• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tata Guna Lahan

Berdasarkan Pemetaan Partisipatif yang dilakukan RMI (Rimbawan Muda Indonesia) tahun 2001, tata guna lahan di Desa Sirnaresmi dibagi menjadi hutan alam, hutan ulayat, kebun/talun/huma, makam, sawah dan pemukiman (Tabel 5). Tabel 6. Tata Guna Lahan di Desa Sirnaresmi

No. Jenis Tata Guna Lahan Luas

(Ha) % 1 Hutan Alam 2948.48 50 2 Hutan Ulayat 1013.00 21 3 Makam 7.00 1 4 Kebun/Talun/Huma 303.40 6 5 Sawah 559.98 11 6 Pemukiman 74.18 11 Luas Total 4906.04 100

Sumber: Pemetaan Partisipatif Desa Sirnaresmi, 2001

Hutan alam adalah hutan milik negara yang tidak diakui kepemilikannya oleh masyarakat adat. Secara fisik hutan alam ini merupakan hutan yang masih utuh dan belum digarap oleh masyarakat adat. Hutan ulayat merupakan hutan yang menurut sejarah adat diakui milik masyarakat adat. Hutan ulayat ini dalam pengelolaannya dibagi menjadi leuweung kolot, leuweung titipan dan leuweung

sampalan.

Menurut Hanafi et al (2003), yang dimaksud dengan leuweung

kolot/awisan adalah wilayah hutan yang sama sekali tidak dapat diganggu

dengan untuk kepentingan apapun. Ada kepercayaan bahwa leuweung ini dijaga oleh hal yang tidak tampak oleh mata, siapa yang melanggarnya pasti akan tertimpa kemalangan (kabendon), sehingga leuweung kolot/awisan ini tidak dapat dialihfungsikan menjadi leuweung titipan atau pun leuweung sampalan.

Leuweung titipan adalah suatu kawasan hutan yang diamanatkan oleh leluhur

kepada para incu putu untuk menjaga/tidak mengganggu kawasan hutan ini. Masyarakat percaya apabila ada yang memasuki kawasan ini tanpa seizin

sesepuh girang maka akan mendapat kabendon dari karuhun. Sedangkan yang

dimaksud leuweung sampalan adalah suatu kawasan hutan yang sekarang telah terbuka dan dapat digarap oleh mayarakat dan masih dikelola untuk dijadikan sawah, huma dan kebun sehingga leuweung sampalan ini akan menambah luasnya ruang pertanian. Di dalam kawasan hutan, terdapat vegetasi dan satwa khas Gunung Halimun. Vegetasi yang mendominasi di antaranya Rasamala dan

LEGENDA HUTAN ALAM HUTAN ULAYAT KEBUN/TALUN/HUMA MAKAM SAWAH PEMUKIMAN U

Saninten (Castanopsis argentea). Sedangkan satwa yang mendominasi di antaranya Owa Jawa (Hylobates moloch) dan Surili (Presbytis comata).

Makam terletak di topografi atas. Hal ini merupakan salah satu bentuk penghargaan dan penghormatan terhadap para leluhur mereka yang telah meninggal. Bagi masyarakat adat Kampung Ciptagelar sendiri, makam merupakan elemen yang berfungsi sebagai tempat berdoa kepada arwah leluhur dan juga sebagai tempat dalam melakukan proses carita sebelum melakukan aktivitas ritual yang berhubungan dengan pertanian.

Huma atau ladang lebih dikenal dengan sebutan reuma oleh masyarakat adat Kampung Ciptagelar. Dalam pengelolaan secara adat, reuma dibagi menjadi tiga, yaitu reuma ngora, reuma kolot dan reuma sampalan. Reuma

ngora merupakan lahan bekas garapan masyarakat yang kemudian ditinggalkan

selama kurang lebih dua hingga tiga tahun kemudian lahan tersebut dapat dibuka kembali untuk dijadikan lahan garapan. Reuma kolot adalah lahan yang merupakan bekas garapan masyarakat yang kemudian ditinggalkan masyarakat lebih dari tiga tahun. Sedangkan yang dimaksud dengan sampalan yaitu lahan yang merupakan bekas garapan kemudian oleh masyarakat dimanfaatkan untuk mengembalakan kerbau.

Kebun merupakan lahan bekas ladang yang ada di sekitar pemukiman dan ditanami berbagai jenis tanaman sayuran, obat-obatan dan buah-buahan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sedangkan talun merupakan kebun yang letaknya jauh dari rumah yang pemeliharaannya tidak terlalu intensif dibandingkan kebun.

Sumber: Pemetaan Partisipatif RMI Desa Sirnaresmi (2001)

Gambar 10. Peta Tata guna Lahan Desa Sirnaresmi

ΚΑΜΠΥΝΓ ΧΙΠΤΑΓΕΛΑΡ

Lanskap Pemukiman Pola Kampung

Menurut pengetahuan masyarakat adat, bentuk Kampung Ciptagelar adalah goler kampak. Dikatakan demikian, karena Kampung Ciptagelar terletak di antara gunung (lereng) dan kampung lain yang didominasi oleh sawah-sawah yang berteras (Gambar 11). Dengan bentuk yang demikian, hal tersebut juga memberi pengaruh pada karakteristik masyarakat adat Kampung Ciptagelar.

Lanskap pemukiman Kampung Ciptagelar merupakan satu kesatuan unit lanskap yang meliputi area pemukiman penduduk (perumahan), area persawahan, empang, kebun/talun/huma, makam serta hutan. Use-area tersebut menempati posisi tertentu sesuai fungsi dan maknanya

Hutan larangan sebagai tempat yang sangat dihormati karena hutan merupakan tempat para leluhur dan roh-roh bersemayam terletak pada posisi yang paling tinggi dan sulit dijangkau dari pemukiman penduduk. Makam biasanya juga terletak dengan hutan yaitu di leuweung titipan karena makam merupakan tempat yang harus dihormati. Hal ini dikarenakan makam juga merupakan simbol dimana para leluhur dan roh-roh bersemayam, dan letaknya di topografi atas agar tidak tekena aliran limbah pembuangan dari pemukiman.

Hutan atau leuweung sampalan, talun/kebun/huma serta sawah merupakan lahan produksi, letaknya di sekitar pemukiman. Letak dan sebarannya sangat dipengaruhi kondisi ketersediaan air (lahan/sawah basah dan lahan kering). Empang merupakan lahan produksi (ikan) yang berupa badan air, terletak di topografi bagian bawah, di bawah pemukiman. Air untuk empang merupakan tampungan air yang berasal dari pemukiman. Keseluruhan kelebihan dan limbah air akan dialirkan ke sawah dan ke sungai. Area pemukiman berada pada posisi relatif strategis, aman dan biasanya di tengah dikelilingi area produksi.

Di dalam area pemukiman penduduk juga dapat diidentifikasi suatu pola yang unik. Pada topografi atau posisi teratas terdapat tempat tinggal sesepuh

girang. Di bawahnya terdapat area perumahan incu putu. Selain itu, juga

terdapat fasilitas-fasilitas di pinggir kampung seperti leuit, saung lisung dan sekolah.

Lahan untuk pemukiman merupakan ruang terbangun yang didominasi dengan rumah masyarakat dan elemen-elemen lanskap pemukiman lainnya. Di dalam pemukiman terdapat dua ruang terbuka, yaitu buruan gede yang terdapat

di topografi atas dan halaman yang cukup luas yang berada di topografi bawah. Di antara kedua ruang terbuka tersebut, yang berfungsi sebagai ruang adat adalah buruan gede, karena aktivitas adat dan bangunan penunjangnya dipusatkan di buruan gede.

Pola pemukiman Kampung Ciptagelar adalah mengelompok, dimana pola penempatan rumahnya sangat teratur. Letak rumah yang satu dan yang lainnya berdekatan (cenderung rapat). Sedangkan bangunan-bangunan seperti ajeng, podium, bale sesepuh, mushola, pasanggrahan dan imah gede berada mengelilingi buruan gede yang menjadi central point kampung ini. Pola kampung ikut mempengaruhi sirkulasi dalam kampung, dimana pola sirkulasinya mengikuti jalan setapak. Terdapat pola yang khas di pemukiman Kampung Ciptagelar dimana di pinggir-pinggir kampung selalu terdapat leuit-leuit yang berukuran lebih kecil daripada rumah. Keberadaan leuit-leuit itu sendiri mengelompok sama halnya seperti rumah. Pola pemukiman Kampung Ciptagelar dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 13

. Perspektif

Tabel 7. Sifat dan Fungsi Penggunaaan Lahan Terbuka

Elemen Sifat Fungsi

Hutan/Leuweung Makam Ladang/huma Sawah Buruan Gede Empang Sungai Komunal Komunal Komunal Individu Komunal Individu Komunal

Aktivitas ritual, water catchment area, mencukupi kebutuhan bangunan Aktivitas ritual (carita)

Aktivitas ritual, mencukupi kebutuhan pangan dan bangunan

Aktivitas ritual, mencukupi kebutuhan pangan Aktivitas ritual, aktivitas sosial budaya

Aktivitas ritual, mencukupi kebutuhan pangan Aktivitas ritual, mencukupi kebutuhan pangan, mandi, mencuci

Elemen-Elemen Lanskap Pemukiman Kampung Ciptagelar

Elemen lanskap pemukiman Kampung Ciptagelar merupakan bangunan ataupun ruang yang terbangun yang mendukung dan menjadi satu kesatuan suatu kampung. Berdasarkan survei di lapang, elemen lanskap pemukiman Kampung Ciptagelar yang teridentifikasi terdiri atas 17 elemen, yaitu:

1). Imah Rurukan dan Imah Gede

Imah rurukan adalah rumah kediaman sesepuh girang beserta keluarga,

yang disebut juga sebagai tihang awi yang di dalamnya terdapat private area karena di ruang tersebut disimpan berbagai benda-benda pusaka peninggalan leluhur mereka. Disebut tihang awi dikarenakan rumah ini didominasi oleh bambu dengan batang pohon kelapa sebagai pondasinya. Struktur imah rurukan didominasi oleh batang pohon kelapa (Gambar 14), karena pada saat itu pohon kelapa di daerah tersebut tidak berbuah, sehingga dimanfaatkan untuk kebutuhan yang mendesak tersebut. Letak imah rurukan berada dekat welcome

area dan menghadap timur pemukiman.

Imah gede artinya adalah rumah yang besar, yaitu rumah pusat Kasepuhan. Berada berdekatan dengan imah rurukan dan menghadap ke

sebelah utara pemukiman yang berfungsi sebagai tempat diselenggarakannya

salametan/syukuran yang berkaitan dengan aktivitas adat. Selain itu juga

fungsinya sebagai tempat bermalam untuk para tamu/pengunjung yang datang ke Kampung Ciptagelar. Imah gede memiliki tepas yang luas dan aula yang sering dipergunakan untuk acara berkumpul, baik oleh tamu/pengunjung maupun masyarakat adat Kampung Ciptagelar sendiri. Aktivitas di imah gede dipusatkan di dapur pada pagi hingga malam hari. Aktivitas yang dilakukan seperti memasak, makan atau sekedar menghangatkan diri di dekat tungku atau hawu.

Gambar 14 . Imah Rurukan (kiri) dan Imah Gede (kanan)

2). Imah dan Buruan

Seluruh bangunan rumah milik masyarakat adat Kampung Ciptagelar tidak ada yang terbuat dari bahan semen/tembok. Dalam membuat rumah, mereka menggunakan kayu Ki Sereh/Saninten, bambu dan ijuk atau daun kiray. Untuk atap mereka tidak menggunakan bahan genteng, alasannya karena genteng berasal dari tanah. Mereka mempercayai orang yang masih hidup tidak boleh dinaungi oleh sesuatu yang berasal dari tanah. Bagi mereka, hanya orang yang sudah mati saja yang boleh dinaungi oleh tanah. Selain itu, alasan mengapa mereka menggunakan ijuk atau daun kiray dikarenakan berkaitan dengan salah satu prinsip hidup mereka, yaitu Kudu Nyanghulu Ka Hukum. Prinsip mereka itu memiliki arti bahwa ’di atas' masyarakat adat terdapat hukum, sehingga mereka menjunjung tinggi adat sebagai sumber hukum mereka yang disimbolkan dengan ijuk atau kiray sebagai bahan alami4. Jadi hukum yang mengatur masyarakat adat Kampung Ciptagelar adalah hukum yang alami atau hukum yang ditinggalkan oleh leluhur mereka.

Pada umumnya bentuk atap pada rumah Kampung Ciptagelar adalah

bap(l)ang. Bentuk ini melambangkan sayap kehidupan, dimana dalam pola

kehidupan sehari-hari masyarakat adat Kampung Ciptagelar selalu saling berhubungan baik dengan hewan maupun dengan tumbuh-tumbuhan (Ningrat, 2004).

4

Bambu yang digunakan untuk bilik rumah pun memiliki filosofi tersendiri, dimana bambu yang beruas-ruas sebagai simbol umur manusia yang memiliki tahapan-tahapan. Bambu disebut juga awi yang kosong, artinya manusia juga lahir dalam keadaan yang kosong yang harus diisi dengan ilmu dan amal. Sedangkan digunakannya kayu untuk membangun rumah tujuannya agar hidup mereka menyatu dengan alam. Kayu disebut juga hejo tihang, yang artinya hidup hanya sementara waktu.

Dalam hal membangun rumah, masyarakat adat Kampung Ciptagelar memilki tata cara sendiri. Sebelum membangun rumah, mereka diwajibkan untuk meminta izin kepada sesepuh girang melalui proses upacara ritual. Kegiatan membangun rumah ini dilakukan secara gotong royong, biasanya yang membantu membangun rumah sekitar lima sampai sepuluh orang dan apabila rumahnya tidak terlalu besar hal tersebut dapat diselesaikan selama satu bulan, namun itu pun tergantung situasi dan kondisi.

Waktu merupakan faktor utama bagi masyarakat adat Kampung Ciptagelar dalam membangun rumah. Perhitungan waktu yang didasarkan pada

naptu (nilai hari) kelahiran laki-laki pemilik rumah sangat menentukan kapan

masyarakat adat Kampung Ciptagelar sebaiknya membangun rumah dan juga letak pintu, sehingga pada umumnya orang yang memiliki hari lahir yang sama letak rumahnya cenderung berdekatan. Sedangkan lokasi peletakkan masing-masing rumah masyarakat adat kampung Ciptagelar ditentukan oleh sesepuh

girang. Masyarakat adat Kampung Ciptagelar juga mempercayai pada tanggal

15 Syafar-15 Mulud merupakan waktu yang tidak diperbolehkan untuk membangun rumah. Jika seseorang melanggar hal tersebut, maka ia akan mendapatkan kabendon.

Masyarakat adat Kampung Ciptagelar memiliki buruan di setiap rumah yang digunakan untuk kepentingan bersama. Buruan yang terdapat di Kampung Ciptagelar tidak terlalu besar, hal ini dikarenakan letak rumahnya yang saling berdekatan satu dan lainnya.

Fungsi buruan bagi masyarakat Kampung Ciptagelar antara lain:

1. Sebagai area untuk bersosialisasi, yaitu tempat bermain anak-anak, mengerjakan kerajinan tangan, sebagai sampayan/tempat menjemur pakaian dan menjemur padi yang berasal dari sawah orang lain.

2. Sebagai area kehidupan sehari-hari, yaitu untuk menanam tanaman yang digunakan untuk kebutuhan dapur atau sasajen dalam upacara-upacara ritual dan juga sebagai area memasak dalam pembuatan dodol.

3. Sebagai area diselenggarakannya acara adat, terutama aktivitas ritual yang berhubungan dengan siklus hidup manusia. Misalnya, pada acara

nyundatan dan pada saat nikahan di mana buruan mejadi tempat acara sawer.

3). Pangkemitan

Pangkemitan adalah tempat menjaga imah rurukan pada malam hari dan

orang yang menjaganya disebut kemit. Seorang kemit juga bertugas mencari kayu bakar untuk kebutuhan sehari-hari di imah gede. Terdapat dua buah

pangkemitan di Kampung Ciptagelar, yang pertama berada di sebelah barat imah gede atau di sebelah utara imah rurukan. Sedangkan yang kedua berada

di dekat pintu gerbang kampung yang ke arah Desa Sirnaresmi, yaitu di sebelah barat imah rurukan (Gambar 15). Ukuran pangkemitan di Kampung Ciptagelar beraneka ragam. Pangkemitan yang terbesar memiliki lebar 6 meter dan panjang 15 meter.

Gambar 15. Pangkemitan Terbesar 4). Leuit

Masyarakat Kampung Ciptagelar menamakan lumbung padinya dengan sebutan Leuit. Dilihat dari model bangunannya, leuit yang teridentifikasi di Kampung Ciptagelar ada dua jenis. Jenis yang pertama yaitu leuit lenggang dan jenis kedua yaitu leuit biasa. Leuit lenggang yang hanya berjumlah dua buah ini merupakan leuit dengan kaki yang tinggi dan pada bagian kakinya terdapat sejenis roda yang berfungsi mencegah tikus untuk naik. Sedangkan leuit biasa

yaitu leuit dengan kaki yang pendek yang mendominasi lanskap pemukiman Kampung Ciptagelar. Letak leuit satu dan yang lainnya tidak begitu jauh, padahal letak leuit seharusnya agak berjauhan untuk mencegah loncatnya tikus ke leuit lain apabila salah satu dari leuit tersebut dimasuki oleh tikus. Letaknya yang demikian dapat dikarenakan oleh faktor keterbatasan lahan (Gambar 16).

Ruang di bawah leuit oleh masyarakat adat Kampung Ciptagelar digunakan untuk membuang sampah jenis beling/kaca. Hal ini dilakukan untuk keselamatan. Di pinggir leuit biasanya digunakan untuk menanam bali (yang keluar bersama bayi). Bali ini dimasukkan ke dalam kukuk yang kemudian dikubur di pinggir leuit. Setelah itu sebagai tanda, di atasnya ditanami pohon

congkok. Hal tersebut memiliki filosofi agar sang bayi kelak dewasa tidak akan

kerasan apabila merantau. 5). Leuit Si Jimat

Leuit si jimat merupakan lumbung padi komunal yang merupakan warisan

dari para leluhur. Dinamakan demikian karena leuit ini dianggap jimat bagi masyarakat adat Kampung Ciptagelar. Padi yang berada di dalam leuit ini dapat dipinjamkan kepada masyarakat adat Kampung Ciptagelar yang memerlukannya, sehingga ketika kepindahan kampung, leuit ini turut dibawa.

Leuit si jimat diletakkan terpisah dengan leuit biasa (Gambar 16) dan berada di buruan gede, tepatnya berada di timur podium dan menghadap utara

pemukiman. Letaknya yang demikian, karena leuit ini merupakan simbol dari

Kasepuhan yang dipimpin oleh sesepuh girang. Selain itu, saat acara seren taun

yang dipusatkan di buruan gede, leuit ini menjadi tempat aktivitas ngadiukeun.

Leuit si jimat kira-kira berukuran 2.68 meter x 3.66 meter. Sedangkan tingginya

sekitar 3 meter. Dalam kepindahan kampung, leuit ini harus dibawa mengikuti kepindahan sesepuh girang.

6). Podium

Podium berada di sebelah timur imah gede dan di sebelah barat leuit si

jimat. Podium ini menghadap ke arah utara yang fungsinya sebagai tempat sesepuh girang ketika menyampaikan pidatonya pada saat acara-acara besar

berlangsung, seperti seren taun. Pemeliharaan yang dilakukan terhadap podium ini tidak terlalu intensif. Ukuran podium kira-kira 3.90 meter x 3.93 meter.

Gambar 16. Leuit (kiri) dan Leuit Si Jimat (kanan) 7). Bale Sesepuh

Letak bale sesepuh berada di utara podium dan menghadap ke arah selatan pemukiman. Terdapat dua buah bale sesepuh di Kampung Ciptagelar. Fungsi bale sesepuh yaitu sebagai tempat berkumpulnya baris kolot dan perwakilan sesepuh dari kampung-kampung lain ketika sesepuh girang menyampaikan pidatonya saat upacara seren taun. Bale sesepuh itu sendiri dibangun menghadap selatan pemukiman berhadapan dengan elemen podium (Gambar 17).

Gambar 17. Podium (kiri) dan Bale Sesepuh (kanan)

Di antara dua bale sesepuh terdapat ruang pemisah. Ruang pemisah tersebut digunakan sebagai perpustakaan/tempat menyimpan buku-buku pelajaran sekolah dasar. Adanya perpustakaan di antara bale sesepuh tersebut tidak mengurangi nilai fungsi dari bale sesepuh itu sendiri, karena aktivitas yang dilakukan di perpustakaan tidak tinggi. Ukuran masing-masing bale sesepuh tersebut yaitu sekitar 11.83 meter x 4.00 meter.

8). Tampian dan kamar mandi permanen

Tampian merupakan tempat mencuci dan mandi yang terbuat dari

bambu. Letak tampian umumnya berada di atas empang (Gambar 18) dan digunakan secara bersama-sama (komunal), namun ada juga yang terletak di atas parit/selokan. Masyarakat yang cukup mampu biasanya membangun

tampian dekat dengan rumahnya. Walaupun membangun dengan biaya sendiri,

sifat tampian tetap tidak berubah yaitu digunakan untuk kepentingan bersama. Berdasarkan pengamatan di lapang, letak tampian berpusat di topografi bawah. Ukuran tampian sekitar 1.50 meter x 1.00 meter.

Selain menggunakan tampian, terdapat pula beberapa dari masyarakat (khususnya pekerja sesepuh girang) yang menggunakan kamar mandi komunal permanen untuk mandi. Terdapat tiga bangunan kamar mandi komunal yang permanen. Ketiga bangunan tersebut terletak di ruang pelayanan utama yaitu di topografi teratas dalam pemukiman. Letaknya yang demikian dikarenakan kamar mandi permanen ini juga diperuntukkan untuk tamu/pengunjung yang tidak terbiasa menggunakan tampian. Walaupun terdapat kamar mandi komunal yang permanen, masyarakat adat Kampung Ciptagelar tetap tidak melupakan budayanya, dimana atap dari kamar mandi komunal yang permanen tersebut berasal dari ijuk atau daun kiray.

Gambar 18. Tampian (kiri) dan Kamar Mandi Komunal Permanen (kanan)

9). Panyayuran

Panyayuran adalah elemen kampung yang berfungsi sebagai tempat

memasak untuk acara-acara besar dan menjelang acara-acara besar, aktivitas masyarakat adat khususnya kaum perempuan di dalam panyayuran sangat tinggi. Ukurannya sekitar 6.10 meter x 12 meter. Panyayuran merupakan dapur kotor, karena hanya berlantai tanah dan pemeliharaannya tidak terlalu intensif.

Elemen ini terletak di sebelah selatan imah gede dan di sebelah utara pintu gerbang yang dekat dengan imah rurukan.

10). Ajeng Wayang Golek

Masyarakat adat Kampung Ciptagelar sangat tertarik terhadap kesenian. Hal ini terlihat dari adanya ajeng wayang golek yang letaknya berada di utara

imah gede dan menghadap selatan pemukiman. Fungsinya sendiri yaitu sebagai

panggung dalam memainkan wayang golek dan juga menyimpan seperangkat gamelan beserta wayang goleknya. Hiburan wayang golek biasanya diadakan pada saat sebelum atau sesudah aktivitas ritual. Ajeng wayang golek terletak di sebelah utara imah gede dan menghadap selatan pemukiman. Ajeng ini berukuran sekitar 6.00 meter x 4.80 meter. Menurut Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sukabumi, wayang golek ini termasuk ke dalam kesenian non tradisional.

11). Ajeng Jipeng

Ajeng ini terletak di sebelah barat bale sesepuh. Jipeng itu sendiri adalah kesenian Jaipong yang diiringi oleh alat musik Tanji, Klarinet, Saxophone dan

drum. Ajeng jipeng ini pemeliharaannya tidak terlalu intensif, hal ini dikarenakan

penggunaannya yang juga tidak intensif. Ajeng jipeng dibangun menghadap selatan pemukiman. Letaknya saling berjauhan dengan bangunan kesenian yang lain, yaitu ajeng wayang golek dan ajeng topeng. Ajeng ini berukuran kurang lebih 6.07 meterx 6.00 meter.

12). Ajeng Topeng

Ajeng topeng terletak di ruang incu putu, tepatnya berada di selatan bale

sesepuh dan di topografi yang lebih rendah daripada bangunan kesenian yang

lain. Letaknya yang berjauhan dengan bangunan kesenian yang lain dimaksudkan agar musik yang dipertunjukkan oleh masing-masing ajeng tidak saling mengganggu. Sehingga memberi kenyamanan bagi penonton yang menyaksikan kesenian tersebut yang berlangsung secara bersamaan. Ajeng

topeng yang menghadap ke arah jalan gede atau barat pemukiman merupakan

salah satu jenis teater rakyat yang menggunakan topeng sebagai alat dan alur cerita yang dibawakan dengan penuh humor. Menurut Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sukabumi, Topeng termasuk ke dalam kesenian tradisional. Pemeliharaan ajeng topeng sama seperti ajeng-ajeng lain yaitu tidak intensif yang dikarenakan penggunaannya yang juga tidak terlalu intensif. Ukuran ajeng ini yaitu sekitar 5.12 meter x 4.11 meter.

13). Ajeng Siaran

Berada di utara bale sesepuh dan barat mushola, sebelumnya ajeng ini dibangun untuk pasanggrahan keluarga sesepuh girang. Namun, seiring dengan masuknya teknologi ke Kampung Ciptagelar dan kebutuhan masyarakat akan komunikasi dan hiburan, maka sesepuh girang membuat stasiun radio adat untuk masyarakat adat, khususnya untuk mempermudah komunikasi masyarakat adat Kampung Ciptagelar dalam atau luar kampung. Pemeliharaanya cenderung intensif, karena ajeng ini digunakan setiap hari. Ukuran Ajeng ini cukup besar, yaitu sekitar 8.70 meter x 8.70 meter. Ajeng wayang golek, ajeng topeng dan

ajeng siaran merupakan simbol ketertarikan masyarakat adat terhadap seni

(Gambar 19).

Gambar 19. Ajeng Wayang Golek (kiri atas), Ajeng Topeng (kanan atas) dan

Ajeng Siaran (bawah)

14). Kandang Ternak

Berada tersebar mengelilingi dan di sekitar pemukiman. Kandang ternak yang berada mengelilingi pemukiman yaitu kandang ternak kambing. Sedangkan kandang ternak yang berada di sekitar kampung yaitu kandang ayam

Dokumen terkait