796 371 453 1,39 3 Bantaeng 157 185 158 632 160 072 160 840 164 841 1,16 4 Jeneponto 314 735 317 588 320 426 321 754 323 245 0,66 5 Takalar 227 255 229 718 232 178 232 681 240 578 1,38 6 Gowa 503 746 512 876 522 105 528 313 552 293 2,20 7 Sinjai 203 326 204 385 205 423 207 416 216 589 1,53 8 Maros 268 692 272 116 275 548 278 833 286 260 1,53 9 Pangkep 261 818 263 565 265 290 268 008 275 151 1,21 10 Barru 150 688 151 085 151 464 152 412 156 661 0,95 11 Bone 644 371 648 089 651 746 654 213 679 904 1,31 12 Soppeng 220 169 219 505 218 943 218 859 224 121 0,44 13 Wajo 357 698 357 720 357 742 358 677 362 683 0,34 14 Sidrap 237 882 238 419 238 926 239 795 246 259 0,85 15 Pinrang 309 508 310 833 312 124 313 801 331 592 1,66 16 Enrekang 164 280 166 307 168 337 169 812 175 962 1,66 17 Luwu 392 365 398 131 403 931 407 277 425 834 1,96 18 Tator 389 682 392 726 395 744 398 796 416 610 1,62 19 Polmas 441 929 446 765 451 596 455 572 469 867 1,49 20 Majene 119 673 120 621 121 561 121 958 128 783 1,77 21 Mamuju 281 458 296 625 312 569 323 692 334 863 3,99 22 Luwu Utara 421 293 431 680 442 267 449 836 462 437 2,22 71 Makassar 1 083 319 1 100 019 1 116 834 1 127 785 1 145 406 1,36 72 Parepare 107 590 108 258 108 917 111 660 113 057 1,21 Total 7 712 593 7 801 678 7 891 792 7 960 991 8 213 864 1,53 Catatan: Penduduk Kabupaten Mamuju Utara, Mamasa, Luwu Timur dan Kota Palopo masih

bergabung dengan kabupaten induk sebelum pemekaran. Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 2004.

(7)

terkonsentrasi pada daerah perkotaan, sementara di pedesaan penduduknya relatif jarang. Kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kota Makassar dengan kepadatan rata-rata 6.516 jiwa/km², sedangkan yang terendah di Mamuju dengan kepadatan rata-rata 30 jiwa/km² (Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 2004).

Selama empat tahun terakhir (1999-2003), pertumbuhan penduduk Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat rata-rata 1,53 %/tahun. Laju pertumbuhan penduduk yang paling pesat terjadi di Kabupaten Mamuju dengan pertumbuhan rata-rata 3,99 %/tahun, sedangkan laju pertumbuhan penduduk yang paling rendah terjadi di Kabupaten Wajo dengan pertumbuhan rata-rata 0,34 %/tahun.

Pada tahun 2003, dari 8.213.864 jiwa penduduk Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat yang tergolong angkatan kerja tercatat sebanyak 6.525.108 jiwa. Dari jumlah tersebut yang termasuk angkatan kerja aktif secara ekonomi tercatat sebanyak 3.279.832 jiwa yang terdiri dari 3.054.774 jiwa pekerja dan 225.058 jiwa pencari kerja. Sementara itu, angkatan kerja yang tidak aktif berjumlah 3.245.276 jiwa dengan kegiatan bersekolah, menjadi ibu rumah tangga dan lain-lain. Jadi rasio pekerja penduduk Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat relatif rendah yaitu 46,82 % dari angkatan kerja atau hanya 37,19 % dari total penduduk. Para pekerja tersebut berkerja pada berbagai lapangan pekerjaan dan yang paling dominan bekerja pada sektor pertanian dalam arti luas, disusul sektor perdagangan, jasa, angkutan dan komunikasi, serta industri (Tabel 9).

(8)

Tabel 9. Distribusi pekerja pada berbagai lapangan pekerjaan, 2003 Lapangan Pekerjaan Pekerja (jiwa) Jumlah

Laki-laki Perempuan (jiwa) (%)

Pertanian 1.418.833 406.612 1.825.445 59,76

Pertambangan & galian 14.328 2.425 16.753 0,55

Industri 91.162 71.446 162.608 5,32

Listrik, gas dan air 8.474 1.785 10.259 0,34

Konstruksi 77.779 1.296 79.075 2,59

Perdagangan 239.278 206.052 445.33 14,58

Angkutan & komunikasi 158.548 6.944 165.492 5,42

Keuangan 9.742 2.059 11.801 0,39

Jasa 205.679 131.639 337.318 11,04

Lainnya 407 286 693 0,02

Total 2.224.230 830.544 3.054.774 100,00

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 2004.

4.3. Pembangunan Regional Sulawesi Selatan

Pembangunan merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan tolok ukur keberhasilannya umumnya masih bertumpu pada bidang ekonomi. Hal ini sangat wajar karena tanpa adanya pertumbuhan ekonomi yang mantap, pertumbuhan bidang lainnya seperti politik, sosial dan kebudayaan tidak memadai. Pada bagian ini akan diuraikan secara singkat tentang rencara strategis dan kebijakan pembangunan, program dan kegiatan pembangunan, serta kinerja kebijakan pembangunan regional Sulawesi Selatan tahun 2003.

4.3.1. Kondisi Perekonomian Regional

Selama 15 tahun terakhir, struktur perekonomian regional Sulawesi Selatan tidak mengalami perubahan yang berarti. Sektor pertanian masih sangat mendominasi perekonomian Sulawesi Selatan dan menjadi sumber kehidupan sebagian besar penduduknya. Peranan sektor pertaniaan mengalami sedikit fluktuasi karena goncangan krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Kontribusi sektor pertanian pada awalnya mengalami penurunan secara perlahan-lahan dari 42 % Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas harga yang berlaku pada tahun 1990,

(9)

menjadi 38,9 % pada tahun 1995 serta mencapai titik terendah sebesar 38,6% pada tahun 1996. Namun karena goncangan krisis ekonomi yang melanda Indonesia, maka berimbas juga pada struktur perekonomian regional Sulawesi Selatan dimana kontribusi sektor pertanian dalam pembentukan PDRB kembali meningkat pada tahun 1997 dan mencapai puncaknya pada tahun 1998.

Pada tahun 1998, sektor pertanian memberikan kontribusi dalam pembentukan PDRB Provinsi Sulawesi Selatan atas harga berlaku sebesar 45,78 %, sementara sektor perdagangan, hotel dan restoran memberikan kontribusi sebesar 13,24%, sektor perindustrian 11,23 %, sektor jasa 8,64% dan sektor pertambangan dan galian sebesar 6,04 %. Selanjutnya kontribusi sektor pertanian berangsur-angsur kembali berkurang dengan mulai pulihnya sektor perekonomian lainnya (Tabel 10). Tabel 10. Perkembangan kontribusi berbagai sektor ekonomi terhadap PDRB atas

harga berlaku

Kode Sektor Perekonomian 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003

1. Pertanian 39,10 45,78 41,93 39,03 37,85 37,50 35,82

2. Pertambangan & galian 3,57 6,04 8,10 8,70 7,96 7,73 7,67

3. Industri 11,89 11,23 10,91 11,54 11,78 11,46 11,46

4. Listrik, gas dan air 0,96 0,92 0,97 0,97 1,11 1,21 1,19

5. Konstruksi 6,44 4,40 4,19 4,23 4,17 4,03 4,16

6. Perdagangan 14,63 13,24 14,77 14,62 16,19 16,54 16,91

7. Angkutan & komunikasi 5,99 5,84 5,92 6,44 7,05 6,98 7,16

8. Keuangan 6,06 3,91 3,65 3,46 3,14 3,64 4,83

9. Jasa-jasa 11,36 8,64 9,56 11,01 10,75 10,91 10,80

Total 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 1999a, 2003 dan 2004a.

Pada tahun 2003, sektor pertanian memberikan kontribusi terbesar dalam pembentukan PDRB yaitu sebesar 35,82% PDRB atas harga berlaku, kemudian disusul sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan kontribusi sebesar 16,91%, sektor industri pengolahan dengan kontribusi 11,46% dan sektor jasa 10,79%. Nilai sumbangan sektor pertanian dalam PDRB Sulawesi Selatan pada tahun 2003, berdasarkan PDRB harga berlaku, tercatat sebesar Rp 14,36 trilyun atau meningkat sebesar 42,32% dibanding tahun 2000 yang nilainya sebesar Rp. 10,84 trilyun. Sub sektor utama pertanian yang memberikan kontribusi terbesar bagi PDRB adalah

(10)

tanaman bahan makanan dengan pangsa 14,40% dari PDRB, disusul tanaman perkebunan, perikanan dan peternakan dengan pangsa masing-masing 12,25%, 7,88%, dan 1,04% (Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 2004a).

Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan berfluktuasi cukup tajam, terutama karena adanya krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997. Pada periode pra krisis (1993-1996), perekonomian Sulawesi Selatan tumbuh cukup tinggi yaitu rata-rata 7,96%/tahun, dengan tingkat pertumbuhan terendah 7,67% pada tahun 1994 dan tertinggi 8,31% pada tahun 1996. Pada saat krisis ekonomi mulai menerpa Indonesia pertengahan tahun 1997, pertumbuhan ekonomi regional Sulawesi Selatan turun menjadi 4,30 %, bahkan mengalami kontraksi sebesar -5,33 % pada tahun 1998 sebagai puncak krisis ekonomi nasional.

Kontraksi pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan tersebut tidak terlalu besar dibandingkan dengan kontraksi pertumbuhan secara nasional yang besarnya mencapai -13,13%. Kondisi ini terjadi karena struktur perekonomian regional Sulawesi Selatan pada tahun 1997 masih sangat didominasi sektor pertanian dengan kontribusi 34,66%. Sementara kontribusi sektor pertanian secara nasional relatif lebih kecil yaitu sebesar 16,01% (Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 1999 dan Badan Pusat Statistik, 1998).

Dengan kondisi yang demikian, maka dalam situasi perekonomian yang cukup sulit pada tahun 1998, beberapa sektor ekonomi Sulawesi Selatan masih dapat tumbuh, terutama sektor pertanian yang memang menjadi basis kekuatan ekonomi Sulawesi Selatan. Sektor pertanian di Sulawesi Selatan masih dapat tumbuh positif sebesar 0,06 persen dengan sub sektor yang mempunyai pertumbuhan cukup tinggi yaitu perkebunan dan kehutanan yang masing-masing tumbuh sebesar 15,07 persen dan 2,69 persen. Sementara sektor-sektor lainnya mengalami kontraksi pertumbuhan. Sektor yang mengalami kontraksi pertumbuhan terbesar tercatat pada sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan yakni sebesar 32,31 persen terutama pada sub sektor Bank dengan kontraksi pertumbuhan sebesar 96,20 persen. Terjadinya kontraksi yang besar pada sektor ini merupakan kondisi umum yang terjadi selama

(11)

krisis ekonomi di Indonesia yang memang pada awalnya merupakan dampak dari mismanajemen perbankan yang berdampak besar pada sektor-sektor lainnya.

Meskipun mengalami kontraksi yang cukup besar pada tahun 1998, kondisi perekonomian daerah ini dapat segera pulih dan pada tahun 1999 perekonomian Sulawesi Selatan mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 2,83 persen. Nilai pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya mencapai 0,85 persen pada periode yang sama. Selanjutnya perekonomian Regional Sulawesi Selatan mengalami pertumbuhan yang lebih pesat lagi yaitu rata-rata 4,96% pada periode 2000-2003 (Tabel 11).

Tabel 11. Pertumbuhan PDRB Provinsi Sulawesi Selatan 1993-2003 Tahun Atas harga berlaku Atas harga konstan 1993

(Rp milyar) (%) (Rp milyar) (%) 1993 7.512 12,02 7.512 7,72 1994 8.738 16,32 8.088 7,67 1995 10.372 18,70 8.745 8,12 1996 11.833 13,97 9.486 8,31 1997 13.538 14,41 9.893 4,30 1998 21.951 62,14 9.366 -5,33 1999 24.065 9,63 9.631 2,83 2000 27.772 15,41 10.102 4,89 2001 34.771 25,20 10.604 4,97 2002 38.523 10,79 11.093 4,61 2003 42.855 11,25 11.691 5,39

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan 1997, 2003, 2004a dan 2005.

4.3.2. Strategi dan Kebijakan Pembangunan Regional Sulawesi Selatan

Dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan daerah, maka disusunlah sebuah dokumen ”Rencana Strategis Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2003-2008” yang isinya antara lain meliputi: visi, misi, strategi, dan kebijakan, serta program dan kegiatan pembangunan yang sedang dan akan terus dilaksanakan. Dalam dokumen Rencana Strategis tersebut tercantum empat kebijakan dasar pembangunan regional Sulawesi Selatan yaitu:

(12)

Pertama : Peningkatan Kualitas Hidup Manusia, Kedua : Peningkatan Ketahanan Ekonomi Wilayah,

Ketiga : Peningkatan Kualitas Kehidupan Bermasyarakat Berbangsa dan Bernegara,

Keempat : Pemberdayaan Kelembagaan Pemerintah dan Masyarakat.

Keempat kebijakan tersebut selanjutnya dijabarkan dalam bentuk program dan kegiatan prioritas serta program dan kegiatan penunjang.

Rencana Strategis Pemerintah Provinsi tersebut dituangkan dalam Peraturan Daerah (PERDA) Provinsi Sulawesi Selatan No. 3 Tahun 2003, dan ditindak lanjuti dengan Rencana Strategis dari masing-masing unit kerja Lingkup Pemerintah Provinsi dengan tetap memperhatikan kewenangan yang ada. Selanjutnya dirumuskan kerangka operasionalnya berupa Rencana Pembangunan Tahunan. Penyusunan program prioritas dan penunjang perlu disesuaikan setiap tahun berdasarkan hasil evaluasi tahun sebelumnya. Pada tahap awal, penyusunan program prioritas didasarkan pada hasil identifikasi simpul-simpul pembangunan yang dilakukan pemerintah daerah dalam program seratus hari kerja Gubernur dan Wakil Gubernur.

Rencana Strategis Pemerintah Provinsi tersebut selanjutnya diharapkan menjadi acuan bagi pemerintah kabupaten maupun kota dalam menyusun rencana pembangunan daerah masing-masing kabupaten maupun kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan.

4.3.3. Program dan Kegiatan Pembangunan Regional Sulawesi Selatan

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa strategi dan kebijakan dasar pembangunan regional Sulawesi Selatan dalam Rencana Strategis dirinci lagi dalam bentuk program dan kegiatan prioritas serta program dan kegiatan penunjang. Secara singkat kebijakan dasar pembangunan regional Sulawesi Selatan dirinci dalam program dan kegiatan sebagai berikut (Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, 2003):

(13)

2. Kebijakan dasar pembangunan ”Peningkatan Kualitas Hidup Manusia” dilaksanakan melalui lima program prioritas meliputi:

a. Program peningkatan kualitas, relevansi dan pemerataan pendidikan, b. Program peningkatan penghayatan agama,

c. Program peningkatan derajat kesehatan dan gizi, d. Program pengembangan budaya dan kesenian, e. Program pengembangan ketenagakerjaan.

Masing-masing program prioritas tersebut dijabarkan dalam lima sampai enam kegiatan pembangunan. Di samping itu masih terdapat lima program penunjang yang meliputi program; pengendalian penduduk, peningkatan kesejahteraan sosial, pembinaan olah raga, pemberdayaan perempuan dan program kepemudaan. Setiap program penunjang tersebut dijabarkan dalam dua sampai empat kegiatan pembangunan.

3. Kebijakan dasar pembangunan ”Peningkatan Ketahanan Ekonomi Wilayah” dilaksanakan melalui enam program prioritas meliputi:

a. Program peningkatan daya saing produk unggulan, b. Program pemantapan ekonomi kerakyatan,

c. Program pemantapan ketahanan pangan, d. Program pemantapan struktur ekonomi daerah,

e. Program penguatan integrasi ekonomi Pulau Sulawesi,

f. Program penataan dan pengelolaan sumberdaya alam dan kelautan yang berkelanjutan.

Masing masing program prioritas tersebut dijabarkan dalam tiga sampai sembilan kegiatan prioritas. Di samping itu terdapat dua program penunjang yaitu Program pengembangan prasarana dan sarana wilayah dengan enam kegiatan pembangunan dan program pengembangan tata ruang dengan empat kegiatan pembangunan.

4. Kebijakan dasar pembangunan ”Peningkatan Kualitas Kehidupan Bermasyarakat Berbangsa dan Bernegara” dilaksanakan melalui dua program prioritas meliputi:

(14)

b. Program peningkatan kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat. Program penataan sistem legislasi daerah dijabarkan dalam tiga kegiatan prioritas pembangunan, sementara program peningkatan kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat dijabarkan dalam lima kegiatan prioritas pembangunan. Di samping itu, terdapat satu program penunjang yaitu program peningkatan kualitas materi dan penyebaran informasi dengan lima kegiatan penunjang pembangunan.

5. Kebijakan dasar pembangunan: “Pemberdayaan Kelembagaan Pemerintah dan Masyarakat” dilaksanakan melalui dua program prioritas yaitu:

a. Program pemberdayaan kelembagaan pemerintah, dan b. Program pemberdayaan kelembagaan masyarakat.

Program pemberdayaan kelembagaan pemerintah dijabarkan dalam delapan kegiatan prioritas pembangunan, sementara Program pemberdayaan kelembagaan masyarakat dijabarkan dalam lima kegiatan prioritas pembanguan. Di samping itu, terdapat dua program penunjang yaitu: program penelitian, pengkajian dan pengenbangan dengan empat kegiatan pembangunan serta program pengembangan dan perencanaan dengan tiga kegiatan pembangunan.

4.3.4. Kinerja Kebijakan Pembangunan Regional Sulawesi Selatan 2003

Tahun 2003 merupakan tahun pertama penerapan kebijakan pembangunan regional Sulawesi Selatan berdasarkan Renstra 2003-2008. Sebagai langkah awal, Pemerintah Provinsi telah melakukan koordinasi dan konsolidasi dengan Pemerintah Kabupaten dan Kota untuk mensosialisasikan visi dan misi provinsi yang diharapkan dapat menjadi arahan bagi daerah dalam menetapkan kebijakan pembangunan daerah mereka. Di samping itu, dalam program seratus hari kerja Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan identifikasi simpul-simpul pembangunan yang dapat memberikan dorongan terhadap pengembangan sektor-sektor ekonomi secara simultan.

Beberapa isu strategis yang berhasil diidentifikasi dan dijadikan sebagai rencana aksi pembangunan regional Sulawesi Selatan tahun 2003 meliputi: Prasarana

(15)

wilayah, perhubungan, pendidikan, kesehatan, pertanian, lingkungan hidup, pertambangan dan energi, serta koperasi dan UKM. Disini tampak bahwa lingkungan hidup menjadi salah satu isu strategis yang mendapat prioritas pada awal pelaksanaan pembangunan berdasarkan Renstra 2003-2008, meskipun aspek lingkungan hidup tidak tercantum secara khusus dalam Renstra 2003-2008. Aspek lingkungan hidup hanya merupakan sub bagian dari “Program penataan dan pengelolaan sumberdaya alam dan kelautan yang berkelanjutan” pada kebijakan dasar pembangunan ”Peningkatan Ketahanan Ekonomi Wilayah”.

Penempatan aspek lingkungan hidup sebagai salah satu kegiatan yang menjadi prioritas menunjukan adanya kemauan politik dari pemerintah daerah Sulawesi Selatan untuk ikut serta melaksanakan kegiatan pembangunan berkelanjutan selaras dengan Agenda 21 Nasional maupun Agenda 21 Global. Meskipun anggaran belanja yang dialokasikan pada kegiatan pembangunan aspek lingkungan hidup ini relatif masih kecil, namun perhatian yang diberikan pada tahap awal ini cukup memberikan harapan yang baik bagi pembangunan selanjutnya.

Secara umum kinerja pembangunan daerah pada tahun 2003 cukup baik apabila diukur berdasarkan capaian fisik dan realisasi anggaran. Evaluasi kinerja terhadap empat pokok kebijakan menunjukkan realisasi capaian fisik berkisar antara 90,16% sampai 99,50%. Realisasi capaian fisik terendah terjadi pada kebijakan ”Peningkatan Kualitas Hidup Manusia”, sementara realisasi capaian fisik tertinggi terjadi pada kebijakan ”Peningkatan Kualitas Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara” (Gubernur Sulawesi Selatan, 2004).

Meskipun demikian, ada beberapa hal perlu mendapat perhatian yang lebih serius pada pelaksanaan pembangunan selanjutnya khususnya terkait dengan aspek lingkungan hidup. Dalam Renstra 2003-2008, aspek lingkungan hidup tidak dicantumkan sebagai salah satu program tersendiri, tetapi hanya merupakan sub bagian dari program penataan dan pengelolaan sumberdaya alam dan kelautan yang berkelanjutan. Akibatnya alokasi anggaran relatif kecil sesuai dengan posisinya dalam Renstra. Sementara kondisi sumberdaya alam khususnya sumberdaya hutan sebagai penunjang kehidupan sebagian sudah rusak dan menjadi lahan kritis.

(16)

Masih minimnya anggaran untuk memperbaiki kondisi sumberdaya hutan Sulawesi Selatan menyebabkan laju upaya perbaikan sumberdaya hutan tidak mampu mengimbangi laju degradasi hutan. Akibatnya kerusakan hutan terus bertambah dan areal lahan kritis makin meluas. Berikut ini akan diuraikan secara ringkas kondisi lingkungan hidup Provinsi Sulawesi Selatan.

4.4. Kondisi Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Selatan

Kondisi lingkungan hidup Provinsi Sulawesi Selatan dari tahun ke tahun cenderung menurun. Hal ini dapat diidentifikasi dari makin meningkatnya berbagai permasalahan lingkungan hidup seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, kebakaran hutan, kerusakan mangrove, pendangkalan danau, kerusakan terumbu karang, pencemaran perairan dan polusi udara. Berbagai permasalahan tersebut muncul terutama karena kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan dan belum memihaknya perencanaan pembangunan pada kepentingan pelestarian lingkungan hidup.

Kurang berpihaknya perencanaan pembangunan pada kepentingan lingkungan hidup dapat dilihat pada rendahnya alokasi anggaran untuk program pelestarian fungsi lingkungan hidup. Pada tahun 2003, anggaran belanja yang dialokasikan untuk program pelestarian fungsi lingkungan hidup provinsi Sulawesi Selatan hanya sebesar 0,68% dari total anggaran belanja daerah Sulawesi Selatan. Akibatnya upaya untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup Provinsi Sulawesi Selatan masih belum memenuhi harapan.

Berikut ini akan diuraikan secara singkat kondisi lingkungan hidup Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat berdasarkan hasil studi dan pengamatan lapang Tim Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan (Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan, 2004).

(17)

4.4.1. Kondisi Sumberdaya Alam

Sumberdaya alam merupakan sumberdaya dasar pendukung berbagai fungsi kehidupan. Sumberdaya alam ini meliputi: sumberdaya lahan, sumberdaya hutan, sumberdaya air, sumberdaya pesisir dan laut dan sumberdaya iklim. Secara umum kondisi sumberdaya alami tersebut sebagian mengalami degradasi atau penurunan kualitas maupun kuantitasnya dibandingkan tahun sebelumnya dan sebagian lagi tidak mengalami perubahan. Namun rangkuman dari berbagai hasil kajian jangka panjang dapat disimpulkan bahwa kondisi sumberdaya alam Provinsi Sulawesi Selatan telah mengalami perubahan dengan kecenderungan terus menurun baik kualitas maupun kuantitasnya.

Kondisi Sumberdaya lahan teridentifikasi mengalami penurunan kualitas terutama ditunjukkan oleh penurunan produktivitas dan peningkatan luas lahan kritis. Hal ini terjadi karena kebijakan tata ruang, kebijakan penggunaan lahan dan pilihan teknologi yang tidak tepat. Kebijakan tata ruang pada setiap kabupaten dan kota umumnya lebih berorientasi kepada kepentingan ekonomi jangka pendek dan kurang berpihak pada kepentingan kelestarian lingkungan hidup. Penataan ruang kurang memperhatikan kepentingan perlindungan tata air, keanekaragaman hayati dan kemantapan ekosistem sebagai sarana penyangga kehidupan. Penetapan fungsi kawasan, khususnya kawasan lindung dan konservasi tidak didasarkan pada kriteria-kriteria yang tepat.

Luas kawasan hutan Provinsi Sulawesi Selatan tercatat seluas 3,88 juta ha terdiri dari hutan lindung 1,93 juta ha, hutan produksi terbatas 0,81 juta ha, hutan produksi 0,2 juta ha, hutan suaka alam dan margasatwa 0,21 juta ha, hutan yang dapat dikonversi 0,1 juta ha, kawasan perairan 0,58 juta ha dan kawasan lindung perairan 45,11 ribu ha. Dari segi luas hutan, khususnya hutan lindung dan konservasi wilayah daratan dengan luas lebih dari 2,1 juta ha atau 34,26% dari total wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, seharusnya lebih dari cukup untuk penyangga lingkungan hidup. Namun pada kenyataannya kawasan hutan tersebut tidak mampu memenuhi fungsinya sebagai penyangga fungsi kehidupan khususnya mencegah banjir,

(18)

mengendalikan erosi, menjaga kesuburan tanah, menanggulangi intrusi air laut, menjaga kelestarian plasma nutfah dan keanekaragaman hayati serta faktor lingkungan lainnya. Di samping itu kerusakan hutan berdampak pada peningkatan kemiskinan dan kesengsaraan rakyat disekitar hutan. Hal ini terjadi karena berbagai faktor antara lain; letak, luas dan posisi hutan lindung dan hutan konservasi tidak tepat, kondisinya umumnya sudah rusak dan lemahnya pengawasan serta penegakan hukum (Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan, 2004).

Hasil pemetaan Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa kondisi penutupan lahan hutan tahun 1997 hanya seluas 2,026 juta ha dengan areal regenarasi potensial 146.848 ha. Kehilangan areal tutupan hutan selama periode 1985-1997 mencapai 833.197 ha yang terdiri dari hutan dataran rendah 390.169 ha, hutan sub pegunungan 268.115 ha dan hutan pegunungan 174.913 ha (Gambar 6).

Lebih lanjut, kondisi sumberdaya air di Sulawesi Selatan pada tahun 2003 relatif sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Provinsi Sulawesi Selatan memiliki 72 buah sungai utama. Debit aliran air sungai tersebut secara kuantitas tidak mengalami perubahan, tetapi fluktuasi dan kualitasnya semakin menurun. Demikian juga dengan air danau, air waduk, air kolam, air genangan, air tanah pada umumnya mengalami penurunan kualitas dan waktu ketersediaannya.

Beberapa sungai besar di Sulawesi Selatan telah dibendung, sehingga dapat menyimpan jutaan m³ air dalam waduk buatan tersebut. Namun proses pendangkalan waduk karena sedimentasi akhir-akhir ini makin cepat dan akan mengurangi umur pakai waduk lebih cepat dari yang diperkirakan. Hal lain yang menunjukkan adanya penurunan kualitas waduk adalah adanya kerusakan lingkungan yang dikeluhkan masyarakat yang tinggal di sekitar waduk. Sedimentasi memang tidak bisa dihindari karena adanya erosi, tetapi perlu upaya untuk mengendalikannya sehingga dapat memperpanjang umur ekonomis bendungan.

(19)

Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, 2003. Gambar 6. Peta penutupan lahan hutan, 1997.

Pendangkalan tempat penampungan air tawar akibat sedimentasi sudah sangat nyata terjadi di tiga danau dari enam buah danau di Sulawesi Selatan yaitu Danau Sidenreng di kabupaten Sidrap dan Danau Buaya serta Danau Tempe di Kabupaten Wajo. Ketiga danau tersebut tidak lagi dapat berfungsi sebagai tempat penyimpanan cadangan air tawar karena pendangkalan akibat sedimentasi. Pada musim hujan air meluap dan menyebabkan banjir pada kawasan sekitar danau dan Sungai Wanae hilir. Sementara itu, dibeberapa kawasan hulu DAS Walanae terdapat lahan-lahan kritis (Gambar 7).

(20)

Sumber: Amin et al. (2005)

Gambar 7. Peta Kawasan yang mempengaruhi dan dipengaruhi Danau Tempe.

Sedangkan tiga danau lainnya terdapat di Kabupaten Luwu Timur yaitu: Danau Towuti, Mahalona dan Matano. Ketiga danau ini relatif belum terganggu dan mempunyai kapasitas penampunan air tawar yang sangat besar bahkan termasuk terbesar di Indonesia dan terkenal sebagai danau paling dalam di dunia setelah danau di Kanada. Danau Matano mempunyai kedalaman sekitar 589 m dan termasuk danau yang sangat potensial untuk mendukung pembangunan di Sulawesi Selatan. Pada saat ini kekayaan sumberdaya air danau tersebut baru dimanfaatkan oleh perusahaan tambang nikel PT International Nickel Indonesia (PT Inco) yang telah membangun dua lokasi pembangkit listrik di Sungai Larona.

Di samping bendungan dan danau, masih ada tempat penampungan air tawar berupa kolam/embung, tambak dan persawahan walaupun sifatnya sementara karena pada musim kemarau mengalami kekeringan. Ada beberapa kolam yang pada musim

(21)

kemarau masih berisi air dan dapat dikonsumsi masyarakat yaitu kolam-kolam yang terdapat di kabupaten Sidrap, Bone, dan Tana Toraja.

Sebagaimana telah diketahui bahwa sumberdaya air dan lahan merupakan sumber kehidupan utama selain udara dan sinar matahari. Tanah dan air merupakan bagian dari ekosistem lingkungan, sehingga kerusakan sumberdaya air dan tanah merupakan kerusakan ekosistem. Kemajuan pembangunan menuntut kebutuhan lahan semakin besar dan tuntutan kebutuhan tersebut mendorong terjadinya alih fungsi lahan dari kawasan yang berfungsi sebagai daerah resapan air dan pelindung fungsi kehidupan berubah menjadi lahan pertanian dan perkebunan, sehingga tanpa disadari terjadi kerusakan lingkungan terutama tata air. Akibatnya pada musim hujan terjadi banjir dan pada musim kemarau terjadi kekeringan. Di Sulawesi Selatan, alih fungsi lahan tidak hanya terjadi di dataran tinggi atau daerah hulu DAS, tetapi juga terjadi di daerah hilir dan muara DAS seperti konversi hutan sagu, nipah dan mangrove.

Hutan mangrove di Sulawesi Selatan tercatat hanya seluas 26.911 ha. Kondisi ini tergolong sangat memprihatinkan karena panjang pantai Sulawesi Selatan mencapai sekitar 2.500 km. Kerusakan hutan mangrove tersebut berdampak buruk pada ekosistem pesisir dan laut yang pada gilirannya menurunkan produksi ikan, nener alam dan minat wisatawan untuk mengunjungi pantai. Di samping itu kerusakan hutan mangrove juga berakibat masuknya air laut (intrusi) ke wilayah daratan.

Sebenarnya kebijakan pemanfaatan wilayah pesisir telah dituangkan dalam berbagai peraturan perundangan, tetapi perangkat kebijakan tersebut tidak didukung oleh perangkat kelembagaan, program dan pendanaan yang memadai, sehingga kawasan pesisir tersebut seolah-olah tidak bertuan. Di sisi lain masyarakat mendapat tekanan kebutuhan hidup dan pelaku bisnis melihat peluang usaha pertambakan cukup prospektif, sehingga mereka berlomba-lomba memanfaatkan dan merambah kawasan tersebut. Akibatnya kerusakan dan penyusutan kawasan hutan mangrove tidak bisa dielakkan.

(22)

Kerusakan hutan mangrove ternyata juga berimbas pada kerusakan terumbu karang, dan hal ini juga tidak terlepas dari tuntutan kebutuhan hidup. Penyusutan potensi ikan dan nener alam mendorong masyarakat untuk melakukan berbagai cara untuk menangkap ikan termasuk dengan cara melakukan pengeboman dan memanfaatkan karang untuk keperluan bahan bangunan. Berbagai kegiatan yang dilakukan masyarakat tersebut makin menambah dan mempercepat kerusakan wilayah pesisir dan laut Sulawesi Selatan.

Sementara itu, sumberdaya alam yang relatif tidak berubah adalah iklim. Kondisi iklim Sulawesi Selatan tahun 2003 tidak berubah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Curah hujan, dan unsur iklim lainnya seperti suhu, kelembaban, angin dan lain-lain sepanjang tahun 2003 berada dalam kondisi normal. Secara umum wilayah Sulawesi Selatan memiliki 3 wilayah iklim yaitu Wilayah Timur, Wilayah Barat dan Daerah Peralihan. Curah hujan yang jatuh pada ketiga wilayah tersebut tidak sama, sehingga berpengaruh pada pola tanam dan produksi. Produksi buah-buahan, padi dan palawija terjadi sepanjang tahun secara bergiliran sesuai dengan pergiliran musim di ketiga wilayah iklim.

Perubahan yang terjadi yang terkait dengan unsur iklim adalah tingkat konsentrasi ambien, debu, timbal, SO2, CO2, NO2 dan CO di udara di kota-kota besar seperti Makasar, Pare-Pare, Palopo, Bone dan beberapa ibukota kabupaten lainnya. Pada tahun 2003, konsentrasi unsur-unsur tersebut umumnya meningkat dibanding tahun 2001, terutama CO, Pb, debu dan Ambien. Peningkatan konsentrasi tersebut terkait dengan semakin meningkatnya kepadatan lalu lintas, masih banyaknya industri-industri yang tidak menggunakan penangkap polutan dan berbagai aktivitas masyarakat lainnya.

4.4.2. Kondisi Lingkungan Buatan

Lingkungan buatan merupakan sumberdaya yang dibuat dan dikelola oleh manusia. Lingkungan buatan tersebut meliputi: pertanian dan perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, pertambangan dan perindustrian. Secara umum

(23)

kondisi lingkungan buatan di Sulawesi Selatan tahun 2003 dapat digambarkan sebagai berikut:

Pertanian dan perkebunan merupakan sektor yang paling dominan dalam perekonomian regional Sulawesi Selatan. Sektor ini memberikan kontribusi sebesar 35,8% PDRB tahun 2003. Sumbangan terbesar bersumber dari tanaman bahan makanan yang meliputi padi dan palawija. Permasalahan lingkungan yang muncul dari kegiatan pertanian adalah karena tingginya penggunaan pupuk kimia dan pestisida, erosi tanah dan pembukaan areal hutan serta emisi gas metan (CH4) dari lahan persawahan. Namun berbagai permasalahan tersebut belum mendapat perhatian serius dari masyarakat maupun pengambil kebijakan karena dampaknya belum dirasakan secara langsung merugikan masyarakat. Sebagai contoh tanaman palawija banyak ditanam di lahan kering yang miring di areal hutan tanpa mengindahkan kaidah-kaidah konservasi lahan dan air, sehingga menimbulkan erosi yang cukup tinggi dan hilangnya vegetasi hutan. Demikian pula kegiatan penanaman perkebunan maupun sayur-sayuran yang umumnya dilakukan di dataran tinggi dan menggunakan pupuk buatan serta pestisida yang tinggi, sangat potensial menimbulkan erosi dan degradasi lahan serta pencemaran lingkungan. Namun kegiatan pertanian yang menimbulkan kerusakan lingkungan tersebut tetap berjalan apa adanya, tanpa pengaturan konservasi dan perlindungan untuk kelestarian lingkungan.

Kehutanan sebagai lingkungan buatan adalah kawasan hutan produksi yang luasnya mencapai 1.014.921 ha yang terdiri dari hutan 811,10 ribu ha hutan produksi terbatas dan 203,82 ha hutan produksi biasa. Kawasan hutan tersebut sebagian besar berada di Kabupaten Luwu dan Mamuju. Pada tahun 2003, produksi hutan baik berupa kayu maupun non kayu mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya. Kondisi ini terjadi karena berkurangnya stok kayu akibat lambatnya kegiatan penanaman kembali dan lambatnya pertumbuhan tanaman. Dikhawatirkan produksi kayu maupun non kayu akan terus menurun dan perambahan areal hutan akan meningkat khususnya di daerah bekas tebangan kayu yang umumnya berupa semak belukar.

(24)

Kegiatan perikanan di Sulawesi Selatan didominasi oleh kegiatan perikanan tangkap (laut) dan budidaya pada tambak-tambak di sepanjang pesisir pantai. Sementara kegiatan perikanan air tawar terutama dilakukan penduduk di sekitar danau Tempe, Kabupaten Wajo. Kegiatan perikanan tangkap menghasilkan jenis-jenis ikan kerapu, cakalang dan sejenis-jenisnya, sedangkan perikanan tambak menghasilkan udang dan ikan bandeng. Produksi perikanan tahun 2003 mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya. Namun kegiatan perikanan tersebut memberikan tekanan terhadap kelestarian lingkungan karena cara penangkapan yang dilakukan sebagian tidak bersahabat dengan lingkungan, sementara kegiatan budidaya menimbulkan pencemaran yang berasal dari pupuk dan pestisida, serta sisa pakan yang membusuk. Di samping itu tambak-tambak yang dibuka petani umumnya adalah lahan-lahan mangrove di sepanjang pantai, sehingga makin memperparah kerusakan hutan mangrove di sepanjang pantai Sulawesi Selatan.

Peternakan sebagai lingkungan buatan meliputi berbagai jenis ternak, baik ternak besar maupun ternak unggas. Pada tahun 2003, jenis ternak besar yang paling banyak dipelihara adalah sapi, disusul kambing, babi, kerbau, kuda dan domba. Jumlah peliharaan ternak besar mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya kecuali ternak babi dan kerbau yang mengalami sedikit penuruan. Dari segi lingkungan, kegiatan peternakan hampir tidak mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan. Limbah atau kotoran ternak umumnya digunakan petani untuk pelengkap atau pengganti pupuk buatan.

Pertambangan di Sulawesi Selatan di dominasi oleh kegiatan pertambangan galian C yang menghasilkan pasir, kerikil dan batu kali. Di samping itu juga terdapat kegiatan tambang oleh perusahaan besar yaitu pertambangan nikel oleh PT. Inco di Kabupaten Luwu Utara dan Luwu Timur, serta penambangan batu kapur dan tanah liat oleh PT. Semen Tonasa di Kabupaten Pangkep dan PT. Bosowa di kabupaten Maros. Selain itu masih terdapat beberapa perusahan tambang yang memproduksi marmer. Dampak lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan penambangan adalah berubahnya bentang alam, hilangnya vegetasi dan flora yang ada di atasnya serta

(25)

Perindustrian di Sulawesi Selatan dapat dibagi dalam dua kelompok besar yaitu: industri kimia, agro dan hasil hutan, dan industri logam, mesin dan aneka. Pada tahun 2003, industri kimia, agro dan hasil hutan tercatat sebanyak 45,382 buah dan menyerap sebanyak 135.433 orang tenaga kerja. Sedangkan industri logam, mesin dan aneka tercatat sebanyak 33.246 buah dengan melibatkan 101.840 orang tenaga kerja. Secara individual masing-masing industri tidak memberikan dampak lingkungan yang signifikan, tetapi secara bersama-sama kegiatan industri tersebut telah menimbulkan pencemaran, baik pencemaran perairan maupun udara.

4.4.3. Penurunan Kualitas Lingkungan

Kondisi sumberdaya alam dan lingkungan buatan yang digambarkan diatas merupakan hasil dan dampak pembangunan yang telah dilakukan selama ini. Disadari bahwa kegiatan pembangunan tidak hanya menghasilkan manfaat, tetapi juga membawa risiko. Oleh karena itu dalam upaya untuk menghasilkan manfaat yang optimal, maka penurunan kualitas lingkungan yang telah terjadi perlu dikelola dengan baik. Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa pembangunan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat tidak bebas dari adanya bahan sisa atau limbah, baik berupa gas, cair maupun padat. Apabila limbah tersebut tidak dikelola dengan baik dan melampaui ambang batas mutu serta masuk ke lingkungan, maka akan menimbulkan tekanan terhadap daya dukung lingkungan.

Berdasarkan kegiatan sektor perekonomian di Sulawesi Selatan, maka sumber limbah dapat berasal dari kegiatan pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan, pertambangan dan energi, industri, perhubungan, perumahan, kesehatan dan perdagangan. Menurut Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan (2004), yang menjadi sumber utama pencemaran di Sulawesi Selatan adalah sektor transportasi, pemukiman, industri dan pertambangan. Berikut ini akan diuraikan secara singkat risiko penurunan kualitas lingkungan sebagai dampak negatif dari berbagai aktivitas pembangunan ekonomi yang terjadi di Sulawesi Selatan pada tahun 2003.

(26)

4.4.3.1. Pencemaran Udara

Pencemaran udara dari aktivitas manusia di Sulawesi Selatan bersumber dari sumber bergerak dan sumber tidak bergerak. Pencemaran udara dari sumber bergerak terutama adalah dari kendaraan bermotor yang dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada tahun 2003, jumlah kendaraan bermotor tercatat sebanyak 687.464 unit dari berbagai jenis mobil dan sepeda motor. Jumlah tersebut meningkat 13,12% dibanding tahun sebelumnya. Jumlah kendaraan terbanyak terdapat di kota Makassar yaitu sebanyak 350 ribu unit (51%) dan selebihnya tersebar di 23 daerah kabupaten/kota.

Pada tahun 2002, beban pencemaran dari kegiatan transportasi karena konsumsi bahan bakar minyak masing-masing sebesar 85,1 ribu ton Karbon Monoksida (CO), 4,7 ribu ton Nitrogen Oksida (NO2), 4,7 ribu ton Sulfor Dioksida (SO2), 3,5 ribu ton Hidro Karbon (HC) dan 396 ton debu. Beban pencemaran dari kegiatan transportasi ini diperkirakan terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya selaras dengan peningkatan jumlah kendaraan bermotor di Sulawesi selatan (Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan, 2003 dan 2004)

Sementara pencemaran dari sumber tidak bergerak terutama adalah dari konsumsi BBM oleh rumah tangga, pembakaran limbah padat oleh masyarakat, kebakaran hutan dan kegiatan industri. Pada tahun 2003, konsumsi BBM (minyak tanah) oleh rumah tangga mencapai 298.567 kilo liter dan Elpiji 48.813 MTM. Sedangkan pembakaran limbah padat tidak ada data volumenya, tetapi dapat diperhitungkan limbah atau sisa pembakarannya.

Pencemaran udara dari kegiatan industri dapat berupa partikel-partikel yang menyebar ke udara maupun unsur-unsur dari limbah pembakaran BBM. Unsur pencemar terbesar yang bersumber dari industri adalah debu yaitu sebesar 52.026 ton (59,88%) dari total beban pencemar industri pengolahan. Sumber pencemar partikel terbesar adalah industri semen (32,02%), disusul industri penggilingan biji-bijian dan industri gula (31,49%), industri logam besi dan baja (19,80%), serta industri marmer (8,59%).

(27)

Pencemaran lain yang dihasilkan industri adalah karena pembakaran BBM. Pada tahun 2003 sektor industri telah mengkonsumsi BBM sebanyak 444,08 juta liter Premium, 599,38 juta liter Solar, 81,48 juta Avtur, 12,76 Pelumas, 52,35 juta liter LPG dan 327,41 juta liter minyak tanah. Di samping itu pencemaran karena konsumsi BBM juga terjadi pada pembangkit tenaga listrik yang telah mengkonsumsi sebanyak 530,38 juta liter Solar dan 13,25 juta liter minyak Diesel. Beban pencemaran udara oleh rumah tangga dan industri tersebut dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Pencemaran udara yang dihasilkan oleh rumah tangga dan industri dari pembakaran BBM dan limbah padat di Sulawesi Selatan Tahun 2003

Rumah Tangga Industri Listrik

Parameter BBM L padat BBM BBM

……… (ribu ton) ……… Karbon Monoksida (CO) 29,90 59,48 0,54 0,30 Nitrogen Oksida (NO) 122,75 21,24 0,82 6,03 Sulfur Oksida (SO2) 7,04 4,25 2,04 9,08 Hidro Karbon (HC) 11,71 0,71 0,36 0,06

Debu 29,47 11,33 5,43 0,48

Sumber: Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan, 2004.

Hasil analisis kualitas udara dari pemantauan yang dilakukan di lingkungan industri seperti industri semen di Kabupaten Pangkep, industri pertambangan nikel di Soroako Kabupaten Luwu Utara, Kawasan Industri Makassar (KIMA) dan pada beberapa titik lainnya di Kota Makassar tahun 2003 menunjukkan ada beberapa parameter (unsur) pencemar udara yang melampaui baku mutu kualitas lingkungan udara (Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan, 2004). Di lingkungan industri semen dan nikel, parameter debu sedikit melampaui baku mutu udara ambien. Sementara itu, kualitas udara ambien di Kota Makassar menunjukkan bahwa parameter Pb, H2S, dan debu yang terpantau di beberapa lokasi termasuk di Kawasan industri, baik pagi, sore maupun malam hari telah melampaui baku mutu udara ambien.

(28)

4.4.3.2. Pencemaran Air

Pada tahun 2003, volume limbah cair yang bersumber dari kegiatan agro industri dan rumah tangga pada berbagai kota dan kabupaten di Sulawesi Selatan tercatat sebesar 245,99 juta m³. Limbah tersebut berasal dari kotoran hewan/ternak, sisa-sisa makanan ternak yang membusuk dan bercampur air, limbah cair maupun tinja yang dihasilkan oleh 1,83 juta rumah tangga, pemakaian pupuk dan pestisida, dan eksploitasi tambang golongan C.

Bahan pencemaran air tersebut akan memberikan tekanan terhadap lingkungan dalam berbagai bentuk seperti sedimentasi di sungai dan danau, berkurangnya debit air, tercemarnya air oleh mikro organisme/pupuk/pestisida/ limbah industri pengolahan sehingga menimbulkan berbagai dampak negatif. Secara ekologis, dampak pencemaran air ini akan dirasakan terutama oleh masyarakat yang berada di bagian bawah (hilir) suatu ekosistem DAS. Berbagai limbah cair tersebut memberikan beban pencemaran air dengan parameter pencemar seperti tercantum pada Tabel 13.

Tabel 13. Beban pencemaran air di Sulawesi Selatan

Parameter Pencemar Jumlah (ribu ton) Kebutuhan Oksigen Biologis (BOD) 342,82 Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD) 199,85 Zat Padat Tersuspensi (TSS) 1.946,16

Zat Padat Terlarut (TDS) 290,46

Nitrogen (N) 106,42

Fosfor (P) 3,18

Sumber: Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan, 2004.

Hasil pemantauan dan analisis kualitas air pada beberapa lokasi ekosistem Sungai Tallo dan Sungai Jeneberang Kabupaten Gowa dan Kota Makassar pada tahun 2003 menunjukkan bahwa nilai parameter pencemarnya masih dibawah ambang batas baku mutu golongan C. Kualitas air tersebut mengalami penurunan dibandingkan kondisi tahun 2001 yang nilai parameter pencemarnya masih dibawah ambang batas baku mutu golongan B. Hal ini terjadi karena masih banyaknya industri (>55%) yang membuang limbahnya tidak memenuhi persyaratan baku mutu

(29)

limbah cair. Jika kondisi ini terus berlanjut maka kualitas air sungai akan terus menurun dan akan menimbulkan berbagai dampak negatif seperti menurunnya produksi tambak dan perikanan dan timbulnya penyakit.

4.4.3.3. Pencemaran Limbah Padat

Limbah padat sebagai pencemar di Sulawesi Selatan berasal dari berbagai sumber yaitu: pertanian, kehutanan, peternakan, industri pengolahan, perdagangan, rumah sakit dan rumah tangga. Penghasil limbah padat terbesar adalah Kota Makassar yaitu sebanyak 176,96 juta ton sampah disusul Kabupaten Bone, dan Gowa masing-masing 94,70 juta ton dan 80,43 juta ton sampah. Sumber utama sampah Kota Makassar adalah pemukiman yaitu sebesar 48,31%, disusul pasar, dan fasilitas umum masing-masing 16,68% dan 10,60%. Sampah Kota Makassar tersebut dari berbagai jenis dan yang paling dominan adalah sampah organik dengan volume mencapai 85,47%, disusul sampah plastik 6,0% dan kertas/karton 4,5%.

Di Kota Makassar, tidak semua sampah yang dihasilkan dapat tertangani dengan baik karena terbatasnya kemampuan petugas dan sarana penanggulangan sampah. Sampah yang tertangani hanya sekitar 68 %, sehingga masih menyisakan sampah di lapangan dan dibiarkan di tempat-tempat penampungan sementara atau ditanggulangi sendiri oleh masyarakat. Kondisi tersebut memberikan tekanan terhadap lingkungan, sehingga lambat laun kualitas lingkungan udara, air dan tanah menjadi menurun.

4.5. Perkembangan Perkebunan Kakao di Sulawesi Selatan

Sulawesi Selatan menjadi sentra utama produksi kakao Indonesia, meskipun masyarakatnya belum lama mengenal komoditas kakao. Perkebunan kakao mulai berkembang di daerah ini pada awal tahun 1970-an dan pada saat itu pamornya masih jauh dibawah cengkeh yang telah banyak menghasilkan orang kaya baru di pedalaman. Namun memasuki tahun 1980-an, tanaman kakao berhasil menggeser posisi cengkeh yang harganya terus merosot. Petani cengkeh banyak yang mengganti kebun cengkehnya dengan kakao.

(30)

Perluasan areal perkebunan kakao di Sulawesi Selatan berlangsung sangat pesat dan hanya dalam waktu sekitar 20 tahun, areal perkebunan kakao mencapai lebih dari 72 ribu ha atau menempati posisi kedua setelah kelapa dalam yang arealnya mencapai 136,7 ribu ha pada tahun 1990. Sentra utama pengembangan kakao adalah Kabupaten Luwu, Mamuju, Pinrang dan Polmas. Dengan total areal lebih dari 72 ribu ha tersebut, perkebunan kakao mampu menyediakan kesempatan kerja dan pendapatan kepada sekitar 90 ribu kepala keluarga petani, serta memberikan kontribusi terhadap PDRB sebesar Rp 215,83 milyar atau 2,07% PDRB Sulawesi Selatan (Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan, 1991 dan Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 1998).

Pengembangan areal perkebunan kakao terus berlanjut terutama di sentra utama pengembangan, sehingga pada tahun 1997 areal perkebunan kakao menjadi yang terluas di antara komoditas perkebunan di Sulawesi Selatan dengan total areal 157,6 ribu ha. Pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia, harga kakao di tingkat petani mengalami kenaikan yang sangat tajam. Kondisi ini makin mempercepat perluasan areal perkebunan kakao di Sulawesi Selatan. Areal perkebunan kakao berkembang menjadi 237.948 ha pada tahun 2000 dan menjadi 296.039 ha pada tahun 2003 (Tabel 14).

Tabel 14. Perkembangan areal perkebunan di Provinsi Sulawesi Selatan 1990-2003 Tahun Jenis Tanaman 1990 1995 2000 2003 ……….... (ha) ………. Kakao 72.176 131.194 237.948 296.039 Kelapa dalam 136.701 142.936 149.363 164.809 Kelapa sawit 4.937 4.788 26.738 80.928 Jambu mete 44.029 65.246 72.708 79.596 Kopi robusta 43.842 46.969 44.059 60.201 Kemiri 34.415 43.931 52.722 56.863 Kopi arabika 12.135 24.326 42.338 52.341 Cengkeh 53.256 52.401 48.850 50.605 Kelapa hybrida 15.347 24.832 28.077 42.321 Tebu 887 1.120 12.604 27.527 Lainnya 32.896 70.716 74.517 97.415 Total 450.621 608.459 789.924 1.008.645

(31)

Perluasan areal perkebunan kakao yang begitu pesat ternyata menimbulkan berbagai dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif bagi masyarakat Sulawesi Selatan. Dampak positif yang dirasakan masyarakat adalah terciptanya lapangan kerja yang lebih banyak dan peningkatan pendapatan bagi petani kakao. Sedangkan dampak negatif yang dirasakan masyarakat antara lain: kerusakan lingkungan dengan berbagai dampak turunannya dan serangan hama PBK yang makin mengganas serta sulit dikendalikan. Berikut ini akan diuraikan secara singkat dampak pesatnya pengembangan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan yang akan dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini.

4.5.1. Dampak Perluasan Perkebunan Kakao Terhadap Serangan Hama PBK

Sebagaimana telah dikemukakan, pengembangan perkebunan kakao yang begitu pesat telah menghasilkan hamparan perkebunan kakao yang begitu luas dan saling sambung-menyambung. Kondisi tersebut menciptakan lingkungan yang kondusif bagi berkembangnya berbagai organisme pengganggu tanaman kakao. Di samping itu, terbentuknya hamparan kebun yang saling sambung menyambung akan mempermudah dan mempercepat penyebaran berbagai organisme pengganggu tanaman kakao serta mempersulit upaya pengendaliannya.

Pada saat penelitian ini dilakukan, petani kakao Sulawesi Selatan sedang menghadapi persoalan yang sangat serius yaitu adanya serangan hama penggerek buah kakao (PBK). Hama PBK diduga berasal dari Tawau, Malaysia, yang terbawa oleh kapal dagang ke Kabupaten Toli, Sulawesi Tengah. Dari Kabupaten Toli-Toli Sulawesi Tengah inilah hama PBK menyebar dengan cepat ke berbagai penjuru Pulau Sulawesi, tidak terkecuali ke Sulawesi Selatan. Hama PBK teridentifikasi mulai menyerang perkebunan kakao di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan pada tahun 1995 dan menyebar dengan pesat ke seluruh areal perkebunan kakao di Sulawesi Selatan.

Pesatnya penyebaran hama PBK tersebut selain disebabkan oleh kondisi perkebunan kakao petani yang saling sambung menyambung, juga karena terbatasnya kemampuan petani untuk melakukan pengendalian hama PBK.

(32)

Akibatnya serangan hama PBK makin mengganas dan petani kakao Sulawesi Selatan mengalami kerugian yang tidak sedikit.

4.5.2. Dampak Perluasan Perkebunan Kakao Terhadap Lingkungan

Pengembangan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan hampir seluruhnya dilakukan oleh petani. Wilayah pengembangan perkebunan kakao umumnya di lereng-lereng bukit dan pegunungan, karena kondisi sumber daya lahan Sulawesi Selatan didominasi oleh bukit dan pegunungan. Lahan yang digunakan untuk pengembangan kakao umumnya lahan hutan dan sebagian menggunakan lahan sawah, ladang, dan bekas lahan tanaman perkebunan lainnya.

Dengan kondisi sumber daya lahan berbukit dan bergunung serta sebagian berupa hutan menyebabkan kegiatan pengembangan perkebunan kakao, khususnya pada saat pembukaan lahan akan menimbulkan masalah lingkungan. Pembukaan hutan atau konversi tanaman perkebunan lainnya di lahan perbukitan menyebabkan peningkatan erosi tanah, kerusakan tata air dan penyusutan keanekaragaman hayati.

Lebih lanjut, perkebunan kakao yang berhasil dibangun menghadapi ancaman yang serius dari serangan hama PBK. Hama PBK bukanlah hama yang baru, tetapi hama yang sudah beberapa kali menyerang dan menghancurkan perkebunan kakao di berbagai daerah di Indonesia. Beberapa tahun terakhir, hama PBK telah menunjukkan keganasannya dengan menyerang sebagian besar perkebunan kakao di Malaysia, sehingga menyebabkan perkebunan kakao Malaysia saat ini diambang kepunahan.

Apabila serangan hama PBK tidak segera dikendalikan, maka selain menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian regional juga akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh serangan hama PBK terhadap lingkungan tidak bersifat langsung. Serangan hama PBK yang berat akan merugikan petani dan kerugian yang terus menerus menyebabkan perkebunan kakao terlantar dan menjadi rusak, sehingga lahannya mudah terdegradasi.

(33)

Kerusakan lingkungan akibat pesatnya perluasan areal perkebunan kakao maupun kerusakan lingkungan perkebunan kakao akibat serangan hama PBK merupakan biaya lingkungan yang perlu diperhitungkan, agar peran perkebunan kakao dalam perekonomian regional tidak bersifat semu.

4.5.3. Dampak Perluasan Perkebunan Kakao Terhadap Perekonomian Regional

Pesatnya pengembangan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan telah memberikan kontribusi yang nyata bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan, khususnya pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia. Kakao tampil sebagai penyelamat ekonomi petani sekaligus menjadi sumber utama devisa Sulawesi Selatan. Pada tahun 1998, kakao memberikan kontribusi output sebesar Rp 2,19 triliun dan menghasilkan devisa sebesar US $ 228,9 juta atau 38,28 % nilai ekspor Sulawesi Selatan (Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan, 1999 dan Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 1999).

Selanjutnya, peranan perkebunan kakao bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2003, perkebunan kakao Sulawesi Selatan menghasilkan output senilai Rp 2,586 triliun dengan nilai ekspor sebesar US $ 246,9 juta atau 26,20% dari total Ekspor Sulawesi Selatan serta menyediakan kesempatan kerja bagi sekitar 300 ribu kepala keluarga petani (Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan, 2004a dan Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 2004 ).

Namun peran kakao yang cukup besar bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan tersebut perlu dikaji lebih lanjut karena berbagai masalah. Pertama, peran tersebut masih bersifat semu karena belum memperhitungkan biaya lingkungan yang masih diperlakukan sebagai biaya eskternalitas. Kedua, perkebunan kakao sedang menghadapi ancaman yang serius dari hama PBK. Oleh karena itu, permasalahan biaya lingkungan, peran perkebunan kakao, dan ancaman hama PBK terhadap keberlanjutan peran perkebunan kakao bagi perekonomian regional Sulawesi selatan akan dibahas pada bab berikut ini.

Gambar

Tabel 6. Erosi tanah pada beberapa daerah aliran sungai (DAS)/sub DAS  DAS/Sub DAS  Nilai Erosi  (ton/thn)
Tabel 8.  Perkembangan penduduk kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Selatan, 1999-2003
Tabel 9. Distribusi pekerja pada berbagai lapangan pekerjaan, 2003  Lapangan Pekerjaan  Pekerja (jiwa)  Jumlah
Tabel 11. Pertumbuhan PDRB Provinsi Sulawesi Selatan 1993-2003  Tahun  Atas harga berlaku  Atas harga konstan 1993
+5

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pengamatan peneliti, S1 telah melaksanakan langkah keempat dari Polya dengan baik, yang dimulai dari memahami masalah, merencanakan penyelesaian,

Garvin (Nasution, 2001 : 16) mengemukakan pengertian kualitas adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, manusia/tenaga kerja, proses dan tugas, serta

Seperti yang dikemukakan oleh calon (dlm monks, dkk 1994) bahwa masa remaja menunjukan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh

Berdasarkan hasil penelitian, materi pembelajaran mata kuliah Berbicara bahasa Inggris untuk Pustakawan program studi Perpustakaan dan Informasi adalah Importance of

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis plankton terbanyak yang ada di perairan Desa Bahoi adalah fitoplankton kelas Bacillariophyceae dengan (63 genera) sedangkan

Tata leta pabrik ( plant layout ) atau tata letak fasilitas ( facilities layout ) adalah tata cara pengaturan fasilitas-fasilitas pabrik guna menunjang kelancaran

Termokopel merupakan sambungan (junction) dua jenis logam atau campuran yang salah satu sambungan logam tadi diberi perlakuan suhu yang berbeda dengan sambungan lainnya. Sambungan

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dan tambahan referensi kepada kalangan akademik, terutama mahasiswa yang akan melakukan penelitian yang berkenaan