• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI LANSKAP BUDAYA KAMPUNG CIPTAGELAR, KABUPATEN SUKABUMI DAN UPAYA PELESTARIANNYA ALMAVIVA NURJANAH A

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI LANSKAP BUDAYA KAMPUNG CIPTAGELAR, KABUPATEN SUKABUMI DAN UPAYA PELESTARIANNYA ALMAVIVA NURJANAH A"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI LANSKAP BUDAYA KAMPUNG CIPTAGELAR,

KABUPATEN SUKABUMI DAN UPAYA PELESTARIANNYA

ALMAVIVA NURJANAH

A34201039

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006

(2)

RINGKASAN

ALMAVIVA NURJANAH. Studi Lanskap Budaya Kampung Ciptagelar,

Kabupaten Sukabumi dan Upaya Pelestariannya. Di bawah bimbingan

NURHAYATI HADI SUSILO ARIFIN.

Studi ini bertujuan mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tatanan lanskap budaya pemukiman Kampung Ciptagelar serta dampaknya terhadap fungsi kawasan sebagai zona inti Taman Nasional Gunung Halimun-Salak juga mengusulkan konsep pelestarian lanskap sesuai dengan fungsi tapak. Studi di lapang dillakukan mulai bulan Maret 2005 hingga Juni 2005. Lokasi studi berada di Kampung Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat.

Studi ini dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu: 1) pengumpulan data, 2) analisis data, dan 3) sintesis hasil analisis. Pengumpulan data dilakukan melalui metode survey tentang lanskap Kampung Ciptagelar, kondisi dan aktivitas masyarakatnya serta aspek pengelolaan lanskap baik oleh masyarakat

kasepuhan Ciptagelar maupun oleh pihak Taman Nasional Gunung

Halimun-Salak. Data diperoleh dari pengamatan dan wawancara di lapang serta sumber pustaka dan nara sumber JICA (Japan Internarnational Cooporation Agency, salah satu lembaga kerjasama Jepang-Indonesia yang menangani beberapa

project mengenai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak). Tahap analisis,

meliputi analisis deskriptif untuk menjelaskan tatanan lanskap, fungsi dan makna elemen-elemen serta faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk dan tata letak elemen-elemen tersebut atau tatanan lanskap secara keseluruhan; analisis secara spasial untuk menjelaskan kesatuan unit lanskap Kampung Ciptagelar dan konsep ruang yang diterapkan, serta analisis keberlanjutan untuk mengetahui kondisi atau peluang keberlanjutan lanskap budaya yang ada. Pada tahap sintesis disusun konsep dalam upaya pelestarian dan pengelolaan lanskap budayanya.

Dari hasil studi diketahui bahwa Kampung Ciptagelar merupakan salah satu kampung tradisional Jawa Barat yang menganut sistem Kasepuhan dimana dalam bermukim, mereka selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain tergantung dari ‘wangsit’. Adanya pernyataan mengenai ‘wangsit’ untuk berpindah atau meluaskan kampung diduga sebagai pemecahan masalah daya dukung lingkungan yang tidak sesuai lagi dengan kepadatan penduduk dan perkembangan kampung. Namun perpindahan kampung di kawasan ini berarti perambahan hutan yang memberikan dampak negatif terhadap fungsi zona inti Taman nasional Gunung Halimun-Salak.

Tata guna lahan pada masyarakat adat kasepuhan di Desa Sirnaresmi secara umum terdiri atas hutan alam, hutan ulayat, kebun/talun/huma, makam, sawah dan pemukiman. Pola Kampung Ciptagelar didominasi oleh sawah teras di bagian atas dan bangunan-bangunan pemukiman yang mengelompok di bagian tengah. Pola rumahnya sangat teratur dan rapat. Buruan gede adalah

central point dari kampung ini. Elemen-elemen lanskap pemukiman Kampung

Ciptagelar terdiri dari imah rurukan di ruang sesepuh girang. Imah gede,

pangkemitan, leuit, leuit si jimat, podium, bale sesepuh, kamar mandi permanen, panyayuran, ajeng wayang golek, ajeng jipeng, ajeng siaran, pasanggrahan,

mushola di topografi atas tepatnya di ruang fasilitas adat. Rumah masyarakat (imah), ajeng topeng dan beberapa tampian di topografi tengah atau di ruang

incu putu. Sedangkan tampian dan kandang ternak di topografi bawah. Elemen

(3)

pangan, estetik, fisik, ekonomi dan adat. Jenis elemen lunak yang paling dominan adalah tanaman hanjuang (Dracaena fragrans).

Konsep tata ruang Kampung Ciptagelar dapat dibagi menjadi tata ruang makro, tata ruang meso dan tata ruang mikro. Masing-masing tata ruang mempunyai pola dan stratifikasi secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal dibagi menjadi ruang hutan, ruang pertanian dan ruang pemukiman. Sedangkan secara vertikal, ruang makro terdiri ruang hutan (hutan kolot/awisan, hutan titipan dan hutan sampalan, makam, talun) di bagian atas, ruang produksi/pertanian di sekeliling pemukiman dan ruang pemukiman di bagian tengah. Tata ruang meso merupakan tata ruang pemukimannya yang dibagi menjadi ruang sesepuh girang di bagian teratas, ruang fasilitas adat yang juga di bagian teratas dan ruang incu putu di bagian bawah. Tata ruang mikro adalah tata ruang baik secara vertikal maupun horizontal pada skala rumah. Tata ruang mikro secara horizontal dibagi menjadi ruang ruang keluarga di bagian depan,

padaringan, dapur dan engon di bagian belakang. Sedangkan tata ruang mikro

secara vertikal dibagi ruang lumbung di bagian atas, ruang manusia di bagian tengah dan ruang ternak di bagian bawah.

Aktivitas masyarakat adat Kampung Ciptagelar terdiri dari aktivitas sosial budaya sehari-hari dan aktivitas ritual yang berhubungan dengan siklus pertanian, berhubungan dengan siklus hidup, aktivitas ritual yang berhubungan dengan keagamaan. Pengelolaan lanskap oleh masyarakat adat Kampung Ciptagelar dilakukan sesuai petunjuk adat (melalui sesepuh girang) dan batasan-batasannya juga dipersepsikan melalui larangan-larangan yang ada. Selain itu,

sesepuh girang juga memiliki orang-orang yang dipercaya untuk melakukan

tugas-tugas yang bersifat adat yang dinamakan lembaga adat.

Tatanan lanskap Kampung Ciptagelar merupakan pola atau tata ruang yang di dalamnya terdapat elemen-elemen lanskap pembentuknya, ragam jenis, tata letak, bentuk/disain, fungsi dan makna elemen-elemen tersebut yang dipengaruhi oleh faktor kepercayaan, sosial budaya dan alam. Tatanan lanskap dan sikap budaya masyarakat adat sebenarnya adalah upaya mempertahankan keberlanjutan masyarakat adat. Namun upaya berpindah kampung yang selama ini terjadi memberikan dampak negatif secara ekologis dari sudut pandang pengelola TNGHS, karena kawasan yang ditempati merupakan zona inti TNGHS. Kebijakan pemerintah atau Taman Nasional dan intervensi Taman Nasional dan Lembaga Swadaya Masyarakat pada umumnya untuk membantu masyarakat adat agar tidak merusak Taman Nasional. Masyarakat adat sendiri menyeleksi introduksi teknologi yang sesuai dengan adat mereka. Sedangkan tentang aktivitas wisata, belum ada rencana pengelolaan wisata. Hal ini dikhawatirkan akan merusak tatanan lanskap yang ada dan sistem ekologis di dalam kawasan TNGHS.

Kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan masyarakat adat dan pengelolaan kawasan di antaranya kebijakan pemerintahan dalam bidang kebudayaan, masyarakat hukum adat, pengelolaan masyarakat adat terhadap hutan, konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya dan juga aktivitas wisata. Kebijakan yang ada cukup membantu dalam keberlanjutan hidup walaupun kebijakan dari pemerintah belum terlalu mempengaruhi terhadap pengelolaan berdasarkan adat.

Campur tangan pihak luar dalam pengelolaan lanskap datang dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Mahasiswa Pencinta Alam dan Pemerintah. Dalam pengelolaan kampung yang bersifat adat, tidak ada campur tangan dari pihak manapun. Faktor luar ini cukup kuat mempengaruhi keberlanjutan masyarakat adat dan kelestarian hutan.

(4)

Untuk pengelolaan lanskap kawasan, diusulkan konsep pengelolaan yang konsepnya melindungi keberadaan masyarakat adat kasepuhan Kampung Ciptagelar beserta budaya dan karakter lanskap serta mempertahankan dan memelihara kawasan di sekitarnya sebagai kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Untuk mewujudkan konsep pengelolaan pelestarian perlu dilakukan koordinasi dan kesepakatan antara tiga stakeholders yaitu pihak pengelola TNGHS, LSM dan masyarakat adat. Pengelola TNGHS mengelola langsung kawasan dengan memperhatikan keberadaan masyarakat adat dan masukan-masukan dari LSM yang dalam programnya perlu kerjasama dari pihak masyarakat adat dan pengelola TNGHS. Sedangkan masyarakat adat sendiri mengelola langsung kampungnya yang berada di dalam kawasan Taman Nasional. Dalam studi ini diusulkan konsep zonasi lanskap untuk disepakati oleh masyarakat adat dan pengelola TNGHS. Zonasi lanskap yang direncanakan dibuat dengan menetapkan kawasan Kampung Ciptagelar berada di zona pemanfaatan TNGHS. Perubahan atau pengurangan bagian zona inti menjadi zona pemanfaatan (untuk Kampung Ciptagelar) juga perlu dilakukan secara cermat, agar tidak mengganggu atau merusak fungsi zona inti. Sedangkan untuk akses masuk ke dalam Kampung Ciptagelar, dibuat jalur khusus agar lalu-lalang manusia terkonsentrasi pada jalur tersebut dan tidak merusak lingkungan sekitarnya.

Setelah disepakati rencana pengelolaan dan zonasi lanskap pengelolaan antara masyarakat adat dan pengelola TNGHS, perlu dilakukan tindakan-tindakan yang menunjang pelestarian kampung dan kawasannya. Tindakan tersebut dapat dibedakan menjadi tindakan yang dilakukan oleh masyarakat adat dan tindakan yang dilakukan oleh pengelola TNGHS. Selain masyarakat adat dan pengelola TNGHS, Pemda juga diharapkan perhatian dan peranannya baik melalui kebijakan maupun tindakan atau program-program untuk membantu keberlanjutan masyarakat adat (khususnya Kampung Ciptagelar) dan juga kelestarian Taman Nasional. Pemda juga perlu mengakomodir dan membantu masyarakat adat yang mencari penghidupan di luar Taman Nasional.

(5)

STUDI LANSKAP BUDAYA KAMPUNG CIPTAGELAR,

KABUPATEN SUKABUMI DAN UPAYA PELESTARIANNYA

ALMAVIVA NURJANAH

A34201039

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006

(6)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian

:

STUDI LANSKAP BUDAYA KAMPUNG

CIPTAGELAR, KABUPATEN SUKABUMI DAN

UPAYA PELESTARIANNYA

Nama Mahasiswa : Almaviva Nurjanah

NRP

: A34201039

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Dr. Ir.Nurhayati Hadi Susilo Arifin, MSc.

NIP.131 578 796

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr

NIP. 130 422 698

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, 2 Juni 1983 sebagai anak tunggal dari pasangan Muhammad Napis Tadjeri dan Sitti Djamillah. Jenjang pendidikan formal penulis diawali di TK Amaliah, Ciawi (1987-1989), kemudian SD Amaliah, Ciawi (1989-1995), SMPN 1 Bogor (1995-1998), hingga SMUN 2 Bogor (1998-2001). Pada tahun 2001, melalui jalur USMI, penulis diterima di Program Studi Arsitektur Lanskap Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Selama di IPB, penulis aktif di berbagai kegiatan kampus. Pada tahun 2001, penulis mengikuti training untuk announcer, script writter and librarian di radio kampus (Agri FM). Tahun 2003, penulis menjadi koordinator Pubdekdok kompetisi futsal se-Bogor. Selain itu, penulis pernah aktif dalam beberapa kegiatan yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Agronomi lainnya seperti Masa Perkenalan Departemen dan Lintas Desa. Pada tahun terakhir kuliah yaitu tahun 2005, penulis juga menjadi volunteer data operator (entry data) di Japan

International Cooperation Agency (JICA)-Halimun Project, lembaga dari Jepang

yang bekerjasama dengan Indonesia yang menangani project Gunung Halimun-Salak.

(8)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. wb.

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan karunia-Nya, serta shalawat dan salam kepada Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang setia dan istiqomah hingga akhir zaman. Penyusunan tugas akhir ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Dengan segala hormat dan hati yang tulus penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr Ir Nurhayati Hadi Susilo Arifin, MSc. yang dengan penuh kesabaran membimbing penulis selama studi. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan kegiatan studi hingga tersusunnya skripsi ini, yaitu :

1. Prof Hadi Susilo Arifin dan Ir Qodarian Pramukanto, MSc sebagai dosen penguji atas saran dan masukannya

2. Ayahanda (Alm. H.M. Napis Tadjeri) dan Ibunda (Siti Djamillah) yang tercinta terima kasih atas kasih sayang dan dorongan serta kakak-kakak tercinta

3. Abah Anom , Emak, A Ugi, A Nde, Ci Putri dan masyarakat adat Kampung Ciptagelar atas diterimanya penulis di tengah-tengah kehidupan berbudaya

4. Bapak Amil Buchori dan keluarga, Ua Ugis atas kebaikan beliau-beliau yang membimbing penulis selama di lapang

5. Budi Nurzaman atas bimbingan dan pengetahuannya mengenai “orang-orang yang bersembunyi di tempat yang terang”

6. Japan International Coorperation Agency-Halimun Project (Pak Miura, Pak Toyota dan Pak Kobayashi) atas bantuannya dalam pengambilan data

7. Staf Taman Nasional Gunung Halimun-Salak atas bantuannya dalam mengkonfirmasi data

8. Oben, Indra dan Frandos atas bantuan dalam pembuatan layout peta 9. Teman-teman Lanskap 38 dan Nura atas kebersamaannya selama kuliah 10. Yuki Kazuya dan Ami Takahasi atas kebersamaannya di Halimun

(9)

Akhir kata penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk kelancaran dan kesempurnaan pelaksanaan studi. Semoga hasil studi ini berguna bagi dunia pendidikan dan pengetahuan yang sangat menjunjung tinggi nilai adat dan budaya.

Bogor, Februari 2006

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 2 Kegunaan Studi... 2 Batasan Studi ... 3 TINJAUAN PUSTAKA... 4 Lanskap Budaya ... 4 Pemukiman Tradisional ... 4

Pelestarian Lanskap Budaya ... 5

Sejarah Masyarakat Kasepuhan ... 8

METODOLOGI ... 11

Lokasi dan Waktu ... 11

Metode dan Tahapan Studi ... 11

KONDISI UMUM LOKASI STUDI ... 15

Sejarah Kampung Ciptagelar ... 15

Batas Lokasi Studi ... 16

Aksesibilitas dan Sirkulasi ... 16

Iklim ... 20

Geologi, Tanah dan Topografi... 20

Hidrologi ... 21

View ... 22

Sosial Ekonomi ... 24

DATA DAN ANALISIS... 26

Tata Guna Lahan ... 26

(11)

Pola Kampung ... 28

Elemen-Elemen Lanskap Pemukiman Kampung Ciptagelar ... 32

Analisis Konsep Tata Ruang ... 44

Tata Ruang Makro... 44

Tata Ruang Meso ... 45

Tata Ruang Mikro ... 47

Aktivitas Masyarakat Adat Kampung Ciptagelar... 50

Pengelolaan Lanskap ... 55

Pengelolaan Lanskap Oleh Masyarakat ... 55

Kebijakan Pemerintah ... 57

Campur Tangan Pihak Luar ... 59

Analisis Keberlanjutan ... 60

Tatanan Lanskap ... 60

Sikap atau Budaya Masyarakat ... 63

Pengaruh Luar ... 65

Kebijakan Pemerintah ... 66

USULAN PELESTARIAN PENGELOLAAN LANSKAP ... 68

Konsep Umum ... 68

Rencana Pengelolaan Pelestarian ... 68

Zonasi Lanskap ... 70

Tindakan Pengelolaan Pelestarian ... 72

KESIMPULAN DAN SARAN... 74

Kesimpulan ... 74

Saran... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 76

(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Teks

1 Jenis dan Sumber Data ... 14 2 Alternatif Kendaraan dan Waktu Tempuh Menuju Kampung

Ciptagelar ... 18 3 Jenis Aset Keluarga Responden di Desa Sirnaresmi ... 25 4 Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga (Responden) di Desa Sirnaresmi ... 25 5 Jenis dan Fasilitas Umum Kampung Ciptagelar ... 25

6 Tata Guna Lahan di Desa Sirnaresmi ... 25

7 Sifat dan Fungsi Penggunaan Lahan Terbuka ... 29

8 Tata Ruang Mikro Berdasarkan Aktivitas Keseharian

Laki-laki dan Wanita ... 49 9 Aktivitas Ritual yang Dilakukan Masyarakat Adat Kampung

Ciptagelar ... 50

(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Teks

1 Peta Lokasi Studi ... 12

2 Diagram Tahapan Studi ... 13

3 Batas Area Studi ... 17

4 Kondisi Jalur 1 Menuju Kampung Ciptagelar ... 19

5 Kondisi Jalur 2 Menuju Kampung Ciptagelar dan Illegal Logging ... 20

6 Pemukiman Masyarakat Adat... 21

7 Retaining Wall ... 21

8 View Kampung Ciptagelar ... 23

9 Jenis Mata Pencaharian Penduduk Desa Sirnaresmi ... 24

10 Peta Tata Guna Lahan Desa Sirnaresmi ... 27

11 Sawah Teras ... 29

12 Layout Kampung Ciptagelar ... 30

13 Perspektif Kampung Ciptagelar... 31

14 Imah Rurukan (kiri) dan Imah Gede (kanan)... 33

15 Pangkemitan Terbesar ... 35

16 Leuit (kiri) dan Leuit Si Jimat (kanan) ... 37

17 Podium (kiri) dan Bale Sesepuh (kanan) ... 37

18 Tampian (kiri) dan Kamar Mandi Komunal Permanen (kanan) ... 38

19 Ajeng Wayang Golek (kiri atas), Ajeng Topeng (kanan atas) dan Ajeng Siaran (bawah) ... 40

20. Kandang Ayam (atas) dan Kandang Ternak Kambing (bawah) ... 41

21 Saung Lisung ... 42

22 Bangunan Pasanggrahan (kiri) dan Mushola (kanan) ... 43

(14)

24 Konsep Ruang Makro Kampung Ciptagelar Secara Horizontal ... 44

25 Konsep Ruang Makro Kampung Ciptagelar Secara Vertikal... 45

26 Tata Ruang Horizontal Pemukiman Kampung Ciptagelar ... 46

27 Tata Ruang Vertikal Pemukiman Kampung Ciptagelar ... 46

28 Tata Ruang Horizontal Rumah Masyarakat Adat Kampung Ciptagelar ... 48

29 Hawu dan Batas Palupuh dengan Papan Kayu ... 48

30 Tata Ruang Vertikal Rumah Masyarakat Adat Kampung Ciptagelar ... 50

31 Aktifitas Ngasah ... 53

32 Upacara Seren Taun ... 53

33 Dog-dog Lojor dan Wayang Golek ... 56

34 Keterkaitan Stakeholders Pengelolaan Kampung Ciptagelar... 69

35 Zonasi Lanskap Pengelolaan Kampung Dalam Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNHGS)... 71

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

Teks

1 Tanaman Pekarangan Kampung Ciptagelar ... 79 2 Struktur Adat Kasepuhan... 81 3 Peta Zonasi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

(Kawasan Lama) ... 83 4 Overlay Kawasan Lama dan Kawasan Baru Taman Nasional

Gunung Halimun-Salak... 83 5 Daftar Istilah ... 84

(16)

“...

b

b

i

i

a

a

r

r

k

k

a

a

n

n

m

m

e

e

r

r

e

e

k

k

a

a

b

b

e

e

r

r

s

s

e

e

m

m

b

b

u

u

n

n

y

y

i

i

d

d

i

i

t

t

e

e

m

m

p

p

a

a

t

t

y

y

a

a

n

n

g

g

t

t

e

e

r

r

a

a

n

n

g

g

,

,

b

b

i

i

a

a

r

r

l

l

a

a

h

h

n

n

a

a

m

m

a

a

m

m

e

e

r

r

e

e

k

k

a

a

t

t

e

e

t

t

a

a

p

p

s

s

a

a

m

m

a

a

r

r

-

-

s

s

a

a

m

m

a

a

r

r

.

.

.

.

a

a

m

m

a

a

n

n

m

m

e

e

n

n

y

y

e

e

l

l

i

i

n

n

a

a

p

p

d

d

i

i

b

b

a

a

l

l

i

i

k

k

l

l

a

a

p

p

i

i

s

s

d

d

e

e

m

m

i

i

l

l

a

a

p

p

i

i

s

s

k

k

a

a

b

b

u

u

t

t

H

H

a

a

l

l

i

i

m

m

u

u

n

n

y

y

a

a

n

n

g

g

t

t

e

e

t

t

a

a

p

p

m

m

e

e

n

n

j

j

a

a

d

d

i

i

k

k

e

e

n

n

a

a

n

n

g

g

a

a

n

n

.

.

.

.

.

.

(

(

A

A

d

d

i

i

m

m

i

i

h

h

a

a

r

r

j

j

a

a

,

,

1

1

9

9

9

9

2

2

)

)

PENDAHULUAN

(17)

Latar Belakang Studi

Sebagai negara kepulauan, Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan berbagai macam suku dan budaya. Kebudayaan ini tercermin dalam adat istiadat, kesenian, arsitektur bangunan, pola lanskap dan pola pemukiman sekitar. Budaya yang diwariskan secara turun temurun digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, baik untuk lingkungan fisik maupun sosial. Perkembangan budaya dapat dipengaruhi oleh faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal ini berupa kepatuhan masyarakat dalam menjalankan adat budayanya sedangkan faktor eksternal yaitu dampak aktivitas wisata serta pengelolaan dan aspek legal yang diterapkan. Keaslian dari budaya akan hilang apabila pengaruh dari faktor eksternal sangat kuat dan apabila pengaruh internal cukup kuat maka kemungkinan hilangnya keaslian dari budaya pun kecil .

Budaya merupakan ciri atau identitas atau keunikan dari suatu bangsa atau masyarakat. Jika budaya tersebut mengalami penurunan atau degradasi, maka keunikan dari suatu bangsa atau masyarakat akan turut hilang. Suatu keunikan yang bernilai positif selayaknya dilestarikan agar dapat dipelajari, dikembangkan nilai positifnya dan melengkapi keanekaragaman budaya suatu bangsa.

Kampung Ciptagelar yang terletak di Desa Sirnaresmi, Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu perkampungan masyarakat Jawa Barat yang masih memelihara dan menjaga warisan budaya dan adat para leluhurnya. Kampung ini juga merupakan bagian dari kampung adat kasepuhan yang tersebar di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Kampung Ciptagelar dipimpin oleh seorang kepala adat (sesepuh girang) yang biasa dipanggil dengan sebutan Bapak Kolot atau Abah Anom. Kampung ini memiliki keunikan dan kearifan lokal, dimana hal tersebut menjadi aset kekayaan budaya tersendiri bagi masyarakat Jawa Barat. Adat budaya yang mereka anut selalu mereka patuhi dari generasi ke generasi, baik itu menyangkut adat keseharian, ritual, pola perkampungan maupun arsitektur bangunannya.

Perkampungan kasepuhan seringkali berpindah tempat sesuai atau seiring dengan perintah dari kepala adat yang dipercaya telah mendapat wangsit dari Yang Maha Kuasa. Perpindahan kampung pada saat ini dengan jumlah penduduk yang cukup besar seringkali tidak sesuai dengan daya dukung lingkungan yang baru, Permasalahan lingkungan semakin bertambah jika

(18)

kampung baru berlokasi di kawasan yang dilindungi seperti zona inti (zona konservasi) suatu Taman Nasional. Permasalahan juga terjadi karena adanya perbedaan persepsi dalam pengelolaan lanskap pihak masyarakat adat menganggap bahwa mereka mengelola kawasan pemukiman sesuai konsep ruang yang mereka anut secara turun menurun, sedangkan pihak Taman Nasional Gunung Halimun-Salak menentukan bahwa kawasan tersebut adalah zona inti yang harus dipreservasi secara intensif.

Oleh karena itu perlu dikaji tatanan atau pola lanskap dan adat budaya penggunaan lahan di Kampung Ciptagelar, apakah faktor internal dan faktor eksternal yang mempengaruhi perkembangan budaya memberikan dampak negatif terhadap sistem ekologis suatu kawasan. Selain itu perlu dikaji pula pengaruh faktor luar seperti adanya aktivitas wisata yang mulai berkembang saat ini. Studi ini diharapkan dapat menjadi dasar pengelolaan dan konservasi untuk melestarikan karakter lanskap adat budaya dengan tidak mengakibatkan dampak negatif bagi masyarakat dan fungsi kawasan sebagai zona inti Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.

Tujuan Studi

Tujuan dari studi ini adalah untuk mengidentifikasi tatanan lanskap budaya pemukiman Kampung Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kabupaten Sukabumi, Kecamatan Cisolok, Propinsi Jawa Barat, menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tatanan lanskap budaya tersebut serta dampaknya terhadap fungsi kawasan sebagai zona inti Taman Nasional Gunung Halimun-Salak serta mengusulkan konsep pelestarian lanskap sesuai dengan kondisi dan fungsi tapak.

Kegunaan studi

Kegunaan studi ini adalah:

1. Memberikan informasi tentang tatanan lanskap budaya Kampung Ciptagelar serta faktor-faktor yang mempengaruhinya,

2. Memberi masukan bagi pengelola Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Pemerintah Daerah setempat dan instansi-instansi yang terkait untuk kepentingan pelestarian dan pengembangan lanskap budaya tersebut,

(19)

Batasan Studi

Studi ini dibatasi pada Kampung Ciptagelar yang merupakan pindahan dari Kampung Ciptarasa saja, sedangkan daerah yang berada di sekitarnya hanya digunakan sebagai data pendukung yang menjadi bahan pertimbangan dalam membentuk lanskap kampung tersebut.

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Lanskap budaya

Lanskap adalah bentang alam yang memiliki karakter tertentu, yang beberapa unsurnya dapat digolongkan menjadi unsur utama atau unsur mayor dan unsur penunjang atau unsur minor. Unsur utama atau unsur mayor adalah unsur yang relatif sulit untuk diubah, sedangkan unsur penujang atau minor adalah unsur yang relatif kecil dan mudah untuk diubah (Simonds, 1983). Lanskap budaya (cultural landscape) adalah segala sesuatu yang berada di ruang luar yang dekat dan dapat dilihat. Berdasarkan definisi ini, lingkungan lanskap budaya adalah semua yang sudah mendapat campur tangan atau diubah oleh manusia (Lewis dalam Melnick, 1983)

Pendapat lain dikemukan oleh Nurisyah dan Pramukanto (2001) yang secara spesifik mendefinisikan lanskap budaya (cultural landscape) sebagai satu model atau bentuk dari lanskap binaan, yang dibentuk oleh suatu nilai budaya yang dimiliki suatu kelompok masyarakat yang dikaitkan dengan sumberdaya alam dan lingkungan yang ada pada tempat tersebut. Lanskap tipe ini merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam lingkungannya yang merefleksikan adaptasi manusia dan juga perasaan serta ekspresinya dalam menggunakan dan mengelola sumberdaya alam dan lingkungan yang terkait erat dengan kehidupannya. Hal ini diekspresikan oleh kelompok-kelompok masyarakat tersebut dalam bentuk pola pemukiman dan perkampungan, pola penggunaan lahan, sistem sirkulasi, arsitektur bangunan dan struktur lainnya.

Lanskap budaya menurut Sauers (dalam Tishler, 1982) adalah suatu kawasan geografis dimana ditampilkan ekspresi lanskap alami oleh suatu kebudayaan tertentu, dimana budaya adalah agennya, kawasan alami sebagai medium dan lanskap budaya sebagai hasilnya. Jika kita kehilangan lanskap yang menggambarkan tentang budaya dan tradisi kita, maka kita akan kehilangan bagian penting dari diri kita sendiri dan akar kita pada masa lalu.

Pemukiman Tradisional

Menurut Wayong (1981) pemukiman adalah kelompok unit kediaman orang-orang atau kelompok manusia pada suatu wilayah termasuk

(21)

kegiatan-kegiatan serta fasilitas-fasilitas sebagai akibat dari proses terbentuknya pemukiman ini.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 tahun 1992 mendefinisikan pemukiman sebagai bagian dari lingkungan hidup, di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Perikehidupan di desa-desa asli berfungsi lengkap sebagai satu unit pemukiman juga telah ditata dengan sarana fungsional dalam skala yang sederhana. Ada barisan perumahan, rumah upacara, lumbung, pemondokan pemuda, tempat berburu, tempat mengambil air minum dan mandi, tempat beternak, ladang, kuburan, dan jalan setapak (Marbun, 1994).

Menurut Unterman dan Small (1986) pemukiman digambarkan sebagai suatu perumahan yang saling berhubungan sehingga unit-unit individu tersebut membagi bersama baik dinding, lantai maupun langit-langitnya. Unit-unit tersebut membagi bersama pemakaian rumah tangga dan fasilitas-fasilitas yang ada. Sedangkan menurut Van der Zee (1986) pemukiman merupakan suatu sumber informasi tentang manusia dan aktifitasnya dalam suatu habitat. Pemukiman memiliki dua arti yaitu suatu proses dimana manusia menetap pada suatu area dan hasil dari proses tersebut. Pemukiman tidak hanya sekedar sebagai tempat tinggal dan tempat kerja manusia melainkan juga tempat untuk memenuhi fasilitas jasa, komunikasi, pendidikan dan rekreasi.

Definisi pemukiman tradisional sendiri menurut Parker dan King (1988) adalah suatu pemukiman yang bentukannya dipengaruhi oleh doktrin, pengetahuan, kebiasaan, adat istiadat dari masa lalu yang diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya, yang terdiri dari elemen budaya tradisional. Elemen budaya tradisional dapat berupa bangunan tradisional, kelompok bangunan, struktur, kelompok struktur, distrik bersejarah maupun obyek yang berdiri sendiri, begitu juga dengan tradisi, keyakinan, kebiasaan cara hidup, seni, kerajinan tangan, dan lembaga sosial.

Pelestarian Lanskap Budaya

Keberadaan lanskap budaya sangat penting, karena hal tersebut mengandung maksud jika kita kehilangan lanskap yang mengandung budaya dan tradisi masyarakat, maka kita akan kehilangan apa yang menjadi bagian penting dari diri kita dan akar kita pada masa lampau. Sebagai arsitek lanskap,

(22)

merupakan tanggung jawab profesional untuk menentukan lingkungan khusus ini, setelah diidentifikasi, apakah akan dilindungi atau digunakan sebijaksana mungkin untuk dapat mempertahankan kelangsungan suatu lambang atau simbol warisan sejarah manusia dan dunia ( Tishler, 1982).

Kegiatan pelestarian adalah kegiatan konservasi. Konservasi diartikan sebagai segenap proses pengelolaan suatu tempat agar makna kultural yang dikandungnya terpelihara dengan baik. Konservasi dapat meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat (Sidharta dan Budihardjo, 1989). Pelestarian lanskap sejarah dan budaya dapat didefinisikan sebagai usaha manusia untuk memproteksi atau melindungi peninggalan atau sisa-sisa budaya dan sejarah terdahulu yang bernilai dari berbagai perubahan yang negatif atau yang merusak keberadaannya dan nilai yang dimilikinya. Pelestarian suatu benda dan juga suatu kawasan yang bernilai budaya dan sejarah ini, pada hakekatnya bukan hanya untuk melestarikannya, tetapi terutama untuk menjadi alat dalam mengolah transformasi dan revitalisasi dari kawasan tersebut. Upaya ini bertujuan pula untuk memberikan kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik berdasar kekuatan aset-aset budaya lama dan melakukan pencangkokan program-program yang menarik dan kreatif,

berkelanjutan, serta merencanakan program partisipasi dengan

memperhitungkan estimasi ekonomi (Nurisjah dan Pramukanto, 2001).

Secara lebih spesifik, Nurisjah dan Pramukanto (2001) menyatakan bahwa kepentingan dari pelestarian lanskap yang terkait dengan aspek budaya dan sejarah, adalah untuk:

1. Mempertahankan warisan budaya/sejarah yang memiliki karakter spesifik suatu kawasan, seperti Jalan Braga di Bandung, Jalan Malioboro di Yogyakarta, atau kawasan-kawasan peninggalan budaya/sejarah jaman terdahulu (Colonial Towns, Kampung Naga).

2. Menjamin terwujudnya ragam dan kontras yang menarik dari suatu areal atau kawasan. Adanya areal sejarah atau yang bernilai budaya tinggi di suatu kawasan tertentu yang relatif modern akan memiliki kesan visual dan sosial yang berbeda.

3. Kebutuhan psikis manusia, untuk melihat dan merasakan eksistensi dalam alur kesinambungan masa lampau-masa kini-masa depan yang tercermin dalam obyek/karya taman/lanskap untuk selanjutnya dikaitkan dengan harga diri, percaya diri dan sebagai identitas diri suatu bangsa

(23)

atau kelompok masyarakat tertentu (contohnya Kawasan Kota Surabaya yang dipenuhi oleh simbol-simbol perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaan).

4. Motivasi ekonomi, peninggalan budaya dan sejarah memiliki nilai yang tinggi apabila dipelihara baik, terutama dapat mendukung perekonomian kota/daerah bila dikembangkan sebagai kawasan tujuan wisata (cultural

and historical type of tourism).

5. Menciptakan simbolisme sebagai manifestasi fisik dari identitas suatu kelompok masyarakat tertentu (contohnya Kawasan Pecinan, Kampung Bugis).

Lebih lanjut Nurisyah dan Pramukanto (2001) mengemukakan bahwa dalam upaya pengelolaan untuk pelestarian lanskap budaya atau sejarah, terdapat beberapa bentuk tindakan teknis yang umumnya dilakukan, antara lain :

1. Adaptative Use (penggunaan adaptif), yaitu mempertahankan dan memperkuat lanskap dengan mengakomodasikan berbagai penggunaan, kebutuhan dan kondisi masa kini.

2. Rekonstruksi, yaitu pembangunan ulang suatu bentuk lanskap, baik secara keseluruhan atau sebagian dari tapak asli.

3. Rehabilitasi, yaitu tindakan yang dilakukan untuk memperbaiki utilitas, fungsi atau penampilan suatu lanskap sejarah. Dalam kasus ini maka keutuhan lanskap dan strukturnya secara fisik maupun visual serta nilai yang terkandung harus dipertahankan.

4. Restorasi, yaitu suatu model pendekatan tindakan pelestarian yang paling konservatif yaitu pengembalian penampilan lanskap pada kondisi aslinya dengan upaya mengembalikan penampilan sejarah dari lanskap ini sehingga apresiasi terhadap lanskap tersebut tetap ada.

5. Stabilisasi, yaitu suatu tindakan atau strategi dalam melestarikan karya atau obyek lanskap yang ada melalui upaya memperkecil pengaruh negatif (seperti gangguan iklim, deterioration, dan suksesi alami) terhadap tapak.

Kegiatan konservasi bisa berbentuk preservasi dan dalam saat yang sama melakukan pembangunan atau pengembangan, restorasi, replikasi, rekonstruksi, revitalisasi, dan/atau penggunaan untuk fungsi baru suatu aset masa lalu. Kegiatan yang dilakukan ini membutuhkan upaya lintas sektoral, multi dimensi dan disiplin, serta berkelanjutan. Dan pelestarian merupakan pula

(24)

upaya untuk menciptakan pusaka budaya masa mendatang (future heritage). Kesinambungan yang menerima perubahan dan/atau pembangunan merupakan konsep utama konservasi, suatu pengertian yang berbeda dengan preservasi. Hal ini bertujuan untuk tetap memelihara indentitas dan sumber daya lingkungan dan mengembangkan beberapa aspeknya untuk memenuhi kebutuhan modern dan kualitas hidup yang lebih baik (the total system of heritage conservation). Konsekuensinya, perubahan yang dimaksud bukanlah terjadi secara drastis, namun perubahan secara alami dan terseleksi (http://www.arsitekturindis.com/index.php/archives/category/pelestarian/).

Sejarah Masyarakat Kasepuhan

Di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak terdapat suatu komunitas sosial yang dinamakan Kasepuhan. Menurut Ningrat (2000), istilah

Kasepuhan dahulu belum dikenal. Hal itu merupakan identifikasi dari luar

terrhadap komunitas masyarakat ini yang dahulunya disebut kaolotan. Olot dalam bahasa Sunda memiliki arti sesorang yang dituakan.

Masyarakat kasepuhan diyakini berasal dari suatu daerah di Bogor yang bernama Guradog. Mereka mengakui bahwa mereka masih memiliki hubungan yang erat dengan kerajaan Sunda-Hindu terakhir di Jawa Barat yang berkedudukan di Bogor, yaitu Pakuan Pajajaran yang membawa misi untuk mengembangkan Sang Hyang Dewi Sri, yaitu mengembangkan padi1 . Hal tersebut ditunjukkan dalam berbagai cerita rakyat maupun pantun yang menggambarkan masa itu. Raja yang dimaksud di sini adalah Prabu Siliwangi yang dalam Wawacan Sulanjana dikisahkan bahwa Prabu Siliwangi adalah seorang raja pertama yang menganjurkan rakyatnya untuk berani. Batara Guru melalui Ki Bagawan memerintahkan Prabu Siliwangi untuk menanam berbagai jenis padi-padian di seluruh kawasan kekeuasaanya. Berbagai jenis padi-padian itu bersumber dari bagian-bagian tubuh mayat Dewi Sri Pohaci (Adimiharja, 1992).

Pada tahun 1521 M, kemakmuran dan kejayaan Sri Baduga Maharaja yang tak lain dan tak bukan adalah Prabu Siliwangi mulai memudar. Para raja pengganti tidak mampu mempertahankan dan mengembangkan apa yang telah diraih sebelumnya, sehingga kejayaan dan kemakmuran Pakuan Pajajaran

1

(25)

hanya tinggal sejarah. Dalam salah satu pantun Bogor yang berjudul Dadap

Malang Sisi Cimandiri yang dikisahkan oleh juru pantun Ki Baju Rambeng pada

tahun 1908, diungkapkan bagaimana rakyat Pakuan menyelamatkan diri dari gempuran tentara Banten. Di antara mereka ada yang yang menyingkir ke arah barat dan selatan di sekitar Gunung Kendeng dan Halimun.

Kasepuhan merupakan masyarakat adat yang masih memegang adat

dan tradisinya, dimana mereka memiliki pedoman hidup dan tata ajaran yang telah mereka jalankan sejak jaman leluhur mereka, yaitu sejak kejayaan kerajaan Pajajaran. Makna pancer pangawinan sudah menjadi konsep sosio religius mereka. Hal tersebut memiliki makna antara lain mempersatukan ’dunia nyata’ dengan ’dunia gaib’, mempersatukan ’Dewi Sri, dewi padi dengan tanah’, mempersatukan ’langit dengan bumi’. Selain itu makna tersebut memiliki makna simbolis mempersatukan makro dan mikro komos untuk mencapai satu kesatuan hidup. Menurut Adimiharja (1992), di kalangan masyarakat Kasepuhan makna simbolis tersebut dinyatakan dalam ungkapan tilu sapamulu, dua sakarupa, hiji

eta keneh yang memiliki arti sekalipun terdapat bermacam-macam keinginan,

sikap dan sifat, pada hakikatnya manusia berasal dari sumber yang ’satu’ yaitu ’Yang Maha Kuasa’.

Menurut Hanafi et al, (2004) secara harfiah tatali paranti karuhun (filosofi hidup) bermakna mengikuti, mentaati serta mematuhi tuntutan rahasia hidup seperti yang dilakukan karuhun. Agar tercapai kondisi yang selaras, tertib, aman dan tentram dalam diri manusia maka ucapan dan perbuatan, ucap jeung

lampah, harus seirama, tidak bertentangan satu sama lain. Hal tersebut

tercermin dalam pedoman hidup masyarakat adat yang diungkapkan dengan kata-kata: mipit kudu amit, ngala kudu menta, nganggo kudu suci, dahar kudu

halal, kalawan kudu menta, nganggo kudu suci, dahar kudu halal, kalawan ucap kudu sabenerna, mupakat kudu sarerea, nyanghulu ka hukum, nyanghunjar ka nagara. Kata-kata mipit kudu amit, ngala kudu menta mengandung makna

setiap kali akan memetik atau menuai hasil pertanian, masyarakat kasepuhan harus memohon izin dahulu pada para karuhun (leluhur/nenek moyang). Dengan cara itu, maka masyarakat adat Kasepuhan berharap dapat terhindar dari berbagai petaka. Oleh karena itu, setiap langkah kegiatan sosial yang dilakukannya selalu didahului oleh apa yang mereka sebut doa amit (doa meminta izin) (Adimiharja, 1992). Doa tersebut dilakukan oleh sesepuh girang atau baris kolot sebelum memulai aktivitas pertanian. Selanjutnya menurut

(26)

Adimiharja (1992), kata-kata nganggo kudu suci mengandung makna bahwa tingkah laku itu harus jujur, tidak boleh berbohong. Kata-kata dahar kudu halal, artinya apa yang kita makan atau apa yang kita peroleh harus didapat dengan cara yang dibenarkan oleh aturan adat yang berlaku di kalangan kasepuhan. Kata-kata kalawan ucap kudu sabenerna, mengandung makna tidak boleh berbohong, berbicara apa adanya. Kata-kata nyanghulu ka hukum, nyanghunjar

ka nagara, artinya dalam hidup kita harus taat dan berpedoman pada hukum

(27)

METODOLOGI

Lokasi dan Waktu Studi

Studi dilaksanakan di pemukiman Kampung Ciptagelar yang termasuk dalam wilayah Kampung Sukamulya, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat (Gambar 1). Studi ini dilakukan di lapangan selama empat bulan, mulai bulan Maret hingga Juni 2005.

Metode Studi

Studi ini dilakukan melalui tahapan sebagai berikut (Gambar 2):

1. Inventarisasi atau pengumpulan data dengan menggunakan metode survey. Data yang dikumpulkan meliputi data kondisi lanskap, kondisi masyarakat (sejarah-budaya dan sosial-ekonomi), kebijakan dan pengaruh-pengaruh luar. Data didapatkan melalui observasi lapang, wawancara dan studi pustaka/dokumentasi. Dalam wawancara sebagai nara sumbernya adalah kepala adat (sesepuh girang), tokoh adat (baris

kolot), masyarakat, desa, JICA (Japan International Cooporation Agency)

salah satu lembaga dari Jepang yang menangani beberapa proyek mengenai Gunung Halimun-Salak, TNGHS (Taman Nasional Gunung Halimun-Salak), RMI (Rimbawan Muda Indonesia) dan Pemerintah Daerah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam studi ini dapat dilihat pada Tabel 1.

2. Analisis, meliputi

1) Analisis secara deskriptif untuk menjelaskan tatanan lanskap, fungsi dan makna elemen-elemen serta faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk dan tata letak elemen-elemen tersebut atau tatanan lanskap secara keseluruhan.

2) Analisis secara spasial tentang kesatuan unit lanskap Kampung Ciptagelar, yang meliputi elemen-elemen pembentuk lanskap, serta konsep ruang yang diterapkan

3) Analisis keberlanjutan untuk mengetahui keberlanjutan masyarakat adat dan zona inti dalam Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.

3. Sintesis, yaitu menyusun konsep dalam upaya pelestarian dan pengelolaan lanskap budayanya.

(28)

Gambar 1.

Peta

(29)

Kondisi Lanskap • Iklim • Landform • Jenis tanah • Hidrologi • Vegetasi • View • Elemen fisik buatan • Tata guna lahan

Kondisi masyarakat Kebijakan

• Tata ruang • Pembangunan Masyarakat • Pelestarian Pengaruh Luar • Pembangunan fisik • Wisata • LSM • Masyarakat Sekitar

Keberlanjutan Tatanan Lanskap Tatanan Lanskap • Pola • Elemen-elemen Sosial-ekonomi Sejarah, Filosofi dan Budaya Upaya Pelestarian

Gambar 2. Diagram Tahapan Studi

Kampung Ciptagelar

Pengumpulan Data

Analisis

(30)

Tabel 1. Jenis dan Sumber Data

No Jenis Data Interpretasi Sumber Data

1 Kondisi Lanskap • Iklim • Landform Jenis tanah Hidrologi Vegetasi View

Elemen fisik buatan

Tata guna lahan

• Curah hujan, arah dan kecepatan angin, suhu udara rata-rata dan kelembaban relatif udara

• Bentuk kampung dan topografi

• Data geologi

• Pola drainase, sumber air

• Fungsi dan pola penyebaran • Good view

• Fungsi, orientasi, makna, filosofi dan ukuran

• JICA

• Observasi lapang, Peta atau rupa bumi • JICA • Observasi lapang • Observasi lapang • Observasi lapang • Observasi lapang, Wawancara, studi pustaka • RMI 2 Kondisi Masyarakat • Sejarah-Budaya • Sosial-Ekonomi

• Filosofi, jenis aktivitas dan makna

• Jumlah penduduk, jenis dan jumlah fasilitas, mata pencaharian penduduk, tingkat pendidikan • Studi Pustaka, Observasi Lapang dan Wawancara • JICA, Observasi lapang, Profil Desa, Wawancara 3 Kebijakan Pengelolaan/ Aspek Legal • Tata ruang • Pembangunan masyarakat Pelestarian • Undang-undang, Perda, Norma Adat • Undang-undang, Perda, Norma Adat • Undang-undang, Perda, Norma Adat • JICA, TNGHS • JICA, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan • Studi Pustaka, JICA, TNGHS 4 Pengaruh Luar • Pembangunan fisik • Wisata • LSM • Masyarakat Sekitar • Perkembangan Kampung

• Aktivitas wisata dan pengunjung

• Program-program yang diadakan dan bantuan-bantuan yang diberikan

• Observasi lapang • Observasi lapang,

Wawancara • Wawancara

(31)

KONDISI UMUM LOKASI STUDI

Sejarah Kampung Ciptagelar

Kampung Ciptagelar berada di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun yang merupakan salah satu dari tiga Kasepuhan yang berada di Desa Sirnaresmi. Kasepuhan yang lainnya itu adalah Kasepuhan Ciptamulya dan

Kasepuhan Sinar Resmi yang berada di Kampung Sirnaresmi, Desa Sirnaresmi,

Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Dengan sistem nomaden atau berpindah-pindah, Kampung Ciptagelar yang menjadi pusat dari ketiga

Kasepuhan tersebut adalah kampung kedua yang dipimpin oleh Abah Anom, sesepuh girang (kepala adat) yang diangkat untuk memimpin kasepuhan sejak

beliau berumur 16 tahun. Karena umurnya yang masih muda itulah sesepuh

girang yang bernama asli Encup Sucipta dipanggil dengan sebutan Abah Anom.

Sebelum pindah ke Ciptagelar, Abah Anom dan incu putunya tinggal di kampung yang bernama Ciptarasa selama 17 tahun. Pada tahun 1992, Abah Anom mendapat wangsit dari leluhurnya untuk segera pindah dan meninggalkan Kampung Ciptarasa. Namun, mereka baru pindah pada bulan Juli tahun 2000, karena sebelumnya Abah Anom merasa belum siap untuk melakukan perpindahan kampung. Dalam kurun waktu delapan tahun tersebut, yaitu tahun 1992 hingga tahun 2000, Abah Anom banyak melakukan selametan/syukuran untuk memohon kepada leluhurnya agar kepindahan kampung dapat ditunda. Setelah delapan tahun tidak berhasil dalam menolak kepindahan, Abah Anom pun akhirnya memutuskan untuk terpaksa pindah pada tahun 2001 ketika leluhurnya melalui wangsit memberi pilihan pada Abah Anom antara pindah atau

pondok lalakon (mati).

Nama Ciptagelar memiliki arti tersendiri, dimana Cipta diambil dari nama Abah Anom yaitu Encup Sucipta. Sedangkan gelar artinya Abah Anom beserta

incu putunya menggelar lembaran dan kehidupan yang baru di tempat/lokasi

baru dan juga memberi kebebasan baik masyarakat dalam atau masyarakat luar untuk menyentuh, melihat atau melirik Kampung Ciptagelar2.

Dalam kepindahan kampung, yang ikut menyertai Abah Anom beserta keluarga hanya perangkat adat dan para baris kolot. Sedangkan masyarakat

2

(32)

sendiri oleh Abah Anom dianjurkan untuk tetap tinggal dan seandainya ikut pindah, itu pun harus seizin Abah Anom. Kepindahan kampung dari Ciptarasa menuju Kampung Ciptagelar dilakukan pada malam hari, karena ’cahaya petunjuk’ hanya dapat terlihat di saat yang gelap yaitu pada malam hari. ’Cahaya petunjuk’ itu sendiri memberi petunjuk dimana Abah Anom harus membuka kampung yang baru. Kampung baru yang kini diberi nama Kampung Ciptagelar itu, sebelumnya adalah daerah persawahan yang termasuk ke dalam Kampung Sukamulya. Menurut Wahyuni (2004), perpindahan lokasi akan terus berlangsung hingga mereka berhasil menemukan suatu tempat yang dalam mitologi mereka disebut lebak sampayan atau lebak ngampar yang apabila hal itu terjadi mereka akan mencapai kehidupan yang makmur. Adanya pernyataan mengenai wangsit dapat juga dijelaskan sebagai pemecahan masalah agar kampung tidak semakin padat.

Batas Lokasi Studi

Studi dilakukan di salah satu kampung yang berada di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun, yaitu di Kampung Ciptagelar, yang secara geografis terletak pada 106º27'-106º33'BT dan 6º52'-6º44'LS. Secara administratif, lokasi studi terletak di wilayah Kampung Sukamulya, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Lokasi berbatasan dengan Desa Sirnagalih di sebelah Utara dan hutan titipan, Gunung Panenjoan, Gunung Pangkulahan dan Gunung Bala di sebelah selatan. Di sebelah Timur, lokasi berbatasan dengan Desa Cihamerang, sedangkan di sebelah Barat lokasi berbatasan dengan Desa Sirnagalih. Kampung Ciptagelar dipimpin oleh seorang lurah/kepala desa yang disebut jaro, tetapi secara adat pemukiman Kampung Ciptagelar dipimpin oleh seorang sesepuh girang (kepala adat) yang lebih dikenal dengan sebutan Abah Anom.

Aksesibilitas dan Sirkulasi

Akses ke pemukiman Kampung Ciptagelar dapat ditempuh melalui tiga jalur pilihan, yaitu3:

3

(33)

Gambar 3. Batas Area Studi S. CIJANGKORANG 4 KE CIPTARASA 2 3 1 LEBAK DESA CIHAMERANG DESA SIRNAGALIH DESA SIRNARESMI DESA SIRNAGALIH LEGENDA 1 BATAS KABUPATEN SUNGAI JALAN KDSN. SIRNARESMI KDSN. CIKARET KDSN. CIMAPAG KDSN. CICEMET KDSN. CIPTAGELAR 2 3 4 5 HUTAN HUTAN U TANPA SKALA KAMPUNG CIPTAGELAR DESA SIRNAGALIH 5 S. CIBARENO S. CISONO KE PL . RATU S. CIPANENGAH S. CIKARET

U

PETA JAWA BARAT

(34)

1. Dari jalan utama Sukabumi-Cisolok, mengambil jalan ke Sukawayana dari Pelabuhan Ratu dilanjutkan sampai Pangguyangan. Dari Pangguyangan kendaraan yang bisa melintas jalan ini hanya kendaraan besar/jeep bergarda dua dan hanya sampai Kampung Ciptarasa. Dari Pelabuhan Ratu ke Ciptarasa dapat pula ditempuh dengan ojeg sejauh 22 km. Untuk ke Kampung Ciptagelar bisa naik ojeg atau jalan kaki, menempuh jarak 14 km melewati hutan lebat.

2. Melalui Desa Sirnaresmi yang masuknya mengambil jalan ke Sukawayana. Melalui jalur ini, kendaraan dapat mencapai Kampung Ciptagelar, tetapi kendaraan yang digunakan minimal Jeep. Akan tetapi

ojeg juga menjadi alternatif kendaraan dari Sirnaresmi ke Ciptagelar

sejauh 16 km.

3. Jalur yang sudah dilalui kendaraan umum melalui Desa Cimaja. Dari Pelabuhan Ratu naik angkutan umum yang menuju Cisolok, berhenti di Desa Cimaja. Dilanjutkan dengan naik angkutan umum jurusan Cikotok dan berhenti di kantor kepala Desa Sirnaresmi. Jarak dari Pelabuhan Ratu ke Sirnaresmi yaitu 25 km. Dari Desa Sirnaresmi bisa jalan kaki ataupun dengan ojeg dengan menempuh jarak 16 km.

Tabel 2. Alternatif kendaraan dan waktu tempuh menuju Kampung Ciptagelar

Dari Ke Jarak Alternatif Kendaraan Waktu

Bogor Pelabuhan Ratu Ciptarasa Pelabuhan Ratu Sirnaresmi Pelabuhan Ratu Ciptarasa Ciptagelar Sirnaresmi Ciptagelar 91 km 22 km 14 km 25 km 16 km Bis AC/Non AC Ojeg Ojeg Ojeg Ojeg ± 4 jam ± 90 menit ± 30 menit ± 60 menit ± 90 menit

Jalur pertama lebih sering digunakan oleh masyarakat adat Kampung Ciptagelar sendiri maupun oleh masyarakat luar yang sekedar berkunjung ke kampung tersebut. Hal ini dikarenakan kenyamanan yang terdapat di jalur ini baik dari jalan/perkerasan dan jumlah pohon peneduh. Jalan berbatu yang tersusun rapih yang membentang dari Kampung Ciptarasa hingga Kampung Ciptagelar dengan lebar 2,5 meter merupakan jalan hasil pekerjaan dari masyarakat sekitar Kampung Ciptagelar. Jalur ini pun melewati hutan titipan yang didominasi oleh Rasamala, Puspa dan berbagai jenis anggrek hutan khas Halimun seperti Bulpophylum binnenddykii. Ada beberapa pihak yang tidak

(35)

menyetujui dengan dibangunnya jalan tersebut karena harus melewati hutan titipan, namun bagi sesepuh girang dan masyarakat adat Kampung Ciptagelar hal tersebut merupakan tindakan yang tidak bertentangan dengan adat dan sangat positif mengingat jalur ini membuat transportasi jadi tidak lebih mahal dikarenakan lebih dekat dengan jalan raya kabupaten serta view yang memiliki nilai tinggi dibanding dengan jalur lainnya. Berdasarkan pengamatan di lokasi studi, terdapat delapan buah saung peristirahatan untuk berteduh apabila hujan (Gambar 4). Tindakan yang dilakukan sesepuh girang ini jelas berorientasi pada kenyamanan dan keamanan pengguna jalan.

Berdasarkan hasil survei, intensitas kendaraan di jalur pertama tidak padat, begitu juga dengan jalur kedua dan ketiga. Hal ini dikarenakan lokasi studi yang cukup jauh, sehingga butuh pertimbangan untuk keluar dan masuk pemukiman Kampung Ciptagelar.

Jalur kedua menuju pemukiman Kampung Ciptagelar merupakan jalur yang melewati kampung-kampung lain. Jalur ini merupakan jalur yang tingkat kenyamanannya sangat rendah. Penyebabnya adalah jalan berbatu yang tidak rata dan berkurangnya jumlah pohon yang diakibatkan oleh aktivitas illegal

logging, terutama di daerah Pondok Injuk (Gambar 5).

(36)

Gambar 5. Kondisi Jalur 2 Menuju Kampung Ciptagelar dan Illegal Loging

Iklim

Menurut Kurniawan (2000), berdasarkan klasifikasi iklim Schmidth dan Ferguson, Kampung Ciptagelar yang merupakan bagian dari kawasan Taman Nasional Gunung Halimun termasuk ke dalam tipe iklim B dengan curah hujan rata-rata 4.000-6.000 mm/tahun. Musim hujan berlangsung pada bulan Oktober sampai bulan April dengan curah hujan antara 400-600 mm/bulan dan musim kemarau terjadi pada bulan Juni sampai September dengan curah hujan sekitar 200 mm/bulan. Udaranya sejuk cenderung dingin dengan suhu antara 20º C sampai 26º C dan suhu rata-rata setiap tahun sekitar 25º C (Wahyuni, 2004). Kelembaban udara rata-ratanya sebesar 80%. Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika Wilayah Sukabumi, kecepatan angin di daerah ini berkisar antara 0-5 km/jam dengan arah angin ke arah barat (http://gis.bmg.go.id/fdrs/index.html).

Geologi, Tanah dan Topografi

Kampung Ciptagelar terletak pada ketinggian 1.050 meter di atas permukaan laut dengan topografi yang berbukit, dimana terdapat hutan dan makam pada topografi teratas sedangkan pada topografi paling bawah terdapat sawah dan sungai. Pemukiman dibuat berteras mengikuti bentuk alaminya (Gambar 6.). Topografi paling atas ditempati oleh rumah sesepuh girang sedangkan topografi bawah ditempati oleh rumah masyarakat adat (incu putu).

Pada topografi yang curam ditanami vegetasi yang bermacam -macam seperti Pacar Tere (Impatiens platypetala) dan Sarang Madu (Lavender). Selain

(37)

itu, beberapa topografi yang curam juga ada yang telah menggunakan retaining

wall (Gambar 7).

Gambar 6. Pemukiman Masyarakat Adat

Menurut Peta Tanah Tinjau Propinsi Jawa Barat dengan skala 1:250.000 dari Lembaga Penelitian Tanah Bogor (1966, dalam Dirjen PHPA TNGH 2003), jenis tanah di kawasan TNGH didominasi oleh tanah latosol dimana tanah jenis ini sangat cocok untuk pertanian.

Gambar 7. Retaining Wall

Hidrologi

Sungai yang dimanfaatkan oleh Kampung Ciptagelar yaitu Sungai Cibareno. Sungai ini dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat, yaitu untuk mandi, memasak dan kebutuhan lainnya. Untuk mengakomodasikan aliran air dalam memenuhi berbagai kebutuhan tersebut, masyarakat adat Kampung Ciptagelar membuat saluran-saluran yang terbuat dari bambu dan beberapa pipa PVC bantuan SAPALA (Mahasiswa Pencinta Alam) UKI

(38)

(Universitas Kristen Indonesia). Terdapatnya pompa air di pemukiman pun merupakan bentuk teknologi yang membantu masyarakat untuk mendapatkan air. Selain itu, terdapat pula mata air/sirah cai yang terdapat di topografi bawah dekat dengan empang yang lebih jernih dan bersih dibanding aliran air dari Sungai Cibareno. Pola drainase Kampung Ciptagelar mengikuti pola jalan setapak dan topografi. Pada umumnya aliran air tersebut bermuara ke

empang-empang dan mengalir melalui parit-parit atau selokan kecil yang terdapat di

pinggir-pinggir rumah.

View

Pemandangan yang terdapat di Kampung Ciptagelar terdiri dari pemandangan di luar pemukiman dan pemandangan di dalam pemukiman. Pemandangan di luar pemukiman yaitu berupa sawah yang berteras-teras. Pemandangan tersebut dapat dilihat dari luar pemukiman maupun dari dalam pemukiman. Selain itu, terdapat juga pemandangan yang tergantung pada siklus pertanian, yaitu saat menguningnya padi dan ketika padi ditempatkan di

lantayan. Lantayan milik masyarakat adat Kampung Ciptagelar biasanya terletak

jauh dari pemukiman, yaitu berada dekat dengan sawah yang mereka garap.

Lantayan tersebut merupakan pemandangan unik yang jarang ditemui di

kampung-kampung non-adat/non-tradisi. Semakin mendekati pemukiman terdapat pemandangan menarik berupa bangunan-bangunan leuit dengan gaya arsitektur yang unik. Deretan leuit tersebut merupakan miniatur dari rumah-rumah penduduk, yang memiliki ukuran panjang sekitar 3 meter dan lebar 2 meter dan berkumpul menjadi suatu kompleks bangunan (Asep, 2000). Di dalam pemukiman Kampung Ciptagelar, pemandangan lebih didominasi dengan bangunan-bangunan adat. Dari dalam pemukiman juga terdapat pemandangan ke arah luar berupa pemandangan beberapa gunung yang mengelilingi Kampung Ciptagelar yang selalu diselimuti kabut/halimun.

(39)
(40)

Sosial Ekonomi

Jumlah penduduk Desa Sirnaresmi pada tahun 2000 adalah 4.378 jiwa dengan jumlah laki-laki 2.189 jiwa dan perempuan 2.189 jiwa, serta terdiri atas 1.163 KK yang tersebar ke dalam tujuh kadusunan. Sedangkan untuk Kampung Ciptagelar sendiri, berdasarkan observasi di lapang setidaknya terdapat 88 KK, setiap KK terdiri kurang lebih lima jiwa (Tahun 2000). Data peningkatan jumlah penduduk Kabupaten Sukabumi sendiri dari tahun 1997-2001 mencapai sekitar satu hingga dua persen.

Berdasarkan data yang diperoleh dari desa dan JICA, diketahui bahwa mata pencaharian masyarakat Desa Sirnaresmi yang utama yaitu bertani (baik bertani sawah, huma dan kebun/talun), buruh tani, beternak, kerajinan, kuli bangunan, kuli pikul, penyadap nira/gula, pekerja rumah tangga, berdagang dan

ojeg (Gambar 10). Tingkat kesejahteraan keluarga dapat dilihat dari jumlah

lumbung padi (leuit) yang mereka miliki, luasan sawah dan jumlah hewan ternak. Sebagian besar penduduk pendapatan utamanya berasal dari hasil pertanian. Namun hasil pertanian yang berupa padi tidak dijual oleh mereka, dalam hal ini mereka mengkonsumsinya sendiri dan ini dikarenakan terdapat larangan menjual padi di kalangan masyarakat adat. Aset yang dimiliki penduduk Desa Sirnaresmi dapat dilihat pada Tabel 3. Tingkat pendidikan rata-rata masyarakat adat Kampung Ciptagelar yaitu tingkat Sekolah Dasar, dan sangat jarang yang menempuh hingga SLTP atau SMU, hanya anak dari sesepuh girang saja yang menempuh hingga SMU dan Universitas.

Sumber: JICA (Tahun 2002)

Gambar 9 . Jenis Mata Pencaharian Penduduk Desa Sirnaresmi

Kerajinan 7% Buruh 8% Tani 68% Gula 2% Dagang 4% Ternak 3% Lainnya 8%

(41)

Tabel 3. Jenis Aset Keluarga Responden di Desa Sirnaresmi

Jenis Aset Responden

Sepeda Motor 2 Kerbau 13 Kambing 33 Ayam 34 TV 13 Radio 16 Lumbung 43

Sumber: JICA (Tahun 2002) dari 49 responden

Tabel 4. Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga (Responden) di Desa Sirnaresmi Pendidikan Responden SR (Sekolah Rakyat) 7 SD 36 SLTP 0 SMU 0 D2 1 Tidak Diketahui 5 Jumlah 49

Sumber: JICA (tahun 2002) dari 49 responden

Fasilitas umum yang terdapat di Kampung Ciptagelar antara lain penerangan dengan menggunakan listrik, dimana aliran listrik dihasilkan dari sebuah generator Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro yang merupakan bantuan dari IBEKA, Jepang. Generator tersebut terletak di salah satu badan air Sungai Cisono yang letaknya di luar Kampung Ciptagelar. Selain itu juga terdapat fasilitas keagamaan berupa Mushola serta fasilitas pendidikan berupa gedung Sekolah Dasar dan Perpustakaan. Jenis fasilitas yang terdapat di pemukiman Kampung Ciptagelar dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Jenis dan Fasilitas Umum Kampung Ciptagelar

Jenis Fasilitas Jumlah

Bidang pemerintahan • Bale Riung • Podium 2 buah 1 buah Bidang Pendidikan

• Gedung Sekolah Dasar • Perpustakaan/Ruang Baca 1 buah 2 buah Bidang Keagamaan • Mushola 1 buah Bidang Ekonomi • Warung 3 buah Bidang Olahraga

(42)

DATA DAN ANALISIS

Tata Guna Lahan

Berdasarkan Pemetaan Partisipatif yang dilakukan RMI (Rimbawan Muda Indonesia) tahun 2001, tata guna lahan di Desa Sirnaresmi dibagi menjadi hutan alam, hutan ulayat, kebun/talun/huma, makam, sawah dan pemukiman (Tabel 5). Tabel 6. Tata Guna Lahan di Desa Sirnaresmi

No. Jenis Tata Guna Lahan Luas

(Ha) % 1 Hutan Alam 2948.48 50 2 Hutan Ulayat 1013.00 21 3 Makam 7.00 1 4 Kebun/Talun/Huma 303.40 6 5 Sawah 559.98 11 6 Pemukiman 74.18 11 Luas Total 4906.04 100

Sumber: Pemetaan Partisipatif Desa Sirnaresmi, 2001

Hutan alam adalah hutan milik negara yang tidak diakui kepemilikannya oleh masyarakat adat. Secara fisik hutan alam ini merupakan hutan yang masih utuh dan belum digarap oleh masyarakat adat. Hutan ulayat merupakan hutan yang menurut sejarah adat diakui milik masyarakat adat. Hutan ulayat ini dalam pengelolaannya dibagi menjadi leuweung kolot, leuweung titipan dan leuweung

sampalan.

Menurut Hanafi et al (2003), yang dimaksud dengan leuweung

kolot/awisan adalah wilayah hutan yang sama sekali tidak dapat diganggu

dengan untuk kepentingan apapun. Ada kepercayaan bahwa leuweung ini dijaga oleh hal yang tidak tampak oleh mata, siapa yang melanggarnya pasti akan tertimpa kemalangan (kabendon), sehingga leuweung kolot/awisan ini tidak dapat dialihfungsikan menjadi leuweung titipan atau pun leuweung sampalan.

Leuweung titipan adalah suatu kawasan hutan yang diamanatkan oleh leluhur

kepada para incu putu untuk menjaga/tidak mengganggu kawasan hutan ini. Masyarakat percaya apabila ada yang memasuki kawasan ini tanpa seizin

sesepuh girang maka akan mendapat kabendon dari karuhun. Sedangkan yang

dimaksud leuweung sampalan adalah suatu kawasan hutan yang sekarang telah terbuka dan dapat digarap oleh mayarakat dan masih dikelola untuk dijadikan sawah, huma dan kebun sehingga leuweung sampalan ini akan menambah luasnya ruang pertanian. Di dalam kawasan hutan, terdapat vegetasi dan satwa khas Gunung Halimun. Vegetasi yang mendominasi di antaranya Rasamala dan

(43)

LEGENDA HUTAN ALAM HUTAN ULAYAT KEBUN/TALUN/HUMA MAKAM SAWAH PEMUKIMAN U

Saninten (Castanopsis argentea). Sedangkan satwa yang mendominasi di antaranya Owa Jawa (Hylobates moloch) dan Surili (Presbytis comata).

Makam terletak di topografi atas. Hal ini merupakan salah satu bentuk penghargaan dan penghormatan terhadap para leluhur mereka yang telah meninggal. Bagi masyarakat adat Kampung Ciptagelar sendiri, makam merupakan elemen yang berfungsi sebagai tempat berdoa kepada arwah leluhur dan juga sebagai tempat dalam melakukan proses carita sebelum melakukan aktivitas ritual yang berhubungan dengan pertanian.

Huma atau ladang lebih dikenal dengan sebutan reuma oleh masyarakat adat Kampung Ciptagelar. Dalam pengelolaan secara adat, reuma dibagi menjadi tiga, yaitu reuma ngora, reuma kolot dan reuma sampalan. Reuma

ngora merupakan lahan bekas garapan masyarakat yang kemudian ditinggalkan

selama kurang lebih dua hingga tiga tahun kemudian lahan tersebut dapat dibuka kembali untuk dijadikan lahan garapan. Reuma kolot adalah lahan yang merupakan bekas garapan masyarakat yang kemudian ditinggalkan masyarakat lebih dari tiga tahun. Sedangkan yang dimaksud dengan sampalan yaitu lahan yang merupakan bekas garapan kemudian oleh masyarakat dimanfaatkan untuk mengembalakan kerbau.

Kebun merupakan lahan bekas ladang yang ada di sekitar pemukiman dan ditanami berbagai jenis tanaman sayuran, obat-obatan dan buah-buahan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sedangkan talun merupakan kebun yang letaknya jauh dari rumah yang pemeliharaannya tidak terlalu intensif dibandingkan kebun.

Sumber: Pemetaan Partisipatif RMI Desa Sirnaresmi (2001)

Gambar 10. Peta Tata guna Lahan Desa Sirnaresmi

ΚΑΜΠΥΝΓ ΧΙΠΤΑΓΕΛΑΡ

(44)

Lanskap Pemukiman Pola Kampung

Menurut pengetahuan masyarakat adat, bentuk Kampung Ciptagelar adalah goler kampak. Dikatakan demikian, karena Kampung Ciptagelar terletak di antara gunung (lereng) dan kampung lain yang didominasi oleh sawah-sawah yang berteras (Gambar 11). Dengan bentuk yang demikian, hal tersebut juga memberi pengaruh pada karakteristik masyarakat adat Kampung Ciptagelar.

Lanskap pemukiman Kampung Ciptagelar merupakan satu kesatuan unit lanskap yang meliputi area pemukiman penduduk (perumahan), area persawahan, empang, kebun/talun/huma, makam serta hutan. Use-area tersebut menempati posisi tertentu sesuai fungsi dan maknanya

Hutan larangan sebagai tempat yang sangat dihormati karena hutan merupakan tempat para leluhur dan roh-roh bersemayam terletak pada posisi yang paling tinggi dan sulit dijangkau dari pemukiman penduduk. Makam biasanya juga terletak dengan hutan yaitu di leuweung titipan karena makam merupakan tempat yang harus dihormati. Hal ini dikarenakan makam juga merupakan simbol dimana para leluhur dan roh-roh bersemayam, dan letaknya di topografi atas agar tidak tekena aliran limbah pembuangan dari pemukiman.

Hutan atau leuweung sampalan, talun/kebun/huma serta sawah merupakan lahan produksi, letaknya di sekitar pemukiman. Letak dan sebarannya sangat dipengaruhi kondisi ketersediaan air (lahan/sawah basah dan lahan kering). Empang merupakan lahan produksi (ikan) yang berupa badan air, terletak di topografi bagian bawah, di bawah pemukiman. Air untuk empang merupakan tampungan air yang berasal dari pemukiman. Keseluruhan kelebihan dan limbah air akan dialirkan ke sawah dan ke sungai. Area pemukiman berada pada posisi relatif strategis, aman dan biasanya di tengah dikelilingi area produksi.

Di dalam area pemukiman penduduk juga dapat diidentifikasi suatu pola yang unik. Pada topografi atau posisi teratas terdapat tempat tinggal sesepuh

girang. Di bawahnya terdapat area perumahan incu putu. Selain itu, juga

terdapat fasilitas-fasilitas di pinggir kampung seperti leuit, saung lisung dan sekolah.

Lahan untuk pemukiman merupakan ruang terbangun yang didominasi dengan rumah masyarakat dan elemen-elemen lanskap pemukiman lainnya. Di dalam pemukiman terdapat dua ruang terbuka, yaitu buruan gede yang terdapat

(45)

di topografi atas dan halaman yang cukup luas yang berada di topografi bawah. Di antara kedua ruang terbuka tersebut, yang berfungsi sebagai ruang adat adalah buruan gede, karena aktivitas adat dan bangunan penunjangnya dipusatkan di buruan gede.

Pola pemukiman Kampung Ciptagelar adalah mengelompok, dimana pola penempatan rumahnya sangat teratur. Letak rumah yang satu dan yang lainnya berdekatan (cenderung rapat). Sedangkan bangunan-bangunan seperti ajeng, podium, bale sesepuh, mushola, pasanggrahan dan imah gede berada mengelilingi buruan gede yang menjadi central point kampung ini. Pola kampung ikut mempengaruhi sirkulasi dalam kampung, dimana pola sirkulasinya mengikuti jalan setapak. Terdapat pola yang khas di pemukiman Kampung Ciptagelar dimana di pinggir-pinggir kampung selalu terdapat leuit-leuit yang berukuran lebih kecil daripada rumah. Keberadaan leuit-leuit itu sendiri mengelompok sama halnya seperti rumah. Pola pemukiman Kampung Ciptagelar dapat dilihat pada Gambar 12.

(46)
(47)

Gambar 13

. Perspektif

Gambar

Gambar 1.  Peta Lokasi Studi
Gambar 2. Diagram Tahapan Studi
Gambar 3. Batas Area Studi S. CIJANGKORANG4KE CIPTARASA231LEBAK DESA CIHAMERANGDESA SIRNAGALIHDESA SIRNARESMIDESA SIRNAGALIH LEGENDA1 BATAS KABUPATENSUNGAIJALANKDSN
Gambar 4. Kondisi Jalur 1 Menuju Kampung Ciptagelar
+7

Referensi

Dokumen terkait