• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rivalitas Negara Adidaya di Ruang Angkasa Veronica Marsulina Situmorang Universitas Brawijaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Rivalitas Negara Adidaya di Ruang Angkasa Veronica Marsulina Situmorang Universitas Brawijaya"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

[corresponding author: [email protected]]

Rivalitas Negara Adidaya di Ruang Angkasa

Veronica Marsulina Situmorang

Universitas Brawijaya

ABSTRACT

International relations not only focused on cooperative relations but also rivalry relationships that characterize the existence of competition to create progress in the global system, whose primary goal is to prioritize the domestic interests of each competing state actor. With all the demands for existing renewal, the modern world makes every country compete fiercely to show self-esteem as a great country. After the cold war, the source of world power has grown from being bipolar, namely the United States and the Soviet Union, to becoming multipolar. This paper will focus on the competition between the United States, and one of the countries predicted to become a new center of power in the international world, namely China. China's rapid progress in various fields has made it even more calculated and has become a new threat to the US as a superpower. Not only the economy and defense, now China's progress is starting to develop in the field of space control, and this is increasingly making the US-China rivalry relationship even more complex. This paper will be explained with a descriptive-qualitative research method that tries to describe in-depth and narrate the form of competition between the United States and China in the control of space and its astropolitics strategy.

Keywords: rivalry, Astropolitik, great power, USA, China

PENDAHULUAN

Hubungan internasional telah melibatkan negara-negara di dunia dalam keadaan yang konfliktual, adanya anarki dan kompleksitas lainnya berkaitan dengan human nature yang ditunjukkan oleh setiap aktor. Hal ini menjadi hal yang tidak dapat dipungkiri sebagai latar belakang utama bagi suatu negara untuk terus melakukan gerakan yang berorientasi kepentingan domestic untuk menunjukkan eksistensi sebagai negara yang kuat dan bertahan ditengah keadaan global yang penuh dengan persaingan. Rivalitas yang terbentuk dalam hubungan internasional saat ini menjadi suatu hal yang wajar dimana setiap negara akan berupaya untuk mempertahankan kedaulatannya (sovereignty). Oleh karena itu, unsur pertahanan dan keamanan tidak dapat dipisahkan terutama untuk mempersiapkan diri menghadapi ancaman yang mungkin terjadi.

Pertahanan dan keamanan yang diupayakan sebagai kebijakan strategis yang dibuat oleh negara-negara didunia semakin kompleks tidak hanya berkaitan dengan keamanan dalam pengadaan militer di wilayah darat, laut dan udara, namun di era ini berkembang pada penguasaan terhadap ruang angkasa. Aktivitas terkait penguasaan ruang angkasa, baik militer, teknologi mutakhir, kebijakan dan strategi keseluruhan dari hal ini disebut dengan

“Astropolitic”. Fenomena globalisasi yang diiringi dengan perkembangan teknologi membuat

bidang keantariksaan dan hal-hal dalam aspek ruang angkasa dipandang sebagai suatu determinan baru didalam politik internasional. Sebenarnya ruang angkasa telah menjadi suatu dimensi aktivitas strategis sejak kegiatan eksplorasi ruang angkasa pada periode perang dingin dimana persaingan ideologi, politik, dan hankam menjadi latar belakang dari persaingan antariksa antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet. Keduanya memiliki kekuatan dalam bidang teknologi dan penguasaan terkait ruang angkasa yang diakui dunia. Namun setelah Uni Soviet runtuh dan kalah dalam perang dingin, Amerika Serikat mendominasi serta

(2)

menjadi global leading power di bidang keantariksaan, bahkan bertahan hingga saat ini (Alvaretta, 2019).

Penguasaan terhadap ruang angkasa dianggap memiliki nilai lebih daripada area penguasaan lainnya yakni darat, laut maupun udara. Hal ini dikarenakan penguasaan dataran atau ruang yang lebih tinggi membuat jangkauan pemantauan menjadi luas dan jaminan terhadap pencegahan dan kewaspadaan akan ancaman peperangan menjadi lebih terkontrol. Situasi ini akan didukung dengan penciptaan teknologi tinggi dan negara yang mampu melakukan penguasaan yang kuat atas ruang angkasa akan dianggap unggul dan sulit disamai oleh negara lain. Hal ini menjadi faktor strategis yang menentukan peningkatan kemampuan militer terpadu oleh suatu negara, sekaligus menandai bahwa orientasi kepentingan eksplorasi ruang angkasa yang semula sifatnya riset dan damai, saat ini mulai digunakan sebagai instrumen power dan militer.

Dalam beberapa dekade pasca perang dingin, Amerika Serikat melakukan eksplorasi dengan tetap memegang predikat sebagai yang terunggul dalam bidang keantariksaan. Hal ini tidak terlepas dari keberadaan dan produktivitas NASA sebagai badan antariksa nasional milik Amerika Serikat yang bertanggung jawab untuk melakukan penelitian dan juga pengembangan yang berkaitan dengan ruang angkasa, termasuk pengembangan space weaponry (Triarda, 2015). Namun sejak munculnya China yang sangat gempar melakukan pengembangan dan kebangkitan Tiongkok dalam motto pembangunan terutama yang dibawa oleh presiden Xi Jinping yakni China’s Dream, China mulai menunjukkan eksistensinya sebagai pemain baru yang tidak hanya unggul dalam bidang seperti ekonomi dan perdagangan yang sempat mengancam Amerika Serikat dalam persaingan pasar global hingga terbentuknya perang dagang diantara keduanya. Kini China mulai menunjukkan eksistensinya pula dalam bidang keantariksaan. Meskipun dikatakan sebagai pemain baru, kebolehan China tidak dapat diremehkan dimana mereka mulai menunjukkan peningkatan kapasitas yang pesat dan mampu bersaing secara kualitas dengan Amerika Serikat. Strategi, program dan kebijakan pemerintah China terhadap astropolitik-nya cenderung ambisius dan banyak ditujukan untuk menggoyangkan supremasi Amerika Serikat (Dillow, 2017). Kondisi ini membuat Amerika Serikat mengalami tekanan dan merasa tersaingi oleh China meskipun dengan pergerakan yang bertahap. Dan pada akhirnya lahirlah kompetisi dan hubungan rivalitas yang sengit bernuansa militer juga teknologi antar kedua negara.

Perkembangan teknologi ruang angkasa China yang semakin bergerak maju menghasilkan implikasi persaingan yang cukup mengancam. Hal ini yang disebut dengan implikasi security dilemma yang oleh John Herz (1951) merupakan gagasan struktural bahwa kemandirian negara untuk mengurus keamanannya sendiri, cenderung memicu ketidaknyamanan di negara lain karena masing-masing negara menganggap tindakan yang diambilnya bersifat defensive dan tindakan yang diambil negara lain bersifat mengancam (Herz, 1951). Secara nyata hal ini ditunjukkan dalam persaingan antara Amerika Serikat dan China, dimana dalam perspektif China, keaktifan Amerika Serikat dalam dominasinya di ruang angkasa menjadi ancaman untuk keamanan nasional China. Sebaliknya, program ruang angkasa China yang berkembang sangat pesat juga menjadi ancaman bagi Amerika Serikat.

KERANGKA PEMIKIRAN

Politik Keantariksaan atau Astropolitics merupakan teori pengembangan geopolitik sebagai aplikasi strategis dari munculnya teknologi baru dalam bidang geografi, topografi, dan positional knowledge (pengetahuan pasional), termasuk ruang angkasa. Teori ini membahas mengenai hubungan antara wilayah antariksa dan teknologi, serta pengembangannya atas kebijakan – kebijakan politik, militer, maupun strategi. Menurut Dolman (2002), Astropolitik sendiri dapat dijabarkan sebagai penerapan visi realis terdepan dan terluas dari kompetisi

(3)

negara ke dalam kebijakan antariksa, khususnya perkembangan dan evolusi dari rezim internasional mengenai keterlibatan manusia di ruang angkasa. (Dolman, 2002). Lebih lanjut, dalam teori ini membahas mengenai hubungan antara state power dengan kapabilitas negara untuk mengontrol antariksa dengan tujuan meningkatkan dominasi negara di seluruh permukaan bumi.

Dolman (2002) mengaplikasikan disiplin geopolitik tradisional dengan membagi tata surya kedalam 4 bagian, yaitu (1) terra atau bumi, (2) angkasa bumi yakni daerah yang mencakup orbit geostasioner, (3) angkasa bulan yakni orbit diluar geostasioner, dan (4) angkasa tata surya yang mencakup semua daerah disekitar tata surya (Dolman, 2002).

Selanjutnya, semua penerbangan antariksa harus melintasi Orbit Bumi Terendah atau

Lower Earth Orbit (LEO) dimana orbit ini merupakan orbit terpenting dalam perspektif

strategi astropolis. Dalam teori Dolman, siapa yang menguasai Orbit Bumi Terendah atau

Lower Earth Orbit (LEO) akan menguasai angkasa yang paling dekat dengan bumi; siapa yang

mendominasi angkasa yang paling rendah dengan bumi, akan mengontrol bumi; dan siapa yang menguasai bumi akan menentukan nasib umat manusia. Berdasarkan pemahaman tersebut, strategi yang paling utama bagi negara manapun yang menginginkan dominasi antariksa secara lebih, akan mengontrol Orbit Bumi Terendah atau Lower Earth Orbit (LEO) yang merupakan prinsip pertama dari astropolitik (Imanino, 2014). Dengan demikian, strategi paling utama bagi negara manapun yang ingin mendominasi antariksa adalah dengan mengontrol orbit bumi terendah (LEO). Dan Dolman juga mengusulkan upaya yang harus dilakukan oleh sumber kekuatan dunia yakni Amerika Serikat untuk melakukan 3 hal, yakni; mundur dari rezim antariksa klasik dan memfokuskan diri pada prinsip kedaulatan pasar bebas di antariksa, menggunakan kemampuannya untuk merebut control militer atas orbit bumi terendah (LEO), dan mendefinisikan, memisahkan dan mengkoordinasi usaha-usaha proyek komersialisasi, privatisasi dan militerisasi antariksa (Imanino, 2014).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Astropolitik Amerika Serikat

Perkembangan dibidang penguasaan ruang angkasa oleh Amerika Serikat telah dimulai pasca perang dunia II dan berlanjut hingga masa perang dingin. Di era itu, dua kekuatan besar dunia yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet sedang berlomba-lomba menunjukkan kekuatan dalam berbagai bidang termasuk keantariksaan. persaingan dimulai ketika satelit pertama dari USSR yang bernama Sputnik I diluncurkan pada Oktober 1957, dimana Sputnik ini masih berupa bola besar dengan antena panjang dan teknologi yang digunakan juga sudah terlampau canggih di masa itu, dengan mengirimkan sinyal secara

(4)

berkala dan diterima melalui transmitter dari ruang angkasa ke bumi (Longsdon, 1991). Peluncuran tersebut membuat AS mengalihkan perhatiannya pada sektor ruang angkasa. Hal ini memunculkan era baru yang disebut space age dan kedua negara saling bersaing dalam space

race. Space race sendiri juga mendorong penelitian terhadap pengembangan roket yaitu

transportasi pendorong senjata misil, sehingga uji coba roket yang tidak hanya digunakan untuk misi-misi ruang angkasa saja namun juga dipakai dalam misil ulang alik.

Sebagai bagian dari visi untuk menjadikan Amerika sebagai negara yang superpower dan menjadi pelopor dalam ekplorasi antariksa, maka geostrategi yang efektif perlu dirancang. Selama perkembangannya, Amerika telah memasukkan pemanfaatan dan penggunaan antariksa dalam setiap sektor kehidupan negaranya. Mulai dari sosial atau sipil, ekonomi hingga militer pertahanan. Dari sektor sipil, melalui NASA, Amerika terus menerus melakukan eksplorasi ruang angkasa untuk membuka tabir pengetahuan yang masih tersimpan di alam semesta yang belum diketahui. Dengan berbagai misi yang telah diluncurkan sejak pembentukannya pada 1958, misi - misi ini juga memiliki daerah penelitian yang berbeda-beda. Seperti daerah sistem tata surya kita, Kuiper Belt, Oort Claud dan diluar sistem tata surya kita (deep space). Selain itu, terdapat juga penelitian robotik untuk asteroid (misi Clementine dan NEAR), komet (misi Stardust) dan meteor. Untuk penelitian Matahari terdapat sekitar 11 (sebelas) misi, planet Merkurius 1 misi, planet Venus 3 dengan misi, planet Bumi dan planet dalam tata surya kita lainnya yaitu Mars, Jupiter, Saturnus, Neptunus dan Uranus. Disamping itu, terdapat juga penelitian untuk bulan yang mengorbit planet-panet tersebut, seperti Bulan planet Bumi, Bulan Jupiter dan sebagainya (Launius, 2009). Eksplorasi yang dilakukan Amerika Serikat secara konsisten dilakukan bersamaan dengan pemenuhan kebutuhan mereka atas teknologi terbaru yang dapat membantu keberhasilan misi dan peralatan bagi kekuatan militer juga keamanan bagi negaranya. Hal ini yang secara konsisten membuat posisi Amerika Serikat adalah yang terkuat dalam bidang keantariksaan.

Perkembangan Astropolitik China

China sebenarnya telah melakukan aktivitas terhadap bidang keantariksaan sejak tahun 1955 yang berakar dari pengembangan senjata nuklir selama perang dingin. Pada tahun 1957, dengan adanya peluncuran Sputnik I oleh Uni Soviet, Mao Zedong sebagai Presiden China saat itu, menyatakan bahwa China juga perlu mengembangkan teknologi untuk mengirim satelitnya ke luar angkasa. Dan pada tahun 1960, China berhasil meluncurkan wahana antariksa pertama yang disebut roket T-7 dan juga satelit remote sensing, telekomunikasi, meteorologi, serta satelit untuk penelitian dan eksperimen ilmu pengetahuan (Alvaretta, 2019).

Pada 1985 China melakukan konferensi terbuka ruang angkasa internasional yang mengumumkan bahwa China memiliki keinginan untuk mengkomersialisasikan jasa peluncuran armada ruang angkasa dengan meluncurkan peluncur milik China yaitu Roket

Long March. China juga melakukan ekspansi pasar besar terhadap pasar satelit internasional

dan aktivitas industry peralatan antariksa lainnya. Selain itu China juga memberanikan diri membangun dan melakukan uji coba terhadap Anti Satelitte Weapons (ASATs). Uji coba ini membuktikan bahwa China merupakan salah satu aktor paling progresif dalam melakukan perkembangan terhadap teknologi ruang angkasa (Triarda, 2015). Dengan melakukan progresivitas dalam kemampuan teknologi keantariksaannya, China pun mendapat kemampuan tambahan disamping kemampuan dari perkembangan ekonominya. Hal ini dimanfaatkan sebagai salah satu kekuatan bagi China.

Kemajuan juga terjadi ditahun 1990an dengan menciptakan program-program baru seperti pengembangan pesawat ruang angkasa berawak dan sebuah stasiun ruang angkasa. China juga mendirikan badan sejenis NASA yakni Badan Antariksa Nasional China (CNSA)

(5)

dan juga perusahaan Dirgantara Sains dan Industri China (CASIC). Badan ini tercatat memiliki progress tercepat di dunia dan telah membuat berbagai pencapaian yang mengesankan dalam kurun waktu dua dekade terakhir. Kapasitas ekonomi China yang berkembang pesat menjadi suatu penyokong yang erat terkait dengan perkembangan program eksplorasi ruang angkasanya. Pada tahun 2000 China telah memiliki 20 ICBMs (Intercontinental Ballisctic Missile) dengan jarak jangkauan dan kapabilitas yang mampu menyerang Amerika Serikat. Terkait hal ini, China telah menuangkan roadmap berisi pembangunan keantariksaan yang berisi ambisi China untuk dapat menggantikan posisi Amerika Serikat dalam supremasinya di bidang keantariksaan. Roadmap ini dituangkan dalam bentuk White Paper China’s Space Activity yang dikeluarkan 5 tahun sekali berisi pencapaian dan kemajuan program antariksa China serta agenda dalam lima tahun selanjutnya.

Rivalitas Amerika Serikat dan China

Sejak masa perang dunia, ketika Amerika Serikat mulai mengandalkan persenjataan nuklir dan melakukan eksplorasi ruang angkasa dan persenjataan lain berbasis militer keantariksaan bersama dengan Uni Soviet, China telah memiliki keinginan untuk mengejar kemampuan itu. Meskipun memulai dengan kemampuan terbatas dan belum dengan dukungan yang mumpuni dari pemerintah dan juga dari segi pembiayaan, ambisi China telah membawa progress yang terlihat dan selalu meningkat secara signifikan. Dan dengan kondisi China pada era ini, dimana China mulai menunjukkan wajah barunya dalam agenda kebangkitan Tiongkok, China mampu melakukan kemajuan yang pesat diberbagai bidang dan kini didiakui dunia sebagai pesaing terberat Amerika Serikat diberbagai bidang. Yang paling menonjol dari China pada saat ini adalah kemampuannya untuk menguasai pasar bebas dan mengontrol perekonomian negara baik dari dalam maupun ke luar, sehingga saat ini China sangat diperhitungkan dunia. Kemajuan dibidang ekonomi ini menjadi pendukung paling utama bagi China untuk dapat semakin meningkatkan kemampuannya dalam eksplorasi ruang angkasa dan penciptaan teknologi baru terkait kemiliteran dan penguasaan ruang angkasa. Kondisi ini menjadikan perkembangan China dalam keantarikasaan semakin menekan dan mengancam posisi Amerika Serikat yang telah bertahan sebagai pusat kekuatan dunia diberbagai bidang, khususnya dalam bidang keantariksaan selama kurun waktu yang lama.

Persaingan keduanya terlihat jelas dalam bentuk respon-respon yang saling ditunjukkan atas suatu pembaruan atau kemajuan yang sedang diupayakan baik dari Amerika Serikat maupun China. Hubungan rivalitas keduanya saat ini, berbeda dengan kompetisi yang terjadi pada masa perang dingin. Keduanya berada dalam kondisi paradoks dimana konstelasi politik dan ideologi dari kedua negara berlangsung secara terang-terangan atau transparan. Artinya, kedua negara memang secara terbuka menyatakan bahwa terdapat benturan kepentingan satu sama lain (Syahrin, 2018). Keterbukaan persaingan ini dapat dilihat ketika Amerika Serikat menyatakan dengan transparan di dalam National Security Strategy (NSS) bahwa China menantang kekuatan dari Amerika Serikat. Secara khusus, NSS mengklaim bahwa China berusaha menggeser pengaruh Amerika Serikat dengan memperluas jangkauan ekonomi dibawah kendali China.

Secara garis besar, dalam persaingan astropolitik dan penguasaan ruang angkasa seperti yang dinyatakan dolman yaitu kegiatan militarization of space, weaponization of space dan juga commercialization of space. Dalam kegiatan militerisasi (militarization) enderung pada penggunaan teknologi ruang angkasa untuk tujuan militer, seperti penyediaan satelit yang mendukung operasi militer. Sedangkan weaponization of space berkaitan dengan kegiatan mempersenjatai ruang angkasa untuk tujuan perang antariksa. Dan commercialization of space berkaitan dengan akplikatif atas keantariksaan untuk kepentingan praktis ekonomis.

(6)

Bentuk persaingan pertama yang terjadi adalah respon Amerika Serikat yang muncul atas keberhasilan China membentuk 20 Intercontinental Ballistic Missile pada tahun 2000. Respon yang ditunjukkan pada saat itu ialah pada bulan Mei 2001, Presiden George W. Bush mengumumkan rencana program National Missile Defence (NMD) yang merupakan program pertahanan dengan tujuan untuk melindungi wilayah territorial Amerika Serikat dari serangan misil seperti ICBM milik China (Norton, 2001). Selain itu Amerika Serikat juga memutuskan untuk menarik diri daari Anti-Ballistic Missile Treaty 1972 yang juga ditunjukkan sebagai respon atas peningkatan kapasitas China di ruang angkasa.

Kompetisi keduanya juga kembali terjadi di tahun 2003, dimana dalam laporan berjudul Transformation Flight Plan yang berisi sejumlah sistem senjata luar angkasa yang dimiliki oleh Amerika Serikat jika terjadi perang antariksa. Dan didalam laporan ini juga terdapat dokumen berisi tujuan Amerika Serikat dalam mempertahankan superioritasnya di luar angkasa. Laporan ini kemudian memicu respon China untuk melakukan tiga rangkaian demonstrasi Anti-Satelite Weapons (ASAT) pada Oktober 2005, serta April dan November 2006. Kemudian diberi respon kembali oleh Amerika Serikat dengan menyatakan bahwa mereka dapat menggunakan kapasitas dan kapabilitas di luar angkasa apabila diperlukan ketika mendapat ancaman terhadap keamanan nasional Amerika Serikat. Respon terhadap uji coba ASAT ini tercantum dalam National Space Policy (NSP) tahun 2006. Hal ini justru memicu China untuk melakukan uji coba lanjutan terhadap ASAT pada tahun 2007.

Kemudian di tahun 2008 Amerika Serikat melakukan Operation Burnt Forst yang merupakan bentuk demonstrasi kemampuan Amerika Serikat dalam menanggapi uji coba ASAT oleh China. Signifikansi perkembangan teknologi luar angkasa Cina akhirnya menjadi alasan dilakukannya pengesahan terhadap sebuah kebijakan yang dirumuskan oleh Kongres Amerika Serikat pada April 2011 berisi pelarangan NASA (National Aeronautics and Space Administration) untuk terlibat perjanjian, koordinasi bilateral, maupun segala bentuk kerja sama dengan CNSA (China National Space Administration). Keputusan tersebut turut memperjelas posisi Cina yang tidak dapat bergabung di dalam program kolaborasi antariksa internasional yaitu International Space Station (ISS) setelah sebelumnya Cina menyatakan ingin bergabung dalam keanggotaan ISS. Penolakan tersebut merupakan salah satu strategi kompetisi yang dilakukan Amerika Serikat dengan tujuan untuk menghambat progresivitas program keantariksaan Cina (Kluger, 2015).

Rivalitas keduanya terus berlanjut dan semakin sengit dengan keberhasilan China di sepanjang tahun 2018 dimana China meluncurkan roket jauh lebih banyak dari negara lain, yaitu 39 roket, sedangkan Amerika Serikat 31 roket, menyusul Rusia 20 roket dan Eropa 8 roket. China juga berhasil mendaratkan astronautnya di sisi terjauh bulan yang pernah dijangkau oleh manusia dalam eksplorasi bulan oertama kali dilakukan di dunia. Baik Amerika Serikat maupun China semakin berlomba- lomba melakukan pembaruan dan kemajuan atas penguasaan ruang angkasa, serta memperbaiki kebijakan astropolitik yang penting dalam pertahanan dan kemanan nasional masing-masing negara.

KESIMPULAN

Wilayah ruang angkasa menjadi areal yang pada saat ini menjadi penting untuk diperhatikan, baik perlengkapan dan teknologinya, maupun strategi pengamanannya. Strategi dalam pengamanan dan hal-hal yang berkaitan dengan keantariksaan ini disebut dengan

Astropolitik dimana strategi kebijakan secara keseluruhannya menjadi dasar yang penting

terutama untuk bidang keamanan. Wilayah ruang angkasa dianggap sebagai wilayah yang penting karena penguasaannya sangat berpengaruh terhadap keamanan wilayah di areal lainnya seperti darat, laut dan udara. Oleh karena itu, negara-negara mulai menunjukkan perhatiannya pada sektor luar angkasa, namun kepentingan yang sama untuk pengamanan

(7)

wilayah luar angkasa oleh negara- negara di dunia menciptakan gesekan kepentingan yang membuat adanya persaingan atas penguasaan ruang angkasa itu sendiri. Salah satunya adalah persaingan antara Amerika Serikat sebagai super power dan China yang muncul sebagai salah satu kekuatan baru yang tidak dapat diremehkan kekuatannya sehingga dinilai menjadi ancaman baru.

Hubungan rivalitas antara Amerika Serikat merupakan suatu perwujudan dari adanya

security dilemma dimana masing-masing negara akan selalu merasa teranam atas kemajuan yang

berhasil diciptakan oleh negara lain karena dianggap dapat mengancam keamanan nasional negaranya. Perilaku kedua negara sangat menggambarkan naturalisasi dari sifat aktor negara yang selalu ingin melindungi kepentingan negaranya. Namun dari kasus ini, terdapat motto atau tujuan baru yang membuat hubungan rivalitas keduanya semakin panas, yakni keinginan untuk meraih status sebagai global leading power khususnya dalam sektor keantariksaan. Inovasi dan penciptaan teknologi ruang angkasa memang dirasa baik sebagai bentuk persenjataan, perlengkapan dalam tujuan ilmiah yang penting bagi dunia secara luas. Namun karena persaingan ini, terdapat bentuk-bentuk kecurigaan yang membuat transparansi dari keberhasilan pembuatan teknologi cenderung banyak yang tidak diberitakan.

DAFTAR PUSTAKA

Alvaretta, S. (2019). Astropolitik Amerika Serikat sebagai Respon Pengembangan Senjata Antariksa Cina.

Dillow, C. (2017, 03). China's secret plan to crush SpaceX and the US space program. Retrieved from CNBC.com: https://www.cnbc.com/2017/03/28/chinas-secret-plan-to-crush-spacex-and-the-us-space-program.html

Dolman, E. (2002). Astropolitics: Classical Geopolitics in the Space Ager. London: Frank Cass Publisher.

Herz, J. (1951). Political Realism and Political Idealism. Chicago: University of Chicago Press. Imanino, I. (2014). Kelembaman Perjanjian Antariksa: Aplikasi Politis Astropolitik Dolman

Terhadap Praktik Komersialisasi Antariksa (Studi Kasus Komersialisasi International Space Station). Global & Policy Vol.2, 17.

Launius, R. D. (2009). United States Space Cooperation and Competition: Historical Reflection. Astropolitics.

Longsdon, J. M. (1991). Together in Orbit: The Origins of International Participation in Space Station

Freedom. Washington: NASA Contractor Report 4237.

Repository UNPAS. (2017). Kebijakan Keantariksaan China dalam APSCO.

Triarda, R. (2015). Astropolitik: Signifikansi Ruang Angkasa Terhadap Posisi China dalam Hubungan Internasional. Interdepedence Jurnal , 48.

Referensi

Dokumen terkait

MERESPON KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG PENINGKATAN KUALITAS SDM MELALUI PENDIDIKAN, YAITU PARADIGMA BARU PENDIDIKAN DALAM ERA OTONOMI PENDIDIKAN DEWASA INI, SERTA

pengemudi dan penumpang saat digunakan, perancangan frame yang tepat akan memberikan hasil yang optimal antara tingkat keamanan dan kenyamanan, tujuan perancangan rangka kali

Basil Pertanian, laboratorium Bangszl Percontohzn Pengolahan Basil Fertanian dan laboratorium k a a t lenelitian dan Pengem- bangan Teknologi Pangan, Institut Pertanian

Uji hipotesis yang digunakan adalah uji T satu pihak untuk mengetahui apakah berpikir kritis dan sikap peduli siswa terhadap bencana yang diajar dengan model

Apabila telah dinyatakan nya, bahwa agama itu adalah nasihat kepunya- an Allah, kepunyaan Rasul-nya, kepunyaan orang-orang yang beriman baik khusus kepada individu-individu maupun

Untuk itu maka permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah “Apakah terdapat hubungan antara penerapan transparansi dan akuntabilitas terhadap pengelolaan keuangan

Pelaksanaannya kegiatan mentoring ekstrakurikuler Rohis didukung oleh sekolah dengan menyediakan sarana dan prasarana, dana kegiatan Rohis, dan izin kegiatan

Persegi Panjang adalah: bangun datar yang mempunyai sisi berhadapan yang sama panjang, dan memiliki empat buah titik sudut siku-siku.